Lataif al-Isyarat merupakan salah satu kitab tafsir Al-Qur’an yang menggunakan pendekatan isyari. Tidak seperti kitab tafsir pada umumnya yang lebih banyak berkutat pada makna lahiriyah ayat, tafsir Lataif al-Isyarat lebih banyak membahas makna implisit atau yang tersirat dari ayat-ayat Al-Qur’an kemudian dihubungkan dengan narasi-narasi sufistik. Kitab tafsir ini ditulis oleh sufi terkenal di masanya bernama Imam al-Qusyairi.
Profil singkat al-Qursyairi
Nama lengkap al-Qusyairi adalah Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad al-Qusyairi al-Naisaburi al-Syafi’i. Laqab (julukan)-nya adalah Zain al-Islam, namun lebih dikenal dengan nama al-Qusyairi. Beliau dilahirkan di Ustuwa pada Rabi’ul Awwal tahun 376 H atau Juli 986 M dan wafat pada hari Ahad, 16 Rabiul Akhir tahun 465 H.
Dalam al-Risalah al–Qusyairiyah fi Ilm al–Tasawuf tertulis beberapa gelar yang disandang oleh al-Qusyairi. Gelar pertama yaitu An-Naisaburi yang dinisbatkan pada nama kota Naisabur, salah satu ibu kota terbesar negara Islam abad pertengahan, di samping kota Balkh-Harrat dan Marw.
Gelar kedua, al-Qusyairi yang merupakan sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qahthaniyah (sekelompok orang yang tinggal di pesisir Hadramaut). Gelar ketiga, al-Istiwa yang berarti orang-orang yang datang dari bangsa Arab dan memasuki daerah Khurasan dari Ustawa. Gelar keempat, al-Syafi’i yang dinisbatkan pada mazhab yang diikutinya, yaitu mazhab Syafi’i.
Gelar kelima, yaitu gelar kehormatan yang dinisbatkan kepadanya. Antara lain; al-Imam, al-Ustadz, al-Syaikh, Zainul Islam, al-Jami’ baina al-Syari’ah wa al-Haqiqah. Gelar-gelar ini diberikan sebagai wujud penghormatan atas kedudukan tingginya dalam bidang tasawuf dan ilmu pengetahuan di dunia Islam (Mani’ Abd Halim Mahmud: 2006).
Baca juga: Dua Dimensi Makna Wali Menurut Imam Al-Qusyairiy
Kitab Tafsir Lataif Al-Isyarat
Kitab tafsir ini tergolong tafsir isyari. M. Quraish Shihab dalam bukunya, Kaidah Tafsir (2013) mendefinisikan tafsir isyary dengan tafsir yang mencoba menarik makna-makna ayat Al-Qur’an yang tidak diperoleh dari bunyi lafaz ayat, tetapi dari kesan yang ditimbulkan oleh lafaz itu dalam benak penafsirnya. Kesan-kesan tersebut didapat melalui kecerahan hati dan pikiran, tanpa membatalkan makna lafaznya.
Sejalan dengan track record al-Qusyairi yang merupakan salah satu tokoh sufi dengan pengaruh yang sangat besar di dunia Islam, tafsir Lataif al-Isyarat ini termasuk ke dalam kategori tafsir bercorak sufi. Hal tersebut dikarenakan pembahasan dalam tafsirnya banyak diwarnai oleh nuansa sufistik.
Penafsiran Al-Qusyairi dalam kitab tersebut cenderung bertumpu pada makna isyarah (implisit) di balik makna literal ayatnya, tentunya dengan tetap memerhatikan makna literal ayat itu sendiri. al-Qusyairi berusaha mengompromikan makna isyarah dan makna lahir yang dimaksud ayat dan terkadang memperkuat penafsirannya dengan riwayat. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam penafsirannya mengenai QS. Al-Baqarah ayat 219 berikut:
يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلۡخَمۡرِ وَٱلۡمَيۡسِرِۖ قُلۡ فِيهِمَآ إِثۡمٞ كَبِيرٞ وَمَنَٰفِعُ لِلنَّاسِ وَإِثۡمُهُمَآ أَكۡبَرُ مِن نَّفۡعِهِمَاۗ
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah; “pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.
Berikut terjemah dari penafsiran Al-Qusyairi mengenai ayat tersebut;
“Khamr (secara bahasa) adalah sesuatu yang dapat menutupi fungsi akal. Sebagaimana khamr itu haram karena hakikatnya (memabukkan), maka mabuk juga haram. Sebagaimana sabda Rasulullah saw bahwa khamr itu diharamkan karena hakikat khamr itu sendiri, yaitu dapat memabukkan setiap orang yang meminumnya. Maka barangsiapa yang mabuk, kehilangan kesadaran spiritual, disebabkan karena “meminum” kelalaian dari mengingat Allah, maka ia memiliki hak yang sama dengan orang yang mabuk karena meminum khamr. Hal ini dari segi makna isyarah. Oleh karena itu, Sebagaimana orang yang mabuk karena meminum khamr itu dilarang mengerjakan shalat, demikian juga orang yang mabuk (kehilangan kesadaran spiritual) lupa mengingat Allah akan terhalang untuk berkomunikasi dengan Allah.”
Dalam penafsiran di atas, dapat kita lihat bahwa Al-Qusyairi mengungkapkan makna isyarah yang tersirat dengan berusaha menjelaskan makna lahirnya terlebih dahulu. Al-Qusyairi menjelaskan makna khamr secara bahasa, hukum meminumnya, akibat-akibat hukum bagi peminumnya serta memperkuat penafsirannya dengan hadits Nabi. Kemudian ia menjelaskan makna isyarah ayat tersebut.
Makna isyarah yang diungkapkan Al-Qusyairi dalam ayat tersebut terdapat pada penjelasan bahwasanya orang yang mabuk karena meminum khamr, dilarang untuk menunaikan salat. Begitu juga sama halnya dengan orang yang mabuk lupa (tidak memiliki kesadaran spiritual) untuk mengingat Allah, ia juga terhalang komunikasinya dengan Allah Swt. Wallahu a’lam.
Baca juga: Memaknai Ayat Haji Ala Sufi