Mushaf Madinah (selanjutnya disebut MM) cetakan Mujamma‘ al-Malik Fahd li Thiba‘ah al-Mushhaf al-Syarif barangkali menjadi mushaf yang paling banyak digunakan saat ini di seluruh penjuru dunia. Kendati mengacu sumber yang sama dengan mushaf terbitan Mesir, Oman, dan Kuwait, angka produksi yang mencapai 10 juta mushaf per tahun menjadikan dominasi MM melebihi mushaf-mushaf yang lain.
Terdapat perbedaan informasi mengenai kapan awal mushaf ini dicetak. Menurut Zainal Arifin dalam Perbedaan Rasm Usmani, MM dicetak pada tahun 1982 M. atas inisiasi Raja Fahd setelah didirikannya Mujamma‘.
Sedangkan menurut Hamam Faizin dalam Sejarah Pencetakan Al-Qur’an, MM mulai dicetak pada tahun 1505 H., bertepatan dengan tahun 1984/1985 M. Meskipun demikian, keduanya sepakat bahwa MM disusun dengan melakukan penyalinan ulang atas mushaf cetakan Mesir tahun 1342 H./1923-1924 M., hasil dari lajnah yang beranggotakan Muhammad ‘Ali al-Husainiy, Hafniy Nasif, Ahmad al-Iskandariy, dan Musthafa al-‘Inaniy.
Terkait dengan masalah rasm ‘utsmaniy, MM, sebagaimana dijelaskan dalam ta‘rif (deskripsi mushaf)-nya, mengacu pada kaidah yang diriwayatkan oleh Abu ‘Amr al-Daniy dan Abu Dawud Sulaiman. Namun jika terjadi perbedaan, MM akan mentarjih pendapat yang kedua, yakni Abu Dawud, sebagai acuan utama.
Menarik untuk diamati pemilihan tarjih MM terhadap kaidah Abu Dawud. Hal ini dikarenakan adanya kesan upaya rekonstruksi terhadap mushaf kuno Madinah dalam penyusunan MM. Mushaf kuno Madinah di sini merujuk pada salah satu mushaf yang dikirim oleh Khalifah ‘Utsman ke berbagai wilayah Islam kala itu.
Apa yang mendasari klaim penulis atas kesan rekonstruksi tersebut, mari simak bersama ulasannya.
Literatur Rujukan Al-Tabyin
Karya terbesar Abu Dawud dalam bidang rasm adalah Al-Tabyin li Hija’ al-Tanzil yang kemudian diringkas menjadi Mukhtashar al-Tabyin. Jika MM mengacu sekaligus mentarjih kaidah Abu Dawud, maka karya ini merupakan rujukan wajib.
Ahmad bin Ahmad bin Mu‘ammar Syirsyal dalam catatan tahqiq-nya menyebutkan bahwa ada beberapa literatur yang menjadi rujukan Abu Dawud dalam menulis Al-Tabyin. Di antaranya adalah karya-karya yang diriwayatkan dari Abu ‘Amr al-Daniy, seperti Al-Muqni’ fi Rasm Mashahif al-Amshar. Kitab ini bahkan diriwayatkan sampai kepada Al-Daniy tak lain melalui jalur Abu Dawud. Pada bagian awal kitab tersebut disebutkan;
حَدَّثَنَا أُسْتَاذُنَا الفَقِيْهُ المَغْرِبِي أَبُو دَاوُد سُلَيْمَان بنُ نَجَاح رضي الله عنه؛ قَالَ: قَرَأْتُ عَلَى أَبِي عَمْرٍو عُثْمنُ بْنُ سَعِيْدٍ بْنِ عُثْمنَ المَغْرِبْي رضي الله عنه سَنَةَ إِحْدَى وَأَرْبَعِيْنَ وَأَرْبَعِمِائَةٍ فَقُلْتُ رَضِيَ اللهُ عَنَّا.
“Guru kami, seorang pakar fikih, Al-Magribiy Abu Dawud Sulaiman bin Najah ra., telah menceritakan kepada kami; “Aku telah membaca kepada Abu ‘Amr ‘Utsman bin Sa‘id bin ‘Utsman al-Magribiy ra. pada tahun 144 (hijriah). Semoga Allah meridai kita semua.”
Namun demikian, dalam catatan lanjutannya, Syirsyal menyebutkan bahwa ada dua rujukan utama lainnya yang mengindikasikan kedekatan Abu Dawud terhadap tradisi mushaf Madinah. Pertama, Kitab Hija’ al-Sunnah karya Al-Gaziy bin Qais yang meriwayatkan dari mushaf penduduk kota Madinah. Beberapa tempat dalam Al-Tabyin yang menyebutkan nama Al-Gazi atau karyanya adalah dalam catatan surah Ala‘raf [7] ayat 111, 136, dan 185; surah Annaml [27] ayat 20; dan surah Annahl [16] ayat 90 dan 92.
Al-Gaziy bin Qais sendiri dalam kitabnya meriwayatkan dari Nafi‘ bin Abu Nu‘aim al-Madiniy, salah seorang imam qira’ah sab‘ah dari kota Madinah. Hal ini juga lah yang menyebabkan Abu Dawud merujuk pada rasm salah satu mushaf kuno (al-mashahif al-‘atiqah) yang dikirim Khalifah ‘Utsman ke kota Madinah. Beberapa tempat dalam Al-Tabyin yang secara sharih menyebutkan mushaf Madinah adalah dalam catatan surah Al-A‘raf [7] ayat 123 dan surah Al-Baqarah [2] ayat 131.
Lebih dari itu, Syirsyal juga mengutip pernyataan Abu Dawud pada pengantar kitabnya, Al-Tabyin;
وَعَلَى مُصْحَفِ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ يَكُوْنُ تَعْوِيْلُنَا فِي الهِجَاءِ وَعَدَدِ الْآيِ وَالْخُمُسِ وَالْعُشُرِ.
“Dan atas mushaf penduduk kota Madinah lah pegangan kami (Abu Dawud) dalam masalah hija’ (rasm) berikut dengan penghitungan ayat, khumus, dan ‘usyur.”
Baca juga: Mengenal Imam Mazhab Rasm Bagian 2: Abu Dawud Sulaiman Najah
Mungkinkah Sebuah Upaya Rekonstruksi?
Memang jika ditanya mengenai data yang secara jelas menyebutkan klaim adanya rekonstruksi mushaf kuno Madinah ini penulis akan kesulitan menyebutnya. Mushaf edisi Mesir yang menjadi acuan penyusunan MM juga tidak secara spesifik menyebutkan afiliasi mazhab yang dianut. Hanya qira’ah-nya yang diketahui mengikuti versi imam ‘Ashim (w. 128 H.) dari riwayat Hafsh (w. 180 H.).
Begitu juga dengan mushaf kuno Madinah yang dianggap sebagai acuan rekonstruksi, saat ini tidak diketahui keberadaannya. Mushaf kuno yang ditemukan hari ini yang diklaim sebagai peninggalan era ‘Utsman (mushaf Tashkent Uzbekistan, Topkapi Istanbul, Sana’a Yaman, St. Petersburg, Central Library of Islamic Manuscript Kairo, serta London dan Paris), nyatanya juga masih diragukan.
Satu-satunya argumentasi untuk membenarkan klaim rekonstruksi ini adalah riwayat yang didapat dari Abu Dawud sendiri dalam karya-karyanya. Karena sekali lagi, dalam tradisi rasm, riwayat menjadi satu-satunya pegangan utama. Sehingga, dengan memilih Abu Dawud sebagai tarjih mazhab rasm, agaknya memang ada maksud merekonstruksi mushaf kuno Madinah.
Bukankah sangat menarik jika MM yang disebut sebagai “Mushaf Madinah” adalah benar-benar Mushaf Madinah di era khalifah ‘Utsman? Wallahu a‘lam bi al-shawab. []
Baca juga: Utsman Thaha: Penulis Mushaf Al-Qur’an yang Karyanya Dibaca Muslim Seantero Dunia