Surah Asy-Syams merupakan surah ke-91 dalam urutan mushaf Alquran. Surah ini terdiri dari 15 ayat dan tergolong ke dalam bagian surah-surah makkiyyah. Secara umum, ada dua topik yang terkandung di dalamnya. Pertama adalah hawa nafsu yang dibicarakan dalam sepuluh ayat pertama. Kedua adalah kisah pendustaan kaum Samud pada lima ayat sisanya.
Salah satu unsur yang menarik dari surah Asy-Syams adalah bahwa Allah Swt. menggunakan sumpah (qasam) yang berlapis dalam rangkaian penyebutan nafs (nafsu), yakni pada ayat pertama hingga ayat ketujuh, sebelum memberikan penjelasan yang menyeluruh.
وَالشَّمْسِ وَضُحاها. وَالْقَمَرِ إِذا تَلاها. وَالنَّهارِ إِذا جَلاّها. وَاللَّيْلِ إِذا يَغْشاها. وَالسَّماءِ وَما بَناها. وَالْأَرْضِ وَما طَحاها. وَنَفْسٍ وَما سَوّاها. فَأَلْهَمَها فُجُورَها وَتَقْواها. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكّاها. وَقَدْ خابَ مَنْ دَسّاها.
“Demi matahari dan sinarnya pada waktu duha. Demi bulan saat mengiringinya. Demi siang saat menampakkannya. Demi malam saat menutupinya. Demi langit serta pembuatannya. Demi bumi serta penghamparannya. Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya. lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams [91]: 1-10)
Baca juga: Keindahan Bahasa Alquran dan Kemunculan Metode Tafsir Sastrawi
Bagi sebagian kalangan, penggunaan qasam berlapis ini dapat dipahami sebagai pentingnya nafsu bagi kehidupan manusia (basyar). Hal ini sebagaimana jamak diketahui dari berbagai penjelasan ulama. Di antara maqalah yang sering kali dirujuk dalam masalah ini seperti,
رَجَعْنَا مِنَ الجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ
“Kita telah kembali dari jihad yang kecil (perang fisik) menuju jihad yang lebih besar (perang hawa nafsu)”
Di luar itu, ada penjelasan yang cukup menarik berkaitan dengan penggunaan qasam berlapis pada rangkaian penyebutan nafsu dalam surah Asy-Syams. Penjelasan tersebut seperti yang diberikan Wahbah al-Zuhailaiy dalam Al-Tafsir al-Munir-nya setelah melakukan analisis terhadap unsur balaghah yang digunakan dalam rangkaian qasam tersebut.
Al-Zuhailiy menyebutkan bahwa rangkaian qasam dalam surah Asy-Syams menggunakan pola tabaddul atau taghayyur (pergantian; perpindahan). Objek-objek yang digunakan di dalamnya saling berpasangan dan silih berganti bermunculan: matahari dan bulan dengan masing-masing pancaran sinarnya, serta siang dan malam berikut pergantiannya.
Baca juga: Balaghah Alquran: Keindahan Penggunaan Huruf Athaf Tsumma
Pola semacam ini, menurut Al-Zuhailiy, memiliki isyarat teologis yang menentang kepercayaan kaum musyrik yang mempertuhankan bintang-bintang serta kelompok lain yang percaya bahwa alam semesta dikendalikan oleh dua kekuatan (Tuhan) besar, cahaya dan kegelapan. Dengan pola tabaddul ini, Allah melalui surah Asy-Syams hendak menegasikan ketuhanan dan kekuatan objek tersebut karena ketidakkekalan yang mereka miliki.
Isyarat ini agaknya mirip dengan kisah spiritual Nabi Ibrahim yang tengah mencoba menanamkan akidah tauhid kepada kaumnya melalui pengamatan terhadap fenomena alam yang terjadi,
وَكَذلِكَ نُرِي إِبْراهِيمَ مَلَكُوتَ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ. فَلَمّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأى كَوْكَباً قالَ هذا رَبِّي فَلَمّا أَفَلَ قالَ لا أُحِبُّ الْآفِلِينَ. فَلَمّا رَأَى الْقَمَرَ بازِغاً قالَ هذا رَبِّي فَلَمّا أَفَلَ قالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضّالِّينَ. فَلَمّا رَأَى الشَّمْسَ بازِغَةً قالَ هذا رَبِّي هذا أَكْبَرُ فَلَمّا أَفَلَتْ قالَ يا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمّا تُشْرِكُونَ. إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّماواتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفاً وَما أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ .
“Demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Kemudian, ketiak dia melihat bulan terbit dia berkata (kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku.” Akan tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk kaum yang sesat.” Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” Akan tetapi, ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (Q.S. Al-An‘am [6]: 75-79)
Baca juga: Meninjau Keindahan Alquran dengan Studi Fonologi
Keterbenaman objek-objek yang disebutkan dalam kisah Nabi Ibrahim; bintang, bulan, dan matahari, merupakan maksud dari isyarat pola tabaddul yang digunakan dalam surah Asy-Syams. Keterbenaman (afl-ufuul-afuul) merupakan bagian dari ketidakkekalan, yang karenanya meniscayakan Zat Maha Tidak Terbenam yang kekal di balik seluruh fenomena terbenam tersebut, Zat yang dikatakan Nabi Ibrahim sebagai Yang menciptakan langit dan bumi. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []