BerandaTafsir TematikSolusi Alquran Atasi Quarter Life Crisis

Solusi Alquran Atasi Quarter Life Crisis

Salah satu masalah yang dihadapi oleh generasi milenial dan Gen-Z adalah persoalan kesehatan mental. Satu dari banyak masalah kesehatan mental tersebut adalah Quarter Life Crisis (QLC) atau krisis seperempat abad kehidupan. Menurut artikel yang dirilis oleh Bradley University, QLC adalah suatu fase ketidakpastian dalam diri seseorang yang menyebabkan uninspired (tidak bersemangat) dan disillusioned (perasaan kecewa).

Orang dengan QLC terjebak pada pekerjaan, merasa teman-teman sebaya lebih maju dari diri sendiri, serta ketidakmampuan mempertahankan hubungan kepada pasangan, orang lain, dan kelompok sosial. Orang dengan gejala ini biasanya berada pada rentang usia 20 hingga 30 tahun.

Fakta-fakta di atas berkorelasi dengan apa yang terjadi di Indonesia. Data hasil survei populix tentang kesehatan mental tahun 2022, menunjukkan 1 dari 2 masyarakat Indonesia merasa memiliki persoalan kesehatan mental. Persentasenya sebanyak 52 persen, kebanyakan dari mereka berumur 18 sampai 24 tahun.

Gejala yang mereka rasakan adalah perubahan suasana (26 %), perubahan kualitas tidur dan nafsu makan (19 %), ketakutan berlebihan atau cemas (18 %), kelelahan parah (10 %), hingga merasa bingung, pelupa, dan pemarah (8 %). Berdasarkan realitas faktual tersebut, bagaimana Alquran melihat QLC, serta apa solusi yang ditawarkan oleh Alquran?

Quarter Life Crisis dan Solusi Alquran

Penelitian Ratu Bilqis Assyifa berjudul “Analysis of the Design Concept for Handling Quarter Life Crisis with the Qur’ani Approach” (vol. 2, h. 467-469) menyimpulkan bahwa penyebab utama dari QLC adalah: krisis diri, krisis hikmah, dan krisis keteladanan. Secara umum, orang dengan gangguan QLC memiliki kekhawatiran akan masa depan dan apa yang akan terjadi dalam kehidupannya, tentang pekerjaan, hubungan, dan keputusan jangka panjang yang akan diambilnya.

Dilihat dari sudut pandang psikologi Islam, krisis yang secara internal dialami oleh seseorang, sesungguhnya, disebabkan oleh menurunnya keyakinan kepada Tuhan. Muhammad ‘Utsman al-Najati, dalam al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs (h. 78), menggambarkan situasi ketakutan dan kekhawatiran sebagaimana yang pernah terjadi pada masa pra-Islam, menurutnya, bangsa Arab biasa membunuh anak-anak mereka lantaran takut miskin. Kebiasaan itu kemudian, setelah datangnya Islam, dilarang, Alquran menarasikannya pada Q.S. Al-Isra‘[17]: 31:

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا

Janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan (juga) kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka itu adalah suatu dosa yang besar.

Baca juga: Baca Ayat Ini untuk Menghilangkan Rasa Takut dan Menjaga Kesehatan Mental

Fakta historis di atas, menunjukkan bahwa krisis yang menimpa diri seseorang dipengaruhi oleh melemahnya kadar keimanan, yang implikasi lanjutannya, adalah kekhawatiran dan kecemasan, seperti terjadi pada orang dengan gangguan kesehatan mental QLC. Oleh karena itu, maka, hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi segala kekhawatiran adalah dengan mengendalikan berbagai perasaan negatif, tentang kemiskinan sebagai salah satu contoh, melalui peningkatan keyakinan kepada Tuhan, dengan memahami sifat Tuhan Yang Maha Pemberi rezeki, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Dzariyat [51]: 57:

اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ

“Sesungguhnya Allahlah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh.”

Persoalan kedua pada orang yang mengalami QLC adalah krisis hikmah atau kegagalan memahami hikmah pada sesuatu yang terjadi. Padahal, itu merupakan hal penting bagi seseorang dalam menghadapi berbagai pergulatan pikiran dan emosi yang terdapat dalam diri.

Kata hikmah sendiri, di dalam Bahasa Inggris disebut dengan wisdom, menurut Cambridge Dictionary, wisdom (hikmah) adalah: “the ability to use your knowledge and experience to make good decisions and judgments.” (kemampuan untuk menggunakan pengetahuan dan pengalaman untuk membuat keputusan dan penilaian yang baik.” Di dalam Alquran kata hikmah terdapat pada Q.S. Al-Baqarah[2]: 269:

يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Dia (Allah) menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dianugerahi hikmah, sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (darinya), kecuali ulul albab.”

Baca juga: Body Shaming, Repetisi Histori al-Hujurat Ayat 11 Sebagai Budaya Jahiliyah Modern

Senada dengan makna kamus di atas, berkaitan dengan ayat tersebut, kata hikmah menurut Syaikh Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi dalam tafsirnya, Khawathiru Muhammad Mutawalli al-Sya’rawi (juz 2, h. 163-164), hikmah adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, serta memberikan manfaat.

Menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jilani (Tafsir al-Jilani juz 1, h. 244), yang dapat mencapai hikmah dalam kategori Alquran adalah Ulu al-Albab, yaitu orang yang sampai pada inti permasalahan, yang hatinya condong kepada Allah dengan ketetapan hati yang benar serta menjauhi perbuatan yang menjurus pada kejahatan.

Dengan demikian, cara untuk mereduksi, bahkan, menghilangkan tekanan yang diakibatkan oleh QLC adalah dengan berusaha mengambil hikmah dalam setiap hal dan peristiwa. Hal itu, hanya dapat dilakukan oleh orang yang mendayagunakan akal dan hatinya, rasionalitas, dan spiritualitasnya.

Yang terakhir, sebab QLC adalah krisis keteladanan. Orang yang mengalami QLC tidak memperoleh pembelajaran dari generasi yang berada di atas mereka. Di tengah arus informasi media yang hampir tidak terbatas, membuat sebagian orang berada dalam kegamangan dan kebingungan tentang mana yang baik dan benar. Selain, tentu saja, informasi yang seringkali mengganggu emosi. Sedangkan pada saat yang sama, tidak terdapat kontrol yang diberikan oleh orang-orang terdekat. Sehingga, mereka merasa sendiri, tidak terdampingi dan terbimbing dengan baik untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi.

Baca juga: Mushaf Nusantara: Jejak, Ragam dan Para Penjaganya, Karya Intelektual Generasi Milenial

Dalam situasi semacam itu, seseorang yang mengalami QLC hendaknya mempelajari nilai dan ajaran yang ditunjukkan oleh orang-orang berilmu, saleh, para guru, ulama, dan orang-orang yang terhubung dengan Rasulullah dalam hal pengetahuan dan akhlak. Mereka yang dapat memberikan pencerahan, kearifan, dan kebijaksanaan dalam melihat dan menghadapi kehidupan.

Setinggi-tingginya keteladanan, yang perlu untuk diikuti adalah Rasulullah, yang citra hidupnya ideal dan berada di bawah bimbingan Allah. Al-Gharnathi dalam tafsirnya, al-Tashil Li ‘Ulum al-Tanzil (juz 2, h. 149), menekankan kepengikutan manusia kepada Rasul dengan keyakinan dan kesabaran, berusaha memperoleh manfaat dari segala keutamaan yang dimilikinya, seperti tergambar dalam Q.S. Al-Ahzab [33]: 21:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah.”

Memenangkan Pergulatan Emosi 

Dalam tinjauan psikologi, menurut Muhammad ‘Utsman Najati dalam al-Qur’an wa ‘Ilm al-Nafs (h. 64-65), pada diri manusia memang terdapat sifat-sifat hewan yang tampak dari kebutuhan-kebutuhan fisik, yang dalam batas tertentu, mesti dipenuhi untuk kelangsungan hidup.

Di sisi yang berlainan, manusia juga memiliki sifat-sifat malaikat yang tergambar dari kerinduan yang bersifat spiritual untuk mengenal, beriman, dan beribadah kepada Allah. Atas dua sifat itu, ada kalanya manusia mengalami pergulatan dalam dirinya, untuk tertarik pada pemenuhan syahwatnya, dan terkadang pula manusia tertarik untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.

Baca juga: Meneladani Semangat Pemuda Ashabul Kahfi dalam Alquran

Dalam upaya menghilangkan berbagai kegelisahan dalam diri, termasuk Quarter Life Crisis, manusia perlu memenangkan dorongan-dorongan dan motif-motif positif seperti cinta kepada Allah dan rasul-Nya, cinta kepada diri sendiri, cinta kepada sesama makhluk, dan lain sebagainya. Di sisi yang berlawanan, menghindari sifat-sifat buruk seperti kekhawatiran, kecemasan, kegelisahan berlebihan yang disebabkan oleh kurangnya keyakinan terhadap Tuhan dan segala kemahakuasaan-Nya. Wa allahu a’lam.

Muhammad Julkarnain
Muhammad Julkarnain
Pedagang; peminat kajian Alquran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...