Jalaluddin Rumi telah mewariskan sumbangan yang sangat besar bagi peradaban manusia dengan pemikirannya melalui syair-syair. Banyak ilmuan dan sarjana yang mencoba menggali pemikirannya dari berbagai sudut pandang keilmuan masing-masing, terutama dari sisi kemanusiaan.
Menurut Rumi, manusia pada hakikatnya bukan hanya sebagai diri yang bebas berkehendak (will to power) untuk menentukan keberlangsungan hidupnya melalui pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis, tetapi juga sebagai cerminan Tuhan yang senantiasa diliputi oleh nilai-nilai Ilahiyah.
Baca Juga: Hakikat Perbuatan Baik terhadap Sesama Menurut Jalaluddin Rumi
Rumi dalam syairnya mengatakan
“Wahai engkau yang menjadi lembaran Tuhan,
dan wahai engkau yang menjadi cerminan keindahan Tuhan.”
(Diwan Syams Tabrizi, 1759)
Melalui baitnya di atas, Rumi sedang memberi isyarat bahwa manusia adalah manifestasi Tuhan yang paling sempurna. Hal ini sebagaimana dalam Q.S. Al-Hijr ayat 28, manusia adalah satu-satunya makhluk yang mendapatkan ruh Ilahi. Jiwa Ilahiyah ini kemudian menyatu dengan jasad dan membentuk kesatuan manusia yang dinyatakan oleh Allah dalam bentuk sebaik-baiknya ciptaan.
Kedua unsur ini (jasad dan jiwa) sama-sama pentingnya, namun secara spesifik Rumi menekankan hakikat manusia yang sebenarnya terletak pada aspek jiwanya. Rumi dalam hal ini mengutip Alquran yang menyatakan bahwa nilai kemanusiaan manusia ditentukan oleh jiwanya.
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (8) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (9) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (10)
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. as-Syams [91]: 8-10)
Baca Juga: Jalaluddin Rumi: Seni Mengatasi Patah Hati
Manusia adalah makhluk yang dianugerahi Allah dengan tabiat, potensi, dan kecenderungan ganda. Meskipun ia merupakan makhluk yang sempurna, yang ditiupkan ruh Allah ke dalamnya, tetapi manusia memiliki potensi yang sama kuat untuk melakukan tindakan positif atau negatif, mengikuti petunjuk atau kesesatan. (Tafsir as-Sya’rawi, 15/317)
Dalam puisinya, Rumi juga menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat kekuatan yang kontradiksi, yaitu kecenderungan untuk berbuat jahat dan juga ada kecenderungan untuk bersikap baik.
“Terkadang manusia menyerupai sifat serigala,
di lain waktu manusia menjelma keindahan Yusuf”
(Matsnawi, bait 1420)
Annemarie Schimmel mengatakan bahwa menurut Jalaluddin Rumi, kedua potensi tersebut merupakan amanah dan tanggung jawab terhadap kebebasan individu untuk memilih tindakannya, karena ia telah dianugrahkan dengan kemampuan membedakan jalan mana yang benar dan salah. Adapun mereka yang mengabaikan anugrah berharga yang menjadi tanggung jawabnya, diibaratkan sebagai “cawan emas yang tersimpan di dalam kantung yang dipenuhi jerami”, dirinya tidak akan mendapatkan keuntungan. (I am Wind You are Fire, h. 92)
Sebab notabene-nya manusia memiliki potensi kemuliaan lebih daripada malaikat atau lebih buruk daripada binatang dan setan. Di samping itu amanah kedua potensi yang ada dalam diri dapat mengangkat derajat kemanusiaan manusia. Yaitu pada saat individu memiliki kesempatan untuk melakukan perbuatan fasik, tapi dia malah melakukan kebaikan, tentu saja kondisi ini, ia adalah makhluk yang mulia. Pilihan baik ini merupakan cerminan dari ruh yang ditiupkan Allah pada diri manusia. Kebaikan yang dilakukan manusia merupakan kemuliaan dibandingkan seluruh makhluk di alam ini termasuk malaikat.
Baca Juga: Tafsir Kemanusiaan Syekh Abdul Latif Syakur
Di samping potensi yang terdapat di dalam diri setiap individu, maka pada ayat 9-10 surah as-Syams juga diterangkan konsekuensi dari setiap tindakan. Berdasarkan ayat yang termaktub diatas, Allah mengilhami bahwa jalan kefasikan akan membawa pada kerusakan, sedangkan jalan ketakwaan akan mangantarkan pada hal-hal yang baik.
Sebagaimana pula diterangkan Wahbah al-Zuhaili, orang yang menyucikan, mendidik, dan meningkatkan dirinya dengan ketaatan dan amal kebaikan, maka dia beruntung. Sebaliknya, merugi bagi orang yang membiarkan dirinya mengikuti potensi negatif. (Tafsir al-Munir, 15/549) Tujuan dari disebutkannya konsekuensi ini untuk menegaskan bahwa setiap tindakan tidak lepas dari konsekuensinya. Di sisi lain, agar benih-benih kebaikan dapat tumbuh subur di bumi ini.
Maka dari itu, dengan jiwa yang di dalamnya ditiupkan unsur-unsur Ilahiyah hendaknya seseorang meniru sifat keindahan dengan memaksimalkan potensi untuk berbuat kebaikan. Di antaranya dengan memanusiakan manusia, mencurahkan kasih sayang kepada sesama, baik dengan bantuan materi maupun nonmateri kepada yang membutuhkan. Dan inilah pokok dari ajaran thariqah yang dirintis oleh Jalaluddin Rumi.[]