BerandaTafsir Al QuranAnatomi Singkat Tafsir bi al-Imla’

Anatomi Singkat Tafsir bi al-Imla’

Tafsir bi al-Imla’ sebagai karya yang ditulis dari pengajian Kiai Zaini cenderung menggunakan gaya bahasa lisan. Tafsir ini kemudian dalam beberapa penelitian acapkali disamakan dengan tafsir yang muncul pada era yang sama pada saat itu. A. Rafiq dalam penelitiannya mengatakan bahwa penulis banyak mengadopsi penafsiran Musthafa al-Maraghi dalam Tafsir al-Marāghī yang muncul sekitar tahun 1950 M. (Baca: Tafsir Surah al-Fatihah…)

Namun bagi saya, pengadopsian atau kutip mengutip antar pendapat ulama sejak dahulu sudah biasa, seperti halnya al-Itqān fi Ulūm Alquran, kitab Ilmu Alquran yang ditulis oleh Jalal al-Dīn al-Suyuthi. Pembahasan dalam kitab ini banyak mengutip pendahulunya, yakni al-Burhān fī Ulūm Alquran karya al-Zarkashi. Banyak penjelasan dalam al-Itqān tersebut juga diadopsi oleh Sayyid Muhammad bin ‘Alawī al-Mālikī dalam karyanya Zubdah al-Itqān yang kemudian dirangkum ulang menjadi Qawā’id al-Asāsiyyah fī Ulūm Alquran.

Sulit jika autentisitas tafsiran Kiai Zaini harus dipertanyakan, sebab sebagaimana sudah saya sampaikan bahwa saat hendak menyampaikan materi di Masjid, ia tidak membawa kitab apapun, atau hanya sekedar membawa buku catatan kecil. Ini cukup menandakan bahwa beberapa pemahaman berupa tafsir yang dibawa oleh Kiai Zaini murni dari hasil bacaannya, baik terhadap teks Alquran atau tafsir sebelumnya sekaligus mengangkat kritik-konstruktif serta memunculkan gagasan baru yang dibutuhkan.

Satu hal masuk akal, yang cukup untuk menolak bahwa Tafsir bi al-Imla’ tidak autentik atau plagiasi terhadap tafsir al-Marāghī, yakni beberapa karakteristik tafsir yang dibawakan oleh Kiai Zaini lebih mengarah pada ranah sosial-kemasyarakatan saat itu, membuktikan bahwa produk Tafsir bi al-Imla’ adalah hasil dari dialog antara Kiai Zaini, kalam Ilahi yang sakral, dan konteks kemasyarakatan yang profan saat itu.

Belum lagi, Kiai Zaini yang pada saat itu merupakan ketua syuriah NU Cabang Kraksaan. Banyak teologi Ash’ariyah terungkap dalam tafsirnya. Ia terkadang menyebutkan term al-Nahdliyah yang mengarah-pahamkan pada ideologi Nahdlatul Ulama’ (NU). Hal ini menandakan bahwa autentisitas tafsir tersebut nyata dari Kiai Zaini yang secara letak kemunculan NU berada di Indonesia, berbeda dengan Tafsir al-Marāghī yang bisa disimpulkan kemunculannya di daerah Mesir.

Metodologi Tafsir bi al-Imla’ hampir mirip dengan tafsir seumuran yang muncul pada tahun 1970-an, atau sebagaimana yang diungkap oleh A. Rafiq bahwa sistematika penulisan ini hampir mirip dengan Tafsir al-Marāghī, yakni dengan sistematika tartīb muhafī. (Tafsir Surah al-Fatihah, iv)

Model Tartīb Muhafi yang digunakan oleh Kiai Zaini dimulai dari Surah Alfātiḥah kemudian dilanjut dengan Surah Albaqarah. Hanya saja, yang disayangkan pada surat ini ialah penafsiran hanya sampai pada ayat 178.

Pada tanggal 26 Juli 1976 beliau wafat di usia tujuh puluh tahun, Hal ini kemudian menjadi faktor utama penulisan tafsir tersebut harus berhenti.

Selain itu, Tafsir bi al-Imla’ juga menggunakan metode talilī, yakni menguraikan ayat dari segi arti kosa kata perlafaz, asbāb al-Nuzūl, munāsabah, konotasi kalimat, pendapat-pendapat yang berkenaan dengan tafsiran ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, Sahabat, Tabi’in, maupun pendapat ahli tafsir lainnya. Kiai Zaini juga terkadang mengutip hadi yang berkualitas asan dan aif. Pemakaian hadis daif didasarkan pada pendapat sebagian ulama NU bahwa dalam persoalan faāil al-A’māl diperbolehkan menggunakan hadi aif.

Corak penafsiran yang dibawa oleh Kiai Zaini banyak mengarah pada ranah lughawī dan sosial-kemasyarakatan (adābī al-Ijtimā’i). Hal ini terlihat jelas saat Kiai Zaini sering menjelaskan masalah yang sedang berlangsung di masyarakat dalam tafsirnya. Sedangkan, aspek sumber penafsiran terbagi menjadi dua, yakni bi al-ma’ur dan bi al-ra’yī. Kiai Zaini menggabungkan dua hal tersebut dengan menjelaskan ayat menggunakan riwayat, baik yang bersumber dari nabi, sahabat, tabi’in, maupun riwayat isrāiliyyat.

Sebagai contoh, pada bagian asbāb al-nuzūl, Kiai Zaini melacaknya dengan riwayat hadi. Setelah itu, Kiai Zaini mengkorelasikan penafsiran dengan konteks sosial yang terjadi pada saat itu. Dengan demikian, kendatipun Kiai Zaini berpegang teguh para riwayat hadis dan pendapat para sahabat, ia tetap menjadikan Alquran relevan dan responsif terhadap masyarakat.

Kiai Zaini membawa Alquran ke ranah kontekstual, yakni menjadikan Alquran dikenal dan relevan dengan tuntutan zaman; bergumul dengan masyarakat dan mampu diaplikasikan dalam konteks kekinian. Pada penghujung tafsiran ayat, setelah ia menjelaskan panjang lebar tentang ayat, Kiai Zaini menyimpulkan apa yang sudah ia jelaskan dari awal dalam bagian al-īā (penjelasan).

Hemat saya, Kiai Zaini sebagai sosok intelektual, politisi, dan sebagai pendiri pertama salah satu pesantren di Probolinggo memiliki kecenderungan pada ideologi Ash’ariya. Kiai Zaini mampu menyampaikan hasil dialognya antara teks Alquran yang sacral dan tafsiran ulama sebelumnya dengan konteks masyarakat. Ini yang mengarahkan pada kesimpulan bahwa tafsir Kiai Zaini kental dengan corak adābī al-ijtimā’i (sosial kemasyarakatan) serta lughawī. Wallahu a’lam[]

Umarul Faruq
Umarul Faruq
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...