Zainal Arifin memberikan analogi terhadap hubungan Abu ‘Amr al-Daniy (w. 444 H.) dan Abu Dawud Sulaiman (w. 496 H.) layaknya Al-Bukhari (w. 256 H./835 M.) dan Muslim (w. 261 H./840 M.) dalam bidang hadis serta Al-Rafi‘iy (w. 623 H.) dan Al-Nawawiy (w. 676 H.) dalam bidang fikih. Kesemuanya menyandang predikat sebagai syaikhani atau dua ulama yang dianggap paling otoritatif dalam bidangnya.
Pada bagian yang lalu, penulis telah mengulas imam mazhab rasm yang pertama, Abu ‘Amr al-Daniy (selengkapnya baca: Mengenal Imam Mazhab Rasm Bagian 1: Abu ‘Amr al-Daniy). Oleh karenanya, pada bagian kali ini akan diulas imam mazhab rasm yang kedua, Abu Dawud Sulaiman Najah.
Ulasan ini penulis sarikan dari catatan tahqiq Ahmad bin Ahmad bin Mu‘ammar Syirsyal atas Mukhtashar al-Tabyin, Syams al-Din Muhammad al-Jazariy dalam Gayah al-Nihayah fi Thabaqat al-Qurra’, Ganim Qadduriy al-Hamd dalam Rasm al-Mushhaf: Dirasah Lugawiyyah Tarikhiyyah, dan Zainal Arifin dalam Perbedaan Rasm Usmani.
Kilas Biografi Abu Dawud Sulaiman
Abu Dawud Sulaiman memiliki nama lengkap Abu Dawud Sulaiman bin Abu al-Qasim Najah (selanjutnya disebut Abu Dawud). Beliau lahir pada tahun 413 H. di Valensia (Balansiyyah) dan wafat pada hari Rabu, 16 Ramadlan 496 H. di kota yang sama. Beliau mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga amir al-mu’minin kala itu, Al-Mu’ayyid billah Hisyam bin Al-Hakam. Sehingga, Abu Dawud terkadang disebut dengan Abu Dawud al-Mu’ayyidiy.
Abu Dawud lahir dan tumbuh dalam lingkungan kota Valencia yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, khususnya Alquran. Sejak pemerintahan dikuasai oleh Mujahid al-‘Amiriy (401-405 H.), ilmu pengetahuan mengalami kemajuan di sana. Hal ini dikarenakan Mujahid sendiri adalah sosok yang mencintai ilmu pengetahuan. Ia memuliakan ulama, memberikan pendanaan, dan mengumpulkan kitab-kitab. Saat itu berkumpullah ulama masyhur di sana seperti Abu ‘Amr al-Daniy, Ibn ‘Abd al-Barr, Ibn Ma‘mar al-Lugawiy, dan Ibn Sidah.
Di antara guru-guru Abu Dawud yang terpenting adalah Abu ‘Amr al-Daniy (w. 444 H./1052 M.), salah satu imam mazhab rasm yang darinya beliau mengambil riwayat hija’; Ahmad bin al-Hasan bin ‘Utsman al-Gassaniy (w. 440 H.) yang darinya beliau meriwayatkan kitab Masa‘il; Ahmad bin ‘Umar bin Anas (w. 478 H.) darinya beliau mengambil riwayat hadis; dan Isyraq al-Suwaida’ yang kepadanya beliau belajar sastra dan bahasa.
Dikisahkan bahwa Abu Dawud memiliki perpustakaan pribadi yang penuh dengan karya-karya tulisannya. Karya-karya tersebut ada kalanya berupa salinan naskah kitab terdahulu, catatan komentar (ta‘liq), atau benar-benar karangan baru (ta’lif dan tashnif). Perpustakaan tersebut kemudian diwariskan kepada muridnya, Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad al-Balansiy (564 H.). Di antara karya-karyanya adalah kitab al-Tabyin li Hija’ al-Tanzil, Kitab Ushul al-Dlabth, Al-Bayan al-Jami‘ li ‘Ulum Alquran, dan Kitab al-Jami‘ fi al-Dlabth li al-Qurra’ al-Sab‘ah.
Baca juga: Tiga Imam Qira’ah yang Concern Pada Kajian Rasm
Sekilas tentang Kitab Al-Tabyin li Hija’ al-Tanzil
Nama asli yang disebutkan Abu Dawud terhadap karya ini adalah Al-Tabyin li Hija’ Mushhaf Amir al-Mu’minin ‘Utsman bin ‘Affan yang dalam kesempatan lain juga beliau sebut dengan Kitab al-Tabyin li ‘Ilm al-Tanzil. Namun demikian, kitab-kitab syarahnya sering kali menggunakan redaksi Al-Kitab al-Kabir atau Al-Tanzil al-Kabir.
Karya ini boleh jadi merupakan karya ensiklopedia di bidang Alquran. Sebab, dalam karya ini dijelaskan tata cara penulisan (hija’) yang bersumber dari mushaf-mushaf saat itu (mashahif al-amshar), ragam bacaan Alquran (qira’ah), tafsir, syarah, hukum-hukum, masalah taqdim–ta’khir, waqf–ibtida’, nasikh-mansukh, dan ilmu-ilmu Alquran lainnya. Hal ini menjadikan karya ini cukup besar dan tebal hingga mencapai enam jilid.
Karya ini ditulis oleh Abu Dawud dalam rangka memberikan penjelasan terhadap penulisan yang benar karena munculnya inovasi-inovasi tanda baca Alquran yang tidak dikenal di kalangan Andalusia sebelumnya, seperti tanda syiddah dan tanwin.
Menurut informasi yang diberikan oleh Syirsyal yang dikutip oleh Zainal Arifin, kaidah hija’ atau rasm dalam karyanya disusun dengan merujuk pada tiga sumber, yakni mushaf-mushaf yang ada saat itu (mashahif al-amshar), riwayat, dan karya-karya sejenis di bidang rasm. Beberapa literatur yang menjadi acuannya adalah karya-karya ‘Ashim al-Jahdariy (w. 128 H./746 M.), Yahya bin Harits al-Dzimmariy (w. 145 H./762 M.), Abu ‘Ubaid al-Qasim (w. 224 H./839 M.), dan Abu ‘Amr al-Daniy (w. 444 H./1052 M.).
Ukurannya yang terlalu besar agaknya menyebabkan akses terhadap karya ini menjadi sangat minim, sebagaimana disebutkan Al-Khathib Abu ‘Abdillah Muhammad bin al-Qasim. Namun demikian, Syirsyal menemukan bahwa adanya hubungan intertekstualitas antara karya Abu Dawud ini dengan karya rasm lain seperti milik Abu Bakr al-Labib dalam syarahnya atas Al-‘Aqilah. Hal ini menunjukkan adanya perbincangan dan kajian para ulama terhadap karya Al-Tanzil ini.
Meski begitu, permintaan atas karya yang lebih ringkas memaksa Abu Dawud untuk mengikhtisar karya monumentalnya menjadi sebuah mukhtashar, yang secara khusus berisi kaidah penulisan rasm Alquran. Meski beliau tidak memberikan nama karyanya ini secara khusus, karya ikhtisar ini dikenal kemudian oleh para pengkaji dengan nama Mukhtashar al-Tabyin li Hija’ al-Tanzil.
Berbeda dengan Al-Muqni‘ karya Al-Daniy, ringkasan milik Abu Dawud menggunakan metode tahliliy. Yakni metode yang kaidah rasm-nya diulas berdasarkan urutan ayat dalam Alquran (tartib mushhafiy). Sesekali, kata yang memiliki kaidah serumpun dibahas secara langsung di satu tempat. Selain itu, kata yang sama di tempat yang berbeda terkadang tidak diberikan pengulangan dan pembaca diminta merujuk pada tempat pembahasan sebelumnya.
Metode tahliliy yang digunakan Abu Dawud memiliki beberapa kelebihan, seperti sajiannya yang urut sesuai ayat Alquran, sehingga memudahkan rujukan terhadap kata dalam ayat tertentu. Namun, juga tidak menutup kemungkinan adanya kelemahan dalam aspek yang lain, seperti ketiadaan klasifikasi atas kaidah rasm yang digunakan. Hal yang sama juga berlaku pada karya Al-Daniy yang lalu, Al-Muqni‘. Meski demikian, keduanya adalah acuan kaidah dalam penulisan rasm Alquran. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []
Baca juga: Menjawab Kritik Ignaz Goldziher atas Relasi Qira’ah dan Rasm