Beranda blog Halaman 14

Perbedaan Lafaz Syukur dan Hamd: Rahasia di Balik Kalimat Alhamdulillah

0

Ketika seseorang mendapatkan kabar baik, menemukan sesuatu yang hilang, atau mendapatkan nikmat berupa sehat, rezeki dan semacamnnya, ia akan spontan mengucap alhamdulillah. Ungkapan ini begitu lekat dalam kehidupan sehari-hari, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah Swt atas nikmat yang diterima secara pribadi. Tetapi, tanpa pernah disadari bahwa ternyata ketika seseorang mengucap alhamdulillah bukan hanya bentuk syukur atas nikmat yang didapatkannya, melainkan juga bentuk syukur atas nikmat orang lain.

Baca Juga: Doa Nabi Sulaiman as. Agar Senantiasa Bersyukur 

Pengertian Syukur

Syukur merupakan ungkapan pujian kepada Dzat yang telah memberikan nikmat sebagai bentuk pengakuan atas segala kebaikan-Nya. Dalam ajaran Islam, syukur mencakup tiga dimensi, yakni hati, lisan, dan perbuatan. Bersyukur dengan hati berarti meniatkan segala nikmat untuk kebaikan sesama. Bersyukur dengan lisan diwujudkan dengan memuji Allah dan mengucapkan hamdalah. Sedangkan bersyukur dengan perbuatan berarti menggunakan nikmat tersebut untuk hal yang baik dan bermanfaat. (Ubaid, Sabar dan Syukur, 2012, hlm. 171)

Syukur dengan lisan merupakan hal yang paling mudah dilakukan, dimana seseorang bersyukur dengan mengucap alhamdulillah. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat dan sangat mudah dilakukan jika yang mendapatkan nikmat adalah diri sendiri. Namun, bagaimana jika yang mendapatkan nikmat adalah orang lain, apakah akan sama mudahnya dengan bersyukur atas nikmat yang didapatkan diri sendiri?

Dalam hal ini, yang patut dipertanyakan juga adalah mengapa yang digunakan sebagai bentuk bersyukur adalah kalimat alhamdulillah, mengapa menggunakan lafaz al-hamdu, bukan lafaz al-syukru saja, padahal tujuannya sama-sama untuk bersyukur?

Baca Juga: Puasa sebagai Cerminan Rasa Syukur

Perbedaan al-Hamdu dan al-Syukru

Dalam Tafsir Mafatihul Ghaib karya Imam ar-Razi dijelaskan mengenai perbedaan antara kedua lafaz tersebut pada penafsiran Q.S Al-Fatihah ayat kedua, sebagai berikut:

وأَما الفَرْقُ بَيْنَ الحَمْدِ وَبَيْنَ الشُّكْرِ فَهُو أَنَّ الحَمْدَ يَعُمُ ما إذا وصَلَ ذَلِكَ الإِنْعَامُ إِلَيْكَ أَوْ إِلَى غَيْرِكَ، وَأَمَّا الشُّكْرُ فهو مُخْتَصُّ بِالإِنْعَامِ الواصِلِ إِلَيْكَ.

Adapun perbedaan antara hamd (pujian) dan syukur (rasa syukur) adalah bahwa hamd mencakup pujian atas nikmat, baik yang diterima oleh diri sendiri maupun oleh orang lain. Sedangkan syukur hanya khusus untuk nikmat yang langsung diterima oleh diri sendiri. (ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, jilid 1, hlm. 223)

Dari uraian di atas, terlihat bahwa Imam ar-Razi memberikan penjelasan mengenai penafsiran Q.S Al-Fatihah dengan menyertakan perbedaan antara lafaz hamd, dan syukur. Imam ar-Razi menyebutkan bahwasanya keduanya memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Menurutnya, lafaz al-hamdu memiliki makna pujian atas nikmat yang didapatkan sendiri maupun yang didapatkan oleh orang lain, sedangkan lafaz al-syukru merupakan pujian yang dikhususkan pada nikmat yang didapatkan oleh diri sendiri saja.

Itulah mengapa kalimat alhamdulillah menggunakan lafaz al-hamdu bukan lafaz al-syukru, karena lafaz al-hamdu memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan lafaz al-syukru. Oleh karena itu, kalimat alhamdulillah digunakan sebagai bentuk syukur secara lisan, dimana ketika seseorang mengucapkannya atas nikmat yang didapatkan secara pribadi, maka secara tidak langsung ia juga telah bersyukur atas nikmat yang didapatkan oleh orang lain.

Baca Juga: Nabi Nuh dan Gelar ‘Hamba yang Bersyukur’

Penutup

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saat seseorang mengucapkan alhamdulillah ia tidak hanya bersyukur atas nikmat yang diterimanya sendiri, tetapi juga mengakui dan memuji segala nikmat yang Allah Swt limpahkan kepada seluruh makhluk-Nya. Ungkapan ini juga mencerminkan kesadaran bahwa setiap anugerah yang diberikan-Nya, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain, adalah bagian dari kemuliaan dan kebesaran-Nya yang patut untuk disyukuri.

Wallahu A’lam.

Penafsiran Oemar Bakry tentang Makhluk Hidup di Luar Angkasa

0
Penafsiran Oemar Bakry tentang Makhluk Hidup di Luar Angkasa
Ilustrasi kehidupan luar angkasa.

Apakah Alquran memberikan petunjuk tentang keberadaan makhluk hidup di luar angkasa? Pertanyaan ini mungkin terdengar seperti bagian dari fiksi ilmiah, tetapi seorang mufasir Nusantara, Oemar Bakry, dalam Tafsir Rahmat justru meyakini bahwa Alquran telah memberikan isyarat mengenai hal ini.

Dalam banyak tafsir, kata al-samāwāt dalam Alquran umumnya diartikan sebagai “langit” dalam arti atmosfer atau lapisan langit yang terlihat oleh manusia. Namun, Oemar Bakry memiliki pendekatan yang berbeda. Ia secara konsisten menafsirkan kata al-samāwāt sebagai “luar angkasa”, bukan sekadar langit yang dapat dilihat dengan mata telanjang.

Melalui tafsirnya terhadap Q.S. Al-Nahl: 49 dan Q.S. Al-Hajj: 18, Oemar Bakry menegaskan bahwa Alquran memang telah memberikan petunjuk tentang adanya makhluk hidup di luar bumi. Bagaimana pemikirannya ini berkembang? Mari telusuri lebih jauh.

Q.S. Al-Nahl: 49: Isyarat Makhluk Hidup yang Melata

وَلِلَّهِ يَسْجُدُ مَا فِي السَّمٰوٰتِ وَمَا فِي الْاَرْضِ مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّالْمَلٰۤئِكَةُ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ

Dan sujud kepada Allah semua yang melata di bumi dan di luar angkasa, begitu juga para malaikat, dan mereka tidak sombong (Q.S. Al-Nahl: 49).

Meskipun Tafsir Rahmat tergolong dalam kitab tafsir yang singkat dan cenderung seperti hanya menerjemahkan ayat Alquran saja, terdapat ayat-ayat tertentu yang diberi penjelasan lebih detail oleh Oemar Bakry. Salah satunya adalah Q.S. Al-Nahl: 49 ini. Ia memberikan penjelasan lebih lanjut tentang ayat ini yang menunjukkan keyakinannya akan adanya kehidupan makhluk hidup di luar bumi.

“Allah Yang Maha Kuasa menciptakan ruang angkasa dan bumi. Semua yang melata di ruang angkasa dan di bumi, begitu juga para malaikat tunduk bersujud kepada kekuasaan-Nya. Ayat 49 ini menegaskan bahwa di ruang angkasa ada makhluk yang melata. Berarti ada makhluk hidup. Firman Allah Swt. di Surat Syura, ayat 29 lebih menegaskan lagi, “Dan di antara tanda-tanda kebesaran Allah ialah menciptakan ruang angkasa dan bumi dan ditebarkan-Nya pada keduanya (ruang angkasa dan bumi itu) makhluk yang melata” Kalau manusia dengan ilmu dan teknologinya masih menyelidiki apakah ada makhluk hidup di planet-planet, maka Alquran empat belas abad yang silam sudah menegaskan bahwa ada makhluk hidup di ruang angkasa itu, Mudah-mudahan ilmu dan teknologi manusia dapat membuktikan kebenaran isi Alquran ini.” (Tafsir Rahmat, 521).

Baca juga: Alquran Berbicara tentang Teori Pesawat Terbang

Dalam tafsir pada umumnya, ayat ini sering dimaknai bahwa semua makhluk yang ada di langit dan bumi—baik yang melata maupun malaikat—bersujud kepada Allah. Namun, Oemar Bakry memberikan sudut pandang yang berbeda. Ia memahami “al-samāwāt” bukan sekadar “langit” dalam pengertian atmosfer atau tempat para malaikat, melainkan sebagai “ruang angkasa” atau luar angkasa.

Lebih lanjut, ia menafsirkan kata dabbah (makhluk yang melata) tidak hanya terbatas pada makhluk yang hidup di bumi, tetapi juga mencakup makhluk yang berada di luar angkasa. Dengan demikian, ia menegaskan bahwa ada makhluk hidup yang melata di ruang angkasa, suatu pemikiran yang mendahului eksplorasi sains modern mengenai kemungkinan kehidupan di planet lain kala itu.

Q.S. Al-Hajj: 18: Sujudnya Makhluk Hidup di Luar Angkasa

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يَسْجُدُ لَهٗ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُوْمُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَآبُّ وَكَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِۖ وَكَثِيْرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ ۗ وَمَنْ يُّهِنِ اللّٰهُ فَمَا لَهٗ مِنْ مُّكْرِمٍ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَفْعَلُ مَا يَشَآءُ

Apakah tidak engkau lihat bahwasanya sujud kepada Allah siapa-siapa yang ada di ruang angkasa dan di bumi. Begitu juga sujud (tunduk) matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan sebahagian besar manusia? Dan banyak yang telah ditetapkan azab kepadanya. Dan siapa yang dihinakan Allah tidak ada orang yang dapat memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat berbuat apa yang dikehendaki-Nya (Q.S. Al-Hajj: 18).

Pada ayat ini, Oemar Bakry juga memberikan penjelasan lebih lanjut seperti pada Q.S. al-Nahl: 49, tidak hanya menerjemahkan saja. Ia menambahkan, “Ayat 18 ini menerangkan bahwasanya segala makhluk ciptaan Allah sujud dan takluk di bawah kekuasaan-Nya. Manusia sujud dengan kemauannya. Makhluk lain sujud dengan arti menuruti aturan Allah. Di dalam ayat ini disebutkan ada orang atau manusia di ruang angkasa dan di bumi. Jadi sudah ada isyarat bahwa di planet-planet itu ada makhluk hidup. Mudah-mudahan ilmu dan teknologi dapat membuktikannya.”

Baca juga: Tujuh Lapis Langit: Tafsir Saintifik atau Spiritualitas Kosmis?

Dengan menekankan frasa “ada orang atau manusia di ruang angkasa dan di bumi” dalam penafsirannya, ia menunjukan posisi yang lebih berani dibandingkan penafsirannya terhadap Q.S. al-Nahl: 49. Sebab, di sini ia tidak hanya mengisyaratkan adanya makhluk hidup secara umum, tetapi secara spesifik menyebut “orang atau manusia” di ruang angkasa. Konsistensinya juga terlihat dalam optimismenya terhadap perkembangan sains. Seperti pada penafsirannya terhadap ayat-ayat sebelumnya, ia kembali mengungkapkan harapan bahwa ilmu dan teknologi akan dapat membuktikan kebenaran isyarat Alquran ini.

Pendekatan ini memperlihatkan paradigma tafsirnya yang berupaya mengintegrasikan ayat-ayat Alquran dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Penafsiran Oemar Bakry terhadap Q.S. al-Hajj: 18 ini melengkapi dan memperkuat argumennya tentang eksistensi makhluk hidup di luar angkasa yang telah ia bangun melalui penafsiran ayat sebelumnya. Meskipun tafsirnya mungkin terlihat terlalu maju untuk zamannya, tetapi semangatnya untuk mengintegrasikan pemahaman Alquran dengan kemajuan sains memberikan kontribusi penting bagi pengembangan tafsir yang responsif terhadap perkembangan zaman. Wallahu a’lam.

Mengenal Tafsir Tarjuman al-Mustafid 

0

Ketika berbicara tentang warisan keilmuan Islam di Nusantara, nama Abdurrauf as-Singkili tidak bisa dilewatkan. Ulama besar dari Aceh ini bukan hanya seorang sufi dan fakih, tetapi juga pencetak sejarah dengan menghadirkan Tarjuman al-Mustafid, salah satu tafsir Alquran pertama dalam bahasa Melayu. Di tengah arus perkembangan Islam abad ke-17, tafsir ini menjadi jembatan yang menghubungkan pemahaman keislaman masyarakat lokal dengan khazanah keilmuan Islam yang lebih luas.

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Abdurrauf As-Singkili

Biografi Abdurrauf as-Singkili

Abdurrauf as-Singkili memiliki nama lengkap Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Singkili, beliau lahir di Suro, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, nama belakangnya as-Singkili merupakan penisbatan kepada tempat lahirnya yakni Singkil. Beliau juga dikenal sebagai intelektual yang terkemuka pada abad XVII M.

Semasa hidupnya di Aceh beliau turut aktif dalam dunia politik, karena beliau hidup pada masa kesultanan Aceh, bahkan pernah menjabat sebagai mufti kerajaan pada masa Sulṭanah Safiat al-Din Taj al-Alam (1641-1675). Karya fenomenalnya adalah tafsir Tarjuman al-Mustafid, yang dianggap sebagai kitab tafsir pertama di Nusantara dengan tuntas menafsirkan 30 juz Alquran.

Menurut Damanhuri Basyir dalam bukunya yang berjudul “Kemasyhuran Syekh Abdurrauf As-Singkili, Riwayat Hidup, Karya Besar, Kontribusi Intelektual, Pengabdian Dan Kepeloporannya” (hlm. 2-3) tidak diketahui pasti tahun kelahiran as-Singkili, hanya saja ditemukan sebuah pendapat yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1620. Namun, pendapat yang paling kuat adalah mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 1024 H/1615 M, sesuai kalkulasi ke belakang dari masa kembalinya dari Timur Tengah ke Aceh. Beliau wafat di Banda Aceh pada tahun 1105 H/1693 M, dan dimakamkan di Kuala tempat beliau mengajar.

Potret Tafsir Tarjuman al-Mustafid

Kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid seringkali disebut dengan Tafsir Anwar al-Tanzil Wa Asrar al-Ta’wil karya imam al-Baydhawi, karena konon katanya kitab ini merupakan terjemah dari kitab tersebut yang ditulis dengan bahasa Melayu. Kitab ini terdiri dari dua jilid, jilid pertama terdiri dari juz 1-15, jilid kedua terdiri dari juz 16-30.

Penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh keadaan masyarakat Aceh yang pada saat itu dipengaruhi oleh konsep teologi Wahdatul Wujuh yang dipelopori oleh Hamzah Fansuri dan Syams ad-Din as-Sumatrani. Kitab ini bertujuan untuk merespon mereka yang menyuarakan pertumpahan darah dengan pengikut Wahdatul Wujuh, oleh karenanya kitab ini ditulis menggunakan bahasa Melayu dengan khat Arab pegon, agar mudah dipahami oleh masyarakat Aceh pada masa itu.

Baca Juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Indonesia: Dari Masuknya Islam hingga Era Kolonialisme

Metode dan Sumber Penafsiran

Dalam penulisannya, Abdurrauf menggunakan metode ijmali, yang ditandai dengan penjelasan singkat, padat, dan mudah dipahami. Beliau memulai penjelasan dengan memberikan konteks sejarah dan latar belakang surat, seperti nama surat, jumlah ayat, dan tempat turunnya. Selanjutnya, mengikuti urutan ayat-ayat dalam surat tersebut dan menjelaskan maknanya secara harfiyah, tanpa menyertakan hadits atau ayat lain yang relevan.

Adapun terkait sumber penafsiran yang digunakan terdapat dua pendapat, yang pertama mengatakan bahwa kitab Tarjuman al-Mustafid merupakan terjemahan dari Tafsir al-Baydhawi, berdasarkan judul yang tertera pada sampul kitab. Namun pendapat yang keduan mengatakan bahwa tafsir ini merupakan terjemahan dari tafsir al-Jalalain, berdasarkan kesamaan metode dan gaya penafsirannya, hanya saja di beberapa bagian tertentu memanfaatkan Tafsir al-Khazin dan Tafsir al-Baydhawi.

Azyumardi Azra mendukung pandangan kedua, yang menekankan keterhubungan intelektual Abdurrauf dengan Jalal al-Din al-Suyuthi, penulis Tafsir al-Jalalain. Meskipun judul kitab mencantumkan Tafsir al-Baidhawi sebagai referensi utama, namun praktik penafsiran dalam Tarjuman al-Mustafid lebih sejalan dengan pola Tafsir al-Jalalain. (Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII, 2013, hlm. 258-259).

Contoh penafsiran yang merujuk pada Tafsir al-Khazin

Q.S al- Baqarah 248

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ اِنَّ اٰيَةَ مُلْكِهٖٓ اَنْ يَّأْتِيَكُمُ التَّابُوْتُ فِيْهِ سَكِيْنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِّمَّا تَرَكَ اٰلُ مُوْسٰى وَاٰلُ هٰرُوْنَ تَحْمِلُهُ الْمَلٰۤىِٕكَةُۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَࣖ

Nabi mereka berkata kepada mereka, “Sesungguhnya tanda kerajaannya ialah datangnya Tabut kepadamu yang di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari apa yang ditinggalkan oleh keluarga Musa dan keluarga Harun yang dibawa oleh para malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagimu jika kamu orang-orang mukmin. 

Pembahasan dalam ayat ini membahas tentang sebuah tanda kebesaran tuhan berupa tabut atau sebuah peti yang didalamnya tersimpan kitab suci Taurat. Abdurrauf dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid (Jilid 1) menafsirkan seperti ini: “Kisah tersebut di dalam khozin adalah peti itu didalamnya rupa segala nabi yang diturunkan Allah taala atas adam maka turun temurun hingga datang kepada Musa dan adalah mereka itu menanti kemenangan pada Allah dengan berkah peti itu atas seteru mereka itu dan dihantarkan mereka itu peti itu dihadapan mereka itu maka tetap meraka itu kepadanya tatkala perang dan ditaruh didalamnya oleh mereka itu tanda Kerajaan talut maka ditanggung akan dioleh malaikat antara langit dan bumi padahal mereka itu memiliki kepadanya hingga dihantarkan malaikat akan peti itu pada talut maka percayalah mereka itu akan Kerajaan talut, wallahu alam”.

Dalam menafsirkan ayat di atas, beliau menyertakan kisah israilliyat yang disebutkan mengambil dari Kitab Tafsir al Khazin. Kitab Tafsir al-Khazin menjelaskan bahwasannya peti tersebut berisi taurat yang dibawa oleh malaikat kepada nabi-nabi terdahulu hingga zaman Nabi Musa dan Nabi Harun. Peti tersebut berisi pedoman dan ketetapan hidup seorang hamba atau berisi syariah. Peti terseut juga menjadi bukti akan Kerajaan Talut. Beliau juga menambahkan diksi kalimat “Wallahu a’lam” yang mana berindikasi akan keabsahan sumber tersebut. Namun, disamping itu disandarkan kepada kitab al-Khazin sebagai sisi penguatnya.

Baca Juga: Empat Pemetaan Kajian Al-Qur’an dan Tafsir Yang Penting Diketahui

Penutup

Contoh penafsiran di atas menjadi salah satu bukti bahwasanya Tarjuman al-Mustafid bukanlah murni terjemahan dari Tafsir al-Baydhawi, seperti yang dikatakan oleh pendapat pertama di atas. Di antara karya yang ditulis oleh Abdurrauf as-Singkili adalah Mir’ah al-Thullab fi Tashil Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah al-Malik al-Wahab, Bayan al-Arkan, Bidayah al-Balighah, Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Thariq al-Qusyasyi, Bayan Tajalli, Kifayah al-Muhtajin ila Nasyrab al-Muwahiddin, Syarh Latif Arba’in Haditsan li al-Imam an-Nawawiyy. (Muallif, Syaikh Abdul Rauf Singkel: Riwayat Hidup dan Karya-karyanya, 2022).

Polemik Seputar Waktu Turunnya Alquran

0

Sebagian besar masyarakat umumnya mengetahui bahwa Alquran turun pada tanggal 17 Ramadan, keyakinan ini telah berkembang dan diterima secara luas khususnya di Indosenia. Nyatanya, apabila ditelusuri lebih dalam, akan dapat ditemukan beberapa perbedaaan pendapat ulama terkait kapan diturunkannya Alquran. Adapun sebuah perbedaan muncul karena pemahaman yang beragam terhadap dalil-dalil yang terdapat dalam Alquran dan hadis.

Perbedaan Pendapat Ulama

Pertama, Alquran turun pada tanggal 17 Ramadan, didasarkan pada firman Allah Swt dalam Surah an-Anfal ayat 41:

“…إِنْ كُنْتُمْ أمَنْتُمْ بِاللهِ وَ مَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ”

Jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami di hari al-Furqan, hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Baca Juga: Inilah 4 Macam Sebab Turunnya Al Quran

Mengutip dari riwayat Al-Mutsanna dari Abu Shalih dari Mu’awiyah dari Ali dari Ibnu Abbas dalam Tafsir Ath Thabari (Jilid 12, hlm. 325): Yang dimaksudkan “يَوْمَ الْفُرْقَانِ”adalah perang Badar, Allah Swt memisahkan antara yang hak dan yang batil saat perang Badar. Seperti yang sudah tercatat dalam sejarah, perang Badar terjadi pada tanggal 17 Ramadan tahun ke-2 H.

Dalam Tafsir Al-Misbah terdapat dua pendapat terkait firman “مَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا” yakni; malaikat yang diturunkan Allah dalam perang Badar atau Alquran yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw, namun penggunaan “مَا” lebih cocok dengan pendapat yang mengartikan Alquran. Pendukung pendapat kedua menyatakan bahwa Alquran turun pada saat hari al-Furqan atau perang Badar, yakni pada tanggal 17 Ramadan. Menurut M. Quraish Shihab, boleh jadi apa yang diturunkan itu salah satu ayat yang berkaitan dengan peristiwa Badar.(Shihab, Tafsir al-Misbah Jilid 5, 2002, hlm. 448)

Kedua, Alquran diperkirakan turun antara tanggal 18 dan 19 Ramadan, pendapat ini dikemukakan oleh Ibn Al-Athir dalam Al-Kamil fit Tarikh (Juz 1, hlm. 646):

و كان نزول الوحي عليه يوم الإثنين بلا خلاف. و اختلفوا في أي الأثانين كان ذلك. فقال أبو قلابة الجرمي: أنزل الفرقان على النبي – صلى الله عليه و سلم – لثماني عشرة ليلة خلت من رمضان. و قال آخرون: كان ذلك لتسع عشرة مضت من رمضان.

Tidak ada perbedaan tentang terjadinya Nuzulul Quran pada hari Senin. Namun para ulama berbeda pendapat di hari Senin yang mana tepatnya. Kemudian berkata Abu Qalabah al-Jarmi: Alquran diturunkan kepada Nabi Saw pada 18 Ramadan. Dan yang lain menyebutkan: Alquran diturunkan pada 19 Ramadan.

Baca Juga: Menyongsong Lailatulqadar: Malam Turunnya Alquran

Ketiga, Alquran turun pada tanggal 24 Ramadan, pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama, salah satunya yang paling sering digunakan sebagai dasar adalah riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dari Abu Sa’id dari ‘Imran Abu al-‘Awwam dari Qatadah dari Watsilah bin al-Asqa’, Rasulullah Saw bersabda:

أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَهِيْمَ فِيْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ وَ أُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتٌ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ وَ الْإِنْجِيْلُ لِثَلَاثَ عَشْرَة خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ وَ أَنْزَلَ الله الْقُرْآن لِأَرْبَعٍ وَ عِشْرِيْنَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ.

‘Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadan, Taurat diturunkan pada tanggal 6 Ramadan, Injil diturunkan pada tanggal 13 Ramadan, dan Allah menurunkan Alquran pada tanggal 24 Ramadan.’(Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim Juz 1, 2008, hlm. 367–368)

Baca Juga: Skenario Tuhan di Balik Pewahyuan Alquran

Penutup

Dengan adanya berbagai pendapat yang sudah disebutkan sebelumnya, semakin jelas bahwa pembahasan mengenai waktu turunnya Alquran bersifat ijtihadi, tentunya masih menjadi kajian yang dapat terus dipelajari dari waktu ke waktu. Hal ini menjadi bukti betapa luasnya ruang diskusi dalam ilmu Islam dan pentingnya memahami inti dari turunnya Alquran itu sendiri, salah satu di antaranya yaitu membawa petunjuk dan cahaya bagi seluruh umat manusia.

Menggenggam Tali Allah: Meraih Keberkahan Ramadan dengan Tadarus Alquran

0

Ramadan telah tiba, suasana hangat mulai terasa, masjid-masjid semakin ramai, banyak orang berbondong-bondong untuk berburu kebaikan di bulan yang suci ini. Tak hanya itu, di tengah euforia sahur, buka puasa, berburu takjil, ada satu hal yang menjadi ikon di bulan puasa, yakni tadarus Alquran. Momen tadarus Alquran ini selalu menjadi ajang mengais pahala di bulan Ramadan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa berlomba-lomba untuk membaca Alquran di bulan Ramadan.

Baca Juga: Tiga Perbuatan Penghapus Pahala Ramadan

Alquran Turun di Bulan Ramadan

Bulan Ramadan bukan sekadar tentang menahan lapar dan dahaga, tapi juga waktu terbaik untuk kembali menyelami firman Allah Swt. Bukankah Allah sendiri telah menjadikan Ramadan istimewa karena menjadi bulan diturunkannya Alquran, sebagaimana yang telah tertera dalam QS. Al-Baqarah: 185, yang berbunyi:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Alquran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.

Alquran Sebagai Tali Allah

Namun, yang menjadi pokok pembahasan kali ini adalah mengapa Alquran yang menjadi ikon penting pada bulan Ramadan. Selain karena ia memang kitab suci umat Islam, yang diturunkan pula pada bulan Ramadan, Alquran juga merupakan tali agama Allah, bagaimana maksudnya?

Tali yang dimaksud disini adalah penghubung antara manusia dengan Allah Swt. Ibaratnya di bulan Ramadan Allah Swt menurunkan tali ke bumi berupa Alquran, agar seluruh umat manusia bisa naik dari dunia dan menuju Allah Swt melalui Alquran. Hal ini telah dijelaskan dalam Q.S Al-Imran ayat 103, yang berbunyi:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْاۖ وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, janganlah bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.

Yang menjadi sorotan dari ayat tersebut terletak pada kata بِحَبْلِ اللّٰهِ kata حَبْلِ dalam Tafsir al-Qurthubi (jilid 4/hlm. 398) ditafsirkan sebagai bentuk musytarak yang memiliki banyak arti, dari segi bahasa berarti penyebab yang dapat mengantarkan pada keinginan dan kebutuhan. Namun, yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah demikian, melainkan perjanjian.

Menurut Ibnu Mas’ud dari Ibnu Abbas berkata bahwasanya yang dimaksud حَبْلِ اللّٰهِ disini adalah Alquran. Sebagaimana kutipan dalam Tafsir al-Qurthubi: Ali dan Abu Said al-Khudri meriwayatkan dari Rasulullah, dari Mujahid, dan dari Qatadah, dan Abu Mu’awiyah dari al-Hijri, dari Abu al-Ahwash, dari Ubaidillah, dia mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: “إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ هُوَ حَبْلُ الله” yang artinya: “Sesungguhnya Alquran ini adalah tali Allah.” (al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Jilid 4, hal. 398-399)

Baca Juga: Puasa Sebagai Pintu Menuju ‘Tajalli’

Penutup

Dengan demikian, bulan Ramadan bukan hanya menjadi ajang meningkatkan ibadah lahiriah seperti puasa dan salat, tetapi juga momen terbaik untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah melalui Alquran. Jika Alquran adalah tali yang Allah turunkan agar manusia tidak tersesat, maka Ramadan adalah waktu terbaik untuk menggenggamnya erat-erat.

Maka, mari manfaatkan keberkahan Ramadan ini dengan lebih banyak berinteraksi dengan Alquran. Baik dengan membacanya, memahami maknanya, serta mengamalkan isinya. Sebab, siapa yang berpegang teguh pada tali ini, niscaya ia akan selamat, baik di dunia maupun di akhirat.

Wallahu a’lam.

Tiga Perbuatan Penghapus Pahala Ramadan

0

Ramadan adalah momen spesial untuk menuai pahala sebanyak-banyaknya, karena amal ibadah di dalamnya diganjar dengan berlipat-lipat. Namun, tidak semua orang yang berpuasa mendapatkan keutamaan dan pahala puasa Ramadan. Karena seperti yang diberitakan oleh Nabi Saw., terdapat ciri-ciri orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga dari puasanya. Siapakah mereka? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan dalam sebuah riwayat berikut ini:

مَن لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ والعَمَلَ به، فليسَ لِلَّهِ حاجَةٌ في أنْ يَدَعَ طَعامَهُ وشَرابَهُ .الراوي: أبو هريرة • البخاري، صحيح البخاري (١٩٠٣) • [صحيح]

Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dosa, maka Allah SWT tidak membutuhkan dia meninggalkan makanan dan minumannya. (H.R. Abu Hurairah dalam Shahih Al-Bukhari (1903).

Baca Juga: Inilah Lima Hakikat Puasa Ramadan menurut Al-Ghazali

Tiga perbuatan menghapus pahala Ramadan

Terjemahan literal dari frasa qoul al-zur adalah perkataan dusta. Namun, jika diteliti lebih dalam akan didapatkan pemahaman bahwa kalimat tersebut mencakup segala ucapan yang merugikan orang lain, menipu dan menyimpang dari kebenaran. Maka dari itu, setidaknya ada tiga perbuatan yang termasuk dalam pengertian qoul al-zur, yaitu:

Gibah

Gibah adalah membicarakan keburukan orang lain tanpa sepengetahuannya. Alquran mengibaratkan orang yang menggibah bagaikan memakan bangkai saudaranya. Sebagaimana tertulis dalam sebuah ayat, sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Hujurat: 12).

Ramadan adalah waktu di mana seluruh amal seorang muslim dilipatgandakan, termasuk amal keburukan. Ketidaktahuan mengenai pesan ini dapat menyebabkan kita merugi karena dua hal; pertama, rugi karena tidak mendapatkan pahala yang akan dibalas berlipat-lipat dan yang kedua, rugi karena kurang mawas diri sehingga sangat mudah melakukan maksiat di siang dan malam hari bulan Ramadan.

Walaupun tidak sampai membatalkan puasa, pahala yang didapat oleh yang bergibah tentu berbeda dengan pahala yang didapat oleh yang tidak bergibah. Padahal kedua orang tersebut sama-sama menahan makan dan minum sejak fajar hingga terbenam matahari. Hanya karena tidak dapat menahan lisan untuk membicarakan keburukan orang lain, pahala puasa yang ia harapkan hilang begitu saja.

Baca Juga: Mengulik Makna Shaum, Istilah Puasa Ramadan dalam Al-Quran

Berkata kotor 

Alquran mewajibkan orang-orang yang beriman untuk berucap yang benar dan baik. Perintah tersebut sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًاۙ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar. (Q.S. Al-Ahzab: 70).

Menurut Qatadah dan Al-Kalbi yang dikutip dalam Tafsir al-Thabari, makna dari kalimat qoulan sadida adalah perkataan yang adil dan jujur. Adil maksudnya adalah dalam perkataannya dan perbuatannya. Sedangkan menurut Ikrimah, makna dari kalimat tersebut adalah kalimat tahlil atau la ilaha illa Allah. 

Jujur dalam pendapat di atas dapat dimaknai sebagai ucapan yang lurus, benar dan tidak menyimpang, karena seluruhnya termasuk dalam perkataan yang baik. Orang yang berpuasa harus menjaga lisannya dari ucapan-ucapan kotor. Karena mengucapkan kata-kata kotor menjadi sebab berkurangnya pahala puasa seseorang dan sebuah bentuk pelanggaran dari perintah ayat tersebut.

Orang yang berpuasa Ramadan jika belum mampu untuk menahan dari ucapan kotor, hendaknya untuk membiasakan diam atau mengalihkannya dengan tidur bila itu lebih selamat untuk puasanya. Bukan tanpa sebab, karena dalam sebuah riwayat dhaif diam dan tidurnya orang yang berpuasa Ramadan dinilai sebagai ibadah. Itu artinya menjaga diri untuk tetap memperoleh pahala puasa lebih diutamakan daripada yang lainnya.

Mengadu domba

Mengadu domba biasanya dilakukan atas dasar kedengkian kepada seseorang. Lazimnya orang yang mengadu domba ingin merusak hubungan baik antara dua pihak dengan menyebarkan perkataan dusta di antara mereka. Jika berhasil, maka terjadi permusuhan, saling curiga dan berujung dengan putusnya silaturahmi di antara mereka.

Jika gibah dan berkata kotor dapat merusak pahala puasa saja, maka adu dapat domba merusak pahala puasa dan hubungan baik seseorang. Pahala puasa Ramadan tidak akan diberikan bagi orang yang suka memecah belah dan menyimpan sifat setan dalam dirinya. Ramadan adalah waktu setan-setan terbelenggu, akan tetapi pengadu domba malah menggantikan peran dan tugas mereka untuk berbuat kerusakan.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Syarat, Rukun Puasa Ramadan, dan Alasan Niat di Malam Hari

Penutup

Puasa Ramadan bukan hanya tentang menahan makan dan minum, tetapi ada tujuan lain yang hendak dicapai melalui serangkaian ibadah amaliah pada bulan tersebut. Buktinya adalah Allah tidak berkepentingan kepada hamba yang tidak bisa meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dosa, padahal Allah SWT sendiri mengistimewakan puasa Ramadan dengan menyebutkannya sebagai ibadah untuk-Nya dan hambanya. Apalah arti perut menahan lapar, jika mulut tiada menahan ucap. Wallahu a’lam.

Sikap Pantang Menyerah Nabi Yunus Setelah Kegagalan

0
Sikap Pantang Menyerah Nabi Yunus Setelah Kegagalan
Ilustrasi ikan paus.

Kisah Nabi Yunus dalam Alquran tidak hanya menggambarkan perjalanan spiritual seorang nabi, tetapi juga menjadi cermin bagi manusia yang kerap terjebak dalam kegelapan kegagalan. Hal ini relevan di era yang mengagungkan kesuksesan instan, ketika kegagalan sering dianggap sebagai aib. Namun, kisah Nabi Yunus dalam Alquran justru mengajarkan sebaliknya: kegagalan adalah pintu menuju pencerahan.

Pelarian Nabi Yunus: Antara Emosi dan Tanggung Jawab

Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb (22/178–179) menjelaskan bahwa Nabi Yunus awalnya diutus kepada kaumnya di Palestina. Saat lebih dari sembilan suku Bani Israil ditawan oleh penjajah, Allah Swt. memerintahkan Nabi Syu’aib untuk meminta Raja Hizqil mengutus seorang nabi yang kuat dan amanah guna membebaskan mereka. Yunus bin Matta, yang dikenal sebagai sosok tepercaya, direkomendasikan. Namun, ketika raja memerintahkannya pergi tanpa legitimasi wahyu, Yunus mempertanyakan keputusan tersebut.

Menurut Ar-Razi, protes Yunus bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan keinginan untuk memastikan bahwa langkahnya selaras dengan petunjuk ilahi. Sayangnya, emosinya menguasai akal. Dengan perasaan kesal, ia meninggalkan kaumnya dan pergi ke laut. Ar-Razi menegaskan bahwa keputusan ini mencerminkan konflik internal antara ketaatan pada manusia dan kesetiaan pada panggilan Allah. Dalam konteks modern, ini mengingatkan pada fenomena burnout, yakni ketika tekanan eksternal mendorong seseorang lari dari tanggung jawab.

Di Perut Ikan

Ketika kapal yang ditumpangi Yunus diterpa badai, para awak meyakini ada “orang berdosa” di antara mereka. Setelah tiga kali undian, nama Yunus terus terpilih. Dengan rendah hati, ia mengakui: “Aku adalah hamba yang melarikan diri.” Menurut Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (5/323–324), pengakuan ini menjadi kunci pertobatan. Tanpa ragu, Yunus melompat ke laut dan ditelan ikan besar.

Ar-Razi menjelaskan bahwa Allah Swt. memerintahkan ikan tersebut untuk tidak melukai Yunus sedikit pun. Di dalam kegelapan perut ikan, Yunus menyadari kesalahannya. Ia bersimpuh dengan doa yang diabadikan Alquran:

وَذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ۚ

(Ingatlah pula) Zun Nun (Yunus) ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya. Maka, dia berdoa dalam kegelapan yang berlapis-lapis, “Tidak ada tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang zalim.” (Q.S. Al-Anbiya: 87).

Baca juga: Kisah Teladan Nabi di Bulan Muharram; Nabi Yunus Keluar dari Perut Ikan Paus

Ibnu Katsir menukil riwayat dari Ibn Abi Hatim yang menjelaskan bahwa doa ini memiliki kedudukan yang agung di sisi Allah. Ketika Nabi Yunus mengucapkan,  “Laa ilaha illa anta, subhanaka inni kuntu minazh-zhalimin”, doa tersebut naik hingga ke bawah ‘Arsy, hingga para malaikat pun bertanya: “Wahai Tuhan, ini adalah suara yang lemah namun dikenal, berasal dari negeri yang jauh.”

Allah pun berfirman: “Tidakkah kalian mengenali siapa dia?”

Para malaikat menjawab: “Tidak, wahai Tuhan, siapa dia?”

Allah pun berfirman: “Dia adalah hamba-Ku, Yunus.”

Maka para malaikat pun berkata: “Hamba-Mu Yunus? Yang selalu amalnya diterima dan doanya dikabulkan? Wahai Tuhan, tidakkah Engkau akan merahmati amal kebaikannya di waktu lapang, lalu menyelamatkannya di waktu kesusahan?” Allah berfirman: “Tentu saja.”

Pelajaran dari Pohon Labu

Setelah dimuntahkan ke daratan, Yunus berada dalam keadaan lemah. Ar-Razi menggambarkan kondisi ini sebagai simbol kehancuran identitas. Namun, Allah Swt. tidak serta-merta mengembalikannya ke kehidupan normal. Sebatang pohon labu tumbuh untuk melindunginya dari terik matahari dan menjadi sumber makanan. Menurut Ibnu Katsir, pohon ini adalah metafora kesabaran: pemulihan pascakegagalan membutuhkan proses, bukan keajaiban instan.

Ketika pohon itu layu, Yunus kembali sedih. Allah Swt. pun menegurnya: “Apakah engkau bersedih karena pohon, tapi tidak bersedih atas ratusan ribu umat yang kamu engkau tinggalkan?Ar-Razi menafsirkan teguran ini sebagai pengingat bahwa tanggung jawab seorang nabi lebih besar daripada kepentingan pribadi. Dalam kehidupan modern, ini relevan dengan kecenderungan manusia yang fokus pada hal-hal material, tetapi lalai pada amanah sosial dan spiritual.

Baca juga: Keistimewaan Doa Nabi Yunus yang Dibaca Masyarakat Banjar pada Arba Musta’mir

Setelah melalui proses introspeksi, Yunus kembali ke kaumnya. Awalnya, mereka menolak dakwahnya. Namun, ketika azab hampir turun, panik melanda. Kaumnya pun bertobat. Menurut Ibnu Katsir, Allah Swt. mengangkat azab karena tobat tulus mereka. Ar-Razi menambahkan bahwa kepulangan Yunus bukan sekadar melanjutkan kembali misi dakwah, melainkan juga bukti bahwa kegagalan masa lalu bisa menjadi fondasi kepemimpinan yang lebih bijak.

Penutup

Dari kisah Nabi Yunus, bisa diambil pelajaran bahwa tobat adalah kekuatan, bukan kelemahan. Pengakuan Yunus atas kesalahan di kapal dan doanya di perut ikan menunjukkan bahwa mengakui kelemahan adalah langkah pertama menuju perubahan.

Selain itu, kisah ini juga mengajarkan bahwa kegelapan adalah persiapan menuju cahaya. Pengalaman di perut ikan, meski menyakitkan, membentuk Yunus menjadi pemimpin yang rendah hati dan sabar.

Bagi generasi yang menghadapi tekanan kesempurnaan, kisah ini mengingatkan bahwa kegagalan akademik, karir, atau hubungan bukan akhir segalanya. Sebagaimana firman Allah: “Maka Kami kabulkan (doa)nya dan Kami selamatkan dia dari kedukaan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Anbiya: 88).

Sebagai penutup, Yunus mengingatkan kita bahwa rahmat Allah selalu lebih besar daripada dosa hamba-Nya. Dalam kehidupan modern yang penuh dengan tekanan, kegagalan seringkali dipandang sebagai akhir dari segalanya. Namun, kisah Nabi Yunus a.s. dan ajaran Islam secara umum memberikan perspektif yang berbeda tentang bagaimana seseorang seharusnya menyikapi kegagalan dan mengubahnya menjadi titik balik menuju keberhasilan. Wallahu ‘alam.

Tafsir Lughawi Ayat Puasa: Puasa Ibadah yang Mudah

0
Tafsir Lughawi Ayat Puasa: Puasa sebagai Ibadah yang Mudah
Puasa Ibadah yang Mudah

Puasa adalah ibadah yang seringkali dipersepsikan sebagai ibadah yang berat untuk dijalankan. Bagaimana tidak? Seorang yang berpuasa dituntut menahan haus dan lapar, juga segala bentuk hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai matahari terbenam. Inilah barangkali alasan bagi sebagian orang yang tidak menjalakan puasa, padahal hukumnya wajib. Makan dan minum adalah kebutuhan dasar dan naluriah bagi manusia. Tanpa adanya dorongan dan tekad yang kuat, puasa akan terasa sulit dan berat.

Meskupun demikian, jika kita tadabburi dan lihat dengan teliti, Allah Swt. melalui Q.S. Al-Baqarah: 183 meredaksikan perintah berpuasa dengan kalimat yang sekaligus memotivasi umat Islam. Ini memberi pemahaman bahwa pada hakikatnya ibadah puasa ini mudah dan ringan untuk dijalankan.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (Q.S. Al-Baqarah: 183).

Perintah berpuasa diawali dengan panggilan

Allah Swt. mengawali seruan perintah puasa dengan memanggil orang-orang beriman, dan ini merupakan al-uslub al-qur’aniy. Panggilan kehormatan yang menyadarkan kita bahwa ibadah puasa yang barangkali terasa berat untuk dijalankan. Akan tetapi, sebagai orang yang beriman kendatipun demikian, ia harus dijalankan. Sebab, inilah karakter orang yang beriman, tak ada pilihan lain selain hanya patuh pada ketetapan Allah Swt.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata (Q.S. Al-Ahzab: 36).

Berbentuk kalimat pasif

Lafaz كُتِبَ  dalam Q.S. Al-Baqarah: 183 hadir dalam bentuk pasif (mabni majhuul) tanpa menyebutkan subjek (fa’il). Allah Swt. sebagai pembuat hukum tidak disebutkan secara tekstual. Hal ini dipahami sebagai bentuk mengurangi beban psikis penerima perintah puasa.

Mengenai hal ini Abu Hayyan dalam tafsirnya, Al-Bahr Al-Muhith (juz 2, hal. 177), memberikan komentar bahwasannya memang dalam Alquran seringkali  lafaz كَتَبَ   muncul dalam bentuk kalimat aktif (mabni ma’lum) ketika membawa kabar baik lagi gembira. Seperti dalam Q.S. Al-An’am: 54

وَإِذَا جَاءَكَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِنَا فَقُلْ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ ۖ كَتَبَ رَبُّكُمْ عَلَىٰ نَفْسِهِ الرَّحْمَةَ ۖ أَنَّهُ مَنْ عَمِلَ مِنْكُمْ سُوءًا بِجَهَالَةٍ ثُمَّ تَابَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَصْلَحَ فَأَنَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah: “Salaamun alaikum. Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Syariat umat terdahulu

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ

Sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu

Terlepas dari ragam tafsir soal bentuk keserupaan puasa umat Rasullah saw. dengan umat-umat sebelumnya. Penyebutan tasybih (penyerupaan) perintah puasa memberikan pemahaman bahwa ada sekelompok manusia sebelum umat Rasulullah saw. dari periode-periode sebelumnya yang telah dibebani kewajiban berpuasa. Dengan demikian, puasa  bukan merupakan syariat yang benar-benar baru, ia ibadah yang ma’ruf dan dikenali. Hal ini juga diamini oleh Ibnu ‘Asyûr dalam At-Tahrir wa At-Tanwir, juz 2, hal. 155:

“ال ta’rif pada kata الصيام bentuknya adalah العهد الذهني (dipahami dan dikenali oleh mukhotob/pihak yang diajak bicara) dan memang sebelumnya bangsa Arab telah mengenal puasa.” Ini dibuktikan dalam satu hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. sebagai berikut.

Dari Aisyah, istri Nabi saw. berkata, “Dahulu hari Asyura’ adalah hari di mana orang-orang Quraisy berpuasa pada masa jahiliyah.” (H.R. Bukhari: 4504).

Baca juga: Dua Dimensi Makna Puasa Menurut Sinta Nuriyah, Ragam Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183

Faktor puasa sebagai ibadah yang telah dilakukan oleh umat-umat sebelumnya inilah menjadi tambahan satu alasan kuat bagi umat ini untuk tidak menganggap puasa sebagai ibadah yang berat. Umat Nabi Muhammad saw. pastilah mampu berpuasa sebagaimana umat-umat terdahulu mampu menjalankan puasa. Mengutip apa yang dikatakan Ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatihul Ghaib (juz 5, hal. 239):

الشَيءُ الشَّاقُّ إٍذَا عَمَّ سَهُلَ عَمَلُهُ

Hal yang berat, jika dilakukan oleh kebanyakan orang, maka ia menjadi mudah.

Penyebutan hikmah puasa

Disebutkannya hikmah puasa di penghujung ayat ini sekali lagi merupakan satu alasan bagi umat Nabi Muhammad saw. untuk menjalankan ibadah puasa dengan perasaan mudah dan ringan. Seringkali kita akan punya semangat lebih dan motivasi berlipat jika dalam berlomba disebutkan besaran hadiahnya. Ya, hadiah dan tujuan puasa adalah predikat takwa, gelar yang membedakan kemuliaan dan keistemewaan antara satu hamba dengan lainnya.

Terkait hal ini, Abu Hayyan dalam Al-Bahr Al-Muhith (juz 2, hal. 204-205) memberikan tambahan penjelasan:

“Jika perintah itu merupakan hal yang umumnya sulit dan berat, maka seringkali ayat ditutup dengan redaksi لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ. Hal ini bisa dilihat dalam ayat perintah kewajiban puasa dan qishash (Q.S. Al-Baqarah: 179 dan 183). Namun, jika hal itu merupakan rukhsah lagi taysîr maka diakhiri dengan redaksi لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ. Hal ini bisa dilihat dalam ayat yang meringankan orang yang sedang bepergian jauh dan sakit untuk boleh tidak berpuasa (Q.S. Al-Baqarah: 185).”

Baca juga: Hubungan antara Doa dan Puasa

Penjelasan ragam tafsir lughawi Q.S. Al-Baqarah: 183 di atas, menjadi bukti al-I’jaz al-lughawi (kemukjizatan bahasa) Alquran yang meredaksikan perintah kewajiban puasa sedemikian rupa sehingga memberikan semangat dan motivasi bagi umat Islam. Ini menekankan sejatinya puasa adalah ibadah yang tidak benar-benar berat dan mampu kita laksanakan.

Wallahu a’lam.

Mengenal al-Fath, Salah Satu Surah yang Dicintai Rasulullah Saw

0

Setiap surah dalam Alquran tentu baik dan mempunyai keutamaan. Adapun surah al-Fath memiliki beberapa keutamaan, di antaranya; mendapat kelapangan rezeki jika dibaca pada tiga malam permulaan bulan Ramadan, dapat menemui Rasulullah dalam mimpi jika dibaca setiap hari, memberi kemenangan dalam melawan hawa nafsu jika dibaca setelah salat fardu, dikumpulkan bersama para syuhada jika membaca surah al-Fath secara istikamah.(Rusdianto, Terjemah dan Fadhilah Majmu’ Syarif, 2016, hlm. 123–124)

Mengenai keutamaan membaca surah al-Fath pada awal bulan Ramadan dikuatkan oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip riwayat al-Mas’udi:

بَلَغَنِيْ أَنَّهُ مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْفَتْحِ فِيْ أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فِيْ صَلَاةِ التَّطَوُّعِ حَفِظَهُ اللّه ذلِكَ العَام

“Sampai padaku berita bahwa barangsiapa yang membaca surah al-Fath pada malam pertama Ramadan dalam salat sunnah, maka Allah akan melindunginya tahun itu.”(Al Qurtubi, Al Jami’ li Ahkam Al-Qur’an Juz 16, 1993, hlm. 172)

Baca Juga: Keistimewaan Surah Ala’la: Surah Favorit Rasulullah

Surah al-Fath turun pada malam hari di antara kota Makkah dan Madinah berkenaan dengan peristiwa Hudaibiyah. Ada yang menyebutkan lokasi turunnya surah al-Fath adalah Kura’ al-Hamim, pendapat lain menyebutkan di Dhajnan. Nama al-Fath diambil dari penguraian kata fath dua kali berturut pada ayat pertama. Al-Fath merupakan surah ke-113 jika dilihat dari segi urutan turunnya surah, namun dalam tartib Mushaf Utsmani merupakan surah ke-48, surah al-Fath terdiri dari 29 ayat.

Surah al-Fath Dicintai Rasulullah Saw

Faktanya, terdapat dua riwayat yang dikutip bapak M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menyebutkan bahwa al-Fath merupakan salah satu surah yang dicintai Rasulullah Saw. Pertama, Sayyidina Umar bin Khattab meriwayatkan bahwa pada malam hari ia berjalan bersama Rasulullah Saw dan bertanya pada beliau, namun Rasulullah Saw tidak menjawab hingga ketiga kali Umar bertanya dengan pertanyaan yang sama. Hal itu membuat Umar merasa bersalah dan celaka, ia takut jika ada ayat Alquran yang turun mengancamnya.

Dengan cepat Umar mendekati Rasulullah Saw dan mengucapkan salam, sembari menjawab salam Rasulullah Saw bersabda, “Malam ini telah diturunkan padaku satu surah yang lebih kusukai dari segala yang tersentuh oleh cahaya matahari.” Lalu beliau membacakan “إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًا”. Kedua, diriwayatkan pula oleh Imam Malik dan at-Tirmidzi dari Anas bin Malik bahwa ayat kedua hingga kelima surah al-Fath turun di Hudaibiyah, seketika itu Rasulullah Saw bersabda, “Telah diturunkan padaku ayat yang lebih kusukai dari segala apa yang ada dimuka bumi.”(Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 13, 2002, hlm. 165–166)

Baca Juga: Keistimewaan Puasa Ramadan dan Manifestasi Kasih Sayang Tuhan

Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, riwayat Imam Ahmad dari Ishaq bin ‘Isa dari Majma’ bin Ya’qub bercerita, “Aku mendengar ayahku menyampaikan dari ‘Abdurrahman bin Zaid al-Anshari dari Majma’ bin Haritsah al-Anshari menyebutkan, ‘Aku turut menyaksikan Hudaibiyah, setelahnya tiba-tiba orang-orang membuat unta-untanya berlarian. Lalu, sebagian mereka bertanya: Apa yang terjadi?, mereka menjawab: Telah turun wahyu kepada Rasulullah Saw. Kemudian orang-orang mengelilingi Rasulullah Saw dan beliau membacakan “إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًا”, lalu seorang sahabat bertanya: Apakah itu kemenangan ya Rasulullah?, Beliau menjawab: Benar sekali, demi Rabb yang jiwa Muhammad berada ditangan-Nya, ini benar-benar kemenangan.”(Alu Syaikh, Lubabut Tafsir Min Ibni Katsir Jilid 7, 2003, hlm. 423–424)

Alasan Surah al-Fath Dicintai Rasulullah Saw

Dari riwayat-riwayat yang sudah disebutkan tadi menunjukkan bahwa ayat-ayat dalam surah al-Fath sangat membahagiakan Rasulullah Saw, terlebih ayat kedua yang menegaskan ampunan Allah Swt terhadap dosa-dosa terdahulu dan yang akan datang. Surah al-Fath memberi kabar gembira terkait kemenangan yang dijanjikan Allah Swt untuk kaum muslimin dimulai dari kemenangan setelah perjanjian Hudaibiyah serta kemenangan lain sesudahnya, menguraikan keutamaan yang Allah anugerahkan kepada Rasulullah Saw dan umat-Nya, serta ancaman Allah Swt terhadap orang yang berprasangka buruk terhadap Allah Swt.

Baca Juga: Keistimewaan Surah Albaqarah [2]: 285-286

Jika meninjau dari turunnya surah al-Fath yang berkenaan dengan peristiwa Hudaibiyah pada tahun 6 hijriyah, secara tampak perjanjian Hudaibiyah memang lebih menguntungkan kaum Quraisy dan memberatkan kaum Muslimin, namun peristiwa ini justru menjadi faktor awal kemenangan Islam, yang mana dampak terbesarnya adalah terbuka jalan bagi fathu Makkah di tahun 8 hijriyah. Setiap uraian dalam surah al-Fath menyangkut anugerah Allah Swt atas Rasulullah Saw berupa kemenangan, pujian serta janji menggembirakan yang amat jelas pada perjalanan beliau dan kaum Muslimin. Wallahu a’lam.

Belajar Optimisme Melalui Rahmah dan Rauh Allah

0

Alquran sebagai pedoman hidup umat Islam memberikan pencerahan melalui ayat-ayatnya yang mengandung pesan optimisme. Dua ayat dari surah Az-Zumar dan Yusuf menyeruh kepada manusia, “Janganlah berputus asa dari rahmat Allah.” Hal ini menunjukkan bahwa putus asa bukanlah pilihan bagi seorang muslim.

Meskipun secara terjemahan harfiah kedua ayat ini mengandung larangan untuk berputus asa dari rahmat Allah, keduanya memiliki konteks penggunaan yang berbeda, karena terdapat redaksi yang berbeda untuk menggambarkan rahmat Allah, yakni rahmah dan rauh. Hal ini berkaitan dengan memberikan pelajaran penting dalam menghadapi dua aspek kehidupan: pengampunan dosa dan kesulitan hidup.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 15: Optimislah, Kabar Gembira Akan Segera Datang dari Allah

Optimis untuk Mendapatkan Pengampunan dari Allah Swt.

۞ قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Az Zumar [39]: 53)

Ayat ini menjawab kecemasan orang-orang merasa bahwa dirinya yang telah terlalu jauh berbuat dosa hingga takut tidak diberikan ampunan oleh Allah Swt., sehingga Allah berpesan melalui ayat ini bahwa selama orang tersebut mengakui dosanya, lalu memohon ampun pada-Nya, dan kembali ke jalan-Nya, niscaya Allah mengampuni segala dosanya.

Dalam Tafsir Ath-Thabari (Tafsir Ath Thabari, 22/398) dijelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang musyrik yang ketika diseru untuk beriman kepada Allah, mereka berkata, “Bagaimanakah kami beriman? Kami telah mempersekutukan Allah, melakukan zina, membunuh, sedangkan Allah menjanjikan neraka bagi orang yang melakukan itu? Keimanan tidak berguna bagi kami karena perbuatan yang telah kami lakukan.”

Orang-orang musyrik merasa insecure terhadap dosa yang telah mereka lakukan, apakah mungkin Allah akan menerima keimanan mereka. Melalui ayat ini, Allah dengan kasih sayangnya menyatakan bahwa, “Janglah berputus asa dari rahmat Allah,” yang menunjukkan bahwa pintu taubat selalu terbuka, bahkan untuk dosa sebesar apapun.

Buya Hamka (Tafsir Al-Azhar, 24/73) menggambarkan ayat ini sebagai panggilan untuk pulang kepada orang-orang yang sudah kehilangan arah dan tak tahu lagi akan kemana sampainya. Ayat ini menunjukkan optimisme, harapan, cita-cita, dan kembalinya kepercayaan kepada diri sendiri karena kembali merasakan kasih dan ampunan Allah Swt.

Baca Juga: Ada Keringanan, Rahmat Allah, dan Kehidupan dalam Syariat Kisas

Optimis bahwa Selalu Ada Solusi dalam Setiap Masalah

يٰبَنِيَّ اذْهَبُوْا فَتَحَسَّسُوْا مِنْ يُّوْسُفَ وَاَخِيْهِ وَلَا تَا۟يْـَٔسُوْا مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يَا۟يْـَٔسُ مِنْ رَّوْحِ اللّٰهِ اِلَّا الْقَوْمُ الْكٰفِرُوْنَ

Wahai anak-anakku, pergi dan carilah berita tentang Yusuf beserta saudaranya. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir. (Q.S. Yusuf [12]: 87)

Berbeda dengan ayat sebelumnya yang menggunakan kata rahmah untuk menunjukkan rahmat Allah, ayat ini menggunakan kata rauh untuk menggambarkan rahmat Allah. M. Quraish Shihab (Tafsir Al-Mishbah, 6/513) menjelaskan bahwa penggunaan kata rauh bermakna “nafas”, yakni dalam artian bahwa orang yang dapat bernafas dengan baik, maka dada menjadi lapang yang memberi kesan lega setelah mengalami kesulitan.

Ayat ini seakan-akan menyatakan jangan berputus asa dari datangnya ketenangan yang bersumber dari Allah Swt. yang melapangkan dada, menghilangkan kesedihan, dan memberikan jalan untuk menanggulangi permasalahan. Ini menunjukkan bahwa rahmat Allah tidak hanya berupa pengampunan, tetapi juga pertolongan dalam menghadapi kesulitan hidup.

Konteks ayat ini berkenaan dengan Nabi Ya’qub yang menyuruh anak-anaknya untuk mencari Yusuf yang telah hilang bertahun-tahun. Meskipun berada dalam kondisi yang tampak tanpa harapan, Nabi Ya’qub tetap optimis dan berpesan kepada anak-anaknya untuk jangan berputus asa dari rahmat Allah, semua pasti ada jalan keluarnya, maka carilah terus.

Dalam Tafsir Ath Thabari (Tafsir Ath-Thabari, 14/924) menjelaskan bahwa maksud dari, “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah,” ialah jangan berputus asa terhadap akan datangnya kegembiraan pada kita karena kesedihan yang kita rasakan, Allah pasti akan memberikan kebahagiaan dari sisi-Nya.

Baca Juga: Surat Al-Ankabut Ayat 2: Agar Tidak Berputus Asa dari Rahmat Allah Swt

Pesan dalam ayat ini sangat relevan bagi siapa saja yang tengah menghadapi cobaan hidup, bahwa selalu ada jalan keluar dan ketenangan dari Allah bagi mereka yang tetap berharap kepada-Nya.

Dua ayat ini mengajarkan bahwa optimisme adalah bagian dari iman. Baik saat bergelut dengan dosa masa lalu maupun menghadapi kesulitan hidup, Allah memerintahkan kita untuk tetap berharap kepada-Nya. Rahmah Allah menunjukkan keluasan ampunan-Nya bagi siapa saja yang bertaubat, sementara rauh Allah menunjukkan pertolongan dan ketenangan yang diberikan-Nya di tengah kesulitan.

Dengan memahami pesan ini, seorang mukmin akan selalu menemukan rasa optimisme dan harapan di setiap keadaan, karena putus asa adalah sifat yang tidak seharusnya ada dalam hati orang yang beriman.