Beranda blog Halaman 15

Meneladani Cara Tobat Nabi Adam

0
Meneladani Cara Tobat Nabi Adam
Sayyiduna Adam a.s.

Sejarah manusia dimulai dengan kesalahan. Adam, manusia pertama, melakukan dosa dan mencari pengampunan. Dalam Alquran, kisah tobat Nabi Adam menjadi salah satu pelajaran penting tentang bagaimana manusia seharusnya kembali kepada Allah setelah berbuat dosa. Sebuah doa yang monumental diabadikan dalam Alquran:

“Rabbanaa zhalamnaa anfusanaa wa illam taghfir lanaa wa tarhamnaa lanakuunanna minal khaasiriin.”

“Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami serta memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf [7]: 23).

Makna dan Tafsir Doa Nabi Adam

Doa Nabi Adam ini singkat, tetapi sarat makna. Menurut Al-Baidhawi dalam Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil (juz 3, hlm. 67), doa ini mencerminkan tiga unsur penting dalam tobat: pengakuan dosa (iqrar), permohonan ampun (istighfar), dan harapan terhadap rahmat Allah (raja’).

Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib (juz 15, hlm. 158) menekankan bahwa penyebutan kata Rabbanaa (Wahai Tuhan kami) mengisyaratkan kedekatan Adam dengan Allah. Ia tidak merasa terputus dari-Nya meskipun telah berdosa. Inilah esensi tobat: mengakui kesalahan, tetapi tetap berharap.

Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (juz 3, hlm. 201) menjelaskan bahwa doa ini menunjukkan perbedaan fundamental antara Adam dan Iblis. Adam mengakui kesalahannya dan memohon ampun, sementara Iblis membela diri dan menyalahkan Tuhan atas kesesatannya (Al-A’raf [7]: 16-17).

Fakta Sosial: Mengapa Manusia Sulit Bertobat?

Dalam kajian psikologi modern, manusia cenderung mencari pembenaran atas kesalahannya. Dr. Carol Tavris dan Elliot Aronson dalam buku mereka, Mistakes Were Made (But Not by Me), menjelaskan bahwa manusia memiliki cognitive dissonance, yaitu kecenderungan membela diri agar tidak merasa bersalah.

Baca juga: Peristiwa Tobat Nabi Adam di Bulan Muharram

Fenomena ini banyak terlihat di masyarakat. Ketika seseorang berbuat salah, alih-alih mengakui dan bertobat, ia justru mencari alasan atau menyalahkan orang lain. Lihatlah bagaimana koruptor membela diri dengan alasan ‘demi kepentingan rakyat’, atau seseorang yang melakukan dosa tapi merasa ‘terpaksa oleh keadaan’.

Dalam Islam, konsep tobat sejati justru bertentangan dengan sikap ini. Seseorang harus mengakui kesalahannya secara total dan tanpa alibi, seperti yang dilakukan Adam.

Bagaimana Cara Tobat yang Benar?

Berdasarkan tafsir doa Nabi Adam dan pandangan para ulama, ada beberapa langkah dan cara tobat yang benar:

  1. Menyesali perbuatan (nadam).

Imam An-Nawawi dalam Riyadhus Shalihin (hlm. 12) menyebutkan bahwa inti tobat adalah penyesalan. Tanpa penyesalan, tobat hanya sekadar ucapan.

  1. Meninggalkan dosa secara total (iqlā’ anil ma’shiyah).

Seseorang yang benar-benar bertobat tidak hanya berhenti dari perbuatan dosanya, tetapi juga menjauhi faktor-faktor yang bisa membuatnya kembali terjerumus.

  1. Berjanji tidak mengulangi (‘azm).

Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin (juz 4, hlm. 76) menyatakan bahwa tobat tanpa komitmen adalah seperti daun yang tertiup angin: mudah kembali ke tempatnya semula.

Baca juga: Tafsir Surah Attahrim Ayat 8: Perintah Tobat Tidak Hanya untuk Ahli Maksiat

  1. Memohon ampun kepada Allah (istighfar).

Ini yang dilakukan Nabi Adam dalam doanya. Bukan hanya meminta penghapusan dosa, tetapi juga rahmat agar tidak mengulangi kesalahan.

  1. Mengganti keburukan dengan kebaikan (tahliyah ba’da takhliyyah).

Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya amal kebajikan itu menghapus kejahatan.” (Q.S. Hud [11]: 114).

Pandangan Ilmuwan Barat tentang Tobat dan Perubahan Diri

Konsep tobat dalam Islam memiliki kemiripan dengan teori perubahan dalam psikologi. Dr. James Prochaska dalam model Stages of Change-nya menjelaskan bahwa perubahan sejati terjadi dalam beberapa tahap: prekontemplasi (tidak sadar akan kesalahan), kontemplasi (menyadari kesalahan), persiapan (berniat berubah), aksi (melakukan perubahan), dan pemeliharaan (menjaga perubahan).

Menariknya, Islam telah mengajarkan hal ini jauh sebelum teori modern berkembang. Tobat yang benar bukan hanya sekadar istighfar lisan, tetapi perubahan diri yang nyata.

Kembali kepada Fitrah

Tobat Nabi Adam adalah contoh nyata bahwa manusia memang tempatnya salah dan bahwa fitrahnya kembali kepada Allah. Dalam dunia modern yang penuh pembenaran diri, konsep dan cara tobat yang diteladankan Nabi Adam menjadi semakin relevan. Mengakui kesalahan tanpa mencari alasan adalah langkah pertama menuju perbaikan diri.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Hasan Al-Bashri, “Orang yang bertobat dengan tulus adalah mereka yang jika mengingat dosanya, hatinya langsung bergetar.” (Hilyat al-Awliya, juz 2, hlm. 134).

Maka, sudahkah kita benar-benar bertobat? Ataukah kita masih mencari alasan seperti Iblis?

Memaknai Alquran ala Fahruddin Faiz, Tips Hidup Anti Cemas

0
Memaknai Alquran ala Fahruddin Faiz, Tips Hidup Anti Cemas
Memaknai Alquran ala Fahruddin Faiz, Tips Hidup Anti Cemas (sumber: PSQ Online).

Pada tanggal 15 Februari 2025 kemarin, Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) baru saja merayakan 20 tahun berdirinya. Perayaannya diselenggarakan di Masjid Istiqlal dengan tajuk “Membumikan Alquran”. Dalam acara tersebut diadakan beberapa sesi diskusi. Salah satunya adalah diskusi dengan tema “Indonesia Emas, Bukan Cemas” yang diisi oleh Dr. Fahruddin Faiz dan Habib Husein bin Ja’far. Diskusinya berlangsung menarik dengan kombinasi Dr. Faiz yang lemah lembut dan Habib Ja’far yang penuh dengan banyolan renyah.

Pak Faiz, sapaan akrab beliau, menceritakan apa makna membumikan Alquran baginya. Menurutnya, pembumian Alquran diawali dengan kesadaran bahwa Alquran itu shâlih li kulli zamân wa makân. Turunnya ayat sudah berhenti, tapi maknanya masih terus memberi arti.

“Alquran itu pasti membumi. Hanya saja manusia yang sering lupa untuk merujuk dan mengaksesnya dalam kehidupan sehari-hari. Alquran sering diposisikan jauh, seakan-akan hanya menjadi pedoman untuk yang di langit. Padahal itu diturunkan untuk kita di bumi dan dipastikan selalu sesuai kapanpun dan di manapun untuk hidup kita. Jikalau kita mau membaca, menelaah, qirâ’ah, tilâwah, dan tadabbur, kita pasti mendapatkan makna yang cocok untuk hidup kita dalam momen apapun, dalam situasi apapun. Alquran dibumikan, dijadikan teman dan pedoman sehari-hari dalam menghadapi apapun problem kita,” ungkap beliau.

Baca juga: PSQ dan Perjalanan Dua Dekade, Membimbing Umat dengan Al-Qur’an

Dalam kesempatan tersebut, Dr. Fahruddin Faiz membagikan beberapa ayat Alquran yang makna filosofisnya ia resapi dan menyentuh hatinya.

Pertama, potongan Q.S. al-Baqarah/2: 156 “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râjiun.” Dalam imajinasi Dr. Faiz, pada ayat ini beliau membayangkan Allah sedang berkata padanya, “Engkau milikku, jangan sampai berpaling pada yang lain.” Bagi beliau, ini adalah pengalaman yang menggetarkan. Momen di mana Allah mengaku kepada kita bahwa kita miliknya merupakan sebuah hal yang sangat dahsyat. Bagaimana bisa, kita yang remeh ini didaku oleh Allah sebagai satu-satunya miliknya.

Kedua, salah satu potongan ayat dalam Q.S. al-Taubah/9: 40 “Lâ tahzan innallâha ma’anâ.” Bagi Dr. Faiz, ayat ini sedang memberitahu kita bahwa Allah sedang melindungi kita. Seakan-akan Allah sedang menghibur kita dengan berkata “Jangan bersedih, tak perlu gelisah. Aku selalu bersamamu, Aku selalu menyertaimu.” Ayat ini membuat Dr. Faiz tersadar bahwa betapa Allah sangat menyayangi dan mencintai kita. “Kesedihan apapun, Allah yang datang pertama menghiburku,” tegasnya.

Ketiga, penggalan ayat dalam Q.S. al-Baqarah/2: 286 “Lâ yukallifullâhu nafsan illâ wus’ahâ.” Sebuah potongan ayat yang tidak asing di telinga kita, yang sering digunakan untuk memotivasi dan menguatkan kita saat tertimpa musibah. Dalam ayat ini Dr. Faiz membayangkan sedang dielus-elus oleh Allah dan diberitahu agar selalu tenang, tak perlu cemas dan gelisah. Apapun yang sedang engkau hadapi, engkau mampu menyelesaikannya. Allah yang menanggungnya. Bagi Dr. Faiz, Allah seperti sedang berbisik, “Kamu tenang saja, tidak usah sedih, tidak perlu gelisah. Tidak mungkin Aku mengujimu dan membebanimu dengan hal yang berat.” Allah tidak membebani kita dengan hal yang kita tidak mampu.

Baca juga: Tiga Alasan Pentingnya Hermeneutika Al-Qur’an Menurut Fahruddin Faiz

Bagaimana Dr. Fahruddin Faiz meresapi makna ayat-ayat tersebut sebenarnya sedang membuktikan fungsi Alquran sebagai syifâ’ atau obat. Di era digital ini, kecepatan dan kemudahan untuk mengakses informasi membuat manusia terekspos dengan banyak kesuksesan dan standar hidup orang lain. Hal ini terkadang membuat manusia cemas. Rasa cemas yang muncul tanpa adanya pedoman dan prinsip pada puncaknya akan menimbulkan depresi.

Menyadari bahwa Alquran ada untuk manusia sebagai obat dan kompas hidup sangatlah penting. Segala ujian yang dihadapi manusia sebenarnya bukan untuk membebani mereka. Ujian ini justru untuk menarik manusia agar kembali kepada Allah. Untuk memberi tahu manusia bahwa Allah selalu ada untuknya, bahkan saat seluruh manusia berpaling darinya. Agar manusia memahami bahwa Allah tidak sedang menguji manusia agar ia gagal, Allah mengujinya agar ia bertumbuh.

Maka dari itu, kembali kepada Allah melalui membumikan Alquran merupakan kiat untuk menghilangkan kecemasan.

Q.S. Alan’am Ayat 159: Faktor Perpecahan Internal Umat Islam dan Solusinya

0

Skisma dalam agama Islam telah berlangsung lama. Hal ini dimulai pada saat terjadi konflik antara kubu Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Syiah sebagai pendukung ahlul bait (Ali), sedangkan Khawarij, kelompok oposisi, merapat ke barisan Mu’awiyah. Disadari atau tidak, ini merupakan cikal bakal tumbuhnya fenomena skisma dalam Islam.

Istilah skisma sendiri dipopulerkan oleh Khaled Abou El Fadl dalam bukunya The Great Theft: Wresting Islam From the Extremists. Skisma merupakan istilah yang digunakan agama Kristen untuk menunjukkan suatu perpecahan yang terjadi antara ajaran Ortodoks dan Katolik.

Baca Juga: Politisasi Agama dan Politik Identitas: Dua Hal yang Tidak Boleh Dilanggengkan

Dalam Islam, dapat dijumpai fenomena skisma pada, pertama, Alquran surah Q.S. Al-An’am :

إِنَّ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِيْ شَيْءٍۗ اِنَّمَآ اَمْرُهُمْ اِلَى اللّٰهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَ

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun engkau (Nabi Muhammad) tidak bertanggung jawab terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) hanya kepada Allah. Kemudian, Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Q.S. al-An’am [06]: 159).

Kedua, hadis Nabi Saw. yang menerangkan tentang kemunculan golongan-golongan dalam Islam (hadis iftiraq). Beberapa mufasir seperti Al-Baidlawi, Al-Maraghi, Ibnu ‘Asyur, dan Asy-Sya’rawi mengaitkan ayat ini dengan hadis Nabi Saw. tersebut.

Konteks Turunnya Ayat

Ahmad Mushtafa Al-Maraghi dalam tafsirnya, Tafsir Al-Maraghi, menerangkan sebab turunnya ayat ini berdasarkan dua pendapat. Pertama, pendapat mufasir salaf yang menyatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani, ketika mereka memecah ajaran (agama) Ibrahim, Musa, dan Isa menjadi agama berbeda. Dan setiap ajaran (mazhab) sangat fanatik pada golongannya, hingga pada puncaknya mereka saling menuduh dan membunuh antar-golongan. (Tafsir al-Maraghi, juz 8, 83)

Kedua, ulama lain mengartikan bahwa ayat ini diturunkan khusus kepada mereka pelaku bidah, kelompok Islam, dan mazhab yang ingin melakukan pembaharuan dalam Islam dan memecah belah persatuan Islam. (Tafsir al-Maraghi, juz 8, 83)

Diskursus ini kemudian diperkuat lagi dengan pernyataan Nabi Saw. yang dikutip oleh al-Maraghi dari beberapa hadis, pertama:

  أخرج ابْن أبي حَاتِم عَن ابْن عَبَّاس قَالَ: اخْتلفت الْيَهُود وَالنَّصَارَى قبل أَن يبْعَث مُحَمَّد ﷺ فَتَفَرَّقُوا فَلَمَّا بعث مُحَمَّد أنزل عَلَيْهِ ﴿إِن الَّذين فرقوا دينهم﴾ الْآيَة

Kedua:

وأخرج رواة التفسير بالمأثور عن أبي هريرة فى قوله: (إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ) الآية. قال هم فى هذه الأمة.

Ketiga:

وأخرج الترمذي وابن أبي حاتم والبيهقي وغيرهم عن عمر بن الخطاب أن النبي ﷺ قال لعائشة: (يا عائشة إن الذين فرقوا دينهم وكانوا شيعا هم أصحاب البدع وأصحاب الأهواء وأصحاب الضلالة من هذه الأمة ليست لهم توبة، يا عائشة إن لكل صاحب ذنب توبة إلا أصحاب البدع وأصحاب الأهواء ليس لهم توبة، أنا منهم بريء وهم مني براء.)

Redaksi pertama mengisyaratkan akan perpecahan yang terjadi pada umat Yahudi dan Nasrani yang terjadi sebelum Nabi Muhammad Saw. diutus menjadi rasul. Redaksi kedua dan ketiga menunjukkan bahwa perpecahan tersebut tidak hanya terjadi pada umat Yahudi dan Nasrani saja, tetapi pada umat Islam sendiri.

Baca Juga: Surah al-Anfal Ayat 46: Cara Menjaga Persatuan

Hal demikian disebabkan oleh maraknya pelaku bidah; mereka yang melakukan hal-hal baru yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan mereka yang terlalu “obsesi” dengan hawa nafsunya dengan melakukan suatu perkara sesat sehingga lupa untuk bertaubat.

Wahbah Zuhaili mengutip dari penafsiran Abu Umamah pada kata wa kaanu syiya’an mensinyalir golongan tersebut adalah Khawarij. (Al-Tafsir Al-Munir, juz 4, 471)

Dari ini, penulis dapat sedikit meraba bahwa penjelasan di atas hanya membicarakan paradigma dan perilaku umat di masa awal Islam. Di mana, dari beberapa intelektual muslim, khususnya mufasir, hanya memberikan penjelasan singkat akan pemahaman ayat tersebut secara normatif. Apakah berhenti sampai di sini? Maka barang tentu tidak.

Sebab-musabab Perpecahan di Internal Umat Islam

Perlu ditelaah bersama QS. Al-An’am ayat 159 dengan mengaitkannya pada problematika yang terjadi pada era modern dan kontemporer. Karena disadari atau tidak, persoalan masa silam jauh berbeda dengan masa kini. Persoalan perpecahan umat Islam tidak berhenti pada perpecahan yang terjadi antar golongan, seperti halnya yang dialami Khawarij.

Meskipun masa silam sudah terlampau jauh, tetapi hal masa itu dapat dijadikan dasar persoalan untuk dicarikan solusi pada masa kini. Dari ini, perpecahan umat yang dijelaskan pada hadis iftiraq dan penafsiran para ulama dapat dikaji ulang agar dapat memberikan pemahaman yang solutif. Pertanyaannya, apa motif dari perpecahan tersebut?

Maka dari pada itu, Muhammad Abduh, melalui karya monumentalnya, Tafsir Al-Manar, menegaskan bahwa hal demikian tidak akan terjadi tanpa adanya pengaruh kuat dari sikap politisasi antara penguasa, fanatisme golongan (rasisme), fanatisme aliran (mazahib) dalam hal dasar (ushul) dan cabang (furu’), dan penggunaan pendapat (pribadi) di agama Allah, serta adanya infiltrasi oleh musuh Islam. (Tafsir Al-Manar, juz 8, 217)

Demikian, Wahbah Zuhaili juga menerangkan—seperti Abduh—bahwa ada banyak motif di balik perpecahan umat Islam, yaitu kecintaan berlebih pada jabatan duniawi, sikap rasisme, hanya menjadi pendengar saat adanya infiltrasi oleh musuh Islam, kepongahan (jahl) dan mental terbelakang/dekadensi (takhalluf), taklid pada kebiasaan dan tradisi, mulai ditinggalkannya sikap agamis dalam pemikiran, dogma, politik, metode, aturan dan hukum oleh sebagian banyak negara. (Al-Tafsir Al-Munir, juz 4, 472)

Baca Juga: Albaqarah Ayat 148: Isyarat Pluralitas dan Solusi Egoisme Beragama

Keduanya, Muhammad Abduh dan Wahbah Zuhaili, bersepakat dan saling menguatkan bahwa ada banyak faktor atau motif fenomena skisma yang terjadi pada umat Islam khususnya. Yang perlu digarisbawahi dan mendapat perhatian khusus—tanpa menafikan yang lainnya—adalah kepongahan, mental pesimis umat Islam, dan infiltrasi mereka yang tidak suka pada Islam.

Hemat penulis, tiga hal “inti” ini memuat sekian banyak faktor perpecahan itu. Pasalnya, pertama, perpecahan terjadi karena adanya mentalitas kepongahan/kedunguan yang berimbas pada kelemahan umat Islam di sisi politik dan pendidikan serta pengetahuan, yang keduanya memiliki peran penting bagi terbentuknya suatu pemikiran, metode, aturan, dan hukum yang baik.

Tentunya hal demikian perlu didasarkan pada mentalitas yang kuat, yang harus dibangun oleh umat Islam itu sendiri dengan tetap berpedoman kepada teks-teks keagamaan (Alquran dan Hadis) serta pemikiran para sarjana muslim agar tidak terjadi ketimpangan.

Kedua, banyaknya pemikiran-pemikiran menyimpang dari mereka yang tidak menyukai Islam, baik dari orang dalam atau pun luar Islam, yang langsung diterima oleh kalangan muslim awam tanpa mengetahui implikasinya kepada Islam. Hal demikian bisa saja terjadi ketika umat Islam tidak bersatu membantah pemikiran-pemikiran menyimpang mereka.

Nasionalisme Nabi Muhammad saw: Inspirasi Cinta Tanah Air

0
nasionalisme Nabi Muhammad_inspirasi cinta tanah air
nasionalisme Nabi Muhammad_inspirasi cinta tanah air

Di era globalisasi, banyak anak bangsa yang merantau ke luar negeri untuk menimba ilmu, mencari pengalaman, atau membangun karir. Namun, tak sedikit dari mereka yang lupa akan tanggung jawab untuk kembali dan berkontribusi bagi kemajuan tanah air.

Fenomena ini mengingatkan kita pada teladan agung nasionalisme Nabi Muhammad saw. Setelah meraih kesuksesan dalam membangun masyarakat Madinah, beliau kembali ke Makkah dengan penuh cinta dan dedikasi untuk mempersatukan umat. Kisah ini menjadi inspirasi abadi tentang makna nasionalisme sejati dalam Islam, mencintai tanah air bukan sekadar ikatan emosional, melainkan komitmen untuk mengabdi dan memajukannya.

Baca Juga: Adakah Dalil Nasionalisme? Inilah Dalilnya dalam Al Quran

Kepulangan Nabi ke Makkah: Simbol Cinta dan Persatuan

Setelah hijrah ke Madinah dan membangun peradaban Islam yang kuat, Nabi Muhammad saw. tidak pernah melupakan Makkah, tanah kelahirannya. Pada tahun 8 Hijriyah, beliau memimpin pasukan untuk membebaskan Makkah (Fathu Makkah) dari kekufuran dan kesewenang-wenangan.

Kepulangan beliau bukanlah bentuk balas dendam, melainkan manifestasi cinta dan keinginan untuk mempersatukan masyarakat di bawah panji tauhid. Dengan kebijaksanaan dan kasih sayang, beliau memaafkan penduduk Makkah yang pernah mengusirnya, seraya bersabda:

“Pergilah, kalian semua bebas.” (HR. Baihaqi)

Peristiwa ini menggambarkan bahwa nasionalisme dalam Islam tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan. Justru, cinta tanah air menjadi jalan untuk menebar rahmat dan keadilan. Sebagaimana Nabi kembali ke Makkah untuk membersihkannya dari kemusyrikan dan membangun tatanan sosial yang lebih baik, kaum perantau yang sukses pun diajak untuk pulang membawa ilmu, pengalaman, dan semangat membangun negeri.

Hijrah dan Nasionalisme

Allah SWT. berfirman:

وَمَن يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً ۚ وَمَن يَخْرُجْ مِن بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkan di bumi ini tempat berhijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ [4]: 100)

Ibnu Katsir dalam (Tafsīr al-Qurʾān al-ʿAẓīm, 2/345–346), menjelaskan bahwa ayat ini mengandung dorongan bagi kaum Muslim untuk berhijrah, meninggalkan lingkungan yang penuh tekanan demi kehidupan yang lebih baik. Allah menjanjikan bahwa siapa pun yang hijrah di jalan-Nya akan menemukan tempat berlindung dan kelapangan rezeki.

Makna ‘مراغمًا كثيرًا (tempat hijrah yang luas)’ memiliki beberapa penafsiran. Ibnu Abbas menyebutnya sebagai perpindahan dari satu negeri ke negeri lain, sedangkan Mujahid memahami kata ini sebagai menjauh dari sesuatu yang tidak disukai. Qatadah menambahkan bahwa hijrah membawa seseorang dari kesesatan menuju petunjuk, dari keterbatasan menuju kelapangan hidup. Dengan kata lain, hijrah bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi juga perjalanan menuju kehidupan yang lebih baik secara spiritual dan material.

Allah juga menegaskan bahwa siapa pun yang meninggalkan rumahnya dengan niat hijrah kepada-Nya dan Rasul-Nya, kemudian meninggal sebelum sampai tujuan, tetap mendapat pahala hijrah yang sempurna. Hal ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab, bahwa setiap amal bergantung pada niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang ia niatkan. Kisah seorang pembunuh yang bertobat dan meninggal dalam perjalanan hijrah juga menjadi bukti bagaimana Allah mengganjar niat yang tulus meskipun seseorang belum sepenuhnya mencapai tujuannya.

Tafsir ini menegaskan bahwa hijrah bukan sekadar meninggalkan tempat, tetapi juga bagian dari perjuangan mendapatkan kebebasan dan keberkahan. Konsep ini sangat relevan dalam konteks kepulangan Nabi Muhammad ke Makkah:

  1. Hijrah membawa perubahan, dan kembali ke tanah air bukan sekadar nostalgia, tetapi untuk membangun peradaban yang lebih baik.
  2. Janji Allah bagi para muhajirin, bahwa siapa pun yang berhijrah di jalan-Nya akan mendapatkan perlindungan dan rezeki.

Dengan demikian, hijrah dalam konteks ini bukan hanya berpindah secara fisik, tetapi juga perubahan menuju kebaikan yang lebih luas, termasuk dalam membangun sebuah bangsa yang lebih kuat dan beradab.

Baca Juga: Tujuh Prinsip Politik Islam dalam Al-Quran

Keseimbangan antara Merantau dan Kembali: Teladan Nabi dan Ulama

Merantau sering dipahami sebagai perjalanan meninggalkan tanah kelahiran demi mencari kehidupan yang lebih baik. Namun, bagi Nabi Muhammad dan para ulama terdahulu, merantau bukan sekadar perpindahan fisik, melainkan sebuah misi untuk belajar, bertahan, dan akhirnya kembali dengan membawa perubahan. Hijrah Nabi ke Madinah adalah bukti bahwa meninggalkan tempat asal bukan berarti melupakannya, melainkan untuk menyusun kekuatan dan strategi. Ketika akhirnya kembali ke Makkah, beliau tidak datang sebagai pengungsi yang tersesat, tetapi sebagai pemimpin yang membawa rahmat dan kemuliaan.

Imam Syafi’i, misalnya, menghabiskan waktu bertahun-tahun di berbagai negeri demi menuntut ilmu, sebelum akhirnya kembali dan meletakkan dasar bagi pemikiran fiqih yang berkembang hingga kini. Begitu pula al-Ghazali, yang dalam pencariannya akan kebenaran sempat meninggalkan posisinya sebagai guru besar di Baghdad, hanya untuk kembali dengan wawasan yang lebih mendalam dan pemikiran yang lebih matang.

Merantau bukan sekadar soal pergi, dan pulang bukan sekadar kembali. Ada tanggung jawab besar yang menyertainya. Nabi kembali ke Makkah bukan untuk menuntut balas, tetapi untuk membawa perubahan yang lebih baik. Para ulama kembali ke masyarakat bukan untuk hidup nyaman, tetapi untuk menyebarkan ilmu dan membangun umat. Dalam konteks modern, nasionalisme juga berakar dari semangat ini. Mereka yang menuntut ilmu di negeri orang seharusnya tidak kehilangan rasa cinta terhadap tanah airnya, melainkan kembali dengan membawa sesuatu yang bisa memperbaiki dan memajukan masyarakatnya.

Baca Juga: Menjaga Negara Sama Pentingnya dengan Menjaga Agama

Kontribusi untuk Tanah Air

Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Makkah) negeri yang aman, dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya.’” (QS. Al-Baqarah [2]: 126).

Fakhruddin ar-Razi dalam (Mafātīḥ al-Ghayb, 4/48), menjelaskan bahwa doa Nabi Ibrahim tentang keamanan dan kesejahteraan suatu negeri memiliki makna yang dalam terkait keseimbangan antara dunia dan agama;

  1. Dunia bukan tujuan utama, tetapi sarana untuk memperkuat agama. Jika suatu negeri aman dan makmur, penduduknya dapat lebih fokus dalam menaati Allah. Sebaliknya, jika negeri itu dilanda ketidakstabilan dan kemiskinan, masyarakatnya akan sulit beribadah dengan tenang.
  2. Keamanan dan kesejahteraan memudahkan orang untuk datang dan beribadah. Makkahdijadikan tempat yang didatangi banyak orang, dan itu hanya mungkin jika jalannya aman serta kebutuhan hidup di sana terpenuhi.
  3. Kondisi yang baik di suatu negeri dapat menarik orang untuk datang dan semakin dekat dengan Allah. Dengan adanya keamanan dan kelimpahan rezeki, orang-orang lebih terdorong untuk mengunjungi tempat suci, menyaksikan kebesaran Allah, dan memperbanyak ketaatan.

Doa Nabi Ibrahim untuk kemakmuran Makkah menjadi pengingat bahwa kontribusi kepada tanah air adalah bentuk ibadah. Ilmu, jaringan, dan pengalaman yang diperoleh di perantauan harus dijadikan modal untuk menjawab tantangan bangsa, seperti ketimpangan moral, ekonomi, pendidikan hingga infrastruktur.

Penutup

Kisah kepulangan Nabi Muhammad saw. ke Makkah mengajarkan bahwa nasionalisme bukan sekadar romantisme masa lalu, melainkan aksi nyata untuk memuliakan tanah air. Bagi perantau yang sukses, pulang bukanlah langkah mundur, melainkan lompatan besar untuk menyalakan cahaya perubahan. Sebagaimana Allah menjanjikan rezeki di setiap langkah hijrah, Dia juga membuka pintu keberkahan bagi mereka yang kembali dengan niat tulus. Wallahu a’lam.

Kritik Fadl Hasan ‘Abbās terhadap Orientalis Terkait Macam-macam Wahyu

0

Menurut orientalis, Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan beberapa cara yang disebutkan dalam Alquran, yaitu: Allah berbicara kepada Muhammad dengan cara ilham, dari balik tabir, atau melalui perantara berupa malaikat. Oleh karena itu, kata “wahyu” digunakan untuk menunjukkan pemberian ilham dari Allah kepada rasul-Nya, serupa dengan para nabi sebelumnya yang juga menerima wahyu. Selain itu, istilah Alquran sering kali digunakan dengan frasa bahwa Alquran “diturunkan” kepada Rasulullah, yang menunjukkan bentuk imajinasi tertentu tanpa adanya gambar konkret yang menyertai proses tersebut.”

Baca Juga: Skenario Tuhan di Balik Pewahyuan Alquran

Kritik Fadl Hasan ‘Abbās terhadap Orientalis tentang macam-macam wahyu:

Pernyataan orientalis bahwa Allah berbicara kepada Nabi Muhammad SAW dengan cara ilham, dari balik tabir, atau melalui perantaraan seorang rasul. Ini adalah problem yang membutuhkan penjelasan untuk menunjukkan kebenaran. Menurut Fadl Hasan ‘Abbās Orientalis salah menafsirkan ayat Alquran:

۞ وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحْيًا اَوْ مِنْ وَّرَاۤئِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِاِذْنِهٖ مَا يَشَاۤءُۗ اِنَّهٗ عَلِيٌّ حَكِيْمٌ ۝٥١

“Dan tidaklah pantas bagi seorang manusia bahwa Allah berbicara kepadanya kecuali melalui wahyu, atau dari balik tabir, atau dengan mengutus seorang rasul yang kemudian mewahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Syūrā: 51).

Tafsir ayat ini menurut Fadl Hasan ‘Abbās (Qadhaya Qur’aniyah, 173):

Allah SWT menjelaskan bahwa Dia menyampaikan wahyu kepada para nabi-Nya dan menyampaikan risalah-Nya kepada para rasul dengan salah satu dari tiga cara berikut:

Cara pertama: Melalui wahyu langsung, yang dimaksud di sini adalah Allah meletakkan dalam hati Nabi yang dipilih-Nya apa yang Dia kehendaki berupa hukum-hukum dan makna-makna.

Cara kedua: Allah berbicara kepada rasul yang diutus-Nya dari balik hijab (tabir). Dalam cara ini, nabi yang diutus mendengar suara tanpa melihat pemilik suara tersebut. Nabi tersebut mendengar firman Allah dari balik gunung, pohon, atau benda lainnya. Inilah yang terjadi pada Nabi Musa AS. Oleh karena itu, Musa disebut sebagai “Kalimullah” (yang diajak bicara oleh Allah). Dalam Alquran disebutkan: wakallamallahu mūsā taklīmā. “Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.” (QS. Al-Nisa: 164).

Cara ketiga: Cara ini paling umum, yaitu Allah mengutus malaikat yang menyampaikan wahyu dengan izin-Nya kepada nabi tersebut.”

Baca Juga: Agen dalam Mekanisme Pewahyuan Al-Quran: Tuhan, Jibril ataukah Keduanya?

Letak kesalahan dari pemahaman Orientalis terhadap ayat tersebut adalah klaim bahwa ayat tersebut khusus untuk Rasulullah SAW saja, dan bahwa tiga jenis wahyu yang disebutkan dalam ayat tersebut hanya dimaksudkan untuk Nabi saja. Namun, kenyataannya tidak demikian. Ayat tersebut menyatakan: wa mā kāna li basyarin an yukallimahuAllahu illā wahyan aw minwwarāi hijābin aw yursila rasūlan. Ini berarti bahwa setiap manusia yang diutus oleh Allah menerima wahyu ilahi melalui salah satu dari tiga cara ini.

Adapun cara yang digunakan untuk menurunkan Alquran yaitu menggunakan cara ketiga (seluruhnya melalui perantaraan malaikat). Allah berfirman:

وَاِنَّهٗ لَتَنْزِيْلُ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۗ ۝نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الْاَمِيْنُۙ ۝

“Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ruhul Amin (Jibril).” (QS. Asy-Syu’ara: 192-193).

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

قُلْ نَزَّلَهٗ رُوْحُ الْقُدُسِ مِنْ رَّبِّكَ بِالْحَقِّ ..۝

“Katakanlah, Ruhul Qudus menurunkannya (Alquran) dari Tuhanmu dengan benar..(QS. Al-Nahl: 102).

Dan dalam ayat lain:

قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّجِبْرِيْلَ فَاِنَّهٗ نَزَّلَهٗ عَلٰى قَلْبِكَ …

“Katakanlah, barang siapa menjadi musuh Jibril, maka (ketahuilah) sesungguhnya Jibril itu telah menurunkannya (Alquran) ke dalam hatimu.” (QS. Al-Baqarah: 97).

Menurut Fadl Hasan ‘Abbās ayat-ayat serupa dengan ayat-ayat tersebut masih banyak. Ayat-ayat tersebut sudah bisa dijadikan bukti bahwa Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril saja tidak dengan cara lainnya.

Lantas, bagaimana menurut ulama tafsir lainnya? Apakah sama dengan penjelasan Fadl Hasan ‘Abbās atau justru sama dengan penjelasan orientalis? Berikut penjelasannya:

Melihat pernyataan al-Thabarī tentang maksud dari Melalui wahyu langsung, Dari balik tabir, Melalui utusan (malaikat) tidak ada teks yang mengindikasikan bahwa ketiga wahyu itu khusus pada Nabi Muhammad. (Al-Thabari, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’ān, Jilid (11:162.))

Hal serupa juga dijelaskan oleh Ibnu ‘Asyūr dalam kitabnya al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Begitupun dengan penjelasan dari Muhammad Rasyīd Ridhā tidak jauh berbeda dengan penjelasan dengan ulama tersebut. (Muhammad Rasyīd Ridhā, al-Wahyu al-Muhammadī, 82-83). Bahkan beliau menyampaikan dalam memahami surah al-Syu’ara: 192-195 bahwa malaikat Jibril merupakan makhluk ruhani yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk menyampaikan wahyu. (Muhammad Rasyīd Ridhā, al-Wahyu al-Muhammadī, 83)

Berbeda dengan penjelasan tersebut, al-Dzahabi justru membagi wahyu pada empat bagian. Pada bagian ke empat ini (wahyu melalui malaikat) beliau mengatakan akan tidak mengetahuinya tentang adanya bagian dari Alquran yang diturunkan kepada Rasulullah melalui mimpi, ilham, atau secara langsung tanpa perantaraan. Namun, al-Dzahabi mengetahui bahwa Rasulullah SAW terkadang melihat mimpi, kemudian turun ayat Alquran yang membenarkannya, seperti mimpi beliau tentang masuknya ke Makkah, atau saat beliau melihat dalam tidurnya sungai Al-Kautsar yang disiapkan Allah untuknya di surga. Setelah beliau terbangun, turunlah surah Al-Kautsar ayat 1 hingga akhir surah.”

Memang ada dari sebagian orang mengatakan bahwa surah Al-Kautsar ini turun melalui mimpi, tetapi itu tidak benar. Namun, al-Dzahabi berpendapat sebaliknya bahwa seluruh Alquran diturunkan melalui perantaraan Jibril as. (Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Wahy wa al-Qur’an al-Karīm, 8-9)

Baca Juga: Inilah Lima Keadaan Nabi Muhammad SAW Ketika Menerima Wahyu Al-Quran

Kesimpulan

Alquran tidak diwahyukan kepada Nabi SAW melalui cara pertama, yaitu ilham, atau cara kedua, yaitu berbicara dari balik tabir. Kedua cara ini adalah metode wahyu yang digunakan untuk nabi-nabi Allah lainnya. Mungkin saja Nabi SAW mendapatkan ilham untuk hal-hal tertentu, tetapi bukan untuk Alquran. Seluruh Alquran diturunkan melalui cara ketiga (perantaraan malaikat), dan hal ini adalah sesuatu yang pasti, tanpa keraguan atau perdebatan. (Fadl Hasan ‘Abbās, (174)). Begitupun dengan beberapa pendapat ulama yang sudah disebutkan bahwa Alquran diwahyukan melalui perantara malaikat Jibril tidak dengan metode lainnya. Allahu a’lam.

Keistimewaan Bulan Syakban dan Turunnya Perintah Selawat

0
Keistimewaan Bulan Sya’ban dan Turunnya Perintah Selawat
Keistimewaan Bulan Sya’ban dan Turunnya Perintah Selawat

Dalamn kalender Hijriah, salah satu bulan yang istimewa adalah Bulan Syakban. Bulan yang diapit dua bulan mulia, yakni Bulan Rajab sebagai salah satu Asyhurul Hurum (Bulan Haram) dan Ramadhan sebagai Sayyidul Syuhur (Pemuka Bulan-bulan), kerap kali tidak diacuhkan oleh sebagian umat Islam. Padahal, di bulan ini terdapat banyak sekali keistimewaan, baik yang berupa fadilah keutamaann ritual maupun dari aspek historis.

Dalam berbagai sumber, di antara peristiwa penting yang terjadi pada Bulan Syakban adalah perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah di Makkah. Selain itu, pada bulan ini pula, Allah Swt. menetapkan takdir dan batas umur bagi seluruh makhluk bernyawa di dunia ini, tepatnya pada malan Nisfu Sya’ban.

Salah satu keistimewaan Bulan Syakban adalah diturunkannya perintah selawat kepada Nabi saw. Maka dari itu, bulan ini kerap kali dijuluki sebagai bulan selawat karena ayat yang memerintahkan selawat kepada Nabi saw. turun pada bulan ini. Perintah tersebut termaktub dalam QS Al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman berselawatlah kalian kepada Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.

Dalam ayat di atas, dikabarkan bahwa Allah beserta malaikat berselawat kepada Baginda Nabi. Namun, selawat dari Allah, malaikat dan orang-orang beriman memiliki makna dan pengertian yang berbeda beda.

Secara bahasa, selawat yang merupakan bentuk plural dari kata shalat memiliki arti doa. Ketika subjeknya adalah Allah Swt, selawat artinya limpahan rahmat dan rida. Ketika selawat subjeknya adalah malaikat, makna yang terkandung adalah doa dan istigfar. Dan, apabila subjeknya adalah manusia, selawat diartikan sebagai doa dan pengagungan [Tafsir al-Munir, juz 22, hal 96].

Baca juga: Malam Nisfu Syakban dan Penetapan Takdir

Menurut Imam Ibnu Katsir, ayat di atas merupakan pengakuan atas kemuliaan dan keagungan Nabi Muhammad saw. Dalam ayat tersebut, terkandung informasi bahwa penduduk langit berselawat kepada baginda Nabi saw. Maka dari itu, Allah Swt. memerintahkan penduduk bumi untuk berselawat kepada Nabi Muhammad saw. agar seluruh penghuni alam raya bersatu pada melantunkan selawat kepada Nabi saw. [Tafsir Ibnu Katsir, juz 6, hal. 404].

Berdasarkan ayat ini, ulama sepakat bahwa membaca selawat hukumnya wajib. Hal ini sesuai dengan kaidah dalam teori penafsiran teks bahwa pada dasarnya setiap perintah menunjukan makna kewajiban (الامر للوجوب حقيقة). Meski demikian, ulama berbeda pendapat mengenai waktu wajib membaca selawat. Di antaranya, ada yang berpendapat setiap selesai membaca tasyahud akhir dalam salat, ada yang berpendapat selawat wajib dibaca setiap nama Nabi Muhammad saw. disebut, dan beragam pendapat lainnya. Namun intinya, mereka sepakat bahwa membaca selawat wajib meskipun hanya sekali seumur hidup [Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 14, hal. 232-233].

Awal Mula Turunnya Perintah Selawat

Dalam berbagai kitab tafsir, keterangan mengenai waktu dan awal mula turunnya ayat yang berisi perintah selawat tersebut sangat minim bahkan nyaris tidak ada. Meski demikian, dalam beberapa literatur, kita dapat kita jumpai bahwa ayat yang tersebut turun pada Bulan Syakban.

Dalam kitab Mazda fi Sya’ban misalnya, Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki menyitir keterangan dari berbagai sumber bahwa perintah membaca selawat kepada Baginda Nabi saw. turun pada Bulan Syakban. Karena itulah, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak selawat pada bulan ini. Hal inilah yang menjadi faktor yang menyebabkan Bulan Syakban dijuluki sebagai bulan selawat.

Keutamaan Membaca Selawat Nabi

Sudah maklum di kalangan umat islam bahwa selawat memiliki banyak fadilah dan keutamaan. Dalam Kitab Mazda fi Sya’ban, Sayyid Muhammad al-Maliki menandaskan bahwa keutamaan membaca selawat sangat banyak. Di antaranya:

  1. Akan mendapat balasan selawat dari Allah Swt. dan malaikat-Nya. Hal ini sebagaimana hadis yang masyhur dari sahabat Abu Hurairah ra.

من صلى عليّ واحدة صلي الله عليه عشرا

Barang siapa yang berselawat kepadaku dengan satu selawat, maka Allah akan membalasnya dengan sepuluh selawat (HR Muslim).

Dalam riwayat lain, Rasulullah saw. bersabda:

من صلي عليّ لم تزل الملائكة تصلي عليه ما صلى عليّ

Barang siapa yang berselawat kepadaku maka malaikat akan senantiasa berselawat kepadanya selama ia masih berselawat kepadaku (HR Ahmad).

  1. Selawat dapat meningkatkan derajat seseorang di sisi Allah Swt. dan menambah kebaikan serta menjadi penghapus dosa dan kesalahan. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda:

من صلى علي صلاة واحدة صلى الله عليه عشر صلوات، وحط عنه بها عشر سيئات، ورفعه بها عشر درجات

Barang siapa yang berselawat kepadaku dengan satu selawat, maka Allah akan membalasnya dengan sepuluh selawat, diampuni sepuluh kesalahannya, dan diangkat derajatnya sepuluh kali lipat (HR Al-Nasa’i).

Baca juga: Mengapa Dianjurkan Berpuasa di Bulan Syakban?

  1. Menjadi salah satu sebab memperoleh syafat Nabi saw. kelak di hari kiamat. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:

من صلى علي كنت شفيعه يوم القيامة

Barang siapa yang berselawat kepadaku maka akulah yang akan memberinya syafaat kelak di hari kiamat.

  1. Selawat dapat mendatangkan berkah dalam hidup dan menghilangkan kefakiran, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai riwayat yang saling menguatkan satu sama lain. Salah satunya hadis Nabi saw.:

مثرة الذكر و الصلاة عليّ تنفي الفقر

Memperbanyak zikir dan selawat atasku akan menghilangkan kefakiran.

Masih banyak lagi keutamaan-keutamaan membaca selawat yang tidak dapat penulis jabarkan satu persatu.

Alhasil, Bulan Syakban disebut sebagai bulannya Nabi Muhammad saw. karena perintah selawat turun pertama kali pada bulan tersebut. Maka dari itu, mengingat keutamaan yang begitu besar dari selawat, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak membaca selawat, kususnya di Bulan Syakban ini. Wallahu a’lam.

PSQ dan Perjalanan Dua Dekade, Membimbing Umat dengan Al-Qur’an

0

Jakarta, 15 Februari 2025 – Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) merayakan 20 tahun perjalanannya dalam membumikan nilai-nilai Al-Qur’an di Indonesia. Sejak didirikan oleh Prof. Dr. M. Quraish Shihab, PSQ telah menjadi pusat kajian yang menekankan pendekatan tafsir moderat, akademis, dan kontekstual dalam memahami Al-Qur’an. Perayaan yang berlangsung di Masjid Istiqlal ini menjadi momentum refleksi sekaligus penguatan visi PSQ dalam menghadapi tantangan era modern.

Dalam acara yang dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional, akademisi, serta masyarakat luas ini, Muchlis M. Hanafi selaku direktur Pusat Studi al-Quran menjadi moderator dalam konferensi pers. Muchlis menjelaskan rangkaian acara 20 tahun Pusat Studi Al-Qur’an (PSQ) terdiri dari empat rangkaian acara: sesi 1 tabligh akbar, sesi 2 seminar al-Quran, sesi 3 Shihab&Shihab, dan sesi terakhir talkshow bersama Husein Ja’far Al Hadar dan Dr. Fahruddin Faiz.

BacaJuga: Grand Syekh Al-Azhar Kunjungi Indonesia, Quraish Shihab Tegaskan Komitmen Wasathiyyah

Pendiri PSQ, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, dalam refleksinya menyampaikan rasa syukur dan harapan ke depannya. “Kita patut bersyukur bahwa PSQ telah mencapai usia 20 tahun. Saya masih teringat dua dekade lalu saat perjalanan ini dimulai. Jangan pernah berpuas diri dengan apa yang telah dicapai. Mungkin, jika kita kembali ke 20 tahun lalu, harapan yang dulu kita gantungkan kini telah terwujud. Namun, perjalanan ini tidak boleh berhenti di sini. Sejak awal, cita-cita kita adalah agar generasi muda dapat memahami Al-Qur’an dengan baik. Dari waktu ke waktu, dengan dukungan yang terus mengalir, kita telah melangkah dari satu gagasan ke gagasan berikutnya, terus berkembang dan berinovasi,” ungkapnya.

Sementara itu, Ahmad Fikri Assegaf, Ketua Yayasan Dakwah Lentera Hati Indonesia (YDLHI) yang menaungi PSQ, menjelaskan kontribusi PSQ selama 20 tahun. “PSQ menaungi berbagai kegiatan, termasuk di dalamnya bidang publikasi yang berfokus pada pendidikan. Program-program yang dijalankan menargetkan dua kelompok utama: mereka yang dapat menjadi kader ahli tafsir dan mereka yang berperan aktif di masyarakat. Selama 20 tahun, PSQ telah melahirkan lebih dari 3.000 alumni, yang kini menjadi salah satu kekuatan besar kita. Berbagai kegiatan terus dikembangkan untuk mendukung peran alumni dalam dunia pendidikan dan masyarakat. Secara objektif, 20 tahun adalah usia yang cukup matang bagi sebuah lembaga. Namun, dalam perspektif organisasi, dua dekade ini masih merupakan awal dari perjalanan panjang ke depan,” ujar Fikri Assegaf.

PSQ, yang merupakan anggota Dewan Pakar PSQ, menyoroti pentingnya peran PSQ dalam membumikan al-Quran. “Membumikan Al-Qur’an adalah misi utama yang diemban oleh M. Quraish Shihab dan PSQ, agar pesan Al-Qur’an dapat dipahami dan diterapkan di Indonesia. Setelah peristiwa 9/11, muncul banyak kesalahpahaman tentang Al-Qur’an dan Islam, sehingga upaya membumikan Al-Qur’an menjadi semakin penting. Salah satu langkah strategis dalam misi ini adalah menerjemahkan Tafsir Al-Mishbah ke dalam bahasa Inggris, yang kini sedang dalam proses pengerjaan. Selain itu, PSQ berkomitmen mencetak generasi baru mufasir agar pemahaman Al-Qur’an terus berkembang. Meskipun menciptakan tokoh dengan kapasitas seperti M. Quraish Shihab bukan hal mudah, setidaknya kita dapat membentuk generasi yang siap melanjutkan perjuangan ini. Agar Tafsir Al-Mishbah lebih mudah diakses oleh anak muda, PSQ juga mengembangkan Aplikasi Tafsir Al-Mishbah, sehingga wawasan tafsir dapat dijangkau dengan lebih luas dan fleksibel,” kata Ulil.

BacaJuga: Usung Tema “Bergerak Kolektif untuk Berdampak,” Bayt Al-Quran Helat Reuni Akbar Kedua

Acara perayaan ini tidak hanya menjadi ajang refleksi, tetapi juga momentum untuk memperkenalkan berbagai program PSQ yang sedang berjalan, termasuk program Daurah Bidayatul Mufassir, pelatihan tafsir bagi mahasiswa, kajian akademik tentang pemikiran M. Quraish Shihab, serta publikasi berbagai hasil penelitian tentang Al-Qur’an. Sejumlah tokoh nasional, akademisi, serta perwakilan media turut hadir dalam perayaan ini, menunjukkan besarnya perhatian publik terhadap peran PSQ dalam kehidupan intelektual Islam di Indonesia.

Di tengah dinamika nasional yang terus berkembang, PSQ berkomitmen untuk terus menjadi pusat studi Al-Qur’an yang menjunjung tinggi nilai-nilai ilmiah, moderasi beragama, dan relevansi sosial. Dengan kiprah dua dekade ini, PSQ berharap dapat terus memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat, menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi dalam membangun kehidupan yang lebih baik.

Beberapa Peristiwa Bersejarah di Bulan Syaban

0
Peristiwa bersejarah di bulan Syaban
Peristiwa bersejarah di bulan Syaban

Dalam surah at-Taubah ayat 36, disebutkan bahwa jumlah bulan menurut Allah ada dua belas. Di antara kedua belas bulan tersebut, terdapat empat bulan yang mempunyai keistimewaan melebihi bulan-bulan yang lainnya.

Syekh Sulaiman bin Umar al-Bujairami (w. 1221 H) yang dikutip Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1315 H) dalam kitab Syarah Muraqinya, menyebutkan urutan bulan-bulan istimewa tersebut. Beliau mengatakan bahwa paling mulianya bulan secara mutlak adalah bulan Ramadhan kemudian diikuti bulan Muharram, bulan Rajab, bulan Dzulhijjah, bulan Dzulqo’dah, dan yang terakhir bulan Syaban. (Muraqi al-‘Ubudiyyah, hlm. 109).

Alasan keistimewaan bulan Syaban ini bisa jadi tidak terlepas dari beberapa peristiwa bersejarah dalam dakwah Islam yang terjadi di dalamnya. Antara lain peralihan kiblat dari Masjidil Aqsa ke Ka’bah di Masjidil Haram, terdapat malam nisfu sya’ban yang popular sebagai malam pengumpulan amal, dan seterusnya.

Sejarah Penamaan Bulan Syaban

Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki (w. 1425 H) menyebutkan bahwa dinamakan bulan Syaban karena banyaknya cabang-cabang amal kabaikan di bulan tersebut. Menurut pendapat lain, kata Syaban terambil dari kata “Syi’bi” yang berarti jalan kebaikan. Ada juga yang membaca ”Sya’bi” yang bermakna menambal. Maksudnya, pada bulan ini Allah swt. mengobati hati hamba-hambanya yang terluka. (Madza Fi Sya’ban, hlm. 5)

Baca Juga: Mengapa Dianjurkan Berpuasa di Bulan Syakban?

Peristiwa-Peristiwa Bersejarah yang Terjadi di Bulan Syaban

  1. Arah Kiblat Dialihkan ke Ka’bah di Masjidil Haram

Dalam bulan Syaban terdapat peristiwa pemindahan arah kiblat yang semula menghadap ke Baitul Maqdis (selama 17 bulan lebih 3 hari) beralih ke Ka’bah pada hari selasa bertepatan dengan Nisfu Syaban. Saat itu Rasulullah saw. sedang menantikan wahyu yang turun seraya menengadahkan kepalanya ke arah langit, hingga turunlah Q.S. al-Baqarah ayat 144 yang menjadi jawaban atas kegundahan hatinya yang berisi peralihan arah kiblat tersebut.

  1. Amal Perbuatan Dilaporkan kepada Allah

Termasuk keistimewaan bulan Syaban ialah terangkatnya amal perbuatan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasa’i dari Usamah bin Zaid. Usamah menceritakan bahwa beliau berkata kepada Rasulullah saw., ‘wahai Rasulullah! Aku tidak mendapatimu berpuasa di bulan-bulan lain seperti berpuasa di bulan Syaban ini!, Rasulullah menjawab:”pada bulan ini (antara bulan Rajab dan Ramadhan) kebanyakan manusia lalai, didalamnya, amal perbuatan dilaporkan kepada Allah SWT, maka aku senang bila amalku diangkat sedang aku dalam keadaan berpuasa.”

Kendati demikian, pengangkatan amal perbuatan ini tidaklah terkhusus dalam bulan Syaban, melainkan juga berada pada waktu-waktu lain seperti pada waktu siang dan malam hari, pada hari Senin dan Kamis.

  1. Umur Seseorang Ditentukan

Pada bulan Syaban ini, Allah swt. menetapkan umur seseorang. Maksudnya adalah diperlihatkannya ketetapan tersebut. Jika tidak demikian,  maka perbuatan Allah swt. tidaklah terbatasi oleh waktu dan tempat (tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan dia. Dan dia yang maha mendengar, maha melihat). (Q.S. Asy-Syura [42]: 11).

Diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah Ra. bahwasanya nabi saw. berpuasa di bulan Syaban, kemudian sang istri tersebut berkata, ‘wahai Rasulullah! bulan yang paling engkau cintai untuk berpuasa ialah bulan Syaban! Dan Nabi saw. merespon:” sesungguhnya Allah mencatat di dalamnya setiap jiwa yang meninggal tiap tahunnya, maka aku senang bila amalku diangkat sedang aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Ya’la)

Baca Juga: Beberapa Amalan Sunah di bulan Syakban

  1. Keutamaan Puasa di Bulan Syaban

Dalam sebuah riwayat, nabi saw. pernah ditanya: puasa manakah yang lebih utama setelah Ramdan? Nabi menjawab:” Syaban, untuk mengagungkan Ramadhan ,” ditanyakan kembali: sedekah seperti apa yang lebih afdal? Nabi menjawab:” sedekah di bulan Ramadan.” (HR. Tirmidzi)

Riwayat lain menyebutkan bahwa ‘Aisyah Ra. pernah berkata, Rasulullah saw. berpuasa hingga dia berkata bahwa nabi saw. tidak berbuka, dan nabi saw. berbuka hingga dia berkata nabi saw. tidak berpuasa, aku tidak melihat Rasulullah menyempurnakan puasa kecuali di bulan Ramadan dan aku tidak melihatnya memperbanyak puasa melainkan di bulan Syaban.” (H.R. al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

  1. Bulan Bersalawat Kepada Nabi Muhammad saw.

Termasuk keistimewaan bulan Syaban adalah diturunkannnya ayat yang berkenaan dengan perintah untuk membaca salawat kepada Nabi Muhammad saw. yang artinya:” Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (Q.S. Al-Ahzab [33]: 56)

Abu Laits as-Samarqondi (w. 375 H) menjelaskan dalam tafsirnya bahwa andai saja membaca salawat kepada Nabi Muhammad saw. tidak mendapatkan pahala kecuali mengharapkan syafaatnya, maka wajib bagi orang yang berakal untuk tidak lalai  membaca salawat kepada nabi saw. Dalam bersalawat terdapat ampunan dan rahmat dari Allah swt. Beliau juga menjelaskan bahwa jika seseorang ingin mengerti bahwa membaca salawat itu lebih utama daripada ibadah lainnya, maka bertafakkurlah terhadap dalam firman Allah Q.S. al-Ahzab [33]: 56.

Untuk perintah bersalawat ini terasa spesial karena di samping Allah memerintahkan, Allah swt. sendiri juga turut bersalawat. Hal ini juga menjadi alasan keistimewaan salawat dari pada ibadah lainnya. (Madza Fi Syaban, hlm. 9-18). Wallahu a’lam.

Menafsirkan Ayat-Ayat tentang Keadilan Ekonomi

0
ayat tentang keadilan ekonomi
ayat tentang keadilan ekonomi

Islam adalah agama yang memberikan perhatian besar pada aspek keadilan, termasuk dalam bidang ekonomi. Alquran, sebagai pedoman hidup umat Islam sarat dengan pesan-pesan tentang pentingnya menciptakan keseimbangan dan mencegah ketimpangan ekonomi. Dalam artikel ini, akan mengulas ayat-ayat tentang keadilan ekonomi, lengkap dengan pandangan para ulama klasik, modern, serta tokoh-tokoh dunia yang mendukung konsep ini.

Keadilan Ekonomi dalam Perspektif Al-Qur’an

Allah SWT. berfirman:

“كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ”

Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (Surah Al-Hasyr [59]: 7).

Ayat ini mengingatkan kita tentang bahaya konsentrasi kekayaan pada segelintir orang. Imam Al-Qurtubi dalam Tafsir Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan pentingnya distribusi kekayaan yang merata untuk mencegah kesenjangan sosial (Tafsir Al-Qurtubi, 18: 15).

Lebih lanjut, konsep zakat yang diatur dalam Alquran adalah salah satu mekanisme penting dalam Islam untuk memastikan keadilan ekonomi. Allah SWT berfirman:

“خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا”

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (Surah At-Taubah [9]: 103).

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’‘ menyebutkan bahwa zakat bukan sekadar ibadah ritual, tetapi juga instrumen sosial yang bertujuan untuk membantu mereka yang kurang mampu (Al-Majmu’‘, jilid 5, hlm. 382).

Baca Juga: Meluruskan Paradigma Keliru tentang Konsep Ekonomi Islam

Pesan Keadilan dalam Hadis Nabi

Rasulullah ﷺ bersabda:

“إِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ”

Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah adalah yang kontinu meskipun sedikit. (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menekankan pentingnya konsistensi dalam memberikan bantuan ekonomi kepada orang lain, baik dalam bentuk zakat, sedekah, maupun bentuk lainnya. Syekh Yusuf Al-Qaradawi dalam bukunya, Fiqh az-Zakat menjelaskan bahwa zakat adalah kewajiban kolektif yang bertujuan untuk menciptakan harmoni sosial (Fiqh al-Zakah, jilid 1, hlm. 267).

Pandangan Ulama Modern tentang Keadilan Ekonomi

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menyoroti bahwa keadilan ekonomi tidak hanya tentang pemerataan, tetapi juga tentang memberikan peluang yang setara kepada semua orang. Beliau menulis: “Islam mengajarkan bahwa keadilan ekonomi tidak berarti semua orang harus memiliki jumlah harta yang sama, tetapi memastikan tidak ada yang tertinggal di bawah garis kemiskinan.” (Tafsir Al-Misbah, jilid 10, hlm. 345).

Selain itu, Syed Abul A‘la Maududi dalam Economic Principles of Islam menjelaskan bahwa Islam menekankan keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial. Beliau menyatakan: “The economic system of Islam seeks to strike a balance between individual liberty and social responsibility.” (Sistem ekonomi Islam berusaha untuk menciptakan keseimbangan antara kebebasan individu dan tanggung jawab sosial). (Economic Principles of Islam, hlm. 79).

Pandangan Ilmuwan Barat tentang Keadilan Ekonomi

John Rawls, seorang filsuf politik terkemuka, dalam bukunya A Theory of Justice memperkenalkan konsep “justice as fairness” (keadilan sebagai kewajaran). Rawls mengatakan: “Social and economic inequalities are to be arranged so that they are to the greatest benefit of the least advantaged.” (Ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang paling tidak diuntungkan.) (A Theory of Justice, hlm. 266).

Konsep ini sejalan dengan prinsip keadilan ekonomi dalam Islam yang mengutamakan perlindungan terhadap kaum duafa.

Baca Juga: Keadilan Ekonomi Nabi Syuaib: Pelajaran untuk Dunia Modern

Keadilan Ekonomi dalam Konteks Indonesia

Indonesia adalah negara dengan potensi ekonomi besar, tetapi tantangan kesenjangan ekonomi masih menjadi pekerjaan rumah. Prinsip-prinsip Islam tentang keadilan ekonomi dapat menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini. Program seperti zakat, wakaf produktif, dan koperasi syariah bisa menjadi langkah nyata dalam memperbaiki distribusi kekayaan.

Sebagai contoh, penerapan wakaf produktif di beberapa wilayah Indonesia telah berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Misalnya, pembangunan rumah sakit atau sekolah berbasis wakaf memberikan akses layanan kesehatan dan pendidikan kepada masyarakat yang kurang mampu.

Mewujudkan Keadilan Ekonomi

Islam mengajarkan bahwa keadilan ekonomi adalah bagian dari ibadah. Dengan menafsirkan ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi, dapat dipahami bahwa keadilan ekonomi tidak hanya tentang redistribusi kekayaan, tetapi juga tentang menciptakan peluang yang setara bagi semua orang.

Sebagaimana Allah SWT. berfirman:

“إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَ”

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat. (Q.S. an-Nahl [16]: 90).

Dengan menghidupkan semangat keadilan ekonomi, kita tidak hanya menjalankan ajaran agama, tetapi juga berkontribusi pada pembangunan bangsa yang lebih sejahtera. Wallahu a’lam bishawab.

Gotong Royong sebagai Kearifan Lokal dan Spirit Sosial Indonesia

0
Menafsirkan Gotong Royong sebagai Kearifan Lokal dan Spirit Sosial Indonesia
Menafsirkan Gotong Royong sebagai Kearifan Lokal dan Spirit Sosial Indonesia

“Gotong royong” Adalah istilah yang sangat akrab bagi orang Indonesia. Di Indonesia, ia bukan sekadar aktivitas kolektif, tetapi sebuah nilai yang melekat pada identitas bangsa. Dalam Islam, konsep gotong royong sejatinya memiliki akar yang kuat, baik dalam Alquran maupun hadis Nabi Muhammad ﷺ. Sebagai kearifan lokal, ia tidak hanya menjadi modal sosial bangsa, tetapi juga cerminan dari spirit sosial yang selaras dengan nilai-nilai Islam.

Mari kita menyelami bagaimana Islam dan kearifan lokal ini bertemu dalam harmoni, dengan mengutip pandangan ulama klasik, modern, dan tokoh-tokoh dunia yang relevan.

Perspektif Alquran dan Hadis

Allah Swt. berfirman dalam Alquran:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan (Q.S. Al-Ma’idah [5]: 2).

Ayat ini menjadi landasan teologis tentang pentingnya gotong royong. Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ayat ini mendorong manusia untuk bekerja sama dalam segala bentuk kebajikan yang membawa manfaat bagi masyarakat (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 6: 110). Dalam konteks Indonesia, semangat gotong royong adalah manifestasi nyata dari ajaran ini, di mana setiap individu saling membantu demi kebaikan bersama.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ الْوَاحِدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Perumpamaan orang-orang beriman dalam saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggotanya sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menegaskan pentingnya solidaritas sosial dalam Islam. Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya, Nihayat al-Zain (hlm. 123) mengaitkan hadis ini dengan kewajiban setiap muslim untuk peduli terhadap sesama, baik dalam bentuk harta, tenaga, maupun doa. Prinsip ini selaras dengan gotong royong yang menjadi jiwa sosial bangsa Indonesia.

Akar dan Relevansinya

Gotong royong di Indonesia memiliki akar budaya yang dalam, sejak zaman kerajaan hingga era modern. Dalam masyarakat agraris, gotong royong menjadi solusi kolektif untuk mengatasi tantangan hidup. Aktivitas seperti membangun rumah, panen bersama, hingga membantu tetangga yang membutuhkan adalah bentuk konkret dari nilai ini.

Baca juga: Pelajaran dari Perang Khandaq

Dr. Koentjaraningrat, seorang antropolog ternama Indonesia, menjelaskan bahwa gotong royong adalah bentuk solidaritas sosial yang memperkuat hubungan antarindividu di dalam masyarakat. Ia berkata: “Gotong royong adalah mekanisme tradisional yang menjaga kohesi sosial di tengah keberagaman masyarakat Indonesia.”

Semangat ini tidak hanya berlaku dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi modal sosial dalam menghadapi tantangan besar seperti bencana alam dan pandemi.

Perspektif Ulama Modern

Syekh Yusuf Al-Qaradawi menekankan bahwa kerja sama dan solidaritas sosial adalah wujud nyata dari implementasi zakat, infak, dan sedekah dalam kehidupan masyarakat muslim. Beliau berkata:

التضامن الاجتماعي في الإسلام ليس مجرد صدقة، بل هو نظام متكامل لحماية المجتمع من الفقر والتفرقة

Solidaritas sosial dalam Islam bukan sekadar sedekah, tetapi merupakan sistem yang komprehensif untuk melindungi masyarakat dari kemiskinan dan perpecahan (Fiqh al-Zakah, jilid 2, hlm. 412).

Gotong royong di Indonesia dapat dipandang sebagai bentuk solidaritas yang mengakar, di mana masyarakat saling bahu-membahu tanpa memandang status sosial, agama, atau suku.

Pandangan Tokoh Dunia tentang Solidaritas

Nelson Mandela, seorang tokoh perjuangan antiapartheid, pernah berkata: “Overcoming poverty is not a gesture of charity; it is an act of justice. It is the protection of a fundamental human right.” (Mengatasi kemiskinan bukanlah tindakan amal; itu adalah tindakan keadilan. Ini adalah perlindungan terhadap hak asasi manusia yang fundamental).

Baca juga: Belajar Organisasi dari Semut dalam Surat An-Naml Ayat 18-19

Pandangan Mandela ini sejalan dengan prinsip gotong royong yang tidak hanya didasarkan pada kedermawanan, tetapi juga rasa keadilan dan tanggung jawab sosial.

Di era modern, gotong royong menghadapi tantangan berupa individualisme dan gaya hidup digital. Namun, nilai ini tetap relevan jika diadaptasi dengan inovasi sosial. Misalnya, platform crowdfunding menjadi wujud baru dari gotong royong dalam membantu mereka yang membutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa ia bukanlah nilai usang, melainkan konsep yang terus hidup dan berkembang.

Kesimpulan: Gotong Royong sebagai Manifestasi Spirit Islam

Gotong royong adalah bukti nyata bahwa Islam dan kearifan lokal Indonesia dapat berjalan beriringan. Nilai ini tidak hanya memperkuat kohesi sosial, tetapi juga menjadi cerminan dari ajaran Alquran dan hadis yang menekankan pentingnya solidaritas dan kebersamaan.

Sebagaimana Allah firman Swt:

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ صَفًّا كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh (Q.S. As-Saff [61]: 4).

Dengan menghidupkan semangat gotong royong, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga menjalankan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kebersamaan demi kemaslahatan bersama. Wallahu a’lam bishawab.