Beranda blog Halaman 16

Menghadapi “Zulaikha Virtual” dengan Amalan Nabi Yusuf

0
Menghadapi “Zulaikha Virtual” dengan Amalan Nabi Yusuf di Era Digital
Menghadapi “Zulaikha Virtual” dengan Amalan Nabi Yusuf di Era Digital

Fenomena pornografi dan pornoaksi di Indonesia masih menjadi masalah serius karena berpotensi besar merusak akhlak pemuda-pemudi bangsa (Rajab dkk., 2021: 7). Tindakan asusila di masa sekarang memang semakin rentan dikarenakan rendahnya pengawasan sosial dan perkembangan teknologi, apalagi dengan adanya alat kontrasepsi yang disalahgunakan untuk melakukan seks bebas (Giddens, 1992: 66-70).

Godaan dan hawa nafsu tidak hanya datang melalui dimensi fisik seperti ketika dahulu Zulaikha menggoda Yusuf. Namun, gejolak syahwat kini dapat timbul dari layar kaca yang dapat menjerumuskan seseorang dalam perbuatan maksiat.

Tindakan asusila yang bervariasi di media digital dikenal dengan cybersex (Prabowo, 2021: 81). Aktivitas seksual cybersex dilakukan melalui media sosial dengan menggunakan pesan teks, gambar, video, atau komunikasi interaktif lainnya. Fenomena ini berkembang pesat seiring dengan kemajuan teknologi digital dan ketersediaan platform daring seperti media sosial, aplikasi pesan instan, dan situs khusus.

Cybersex dapat dilakukan oleh individu yang saling mengenal atau oleh orang yang belum pernah bertemu secara langsung. Bentuk cybersex bervariasi, mulai dari sekadar bertukar pesan erotis, berbagi foto atau video eksplisit, bermain game erotis, hingga interaksi langsung melalui panggilan video (videocall sex) (Prabowo, 2021: 84-85). Faktor pendorong aktivitas ini meliputi kemudahan akses, anonimitas, dan keinginan untuk mendapatkan kepuasan seksual tanpa keterlibatan fisik langsung.

Untuk menghindari dampak negatifnya, penting bagi setiap muslim untuk menjaga privasi digital, meningkatkan kesadaran akan keamanan siber, serta memahami batasan etika dan hukum terkait aktivitas di media sosial. Oleh karena itu, pendidikan karakter menjadi sangat urgen di seluruh lapisan masyarakat. Selain panduan sosial dan teknologi, ajaran Alquran juga memiliki peran penting sebagai fondasi karakter muslim yang ideal.

Tubuh sebagai Amanah Allah

Tubuh adalah amanah dari Allah yang wajib dipelihara fungsi dan kehormatannya oleh setiap insan, dimulai dari menjaga tata busana dan pergaulan dalam lingkup sosial. Allah senantiasa memperingatkan kita untuk tidak menuruti hawa nafsu dan berusaha mengingat Allah dalam setiap keadaan, sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Kahfi [18] ayat 28 yang berbunyi,

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْۚ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا

Bersabarlah engkau bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.”

Baca juga: Memahami Makna Seksualitas Perempuan Melalui Kisah Yusuf dan Zulaikha dalam Alquran

As-Sa’di (2002: 475) menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya bahwa Allah memerintahkan Nabi-Nya, Muhammad dan para sahabatnya (termasuk umatnya) supaya bersabar bersama orang-orang beriman. Serta menjauhi godaan dunia, sebab hal ini merupakan bahaya, tidak bermanfaat, penghancur kemaslahatan agama dan menjadikan hati bergantung dengan dunia. Akibatnya, pikiran dan angan-angan terfokuskan padanya. Kecintaan di hati terhadap akhirat sirna.

Sesungguhnya perhiasan dunia dapat membuat hati lalai untuk mengingat Allah dan lebih tertarik dengan aneka kelezatan dan godaan syahwat. Kemudian dia menjadi orang yang merugi dan menyesal selama-lamanya. Perintah untuk menjaga iffah (kesucian) dengan menahan diri dari yang tidak halal dan tidak bagus juga tertera sebagaimana firman Allah pada surah An-Nur [24] ayat 33.

Menjadi Generasi Yusuf di Era Digital

Kisah Nabi Yusuf memberikan teladan tentang bagaimana menjaga kehormatan dari hawa nafsu. Kisah tersebut termaktub dalam surah Yusuf [12] ayat 23-24:

وَرَاوَدَتْهُ الَّتِيْ هُوَ فِيْ بَيْتِهَا عَنْ نَّفْسِهٖ وَغَلَّقَتِ الْاَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۗقَالَ مَعَاذَ اللّٰهِ اِنَّهٗ رَبِّيْٓ اَحْسَنَ مَثْوَايَۗ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الظّٰلِمُوْنَ (۲٣) وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهٖۙ وَهَمَّ بِهَا ۚ لَوْلَآ اَنْ رَّاٰ بُرْهَانَ رَبِّهٖۗ كَذٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوْۤءَ وَالْفَحْشَاۤءَۗ اِنَّهٗ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ (۲۴)

“Perempuan, yang dia (Yusuf) tinggal di rumahnya, menggodanya. Dia menutup rapat semua pintu, lalu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” Yusuf berkata, “Aku berlindung kepada Allah. Sesungguhnya dia (suamimu) adalah tuanku. Dia telah memperlakukanku dengan baik. Sesungguhnya orang-orang zalim tidak akan beruntung (23). Sungguh, perempuan itu benar-benar telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Yusuf pun berkehendak kepadanya sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami memalingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia (Yusuf) termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih (24).”

Ayat tersebut menunjukkan isyarat bahwa memang ketika seseorang hendak bermaksiat akan “menutup semua pintu”, sama halnya ketika melakukan tindakan cybersex diam-diam tanpa diketahui orang lain. Menurut Hamka, alih-alih menuruti hawa nafsunya, Nabi Yusuf menunjukkan keteguhan iman dan ihsan dalam situasi seperti ini yang ditandai dengan dua hal.

Baca juga: Menjadi Seorang Asketis di Era Media Sosial

Pertama, Nabi Yusuf meminta perlindungan pada Allah dari godaan nafsu dengan kalimat ta’awudz. Merasakan kehadiran dan pengawasan Allah merupakan ciri-ciri ihsan, meskipun seorang hamba tidak dapat melihat tuhannya. Kedua, terdapat burhan (tanda dari Allah) saat Nabi Yusuf menghadapi godaan Zulaikha. Tanda yang dimaksud adalah Yusuf ingat dirinya adalah utusan Allah, begitu pula ayahnya Nabi Ya’kub, anak dari Nabi Ishak dan anak dari Ibrahim. Kemudian sekilas Nabi Yusuf mengingat masa kecilnya dengan adiknya Bunyamin dan saudara-saudaranya yang menjatuhkannya ke sumur. Peristiwa itu membentuk karakter dan jiwa Yusuf untuk bertahan dan melawan cobaan kehidupan (Hamka, 1990: 3629).

Pemuda pemudi yang belum mampu melangsungkan pernikahan hendaknya menjauhi softporn (pemicu hawa nafsu) dan perilaku cybersex yang dapat menjerumuskan pada kemaksiatan. Dengan mengingat identitas sebagai muslim, menguatkan iman dan ihsan, serta mengingat jasa orang tua yang telah membesarkan setiap insan, semoga langkah-langkah ini dapat menjadi solusi bagi umat muslim untuk menjauhi maksiat dan godaan syahwat yang tersebar di media sosial.

Wallahu a’lam.

Linguistik dalam Alquran: Menjawab Tuduhan Orientalis

0

Ada banyak serangan dari orientalis pada Alquran. Salah satu bentuk serangan mereka adalah dengan mengatakan bahwa dalam mushaf Alquran terdapat kesalahan yang nyata, kekeliruan linguistik, dan pencampuran yang hampir tidak tersembunyi bagi siapa pun yang memiliki ilmu bahasa Arab. Mereka memberikan contoh sebagai berikut:

Baca Juga: Inilah Beberapa Argumentasi Orientalis dalam Mematahkan Autentisitas Al-Quran

Firman Allah Ta’ala:

وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ

Seharusnya (menurut mereka), bentuk yang lebih tepat adalah “وَالصَّابِرُونَ” bukan “وَالصَّابِرِينَ”.

Firman Allah Ta’ala:

وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا

Seharusnya (menurut mereka), dikatakan “وَأَسَرَّ النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا”.

Dan juga dalam ayat:

ثُمَّ عَمُوا وَصَمُّوا كَثِيرٌ مِنْهُمْ

Seharusnya (menurut mereka), dikatakan “ثُمَّ عَمُوا وَصَمُّوا كَثِيرًا مِنْهُمْ”.

Firman Allah Ta’ala:

لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ

Seharusnya (menurut mereka), dikatakan “وَأَكُونَ” bukan “وَأَكُن”.

Mereka mengklaim bahwa ayat-ayat tersebut memiliki kesalahan linguistik atau ketidaktepatan dalam struktur tata bahasa Arab. Namun, dalam ilmu tafsir dan qira’at, penjelasan mengenai bentuk-bentuk ini telah dikaji dengan mendalam oleh para ulama. (Fadl Hasan ‘Abbas, al-Madkhal li Dirāsah al-Qur’ān, 383)

Baca Juga: Alquran di Mata Orientalis Abad Renaisans

Asumsi-asumsi di atas dijawab oleh Fadl Hasan ‘Abbas dengan beberapa argument. Berikut penjelasannya:

Pertama, adapun mengenai firman-Nya, “dan orang-orang yang sabar”, maka kata “الصابرين” (orang-orang yang sabar) dalam ayat ini berbentuk manshub sebagai bentuk pujian, yang berarti “Aku memuji orang-orang yang sabar”. Perbedaan dalam gaya penyampaian ini, yang tidak mengikuti pola yang sebelumnya, bertujuan untuk menjelaskan keutamaan kesabaran dan kedudukannya yang tinggi dalam kebajikan (al-birr).

Seolah-olah Allah SWT ingin menjelaskan kepada kita bahwa meskipun disebutkan terakhir dalam penyebutan, kesabaran tetap memiliki kedudukan yang mulia dan pahala yang besar. Fadl Abbas mengemukakan pendapat para imam bahasa dan nahwu mengenai kebiasaan orang Arab dalam menggunakan bentuk nasab untuk tujuan pengkhususan (an-nashb ‘ala al-ikhtishash). (Fadl Hasan ‘Abbas, al-Madkhal li Dirāsah al-Qur’ān, 384)

Dalam kitab Mafātih al-Ghaib (48) karya al-Rāzī dijelaskan bahwa dalam menashabkan kata “الصابرين” menurut Al-Farra’ sebagai pujian, meskipun merupakan sifat dari man (مَن). Dan alasan kata المُوفُونَ (orang-orang yang menepati) dalam ayat tersebut berada dalam keadaan marfu’ (رفَعَ) sementara الصّابِرِينَ (orang-orang yang sabar) dalam keadaan manshub (نَصَبَ) adalah karena panjangnya pembicaraan dalam bentuk pujian. Bangsa Arab memang sering menggunakan bentuk manshub dalam konteks pujian atau celaan jika kalimatnya panjang dan tersusun dalam rangkaian sifat untuk satu hal yang sama.

Kedua, firman Allah (وَأَسَرُّوا) dan (ثُمَّ عَمُوا وَصَمُّوا), maka ini datang berdasarkan beberapa dialek suku Arab, yaitu dalam bahasa yang dikenal sebagai Akalūnī al-Barāghīth. Bahasa ini memiliki banyak bukti dalam bahasa Arab. Dalam dialek ini, sufiks yang melekat pada kata kerja bukanlah dhamir tetapi merupakan tanda untuk menunjukkan bentuk dual atau jamak, sedangkan kata setelahnya adalah fa’il (subjek). Atau bisa juga dipahami bahwa sufiks tersebut adalah fa’il, sementara kata yang mengikutinya merupakan badal (pengganti) dari fa’il tersebut, atau berfungsi sebagai fa’il untuk fi’il yang dihilangkan yang dijelaskan oleh kata setelahnya. Dalam ayat ini, misalnya, takdirnya adalah (وَأَسَرُّوا النَّجْوَى أَسَرَّهَا الَّذِينَ ظَلَمُوا) yang berarti “Dan mereka merahasiakan bisikan itu, mereka yang zalim merahasiakannya.” Penjelasan ini mensinyalir penjelasan al-Zamakhsyari dalam kitab al-Kasyāfnya. (Mahmūd bin ‘Umar al-Zamahsyarī, al-Kassyāf, 126)

Baca Juga: Dialek Alquran Kedaerahan dalam Perspektif Linguistik

Ketiga, firman Allah (فَأَصَّدَّقَ وَأَكُن مِّنَ الصَّالِحِينَ), Fadl Hasan (384) berkata bahwa terdapat dua qira’ah (cara pembacaan) yang sahih dalam qira’ah sab’ah: Pertama, (وَأَكُونَ) dengan nashab (fathah), yang dibaca oleh Abu Amr, dan ini memiliki makna yang jelas. Ibnu ‘Asyūr menjelaskan dalam kitabnya al-Tahrīr wa al-Tanwīr (28:254) bahwa Abu ‘Ali al-Farisi dan al-Zujaj menafsirkan bacaan mayoritas ulama dengan menjadikan (وأكُنْ) sebagai kata yang di’athafkan kepada posisi (فَأصَّدَّقَ).

Kedua, (وَأَكُنْ) dengan dibaca jazm (sukun), yang dipahami sebagai bentuk ‘athf ‘ala al-ma’na (penyandaran pada makna). Dalam konteks ini, kalimat memiliki makna syarat (kondisional), sehingga seakan-akan Allah berfirman: “Jika Engkau menangguhkan aku hingga waktu yang dekat, niscaya aku akan bersedekah dan aku akan menjadi bagian dari orang-orang yang saleh.” Bentuk seperti ini dalam bahasa Arab dikenal dalam ilmu nahwu sebagai al-’athf ‘ala al-tawahhum (penyandaran pada dugaan makna). (Fadl Hasan ‘Abbas, al-Madkhal li Dirāsah al-Qur’ān, (384.)

Dalam keterangan lain dijelaskan bahwa Abu ‘Amr sendiri dari sepuluh qira’at membacanya dengan (وأكُونَ) dalam bentuk nashab. Bacaan ini adalah riwayat mutawatir meskipun berbeda dengan rasm mushaf-mushaf mutawatir. Dikatakan bahwa bacaan ini sesuai dengan rasm Mushaf Ubay bin Ka’b dan Mushaf Ibnu Mas’ud. Al-Hasan, al-A’mash, dan Ibnu Mahidh juga membaca dengan bacaan tersebut, meskipun termasuk dalam qira’at yang tidak masyhur. Bacaan ini juga diriwayatkan dari Malik bin Dinar, Ibnu Jubair, dan Abu Raja’, namun dengan tingkat ketenaran yang lebih rendah.

Baca Juga: Unsur Keindahan Linguistik Ayat-Ayat dalam Surah Attakwir

Itulah jawaban-jawaban dari Fadl Hasan ‘Abbas terhadap tuduhan miring dari para orientalis, ditambah dengan penjelasan dari ulama tafsir, seperti al-Rāzī, al-Zamahsyarī dan Ibnu ‘Asyūr oleh penulis sebagai penguat atas jawabannya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa susunan bahasa dalam alquran sama sekali tidak ada yang salah dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah Bahasa arab.

Work-Life Balance di Era Digital: Pelajaran dari Surah Al-‘Asr

0
work life balance_pelajaran dari surah al-'asr
work life balance_pelajaran dari surah al-'asr

Di dunia digital yang tak pernah tidur, waktu sering kali terasa semakin singkat. Notifikasi yang terus berdatangan, deadline dunia maya menggerus waktu, tekanan untuk terus produktif, serta budaya hustle di media sosial membuat keseimbangan antara produktivitas dan ketenangan jiwa semakin sulit dijaga. Platform seperti TikTok Live, LinkedIn hustle posts, atau obrolan late-night di Discord seringkali menyita perhatian tanpa disadari, membuat kita larut dalam arus tanpa arah.

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2024 telah mencapai 221.563.479 jiwa, atau sekitar 79,5% dari total populasi (apjii.or.id). Dengan penetrasi internet yang terus meningkat, semakin banyak orang yang menghabiskan waktunya di dunia maya, entah untuk bekerja, mencari hiburan, atau sekadar mengisi kekosongan.

Allah Swt. telah bersumpah atas waktu, menegaskan betapa berharganya detik-detik yang terus berlalu. Dalam surah al-‘Asr, Allah Swt. berfirman:

وَالْعَصْرِۙ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ

Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.”

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ashr: Waktu yang Hilang Tidak Akan Kembali Lagi

Imam Ath-Thabari dalam Jāmi‘ al-Bayān, juz 24 hlm. 612) menjelaskan bahwa al-‘asr yang disebut dalam surah ini mencakup seluruh rentang waktu, siang, malam, bahkan usia manusia secara keseluruhan. Ini mengisyaratkan bahwa Allah bersumpah atas sesuatu yang amat berharga, yang jika tidak dimanfaatkan dengan baik, hanya akan membawa penyesalan.

Sementara itu, Fakhruddin Ar-Razi (Mafatih al-Ghayb, juz 32/hlm. 280) menggarisbawahi bagaimana manusia cenderung lebih tertarik pada dunia dibanding akhirat. Kesenangan dunia tampak lebih nyata karena didorong oleh panca indera, syahwat, dan emosi, sedangkan jalan menuju kebahagiaan akhirat sering kali tersembunyi dan memerlukan kesabaran serta usaha. Inilah sebabnya banyak orang terjebak dalam rutinitas duniawi hingga lupa bahwa sejatinya, mereka sedang kehilangan sesuatu yang jauh lebih berharga.

Dalam konteks digital, ini bisa kita lihat dalam fenomena doomscrolling, ketergantungan pada validasi sosial, hingga kebiasaan menunda hal-hal yang lebih bermakna. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir ar-Razi, manusia hanya akan terbebas dari kerugian jika mereka mengarahkan hidupnya pada sesuatu yang lebih abadi, yakni kehidupan akhirat.

Tidak cukup dengan ayat, Rasulullah saw. juga mengingatkan tentang pentingnya waktu dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Nabi Saw. bersabda: “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu di dalamnya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi Rabbnya, hingga dia ditanya tentang lima perkara: tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia perbuat dari ilmu yang dimilikinya.”

Hadis-hadis ini memperkuat urgensi manajemen waktu di era digital, di mana distraksi dan time-wasting activities menjadi tantangan utama umat saat ini.

Baca Juga: Hikmah Allah Bersumpah dengan Waktu Fajar dalam Surah Al-Fajr

Implementasi Praktis di Era Digital

Iman sebagai Kompas Digital

Di tengah arus informasi yang terus mengalir, iman bisa menjadi filter dalam memilih dan membagikan konten. Sebelum men-scroll feed atau mengunggah sesuatu, coba renungkan: Apakah ini membuat saya lebih dekat kepada Allah? Praktisnya, bisa dimulai dengan hal sederhana, misalnya, mengaktifkan notifikasi adzan di ponsel sebagai pengingat untuk sejenak berhenti, merenung, dan menyegarkan hati di tengah rutinitas digital.

Amal Saleh dalam Dunia Maya

Dunia digital menawarkan begitu banyak ruang untuk berbagi kebaikan. Mungkin lewat konten edukatif, diskusi bermanfaat di grup WhatsApp, atau sekadar menyebarkan informasi yang bisa membantu sesama. Kalau seorang software developer bisa menciptakan aplikasi yang memudahkan ibadah, sementara content creator bisa menghadirkan inspirasi melalui karya mereka. Maka hendaknya setiap klik, unggahan, atau interaksi kita bisa menjadi ladang pahala jika dilakukan dengan niat yang benar.

Kolaborasi Digital untuk Kebaikan

Teknologi membuka peluang untuk membangun komunitas yang saling mendukung. Dari tadarus online di grup Telegram, penggalangan dana melalui platform crowdfunding, hingga webinar kajian Islam, semuanya bisa menjadi bentuk tolong-menolong yang lebih luas dan efektif. Kolaborasi seperti ini bukan hanya memperkuat hubungan sosial, tapi juga menghadirkan manfaat yang nyata bagi banyak orang.

Sabar di Era Serba Instan

Di dunia digital, godaan terbesar sering kali datang dalam bentuk kecepatan scroll tanpa henti, reaksi spontan terhadap provokasi, atau keinginan instan untuk diakui. Membangun ketahanan digital berarti belajar untuk lebih sabar: sabar menahan diri dari doomscrolling, sabar dalam menyaring informasi sebelum membagikannya, dan sabar dalam membangun kehadiran online yang bermakna. Digital detox bisa menjadi cara sederhana untuk menjaga keseimbangan, sekaligus memberi ruang bagi interaksi yang lebih nyata dengan orang-orang terdekat.

Baca Juga: Waktu Pagi dan Keberkahannya dalam Alquran

Refleksi Kesadaran Digital

Ketika Notifikasi Mengalahkan Dzikir: Seberapa sering kita lebih sigap menanggapi pesan WhatsApp dibanding panggilan adzan? Berapa lama kita menghabiskan waktu untuk menelusuri media sosial dibanding membaca Al-Qur’an? Dalam keseharian, tanpa sadar kita sering kali lebih responsif terhadap ping smartphone dibanding seruan spiritual yang mengajak kita mendekat kepada-Nya.

Antara Like dan Ridha Allah: Di era di mana metrik digital menjadi tolok ukur eksistensi, jumlah likes, followers, dan engagement. Sudahkah kita mengukur seberapa banyak amalan yang kita “unggah” ke dalam catatan amal akhirat? Setiap postingan, komentar, dan share bukan sekadar aktivitas duniawi, tetapi juga jejak yang akan bersaksi kelak.

Jejak Digital yang Kekal: Dalam hadis Qudsi, Allah berfirman: “Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku.” Jika setiap interaksi digital kita pandang sebagai peluang beramal, maka dunia maya bisa menjadi sarana dakwah dan ladang pahala. Setiap konten yang menginspirasi, setiap ilmu yang dibagikan, dan setiap ajakan kebaikan yang disebarluaskan, bisa menjadi investasi akhirat yang tak terputus.

Penutup: Menuju Digital Barakah

Surah Al-‘Asr bukan sekadar peringatan tentang waktu, tetapi juga panduan komprehensif untuk navigasi di lautan digital. Setiap notification, setiap scroll, dan setiap post adalah kesempatan untuk meraih ridha Allah swt. Di era di mana dunia maya sering mengalahkan realitas, sudah semestinya umat Muslim menjadikan teknologi sebagai kendaraan menuju surga, bukan jurang kehancuran.

Seperti kata Imam Syafi’i: “Waktu ibarat pedang, jika kamu tidak memanfaatkannya dengan baik, maka ia akan memanfaatkanmu.” Pilihan ada di tangan kita, dan setiap detik yang berlalu adalah kesempatan untuk memilih: apakah kita akan menjadi bagian dari “illalladzina amanu” (orang-orang yang beriman) atau termasuk dalam “lafi khusrin” (dalam kerugian). Wallahu ‘alam

Menggali Pesan Alquran untuk Menjaga Keutuhan NKRI

0
pesan Alquran untuk Keutuhan NKRI
pesan Alquran untuk Keutuhan NKRI

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah anugerah yang wajib disyukuri sekaligus dijaga. Sebagai negara dengan keberagaman suku, budaya, bahasa, dan agama, menjaga keutuhan bangsa bukanlah tugas ringan. Namun, Alquran sebagai pedoman hidup umat Islam telah memberikan panduan moral, etika, dan spiritual untuk menjaga harmoni dalam keberagaman. Artikel ini akan menggali pesan-pesan Alquran yang relevan dalam menjaga persatuan dan kesatuan NKRI.

Persatuan sebagai Amanah Ilahi

Allah SWT. berfirman:

“وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا”

“Berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Surah Ali Imran [3]: 103).

Ayat ini menjadi dasar penting bagi umat Islam untuk menjaga persatuan. Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menjelaskan bahwa “tali Allah” merujuk pada Al-Qur’an dan ajaran Islam yang menyatukan umat (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 4:25). Beliau juga menekankan bahwa perpecahan adalah sumber kelemahan yang dapat menghancurkan masyarakat.

Dalam konteks NKRI, ayat ini mengajarkan bahwa keberagaman adalah kekuatan jika kita bersatu pada nilai-nilai yang universal, seperti keadilan, kebajikan, dan perdamaian. Persatuan bukan sekadar jargon politik, tetapi amanah Ilahi yang harus dijaga dengan penuh kesadaran.

Baca Juga: Menjaga Negara Sama Pentingnya dengan Menjaga Agama

Keadilan sebagai Pilar Keutuhan Bangsa

Keberlanjutan sebuah bangsa sangat bergantung pada keadilan. Allah SWT berfirman:

“إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ”

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat.” (Surah An-Nahl [16]: 90).

Kata al-‘adl (keadilan) dalam ayat ini mencakup keadilan sosial, ekonomi, dan hukum. Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menjelaskan bahwa keadilan adalah fondasi bagi keberlanjutan masyarakat dan negara (Mafatih al-Ghaib, 20:31). Bangsa yang tidak menegakkan keadilan akan mudah terpecah karena ketidakpuasan dan ketimpangan.

Pandangan ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh filsuf barat, John Rawls, dalam bukunya, A Theory of Justice. Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah prinsip utama dalam membangun masyarakat yang stabil dan harmonis.

Toleransi dalam Keberagaman

Indonesia adalah rumah bagi berbagai agama dan kepercayaan. Untuk menjaga keutuhan NKRI, toleransi menjadi prinsip yang tidak bisa ditawar. Alquran menegaskan pentingnya toleransi melalui firman-Nya:

“لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ”

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (Surah Al-Kafirun [109]: 6).

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan prinsip non-pemaksaan dalam agama dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain (Tafsir Ibnu Katsir, 4:573). Dalam konteks NKRI, toleransi adalah syarat mutlak untuk menjaga keharmonisan di tengah pluralitas masyarakat.

Nelson Mandela juga pernah berkata: “Our rich and varied cultural heritage has a profound power to help build our nation.” (Warisan budaya kita yang kaya dan beragam memiliki kekuatan mendalam untuk membantu membangun bangsa kita.)

Pernyataan Mandela ini menggarisbawahi bahwa keberagaman bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang dapat memperkuat keutuhan bangsa.

Baca Juga: Surah Ali Imran [3]: 103: Menjaga Integrasi Negara

Kesadaran Bernegara dalam Perspektif Islam

Islam juga mengajarkan pentingnya menjaga negara sebagai tempat berlindung dan beribadah. Ada ungkapan yang (sebagian) menyatakan dari Rasulullah ﷺ yaitu,

“حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيمَانِ”

“Cinta tanah air adalah bagian dari iman.”

Meskipun sebagian ulama seperti Syekh Muhammad Al-Ghazali menyatakan bahwa hadis ini lemah secara sanad, maknanya tetap relevan secara etika dan nilai. Sebab, menjaga tanah air adalah bagian dari menjaga maslahat umat.

Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah juga menegaskan bahwa negara adalah institusi yang bertugas melindungi rakyat dan menjamin kesejahteraan mereka (Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, halaman 34). Dalam konteks NKRI, hal ini berarti menjaga persatuan dan melindungi hak-hak seluruh rakyat tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau budaya.

Peran Pendidikan dalam Menanamkan Nilai Keutuhan

Pendidikan adalah alat paling efektif untuk menjaga keutuhan bangsa. Allah SWT berfirman:

“قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ”

“Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?'” (Surah Az-Zumar [39]: 9).

Imam As-Sa’di dalam Tafsir As-Sa’di menjelaskan bahwa ilmu adalah kunci untuk memahami perbedaan dan menjadikannya sebagai kekuatan (Tafsir As-Sa’di, halaman 497). Dengan pendidikan yang menanamkan nilai-nilai persatuan dan toleransi, generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang menjaga keutuhan NKRI.

Baca Juga: Keamanan Negara Sebagai Rukun Agama

Kesimpulan: Alquran sebagai Peta Jalan untuk NKRI

Pesan Alquran tentang persatuan, keadilan, dan toleransi adalah panduan yang relevan untuk menjaga keutuhan NKRI. Sebagaimana dikatakan oleh Syekh Muhammad Abduh:

“القرآن جاء لإصلاح الأمة وتوحيد قلوبها”

“Al-Qur’an datang untuk memperbaiki umat dan menyatukan hati-hati mereka.”

Keberagaman Indonesia adalah amanah yang harus dijaga dengan nilai-nilai luhur Al-Qur’an. Semoga kita semua mampu menerapkan pesan-pesan ini dalam kehidupan sehari-hari demi keutuhan dan kejayaan NKRI. Wallahu a’lam bishawab.

Perintah Iqra’: Dari Gua Hira hingga Layar Gawai

0

Di tengah riuhnya media sosial, informasi mengalir deras bagai sungai yang tak pernah kering. Hal tersebut kiranya relevan dengan wahyu pertama Nabi Muhammad Saw., yakni iqra’! (Bacalah!), Iqra’ bukan sekadar perintah untuk melafalkan huruf, melainkan seruan untuk “membaca” alam semesta, menafsirkan tanda-tanda zaman, dan menyaring kebenaran dari samudra data. 

Alquran menegaskan bahwa Allah mengajarkan manusia dengan qalam (pena), sebuah simbol peradaban yang melampaui sekadar menulis, tetapi juga mengabadikan ilmu dan membangun kesadaran. Namun, sebagaimana pena bisa digunakan untuk menuliskan kebenaran atau menyebarkan fitnah, teknologi pun memiliki dua wajah: mendidik atau menyesatkan, mencerdaskan atau membutakan. Maka, memahami makna Iqra di era digital bukan hanya tentang akses informasi, tetapi juga tentang tanggung jawab moral dalam menyebarkan, menafsirkan, dan mengamalkan ilmu.

Baca Juga: Benarkah Wahyu Pertama Kali Turun Adalah Iqra’? Ini 3 Pendapat Alternatif Lain

Iqra’: Dari Gua Hira hingga Layar Gawai

Allah Swt berfirman:

اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍۚ اِقْرَأْ وَرَبُّكَ الْاَكْرَمُۙ الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajarkan (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5).

Ibnu ‘Âsyûr (At-Tahrîr wa At-Tanwîr, juz 30, 434–435) menjelaskan bahwa perintah iqra’ merupakan awal kebangkitan literasi dan ilmu dalam peradaban Islam. Meskipun Nabi Saw. belum mengenal bacaan tertulis, Allah Swt. menunjukkan bahwa ilmu akan dimudahkan bagi beliau dan umatnya kelak akan berkembang dalam pengetahuan.

Dalam konteks dunia digital, pemikiran Ibnu ‘Âsyûr ini sangat relevan. Manusia tidak cukup hanya bisa membaca tulisan di layar, tapi juga harus bisa menganalisis, memahami, dan memilah mana informasi yang membawa manfaat dan mana yang justru menyesatkan.

Lebih jauh Ibnu ‘Âsyûr juga menegaskan bahwa Allah yang mengajarkan manusia dengan pena (‘allama bil qalam) adalah isyarat bahwa peradaban Islam harus berbasis ilmu dan literasi. Dalam dunia yang dipenuhi clickbait, hoaks, dan disinformasi, Iqra bukan hanya perintah membaca, tetapi juga perintah untuk memahami dengan bijak agar kita tidak menjadi bagian dari penyebar kebodohan.

Oleh karena itu, literasi digital dalam perspektif Ibnu ‘Âsyûr dapat dimaknai sebagai kelanjutan dari perintah iqra’, yakni: membaca bukan sekadar melafalkan, tetapi memahami dan menafsirkan informasi; ilmu adalah kunci peradaban, dan manusia bertanggung jawab atas apa yang dibacanya dan disebarkannya; Allah yang mengajarkan manusia dengan pena adalah isyarat bahwa umat Islam harus menjadi pelopor dalam ilmu, termasuk dalam era digital.

‘Ali Ash-Shabuni menambahkan bahwa (Shafwat at-Tafasir, juz3, 554–555) pena adalah simbol ilmu pengetahuan yang menjadi pilar utama peradaban Islam. Ia menekankan bahwa tanpa tulisan, ilmu tidak akan terpelihara, hikmah tidak akan terdokumentasi, dan sejarah tidak akan tersampaikan. Ia mengutip pendapat Al-Qurthubi, bahwa segala bentuk ilmu, termasuk wahyu yang diturunkan kepada para nabi, telah diwariskan melalui tulisan, sebuah sistem yang menjadi dasar bagi keberlangsungan dunia dan agama.

Jika di masa lalu pena adalah alat utama dalam mentransmisikan ilmu, maka di era digital, pena telah berevolusi menjadi layar gawai dan papan ketik. Tulisan pun kini hadir dalam bentuk unggahan di media sosial, artikel daring, dan komentar digital yang tersebar di berbagai platform. Namun, esensi perintah Iqra tetap sama: membaca bukan sekadar aktivitas mekanis, tetapi juga proses memahami, menelaah, dan menyebarkan ilmu dengan tanggung jawab.

Dengan demikian, makna pena dalam Al-‘Alaq bukan hanya tentang menulis secara fisik, tapi juga tentang bagaimana umat Islam memanfaatkan teknologi sebagai sarana menjaga ilmu dan peradaban. Jika umat Islam dahulu menjaga wahyu dengan tulisan di lembaran-lembaran, maka di era digital, kita memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap unggahan, komentar, dan artikel yang kita sebarkan tidak keluar dari nilai-nilai kebenaran dan keadaban.

Baca Juga: Tafsir QS. al-‘Alaq: Membangun Peradaban dengan Iqra dan Qalam

Literasi Digital: Jihad Ilmu di Medan Maya  

Setiap scroll, likes, atau share adalah ujian iman. Media sosial bagai pisau bermata dua: bisa menjadi alat dakwah yang menyebarkan cahaya, atau senjata yang merusak akal dan akhlak. Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, ia mendapat pahala seperti pelakunya.” (HR. Muslim).

Namun, bagaimana jika yang disebarkan justru hoak, gibah, atau konten yang memecah umat? Di sinilah prinsip iqra’ hadir sebagai tameng:

1. Baca dengan Tafsir, Bukan Hanya Judul: Sebelum membagikan berita, telusuri sumbernya. Apakah berasal dari portal terpercaya? Apakah narasinya seimbang? Allah mencela orang yang menyebar informasi tanpa verifikasi: “Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya.” (QS. Al-Hujurat: 6).

2. Baca dengan Hati, Bukan Hanya Emoji: Konten yang viral belum tentu benar. Sebelum ikut-ikutan mengomentari isu sensitif, renungkan: Apakah ini akan mendatangkan maslahat atau mudarat?. Kata-kata di media sosial adalah amanah; setiap hurufnya akan dimintai pertanggungjawaban.

3. Baca untuk Menginspirasi, Bukan Mengeksploitasi: Alih-alih membagikan konten clickbait yang memanfaatkan emosi, pilih konten yang mengajak pada refleksi. Contohnya: Kutipan tafsir Qur’an yang relevan dengan isu sosial. Kisah inspiratif tentang perjuangan anak yatim menggapai pendidikan. Infografis ilmiah yang mematahkan hoaks kesehatan.

Dari Konsumen ke Penjaga Peradaban

Iqra’ mengajak manusia untuk tidak sekadar menjadi penikmat pasif, tetapi produsen konten yang bertanggung jawab. Setiap Muslim adalah khalifah di bumi digital. Ketika kita membagikan ilmu, menyebarkan kebaikan, atau meluruskan kesalahan, kita sedang menegakkan misi Qur’ani, yaitu amar ma’ruf nahi munkar.

Bayangkan jika setiap akun media sosial menjadi “perpustakaan mini” yang menebar hikmah. Setiap feed Instagram menjadi lembaran tafsir, setiap cuitan X (Twitter) menjadi nasihat singkat, dan setiap status Facebook menjadi pengingat akan keagungan Allah. Inilah literasi digital yang berpahala!

Baca Juga: Tafsir Iqra’: Perintah Al-Quran untuk Tanggap Literasi

Penutup: Iqra’ adalah Senjata  

Perlu di ingat, di akhir zaman, Nabi Saw. menggambarkan bahwa salah satu tanda kiamat adalah ketika “ilmu diangkat, dan kebodohan merajalela.” (HR. Bukhari). Di dunia maya yang dipenuhi kebisingan, ilmu adalah cahaya yang harus dijaga. Literasi digital bukanlah pilihan, melainkan kewajiban.

Alhasil, mari “mencerna” setiap informasi dengan kritis, menulis dengan hati nurani, dan menjadikan media sosial sebagai medan untuk membumikan ayat-ayat-Nya. Iqra’ ! Bacalah, telusuri, dan sebarkanlah kebenaran. Karena di balik layar, ada malaikat yang mencatat, dan Allah yang Maha Menyaksikan. Wallahu a’alam

Menafsirkan Ayat-Ayat yang Membentuk Karakter Bangsa

0
Menafsirkan Ayat-Ayat yang Membentuk Karakter Bangsa
Bendera Merah Putih (sumber: Unsplash).

Alquran adalah sumber inspirasi bagi umat Islam, baik sebagai pedoman hidup individu maupun sebagai panduan dalam membangun masyarakat dan bangsa. Banyak ayat di dalamnya yang mengandung pelajaran tentang etika dan moral, yang jika diterapkan, dapat menjadi fondasi pembentukan karakter bangsa. Artikel ini akan mengeksplorasi beberapa ayat Alquran yang relevan, dengan merujuk pada tafsir para ulama klasik dan modern serta pandangan tokoh-tokoh dunia.

Ayat tentang Keadilan dan Kebajikan

Salah satu ayat yang sering disebut sebagai inti ajaran moral dalam Islam adalah firman Allah berikut.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (Q.S. An-Nahl [16]: 90).

Kata al-‘adl (keadilan) dalam ayat ini memiliki makna keseimbangan dan memberikan hak kepada pemiliknya. Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menegaskan bahwa keadilan adalah pilar utama dalam menjaga harmoni masyarakat dan menghindarkan dari kehancuran (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, 10: 106).

Lebih lanjut, konsep ihsan (الإحسان) dalam ayat ini mencerminkan usaha melampaui keadilan semata, yaitu melakukan sesuatu dengan kualitas terbaik. Bangsa yang menerapkan nilai ini tidak hanya menjamin hak rakyatnya, tetapi juga memberikan ruang untuk berkembangnya keutamaan. Hal ini sejalan dengan gagasan John Rawls dalam bukunya, A Theory of Justice, yang menyatakan bahwa keadilan sosial adalah fondasi bagi kesejahteraan bersama.

Komunitas yang Mendorong Kebaikan

Pembentukan karakter bangsa juga erat kaitannya dengan keberadaan komunitas yang aktif menyeru kepada kebaikan, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (Q.S. Ali Imran [3]: 104).

Baca juga: Mengenal Karakter Pemimpin Ideal dari Kisah Dzulkarnain

Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan bahwa amar makruf nahi mungkar adalah tugas kolektif yang harus dijalankan oleh masyarakat untuk menjaga moralitas dan keberlanjutan bangsa (Mafatih al-Ghaib, 3: 197). Dengan kata lain, bangsa yang tidak aktif mendorong kebaikan akan mudah terjerumus dalam kehancuran moral.

Pandangan ini juga diperkuat oleh sosiolog modern seperti Robert Putnam dalam bukunya, Bowling Alone. Putnam menyatakan bahwa “modal sosial” (social capital), seperti solidaritas dan kepercayaan antarwarga, adalah elemen penting dalam menciptakan masyarakat yang kuat.

Pendidikan sebagai Pilar Bangsa

Salah satu aspek kunci pembentukan karakter bangsa adalah pendidikan. Allah Swt. berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَـٰتٍۢ

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat (Q.S. Al-Mujadilah [58]: 11).

Ayat ini menekankan pentingnya ilmu sebagai jalan menuju kemuliaan. Dijelaskan dalam Tafsir As-Sa’di (h. 202) bahwa ilmu bukan hanya untuk individu, tetapi juga untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

Ki Hajar Dewantara, tokoh pendidikan Indonesia, pernah berkata, “Pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia.” Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya bertujuan mencetak individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga bermoral dan berkarakter.

Toleransi dalam Keberagaman

Indonesia sebagai negara dengan masyarakat yang beragam membutuhkan toleransi untuk menjaga persatuan. Alquran menegaskan:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍۢ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَـٰكُمْ شُعُوبًۭا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13).

Ibnu Katsir menyoroti bahwa ayat ini mengajarkan umat manusia untuk tidak membanggakan identitas etnis atau suku, tetapi justru menjadikan keragaman sebagai sarana untuk saling mengenal dan bekerja sama (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 382).

Baca juga: Politisasi Agama dan Politik Identitas: Dua Hal yang Tidak Boleh Dilanggengkan

Nelson Mandela pernah berkata, “No one is born hating another person because of the color of his skin, or his background, or his religion. People must learn to hate, and if they can learn to hate, they can be taught to love.” Pandangan ini mengingatkan kita akan pentingnya pendidikan karakter dalam membangun bangsa yang damai di tengah keberagaman.

Kesimpulan

Karakter bangsa yang kuat dapat dibentuk melalui penerapan nilai-nilai Alquran secara holistik. Ayat-ayat tentang keadilan, kebajikan, ilmu, dan toleransi menjadi panduan utama untuk menciptakan masyarakat yang bermartabat dan beradab.

Sebagaimana dikatakan oleh Syekh Muhammad Abduh, “Alquran tidak diturunkan untuk menciptakan umat yang stagnan, tetapi untuk mendorong mereka menjadi pemimpin bagi seluruh dunia.”

Wallahu a’lam bishawab.

Memilih Circle di Media Sosial: Pelajaran dari Surah Al-Kahfi

0
Memilih Circle di Media Sosial: Pelajaran dari Surah Al-Kahfi
Ilustrasi bersosial media (sumber: Pixabay).

Di era digital, circle pertemanan atau atau lingkaran pergaulan tidak hanya terbentuk di dunia nyata, tetapi juga di media sosial. Grup WhatsApp, TikTok, komunitas Telegram, forum diskusi, hingga interaksi di Instagram atau X (Twitter) sering kali menjadi bagian dari lingkungan sosial kita. Tanpa disadari, circle digital ini dapat membentuk cara berpikir, kebiasaan, bahkan nilai-nilai yang kita anut.

Berdasarkan laporan Digital 2023 oleh We Are Social, rata-rata pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan 3 jam 17 menit per hari untuk berselancar di platform digital (pewresearch.org). Fenomena ini tidak hanya memengaruhi pola komunikasi, tetapi juga membentuk circle (lingkaran pergaulan) baru di era digital. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa sekitar 60% remaja merasa tertekan karena berusaha terlihat ‘sempurna’ di media sosial (jawapos.com). Hal ini memunculkan pertanyaan: bagaimana Islam mengajarkan kita memilih dan menjaga lingkungan pergaulan di tengah gempuran budaya digital?

Menemukan Circle yang Positif

Allah Swt. berfirman dalam Q.S. Al-Kahfi: 28:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْۚ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا

Bersabarlah engkau (Nabi Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.”

Menurut Imam At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (juz 15/hlm. 238), ayat ini turun sebagai respons atas permintaan para pembesar Quraisy kepada Nabi Muhammad saw. Mereka meminta beliau menjauhi sahabat-sahabatnya yang berasal dari kalangan fakir dan lemah seperti Bilal, Ammar, dan Ibnu Mas’ud. Nabi disuruh untuk lebih memilih bergaul dengan para elit Quraisy. Namun, Allah menegur sikap ini dan memerintahkan Nabi untuk tetap setia pada orang-orang yang istikamah dalam berzikir, sekalipun mereka dianggap “tidak populer” oleh masyarakat.

Baca juga: Tafaqquh fi Digital dan Pedoman Bermedia Sosial dalam Alquran

Ibnu Katsir dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm (juz 5/hlm. 137) menjelaskan bahwa ayat ini menjelaskan akan prinsip kualitas spiritual di atas status sosial. Keutamaan seseorang tidak diukur dari kekayaan atau pengaruh, melainkan dari ketakwaan dan konsistensinya dalam beribadah. Ayat ini juga mengingatkan agar kita tidak terjebak pada lingkaran pergaulan yang mengabaikan nilai-nilai ilahiah demi mengejar kesenangan duniawi.

Pelajaran dari Ayat dalam Memilih Circle Digital

Di era media sosial, circle tidak lagi terbatas pada interaksi fisik. Grup WhatsApp, followers Instagram, atau komunitas TikTok bisa menjadi “lingkaran pergaulan” baru. Namun, algoritma platform seringkali mendorong konten yang glamor, provokatif, atau tidak bermoral, sehingga membentuk lingkungan yang berpotensi merusak iman. Tiga prinsip memilih circle digital:

  1. Prioritaskan Konten yang Mengingatkan pada Allah
    Sebagaimana Nabi diperintahkan untuk tetap bersama orang-orang yang berzikir pagi dan petang, kita pun harus selektif memilih akun atau grup yang menyebarkan ilmu, motivasi ibadah, atau kisah inspiratif. Hindari akun yang hanya memamerkan gaya hidup hedonis atau memicu rasa iri (FOMO).
  2. Jauhi Lingkungan yang Lalai dari Dzikrullah
    Algoritma media sosial bisa membawa kita ke “echo chamber” yang hanya menampilkan konten sesuai hawa nafsu. Jika suatu akun/grup terus mempromosikan maksiat, ghibah, atau hoaks, hendaknya kita bertindak seperti perintah Allah: “Jangan patuhi orang yang hatinya lalai”. Mute atau unfollow demi menjaga hati.
  3. Jangan Terpesona pada “Popularitas Semu”
    Kisah permintaan Quraisy kepada Nabi untuk meninggalkan sahabat fakir mencerminkan kecenderungan manusia mengejar status sosial. Di media sosial, hal ini terlihat dari obsesi pada jumlah followers atau likes. Padahal, nilai seseorang—seperti dijelaskan Ibnu Katsir—terletak pada ketakwaannya, bukan pada popularitas.

Digital Detox: Kembali ke Circle yang Hakiki

Allah Swt. mengingatkan dalam Q.S. Al-‘Asr: 1-3 bahwa manusia berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman, beramal saleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam konteks dunia digital, ayat ini dapat menjadi pengingat untuk mengevaluasi bagaimana interaksi kita di media sosial:

  1. Apakah circle digital kita membawa manfaat dan mendekatkan diri kepada Allah?
  2. Apakah waktu yang dihabiskan di media sosial sebanding dengan manfaat yang diperoleh?

Sebagai bentuk refleksi, beberapa langkah sederhana bisa dilakukan untuk menjaga keseimbangan antara dunia digital dan spiritual; Pertama, mengatur screen time agar waktu yang dihabiskan di media sosial tetap terkendali. Kedua, bergabung dalam challenge Qur’an harian bersama komunitas kajian online. Ketiga, mengurangi scrolling berlebihan dengan menggantinya membaca buku atau menghadiri majelis ilmu.

Dampak Circle Pertemanan pada Kehidupan

Banyak orang mengalami perubahan besar dalam hidupnya karena circle yang mereka pilih. Dalam dunia modern, circle tidak hanya terbatas pada teman fisik, tetapi juga teman di media sosial dan komunitas digital. Jika seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang produktif, berilmu, dan berakhlak baik, maka besar kemungkinan ia akan ikut berkembang dalam aspek yang sama. Sebaliknya, jika circle hanya dipenuhi dengan obrolan negatif, kebiasaan bermalas-malasan, atau bahkan menjauhkan diri dari nilai-nilai agama, maka seseorang bisa kehilangan arah dalam hidupnya.

Baca juga: Dimensi Manusia dalam Alquran: Biologis, Psikologis, dan Sosial

Ini sebagaimana yang telah diperingatkan Nabi saw. dalam hadisnya: “Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin memberimu minyak wangi, atau kamu bisa membeli darinya, atau setidaknya kamu bisa mencium aroma wanginya. Sedangkan pandai besi bisa membakar pakaianmu, atau setidaknya kamu akan mencium bau yang tidak sedap.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Penutup

Alhasil, lingkungan pergaulan adalah cermin diri. Di era digital, kita mungkin memiliki ratusan teman virtual, tetapi hanya circle yang mengingatkan pada Allah yang akan membawa ketenangan. Sebagaimana pesan Al-Kahfi ayat 28, pertemanan sejati bukan terletak pada popularitas atau kemewahan duniawi, tetapi pada kedekatan dengan Sang Pencipta dan kualitas hubungan dengan orang-orang yang senantiasa menyeru pada kebaikan. Wallahu a’lam bish-shawab.

Referensi Kitab Ilmu Nasakh dan Nasīkh-Mansūkh

0

Pembahasan tentang nasakh tumbuh dan berkembang seiring perkembangan zaman. Ilmu nasakh ini dibahas dalam kitab-kitab ushul fiqh, ‘ulumul Qur’an, dan tafsir Alquran secara umum, juga dibahas dalam satu kitab secara khusus. Hal utama yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin mempelajarinya secara mendalam adalah mengetahui ilmu ini secara bertahap dari sumber utama, dari ilmu paling dasar hingga pada ilmu yang pembahasannya lebih tinggi. Berikut referensi-referensi tentang ilmu nasakh yang dibahas secara khusus.

Baca Juga: Contoh Penafsiran dengan Menggunakan Ilmu Nasakh

Al-Nāsikh wa al-Mansūkh fī al-Qur’ān al-Karīm

Kitab ini ditulis oleh Muhammad bin Muslim bin Syihab Az-Zuhrī (W 142 H). Beliau adalah salah satu imam terkemuka yang muncul pada paruh kedua abad pertama Hijriyah, yaitu masa awal kodifikasi ilmu dan perkembangannya. Menurut Musthafā Mahmūd Azhari (pentahqiq kitab ini), kitab ini termasuk salah satu kitab paling awal yang khusus dalam ilmu nasīkh dan mansūkh. Pembahasan dalam kitab ini, diawali dengan pembahasan ilmu seputar nasīkh-mansuk setelah itu penulis membahas nasakh dalam surah al-Baqarah sampai surah al-Maidah mengikuti tartib mushaf.

Al-Nāsikh wa al-Mansūkh fī al-Qur’ān al-‘Azīz 

Kitab ini ditulis oleh Abu ‘Ubaid al-Qāsim bin Salām al-Ḥarawī (W 224 H). Pembahasan dalam kitab ini mencakup bab utama, lalu diikuti sub bab dari bab tersebut. Pada bagian bab utama, penulis membahas tentang keutamaan mengetahui nasīkh-mansūkh dalam Alquran serta tafsir mengenai nasakh dalam wahyu dan atsar. Kemudian pada bagian sub babnya, ada banyak tema pembahasan, seperti: makna nasakh, nisa’ dan nasi’ dan seterusnya.

Pada bab selanjutnya, penulis membahas tentang penyebutan salat dan mengetahui ayat/hadis yang menjadi penasakh dan mansūkh. Kemudian pada bagian sub babnya, penulis menjelaskan satu persatu pembahasan tentang ayat dan hadis yang menjadi bagian dari nasīkh-mansūkh dalam salat. Pembahasan pada bab selanjutnya sama dengan cara penjelasan bab yang sudah disebutkan.

Al-Nāsikh wa al-Mansūkh fī al-Qur’ān al-Karīm

Kitab ini ditulis oleh Abu Jakfar al-Naḥḥās (W 338 H). pembahasan dalam kitab ini meliputi: Penjelasan tentang nasīkh dan mansūkh, pembahasan tentang nasakh dalam bahasa Arab, kemudian fasal: perbedaan pendapat ulama mengenai hal yang dapat dinasakh. Dilanjutkan dengan bab-bab dengan pembahasan: penjelasan tentang surat-surat yang mengandung nasīkh dan mansūkh, penjelasan tentang surah-surah yang tidak mengandung nasīkh maupun mansūkh, penjelasan tentang surah-surah yang hanya mengandung mansūkh tanpa nasīkh, penjelasan tentang surah-surah yang hanya mengandung nasīkh tanpa mansūkh, penjelasan tentang ayat-ayat yang dinasakh oleh ayat pedang, penjelasan tentang ayat-ayat yang dinasakh oleh ayat perang, penjelasan tentang ayat-ayat yang dinasakh dengan istisna‘ (pengecualian) setelahnya, penjelasan tentang ayat-ayat yang dinasakh berdasarkan susunan, dan penjelasan tentang surah-surah berdasarkan susunan serta nasīkh dan mansūkh yang terkandung di dalamnya.

Baca Juga: Berapa dan Apa Saja Ayat Mansukh dalam Al-Qur’an? Ini Pendapat Para Ulama

Al-Īḍaḥ fī Nāsikh al-Qur’ān wa al-Mansūkhihi wa Ma’rifah Uṣūlih wa ikhtilāf al-Nās fīh

Kitab ini ditulis oleh Abū Muhammad Makkī bin Abī Ṭālib al-Qaisī (W 437 H). Pembahasan ilmu nasahkh dalam kitab ini terbilang sangat rinci. Di dalamnya dijelaskan seperti pada bab-bab kitab sebelumnya tapi banyak sub bab yang mengantarkan pembaca pada bab yang diinginkan. Adapun ayat-ayat yang terlibat dalam pembahasan nasīkh-mansūkh dalam kitab ini dimulai dari surah al-Baqarah sampai surah Mumtahanah.

Nawāsikh al-Qur’ān

Kitab ini ditulis oleh Jamāl al-Dīn Abī al-Faraj abd Rahmān bin ‘Alī bin Muhammad bin al-Jauzī (W 597 H). Pembahasan dalam kitab ini terdiri dari delapan bab: bab pertama: penjelasan tentang kebolehan nasakh dan perbedaannya dengan bada‘. Bab kedua: penegasan bahwa dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang dinasakh. Bab ketiga: penjelasan tentang hakikat nasakh. Bab keempat: syarat-syarat nasakh. Bab kelima: pembahasan mengenai hal-hal yang diperselisihkan apakah menjadi syarat dalam nasakh atau tidak. Bab keenam: keutamaan ilmu tentang nasīkh dan mansūkh serta perintah untuk mempelajarinya. Bab ketujuh: klasifikasi ayat-ayat yang dinasakh. Bab kedelapan: penyebutan surah-surah yang mengandung ayat-ayat nasīkh dan mansūkh, salah satunya, atau tidak mengandung keduanya. Diakhiri dengan pembahasan tentang 247 kasus dari 62 surat dalam Alquran.

Al-Naskh fī al-Qur’aān al-Karīm

Kitab ini merupakan kitab yang lahir di abad modern yang ditulis oleh Musṭafā Abū Zaid. Pembahasan dalam kitab ini cukup menarik, karena di dalamnya penulis mengawali dengan pembahasan nasakh menurut Yahudi, Nasrani dan menurut ulama Islam (pembahasan utama). Dilanjutkan dengan pembahasan tentang perbedaan nasakh dengan takhsis, taqyid dan lainnya. Kemudian syarat-syarat nasakh meliputi syarat yang disepakati, syarat yang diperselisihkan dan sikap Musṭafā terhadap permasalahan ini. Berikutnya penulis membahas tentang hukum dan dalil nasakh meliputi hukum nasakh boleh secara syara’ dan fakta, dalil-dalil kebolehan dan dalil-dalil kewajiban, kebatalan pendapat Abu Muslim, hikmah nasakh dan macam-macamnya dan seterusnya hingga sampai pada pembahasan ayat-ayat yang masuk pada pembahasan nasakh.

Baca Juga: Hikmah Adanya Nasakh dan Mansukh Dalam Al-Quran, Begini Penjelasannya

Qalāid al-Marjān fī al-Nāsikh wa al-Mansūkh min al-Qur’an 

kitab ini ditulis oleh Mar’e bin Yusūf al-Karamī al-Hambalī. Pembahasan dalam kitab ini dimulai dengan pengenalan ilmu nasakh seperti penjelasan yang disampaikan para ulama secara umum. Hal yang membedakan karya ini dengan yang lain adalah tentang penjelasan khusus dari faidah setiap ayat yang dinasakh, seperti faidah perubahan kiblat, faidah ziarah Nabi ke kuburan Ibundanya dan beberapa faidah lainnya. Pembahasan surah dalam kitab ini dimulai dari surah al-Fatihah sampai al-Kafirun. Meskipun surah yang disampaikan dimulai dari surah al-Fatihah, bukan berarti semua surah yang dimuatnya merupakan surah yang nasīkh atau mansūkh. Hal ini dapat diketahui dari penjelasan dari penulis kitab ini.

Demikian beberapa kitab yang membahas khusus tentang ilmu nasakh yang bisa dijadikan sebagai referensi dalam kajian ilmu nasakh.

Doa Nabi Sulaiman as. Agar Senantiasa Bersyukur 

0

Dalam surah an-Naml ayat 19 tersebutkan doa Nabi Sulaiman as. dengan harapan agar Allah selalu menetapkan rasa syukur kepadanya. Doa ini berkenaan dengan kisah Nabi Sulaiman as dan sekolompok semut.

Doa itu sebagaimana berikut:

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَىٰ وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ

Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.

Ayat di atas berkisah tentang Nabi Sulaiman beserta rombongannya ketika melewati lembah. Tiba-tiba, Nabi Sulaiman berteriak memerintahkan agar rombongannya berhenti. Rupanya Nabi Sulaiman mendengar ada seekor semut yang juga tengah berteriak kepada sekawanannya, “Hai semut-semut, masuklah ke dalam sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Nabi Sulaiman beserta rombongannya, sedangkan mereka tidak menyadari itu.” (Lihat an-Naml ayat 18) (Mukjizat Doa-Doa, 224).

Baca Juga: Makna Dialog Nabi Sulaiman as. dan Semut dalam Surah Annaml Ayat 18-19

Mendengar perkataan semut tersebut, Nabi Sulaiman tersenyum. فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِنْ قَوْلِهَا

تبسم berbeda dengan ضاحكا. Senyum adalah gerak ekspresif yang tidak disertai dengan suara untuk menunjukkan rasa gembira atau senang. (Tafsir al-Mishbah, Jilid 10, 207-208).

Jadi kata ضاحكا pada ayat tersebut tidak bermakna Nabi Sulaiman tertawa terbahak-bahak dengan suara yang keras. Senyumnya Nabi Sulaiman adalah pertanda bahwa ia ridha terhadap apa yang Allah karuniakan kepadanya, yakni mukjizat bisa mendengar dan mengerti ucapan dari semut.

Dengan dipanjatkannya doa di atas, Nabi Sulaiman berharap agar Allah berkenan membuatnya bersyukur atas segala nikmat yang Allah berikan kepadanya. Kata شكر pada ayat di atas bermakna penuhnya sesuatu atau pujian atas kebaikan. Al-Biqa’i mendefinisikan kata tersebut sebagai aktivitas yang mengandung penghormatan sebab dianugerahkan nikmat, seperti halnya memuji. Pujian menandakan bahwa yang bersangkutan telah menyadari adanya nikmat serta mengakui dan hormat kepada yang memberinya.

Konon Nabi Daud pernah bertanya kepada Allah, “Wahai Tuhan, bagaimana aku mensyukuri-Mu, padahal kesyukuran adalah nikmat-Mu yang lain, yang juga membutuhkan syukur dariku?”. Lalu, Allah mewahyukan kepadanya, “Kalau engkau telah menyadari bahwa apa yang engkau nikmati bersumber dari-Ku, maka engkau telah mensyukuri-Ku.” (Cahaya Al-Qur’an bagi Seluruh Makhluk, 261-262).

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman

Dalam doa tersebut setidaknya ada 3 permohonan Nabi Sulaiman kepada Allah.

Pertama, Nabi Sulaiman memohon agar Allah menjadikannya seorang hamba yang pandai bersyukur atas nikmat yang telah dilimpahkan kepadanya. Nikmat yang dimaksud adalah kemampuan dapat mengerti bahasa binantang, serta mukjizat lain yang telah dianugerahkan kepadanya. Serta nikmat yang diwariskan dari kedua orang tuanya, yakni nikmat beribadah dan nikmat syukur. Sehingga tidaklah ia menjadi orang yang terbuai dan lalai atas segala nikmat yang diperoleh.

Kedua, Nabi Sulaiman memohon agar ia dapat melakukan amal saleh yang dikerjakan dengan rasa ikhlas, diridhai serta diterima oleh Allah. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul sebelumnya.

Ketiga, Nabi Sulaiman memohon agar Allah menjadikannya bagian dari orang-orang saleh dengan rahmat-Nya. Sebab, tidak seorang pun yang masuk surga dengan amalnga, melainkan karena diliputi rahmat Allah. Ini juga merupakan doa dari para nabi dan rasul, agar Allah berkenan menjadikan mereka sebagai hamba dengan predikat saleh. (Ensiklopedia Doa, 157-158).

Doa ini memperlihatkan puncak kerendahan hati dari seorang nabi, sekaligus penguasa dengan segenap kelebihan dan keagungannya. Banyaknya anugerah yang Allah berikan kepadanya, ternyata tidak menjadikannya terlena, justru hal itu membuat Nabi Sulaiman semakin berupaya dalam berdoa agar Allah senantiasa menjadikannya seorang hamba yang selalu bersyukur.

“Dengan rahmat-Mu” merupakan pernyataan yang menunjukkan bahwa Nabi Sulaiman menanggalkan segala apa yang ia miliki, baik itu keutamaan, keunggulan serta derajat yang tersematkan pada dirinya. Ia tetap memohon pertolongan kepada Allah, agar mendapatkan rahmat-Nya. (Sulaiman: Raja Segala Makhluk, 170-172).

Kisah Perang Tabuk, Perang Besar di Bulan Rajab

0
Kisah Perang Tabuk, Perang Besar di Bulan Rajab
Kisah Perang Tabuk, Perang Besar di Bulan Rajab (Gambar: Pixabay).

Bulan Rajab sebagai satu dari empat bulan haram memiliki keutamaan dan keistimewaan yang besar daripada bulan-bulan yang lain. Salah satunya adalah terjadinya peristiwa bersejarah bagi umat Islam di bulan ini, yakni perang Tabuk pada tahun ke-9 Hijriah. Perang ini bukan hanya perang militer, tetapi juga ujian keteguhan iman, pengorbanan, dan kepemimpinan Rasulullah serta para sahabatnya.

Latar Belakang dan Kondisi Kaum muslimin

Perang Tabuk yang melibatkan antara kaum muslimin dan Imperium Romawi disebut juga dengan Ghazwah al-Usrah yang bermakna Perang Kesulitan. Nama ini bukan tanpa alasan, sebagaimana diterangkan Syekh Wahbah al-Zuhaili bahwa kondisi umat muslim saat itu sedang susah. Mereka harus menghadapi serangkaian tantangan besar, baik dari segi kendaraan, persediaan logistik, maupun air bersih karena dalam kondisi paceklik yang serbakurang.

Keadaan semakin diperburuk oleh cuaca yang sangat panas, yang semakin mempersulit perjalanan panjang menuju Tabuk. Dalam situasi tersebut, setiap pasukan yang ikut dalam perjalanan harus mengorbankan kenyamanannya. Seperti dijelaskan dalam Tafsir al-Munir (6/83), sepuluh orang harus bergantian menaiki satu ekor unta dan dua orang harus saling berbagi satu buah kurma kering. Meski begitu, mereka tetap melanjutkan perjalanan dengan tekad yang kuat.

Bahkan, ada yang hampir kehilangan semangat, sehingga Allah mengapresiasi mereka yang tetap bertahan dan mengikuti perjuangan ini akhirnya mendapatkan pengampunan dan rahmat-Nya, seperti termaktub dalam Alquran:

لَقَدْ تَّابَ اللّٰهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ فِيْ سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْۢ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيْغُ قُلُوْبُ فَرِيْقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّهٗ بِهِمْ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ۙ ١١٧

Sungguh, Allah benar-benar telah menerima tobat Nabi serta orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar yang mengikutinya pada masa-masa sulit setelah hati sekelompok dari mereka hampir berpaling. (Namun,) kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka (Q.S. at-Taubah: 117).

Meskipun kondisi kaum muslimin yang dilanda kepayahan, Rasulullah tetap mengambil keputusan setelah melalui pertimbangan militer cukup matang untuk keluar dan menyerang Imperium Romawi yang dikenal terkuat pada masanya itu.

Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Alquran

Dijelaskan dalam Kitab at-Thabaqat (2/165), terdengar oleh Rasul berita tentang keinginan Heraklius (Kaisar Romawi) untuk menginvasi negeri Hijaz dan telah mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari pasukan Romawi dan sekutunya dari beberapa kabilah Arab. Heraklius menganggap bahwa kekuasaan muslimin di jazirah Arab berkembang dengan pesat, sehingga harus segera ditaklukkan sebelum orang-orang muslim menjadi terlalu kuat dan dapat menjadi ancaman besar bagi kekuasaannya.

Oleh sebab itu, untuk melindungi umat Islam di Madinah, Rasulullah melakukan aksi preventif dan menyiapkan pasukan sebanyak 70.000 orang. Di dalam sejarah, ini adalah jumlah pasukan terbanyak yang pernah dimiliki umat Islam. Rasulullah kemudian memerintahkan umat muslim agar berinfak untuk mendanai kebutuhan pasukan perang yang banyak tersebut. Beliau saw. bahkan menjanjikan ganjaran besar bagi mereka yang berinfak. Sebagaimana dalam hadis,

مَنْ جَهَّزَ جَيْشَ الْعُسْرَةِ فَلَهُ الْجَنَّةُ

Barangsiapa menyiapkan pasukan ‘Usrah maka baginya surga (H.R. Bukhari).

Mendengar seruan ini, para sahabat berlomba-lomba memberikan infak untuk kebutuhan perang sesuai kemampuannya, termasuk sahabat yang miskin. Sikap pengorbanan seperti inilah yang menunjukkan komitmen para sahabat untuk mempertahankan perjuangan Islam meskipun dalam keadaan sangat sulit (Fath al-Bari, 14/194).

Imam at-Thabari menyebutkan dalam tafsirnya (13/71), orang-orang munafik yang mendengar kabar itu, mencela infak para sahabat miskin yang dianggap terlalu sedikit. Mereka juga menuduh orang-orang mukmin yang kaya bahwa mereka bersedekah hanya unfuk ria dan pamer. Sehingga Allah menegur mereka dengan firman-Nya surah at-Taubah ayat 79.

Perang Tanpa Pertempuran

Setelah persiapan matang, pasukan muslim pun bergerak ke arah Utara menuju Tabuk. Sekalipun begitu banyak sumbangan yang berhasil terkumpul, ternyata belum mencukupi untuk pasukan sebanyak itu. Setibanya di Tabuk, Rasulullah berpidato di hadapan pasukan dan menyemangati mereka. Semangat mereka berkobar dan mereka siap untuk bertempur.

Di sisi lain, pasukan Romawi yang mendengar kedatangan pasukan muslimin yang besar dan terorganisasi, memutuskan untuk tidak melanjutkan rencana penyerangan ke Hijaz. Mental mereka menciut, sehingga tidak berani maju dan malah pasukan mereka terpencar ke wilayah sendiri-sendiri.

Baca juga: Afirmasi Alquran Atas Jasa Para Pahlawan

Singkat cerita, pihak Romawi mengajukan perdamaian dengan membayar upeti, yang menandakan kemenangan bagi kaum muslim meski tanpa pertempuran. Setelah peristiwa ini, kekuatan pasukan muslim semakin kuat karena berhasil mengalahkan Imperium Romawi. Keuntungan lain, banyak kabilah Arab yang sebelumnya bersekutu dengan Romawi, kini beralih bergabung dengan pasukan muslim (Sirah Nabawiyah, h. 365).

Hikmah dari Perang Tabuk

Perang Tabuk yang terjadi di bulan haram (Rajab), masa yang dilarang untuk berperang, menunjukkan bahwa Islam selalu menekankan pada pertimbangan yang lebih besar dalam menjaga keselamatan umat dan kemaslahatan umum, meskipun dalam keadaan yang dianggap bertentangan dengan hukum yang berlaku. Rasulullah tetap memutuskan untuk berperang karena ancaman yang serius dari pasukan Romawi yang siap menyerang umat muslim.

Strategi Rasulullah sebagai pemimpin dalam perang ini juga menjadi pelajaran penting. Beliau menunjukkan betapa pentingnya kepemimpinan yang bijaksana dalam menghadapi situasi sulit dengan visi dan strategi yang matang. Begitu pula, keteguhan iman dan pengorbanan para sahabat memberi teladan untuk tetap berjuang demi agama dan cinta tanah air.

Baca juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian pada Ayat-Ayat Perang

Perang Tabuk adalah teladan sempurna tentang bagaimana seorang pemimpin, dengan dukungan umat, dapat mengatasi segala rintangan dan kesulitan dengan keimanan yang kokoh dan pengorbanan yang tulus. Umat Islam di masa ini dapat mengambil banyak pelajaran dari peristiwa ini dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam menghadapi tantangan pribadi maupun dalam berjuang demi kebaikan bersama. Wallah a’lam. []