Beranda blog Halaman 231

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 65-69

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 65-69 membicarakan betapa buruknya sikap orang-orang musyrik, sikap mereka kepada Nabi Muhammad serta al-Qur’an sudah keterlaluan,  keangkuhan mereka tersebut adalah bumerang yang mengantarkan mereka pada azab Allah, dan tidak akan ada yang mampu menyelamatkan mereka dari siksaan yang dijanjikan oleh Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 63-64


Ayat 65

Allah berfirman kepada mereka untuk tidak berteriak-teriak meminta tolong pada hari itu, karena tak ada gunanya. Hari itu adalah hari pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan di dunia dahulu. Inilah ketetapan yang sudah pasti dari Allah yang harus mereka terima, tak ada yang dapat menolong atau membebaskan mereka dari azab dan mereka tak dapat menghindarkan diri daripadanya.

Ayat 66

Ayat selanjutnya menjelaskan bahwa tatkala di dunia telah dibaca-kan kepada mereka ayat-ayat Allah oleh seorang rasul yang diutus kepada mereka, tetapi mereka mendustakannya, memperolok-olokkan dan menghinanya karena kesombongan dan kecongkakan, padahal petunjuk dan ajaran yang dibawanya adalah benar dan sangat bermanfaat bagi mereka kalau mereka mau memperhatikan dan mendengarkannya. Firman Allah:

ذٰلِكُمْ بِاَنَّهٗٓ اِذَا دُعِيَ اللّٰهُ وَحْدَهٗ كَفَرْتُمْۚ وَاِنْ يُّشْرَكْ بِهٖ تُؤْمِنُوْا ۗفَالْحُكْمُ لِلّٰهِ الْعَلِيِّ الْكَبِيْرِ

Yang demikian itu karena sesungguhnya kamu mengingkari apabila diseru untuk menyembah Allah saja. Dan jika Allah dipersekutukan, kamu percaya. Maka keputusan (sekarang ini) adalah pada Allah Yang Mahatinggi, Mahabesar. (al-Mu’min/40: 12)

Ayat 67

Ayat ini menjelaskan bahwa mereka menolak semua ajaran yang dibawa Nabi Muhammad dan menganggap diri mereka lebih mulia daripada-nya karena mereka penguasa, pembela, dan penjaga Baitullah.

Tidak ada seorang pun di dunia ini yang lebih mulia dari mereka. Mereka menggunjingkan dan mencela Nabi saw habis-habisan di waktu bersantai di malam hari.

Mereka  menuduh Nabi sebagai tukang sihir, penyair, tukang tenung, dan lain sebagainya. Tindakan mereka itu tidak benar, karena Muhammad seorang rasul dan Allah akan mengeluarkan orang kafir dari tanah haram karena kejahatan mereka kepada Rasulullah.


Baca Juga: Tafsir Surah al-An’am Ayat 68 : Bagaimana Menyikapi Orang Yang Melecehkan Al-Qur’an ?


Ayat 68

Pada ayat ini Allah mencerca perbuatan dan ucapan mereka yang tak sopan dan tak masuk akal itu. Apakah mereka tidak memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an bagaimana indah dan tinggi susunan kata-katanya, padahal mereka mempunyai kesempatan yang luas untuk memperhatikannya.

Tidak terdapat di dalam Al-Qur’an itu kelemahan, pertentangan atau sesuatu yang mengurangi nilai sastranya atau merendahkan pengertian yang terdapat di dalamnya.

Bahkan Al-Qur’an berisi dalil-dalil dan hujjah-hujjah yang nyata yang tidak dapat dibantah, baik yang terkait dengan dasar-dasar akhlak yang mulia, maupun dengan syariat dan peraturan yang dapat membawa mereka ke derajat yang paling tinggi bila mereka mau mengamalkan dan mematuhinya.

Ataukah mereka menganggap kedatangan Muhammad sebagai rasul suatu hal yang mustahil yang belum pernah terjadi pada umat-umat yang terdahulu, padahal mereka mengetahui adanya rasul-rasul yang terdahulu itu dan bagaimana nasib umat-umat yang mengingkari mereka, bahkan mereka melihat sendiri bekas-bekas kehancuran yang ditinggalkan umat-umat yang durhaka itu.

Ayat 69

Ayat ini mempertanyakan apakah mereka tidak mengenal siapa Muhammad, rasul mereka sehingga mereka mengingkarinya.

Padahal, mereka mengenal Muhammad sejak kecil, sebagai orang yang baik budi pekerti, paling terpercaya di kalangan mereka, dan keturunan dari Bani Hasyim yang mereka hormati dan segani, sehingga mereka sendiri memberikan julukan terhadapnya dengan al-Amin (seorang yang paling dipercaya).

Abu Sufyan sebagai kepala perutusan mereka kepada Kaisar Romawi, ketika ditanya bagaimana sifat-sifat Muhammad, dia menjawab Muhammad berasal dari keturunan keluarga yang mulia, terkenal dengan kebenaran ucapannya dan amanahnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 70-72


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 63-64

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 63-64 menjelaskan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang benar dan petunjuk bagi manusia agar memperoleh kehidupan yang baik di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi kaum musyrikun menentang bahwa al-Qur’an adalah risalah Tuhan, mereka menutup hati dari kebenaran yang ditujukan kepada mereka, dan Allah menjanjikan azab yang pedih terhadap kaum yang demikian.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 61-62


Ayat 63

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa hati kaum musyrikin telah berpaling dan lalai dari memperhatikan petunjuk-petunjuk yang dibawa Al-Qur’an. Mereka tidak mau mengambil manfaat daripadanya.

Padahal petunjuk-petunjuk itulah yang dapat membawa mereka kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Seandainya mereka mau membaca dan memperhatikan Al-Qur’an tentulah hati mereka akan terbuka dan melihat bahwa ajaran Al-Qur’an itu memang amat berguna dan semua yang terkandung di dalamnya adalah benar. Mereka akan mengakui bahwa semua perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah tanpa kecuali.

Inilah kesalahan mereka yang pertama yang menyeret mereka kepada kesalahan-kesalahan lain dan menyebabkan mereka tidak mempedulikan lagi norma-norma akhlak yang mulia, berbuat sekehendak hati tanpa memperhatikan hak-hak orang-orang lain.

Apa saja yang mereka inginkan mereka rebut walaupun dengan merampas dan menganiaya kaum lemah. Karena itu pula mereka telah tenggelam dalam kemusyrikan dan mata hati mereka telah buta tidak dapat lagi membedakan mana yang benar dan mana yang sesat, telinga mereka telah tuli, tidak dapat lagi mendengar ajaran agama.

Hadis yang diriwayatkan Ibnu Mas’ud, Nabi saw, bersabda:

;…فَوَالَّذِي لاَ ِالٰهَ غَيْرُهُ اِنَّ اَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ اَهْلِ الْجَنَّةِ حَتىَّ مَا يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا اِلاَّ ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيُخْتَمُ لَهُ بِعَمَلِ اَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا، وَاِنَّ اَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ اَهْلِ النَّارِ حَتىَّ مَا يَكُوْنَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا اِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ، فَيُخْتَمُ لَهُ بِعَمَلِ اَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَ. (رواه احمد)

….Demi Zat yang tidak ada tuhan selain-Nya, sesungguhnya seseorang di antara kamu beramal amalan penghuni surga, sehingga antara dia dan surga hanya tinggal satu hasta saja. Namun dia sudah tercatat sebagai penghuni neraka, maka ia mengakhiri amalnya dengan dengan amalan penghuni neraka, sehingga ia masuk neraka. Dan sesungguhnya seseorang di antara kamu beramal amalan penghuni neraka, sehingga antara dia dengan neraka hanya tinggal satu hasta saja. Namun  ia sudah tercatat sebagai penghuni surga, maka ia mengakhiri amalnya dengan amalan penghuni surga, sehingga ia masuk surga.” (Riwayat Ahmad)


Baca Juga: Kisah Al-Quran: Ratu Balqis, Pemimpin Perempuan nan Demokratis dan Diplomatis


Mereka menganggap apa yang mereka warisi dari nenek moyang mereka sajalah yang benar. Menurut mereka Al-Qur’an itu hanya dongengan orang-orang dahulu yang dibawa oleh orang yang gila atau hanya gubahan seorang penyair atau ajaran yang diterima Muhammad dari ahli kitab.

Apabila diberikan kepada mereka keterangan yang nyata tentang kebenaran Al-Qur’an yang tidak dapat dibantah sehingga mereka mengatakan, kami tak dapat menerimanya karena bertentangan dengan apa yang dianut dan dipercayai moyang kami, seperti tersebut dalam ayat:

بَلْ قَالُوْٓا اِنَّا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا عَلٰٓى اُمَّةٍ وَّاِنَّا عَلٰٓى اٰثٰرِهِمْ مُّهْتَدُوْنَ

Bahkan mereka berkata, ”Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka.”  (az-Zukhruf/43: 22)

Ayat 64

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa kaum musyrikin dan semua orang yang ingkar dan durhaka akan disiksa dengan siksaan yang pedih.

Pada saat mereka telah dikepung oleh azab yang dahsyat dan mengerikan sebagai balasan atas keingkaran dan kedurhakaan mereka, mereka berteriak-teriak meminta tolong dan sangat menyesali nasib mereka yang buruk itu, terutama pemimpin-pemimpin dan orang-orang kaya mereka yang pernah hidup di dunia dengan senang dan penuh kenikmatan.

Tetapi tidak ada yang dapat menolong mereka pada waktu itu, karena semua urusan dan keputusan berada di tangan Allah. Penyesalan mereka tiada berguna lagi karena ibarat pepatah “nasi sudah menjadi bubur,” kesalahan dan kedurhakaan mereka tak dapat diampuni lagi. Firman Allah:

كَمْ اَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِّنْ قَرْنٍ فَنَادَوْا وَّلَاتَ حِيْنَ مَنَاصٍ

Betapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, lalu mereka meminta tolong padahal (waktu itu) bukanlah saat untuk lari melepaskan diri. (Shād/38:3)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 65-69


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 61-62

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Sebelumnya telah dijelaskan tentang sifat-sifat orang beriman, sementara Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 61-62 mempertegas kembali bahwa orang yang memiliki sifat-sfiat demikian tidak pernah menunda kebaikan, justru selalu ingin menambah dan memperbaikinya dengan senang hati, tidak karena keterpaksaan, dan Islam sendiri mensyariatkan hukum kepada manusia dengan batas kemampuan yang bisa dilakukan, bukan untuk mempersulitnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 57-60


Ayat 61

Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut, selalu bersegera berbuat kebaikan bila ada kesempatan untuk itu dan selalu berupaya agar amal baiknya selalu bertambah.

Baru saja ia selesai melaksanakan amal yang baik ia ingin agar dapat segera berbuat amal yang lain dan demikianlah seterusnya.

Orang yang demikian sifatnya akan diberi pahala oleh Allah amalnya yang baik di dunia maupun di akhirat seperti yang pernah diberikan kepada Nabi Ibrahim yang tersebut dalam firman-Nya:

وَاٰتَيْنٰهُ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً ۗوَاِنَّهٗ فِى الْاٰخِرَةِ لَمِنَ الصّٰلِحِيْنَ ۗ

Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia, dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang yang saleh. (an-Nahl/16: 122)

Dan firman-Nya:

فَاٰتٰىهُمُ اللّٰهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الْاٰخِرَةِ ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.  (Āli ‘Imrān/3: 148)

Ayat 62

Dengan ayat ini Allah menjelaskan bahwa sudah menjadi sunnah dan ketetapan-Nya, Dia tidak akan membebani seseorang dengan suatu kewajiban atau perintah kecuali perintah itu sanggup dilaksanakannya dan dalam batas-batas kemampuannya.

Tidak ada syariat yang diwajibkan-Nya yang berat dilaksanakan oleh hamba-Nya dan di luar batas kemampuannya, hanya manusialah yang memandangnya berat karena keengganannya atau ia disibukkan oleh urusan dunianya atau tugas tersebut  menghalanginya dari melaksanakan keinginannya.

Padahal perintah itu, seperti salat umpamanya amat ringan dan mudah bagi orang yang telah biasa mengerjakannya, bahkan salat itu pun dapat meringankan beban dan tekanan hidup yang dideritanya bila ia benar-benar mengerjakannya dengan tekun dan khusyuk.


Baca Juga: Inilah Amalan Agar Mudah Bangun Untuk Ibadah Shalat Malam


Muqatil berkata, “Barang siapa tidak sanggup mengerjakan salat dengan berdiri ia boleh mengerjakannya dalam keadaan duduk, dan kalaupun tidak sanggup duduk maka dengan isyarat saja pun sudah cukup.”

Karena itu tidak ada alasan sama sekali bagi orang mukmin untuk membebaskan diri dari kewajiban salat, demikian pula kewajiban-kewajiban lainnya, karena semua kewajiban itu adalah dalam batas-batas kemampuannya.

Hanya nafsu dan keinginan manusialah yang menjadikan kewajiban-kewajiban itu berat baginya. Maka orang yang seperti ini telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri dan akan mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan atas keingkaran dan keengganannya.

Setiap  pelanggaran terhadap perintah Allah akan dicatat dalam buku catatan amalnya, demikian pula amal perbuatan yang baik, kecil maupun besar semuanya tercatat dalam buku itu sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

هٰذَا كِتٰبُنَا يَنْطِقُ عَلَيْكُمْ بِالْحَقِّ ۗاِنَّا كُنَّا نَسْتَنْسِخُ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

(Allah berfirman), ”Inilah Kitab (catatan) Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.”  (al-Jātsiyah/45: 29)

Dan firman-Nya:

وَوُضِعَ الْكِتٰبُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْنَ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ وَيَقُوْلُوْنَ يٰوَيْلَتَنَا مَالِ هٰذَا الْكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّآ اَحْصٰىهَاۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًاۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا

Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, ”Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya,” dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun. (al-Kahf/18: 49).

Mereka akan diberi balasan sesuai dengan perbuatannya yang tertera dalam buku catatan itu dan mereka tidak akan dirugikan sedikit pun.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 63-64


Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 57-60

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 57-60 berbicara tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh orang mukmin sejati. Ada empat sifat yang akan dijelaskan dalam tafsir kali ini, dan sifat-sifat tersebut adalah perantara untuk menggapai keridaan Allah Swt. Simak penjelasan berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 55-56


Ayat 57

Salah satu di antara sifat-sifat orang yang benar-benar beriman itu pertama ialah takut kepada Tuhan. Karena itu mereka selalu mencari keridaan-Nya dengan bersungguh-sungguh mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Yang menjadi pedoman bagi hidup mereka ialah ajaran agama karena ajaran itulah prinsip mereka. Apa saja yang bertentangan dengan prinsip-prinsip itu tetap mereka tolak bagaimana pun akibatnya. Iman mereka tidak dapat digoyahkan oleh bujuk rayu atau ancaman apa pun.

Ayat 58

Sifat yang kedua ialah percaya sepenuhnya kepada bukti-bukti Keesaan dan kekuasaan Allah yang terbentang luas dalam alam semesta sebagaimana difirmankan oleh Allah:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ  ١٩٠  الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ   ١٩١

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ”Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka. (Āli ‘Imrān/3: 190-191)

Mereka percaya pula sepenuhnya kepada semua ayat yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Apa yang tersebut dalam ayat-ayat itu adalah kebenaran mutlak yang tak dapat ditawar-tawar lagi.

Ayat 59

Sifat yang ketiga ialah memelihara kemurnian tauhid dengan benar-benar menyembah Allah semata tanpa mempersekutukan-Nya dengan sembahan-sembahan lain.

Orang yang beriman tidak akan mau menyembah berhala-berhala atau minta tolong kepadanya, walaupun berhala-berhala itu dianggap oleh kaum musyrik sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (al-Bayyinah/98: 5)


Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 60-61: Perintah Menaati Allah dan Mendurhakai Setan


Mereka tidak akan meminta tolong kepada kuburan-kuburan karena mereka yakin sepenuhnya bahwa perbuatan itu sama saja dengan meminta tolong kepada berhala-berhala dan itu termasuk perbuatan syirik yang sangat dimurkai Allah.

Mereka tidak pula akan meminta tolong kepada arwah-arwah, jin dan setan, karena yang demikian pun termasuk syirik pula.

Demikianlah semua perbuatan yang membawa kepada mempersekutukan Allah mereka hindari sejauh-jauhnya, sehingga kepercayaan mereka benar-benar murni, tidak dikotori sedikit pun oleh hal-hal yang berbau syirik.

Ayat 60

Sifat yang keempat ialah takut kepada Allah, karena mereka yakin akan kembali kepada-Nya pada hari berhisab di mana akan diperhitungkan segala amal perbuatan manusia.

Meskipun mereka telah mengerjakan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya dan menafkahkan hartanya di jalan Allah, namun mereka merasa takut kalau-kalau amal baik mereka tidak diterima, karena mungkin  ada di dalamnya unsur-unsur riya` atau lainnya yang menyebabkan ditolaknya amal itu.

Oleh sebab itu mereka selalu terdorong untuk selanjutnya berbuat baik karena kalau amal yang sebelumnya tidak diterima, mungkin amal yang sesudah itu menjadi amal yang makbul yang diberi ganjaran yang berlipat ganda.

Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Abi Hātim dari ‘Aisyah pernah bertanya kepada Nabi:

اَنَّهَا قَالَتْ يَارَسُوْلَ الله، (اَلَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَااَتَوْا وَقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ) هُوَ الَّذِيْ يَسْرِقُ وَيَزْنِى وَيَشْرِبُ الْخَمْرَ، وَهُوَ يَخَافُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ؟ قَالَ: لاَ يَا بِنْتَ اَبِيْ بَكْرٍ، يَا بِنْتَ الصِّدِّيْقِ، وَلَكِنَّهُ الَّذِيْ يُصَلِّى وَيَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُ، وَهُوَ يَخَافُ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ .( رواه احمد والترمذي)

Siti Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai ayat ini (alladzina yu`tuna mā ataw waqulubuhum wajilah), apakah yang dimaksud dengan ayat ini ialah orang berzina dan meminum khamar atau mencuri, dan karena itu ia takut kepada Tuhan dan siksa-Nya? Pertanyaan ini dijawab oleh Rasulullah, “Bukan demikian maksudnya, hai puteri Abu Bakar ash-Shiddiq. Yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengerjakan salat, berpuasa dan menafkahkan hartanya, namun dia merasa takut kalau-kalau amalnya itu termasuk amal yang tidak diterima (mardud). (Riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 61-62


 

Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin

0
Nasaruddin Umar: Al-Qur'an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin
Nasaruddin Umar

Belakangan ini, diskusi tentang gender semakin populer terutama di lingkungan akademik. Kajian ini membedakan secara tegas antara gender dan jenis kelamin (sex) yang semula dipahami serupa. Banyak yang beranggapan bahwa pembedaan dua terma tersebut muncul pertama kali di Barat, namun menurut Nasaruddin Umar, Al-Qur’an telah lebih dahulu melakukannya.

Apa beda antara gender dan jenis kelamin?

Untuk menjawab pertanyaan sederhana di atas, biasanya pemerhati gender merujuk pada kamus-kamus bahasa Inggris, karena kata gender sendiri berasal dari bahasa tersebut.

Awalnya, kata gender dipahami sebagai sinonim dengan kata sex (jenis kelamin), sebagaimana definisinya dalam The Oxford Dictionary of Current English cetakan tahun 1993. Baru pada kamus-kamus bahasa Inggris belakangan, atau di buku-buku sosiologi, dua kata tersebut dibedakan.

The Oxford Dictionary of Difficult Words cetakan 2004 menyatakan bahwa kata gender dan sex sama-sama menunjukkan makna keadaan menjadi laki-laki atau perempuan. Namun demikian, kata sex cenderung merujuk pada perbedaan biologis, sementara gender merujuk pada perbedaan kultural atau sosial.

Berdasarkan definisi kedua, gender dipahami sebagai identitas sosial seseorang yang menentukan dan membedakan apakah ia laki-laki atau perempuan. Identitas ini dibentuk oleh masyarakat atau budaya di mana ia tinggal. Ini berkaitan erat dengan bagaimana hak, kewajiban, dan peran yang dibebankan masyarakat kepadanya.

Misalnya keharusan laki-laki untuk bermental kuat, rasional, tidak boleh menangis, menjadi pemimpin, dan sebagainya. Atau anggapan bahwa perempuan harus bersikap lemah lembut, kuat secara emosional, nikah muda, patuh pada suami, dan mengurusi rumah tangga.

Gender stereotypes di atas sesungguhnya tidak mutlak dan dapat dipertukarkan, bahkan berbeda-beda berdasarkan budaya setempat masing-masing. Berbeda dengan perbedaan jenis kelamin yang bersifat mutlak, karena ia adalah ketetapan Tuhan. Bahwa perempuan dapat haid, mengandung, menyusui, dan memiliki sistem reproduksi yang berbeda dengan laki-laki itu adalah takdir yang tidak bisa dipilih-pilih.

Baca juga: Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis

Gender dalam al-Qur’an

Pengakuan akan gender sebagai identitas sosial manusia dalam al-Qur’an dapat dilihat dari penggunaan diksi tertentu untuk menggambarkan laki-laki dan perempuan. al-Qur’an menggunakan kata al-rajul dan al-zakar yang sama-sama bermakna laki-laki misalnya, pada konteks yang berbeda. Begitu pula dengan kata al-nisa dan al-unsa yang sama-sama bermakna perempuan.

Dalam penelitiannya, Nasaruddin Umar menemukan kata al-rajul atau al-rijal (bentuk jamaknya) dan kata al-nisa mengacu pada kualitas moral dan budaya seseorang. Misalnya dalam QS. Al-Baqarah: 282 tentang persaksian laki-laki menggunakan redaksi wa istasyhidu syahidaini min rijalikum, bukan min zukurikum. Tafsir al-Jalalain menafsirkan rijal tersebut dengan laki-laki muslim yang akil baligh dan merdeka, yakni tidak sekadar berjenis kelamin laki-laki, melainkan juga harus memiliki kualifikasi sosial tertentu.

Begitu pula dengan kata al-nisa yang sering digunakan dalam Al-Qur’an untuk merujuk pada perempuan yang sudah berkeluarga. Entah itu sebagai istri (QS. An-Nisa: 24), janda Nabi (QS. Al-Ahzab: 52), mantan istri ayah (QS. An-Nisa: 22), perempuan yang diceraikan (QS. Al-Baqarah: 231-232), atau istri yang di-zihar suaminya (QS. Al-Mujadalah: 2-3).

Kata al-nisa dalam Al-Qur’an, menurut Nasaruddin, tidak pernah digunakan untuk menunjukkan perempuan yang di bawah umur, bahkan seringnya kata tersebut berkaitan dengan tugas-tugas reproduksi mereka.

Ini berbeda misalnya ketika al-Qur’an membicarakan ganjaran kebaikan bagi yang beramal saleh dalam QS. An-Nisa: 124. Di sana dinyatakan dengan redaksi min zakarin wa unsa. Ini berarti kesetaraan ganjaran bagi semua orang yang melakukan kebaikan, baik dia laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang dewasa, awam atau orang terpandang. Tingkatan sosial tidak mempengaruhi diterimanya amal kebaikan seseorang.

Berdasarkan penjelasan di atas, setiap individu yang disebut al-rajul masuk dalam kategori al-zakar, akan tetapi tidak sebaliknya. Dari sini kemudian muncul derivasi lain dari kata al-rajul, yaitu al-rujulah yang berarti kejantanan. Sementara kata al-zakar, selain bermakna jenis kelamin laki-laki, juga bermakna alat kelaminnya.

Kata al-zakar dan al-unsa menunjukkan makna jenis kelamin secara biologis, tanpa ada kaitan dengan aspek kedewasaan atau kematangan seseorang. Menurut Nasaruddin, dua kata ini sepadan dengan kata man dan women, sementara kata al-rijal dan al-nisa sepadan dengan kata male dan female. Ini yang juga dipedomani oleh Abdullah Yusuf Ali dalam terjemah Al-Qur’an bahasa Inggrisnya, The Holy Qur’an.

Baca juga: Argumen Kesetaraan Gender, Referensi Pengantar Tafsir Feminis

Penutup

Sedikit uraian di atas menunjukkan bahwa wacana gender ada dan telah diperkenalkan Al-Qur’an sejak 14 abad silam melalui pemilihan beberapa diksi yang konsisten pada konteks-konteks tertentu. Hanya mereka yang benar-benar mengkaji Al-Qur’an dengan teliti yang mampu memahami perbedaan yang sistematik tersebut.

Nasaruddin juga menambahkan bahwa khitab yang berbasis kepada identitas biologis (sex) lebih mudah dipahami, karena bersifat universal dan tetap. Sebaliknya, khitab yang mengacu pada identitas kultural (gender) memerlukan usaha lebih dalam memahaminya, sebab ia bersifat partikular dan dinamis.

Apa yang didefinisikan sebagai “laki-laki” dan “perempuan” di kalangan bangsa Arab pada masa Nabi tentu bisa sangat berbeda dengan “laki-laki” dan “perempuan” bagi orang non-Arab masa sekarang misalnya. Oleh karena itu, tugas mufassir-lah kemudian yang menerjemahkan kata al-rajul dan al-nisa dan semisalnya tersebut pada masyarakat kontemporer. Wallahu a’lam.

Baca juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 55-56

0
Tafsir Surah Al Mu'minun
Tafsir Surah Al Mu'minun

Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 55-56 menepis anggapan orang kafir bahwa banyak anak dan harta adalah tanda keridaan Allah kepada mereka. Pun, Allah tidak menurunkan azab kepada mereka yang semakin menambah kesan angkuh tersebut. Maka, ditegaskan dalam tafsir ini bahwa harta dan anak adalah ujian kepada orang kafir yang akan menjerumuskan mereka dalam kemaksiatan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Mu’minun Ayat 52-54


Ayat 55-56

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang kafir itu telah ditipu dan diperdayakan oleh harta dan anak-anak mereka padahal harta kekayaan dan anak-anak yang banyak itu bukanlah tanda bahwa Allah meridai mereka.

Mereka membangga-banggakan harta dan kekayaan mereka terhadap kaum Muslimin yang di kala itu dalam keadaan serba kekurangan, seperti tersebut dalam firman Allah:

وَقَالُوْا نَحْنُ اَكْثَرُ اَمْوَالًا وَّاَوْلَادًاۙ وَّمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِيْنَ

Dan mereka berkata, ”Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami tidak akan diazab.” (Saba’/34: 35)

Sebenarnya Allah memberikan kelapangan rezeki kepada orang kafir hanya semata-mata untuk menjerumuskan mereka ke lembah kemaksiatan dan kedurhakaan karena sikap mereka yang sangat congkak dan sombong terhadap ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Dengan harta dan anak-anak yang banyak itu mereka akan menjadi lupa daratan seakan-akan merekalah yang benar dan berkuasa. Apa saja yang mereka lakukan adalah hak mereka walaupun dengan perbuatan itu mereka menginjak-injak hak orang lain dan menganiaya kaum yang lemah.

Tetapi pada suatu saat Allah pasti akan menyiksa mereka, karena menjadi sunnatullah bahwa kezaliman dan penganiayaan itu tidak akan kekal, bahkan akan hancur dan musnah. Hal ini ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

فَلَا تُعْجِبْكَ اَمْوَالُهُمْ وَلَآ اَوْلَادُهُمْ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ بِهَا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَتَزْهَقَ اَنْفُسُهُمْ وَهُمْ كٰفِرُوْنَ

Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir.  (at-Taubah/9: 55);Dan firman-Nya:

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّمَا نُمْلِيْ لَهُمْ خَيْرٌ لِّاَنْفُسِهِمْ ۗ اِنَّمَا نُمْلِيْ لَهُمْ لِيَزْدَادُوْٓا اِثْمًا ۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ

Dan jangan sekali-kali orang-orang kafir itu mengira bahwa tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka lebih baik baginya. Sesungguhnya tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka hanyalah agar dosa mereka semakin bertambah; dan mereka akan mendapat azab yang menghinakan. (Āli ‘Imrān/3: 178)


Baca Juga: Mengenal Sinonim dan Homonim dalam Al-Quran, Konsep Kebahasaan yang Mesti Diketahui Mufassir


Qatadah, seorang mufassir telah memberikan ulasannya mengenai ayat ini sebagai berikut, “Allah telah memperdayakan orang-orang kafir itu dengan harta dan anak-anak mereka. Hai anak Adam, janganlah kamu menganggap seseorang terhormat karena harta kekayaan dan anak-anaknya, tetapi hormatilah dia karena iman dan amal saleh.” Diriwayatkan dari Ibnu Mas`ud bahwa Rasulullah saw bersabda:

اِنَّ الله َقَسَمَ بَيْنَكُمْ اَخْلاَقَكُمْ كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ  اَرْزَاقَكُمْ وَاِنَّ اللهَ يُعْطِى الدُّنْيَا مَنْ يُحِبُّ وَمَنْ لاَيُحِبُّ وَلاَيُعْطِى الدِّيْنَ اِلاَّ مَنْ اَحَبَّ فَمَنْ اَعْطَاهُ الله ُالدِّيْنَ فَقَدْ أَحَبَّهُ وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَيُسْلِمُ عَبْدٌ حَتَّى يُسْلِمَ قَلْبُهُ وَلِسَانُهُ وَلاَيُؤْمِنُ حَتىَّ يَأْمَنَ جَارُهُ بَوَائِقَهُ قَالُوْا وَمَا بَوَائِقَهُ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ غِشُّهُ وَظُلْمُهُ. (رواه أحمد)

Sesungguhnya Allah telah membagi-bagi akhlak di antara kamu sebagai-mana Dia telah membagi-bagikan rezeki di antara kamu. Sesungguhnya Allah memberikan nikmat dunia kepada orang yang diridai-Nya dan kepada orang yang tidak diridai-Nya. Dan Dia tidak memberikan keteguhan beragama melainkan kepada yang Ia rida. Dan barangsiapa yang Allah berikan kepadanya keteguhan beragama, berarti Allah meridainya. Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak Islam seorang hamba kecuali bila telah Islam pula batin dan lidahnya, tidak beriman dia kecuali tetangganya merasa aman terhadap kejahatannya. Para sahabat bertanya, “Apakah kejahatannya itu, ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Penipuan dan kezalimannya.” (Riwayat Ahmad).

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Mu’minun 57-60


 

Tafsir Surah An-Nur Ayat 36-37

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 36-37 sama dengan artikel sebelumnya, yakni berbicara mengenai orang-orang yang dianugerahi cahaya, yakni cahaya Ilahi (Nur Ilahi). Salah satu tanda orang yang telah dianugrahi cahaya Ilahi adalah mereka yang selalu berzikir kepada Allah SWT.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 (2)


Ayat 36-37

Di antara orang-orang yang akan diberi Allah pancaran Nur Ilahi itu ialah orang-orang yang selalu menyebut nama Allah di masjid-masjid pada pagi dan petang hari serta bertasbih menyucikan-Nya.

Mereka tidak lalai mengingat Allah dan mengerjakan salat walaupun melakukan urusan perniagaan dan jual beli, mereka tidak enggan mengeluarkan zakat karena tamak mengumpulkan harta kekayaan, mereka selalu ingat akan hari akhirat yang karena dahsyatnya banyak hati menjadi guncang dan mata menjadi terbelalak.

Ini bukan berarti mereka mengabaikan sama sekali urusan dunia dan menghabiskan waktu dan tenaganya untuk berzikir dan bertasbih, karena hal demikian tidak disukai oleh Nabi Muhammad dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Nabi Muhammad telah bersabda:

اِعْمَلْ عَمَلَ امْرِئٍ يَظُنُّ اَنْ لَنْ يَمُوْتَ اَبَدًا وَاحْذَرْ حَذَرَ امْرِئٍ يَخْشَى اَنْ يَمُوْتَ غَدًا

Berusahalah seperti usaha orang yang mengira bahwa ia tidak akan mati selama-lamanya dan waspadalah seperti kewaspadaan orang yang takut akan mati besok. (Riwayat al-Baihaqi dari Ibnu Auz)

Urusan duniawi dan urusan ukhrawi keduanya sama penting dalam Islam. Seorang muslim harus pandai menciptakan keseimbangan antara kedua urusan itu, jangan sampai salah satu di antara keduanya dikalahkan oleh yang lain. Melalaikan urusan akhirat karena mementingkan urusan dunia adalah terlarang, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚوَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta-bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (al-Munāfiqµn/63: 9)

Dan firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (al-Jumu’ah/62: 9)


Baca juga: Ketika Al-Quran Dibaca, Dengarkan dan Perhatikanlah!


Tetapi apabila kewajiban-kewajiban terhadap agama telah ditunaikan dengan sebaik-baiknya, seorang muslim diperintahkan untuk kembali mengurus urusan dunianya dengan ketentuan tidak lupa mengingat Allah agar dia jangan melanggar perintah-Nya atau mengerjakan larangan-Nya sebagai tersebut dalam firman-Nya:

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.  (al-Jumu‘ah/62: 10)

Sebaliknya melalaikan urusan dunia dan hanya mementingkan urusan akhirat juga tercela, karena orang muslim diperintahkan Allah supaya berusaha mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhannya, dan kebutuhan keluarganya.

Orang-orang yang berusaha menyeimbangkan antara urusan duniawi dan urusan ukhrawi itulah orang-orang yang diridai oleh Allah. Dia bekerja untuk dunianya karena taat dan patuh kepada perintah dan petunjuk-Nya. Dia beramal untuk akhirat karena taat dan patuh kepada perintah serta petunjuk-Nya, sebagai persiapan untuk menghadapi hari akhirat yang amat dahsyat dan penuh kesulitan, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:

اِنَّا نَخَافُ مِنْ رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوْسًا قَمْطَرِيْرًا   ١٠

فَوَقٰىهُمُ اللّٰهُ شَرَّ ذٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقّٰىهُمْ نَضْرَةً وَّسُرُوْرًاۚ  ١١

وَجَزٰىهُمْ بِمَا صَبَرُوْا جَنَّةً وَّحَرِيْرًاۙ  ١٢

Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.” Maka Allah melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera. (al-Insān/76: 10-12)


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 38-39


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 (2)

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 berbicara mengenai orang-orang yang dianugerahi cahaya, yakni cahaya Ilahi (Nur Ilahi). Salah satu tanda orang yang telah dianugrahi cahaya Ilahi adalah mereka yang selalu berzikir kepada Allah SWT.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 (1)


Di antara orang-orang yang akan diberi Allah pancaran Nur Ilahi itu ialah orang-orang yang selalu menyebut nama Allah di masjid-masjid pada pagi dan petang hari serta bertasbih menyucikan-Nya.

Mereka tidak lalai mengingat Allah dan mengerjakan salat walaupun melakukan urusan perniagaan dan jual beli, mereka tidak enggan mengeluarkan zakat karena tamak mengumpulkan harta kekayaan, mereka selalu ingat akan hari akhirat yang karena dahsyatnya banyak hati menjadi guncang dan mata menjadi terbelalak.

Ini bukan berarti mereka mengabaikan sama sekali urusan dunia dan menghabiskan waktu dan tenaganya untuk berzikir dan bertasbih, karena hal demikian tidak disukai oleh Nabi Muhammad dan bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Nabi Muhammad telah bersabda:

اِعْمَلْ عَمَلَ امْرِئٍ يَظُنُّ اَنْ لَنْ يَمُوْتَ اَبَدًا وَاحْذَرْ حَذَرَ امْرِئٍ يَخْشَى اَنْ يَمُوْتَ غَدًا

Berusahalah seperti usaha orang yang mengira bahwa ia tidak akan mati selama-lamanya dan waspadalah seperti kewaspadaan orang yang takut akan mati besok. (Riwayat al-Baihaqi dari Ibnu Auz)

Urusan duniawi dan urusan ukhrawi keduanya sama penting dalam Islam. Seorang muslim harus pandai menciptakan keseimbangan antara kedua urusan itu, jangan sampai salah satu di antara keduanya dikalahkan oleh yang lain. Melalaikan urusan akhirat karena mementingkan urusan dunia adalah terlarang, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُلْهِكُمْ اَمْوَالُكُمْ وَلَآ اَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚوَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta-bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. (al-Munāfiqµn/63: 9);Dan firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلٰوةِ مِنْ يَّوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا اِلٰى ذِكْرِ اللّٰهِ وَذَرُوا الْبَيْعَۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (al-Jumu’ah/62: 9)

Tetapi apabila kewajiban-kewajiban terhadap agama telah ditunaikan dengan sebaik-baiknya, seorang muslim diperintahkan untuk kembali mengurus urusan dunianya dengan ketentuan tidak lupa mengingat Allah agar dia jangan melanggar perintah-Nya atau mengerjakan larangan-Nya sebagai tersebut dalam firman-Nya:

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.  (al-Jumu‘ah/62: 10)

Sebaliknya melalaikan urusan dunia dan hanya mementingkan urusan akhirat juga tercela, karena orang muslim diperintahkan Allah supaya berusaha mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhannya, dan kebutuhan keluarganya. Orang-orang yang berusaha menyeimbangkan antara urusan duniawi dan urusan ukhrawi itulah orang-orang yang diridai oleh Allah.


Baca juga: Tafsir Surah al-An’am Ayat 68 : Bagaimana Menyikapi Orang Yang Melecehkan Al-Qur’an ?


Dia bekerja untuk dunianya karena taat dan patuh kepada perintah dan petunjuk-Nya. Dia beramal untuk akhirat karena taat dan patuh kepada perintah serta petunjuk-Nya, sebagai persiapan untuk menghadapi hari akhirat yang amat dahsyat dan penuh kesulitan, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:

اِنَّا نَخَافُ مِنْ رَّبِّنَا يَوْمًا عَبُوْسًا قَمْطَرِيْرًا   ١٠

فَوَقٰىهُمُ اللّٰهُ شَرَّ ذٰلِكَ الْيَوْمِ وَلَقّٰىهُمْ نَضْرَةً وَّسُرُوْرًاۚ  ١١

وَجَزٰىهُمْ بِمَا صَبَرُوْا جَنَّةً وَّحَرِيْرًاۙ  ١٢

Sungguh, kami takut akan (azab) Tuhan pada hari (ketika) orang-orang berwajah masam penuh kesulitan.” Maka Allah melindungi mereka dari kesusahan hari itu, dan memberikan kepada mereka keceriaan dan kegembiraan. Dan Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera. (al-Insān/76: 10-12)


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 36-37


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 (1)

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 bagian satu ini berbicara mengenai anugerah Allah berupa cahaya baik yang ada di langit maupun bumi. Akibat dari adanya cahaya tersebut segala sesuatu yang ada berjalan sebagaimana mestinya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 34


Ayat 35 (1)

Ayat ini menerangkan bahwa Allah adalah Pemberi cahaya kepada langit dan bumi dan semua yang ada pada keduanya. Dengan cahaya itu segala sesuatu berjalan dengan tertib dan teratur, tak ada yang menyimpang dari jalan yang telah ditentukan baginya, ibarat orang yang berjalan di tengah malam yang gelap gulita dan di tangannya ada sebuah lampu yang terang benderang yang menerangi apa yang ada di sekitarnya.

Tentu dia akan aman dalam perjalanannya tidak akan tersesat atau terperosok ke jurang yang dalam, walau bagaimana pun banyak liku-liku yang dilaluinya. Berbeda dengan orang yang tidak mempunyai lampu, tentu akan banyak menemui kesulitan.

Meraba-raba kesana kemari berjalan tertegun-tegun karena tidak tahu arah, maka pastilah orang ini akan tersesat atau mendapat kecelakaan karena tidak melihat alam sekitarnya. Amat besarlah faedahnya cahaya yang diberikan Allah kepada alam semesta ini.

Cahaya yang dikaruniakan Allah itu bukan sembarang cahaya. Ia adalah cahaya yang istimewa yang tidak ada bandingannya, karena cahaya itu bukan saja menerangi alam lahiriah, tetapi menerangi batiniah.

Allah memberikan perumpamaan bagi cahaya-Nya dengan sesuatu yang dapat dilihat dan dirasakan oleh manusia pada waktu diturunkannya ayat ini, yaitu dengan cahaya lampu yang dianggap pada masa itu merupakan cahaya yang paling cemerlang.

Mungkin bagi kita sekarang ini cahaya lampu itu kurang artinya bila dibandingkan dengan cahaya lampu listrik seribu watt apalagi cahaya yang dapat menembus lapisan-lapisan yang ada di depannya. Sebenarnya cahaya yang menjadi sumber kekuatan bagi alam semesta tidak dapat diserupakan dengan cahaya apa pun yang dapat ditemukan manusia seperti cahaya laser umpamanya.

Allah memberikan perumpamaan bagi cahaya-Nya dengan cahaya sebuah lampu yang terletak pada suatu tempat di dinding rumah yang sengaja dibuat untuk meletakkan lampu sehingga cahayanya amat terang sekali, berlainan dengan lampu yang diletakkan di tengah rumah, maka cahayanya akan berkurang karena luasnya ruangan yang menyerap cahayanya.

Sumbu lampu itu berada dalam kaca yang bersih dan jernih. Kaca itu sendiri sudah cemerlang seperti kristal. Minyaknya diperas dari buah zaitun yang ditanam di atas bukit, selalu disinari cahaya matahari pagi dan petang.

Maka pada ayat ini diibaratkan dengan tumbuh-tumbuhan yang tidak tumbuh di timur dan tidak pula di barat, karena kalau pohon itu tumbuh di sebelah timur, mungkin pada sorenya tidak ditimpa cahaya matahari lagi, demikian pula sebaliknya.

Minyak lampu itu sendiri karena jernihnya dan baik mutunya hampir-hampir bercahaya, walaupun belum disentuh api, apalagi kalau sudah menyala tentulah cahaya yang ditimbulkannya akan berlipat ganda.


Baca juga: Kata Ḍarb dalam Al-Qur’an Tidak Selalu Berarti Memukul, Ini 15 Maknanya


Di samping cahaya lampu itu sendiri yang amat cemerlang, cahaya itu juga dipantulkan oleh tempat letaknya, maka cahaya yang dipantulkan lampu itu menjadi berlipat ganda. Demikianlah perumpamaan bagi cahaya Allah meskipun amat jauh perbedaan antara cahaya Allah dan cahaya yang dijadikan perumpamaan.

Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya untuk mendapat cahaya itu sehingga dia selalu menempuh jalan yang lurus yang menyampaikannya kepada cita-citanya yang baik dan selalu bertindak bijaksana dalam menghadapi berbagai macam persoalan dalam hidupnya.

Berbahagialah orang yang mendapat pancaran Nur Ilahi itu, karena dia telah mempunyai pedoman yang tepat yang tidak akan membawanya kepada hal-hal yang tidak benar dan menyesatkan. Untuk memperoleh Nur Ilahi itu seseorang harus benar-benar beriman dan taat kepada perintah Allah serta menjauhi segala perbuatan maksiat.

Imam Syafi`i pernah bertanya kepada gurunya yang bernama Waki’ tentang hafalannya yang tidak pernah mantap dan cepat lupa, maka gurunya itu menasehatinya supaya ia menjauhi segala perbuatan maksiat, karena ilmu itu adalah Nur Ilahi, dan Nur Ilahi itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat. Seperti dalam syair di bawah ini:

شَكَوْتُ اِلَى وَكِيْعِ سُوْءَ حِفْظِى #  فَأَرْشَدَنِى ِالَى تَرْكِ الْمَعَاصِى

فَأَخْبَـرَنِى بَأَنَّ الْعِـلْمَ نُـْورٌ  #  وَنُوْرُ اللهِ لاَيُعْطَى لِلْعَاصِى

Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku,

Lalu ia menasihatiku agar meninggalkan kemaksiatan.

Ia memberitahuku bahwa ilmu itu adalah cahaya,

Dan Cahaya Allah tidak diberikan kepada orang yang berbuat maksiat.;Yahya bin Salām pernah berkata, “Hati seorang mukmin dapat mengetahui mana yang benar sebelum diterangkan kepadanya, karena hatinya itu selalu sesuai dengan kebenaran.” Inilah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw.

ِاتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ فَاِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. (رواه البخاري فى التاريخ الكبير عن ابى سعيد الخدري)

Berhati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, karena ia melihat dengan Nur Allah. (Riwayat al-Bukhār³ dalam kitab at-Tārikh al-Kab³r dari Abu Sa‘id al-Khudri)

Tentu saja yang dimaksud dengan orang mukmin di sini ialah orang-orang yang benar beriman dan bertakwa kepada Allah dengan sepenuhnya.

Ibnu `Abbas berkata tentang ayat ini, “Inilah contoh bagi Nur Allah dan petunjuk-Nya yang berada dalam hati orang mukmin. Jika minyak lampu dapat bercahaya sendiri sebelum disentuh api, dan bila disentuh oleh api bertambah cemerlang cahayanya, maka seperti itu pula hati orang mukmin, dia selalu mendapat petunjuk dalam tindakannya sebelum dia diberi ilmu.

Apabila dia diberi ilmu, akan bertambahlah keyakinannya, dan bertambah pula cahaya dalam hatinya. Demikianlah Allah memberikan perumpamaan kepada manusia tentang Nur-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (36-37)


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 (2)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 34

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 34 berbicara mengenai maksud penurunan wahyu kepada manusia. salah satunya adalah ayat-ayat kisah yang diharapkan dapat menjadi contoh dan tauladan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 33


Ayat 34

Allah telah menurunkan ayat-ayat-Nya yang jelas baik yang menyangkut hukum yang sangat berguna bagi kebahagiaan masyarakat manusia.

Begitu pula Allah telah menurunkan kisah-kisah yang dapat menjadi contoh dan teladan yaitu kisah rasul-rasul dan umat-umat yang terdahulu seperti kisah Nabi Yusuf, kisah Maryam dan sebagainya, selanjutnya tergantung kepada manusia itu sendiri apakah ia akan mengambil manfaat dari syariat dan kisah-kisah itu ataukah dia akan tetap berpaling tidak mengindahkan ajaran dan contoh teladan itu.


Baca juga: Semangat Hijrah dengan Belajar dari Kisah Masa Lalu


Tetapi ajaran dan kisah-kisah itu tentu sangat berguna dan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.

Ali bin Abi Tālib berkata tentang Al-Qur’an, “Di dalamnya terdapat hukum-hukum (yang dapat dijadikan pedoman) kisah-kisah umat dahulu, dan berita tentang yang akan terjadi kemudian. Dialah yang membedakan (antara yang hak dan yang batil) bukan kata-kata yang tidak berguna (sekadar untuk main-main saja).

Siapa saja mengabaikannya meski bagaimana pun kuatnya akan dipatahkan oleh Allah. Siapa saja yang mencari petunjuk (dengan berpedoman) kepada selain Al-Qur’an, Allah akan menyesatkannya.”


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 35


(Tafsir Kemenag)