Beranda blog Halaman 230

Tafsir Surah An-Nur Ayat 53-54

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 53-54 masih berbicara mengenai sifat-sifat orang munafik.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 49-62


Ayat 53

Pada ayat ini Allah kembali menerangkan tingkah laku orang-orang munafik yaitu mereka dengan mudah mengucapkan janji-janji yang muluk-muluk dan diperkuat dengan sumpah, tetapi tidak pernah mereka tepati.

Mereka bersumpah dengan menyebut nama Allah bahwa bila mereka diminta untuk ikut berperang bersama orang-orang mukmin mereka pasti akan ikut dan tidak akan menolak, bagaimana pun keadaan dan situasi mereka dan tidak akan memikirkan apa yang akan terjadi dalam peperangan itu, seakan-akan mereka yakin benar bahwa perintah berperang itu adalah untuk kepentingan bersama dan untuk menegakkan agama Allah.

Tetapi Allah mengetahui apa yang tersimpan dalam hati mereka, bahwa mereka bila benar-benar diajak untuk berperang melawan musuh, mereka akan mencari dalih dan alasan agar mereka tidak ikut pergi dan tinggal saja di Medinah.

Oleh sebab itu, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar melarang mereka bersumpah, karena sumpah seperti itu berat resikonya. Mereka tidak perlu bersumpah karena Allah sudah mengetahui bahwa ketaatan dan kepatuhan mereka hanya di mulut saja dan tidak timbul dari hati nurani yang bersih. Senada dengan ayat ini Allah berfirman:

يَحْلِفُوْنَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ ۚفَاِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يَرْضٰى عَنِ الْقَوْمِ الْفٰسِقِيْنَ

Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan rida kepada orang-orang yang fasik. (at-Taubah/9: 96)

Dan firman-Nya:

وَيَحْلِفُوْنَ بِاللّٰهِ اِنَّهُمْ لَمِنْكُمْۗ وَمَا هُمْ مِّنْكُمْ وَلٰكِنَّهُمْ قَوْمٌ يَّفْرَقُوْنَ

Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golonganmu; namun mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka orang-orang yang sangat takut (kepadamu). (at-Taubah/9: 56)

Oleh karena itu Allah mengingatkan mereka terhadap sumpah palsu yang mereka ucapkan itu dan mengancam akan menimpakan balasan yang setimpal atas perbuatan mereka yang jahat itu, dan menjelaskan bahwa Dia mengetahui segala tingkah laku mereka dan niat jahat mereka serta tipu daya yang mereka atur untuk menipu kaum Muslimin.


Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin


Ayat 54

Kemudian Allah memerintahkan lagi kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada mereka untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan sungguh-sungguh. Jangan selalu berpura-pura beriman, tetapi perbuatan dan tingkah laku mereka bertentangan dengan kata-kata yang mereka ucapkan.

Ini adalah sebagai peringatan terakhir kepada mereka. Bila mereka tetap juga berpaling dari kebenaran dan melakukan hal-hal yang merugikan perjuangan kaum Muslimin maka katakanlah kepada mereka bahwa dosa perbuatan mereka itu akan dipikulkan di atas pundak mereka sendiri dan tidak akan membahayakan Nabi dan kaum Muslimin sedikit pun. Mereka akan mendapat kemurkaan Allah dan siksaan-Nya.

Bila mereka benar-benar taat dan keluar dari kesesatan dengan menerima petunjuk Allah dan Rasul-Nya niscaya mereka akan termasuk golongan orang-orang yang beruntung. Kewajiban Rasul hanya menyampaikan petunjuk dan nasihat. Menerima atau menolak adalah keputusan masing-masing, di luar tanggung jawab Rasul.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 55


(Tafsir Kemenag)

 

 

Tafsir Surah An-Nur Ayat 49-52

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 49-52 masih berbicara mengenai sifat-sifat orang munafik. contoh lainnya adalah mereka tunduk terhadap keputusan yang menguntungkna mereka. Selain itu juga berbicara mengenai sebab-sebab kemunafikan mereka.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 46-48


Ayat 49

Apabila mereka dimenangkan Rasul dalam suatu perkara mereka patuh dan tunduk menerima putusannya, karena putusan itu menguntungkan mereka, bukan karena putusan Rasul benar dan adil.

Jadi ketundukan dan kepatuhan mereka bukanlah karena keyakinan bahwa Rasul tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali berdasarkan kebenaran dan keadilan, tetapi semata-mata karena melihat ada keuntungan bagi mereka yang sesuai dengan keinginan hawa nafsu mereka

Ayat 50

Kemudian Allah mengemukakan pertanyaan mengenai sebab-sebab yang menjadikan orang-orang munafik itu bersifat demikian.

Apakah karena memang dalam hati mereka ada penyakit sehingga mereka selalu ragu terhadap segala putusan yang merugikan mereka walaupun bukti-bukti dan dalil-dalil menguatkan putusan itu? Ataukah memang mereka pada dasarnya ragu-ragu terhadap kerasulan dan kenabian Muhammad saw.

Ataukah mereka khawatir Allah dan Rasul-Nya akan berlaku zalim terhadap mereka? Itulah akhlak, tingkah laku, dan sifat-sifat mereka. Sifat-sifat orang yang telah sesat, tidak mau menerima kebenaran bila akan merugikan mereka. Itulah sifat-sifat orang-orang kafir yang telah tersesat. Mereka itulah orang-orang yang zalim yang suka merugikan orang lain dan zalim pula terhadap diri mereka sendiri.


Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin


Ayat 51

Orang-orang yang benar-benar beriman apabila diajak bertahkim kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka tunduk dan patuh menerima putusan, baik putusan itu menguntungkan atau merugikan mereka.

Mereka yakin dengan sepenuh hati tidak merasa ragu sedikit pun bahwa putusan itulah yang benar, karena putusan itu adalah putusan Allah dan Rasul-Nya.

Tentu putusan siapa lagi yang patut diterima dan dipercayai kebenaran dan keadilannya selain putusan Allah dan Rasul-Nya? Demikianlah sifat-sifat orang-orang yang beriman benar-benar percaya kepada Allah dan Rasul-Nya dan yakin sepenuhnya bahwa Allah Yang Mahabenar dan Mahaadil.

Ayat 52

Siapa yang menaati semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya karena meyakini bahwa mengerjakan perintah Allah itulah yang akan membawa kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, meninggalkan semua larangan-Nya, akan menjauhkan mereka dari bahaya dan malapetaka di dunia dan di akhirat dan selalu bertakwa kepada-Nya, dan berbuat baik terhadap sesama manusia, maka mereka itu termasuk golongan orang-orang yang mencapai keridaan Ilahi dan bebas dari segala siksaan-Nya di akhirat.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 53-54


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 46-48

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 46-48 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai penegasan atas kekuasaan Allah. Kedua mengenai sifat-sifat orang munafik. Ketiga berbicara mengenai salah satu contoh sifat orang munafik.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 44-45


Ayat 46

Semua yang tersebut pada ayat-ayat sebelum ini menunjukkan kekuasaan Allah dan kesempurnaan ciptaan-Nya. Bagi ahli-ahli ilmu pengetahuan dalam segala bidang terbuka lapangan yang seluas-luasnya untuk meneliti dan menyelidiki berbagai macam ciptaan Allah, dan mengagumi bagaimana kukuh dan sempurnanya ciptaan itu.

Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat bukti-bukti yang nyata tentang adanya Maha Pencipta, namun banyak juga di antara manusia walaupun ia mengagumi semua ciptaan Allah itu, tidak mengambil manfaat dari penelitiannya kecuali sekadar penelitian saja dan tidak membawanya kepada keimanan. Memang demikianlah halnya, karena Allah hanya menunjukkan siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.;

Ayat 47

Pada ayat ini Allah menjelaskan ciri-ciri orang munafik, mereka selalu mengatakan kami beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi mereka selalu mengerjakan hal-hal yang bertentangan dengan Islam dan tidak pernah patuh dan taat kepada hukum Allah dan Rasul-Nya. Sebenarnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.

Iman mereka hanya di mulut saja, tetapi hati mereka tetap kafir, dan dipenuhi oleh kekotoran hawa nafsu. Bila ada sesuatu yang menguntungkan mereka, mereka berani bersumpah bahwa mereka benar-benar orang-orang yang beriman. Tetapi bila ada sesuatu yang merugikan dengan pernyataan beriman itu mereka lari berpihak kepada musuh-musuh Islam. Firman Allah:

وَاِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قَالُوْٓا اٰمَنَّا ۚ وَاِذَا خَلَوْا اِلٰى شَيٰطِيْنِهِمْ ۙ قَالُوْٓا اِنَّا مَعَكُمْ  ۙاِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ

Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, ”Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, ”Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.” (al-Baqarah/2: 14)


Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin


Ayat 48

Di antara sifat-sifat orang-orang munafik itu, bila mereka dipanggil untuk menerima ketetapan Allah dan Rasul-Nya mereka berpaling tak mau menerima ketetapan itu. Mereka lebih senang menerima ketetapan siapa pun selain Allah dan Rasul-Nya asal saja ketetapan itu menguntungkan mereka.

Mereka tegas-tegas menolak ketetapan Allah dan Rasul-Nya walaupun ketetapan itu nyata-nyata berdasarkan keadilan dan kebenaran dan dikuatkan pula oleh bukti-bukti yang jelas. Dalam ayat lain Allah berfirman menjelaskan sifat orang munafik itu.

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ اَنَّهُمْ اٰمَنُوْا بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّتَحَاكَمُوْٓا اِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ اُمِرُوْٓا اَنْ يَّكْفُرُوْا بِهٖ ۗوَيُرِيْدُ الشَّيْطٰنُ اَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا  ٦٠  وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا اِلٰى مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَاِلَى الرَّسُوْلِ رَاَيْتَ الْمُنٰفِقِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْكَ صُدُوْدًاۚ  ٦١

Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Tagut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Tagut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya. Dan apabila dikatakan kepada mereka, ”Marilah (patuh) kepada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul,” (niscaya) engkau (Muhammad) melihat orang munafik menghalangi dengan keras darimu. (an-Nisā`/4: 60-61)


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 49-52


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 44-45

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 44-45 berbicara mengenai dua hal. Pertama berbicara tentang salah satu contoh kekuasaan Allah yang lain. Kedua berbicara mengenai perintah untuk merenungi adanya hewan-hewan.


Baca juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 42-43


Ayat 44

Di antara hal-hal yang menunjukkan kekuasaan Allah ialah beralihnya siang menjadi malam dan malam menjadi siang. Para ahli falak, hanya dapat menganalisa sebab terjadinya malam di suatu daerah demikian pula siang. Hal ini berpangkal dari perjalanan matahari dan perputaran bumi.

Tetapi mereka tidak mampu sama sekali untuk mengubah ketentuan dan ketetapan Allah. Mereka tidak dapat memperpanjang atau memperpendek siang atau malam di suatu daerah karena perputaran malam dan siang itu suatu ketentuan dari yang Mahakuasa.

Semua ini seharusnya menjadi perhatian dan pelajaran bagi orang-orang yang berpikir bahwa manusia sebagai makhluk Allah, dengan ilmunya yang sedikit hanya dapat menganalisa kejadian-kejadian dalam alam ini tetapi mereka tidak dapat menguasainya karena kekuasaan yang sebenarnya ada di tangan Allah.

Menurut saintis, penggantian siang ke malam secara optis (penglihatan) adalah pergeseran dari warna dari cahaya yang dilenturkan (diffracted) dari mula-mula cahaya kuning, ke jingga ke merah (menjelang waktu salat Isya) sampai ke infra merah pada waktu salat Isya. Setelah itu semakin larut malam, maka bumi dihujani oleh gelombang yang lebih pendek yang bisa membahayakan manusia.

Efek dari berbagai gelombang dari sinar matahari dengan panjang gelombang yang makin pendek belum diketahui secara mendalam. Tetapi yang jelas bahwa gelombang yang sangat pendek, kearah gelombang X atau gelombang rontgen cukup berbahaya bagi tubuh manusia apalagi jika dayanya tinggi. Oleh karena itu dianjurkan manusia untuk tinggal di rumah dan beristirahat sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an.


Baca juga: Kata Ḍarb dalam Al-Qur’an Tidak Selalu Berarti Memukul, Ini 15 Maknanya


Ayat 45

Pada ayat ini Allah mengarahkan perhatian manusia supaya memperhatikan hewan-hewan yang bermacam-macam jenis dan bentuknya. Dia telah menciptakan semua jenis hewan itu dari air. Ternyata memang air itulah yang menjadi pokok kehidupan hewan karena sebagian besar dari unsur-unsur yang terkandung dalam tubuhnya adalah air.

Hewan tidak dapat bertahan hidup tanpa air. Di antara binatang-binatang itu ada yang melata, bergerak dan berjalan dengan perutnya seperti ular.

Di antaranya ada yang berjalan dengan dua kaki dan ada pula yang berjalan dengan empat kaki, bahkan kita lihat pula di antara binatang-binatang itu yang banyak kakinya, tetapi tidak disebutkan dalam ayat ini karena Allah menerangkan bahwa Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya bukan saja binatang-binatang yang berkaki banyak tetapi mencakup semua binatang dengan berbagai macam bentuk.

Masing-masing binatang itu diberinya naluri, anggota tubuh, dan alat-alat pertahanan agar ia dapat menjaga kelestarian hidupnya. Ahli-ahli ilmu hewan merasa kagum memperhatikan susunan anggota tubuh masing-masing hewan itu sehingga ia dapat bertahan atau menghindarkan diri dari musuhnya yang hendak membinasakannya.

Hal itu semua menunjukkan kekuasaan Allah, ketelitian dan kekukuhan ciptaan-Nya. Manusia bagaimana pun tinggi ilmu dan teknologinya tidak dapat menciptakan sesuatu seperti ciptaan Allah, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:

صُنْعَ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍۗ اِنَّهٗ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَفْعَلُوْنَ

(Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (an- Naml/27: 88)

Menurut ilmu sains dan teknologi, kaitan antara air dan kehidupan dapat diketahui di bawah ini:

  1. Air ditengarai sangat dekat dengan makhluk hidup, karena, khususnya untuk kebanyakan hewan, berasal dari cairan sperma. Diindikasikan bahwa keanekaragaman binatang “datangnya” dari air tertentu yang khusus (sperma) dan menghasilkan yang sesuai dengan ciri masing-masing binatang yang dicontohkan dalam ayat tersebut.
  2. Pengertian kedua mengenai air sebagai asal muasal kehidupan, diduga karena air merupakan bagian yang penting agar makhluk dapat hidup. Pada kenyataannya, memang sebagian besar bagian tubuh makhluk hidup terdiri atas air. Misal saja pada manusia, 70% bagian berat tubuhnya terdiri dari air.

Manusia tidak dapat bertahan lama apabila 20% saja dari persediaan air yang ada di tubuhnya hilang.  Akan tetapi, manusia masih dapat bertahan hidup selama 60 hari tanpa makan.  Sedangkan mereka akan mati dalam waktu 3-10 hari tanpa minum.  Juga diketahui bahwa air merupakan bahan pokok dalam pembentukan darah, cairan limpa, kencing, air mata, cairan susu dan semua organ lain yang ada di dalam tubuh manusia.

Bahwa semua kehidupan dimulai dari air.  Air di sini lebih tepat bila diartikan sebagai laut.  Teori modern tentang asal mula kehidupan belum secara mantap disetujui sampai sekitar dua atau tiga abad yang lalu.  Sebelum itu, teori yang mengemuka adalah suatu konsep yang dikenal dengan nama “spontaneous generation”.

Dalam konsep ini dipercaya bahwa makhluk hidup itu ada dengan sendirinya dan muncul dari ketiadaan.  Teori ini kemudian ditentang oleh beberapa ahli di sekitar tahun 1850-an, antara lain oleh Louis Pasteur.

Dimulai dengan penelitian yang  dilakukan oleh Huxley, dan sampai penelitian masa kini, teori lain ditawarkan sebagai alternatif.  Teori ini percaya bahwa kehidupan muncul dari rantai reaksi kimia yang panjang dan komplek.

Rantai kimia ini dipercaya dimulai dari kedalaman lautan.  Dugaan bahwa di lautlah mulainya kehidupan disebabkan  karena kondisi atmosfer pada saat itu belum berkembang menjadi kawasan yang dapat dihuni makhluk hidup.

Radiasi ultraviolet yang terlalu kuat akan mematikan setiap makhluk hidup yang ada di daratan.  Diperkirakan, kehidupan baru bergerak menuju daratan pada 425 juta tahun yang lalu,  saat lapisan ozon mulai terbentuk dan melindungi permukaan bumi dari radiasi ultraviolet.

Protoplasma adalah dasar dari semua makhluk untuk dapat hidup.  Sedangkan kerja dari protoplasma dalam menunjang kehidupan sangat bergantung pada kehadiran air.  Kembali air menjadi segalanya.

Dari uraian ini peran air bagi kehidupan sangat jelas, dari mulai adanya makhluk hidup di bumi (berasal dari kedalaman laut), bagi kelangsungan hidupnya (air diperlukan untuk pembentukan organ dan menjalankan fungsi organ) dan memulai kehidupan (terutama bagi kelompok hewan – air tertentu yang khusus – sperma).

Di luar protoplasma, yang menjadi dasar terjadinya kehidupan, sebagian besar bagian tubuh mengandung air.  Indikasi ini menyatakan bahwa walaupun hidup di daratan, semuanya masih berhubungan dengan tempat dimulainya kehidupan, yaitu lautan.  Pada binatang bertulang belakang (binatang menyusui, burung, dan lain-lain), terlihat kaitannya dengan laut pada beberapa tahap perkembangan janin (embriologi).  Beberapa organ sebagaimana dimiliki oleh ikan dimiliki oleh mereka.

Uraian di atas  tampaknya menyetujui teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin.  Akan tetapi, perlu diberikan catatan di sini, bahwa Al-Qur’an tidak memberikan peluang khusus untuk mendukung teori evolusi.  Walaupun semua ayat di atas memberikan indikasi yang tidak meragukan bahwa Allah menciptakan semua makhluk hidup dari air, masih banyak ayat lainnya yang menekankan akan Kekuasaan-Nya terhadap semua yang ada di alam semesta, seperti, antara lain, dua penggalan ayat 47 Surah Āli Imrān/3 (  ……..  Ia hanya berkata “jadilah” maka …..” ) dan Surah Fu¡¡ilat/41:39.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 46-48


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 42-43

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 42-43 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai penegasan tentang kekuasaan Allah SWT. Kedua berbicara mengenai salah satu contoh bagaimana kekuasaan Allah itu berjalan degan semestinya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 41


Ayat 42

Ayat ini menegaskan bahwa Allah yang mempunyai langit dan bumi, Dialah yang mengatur dan berkuasa atas segala yang ada di antara keduanya. Kepada-Nyalah nanti semua makhluk ciptaan-Nya akan kembali. Oleh sebab itu, hendaklah manusia tunduk dan patuh kepada-Nya dan selalu bersyukur memuji-Nya atas segala nikmat dan karunia-Nya.

Hendaklah manusia memikirkan dan merenungkan kebesaran dan kekuasaan-Nya yang dapat dibuktikan dengan memperhatikan dan menganalisa ciptaan-Nya di langit dan di bumi.

Ayat 43

Pada ayat ini Allah mengarahkan pula perhatian Nabi saw dan manusia agar memperhatikan dan merenungkan bagaimana Dia menghalau awan dengan kekuasaan-Nya dari satu tempat ke tempat lain kemudian mengumpulkan awan-awan yang berarak itu pada suatu daerah, sehingga terjadilah tumpukan awan yang berat berwarna hitam, seakan-akan awan itu gunung-gunung besar yang berjalan di angkasa.

Dari awan ini turunlah hujan lebat di daerah itu dan kadang-kadang hujan itu bercampur dengan es.

Bagi yang berada di bumi ini jarang sekali melihat awan tebal yang berarak seperti gunung, tetapi bila kita berada dalam pesawat akan terlihat di bawah pesawat yang kita tumpangi awan-awan yang bergerak perlahan itu memang seperti gunung-gunung yang menjulang di sana sini dan bila awan itu menurunkan hujan nampak dengan jelas bagaimana air itu turun ke bumi.

Hujan yang lebat itu memberi rahmat dan keuntungan yang besar bagi manusia, karena sawah dan ladang yang sudah kering akibat musim kemarau, menjadi subur kembali dan berbagai macam tanaman tumbuh dengan subur sehingga manusia dapat memetik hasilnya dengan senang dan gembira.

Tetapi ada pula hujan yang lebat dan terus-menerus turun sehingga menyebabkan terjadinya banjir di mana-mana. Sawah ladang terendam bahkan kampung seluruhnya terendam, maka hujan lebat itu menjadi malapetaka bagi manusia dan bukan sebagai rahmat yang menguntungkan. Semua itu terjadi adalah menurut iradah dan kehendak-Nya.


Baca juga: Tafsir Surah al-An’am Ayat 68 : Bagaimana Menyikapi Orang Yang Melecehkan Al-Qur’an ?


Sampai sekarang belum ada satu ilmu pun yang dapat mengatur perputaran angin dan perjalanan awan sehingga bisa mencegah banjir dan malapetaka itu. Di mana-mana terjadi topan dan hujan lebat yang membahayakan tetapi para ahli ilmu pengetahuan tidak dapat mengatasinya.

Semua ini menunjukkan kekuasaan Allah, melimpahkan rahmat dan nikmat kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan menimpakan musibah dan malapetaka kepada siapa yang dikehendaki-Nya pula.

Menurut para ilmuwan sains dan teknologi, persyaratan bagaimana hujan dapat turun, dimulai dari adanya awan yang membawa uap air.  Awan ini disebut dengan awan cumulus.  Gumpalan-gumpalan awan cumulus yang semula letaknya terpencar-pencar,  akan “dikumpulkan” oleh angin.  Pada saat awan sudah menyatu, akan terjadi gerakan angin yang mengarah ke atas dan membawa kumpulan awan ini, yang sekarang disebut awan cumulus nimbus, ke atas.

Gerakan ke atas ini sampai dengan ketinggian (dan suhu) yang ideal, di mana uap air akan berubah menjadi kristal-kristal es.  Pada saat kristal es turun ke bumi, dan suhu berubah menjadi lebih tinggi, mereka akan berubah menjadi butiran air hujan.

Di antara keanehan alam yang dapat dilihat manusia ialah terjadinya kilat yang sambung menyambung pada waktu langit mendung dan sebelum hujan turun. Meskipun ahli ilmu pengetahuan dapat menganalisa sebab musabab kejadian itu, tetapi mereka tidak dapat menguasai dan mengendalikannya. Bukankah ini suatu bukti bagi kekuasaan Allah di alam semesta ini?


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 44-45


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 41

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 41 berbicara mengenai anjuran untuk selalu bertafakkur memikirkan segala yang ada di sekeliling kita. Hal itu tidak lain agar manusia sadar bahwa hanya Allah yang bisa mengatur segalanya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 40


Ayat 41

Pada ayat ini Allah mengarahkan pikiran Nabi Muhammad pada khususnya dan pikiran manusia pada umumnya untuk memperhatikan alam, baik di langit maupun di bumi agar dia menyadari bahwa di samping manusia sebagai makhluk Allah, ada bermacam-macam makhluk-Nya di alam ini. Bila diperhatikan pasti akan membawa kepada keyakinan akan kekuasaan Khaliknya dan kebijaksanaan-Nya mengatur segala sesuatu dengan rapi dan seimbang.

Semua makhluk itu, walaupun tidak disadari oleh manusia tunduk patuh dan bertasbih menyucikan-Nya menurut segala ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.

Kalaulah ada sebuah bintang saja keluar dari garis edarnya dan tidak mematuhi tata tertib yang telah ditetapkan Allah, tentu akan terjadi benturan di antara bintang-bintang yang mengakibatkan rusaknya susunan alam atau tata surya yang harmonis dan hancurlah sebagian dari bintang-bintang itu dan tidak mustahil bumi kita akan terkena malapetaka besar sebagai dampaknya. Akan tetapi, ternyata tidak pernah ada kejadian seperti itu dan semua makhluk yakin bahwa Allah senantiasa menjaga semua tata tertib yang telah ditetapkan-Nya.

Allah menyuruh manusia memperhatikan setiap makhluk-Nya yang kecil lagi lemah, yaitu burung yang dapat terbang melayang di udara dan kadang-kadang kelihatan seakan-akan dia berhenti sejenak di awang-awang tidak terpengaruh oleh gravitasi bumi. Firman Allah:

اَلَمْ يَرَوْا اِلَى الطَّيْرِ مُسَخَّرٰتٍ فِيْ جَوِّ السَّمَاۤءِ ۗمَا يُمْسِكُهُنَّ اِلَّا اللّٰهُ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dapat terbang di angkasa dengan mudah. Tidak ada yang menahannya selain Allah. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang beriman. (an-Nahl/16: 79)

Setiap barang yang mempunyai berat pasti akan jatuh ke bumi. Tetapi burung-burung itu sekalipun demikian tetap bermain-main di udara dengan aman tanpa ada sedikit pun kekhawatiran akan jatuh ke bumi.


Baca juga: Tafsir Surah al-An’am Ayat 68 : Bagaimana Menyikapi Orang Yang Melecehkan Al-Qur’an ?


Hal ini karena Allah telah mengatur bentuk burung-burung itu yang dilengkapi dengan sayap yang dapat dikembangkan dan dikatupkan.

Dengan bentuk dan susunan seperti itu, burung dapat mengatasi gravitasi bumi terhadap sesuatu yang berbobot dan mempunyai berat. Kita tak dapat melihat bahwa burung-burung itu sedang menikmati karunia Allah baginya, bersyukur, dan bertasbih kepada Allah Penciptanya.

Bertasbih bagi makhluk selain manusia bukanlah seperti manusia bertasbih yaitu berzikir dengan menyebut nama Allah tetapi makhluk-makhluk itu ada cara-cara tertentu yang tidak dapat kita ketahui. Allah-lah Yang Maha Mengetahui bagaimana cara mereka bertasbih dan salat.

Bila kita sadari bahwa semua makhluk Allah mulai dari yang sekecil-kecilnya sampai kepada yang sebesar-besarnya bertasbih menyucikan nama-Nya dan mensyukuri nikmat dan karunia-Nya, sungguh amat mengherankan mengapa di antara manusia yang telah dianugerahi akal pikiran dan perasaan, masih ingkar dan durhaka kepada-Nya.

Masih ada di antara mereka yang menyembah selain-Nya dan menyekutukan-Nya dengan berhala atau benda-benda ciptaan-Nya. Mereka tidak pernah bertasbih kepada-Nya, menyucikan-Nya dan mensyukuri nikmat-Nya.

Alangkah bodohnya orang-orang seperti itu padahal makhluk yang tidak berakal selalu bertasbih menyucikan nama Allah. Pada suatu ketika Nabi muhammad saw dengan rahmat Tuhannya mendengar batu kerikil di bawah telapak kakinya bertasbih kepada Allah.

Pernah pula ketika Nabi Daud membaca Kitab Zabur dengan suara yang merdu Allah memerintahkan kepada gunung-gunung dan burung-burung supaya bertasbih bersama Nabi Dawud menyucikan nama-Nya seperti tersebut dalam firman-Nya:

۞ وَلَقَدْ اٰتَيْنَا دَاوٗدَ مِنَّا فَضْلًاۗ يٰجِبَالُ اَوِّبِيْ مَعَهٗ وَالطَّيْرَ ۚوَاَلَنَّا لَهُ الْحَدِيْدَۙ

Dan sungguh, Telah Kami berikan kepada Daud karunia dari Kami. (Kami berfirman), ”Wahai gunung-gunung dan burung-burung! Bertasbihlah berulang-ulang bersama Daud,” dan Kami telah melunakkan besi untuknya, (Saba`/34: 10)


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 42-43


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nur Ayat 40

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 40 berbicara mengenai contoh atas perumpamaan bagi orang kafir. Mereka diumpamakan seperti kegelapan nan kelam.


Baca juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 38-39


Ayat 40

Pada ayat ini Allah memberi perumpamaan bagi amal orang-orang kafir dengan kegelapan yang hitam kelam yang berlapis-lapis sebagaimana kelamnya suasana di laut yang dalam di malam hari di mana ombak sambung-menyambung dengan hebatnya menambah kegelapan dalam laut itu, ditambah lagi dengan awan tebal yang hitam menutupi langit sehingga tidak ada sekelumit cahaya pun yang nampak.

Semua bintang yang kecil maupun yang besar tidak dapat menampakkan dirinya ke permukaan laut itu karena dihalangi oleh awan tebal dan hitam itu. Tidak ada satu pun yang dapat dilihat ketika itu, sehingga apabila seseorang mengeluarkan tangannya di hadapan mukanya tangan itu tidak nampak sama sekali meskipun sudah dekat benar ke matanya.

Demikianlah hitam kelamnya amal-amal orang kafir itu. Jangankan amal itu akan dapat menolong dalam menghadapi bahaya dan kesulitan di akhirat yang amat dahsyat itu, melihat amal itu saja pun mustahil, karena semua amal yang dikerjakannya tidak diterima dan tidak diridai oleh Allah karena akidahnya yang sesat dan ucapan-ucapan yang mengandung kesombongan atau tindakan mereka yang zalim.


Baca juga: Doa Agar Terhindar dari Kezaliman dan Fitnah dalam Al-Quran


Al-Hasan al-Basri berkata tentang hal ini, “Orang kafir berada dalam tiga kegelapan, yaitu kegelapan akidah, kegelapan ucapan dan kegelapan amal perbuatan.” Sedangkan Ibnu ‘Abbas menyatakan, “Kegelapan hati, penglihatan dan pendengarannya.”

Demikianlah keadaan orang-orang kafir, mereka berada dalam kegelapan yang pekat sekali, karena mereka sedikit pun tidak mendapat pancaran Nur Ilahi. Allah tidak akan memberikan kepada mereka pancaran Nur-Nya, karena itulah mereka selalu berada dalam kegelapan.

Tidak ada pedoman yang dapat dijadikan pedoman karena memang mereka sudah sesat sangat jauh sekali tersesat dan tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk kembali ke jalan yang benar sebagaimana firman-Nya:

وَيُضِلُّ اللّٰهُ الظّٰلِمِيْنَۗ وَيَفْعَلُ اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُ ࣖ

Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki. (Ibrāhim/14: 27)


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 41


(Tafsir Kemenag)

Balasan Kebaikan Adalah Ridha Allah Swt Bagi Hamba-Nya

0
Kebaikan adalah
Balasan Kebaikan adalah Ridha Allah Swt

Kebaikan adalah segala sesuatu yang baik, yang bernilai baik, dan dipandang baik, baik menurut agama maupun menurut adat (kebiasaan). Allah Swt menyuruh hamba-hambanya untuk berbuat kebajikan. Rasulullah saw menyuruh umatnya untuk melakukan kebaikan. Kebaikan dalam agama adalah seluruh sifat, keadaan, atau perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan. Balasan kebaikan adalah keridhaan Allah dengan balasan pahala. “Kebaikan adalah menyembah Allah swt. seakan-akan kita melihat-Nya, dan jika tidak melihat-Nya, maka Allah pasti melihat kita.” (HR. Bukhari)

Orang-orang yang dipandang berkebajikan adalah orang-orang yang mampu melakukan hal-hal yang baik, dan meninggalkan hal-hal yang dipandang buruk. Hal ini dinyatakan oleh Allah Swt di dalam QS. Al-Najm [53]: 31-32:

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى () الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ إِلَّا اللَّمَمَ إِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَإِذْ أَنْتُمْ أَجِنَّةٌ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

“Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga). (Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu maha luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan)mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.”

Baca Juga: Mengingat Allah Swt dengan Muhasabah dalam Al-Quran dan Hadis

Kebaikan memiliki sasaran. Sasaran kebaikan adalah seperti yang telah digambarkan oleh di dalam QS. Al-Nisa’ [3]: 36.

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”

Pihak-pihak yang menjadi sasaran kebaikan dan peringkatnya, menurut ayat di atas adalah sbb: 1) Allah swt. dengan cara menyembah, beribadah kepada-Nya, patuh terhadap perintah-Nya, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. 2) Kedua orang tua, ibu-bapa, dengan berbuat kepadanya. 3) karib-kerabat (keluarga dekat), 4) anak-anak yatim, 5) orang-orang miskin, 6) tetangga yang dekat dan 7) tetangga yang jauh, 8) teman sejawat, 9) ibnu sabil (anak jalanan), dan 10) hamba sahayamu (budakmu, pembantumu).

Kebaikan akan menghasilkan kebaikan pula. Kebaikan menimbulkan mashlahat, tidak hanya bagi yang melakukan, tetapi juga bagi kehidupan dan lingkungan secara umum. Seseorang harus berbuat kebajikan kepada (1) khaliqnya (tuhan), (2) sesamanya (manusia), (3) lingkungannya (hewan/binatng dan alam). Ketiga hubungan itu harus senantiasa dijaga agar manusia mendapatkan kebaikan, tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Melakukan kebajikan itu adalah berat. Akan menjadi ringan, apabila (1) didasari motivasi yang kuat, (2) niat untuk melakukannya, (3) pembiasaan dan latihan.

Baca Juga: Berinfak di Jalan Allah Swt dan Balasan yang Didapatkan

Untuk melakukan kebaikan seseorang harus:

  1. memulai kebaikan itu dari dirinya sendiri dengan cara: a) berhati baik, b) berniat baik, c) berilmu baik, dan d) beramal baik.
  2. memberikan keteladanan yang baik kepada orang lain: a) menunjukkan sikap baik (perbuatan dan tutur kata yang baik), dan b) berakhlak baik (perbuatan dan tutur kata)
  3. menyeru orang lain berbuat baik: a) menyeru orang kepada yang baik, b) mengajak orang kepada yang baik, c) mengajarkan orang hal-hal yang baik, dan d) menunjukkan orang kepada kebaikan.
  4. bertindak baik terhadap alam: a) menciptakan alam (lingkungan) yang baik, b) memelihara dan menjaga alam (lingkungan), dan c) memanfaatkan alam (lingkungan) sesuai kebutuhan

Dampak kebaikan adalah terjalinnya hubungan yang baik: a) antara seseorang dengan dirinya, b) antara seseorang dengan sesamanya, c) antara seseorang dengan lingkungannya, dan d) antara dirinya dengan penciptanya. Kebaikan dalam berbagai aspek merupakan dampaan setiap orang. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah An-Nur Ayat 38-39

0
tafsir surah an-nur
Tafsir Surah An-Nur

Tafsir Surah An-Nur Ayat 38-39 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai orang-yang dianugerahi cahaya oleh Allah SWT. Kedua mengenai perumpamaan atas amal kebaikan dari orang-orang kafir.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 36-37


Ayat 38

Orang-orang yang demikian sifatnya, selalu bertakwa dan bertawakkal kepada Allah, mereka itu diridai Allah dan mendapat pancaran Nur Ilahi dalam hidupnya karena mereka selalu berpedoman kepada ajaran-Nya dan banyak melakukan perbuatan yang baik, mengerjakan amal saleh baik yang wajib maupun yang sunnah. Mereka akan mendapat ganjaran berlipat ganda dari Allah sesuai dengan firman-Nya:

مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَا ۚوَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزٰٓى اِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi). (al-An`ām/6: 160)

Rasulullah menerangkan janji Allah kepada orang  yang saleh dalam sebuah hadis qudsi.

اَعْدَدْتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِيْنَ مَالاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَاُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ. (رواه الشيخان وأحمد وابن ماجه عن ابى هريرة)

Aku (Allah) menyediakan bagi hamba-hambaKu yang saleh nikmat-nikmat yang belum dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan belum pernah terlintas dalam hati manusia. (Riwayat asy-Syaikhān, A¥mad dan Ibnu Mājah dari Abu Hurairah)

Demikianlah Allah memberi balasan kepada hamba-Nya yang saleh yang beriman dan bertakwa dengan nikmat serta karunia yang tak terhingga.


Baca juga: Tafsir Ahkam; Definisi dan Pernak-Perniknya


Ayat 39

Pada ayat ini Allah memberikan perumpamaan bagi amal-amal orang kafir yang tampaknya baik dan besar manfaatnya seperti mendirikan panti asuhan bagi anak-anak yatim, rumah sakit atau poliklinik untuk mengobati orang-orang yang tidak mampu, menolong fakir miskin dengan memberikan pakaian dan makanan, mendirikan perkumpulan sosial atau yayasan, dan amal-amal sosial lainnya yang sangat dianjurkan oleh agama Islam dan dipandang sebagai amal yang besar pahalanya.

Amal-amal orang-orang kafir itu meskipun besar faedahnya bagi masyarakat, tetapi amal mereka itu tidak ada nilainya di sisi Allah, karena syarat utama bagi diterimanya suatu amal ialah iman kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun, apalagi menganggap makhluk-Nya baik yang bernyawa ataupun benda mati sebagai Tuhan yang diharapkan rahmat dan kasih sayangnya atau yang ditakuti murkanya.

Allah menyerupakan amal-amal orang-orang kafir itu sebagai fata-morgana di padang pasir, tampak dari kejauhan seperti air jernih yang dapat melepaskan dahaga dan menyegarkan tubuh yang telah ditimpa terik matahari.

Dengan bergegas-gegas orang yang melihatnya berjalan menuju arah fatamorgana itu, tetapi tatkala mereka sampai di sana, semua harapan itu sirna berganti dengan rasa kecewa dan putus asa karena yang dilihatnya seperti air jernih itu tidak lain hanyalah bayangan belaka.

Mereka tidak hanya merasa kecewa dan putus asa, karena tidak mendapat minuman yang segar, tetapi mereka juga dihantui oleh nasib yang buruk karena di hadapan mereka telah menunggu penderitaan yang tidak tertangguhkan yaitu haus dan dahaga akibat ditimpa panasnya matahari sedang yang kelihatan di sekeliling mereka hanya pasir belaka yang luas tidak bertepi.

Demikian halnya orang-orang kafir di akhirat nanti, mereka mengira bahwa amal mereka di dunia akan menolong dan melepaskan mereka dari kedahsyatan dan kesulitan di padang mahsyar, tetapi nyatanya semua itu tak ada gunanya sama sekali karena tidak dilandasi oleh iman, keikhlasan, dan kejujuran.

Bukan saja mereka dikecewakan oleh harapan-harapan palsu, tetapi di hadapan mereka telah tersedia pula balasan atas segala dosa dan keingkaran mereka, yaitu neraka Jahanam yang amat panas dan menyala-nyala.

Allah telah memberitahukan kepada mereka perhitungan amal mereka dan Malaikat Zabaniah telah siap sedia menggiring mereka ke neraka. Allah berfirman:

وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا

Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.(al-Furqān/25: 23)


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nur Ayat 40


(Tafsir Kemenag)

Otoritas Keagamaan dan Upaya Menafsirkan Kehendak Tuhan

0
Otoritas
Otoritas Keagamaan

Tidak ada makna yang inheren dalam Al-Qur’an, kata Sukidi dalam Suara Muhammadiyah, No. 10 Tahun 2021. Menurutnya, proses pembentukan makna hanya terjadi ketika Al-Qur’an berinteraksi secara historis dengan penafsirnya melalui mekanisme penafsiran. Artinya, lokus makna terletak pada otoritas penafsir. Oleh karena itu, memaksakan satu produk penafsiran, apalagi secara literal dan tanpa melihat konteks, adalah sikap otoritarianisme. Khaled Abou El Fadl dalam Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (2001) secara khusus membahas problem penyelewengan otoritas keagamaan dan pentingnya menegosiasikan antara teks, pengarang, dan pembaca dalam pemikiran hukum Islam.

Hukum Islam merupakan produk realitas historis dan produk paradigma keilmuan yang dapat ditinjau ulang untuk mewujudkan kehidupan yang baik. Setelah wafatnya Nabi, polemik awal umat Islam adalah terkait dengan persoalan legitimasi dan otoritas. Polemik yang berkaitan dengan krisis otoritas ini sering memunculkan kemelut dan bahkan pertumpahan darah. Para ahli agama kemudian menjadi sumber legitimasi tekstual, yang didasari oleh kemampuan membaca, memahami, dan menafsirkan Kehendak Tuhan yang terekam dan tersembunyi di dalam teks.

Persoalannya, kata El Fadl, muncul qadi, mufti atau lembaga keagamaan yang berani mengatasnamakan dirinya atau lembaganya sebagai wakil Tuhan. Mereka mengambilalih otoritas Ketuhanan untuk membenarkan kewenangannya sebagai reader yang absolut atas nash keagamaan. Pelaku otoritarian ini mengaku mengetahui secara pasti apa yang dimaksud oleh pengarang, dan menganggap bahwa pemahamannya bersifat final dan tidak bisa diganggu gugat, seolah merasa diberi mandat dan kuasa penuh untuk mewakili pengarang dan teks.

Baca Juga: Tafsir Ahkam; Definisi dan Pernak-Perniknya

Dalam Islam, syari’ah dimaksudkan sebagai proses pencarian jalan Tuhan, bahwa kehidupan yang baik dan kehidupan yang bermoral dijalani dengan mengikuti petunjuk-Nya. Peran sebuah dalil adalah untuk menunjukkan jalan menuju kehendak Tuhan yang bertumpu pada teks, dan teks bersandar pada bahasa sebagai perantara. Bahasa hidup dalam sejarah. Teks sebagai media manusiawi yang tidak sempurna merupakan wadah yang menampung petunjuk menuju jalan Tuhan.

Teks punya kompleksitasnya sendiri dan bukan penampung makna yang pasif. Mengutip Jorge Gracia, teks adalah sekelompok entitas yang digunakan sebagai tanda yang dipilih, disusun, dan dimaksudkan oleh pengarang dalam konteks tertentu untuk mengantarkan makna tertentu kepada pembaca. Di dalamnya ada huruf, kata, dan angka, yang bisa menjadi sebuah tanda jika tersusun dari entitas yang mengandung makna. Sebuah teks dapat memiliki beragam pengarang: pengarang historis yang menciptakan teks, pengarang produksi yang mengolah dan mencetak teks, pengarang revisi yang menyunting atau mengedit teks, dan pengarang interpretasi.

Al-Qur’an, diyakini sebagai teks dari Tuhan yang disusun dengan sempurna. QS Al-Hijr ayat 9 memberi jaminan bahwa Allah yang menurunkan dan memelihara Al-Qur’an. Meskipun demikian, kita harus membedakan antara suara pengarang dan suara komunitas interpretasi yang mengelilingi suara pengarang. Al-Qur’an dan Sunnah tidak bersuara, namun yang bersuara adalah manusia yang hidup dalam suatu komunitas interpretasi. Sebuah komunitas interpretasi bisa terbentuk dari ketumpangtindihan berbagai subkomunitas. Komunitas interpretasi membentuk sebuah tradisi interpretasi tertentu. Teks tidak bersifat pasif dan pembaca tidak mendekati teks dengan kepala kosong, tetapi dengan asumsi yang mereka bawa.

Sebagai contoh, pemahaman tentang makna “kalalah” dalam QS An-Nisa ayat 174. Umar bin Khattab menyebut bahwa lafaz ini belum sempat dijelaskan dan belum ada kasusnya di masa Nabi. Umar kemudian memaknai dengan makna baru. Abu Bakar sebagai khalifah saat itu juga memiliki makna tersendiri tentang makna kalalah. Abu Bakar merujuk pada makna yang dipakai masyarakat Arab sebelum Islam. Kita tahu bahwa dalam masalah warisan, Al-Qur’an membawa spirit baru: memberi bagian pada perempuan, yang di masa sebelumnya justru menjadi barang warisan (Lihat: Al Yasa Abubakar, Suara Muhammadiyah No. 13 Tahun 2013).

Diskursus tentang Sunnah memiliki kompleksitas tersendiri. Doktrin Islam tidak menegaskan jaminan bahwa literatur hadis akan bebas dari campur tangan manusia dan dijamin autentisitasnya. Setiap hadis, kata El Fadl, merupakan hasil dari proses kepengarangan yang panjang. Dalam proses transmisi, berbagai suara pengarang (dari Nabi, sahabat, dan seterusnya) membentuk ulang suara pengarang historis yang diperankan oleh Nabi. Dalam kajian hadis, sahabat dimaknai sebagai orang yang pernah bertemu Nabi dalam keadaan Islam, meskipun hanya sekali. Maka jumlah sahabat sangat banyak dengan beragam karakter dan tingkat kesalehan. Dalam haji wada’, terdapat sekitar 100.000 jamaah, dan menurut pengertian ini, mereka semua adalah sahabat Nabi.

Penyelidikan hadis selama ini berfokus pada tingkat integritas dan aspek kepribadian individu periwayat hadis, meliputi kajian kritik sanad dan matan. Penyelidikan yang menghasilkan status hadis shahih atau maudhu itu penting, namun tidak dapat menggambarkan persoalan atau realitas yang lebih luas. Dalam Sunnah, ada serangkaian proses subjektivitas, seperti pengujian autentisitas, penilaian para rawi (jarh wa ta’dil), dan penyampaian riwayat yang disandarkan kepada Nabi dan Sahabat. Hadis diriwayatkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam suatu konteks tertentu dan tak jarang para perawi dan kritikus hadis saling berkontestasi. Dari suatu konteks ke konteks berikutnya, terjadi proses seleksi dan konstruksi. Para penghimpun hadis seperti Bukhari dan Muslim, pada akhirnya kembali memilih dari sekian banyak hadis.

Sebagai contoh, hadis riwayat Bukhari tentang ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin yang melibatkan rawi Abu Bakrah al-Tsaqafi (Nufay ibn al-Harits) dan punya pengaruh besar dalam tradisi hukum Islam sampai hari ini. Abu Bakrah masuk Islam di saat-saat terakhir hidup Nabi. Di kemudian hari, Umar bin Khattab menolak kesaksian Abu Bakrah karena pernah punya cacat moral menuduh Al-Mughirah berzina tetapi tidak dapat mendatangkan empat saksi (qazaf), bahkan ada saksi yang menarik kesaksiannya. Sisi lain, ada kontradiksi pada diri Abu Bakrah yang dipandang sangat membenci politik tetapi anaknya menerima jabatan politik.

Ada riwayat bahwa ketika menyatakan hadis itu, Nabi bersama Aisyah, lalu mengapa hanya Abu Bakrah yang meriwayatkan dan Aisyah tidak meriwayatkan hadis tersebut. Bagaimana konteks dan latar belakang perawi hadis yang menyampaikan riwayat Abu Bakrah tersebut? Dalam komunitas interpretasi mana, riwayat Abu Bakrah menjadi populer? Apakah pesan patriarkhal dalam hadis ini berperan penting dalam penyebaran hadis tersebut? Apakah standar pembuktian telah dilunakkan oleh para ahli hukum karena riwayat Abu Bakrah tampak masuk akal dalam konteks praktik komunitas mereka? Kecenderungan atau ketertarikan atau preferensi pribadi para mufassir atau fuqaha akan memengaruhi proses pemaknaan atau penafsiran.

Guna menghindari kesewenang-wenangan, El Fadl mengusulkan lima persyaratan bagi para pelaku di bidang hukum Islam: pertama, honesty. Para ahli tidak boleh berpura-pura memahami atas sesuatu yang tidak dia ketahui dan harus berterus terang tentang sejauh mana ilmu pengetahuannya. Kedua, diligence, mengerahkan usaha maksimal dan penuh totalitas untuk menyelidiki, mengkaji, dan menganalisis persoalan. Kewajiban bersungguh-sungguh menjadi lebih besar ketika sebuah keputusan hukum bersentuhan langsung dengan hak orang lain. Ketiga, comprehensiveness, mempertimbangkan berbagai aspek secara menyeluruh, dari berbagai perspektif. Keempat, reasonableness, rasional atau masuk akal. Kelima, self restraint, kemampuan mengendalikan diri, supaya tidak berlaku sewenang-wenang atas teks dan tidak mengambil alih peran pengarang.

Para sarjana muslim sepanjang masa telah menelurkan berbagai karya tentang ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu pemahaman hadis. Karya tersebut berusaha meletakkan kaidah-kaidah untuk memecahkan makna ayat dan hadis dengan penekanan pada maksud pengarang di balik teks. Kaidah-kaidah itu dipahami sebagai perangkat metodologis yang dimaksudkan untuk mengontrol dan membatasi subjektivitas interpretasi sekaligus wujud pengendalian diri.

Ada tiga kemungkinan konsep penentuan makna. Pertama, makna ditentukan oleh pengarang. Ketika membentuk sebuah teks, pengarang telah berusaha memformulasikan maksudnya, dan pembaca diharap mampu memahami maksud pengarang secara utuh. Pada kenyataannya, pembaca kerap memiliki makna tersendiri. Kedua, makna ditentukan oleh teks. Teks memiliki realitas dan integritas tersendiri yang berhak dipatuhi, dan diklaim memiliki kewenangan untuk menentukan makna. Ketiga, makna ditentukan oleh pembaca. Konteks dan realitas historis pembaca akan menentukan subjektivitas makna.

Baca Juga: Kembali kepada Al-Qur’an dengan Fitur Kontekstualis-Progresif Menurut Amin Abdullah

Ketika pembaca bergelut dengan teks untuk menetapkan suatu hukum, pembaca beresiko menyatu dengan teks, dan bahkan melampaui kewenangannya. Para fuqaha bertugas mencari petunjuk tekstual, tetapi tidak dibenarkan untuk berasumsi bahwa perintah tekstual itu sepenuhnya mewakili maksud Tuhan, atau sebaliknya, mengabaikan perintah tekstual dengan alasan bahwa perintah tersebut tidak mewakili. Penetapan hukum adalah hak otoritas Tuhan, dan teks adalah perangkat otoritatif, tanpa menafikan petunjuk lainnya.

Pemahaman teks semestinya melalui proses interaksi yang hidup, dinamis, dan dialektis antara pengarang, teks, dan pembaca. Semua faktor mesti dipertimbangkan sungguh-sungguh. Upaya manusia memahami maksud Tuhan atau syari’ah yang bentuknya abstrak, tidaklah sempurna, meskipun telah mengerahkan segenap upaya penalaran. Tuhan sangat mengapresiasi proses pencarian, sehingga setiap mujtahid diberi ganjaran. Term ijtihad dalam khazanah Islam meniscayakan bahwa teks adalah wilayah yang terbuka pada ragam pemahaman, dan itu menuntut keterlibatan aktif para fuqaha atau mufasir dalam memproduksi dan mereproduksi makna. Wallahu A’lam.