Beranda blog Halaman 276

Mengenal Terjemahan Tematik Berbasis Kata Kunci dalam “Kamus Pintar Al-Qur’an” Karya Muhammad Chirzin

0
Muhammad Chirzin

Buku Kamus Pintar Al-Qur’an dapat disebut sebagai salah satu karya fenomenal Muhammad Chirzin, yang mengungkap kandungan Al-Qur’an berbasis kata kunci tematik-alfabetik, dari A sampai Z. Sekalipun judulnya menggunakan istilah ‘Al-Qur’an’, tetapi isi dalam buku ini seluruhnya terjemahan yang berbahasa Indonesia. Karena itu, buku ini lebih tepat disebut memuat terjemahan tematik daripada Al-Qur’an tematik.

Terjemahan yang terdapat dalam buku tersebut merujuk kepada Al-Qur’an dan Terjemahnya karya Tim Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) RI yang diterbitkan oleh Pemerintah Arab Saudi.  Hal Ini menguatkan otoritas pemahaman pada terjemahan yang dimuat dalam buku tersebut, sekalipun sebenanyar tingginya kualitas keilmuan Muhammad Chirzin telah dapat menjadi otoritas tersendiri.

Buku Kamus Pintar Al-Qur’an menarik dibahas, minimal, karena terjemahan Al-Qur’an model seperti ini tidak ditemukan di lingkungan sarjana Indonesia, bahkan (boleh jadi) di dunia. Di sini, saya hanya akan mengantar pembaca untuk mengetahui bagaimana model penyajian terjemahan Al-Qur’an yang berdasarkan kata kunci tematik-alfabetik yang dilakukan oleh Muhammad Chirzin.

Muhammad Chirzin dan Karyanya

Muhammad Chirzin, lahir pada 15 Mei 1959, memperoleh gelar Sarjana Muda di fakultas Ushuluddin Institut Pendidikan Darussalam (IPD) Gontor, Ponorogo (1983), gelar S1 (1989), S2 (1995), dan S3 (2003) diperoleh masing-masing di fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Setelah itu, beliau melanjutkan Post-Doktoralnya di Universitas Al-Azhar Mesir (2004), dan di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) 2006. Kemudian meraih gelar Guru Besar dalam bidang Tafsir Al-Qur’an pada tahun 2006.

Baca Juga: Perbandingan Hermeneutika dan Ilmu Tafsir menurut Nashruddin Baidan

Selain itu, beliau termasuk anggota Tim Penyusun Tafsir Al-Qur’an Tematik Kementerian Agama RI. Beliau juga produktif menghasilkan buku dalam berbagai bidang. Buku dalam bidang Al-Qur’an dan tafsir adalah Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an (1997), Para Nabi dalam Al-Qur’an (2001), Glosari Al-Qur’an (2003), Permata Al-Qur’an (2006), Kearifan Al-Qur’an (2007), Indeks Al-Qur’an Juz Amma (2008), Kamus Pintar Al-Qur’an: 1000 Kata Kunci dalam Al-Qur’an beserta Rujukan Ayat-Ayatnya, dan lainnya.

Dari berbagai buku di atas, tulisan ini berfokus ke Kamus Pintar Al-Qur’an. Buku ini telah dicetak dua, yakni: 2011 dan 2013, oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dalam buku ini, Muhammad Chirzin memuat (memindahkan) tulisan “Paradigma Al-Qur’an untuk Perumusan Teori” yang diambilnya dari buku Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (1998) karya Kuntowijoyo. Nampaknya, beliau menjadi tulisan Kuntowijoyo tersebut sebagai pengantar dalam bukunya.

Selain tulisan Kuntowijoyo tersebut, dan tentunya kata pengantar penulis sendiri, buku ini juga memuat daftar surah dalam Al-Qur’an dan jumlah ayatnya urutan mushafi (QS. Al-Fatihah – QS. Al-Nas), dan daftar surah menurut abjad dan nomornya dalam Al-Qur’an (QS. ‘Abasa – QS. Az-Zumar).

Sajian Terjemahan Tematik dalam “Kamus Pintar Al-Qur’an”

Dalam pengantarnya, Muhammad Chirzin mengatakan bahwa buku ini bertujuan memudahkan siapa saja yang ingin mengetahui kandungan Al-Qur’an, terutama secara tematik. Buku ini menyajikan lebih dari seribu (tepatnya 1017) kata kunci yang menjadi daftar kata dasar berurutan secara alfabetis sedemikian rupa. Ini dimaksudkan agar pembaca dapat menemuka secara cepat tema kandungan Al-Qur’an yang ingin dicari.

Muhammad Chirzin menyajikan seluruh terjemahan ayat Al-Qur’an dalam buku ini, melalui salah satu kata saja yang termuat pada masing-masing ayat, terutama dalam menonjolkan pesan utama ayat tersebut. Untuk lebih menemukan pesan utama tersebut, Muhammad Chirzin menganjurnya agar pembaca tidak hanya berpatokan pada satu ayat tertentu, tetapi juga mengaitkannya dengan ayat sebelum dan/atau setelahnya.

Tentu, penyusunan buku tidak lepas dari keterbatasan ilmu dan wawasan penulisnya, sebagaimana diakui Muhammad Chirzin. Sehingga, bukan hanya tidak memuat seluruh pokok kandungan Al-Qur’an, tetapi juga adanya kekeliruan dalam buku tersebut. Hal ini dapat dilihat, misalnya, adanya urutan abjad yang tidak konsisten, seperti pada bab A, tema ‘Ad (urutan 1, pakai koma atas), disusul Abadi (tanpa koma atas), Abai, Abu Lahab, hingga urutan 13 selanjunya, kemudian muncul ‘Ain (pakai koma atas). Padahal, jika ingin konsisten, urutan ‘Ain ditempatkan tepat setelah ‘Ad.

Kamus Pintar Al-Quran
Kamus Pintar Al-Quran

Dalam penyajiannya, Muhammad Chirzin mengutip terjemahan Al-Qur’an berdasarkan urutan mushafi. Hal ini misalnya ketika mengungkap terjemahan Al-Qur’an yang bertema ‘Ad, di sana Muhammad Chirzin mengurut dari surah ke-25:38, lalu 26:123, 41:15, 53:50, 54:18, 69:6, hingga 89:6. Jika pada bab kata dasar memuat beberapa tema, Muhammad Chirzin menuliskan sub bab. Misalnya, bab kata Adil, di dalamnya termuat kata Mengadili dan Keadilan.

Huruf muqatta’ah tidak diterjemahkan, hanya ditransliterasi ke bahasa Indonesia. Misalnya, ‘Ain sin qaf (42:2), Alif lam mim (2:1) (3:1) (30:1) (31:1), Alim lam mim shad (7:1), Ha mim (40:1), (41:1), (42:1), (45:1), (46:1), Kaf Ha Ya ‘Ain Shad (19:1), dan lainnya.

Baca Juga: Mengenal Konsep Ad-Dakhil fi at-Tafsir: Sejarah Perkembangan dan Faktor-faktor Infiltrasi Penafsiran

Ayat Al-Qur’an yang berulang-ulang juga ditulis terjemahannya secara berulang. MIsalnya, bab kata Nikmat di surah Al-Rahman, “Maka terhadap nikmat Tuhan kamu yang manakah kamu ragu-ragu?”, ditulis sebanyak 33 kali secara berurutan dari 53:55 hingga 53:77, bab kata Perkasa di surah Al-Syu’ara, “Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang”, ditulis sebanyak 4 kali secara berurutan dari 26:9 hingga 26:191, dan lainnya.

Demikian sekelumit paparan model penyajian terjemahan Al-Qur’an berdasarkan kata kunci tematik-alfabetik. Boleh jadi, masih banyak kekhasan penyajian dalam buku tersebut yang saya tidak ungkap. Yang jelas, buku karya Muhammad Chirzin tersebut menarik ditindaklanjuti secara mendalam, baik dari sisi model penyajiannya, konsistensi tema bahasan, konsekuensi pemahamannya, dan seterusnya. [] Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 31-34

0
tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 31-34 masih membahas tentang Ummahatul Mu’minin, yakni julukan kepada istri-istri Nabi. Disini diterangkan bahwa mereka dilarang berperilaku seperti perempuan Jahiliyah, dilarang keluar rumah tanpa keperluan, serta dianjurkan untuk melaksanakan ibadah dirumah masing-masing. Jika mereka melaksanakannya untuk mencari keridhaan Allah, maka mereka akan mendapatkan pahala yang berlipat dari-Nya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 28-30


Ayat 31

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa siapa pun di antara istri-istri Nabi saw yang tetap taat kepada Allah dan rasul-Nya, serta mengerjakan amal yang saleh, pasti diberi-Nya pahala dua kali lipat sebagai penghargaan bagi mereka.

Penghargaan itu karena kedudukan mereka selaku “Ummahatul Mu’minin”, yaitu ibu kehormatan segenap kaum mukminin, dan mereka berada di rumah Nabi saw, tempat turun wahyu Allah, cahaya hikmat dan petunjuk ke jalan yang lurus.

Selain pahala yang berlipat ganda, Allah akan memberikan pula rezeki yang mulia di dunia dan di akhirat.

Di dunia karena mereka menjadi pusat perhatian seluruh perempuan mukminat yang memandang mereka dengan penuh penghormatan dan kewibawaan dan di akhirat karena mereka adalah istri-istri Nabi saw yang akan ditempatkan oleh Allah pada derajat yang tinggi dalam surga Jannatun Na’im.


Baca Juga : Tafsir Surat An-Nur Ayat 26: Jodoh Merupakan Cerminan Diri


Ayat 32

Pada ayat ini, Allah memperingatkan kepada istri-istri Nabi saw bahwa mereka dengan julukan “Ummahatul Mu’minin” sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan perempuan mukminat yang mana pun dalam segi keutamaan dan penghormatan, jika mereka betul-betul bertakwa.

Tidak ada seorang perempuan pun yang dapat menyerupai kedudukan apalagi melebihi keutamaan mereka karena suami mereka adalah “Sayyidul Anbiya’ wal Mursalin”.

Oleh karena itu, jika mengadakan pembicaraan dengan orang lain, maka mereka dilarang merendahkan suara yang dapat menimbulkan perasaan kurang baik terhadap kesucian dan kehormatan mereka, terutama jika yang dihadapi itu orang-orang fasik atau munafik yang itikad baiknya diragukan.

Istri-istri Nabi saw itu, setelah beliau wafat tidak boleh dinikahi oleh siapa pun, sesuai dengan firman Allah

وَمَا كَانَ لَكُمْ اَنْ تُؤْذُوْا رَسُوْلَ اللّٰهِ وَلَآ اَنْ تَنْكِحُوْٓا اَزْوَاجَهٗ مِنْۢ بَعْدِهٖٓ اَبَدًاۗ اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللّٰهِ عَظِيْمًا

Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah (Nabi wafat). Sungguh, yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah. (al-Ahzab/33: 53)

Ayat 33

Pada ayat ini, Allah memerintahkan supaya para istri Nabi tetap tinggal di rumah mereka masing-masing dan tidak keluar kecuali bila ada keperluan. Perintah ini berlaku bagi istri-istri Nabi saw. Mereka dilarang memamerkan perhiasannya, dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah masa dahulu sebelum zaman Nabi Muhammad.

 Setelah mereka dilarang mengerjakan keburukan, mereka diperintahkan mengerjakan kebajikan, seperti mendirikan salat lima waktu sesuai syarat dan rukun-rukunnya dan menunaikan zakat harta bendanya.

Telah menjadi kebiasaan, jika disebut salat maka selalu dikaitkan dengan zakat, sebab keduanya menghasilkan kebersihan diri dan harta. Hikmah dari keduanya supaya tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya karena hal itu adalah pelaksanaan dari isi dua kalimat syahadat yang menjadi jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Allah mengeluarkan perintah itu disertai sebutan “ahlul bait”, yaitu semua keluarga rumah tangga Rasulullah, dengan maksud untuk menghilangkan dosa-dosa dari mereka. Allah juga bermaksud membersihkan mereka dari kekotoran kefasikan dan kemunafikan yang biasa menempel pada orang yang berdosa. Dengan demikian, Allah akan membersihkan mereka sebersih-bersihnya.

Anas bin Malik dalam rangka menerangkan siapa yang dimaksud dengan ahlul bait dalam ayat ini meriwayatkan:

اَنَّّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمُرُّ بِبَابِ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا سِتَّةَ اَشْهُرِ اِذَا خَرَجَ اِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ يَقُوْلُ: اَلصَّلاَةُ يَا اَهْلَ اْلبَيْتِ اِنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا (رواه الترمذي و أبو داود الطيالسي عن أنس بن مالك)

Sesungguhnya Rasulullah selalu mendatangi rumah putrinya Fatimah, selama enam bulan pada setiap salat subuh. Beliau berseru, “Salat, hai Ahlul Bait, sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kamu, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Riwayat at-Tirmizi dan Abu Dawud ath-Thayalisi dari Anas bin Malik)

Ayat 34

Pada ayat ini, Allah menerangkan sebab-sebab mereka mendapat karunia yang besar itu. Di antaranya ialah karena rumah kediaman istri-istri Nabi itu adalah tempat-tempat turun wahyu. Allah memerintahkan kepada istri-istri Nabi saw supaya mengajarkan apa yang dibacakan di rumah mereka itu dari ayat-ayat Allah dan sunah Nabi kepada orang lain.

Sunah Nabi itu bisa berupa apa yang mereka saksikan tentang kehidupan Nabi dalam lingkungan rumah tangga dan berhubungan dengan syariat Islam.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 35-36


Surah Al Fatihah dan Ijazah Doa KH Achmad Asrori  Al-Ishaqi

0
Ijazah Doa KH Achmad Asrori  Al-Ishaqi
Ijazah Doa KH Achmad Asrori  Al-Ishaqi

KH Achmad Asrori Al-Ishaqi atau yang lebih akrab disapa Yai Rori adalah Mursyid Thariqah asal Surabaya. Pendiri dan pengasuh pondok pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.

Meski pada usia dewasa beliau dikenal sebagai sosok yang tawadhu, istiqomah, sabar dan banyak sifat terpuji yang pantas disandingkan dengan diri dan namanya, pada usia muda beliau dikenal sebagai pemuda yang ‘bandel’ dan ‘agak nyeleneh’. Di masa kecilnya ia juga bukan anak yang tergolong patuh.

Dr. Mahmud Sujuthi dalam karyanya Politik Tarekat menggambarkan Yai Rori sebagai pemuda yang cerdas. Dan ketika masih menjadi santri, beliau cukup mumpuni untuk mengulas dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al Ghazali yang fenomenal itu, KH M. Utsman al Ishaqi bahkan ngendikan (berkata), “kalau saya bukan bapaknya, saya mau kok ngaji kepadanya”.

Baca juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia

Lebih jauh dari itu Kiai Utsman mempercayakan tonggak karir kemursyidannya kepada Yai Rori muda ketimbang saudaranya yang lain. Sepanjang mengasuh Ponpes Assalafi Al Fithrah hingga akhir hayatnya, Yai Asrori juga bisa dikatakan sebagai ulama yang produktif dalam membaca dan menulis.

Beberapa karya lahir dengan metode penulisan dan analisa pemikirannya yang epik. Masterpiecenya yang berjudul Al Muntakhobat, terdiri dari lima juz, kelak diketahui ia menjadi rujukan-panutan para pengamal Tarekat, khususnya Qadariyah wa al Naqsabandiyah.

Warisan Ijazah KH Achmad Asrori  Al-Ishaqi

Selain mewariskan buah pemikiran, Yai Rori juga mewariskan ijazah-‘amalan. Majlis khususi adalah salah satu warisan ‘amalan dari  para gurunya yang terus dikucurkan oleh Yai Rori pada para murid dan jamaahnya. Rentetan acaranya adalah sepenuhnya bermunajat kepada Allah melalui pujian-pujian kepadaNya. Berikut adalah berdzikir yang diajarkan Kyai Rori.

Allahumma yaa qaadial hajaat (Ya Allah.. Dzat yang Maha memenuhi segala hajat)

Allahumma yaa kaafiyal muhimmaat (Ya Allah.. Dzat Maha mencukupi segala hal yang penting)

Allahuma yaa rafi’ad arajaat (Ya Allah.. Dzat yang Maha meninggikan derajat)

Allahumma yaa daafi’al baliyyat (Ya Allah.. Dzat yang Maha mencegah segala bencana dan musibah)

Allahumma yaa mujibad da’awaat (Ya Allah Dzat Maha mengabulkan segala doa)

Allahumma yaa syaafial amradh (Ya Allah Dzat yang Maha menyembuhkan segala macam sakit dan penyakit)

Allahumma yaa arhamar raahimiin (Ya Allah.. Dzat yang sifat kasih sayangNya paling besar dari orang-orang yang bersifat pengasih)

Munajat-munajat di atas adalah cuplikan munajat yang dibaca di acara majlis khususi yang diwariskan romo Yai Rori sampai hari ini. Cuplikan di atas, jika ditelisik dengan seksama merupakan inti dari majlis khususi tersebut. Biasanya, para jama’ah akan lebih khusyu’ ketika membaca dzikir tersebut, sambil menudukkan kepala hingga dzikir selesai.

Poin besar yang dapat dipetik dari hasil membaca munajat-munajat khususi adalah, memberikan pengakuan (al i’tiraf) di awal lebih ideal dibanding mengajukan dan terus mengajukan permintaan.

Baca juga: Mengenal Surah Al-Baqarah (Bag. 1): Karakteristik dan Nama Lainnya

Munajat-munajat yang terdapat dalam pada dzikir tersebut semuanya adalah berbentuk pengakuan. Bukan permintaan. Dalam munajat itu, kita memberikan pengakuan seperti, allahumma yaa qadial hajat didengungkan, secara tidak langsung kita juga mengakui bahwa hanya Allah yang mampu memberikan kita segala apa yang kita butuhkan, dan seterusnya.

Seperti Halnya Bermunajat dengan Surat Al-Fatihah

Munajat model begini sebenarnya sudah dicontohkan di Al-Qur’an dalam surat Al Fatihah. Mulai dari bismillah sampai iyyaka na’budu, karena jika kita cermati, berdzikir dengan surat al-fatihah merupakan bentuk pengakuan terhadap kebesaran dan keagungan Allah Swt melalui sifat-sifatNya dan seluruh mahaNya. Permintaan justru baru muncul pada ayat setelahnya, ihdinas shirathal mustaqim, baru di titik ini, kalimat permintaan digunakan.

Para Mufassir pun demikian, Darwazah Muhammad Izzat pun dalam Al Tafsir al Hadithnya menyebutkan, bahwa komposisi surat Al Fatihah adalah: Pertama, cara Al Qur’an mendidik makhluk untuk berdoa dan memuji Allah Swt. Kedua, mengakui keluasan rahmatNya, ketiga, penghambaan makhluk dan mengesakanNya, mengakuiNya sebagai satu-satunya Tuhan yang ada, tiada dua, tiga, empat dan seterusnya, dan keempat Baru di akhir, surat ini berisi permintaan, agar ditetapkan nikmat iman, dan dijauhkan dari menjadi hambaNya yang tersesat atau dimurkai.

Model yang lain bisa kita lihat pada bacaan sayyidul istighfar. Berbeda dengan  (bacaan) istighfar lain yang berisi permohonan ampun, bacaan istighfar (sayyidul istighfar) itu justru berisi pengakuan.

Bentuk yang lain lagi, bisa kita temui dalam bacaan istighasah laa ilaha illaa anta subhanaka innii kuntu minadz dzalimin” pada titik ini, kita memberikan pengakuan betapa hinanya diri kita, sekaligus mengakui Maha Sucinya Ia, mengakui betapa zalimnya kita, dan berharap banyak bahwa Ia akan mengampuni segala dosa.

Baca juga: Menilik Peta Perkembangan Tafsir Modern di Mesir dari Kacamata J.J.G. Hans Jansen

Kemudian jika kita menyebut dzikir yang diijazahkan oleh Kyai Rori, juga mengajarkan untuk mengakui sekaligus mengukuhkan posisi Allah Swt, bahwa hanya Dia-lah yang dapat memenuhi segala kebutuhan kita (allahumma yaa qaadial haajat). Mengakui bahwa kita akan selalu butuh padaNya dalam pemenuhan segala kebutuhan kita. 

Pada sebuah hadith qudsi – hadith yang maknanya dari Allah namun redaksinya datang dari Nabi Saw – yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, disebutkan bahwa nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Swt telah berfirman: barangsiapa yang lebih sibuk berdzikir dan mengigatku dibanding memintakan hajatnya kepadaku, maka akan Aku berikan sesuatu yang lebih lagi lebih utama dibanding apa yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta kepadaKu (tapi tidak mengingatKu)”.

Yai Rori juga,  dalam sebuah pengajian pernah menjelaskan kandungan hadith qudsi di atas. Beliau menyatakan, bahwa orang yang meminta, bukan berarti tidak mengingatNya, akan tetapi lebih condong mengingat list kepentingannya dibanding (mengingat) ia sedang menghadap siapa. Dalam kelas tarekat, ini tentu masuk pada tingkatan su’ul adab dalam berdoa.

Tetapi, penting pula diingat, bahwa memohon dan memintakan semua kebutuhan yang sudah kita list sebelum menengadahkan tangan kepadaNya bukanlah hal yang salah atau keliru. Sebab, firmanNya dalam Al Qur’an, Allah menyuruh kita berdoa.

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ  اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (QS. Al Baqarah (2): 186)

Bahkan, dalam Riwayat yang lain disebutkan, Dia sangat suka mendengar hambaNya merintih, memohon dengan penuh kesungguhan dalam berdoa. Dalam kondisi tertentu, Dia memang sengaja tak langsung mengabulkan doa hambaNya, sebab jika langsung dikabulkan, si pendoa tersebut bisa jadi akan berhenti menengadahkan tangan dan berhenti berdoa.

Untuk Dua ayat yang sedang didiskusikan ini sederhananya adalah tentang kelas atau tingkatan kita dalam berdoa dan menghambaan diri kepadaNya. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 28-30

0
tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 28-30 setidaknya berbicara tentang dua aspek. Pertama, tentang perintah Allah kepada Nabi agar menyampaikan kepada istri-istrinya untuk memilih antara dunia atau keridaan Allah. Jika dunia, maka Nabi tidak memilikinya, dan Allah akan meminta Nabi untuk mentalak istrinya tersebut dengan talak yang baik dan bertanggung jawab. Yang demikian pun mengajarkan kepada umat tentang bagaimana mentalak sesuai konsep al-Qur’an.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 26-27


Adapun jika mereka memilih keridaan Allah, maka akan disiapkan bagi mereka pahala yang besar atas ketaatan mereka tersebut. Kemudian, pembahasan kedua dalam Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 28-30 adalah tentang perintah Allah kepada istri-istri Nabi agar selalu menjaga diri, karena mereka adalah ibu bagi kaum yang beriman (Ummahat al-Mukmininin)

Ayat 28

Allah memerintahkan Rasulullah saw agar menyampaikan kepada istri-istrinya supaya mereka memilih apa yang mereka kehendaki dari dua hal. Pilihan pertama ialah jika mereka menginginkan kehidupan dunia dengan segala kenikmatannya, maka Nabi tidak mempunyai yang demikian itu, dan beliau tidak mempunyai sesuatu pun yang akan diberikan untuk memenuhi keinginan itu.

Oleh karena itu, Nabi akan mentalak mereka dan beliau memberi mut’ah, sebagaimana yang telah disyariatkan agama. Beliau juga akan menceraikan mereka secara baik-baik pula.

Menurut ketentuan Allah, seorang suami yang menceraikan istrinya memberi mut’ah berupa pakaian, uang, atau perhiasan secara sukarela kepada istri yang diceraikannya, sesuai dengan kemampuannya, orang kaya sesuai dengan kekayaannya dan orang miskin sesuai dengan kemis-kinannya. Firman Allah:

وَّمَتِّعُوْهُنَّ عَلَى الْمُوْسِعِ قَدَرُهٗ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهٗ ۚ مَتَاعًا ۢبِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ

Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. (al-Baqarah/2: 236).

Allah juga menetapkan bahwa jika seorang suami mentalak istrinya, maka hendaklah ia melepaskan mereka secara baik-baik dan mentalaknya pada waktu suci sebelum dicampuri, agar mereka dapat melaksanakan idah dalam masa yang pendek. Allah berfirman

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاۤءَ فَطَلِّقُوْهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَاَحْصُوا الْعِدَّةَۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ رَبَّكُمْۚ

Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. (ath-Thalaq/65:1);

Pada waktu ayat ini turun, Rasulullah mempunyai istri 9 orang, yaitu ‘Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti ‘Umar, Ummu Salamah, Ummu Habibah, Ramlah binti Sufyan, Saudah binti Zam’ah, Zainab binti Jahsy, Maimunah binti Harits, Safiyyah binti Huyai bin Akhtab, dan Juwairiyah binti al-Harits. Dari istri beliau yang sembilan itu, lima orang berasal dari suku Quraisy dan empat orang bukan dari suku Quraisy.

Firman Allah

عَسٰى رَبُّهٗٓ اِنْ طَلَّقَكُنَّ اَنْ يُّبْدِلَهٗٓ اَزْوَاجًا خَيْرًا مِّنْكُنَّ مُسْلِمٰتٍ مُّؤْمِنٰتٍ قٰنِتٰتٍ تٰۤىِٕبٰتٍ عٰبِدٰتٍ سٰۤىِٕحٰتٍ ثَيِّبٰتٍ وَّاَبْكَارًا

Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.  (at-Tahrim/66: 5)


Baca Juga : Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 28-29: Didikan Allah Swt Kepada Istri-Istri Nabi


Ayat 29

Pilihan kedua yang disampaikan Rasulullah ialah jika para istrinya memilih keridaan Allah dan Rasul-Nya dan pahala hari akhirat, maka taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah telah menyediakan pahala yang besar bagi para istrinya yang baik dalam perkataan, perbuatan, dan tingkah laku. Mereka ditempatkan di dalam surga yang penuh kenikmatan.

Ayat 30

Pada ayat ini, Allah memperingatkan istri-istri Nabi agar selalu menjaga diri karena mereka adalah ibu dari seluruh kaum Muslimin dan menjadi contoh teladan bagi mereka. Perintah Allah itu ialah, “Barang siapa di antara istri Nabi yang mengerjakan perbuatan keji, perbuatan yang terlarang, dan sebagainya, maka mereka akan memperoleh azab dua kali lipat dari azab yang diterima orang biasa.”

Pemberian azab dua kali lipat kepada istri-istri Nabi ini ialah karena mereka termasuk orang-orang yang telah mengetahui dengan sebenarnya perintah-perintah dan larangan-larangan Allah. Di samping itu, mereka juga adalah penjaga rumah tangga Rasulullah dari segala perbuatan yang jahat yang mungkin terjadi di dalamnya.

Sebagian ulama menetapkan hukum berdasarkan ayat ini bahwa untuk tindakan kejahatan yang sama jenisnya, maka hukuman yang akan diterima oleh orang-orang yang tahu itu lebih berat dari hukuman yang akan diterima oleh orang yang tidak tahu. Orang yang tahu telah mengetahui akibat dari suatu perbuatan.

Jika ia melakukan perbuatan itu, berarti ia melakukan dengan penuh kesadaran, sedang yang tidak tahu, ia mengerjakan tindakan kejahatan itu tanpa kesadaran dalam arti yang sebenarnya.

Oleh karena itu, orang-orang tahu itu wajib memperoleh hukuman dua kali lipat dari hukuman yang diperoleh orang yang tidak tahu.

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki berkata kepada Zainal ‘Abidin r.a., “Sesungguhnya kamu adalah keluarga Nabi yang telah memperoleh ampunan.”

Maka Zainal ‘Abidin marah kepada orang itu dan berkata, “Apa yang telah ditetapkan Allah terhadap istri-istri Nabi lebih pantas untuk ditetapkan bagi kami dari apa yang kamu katakan itu. Kami berpendapat bahwa balasan kebajikan kami dilipatgandakan sebagaimana balasan kesalahan kami dilipatgandakan pula.” Kemudian beliau membaca ayat ini.;

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 31-34


Tafsir Surah Al Insan Ayat 25-31

0
Tafsir Surah Al Insan
Tafsir Surah Al Insan

Tafsir Surah Al Insan Ayat 25-31 merupakan peringatan Allah agar senantiasa menyebut Nama-Nya dalam keadaan bagaimanapun dan dimana saja. Selain itu Tafsir Surah Al Insan Ayat 25-31 juga memperingatkan orang-orang yang lalai, padahal Allah telah menciptakan dan memberi kenikmatan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 22-24


Ayat 25

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya menyebut nama Tuhan pada waktu pagi dan petang. Maksudnya hendaklah umat Islam selalu ingat kepada Allah dalam keadaan bagaimanapun, di mana dan kapan pun, baik dengan hati maupun dengan lidah. Ada yang mengatakan bahwa maksud mengingat Allah pada waktu pagi dan petang ialah mengerjakan salat pada saat-saat itu.

Ayat 26

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi supaya bersujud, salat malam, dan bertasbih kepada-Nya pada bagian yang panjang pada malam hari. Perintah mengerjakan salat pada sebagian waktu malam, yakni salat Magrib dan Isya, kemudian salat Tahajud pada malam hari disebutkan juga dalam ayat lain:

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا  ٧٩ 

Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat Tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji. (al-Isra’/17: 79)

Ayat 27

Dalam ayat ini, Allah mencela sikap orang kafir yang mabuk kesenangan duniawi dengan melupakan hari akhirat disebabkan mereka itu menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak mempedulikan hari berat, hari akhirat.

Memang watak orang kafir itu sebenarnya cinta dunia dan takut mati, melupakan hari akhirat dan tidak mempercayai sama sekali. Dikatakan bahwa hari akhirat itu sebagai “hari yang berat” karena begitu beratnya pertanggungjawaban manusia di hadapan Allah.

Ayat 28

Dalam ayat ini, seolah-olah Allah menegur manusia yang lalai itu kenapa mereka melupakan Allah, padahal Dialah yang menciptakan mereka, menyusun dan mengatur demikian rapi tubuh mereka sehingga tidak ada celanya. Apakah setelah menciptakan mereka dengan sebaik-baiknya itu, lalu Allah membiarkan saja mereka berbuat sekehendaknya?

Oleh karena itu, Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya yang Mahamutlak untuk sewaktu-waktu melenyapkan dan mengganti mereka dengan generasi manusia yang lain. Dalam ayat lain disebutkan:

وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ ۗوَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلًا   ١٣٢

Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Cukuplah Allah sebagai pemeliharanya. (an-Nisa’/4: 132)

Demikianlah sunatullah telah berlaku di alam semesta ini sejak dahulu. Allah menghancurkan manusia-manusia yang ingkar kepada-Nya kemudian segera menggantinya dengan generasi baru. Sunatullah ini pasti akan berlaku karena manusia yang ingkar kepadanya tetap akan bermunculan sepanjang masa.

Ayat 29

Dalam ayat ini, Allah kembali mengingatkan bahwa semua yang disebutkan di atas merupakan peringatan (tadzkirah) dan pengajaran (mau‘izah) bagi siapa yang ingin mendengarnya. Segala peringatan yang terkandung dalam Surah al-Insan ini merupakan bahan renungan bagi siapa yang suka belajar kepada kenyataan yang pernah terjadi. Barang siapa yang ingin kebaikan bagi pribadinya untuk kehidupan dunia dan akhirat, hendaklah ia menjadikan ayat-ayat ini sebagai peringatan. Hendaklah ia mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan taat, mengikuti segala perintah, dan menjauhi segala larangan-Nya, agar dia memperoleh rida Allah, agar ia selamat dari segala kesulitan hidup di kampung akhirat kelak.

Ayat 30

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa manusia tidak akan mencapai keselamatan itu kecuali dengan kehendak-Nya, dan bila Ia memberikan taufik kepadanya. Usaha seseorang saja tanpa ada bimbingan Allah tidak akan mencapai kebaikan dan tidak dapat menolak kejahatan.

Ayat ini ditutup dengan suatu kepastian bahwa Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Allah Mahatahu siapa di antara hamba-Nya yang berhak menerima hidayat itu sehingga dimudahkan jalan baginya dan didatangkan sebab-sebab untuk mendapatkan hidayat itu. Sebaliknya yang sering terlibat dalam perbuatan memperturutkan hawa nafsu, hidayah itu dihilangkan Allah darinya. Allah Mahabijaksana dan Mahaadil.

Ayat 31

Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia memasukkan siapa saja yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya, yaitu surga. Bagi orang zalim disediakan azab yang pedih.

Allah menunjukkan manfaat perbuatan taat kepada orang tersebut sehingga dengan perbuatan itu, dia mempersiapkan dirinya memasuki rahmat Allah berupa surga. Bagi orang-orang yang merugikan diri mereka, dan mati dalam kekafiran, Allah telah menyediakan bagi mereka di akhirat azab yang paling hebat, yaitu neraka Jahanam.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Ikutilah Nabi Muhammad Saw Niscaya Allah Mencintai Dirimu


Tafsir Surah Al Insan Ayat 22-24

0
Tafsir Surah Al Insan
Tafsir Surah Al Insan

Tafsir Surah Al Insan Ayat 22-24 menerangkan bahwa Allah menurunkan Alquran secara berangsur-angsur selama 22 tahun lebih agar mudah dipahami dan dihafal. Selain itu Tafsir Surah Al Insan Ayat 22-24 juga memerintahkan Rasulullah untuk tidak menghiraukan celaan orang-orang musyrik.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 17-21


Ayat 22

Ayat ini menegaskan lagi bahwa sesungguhnya kenikmatan yang dianugerahkan Allah itu merupakan ganjaran bagi orang-orang abrar, karena amal perbuatan mereka di dunia disyukuri, diterima, dan diridai Allah. Inilah pemberian Allah kepada mereka sebagai balasan atas apa yang sudah mereka lakukan di dunia. Pada ayat lain, Allah berfirman:

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْۤـًٔا ۢبِمَآ اَسْلَفْتُمْ فِى الْاَيَّامِ الْخَالِيَةِ   ٢٤

(Kepada mereka dikatakan), “Makan dan minumlah dengan nikmat karena amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (al-Haqqah/69: 24)

Ayat 23

Dalam ayat ini diterangkan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad dengan berangsur-angsur. Al-Qur’an diturunkan selama 22 tahun lebih secara berangsur-angsur sedikit demi sedikit. Tujuannya agar mudah dipahami, dihafal, dan diajarkan kepada para sahabat. Terkadang ayat diturunkan dengan maksud untuk menjelaskan suatu peristiwa yang terjadi yang memerlukan bimbingan dari Allah. Dengan cara berangsur-angsur itu, Al-Qur’an menjadi mantap diimani dan menambah ketakwaan mereka. Ayat ini sekaligus membantah anggapan beberapa orang bahwa Al-Qur’an merupakan sihir atau barang renungan yang bisa dipelajari, atau sebagai perkataan manusia biasa.

Ayat 24

Dalam ayat ini, Allah menganjurkan kepada Rasul-Nya agar menghadapi celaan dan sikap permusuhan orang musyrik itu dengan sabar, dan tidak mengikuti mereka. Ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad dan orang-orang mukmin agar bersikap sabar dan tahan uji menghadapi seribu satu gangguan dalam menegakkan agama Allah. Mereka diperintahkan untuk bersabar ketika pertolongan belum dating dalam menghadapi orang-orang musyrik anti-Islam. Bersabar ketika menyampaikan kebenaran Allah dalam menghadapi tantangan penuh bahaya. Sebab tantangan itu suatu kewajaran dan sikap sabar menghadapinya adalah sikap yang terpuji.

Kemudian Allah memerintahkan pula agar umat Islam tidak terbawa arus mengikuti jalan pikiran orang yang sudah hanyut dalam lautan dosa, atau orang yang sudah sangat keterlaluan memusuhi agama. Orang yang seperti itu di antaranya adalah Abu Jahal. Ketika Rasulullah saw diperintahkan untuk pertama kali mengerjakan salat, Abu Jahal berusaha menghalangi orang Islam melaksanakan perintah itu. Ia berkata, “Kalau aku lihat Muhammad salat, pasti akan aku patahkan lehernya”.

Contoh yang lain adalah ‘Utbah bin Rabi‘ah (sahabat karib Abu Jahal). Dialah yang membujuk Nabi agar berhenti berdakwah. Suatu kali dia bersama al-Walid datang menemui Nabi sambil membujuk, “Kalau engkau bermaksud dengan kegiatan dakwah itu hendak memperoleh wanita cantik atau harta yang banyak, berhentilah dan saya berjanji akan mengawinkan engkau dengan anakku sendiri dan aku berikan kepadamu tanpa mahar.” Sementara itu, al-Walid menyeru pula, “Dan saya, hai Muhammad, akan memberikan kepadamu harta sebanyak-banyaknya sampai engkau puas, asal engkau berhenti melakukan kegiatan ini.”

Allah mengingatkan kepada Nabi saw dan umatnya agar tidak tergiur dengan bujukan dan rayuan itu, sebab nilai akidah dan perjuangan tidak dapat ditukar dengan kekayaan dunia. Dalam artian lain, ayat ini melarang seorang mukmin, apalagi kalau ia sebagai pemimpin umat, tergiur dengan berbagai kesenangan duniawi yang ditawarkan oleh orang-orang yang penuh dosa dan maksiat, dengan tujuan hendak mematikan gerakan dakwah. Namun yang betul-betul seratus persen bebas dari bujukan dan rayuan itu hanyalah Nabi Muhammad saw saja, karena beliau dijamin suci dan maksum dari dosa. Akan tetapi, kepada umat Islam dianjurkan untuk mengikuti apa yang dicontohkan beliau. Jangan terlalu mudah mengikuti gejolak nafsu, agar selamat dari kebinasaan, dan menemui Allah di hari Kiamat dengan lembaran amal yang putih bersih, bebas dari cela dan aib.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 25-31


Tafsir Surah Al Insan Ayat 17-21

0
Tafsir Surah Al Insan
Tafsir Surah Al Insan

Melanjutkan tafsir pada ayat sebelumnya, Tafsir Surah Al Insan Ayat 17-21 menyebutkan kelak ketika di surga akan diberi segelas minuman yang terbuat dari zanjabil. Selain itu Tafsir Surah Al Insan Ayat 17-21 juga menyatakan bahwa ketika di surga penduduknya akan dikelilingi oleh pelayan-pelayan yang akan selamanya belia dan menyejukkan mata bagi siapapun yang melihatnya. Tafsir Surah Al Insan Ayat 17-21 juga merupakan penutup dari gambaran penduduk surga kelak, selengkapnya…..


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 8


Ayat 17

Kemudian disebutkan jenis minuman yang dihidangkan di surga, yakni mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya jahe. Maksudnya penduduk surga disuguhi minuman yang terbuat dari zanjabil, yakni sejenis tumbuhan yang lezat cita-rasanya dan tumbuh di daerah Timur Tengah dahulu kala. Biasanya zanjabil digunakan untuk wangi-wangian dan orang-orang Arab menyukainya. Ada pula yang mengatakan nama dari Bait Ma‘ruf.

Menurut Ibnu ‘Abbas, minuman, makanan, mata air, buah-buahan, dan lain-lain dalam surga yang disebutkan Al-Qur’an, satu pun tidak ada tandingannya. Kesamaan hanya pada namanya, sedangkan rasanya jauh lebih lezat.

Ayat 18

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa minuman ini didatangkan dari sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil. Mereka minum campuran zanjabil yang berasal dari sebuah sungai yang bernama salsabil. Perkataan ini sendiri dalam bahasa Arab berarti ‘minuman atau makanan yang lezat’ dan juga berarti ‘mata air yang mengalir’. Akan tetapi, mufasir Ibnul ‘Arabi menegaskan, “Aku tidak mendengar satu perkataan pun seperti salsabil ini melainkan di dalam Al-Qur’an saja.”

Dari keterangan di atas, kita hanya dapat menyimpulkan bahwa nama seperti salsabil, zanjabil, dan sebagainya diberikan keterangan sedemikian rupa yang tidak ada bandingannya dengan yang ada di dunia. Mengenai surga, kita telah yakin bahwa dia adalah sesuatu yang baik dan penuh nikmat yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya. Oleh karena itu, kita tak dapat memastikan apakah betul-betul demikian makna yang dikehendaki ayat di atas.

Ayat 19

Kemudian dilanjutkan lagi bahwa penduduk surga dikelilingi pelayan-pelayan surga yang muda belia untuk selamanya. Para pelayan itu datang dan berkeliling guna melayani segala keperluan sesuai dengan permintaan penduduk surga. Mereka tetap muda, cerah, dan berseri-seri dan tidak pernah jemu dan lelah melayani penghuni surga. Begitu menarik wajah pelayan itu, cerah dan gembira, sehingga yang memandangnya melihat bagaikan mutiara bertebaran.


Baca Juga: Zanjabil dan Kafur: Dua Minuman Surga yang Disebutkan dalam Al-Qur’an


Ayat 20

Apabila penduduk surga melihat keadaan di surga, niscaya ia akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. Kalau dilihat surga itu menurut penuturan ayat ini bagaikan sebuah kerajaan besar yang tiada taranya, sehingga banyak penafsiran yang saling berbeda tentang pengertian kerajaan besar itu. Yang terpenting bagi kita ialah beriman dan percaya tentang adanya surga yang tidak dapat dilukiskan.

Ayat 21

Kemudian dalam ayat ini diterangkan pula bahwa pakaian mereka terbuat dari sutra halus berwarna hijau, dihiasi gelang yang terbuat dari perak dan emas. Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih dan lezat cita rasanya. Sutra dan emas disebutkan secara khusus di sini karena keduanya sangat disukai manusia dan dianggap sebagai barang berharga dan simbol kemewahan. Pada ayat lain, Allah berfirman:

يُحَلَّوْنَ فِيْهَا مِنْ اَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَّيَلْبَسُوْنَ ثِيَابًا خُضْرًا مِّنْ سُنْدُسٍ وَّاِسْتَبْرَقٍ مُّتَّكِـِٕيْنَ فِيْهَا عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِۗ نِعْمَ الثَّوَابُۗ وَحَسُنَتْ مُرْتَفَقًا

…Mereka diberi hiasan gelang emas dan mereka memakai pakaian hijau dari sutra halus dan sutra tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah. (Itulah) sebaik-baik pahala dan tempat istirahat yang indah. (al-Kahf/18: 31);Dibandingkan dengan kebiasaan para raja-raja di dunia ini yang memakai pakaian kebesaran bertahtakan emas dan berlian, maka kesenangan yang dinikmati dalam surga itu jauh lebih sempurna, hebat, dan nikmat, serta sifatnya kekal abadi.

Demikianlah beberapa gambaran kebahagiaan yang akan diperoleh golongan abrar di surga kelak.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya:


 

Tafsir Surah Al Insan Ayat 9-16

0
Tafsir Surah Al Insan
Tafsir Surah Al Insan

Tafsir Surah Al Insan Ayat 9-16 menerangkan bahwa orang-orang abrar itu berbuat baik hanya untuk mengharapkan keridaan Allah. Oleh Allah mereka akan dijaga dari kesusahan di akhirat kelak, bahkan Allah memberi balasan berupa makanan dan minuman yang beraneka ragam.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 8


Ayat 9

Ayat ini menerangkan keikhlasan orang-orang abrar yang menyatakan bahwa mereka memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan hanya untuk mengharapkan keridaan Allah semata, tidak menghendaki balasan dan tidak pula mengharapkan ucapan terima kasih. Jadi, di saat hendak memulai usaha sosial itu hendaklah hati dan lidah berniat ikhlas karena Allah, tanpa dicampuri oleh perasaan lain yang ingin menerima balasan yang setimpal atau mengharapkan pujian dan sanjungan orang lain.

Ayat 10

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang abrar adalah orang yang mengerjakan segala perbuatan kebaikan seperti tersebut di atas karena takut pada azab Allah yang ditimpakan pada suatu hari yang penuh kesulitan. Mereka berbuat sosial membantu orang lain seperti memberi makanan dan lain-lain, adalah dengan harapan agar Tuhan mengasihi dan memelihara mereka dengan kasih sayang-Nya dari siksaan hari Kiamat pada saat manusia datang menemui Tuhan dengan wajah masam karena berbagai macam kesulitan dan ketakutan.

Ayat 11

Dijelaskan juga bahwa sebagai balasan kepada orang-orang abrar, Allah memelihara mereka dari kesusahan hari itu dan memberikan kepada mereka keceriaan wajah dan kegembiraan hati. Tampak pada wajah mereka kegembiraan yang berseri-seri sebagai tanda kepuasan hati karena anugerah Allah yang telah mereka terima. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ مُّسْفِرَةٌۙ  ٣٨  ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ ۚ  ٣٩

Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria. (‘Abasa/80: 38-39)


Baca Juga: Surah al-Isra’ [17] Ayat 7: Hakikat Perbuatan Baik Bagi Manusia


Ayat 12

Tafsir Surah Al Insan Ayat 9-16, khususnya dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah memberi mereka ganjaran karena kesabaran mereka dengan surga dan pakaian sutra. Karena kesabaran mereka dalam berbuat kebaikan, ketabahan menahan diri dari godaan nafsu, dan terkadang-kadang harus menahan lapar dan kurang pakaian (karena berbuat sosial dalam keadaan miskin), maka Allah membalasi yang demikian itu dengan kenikmatan surga dalam bentuk yang lain berupa pakaian yang terbuat dari sutra. Ayat ini sama artinya dengan firman Allah:

جَنّٰتُ عَدْنٍ يَّدْخُلُوْنَهَا يُحَلَّوْنَ فِيْهَا مِنْ اَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَّلُؤْلُؤًا ۚوَلِبَاسُهُمْ فِيْهَا حَرِيْرٌ   ٣٣

(Mereka akan mendapat) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutra. (Fathir/35: 33)

Ayat 13-14

Dalam ayat ini, Allah menerangkan keadaan ahli surga bahwa mereka duduk bertelekan di atas dipan. Mereka tidak merasakan teriknya matahari dan tidak pula dinginnya udara. Dipan-dipan dalam surga itu dikatakan tidak pernah ditimpa terik matahari, tidak disentuh oleh udara dingin yang menusuk sumsum tulang seperti halnya di dunia ini, akan tetapi di sana hanya ada satu iklim sejuk yang tak pernah berubah. Tidak ada yang merasakan panas maupun dingin.

Tumbuhnya pohon yang sangat rindang dan menyejukkan itu melindungi orang-orang abrar sehingga makin bertambahlah kenikmatan yang mereka peroleh. Demikian pula buah-buahan yang lezat cita rasanya, dan mudah dipetik. Mereka menikmati sambil berbaring duduk atau berdiri sesuka hati mereka.

Ayat 15-16

Pada ayat-ayat berikut ini, Allah menerangkan pula makanan dan minuman yang dihidangkan kepada mereka berbagai bentuk, bejana yang terbuat dari perak juga sejumlah gelas yang sangat bening laksana kaca yang berkilauan. Bejana dan gelas-gelas itu bening sekali seolah-olah kaca yang sangat indah dan tinggi sekali nilainya.

Hadis riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas menerangkan sebagai berikut:

لَيْسَ فِى الْجَنَّةِ شَيْءٌ اِلاَّ قَدْ أُعْطِيْتُمْ فِى الدُّنْيَا شِبْهَهُ اِلاَّ قَوَارِيْرَ مِنْ فِضَّةٍ. (رواه بن أبي حاتم عن ابن عباس)

Tidak ada sesuatu pun dalam surga, melainkan di dunia telah dianugerahkan Allah kepadamu sesuatu yang mirip dengan itu, kecuali botol-botol yang terbuat dari perak. (Riwayat Ibnu Abi ¦atim dari Ibnu ‘Abbas).;Dalam sebuah ayat lain disebutkan pula:

يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِصِحَافٍ مِّنْ ذَهَبٍ وَّاَكْوَابٍ ۚوَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الْاَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْاَعْيُنُ ۚوَاَنْتُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَۚ   ٧١

Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas, dan di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap (dipandang) mata. Dan kamu kekal di dalamnya. (az-Zukhruf/43: 71)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 17-21


Tafsir Surah Al Insan Ayat 8

0
Tafsir Surah Al Insan
Tafsir Surah Al Insan

Tafsir Surah Al Insan Ayat 8 mengisahkan tentang Abu Dahdah dan Ali Bin Abi Thalib, mereka termasuk orang-orang yang berperilaku baik. Mereka memberi makanan yang disukainya kepada orang yang lebih membutuhkan yakni orang miskin, anak yatim dan tawanan. 


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 4-7


Ayat 8

Tafsir Surah Al Insan Ayat 8, disebutkan bahwa latar belakang turunnya ayat ke 8 ini berkaitan dengan seorang laki-laki Anshar bernama Abu Dahdah yang pada suatu hari mengerjakan puasa. Ketika waktu berbuka datang, berkunjunglah ke rumahnya satu orang miskin, seorang anak yatim, dan seorang tawanan. Ketiganya dijamu oleh Abu Dahdah dengan tiga potong roti. Untuk keluarga dan anak-anaknya akhirnya hanya tersedia sepotong roti padahal dia hendak berbuka puasa. Maka Allah menurunkan ayat ini.

Riwayat lain mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib mendapat upah bekerja dengan seorang Yahudi berupa sekarung gandum. Sepertiga gandum itu dimasak, ketika siap dihidangkan datanglah seorang miskin memintanya. Tanpa berpikir panjang, Ali langsung saja memberikannya. Kemudian dimasaknya sepertiga lagi. Setelah siap dimakan, datang pula seorang anak yatim meminta bubur gandum itu. Ali pun memberikannya. Kali ketiga sisa gandum itu dimasak semuanya, dan secara kebetulan datang pula seorang tawanan yang masih musyrik dan mohon dikasihani. Ali memberikan lagi sisa bubur gandum itu, sehingga untuk dia sendiri tidak ada lagi yang tersisa. Demikianlah untuk menghargai sikap sosial itulah Allah menurunkan ayat ke 8 ini.

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang abrar memberikan makanan yang sangat diperlukan dan disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Memberikan makan dalam hal ini dapat pula berarti memberikan bantuan dan sokongan kepada orang yang memerlukan. Makanan disebutkan di sini karena merupakan kebutuhan pokok hidup seseorang. Boleh jadi pula memberikan makanan berarti berbuat baik kepada orang yang sangat membutuhkannya dengan cara dan bentuk apa pun. Boleh jadi pula yang dimaksud dengan memberikan makanan berarti pula berbuat baik kepada makhluk yang sangat memerlukannya dengan cara dan bentuk apa pun. Disebutkan secara khusus memberikan makanan karena itulah bentuk ihsan (kebaikan) yang paling tinggi nilainya.

Bentuk ihsan lain yang juga tinggi nilainya disebutkan dalam ayat lain, yakni:

يَقُوْلُ اَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًاۗ  ٦  اَيَحْسَبُ اَنْ لَّمْ يَرَهٗٓ اَحَدٌۗ  ٧  اَلَمْ نَجْعَلْ لَّهٗ عَيْنَيْنِۙ  ٨  وَلِسَانًا وَّشَفَتَيْنِۙ  ٩  وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ  ١٠  فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ ۖ  ١١ 

Dia mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.” Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya? Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata, lidah, dan sepasang bibir? Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan), tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar? (al-Balad/90: 6-11)

Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa memberikan bantuan (pertolongan) diutamakan kepada orang yang kuat berusaha mencari keperluan hidupnya, namun penghasilannya tidak memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Miskin juga berarti orang yang tidak berharta sama sekali dan karena keadaan fisiknya tidak memungkinkan untuk berusaha mencari nafkah hidup.

Adapun orang yang ditawan, selain berarti tawanan perang, dapat pula berarti orang yang sedang dipenjarakan (karena melanggar ketentuan syara atau berbuat kesalahan), atau budak yang belum dapat memerdekakan dirinya dan yang patut dibantu. Dengan demikian, bantuan berupa makanan kepada orang yang memerlukan tidak terbatas kepada orang Islam saja, tetapi juga non muslim. Yang perlu diingat oleh seseorang yang hendak beramal sosial seperti itu adalah keikhlasan dalam mengerjakannya tanpa pamrih.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 9-16


 

Tafsir Surah Al Insan Ayat 4-7

0
Tafsir Surah Al Insan
Tafsir Surah Al Insan

Tafsir Surah Al Insan Ayat 4-7 menjelaskan bahwa Allah akan membalas perbuatan manusia selama hidup di dunia. Diterangkan pula dalam Tafsir Surah Al Insan Ayat 4-7 bahwa Allah telah menyediakan rantai, belenggu dan neraka yang menyala bagi orang kafir yang tidak mempercayai-Nya, bahkan mengingkari nikmat yang telah Allah berikan. Sedangkan balasan bagi orang yang berbuat baik Allah akan memberi segelas air kafur yang warnanya putih dan rasanya sangat enak.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 2-3


Ayat 4

Ayat ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah telah menyediakan rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala bagi orang-orang kafir, yaitu orang yang mengingkari dan bahkan membantah, nikmat dan pemberian yang telah dianugerahkan kepadanya. Rantai dipakai untuk mengikat kaki mereka supaya tidak lari, sedang belenggu untuk merantai tangan dan leher yang diikat ke neraka. Neraka Sa‘ir (yang menyala-nyala) seperti disebutkan dalam surah yang lalu adalah neraka yang nyalanya tidak dapat dibandingkan dengan jenis api mana pun di atas dunia ini. Api di dunia hanya sepertujuh puluh dari api neraka.

Ayat lain menyebutkan:

اِذِ الْاَغْلٰلُ فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْ وَالسَّلٰسِلُۗ يُسْحَبُوْنَۙ  ٧١

Ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret. (Gafir/40: 71)

Ayat 5

Ayat ini menerangkan balasan Allah kepada orang yang berbuat kebajikan, yaitu berupa minuman dari gelas yang berisikan air yang campurannya adalah air kafur, yaitu nama suatu mata air di surga yang warnanya putih, baunya sedap, dan rasanya enak.

Ayat 6

Mata air di dalam surga itu adalah sebagai minuman lezat bagi hamba-hamba Allah. Mereka pun dapat mengalirkannya dengan sesukanya.

Jadi kafur itu berasal dari mata air yang airnya diminum oleh para hamba Allah yang muqarrabin (yang dekat kepada-Nya). Mereka dapat mengalirkan air sungai itu menurut kehendak hati tanpa ada yang menghalangi. Mereka bebas menikmati air itu sepuas-puasnya. Air itu akan mengalir ke tempat-tempat yang mereka kehendaki, ke dalam kamar, mahligai, atau ke dalam kebun-kebun yang mereka inginkan.

Ayat 7

Tafsir Surah Al Insan Ayat 4-7, khususnya ayat 7 ini dan beberapa ayat berikutnya menyebutkan beberapa sifat orang-orang abrar (berbuat kebaikan), yaitu: mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Menunaikan nazar adalah menepati suatu kewajiban yang datang dari pribadi sendiri dalam rangka menaati Allah. Berbeda dengan kewajiban syara (agama) yang datang dari Allah, maka nazar bersifat pembebanan yang timbul karena keinginan sendiri dengan niat mensyukuri nikmat Allah. Baik nazar maupun syarak, kedua-duanya hukumnya wajib dilaksanakan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Malik, al-Bukhari, dan Muslim dari ‘Aisyah, Rasulullah saw bersabda:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ. (رواه البخاري ومالك وأبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه عن عائشة)

Barang siapa yang bernazar menaati Allah, hendaklah ia menepati nazar itu, (tetapi) janganlah dipenuhi jika nazar itu untuk mendurhakai-Nya. (Riwayat al-Bukhari, Malik, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah dari ‘Aisyah)

Dalam beberapa hadis dijelaskan tentang ketentuan nazar, di antaranya adalah:

  1. Hadis riwayat al-Bukhari dari ‘Aisyah di atas menjelaskan bahwa nazar yang bermaksud hendak menaati Allah wajib dipenuhi, sedangkan nazar dengan niat mendurhakai Allah tidak boleh dipenuhi. Demikian pula hadis-hadis riwayat at-Tirmidzi, Abu Dawud, dan an Nasa’i.
  2. Rasulullah saw memerintahkan kepada Sa‘ad bin Ubadah agar membayar puasa nazar yang pernah diucapkan oleh ibunya yang telah meninggal. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Sa‘ad bin Ubadah.Selain dari menyempurnakan janji, orang abrar juga mau meninggalkan segala perbuatan terlarang (muharramat) karena takut akan dahsyatnya siksa yang harus diterima di hari Kiamat akibat mengerjakannya. Sebab pada hari itu, segala kejahatan dan kedurhakaan yang pernah dikerjakan seseorang disebarluaskan. Hanya orang-orang yang dikasihi Allah saja yang selamat dari keadaan yang mengerikan itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 8