Beranda blog Halaman 277

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 26-27

0
tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 26-27 menceritakan peperangan kaum Muslimin menghadapi Bani Quraizah, salah satu kaum Yahudi Madinah yang mengkhianati Nabi saat terjadi perang Ahzab. Sebab pengkhianatan itu mereka kemudian diperangi, dikepung, lalu dihukum mati oleh kaum Muslimin atas perintah Allah. Dan apapun yang kaum tersebut miliki otomatis menjadi hak kaum Muslimin.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 24-25


Ayat 26

Ayat ini menerangkan perang menghadapi Bani Quraizah, salah satu dari suku-suku Yahudi Medinah yang telah membuat perjanjian damai dengan Nabi. Sebagaimana telah diterangkan terdahulu bahwa ketika kaum Muslimin dalam keadaan kritis menghadapi tentara yang bersekutu di Perang Ahzab, orang-orang Yahudi Bani Quraizah yang menjadi warga kota Medinah mengkhianati kaum Muslimin dari dalam.

Pemimpin mereka, Ka’ab bin Asad, dihasut oleh pemimpin Bani an-Nadhir, Huyai bin Akhthab, agar membatalkan perjanjian damai yang telah mereka buat dengan Nabi, serta menggabungkan diri dengan tentara sekutu yang mengepung kota Medinah.

Ajakan itu mula-mula ditolak oleh Ka’ab bin Asad, tetapi akhirnya ia menerima. Maka mereka mengkhianati Nabi dan bergabung dengan kelompok Ahzab.

Berita pengkhianatan Bani Quraizah itu menggemparkan kaum Muslimin, karena terjadi dalam kota Medinah. Oleh karena itu, Rasulullah saw segera mengutus dua orang sahabatnya, yaitu Sa’ad bin Mu’az, kepala suku Aus, dan Sa’ad bin Ubadah, kepala suku Khazraj, kepada Bani Quraizah untuk menasihati mereka agar jangan meneruskan pengkhianatan itu.

Setibanya kedua utusan itu di tempat Bani Qurai§ah, keduanya segera menyampaikan pesan-pesan Nabi saw. Akan tetapi, permintaan Nabi itu mereka tolak dengan sikap yang kasar serta penuh keangkuhan dan kesombongan, dan mereka tetap melanjutkan pengkhianatan tersebut.

Setelah Allah menghalau pasukan sekutu, maka Dia mewahyukan kepada Nabi Muhammad, agar kaum Muslimin segera menumpas Bani Quraizah yang telah berkhianat.

Oleh karena itu, Nabi dan kaum Muslimin segera membuat perhitungan dengan para pengkhianat itu. Nabi dan kaum Muslimin segera mendatangi kampung mereka untuk mengepungnya.

Setelah mendengar kedatangan Nabi dan Kaum Muslimin, mereka segera memasuki benteng-benteng untuk mempertahankan diri. Tentara kaum Muslimin waktu itu dipimpin oleh Ali bin Abi Thalib. Setelah dua puluh lima hari lamanya mereka dikepung dalam benteng-benteng itu dengan penuh ketakutan, maka mereka mau menyerah kepada Nabi dengan syarat bahwa yang akan menjadi hakim atas perbuatan mereka ialah Sa’ad bin Mu’az, kepala suku Aus.

Penyerahan dan syarat itu diterima Nabi, maka mereka turun dari benteng-benteng itu dan menyerah kepadanya. Setelah mem-pertimbangkan dengan matang, maka Sa‘’d menjatuhkan hukuman mati, laki-laki mereka dibunuh, sedang perempuan-perempuan dan anak-anak ditawan.

Hukuman yang demikian itu adalah wajar bagi pengkhianat-pengkhianat negara yang sedang dalam keadaan berperang, lebih-lebih pengkhianatan itu dilakukan ketika musuh sedang melancarkan serangan.

Masyarakat Islam di Medinah waktu itu ialah masyarakat yang baru tumbuh, masyarakat yang baru mulai melaksanakan hukum-hukum berdasarkan ketetapan Islam yang berbeda dengan hukum-hukum yang lama.

Oleh karena itu, wajar kiranya hukuman yang telah diberikan kepada Bani Quraizah yang berkhianat di masa perang, sehingga yang berlaku adalah hukum perang. Dengan hukuman itu, maka kota Medinah tetap kuat dan Nabi tetap berwibawa dan penduduk Medinah yang lain mengetahui dan menyadari bahwa setiap pengkhianatan akan dikenakan hukuman yang setimpal.


Baca Juga : Tafsir Surah Al-Hasyr ayat 7: Perintah Untuk Mendistribusikan Harta Kekayaan


Ayat 27

Ayat ini menerangkan bahwa harta benda Bani Quraizah yang dijatuhi hukuman mati itu telah diberikan Allah kepada kaum Muslimin, termasuk segala kebun, rumah, dan binatang ternak yang mereka miliki.

Bahkan dalam ayat ini, Allah menjanjikan kepada kaum Muslimin bahwa Dia akan mewariskan tanah-tanah yang lain, yang waktu itu belum dimasuki oleh tentara Islam, tetapi pasti akan mereka masuki dan mereka taklukkan.

Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dia berkuasa memberikan semuanya kepada kaum Muslimin untuk menolong mereka dalam melaksanakan agama-Nya dan untuk memperluas Islam itu sendiri. Hal itu adalah ketentuan yang pasti terlaksana.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 28-30


Tafsir Surah Al Insan Ayat 2-3

0
Tafsir Surah Al Insan
Tafsir Surah Al Insan

Tafsir Surah Al Insan Ayat 2-3 menjelaskan bahwa manusia tercipta dari nuthfah (sperma) laki-laki dan ovum perempuan, adapun tujuan Allah menciptakaan manusia adalah untuk mengujinya dengan larangan dan perintah sehingga menjadi makhluk yang menjalankan risalah di muka bumi. Tafsir Surah Al Insan Ayat 2-3 dibahas pula tentang hidayah Allah kepada manusia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 1


Ayat 2

Ayat ini menerangkan unsur-unsur penciptaan manusia, yaitu bahwa manusia diciptakan dari sperma (nuthfah) laki-laki dan ovum perempuan yang bercampur. Kedua unsur itu berasal dari sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan dan keluar secara berpancaran. Firman Allah:

خُلِقَ مِنْ مَّاۤءٍ دَافِقٍۙ   ٦  يَّخْرُجُ مِنْۢ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَاۤىِٕبِۗ   ٧

Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar, yang keluar dari antara tulang punggung (sulbi) dan tulang dada. (ath-Thariq/86: 6-7)

Perkataan amsyaj (bercampur) yang terdapat dalam ayat ini maksudnya ialah bercampurnya sperma laki-laki yang berwarna keputih-putihan dengan sel telur perempuan yang kekuning-kuningan. Campuran itulah yang menghasilkan segumpal darah (‘alaqah), kemudian segumpal daging (mudhgah), lalu tulang belulang yang dibungkus dengan daging, dan seterusnya, sehingga setelah 9 bulan dalam rahim ibu lahirlah bayi yang sempurna.

Maksud Allah menciptakan manusia adalah untuk mengujinya dengan perintah (taklif) dan larangan, dan untuk menjunjung tegaknya risalah Allah di atas bumi ini. Sebagai ujiannya, di antaranya adalah apakah mereka bisa bersyukur pada waktu senang dan gembira, dan sabar dan tabah ketika menghadapi musuh.

Karena kelahiran manusia pada akhirnya bertujuan sebagai penjunjung amanat Allah, kepadanya dianugerahkan pendengaran dan penglihatan yang memungkinkannya menyimak dan menyaksikan kebesaran, kekuasaan, dan besarnya nikmat Allah. Manusia dianugerahi pendengaran dan akal pikiran adalah sebagai bukti tentang kekuasaan Allah. Penyebutan secara khusus pendengaran dan penglihatan dalam ayat ini bermakna bahwa keduanya adalah indra yang paling berfungsi mengamati ciptaan Allah untuk membawa manusia mentauhidkan-Nya.

Dengan alat penglihatan dan pendengaran serta dilengkapi pula dengan pikiran (akal), tersedialah dua kemungkinan bagi manusia. Apakah ia cenderung kembali kepada sifat asalnya sebagai makhluk bumi sehingga ia sama dengan makhluk lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, atau ia cenderung untuk menjadi makhluk yang Ilahiah, yang berpikir dan memperhatikan kebesaran-Nya?

Setelah menjadi manusia yang sempurna indranya sehingga memungkinkan dia untuk memikul beban (taklif) dari Allah, maka diberikanlah kepadanya dua alternatif jalan hidup seperti disebutkan dalam ayat berikutnya.

Ayat 3

Ayat ini menerangkan bahwa sesungguhnya Allah telah menunjukkan manusia ke jalan yang lurus. Di antara mereka ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. Dengan bimbingan wahyu-Nya yang disampaikan lewat Nabi Muhammad, manusia telah ditunjuki jalan yang lurus dan jalan yang sesat. Allah menunjukkan kepadanya kebaikan dan kejahatan.

Dari perkataan sabil yang terdapat dalam ayat ini, tergambar keinginan Allah terhadap manusia yakni membimbing mereka kepada hidayah-Nya. Kata sabil lebih tepat diartikan sebagai petunjuk daripada jalan. Hidayah itu berupa dalil-dalil keesaan Allah dan kenabian yang disebutkan dalam kitab suci.

Sabil (hidayah) itu dapat ditangkap dengan pendengaran, penglihatan, dan pikiran. Tuhan hendak menunjukkan kepada manusia bukti-bukti wujud-Nya melalui penglihatan terhadap diri mereka sendiri dan alam semesta, sehingga pikirannya merasa puas untuk mengimani-Nya.

Akan tetapi, memang sudah merupakan kenyataan bahwa terhadap pemberian Allah itu, sebagian manusia ada yang bersyukur, tetapi ada pula yang ingkar (kafir). Tegasnya ada yang menjadi mukmin, dan ada pula yang kafir. Dengan sabil itu pula manusia bebas menentukan pilihannya antara dua alternatif yang tersedia. Pada ayat lain disebutkan:

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ  ٢

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun. (al-Mulk/67: 2)

Firman Allah:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتّٰى نَعْلَمَ الْمُجٰهِدِيْنَ مِنْكُمْ وَالصّٰبِرِيْنَۙ وَنَبْلُوَا۟ اَخْبَارَكُمْ   ٣١

Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu. (Muhammad/47: 31)

Bahwa manusia diciptakan atas fitrah dan hidayah-Nya terlebih dahulu, baru kemudian datang godaan untuk mengingkari Allah, disebutkan dalam suatu ayat:

فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا

…(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. (ar-Rum/30: 30)

Dalam suatu hadis disebutkan:

مَا مِنْ خَاِرجٍ يَخْرُجُ-يَعْنِي مِنْ بَيْتِهِ- اِلاَّ بِيَدِهِ رَايَتَانِ: رَايَةٌ بِيَدِ مَلَكٍ وَرَايَةٌ بِيَدِ شَيْطَانٍ فَاِنْ خَرَجَ لِمَا يُحِبُّ اللهُ اَتْبَعَهُ الْمَلَكُ ِبرَايَتِهِ فَلَمْ يَزَلْ تَحْتَ رَايَةِ الْمَلَكِ حَتَّى يَرْجِعَ اِلَى بَيْتِهِ وَاِنْ خَرَجَ لِمَا يَسْخَطُ اللهُ أَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ بِرَايَتِهِ فَلَمْ يَزَلْ تَحْتَ رَايَةِ الشَّيْطَانِ حَتَّى يَرْجِعَ اِلَى بَيْتِهِ. (رواه أحمد عن أبي هريرة)

Tiada seorang pun yang keluar (rumah), kecuali di tangannya ada dua bendera: bendera (yang satu) di tangan malaikat dan bendera (yang lain) di tangan setan. Jika seseorang keluar karena mengharapkan apa yang dicintai atau disenangi Allah, niscaya ia diikuti oleh malaikat dengan benderanya. Ia senantiasa berada di bawah bendera malaikat sampai ia kembali ke rumahnya. Dan jika seseorang keluar karena mencari apa yang dimurkai Allah, niscaya ia diikuti oleh setan dengan benderanya. Ia senantiasa berada di bawah bendera setan sampai ia kembali ke rumahnya. (Riwayat Ahmad dari Abu Hurairah)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 4-7


Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 24-25

0
tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 24-25 berbicara tentang ujian dan cobaan yang seringkali menimpa orang-orang beriman, tujuannya adalah untuk membedakan mereka dengan orang-orang kafir. Selain itu, ujian tersebut juga berfungsi untuk melihat isi hati dan kesungguhan iman mereka. Allah kembali mengulas nikmat yang ia berikan kepada kaum Muslimin ketika Perang Ahzab, supaya mereka selalu bersyukur akan karunia dan kuasa Allah Swt.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 22-23


Ayat 24

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa sebab adanya ujian dan cobaan bagi orang-orang yang beriman ialah untuk membedakan yang jelek dengan yang baik, yang benar-benar beriman dengan yang kafir. Ujian ini juga bertujuan untuk menyatakan dan menampakkan apa yang berada dalam hati mereka yang sebenarnya.

Dalam hal ini, Allah berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتّٰى نَعْلَمَ الْمُجٰهِدِيْنَ مِنْكُمْ وَالصّٰبِرِيْنَۙ وَنَبْلُوَا۟ اَخْبَارَكُمْ

Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu. (Muhammad/47: 31).

Dan firman Allah:

مَا كَانَ اللّٰهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلٰى مَآ اَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتّٰى يَمِيْزَ الْخَبِيْثَ مِنَ الطَّيِّبِ

Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia membedakan yang buruk dari yang baik. (‘Ali ‘Imran/3: 179)

Kemudian setelah jelas keadaan mereka, maka Allah memberi pahala kepada orang-orang yang benar-benar menepati janjinya, dan mengazab orang-orang munafik yang tidak menepati janjinya.

Sekalipun demikian pintu tobat masih terbuka bagi orang-orang munafik itu, yaitu jika mereka beriman, menepati janjinya dan mengerjakan amal saleh. Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah diperbuatnya dahulu.

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan kepada hamba-hamba-Nya bahwa Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, menghapus segala dosa orang-orang yang benar-benar bertobat, seakan-akan dosa itu tidak pernah diperbuatnya. Dari ayat ini dipahami bahwa pintu tobat itu selalu terbuka, bagi setiap hamba yang melakukannya. Oleh karena itu, hendaklah kaum Muslimin selalu melakukannya.


Baca Juga : Surat Maryam Ayat 96: Rasa Cinta Adalah Buah dari Iman dan Amal Saleh


Ayat 25

Pada ayat ini, kembali Allah menerangkan tentang nikmat besar yang telah dilimpahkan-Nya kepada kaum Muslimin di Perang Ahzab, sehingga mereka lepas dari bahaya kehancuran. Nikmat itu ialah Allah telah mengirimkan kepada mereka bala bantuan berupa angin kencang yang sangat dingin dan bala tentara malaikat yang tidak kelihatan. Akibatnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu kaum Quraisy beserta pengikut-pengikutnya, Gathafan dan pengikut-pengikutnya, golongan Yahudi, dan kaum munafik, tidak memperoleh apa yang mereka inginkan, bahkan mereka lari tunggang-langgang mencari keselamatan dirinya, kembali ke kampung halamannya masing-masing.

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abµ Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:

لاَاِلَهَ اِلاَّ الله ُوَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَاَعَزَّجُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلاَحْزَابَ وَحْدَهُ فَلاَ شَيْءَ بَعْدَهُ.

Tidak ada Tuhan selain Allah sendiri. Dia menepati janji-Nya, menolong hamba-Nya, memenangkan tentara-Nya, menghancurkan tentara yang bersekutu sendirian, maka tidak ada lagi sesuatu pun sesudahnya.

Pada hadis yang lain al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin Abu Aufa, ia berkata, “Rasulullah saw berdoa kepada Allah:

اَللَّهُمَّ مُنَزِّلَ الْكِتَابِ سَرِيْعَ الْحِسَابِ اِهْزِمِ اْلاَحْزَابَ اَللَّهُمَّ اهْزِمْهُمْ وَزَلْزِلْهُمْ.

“Wahai Tuhan yang telah menurunkan Al-Qur’an, amat cepat hisabnya, hancurkanlah tentara yang bersekutu itu, wahai Tuhan, hancurkanlah mereka dan goncangkanlah mereka.”

Menurut riwayat Muhammad bin Ishaq, tatkala tentara yang bersekutu telah lari dan meninggalkan parit itu, Rasulullah saw bersabda:

لَنْ تَغْزُوَكُمْ قُرَيْشٌ بَعْدَ عَامِكُمْ هَذَا وَلٰكِنَّكُمْ تَغْزُوْهُمْ.

Orang-orang Quraisy sekali-kali tidak akan memerangi kamu sesudah tahun ini, tetapi kamulah yang akan memerangi mereka.;Perkataan Rasulullah ini terbukti di kemudian hari. Setelah Perang Ahzab, orang-orang musyrik tidak pernah lagi memerangi kaum Muslimin, tetapi Nabi dan kaum Musliminlah yang memerangi mereka, sampai Mekah dapat ditaklukkan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa peperangan Ahzab merupakan titik puncak kesulitan yang dihadapi Nabi dan kaum Muslimin dalam menghadapi orang-orang musyrik dalam menyebarkan agama Islam. Sekalipun kesulitan-kesulitan masih ada, tetapi tidak berarti bila dibanding dengan kesulitan-kesulitan sebelumnya.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Mahakuat lagi Maha Perkasa, tidak dapat ditandingi oleh sesuatu pun. Oleh Karena itu, dengan mudah Dia menghalau tentara yang bersekutu yang berjumlah banyak itu.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 26-27


 

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 22-23

0
tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

Setelah pada ayat-ayat sebelumnya menjelaskan perihal perilaku kaum munafik. Maka dalam Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 22-23 ini dijelaskan tentang bagaimana sikap seorang mukmin, diantaranya berjihad bersama Rasulullah pada Perang Ahzab. Rasulullah sebagai teladan, mengajarkan mereka untuk selalu tabah dan sabar dalam memperjuangkan agama Allah.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 18-21


Bahkan diceritakan pula dalam Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 22-23 sikap kaum Muslimin yang ikut berperang, tampak “iri” kepada saudara mereka yang berperang dan meraih predikat syahid. Harapan mereka disetiap peperangan adalah mendapat momentum syahid yang sama seperti saudaranya. Sebaba komitmen mereka dalam menjalankan agama Allah dan mentaati perintah Rasul-Nya, diapresiasi oleh Allah melalui ayat ini.

Ayat 22

Pada ayat ini, Allah menerangkan sikap dan tindakan kaum Muslimin dalam menghadapi Perang Ahzab. Mereka bekerja dan berjuang semata-mata karena Allah dan mengikuti perintah Nabi, bukan karena kepentingan diri sendiri. Seluruh harta bahkan jiwa raga mereka serahkan kepada Nabi untuk kepentingan perjuangan.

Mereka berjuang dengan tabah dan sabar. Semakin besar bahaya mengancam, semakin kuat iman dan ketabahan mereka. Ketika mereka melihat keadaan tentara sekutu yang jumlahnya sangat besar dan akan menyerbu mereka, sedang jumlah mereka hanya sedikit, mereka berkata:

“Inilah yang telah dijanjikan Allah dan Rasul Nya kepada kita, berupa ujian dan cobaan, sebagai pendahuluan dari kemenangan yang akan datang. Oleh karena itu, kita harus tabah dan sabar dalam menghadapinya.”

Pada ayat yang lain diterangkan syarat-syarat kebahagiaan dan kemenangan yang akan diperoleh orang-orang yang beriman. Allah berfirman:

اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَّثَلُ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۗ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاۤءُ وَالضَّرَّاۤءُ وَزُلْزِلُوْا حَتّٰى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ مَتٰى نَصْرُ اللّٰهِ ۗ اَلَآ اِنَّ نَصْرَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ

Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. (al-Baqarah/2: 214).

Dan firman-Nya lagi:

اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ

Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? (al- ‘Ankabut/29: 2).

Diriwayatkan oleh Ibnu Katsir bahwa pada waktu menggali parit sebelum tentara sekutu datang, Rasulullah saw pernah menyampaikan bahwa Jibril mengatakan kepadanya bahwa kerajaan Persia dan Romawi akan takluk di bawah kekuasaan kaum Muslimin. Mendengar kabar berita itu, kaum Muslimin sangat senang karena mereka percaya bahwa itu adalah janji Allah.

Tatkala datang tentara sekutu mengepung, mereka menganggap bahwa kedatangan tentara sekutu itu adalah ujian dan cobaan bagi mereka sebelum memperoleh kemenangan dan sebelum mereka menaklukkan Persia dan Romawi, sehingga mereka mengucapkan:

“Benar apa yang dijanjikan Allah itu dengan meluaskan agama Islam ke seluruh penjuru dunia di kemudian hari, dan benar pula apa yang diisyaratkan Allah untuk mencapai kemenangan dan kebahagiaan itu, yaitu bertawakal dan sabar dalam menerima cobaan dan halangan.”


Baca Juga : Islam Melarang Berperang di Bulan Haram


Ayat 23

Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, at- Tirmizi, an-Nasa’i, dan imam-imam hadis yang lain dari sahabat Anas, ia berkata, “Pamanku Anas bin an-Nazzar, tidak ikut Perang Badar, maka ia merasa sedih dan kecewa.

Ia berkata, “Aku tidak hadir pada peperangan yang pertama kali diikuti Rasulullah saw. Sesungguhnya jika Allah memberikan kesempatan kepadaku mengikuti peperangan bersama Rasulullah sesudah ini, tentulah Allah Ta’ala akan melihat apa yang akan aku lakukan.”

Maka pamanku dapat ikut serta dalam Perang Uhud. Dalam perjalanan menuju Uhud, pamanku bertemu dengan Sa’ad bin Mu’adz, dan Sa’ad bertanya kepadanya, “Hai Abu ‘Amr, hendak ke manakah engkau?” Pamanku menjawab, “Mencari bau surga yang akan aku peroleh di Perang Uhud nanti.”

Maka pamanku terus ke Uhud dan gugur sebagai syuhada di sana. Pada tubuhnya terdapat kira-kira 80 bekas pukulan, tusukan tombak, dan lubang anak panah.” Maka turunlah ayat ini.

Allah menerangkan bahwa di antara kaum Muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, ada orang-orang yang menepati janjinya.

Mereka telah berjuang dengan seluruh jiwa dan hartanya, di antara mereka ada yang mati syahid di Perang Badar, Perang Uhud, Perang Khandaq, dan peperangan-peperangan lainnya, sedang sebagian yang lain ada yang menunggu-nunggu dipanjangkan umurnya, menunggu ketetapan Allah Yang Maha Esa.

Orang-orang yang masih hidup ini, sekali-kali tidak akan berubah janjinya kepada Allah, akan tetap ditepatinya janjinya selama hayat dikandung badan.

Dalam Tafsir al-Kasysyaf dijelaskan bahwa beberapa orang sahabat ada yang bernazar: jika mereka ikut perang bersama Rasulullah, mereka tidak akan mundur dan tetap bertahan sampai gugur sebagai syuhada.

Di antara sahabat yang berjanji itu ialah Usman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Sa’id bin Zaid, Hamzah, Mus’ab bin ‘Umair, dan sahabat-sahabat yang lain.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 24-25


Menjelang Idul Adha, Inilah 6 Perbedaan Kurban dan Akikah

0
Perbedaan Kurban dan Akikah
Perbedaan Kurban dan Akikah

Dalam ajaran Islam, setidaknya ada dua jenis ibadah yang dilakukan dengan cara menyembelih hewan kurban (dzabihah). Yang pertama adalah ibadah kurban, yakni menyembelih hewan kurban pada tanggal 10 hingga 13 Dzulhijjah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Yang kedua adalah akikah, yakni kegiatan menyembelih hewan ternak pada hari ke tujuh setelah bayi dilahirkan.

Meskipun ibadah kurban dan akikah terlihat serupa atau mirip, namun sebenarnya keduanya memiliki perbedaan signifikan. Hanya saja, sebagian masyarakat – terutama orang awam – tidak mengetahui perbedaan kurban dan akikah. Oleh karena itu, dalam artikel ini penulis akan membahas secara singkat-padat mengenai enam perbedaan kurban dan akikah, yaitu sebagai berikut:

1. Perbedaan dari segi pengertian

Perbedaan kurban dan akikah yang pertama terdapat pada pengertian keduanya. Secara etimologis qurban berasal dari kata qaruba-yaqrubu-qurbanan yang bermakna mendekat. Secara istilah, kurban berarti menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt pada waktu yang telah ditentukan, yakni 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah (al-shihah fi al-Lughah).

Baca Juga: Surah Al-Hajj [22] Ayat 36-37: Dua Tujuan Ibadah Kurban

Adapun akikah secara bahasa berasal dari kata aqiq bermakna rambut bayi yang baru lahir, karena itulah akikah sering kali diartikan sebagai mengadakan selamatan terhadap kelahiran seorang bayi sebagai bentuk rasa syukur. Menurut terminologi, akikah adalah menyembelih ternak pada hari ketujuh dari kelahiran anak, yang pada hari itu anak diberi nama dan rambutnya di potong (Fiqih Islam Lengkap).

2. Sumber hukum

Perbedaan kurban dan akikah yang kedua adalah sumber hukum. Ajaran tentang kurban dapat ditemukan dalam sumber utama hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw. Keduanya sama-sama menyebutkan secara eksplisit perihal syariat kurban. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah swt pada surah al-Kausar ayat 2 yang berbunyi:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ ٢

Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).”

Sedangkan akikah tidak pernah disebutkan secara eksplisit oleh Al-Qur’an. Mayoritas dalil akikah berasal dari hadis dan atsar. Yang paling masyhur adalah hadis dari Samurah dari nabi Muhammad saw, beliau bersabda, “Setiap anak tergadai dengan akikahnya, maka hendaklah disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya, dan diberi nama.” (HR Ibnu Majah).

3. Tujuan ibadah

Perbedaan kurban dan akikah yang ketiga terdapat pada aspek tujuan. Meskipun secara umum keduanya dilakukan dalam rangka mematahi perintah Allah swt, namun ada spesifik antara keduanya, yakni: ibadah kurban dilakukan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan akikah dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran buah hati (baca: anak).

4. Jumlah hewan yang disembelih

Perbedaan kurban dan akikah selanjutnya adalah jumlah hewan yang disembelih. Dalam ibadah kurban seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menggunakan 1 ekor unta, sapi, kambing atau domba. Tidak ada ketentuan harus dua atau tiga ekor. Masing-masing orang dapat berkurban meskipun hanya satu ekor hewan kurban. Bahkan, 1 ekor sapi – menurut para ulama – bisa diperuntukkan bagi 7 orang (al-Umm: 392).

Adapun dalam ibadah akikah, bayi laki-laki dan perempuan memiliki ketentuan masing-masing berkenaan jumlah hewan yang disembelih. Jika bayi laki-laki yang lahir, maka disunahkan menyembelih 2 ekor kambing. Jika bayi perempuan yang lahir, maka jumlah hewan yang disembelih cukup satu ekor kambing. Selain berkenaan kuantitas, pelaksanaan akikah laki-laki dan perempuan sama saja.

5. Waktu pelaksanaan

Di atas telah dijelaskan bahwa pelaksanaan ibadah kurban dilakukan pada tanggal 10 sampai 13 Dzulhijjah. Di luar tanggal tersebut, sebelum atau sesudahnya, penyembelihan hewan kurban tidak bisa dianggap sebagai ibadah kurban, melainkan hanya sembelihan biasa. Pada tanggal 10 Dzulhijjah pun diberi ketentuan waktu tertentu, yakni selepas shalat idul adha (al-Lu’lu wa al-Marjan).

Sedangkan akikah dilaksanakan pada hari ketujuh setelah seorang bayi dilahirkan. Hari pertama keluarnya si bayi masuk dalam hitungan. Kalau belum sempat di hari ketujuh karena beberapa uzur seperti tidak ada uang, dalam perjlanan atau kondisi yang tidak memungkinkan, akikah boleh dilakukan pada hari keempat belas, dua puluh satu, dan kelipatan tujuh berikutnya.

6. Jumlah pelaksanaan

Perbedaan kurban dan akikah yang keenam adalah jumlah pelaksanaanya. Akikah hanya disunahkan sekali seumur hidup. Artinya, jika seseorang sudah melakukan akikah ketika bayi atau remaja, maka ia tidak disunahkan lagi untuk melakukannya sekalipun ia kaya. Namun, jika ia belum pernah melakukannya sewaktu kecil, maka ia boleh saja melaksanakan akikah walaupun sudah dewasa (Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib).

Berbeda dengan akikah yang hanya dilaksanakan satu kali seumur hidup, ibadah kurban dapat dilaksanakan setiap tahun selama waktu yang ditentukan, khususnya orang yang memiliki kelapangan harta. Nabi Muhammad bahkan pernah bersabda, “Barangsiapa yang berkelapangan harta namun tidak mau berkurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah)

Selain enam perbedaan di atas, sebenarnya ada beberapa perbedaan kurban dan akikah yang lain seperti jenis hewan dan penyerahan daging. Namun setelah penulis amati,  para ulama juga berbeda pendapat mengenai keduanya. Apa yang selama ini dianggap berbeda dari ibadah kurban dan akikah berkenaan jenis hewan dan penyerahan daging, sebenarnya bisa dianggap serupa.

Sebagai contoh, menurut sebagian orang hewan yang dibolehkan untuk kurban adalah unta, sapi, kambing, dan domba. Sedangkan hewan yang digunakan dalam akikah hanyalah kambing ataupun domba. Namun sebenarnya – sebagaimana disebut dalam Kifayat al-Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar – akikah juga boleh menggunakan unta atau sapi, tidak hanya kambing.

Contoh lainnya adalah persoalan penyerahan daging. Masyarakat pada umumnya mengetahui bahwa seluruh daging kurban wajib diserahkan dalam keadaan mentah dan seluruh daging akikah harus diserahkan dalam keadaan matang. Padahal sebenarnya, sebagian daging kurban boleh diserahkan dalam keadaan masak dan daging akikah boleh diberikan dalam keadaan mentah.

Namun, hanya saja daging kurban sebaiknya diserahkan dalam keadaan mentah. Jika daging dianggap berlebih – demi kemaslahatan – maka itu boleh diawetkan dan dibagikan dalam keadaan matang. Hal ini pernah dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi karena daging yang mereka miliki melimpah ruah. MUI juga pernah mengeluarkan yang membolehkan pembagian daging kurban dalam keadaan matang.

Baca Juga: Surah Al-Hajj [22] Ayat 34: Berkurban Adalah Syariat Agama Samawi

Serupa dengan daging kurban, daging akikah juga tidak mesti diserahkan seluruhnya dalam keadaan matang. Ia boleh diserahkan kepada penerima dalam keadaan mentah. Syekh Sulaiman al-Bujraimi menyebutkan dalam Hasyiyatul Bujarimi ala syarh al-Manhaj, “orang yang berakikah boleh memilih antara menyedekahkan dagingnya dalam keadaan mentah atau dalam kondisi matang.

Demikian penjelasan terkait perbedaan kurban dan akikah. Pada hakikatnya keduanya merupakan bentuk ibadah kepada Allah dan ungkapan rasa syukur padanya. Kurban adalah manifestasi rasa syukur atas segala nikmat dan karunia Allah secara umum. Sedangkan akikah adalah ungkapan rasa terima kasih kepada-Nya atas karunia buah hati (anak). Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 18-21

0
tafsir surah al-ahzab
tafsir surah al-ahzab

Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 18-21 tidak hanya berbicara terkait sikap pengecut yang dimiliki oleh kaum munafik, akan tetapi mereka juga kerap kali menghasut kaum Muslimin yang lain agar tidak ikut berperang bersama mereka. Tak jarang, kebiasaan berbohong juga mereka lakukan dalam pertempuran. Masih banyak lagi sikap tidak baik dari mereka, seperti; pengecut, penakut, dan penghasut, dan kikir. Bahkan, mereka sama sekali tidak mau ikut berpatisipasi dengan hart mereka ketika diserukan untuk berjihad dijalan Allah Swt.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al-Ahzab Ayat 14-17


Ayat 18

Ayat ini menerangkan bahwa Allah mengetahui dengan sesungguhnya orang yang menghambat manusia mengikuti Rasulullah saw berperang di jalan-Nya. Dia mengetahui pula orang-orang yang enggan dan minta izin kepada Rasulullah saw untuk tidak ikut berperang, serta orang-orang yang mengajak penduduk Medinah agar tidak ikut berperang bersamanya.

Sementara itu, ada pula orang-orang yang ikut berperang sebentar saja sekedar untuk memperlihatkan kepada kaum Muslimin bahwa sebenarnya mereka itu termasuk orang yang ikut berperang. Akan tetapi, di saat kaum Muslimin lengah, mereka menghilang dengan diam-diam dan kembali ke rumahnya masing-masing.

Ayat 19

Pada ayat ini, Allah menyebutkan sifat-sifat orang-orang yang selalu menghindarkan diri dari ikut berperang bersama Nabi saw:

  1. Mereka tidak menolong Muhammad dan kaum Muslimin dalam menghadapi musuh, baik pertolongan berupa harta benda maupun jiwa raga.
  2. Apabila musuh-musuh telah menyerang dan orang-orang yang beriman telah bertempur dengan gagah berani menolak serangan musuh, mereka menoleh ke kiri dan ke kanan karena ketakutan dan mencari jalan dan kesempatan untuk lari dari medan pertempuran menghindari kematian.
  3. Apabila pertempuran telah usai dan mereka merasa telah aman, mereka bersikap sombong dan membangga-banggakan jasa dan keberanian dalam medan pertempuran padahal semua itu adalah omong kosong belaka yang menyakitkan hati. Seakan-akan merekalah orang-orang yang berperang mati-matian sampai kemenangan tercapai, padahal semua yang mereka katakan itu adalah dusta belaka.
  4. Mereka sangat rakus kepada harta rampasan yang telah diperoleh kaum Muslimin, dan tidak mau melepaskan sesuatu yang telah mereka dapat. Padahal sebelumnya mereka tidak mau mengeluarkan harta untuk menolong Nabi saw.

Orang-orang yang bersifat seperti yang disebutkan di atas itu pada hakikatnya adalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak beramal dengan tulus ikhlas dan tidak mau berkorban sedikit pun, karena mereka adalah orang-orang munafik.

Karena sifat dan sikap mereka yang demikian itu, maka Allah menghapus segala pahala amal perbuatan mereka dan menjadikannya seolah-olah debu yang beterbangan yang tidak ada artinya sama sekali. Menghapuskan pahala amal perbuatan orang-orang munafik itu bukanlah suatu yang sukar bagi Allah, tetapi amat mudah bagi-Nya, karena Dia Mahakuasa lagi Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat 20

Karena sangat ketakutan, orang-orang munafik mengira bahwa tentara sekutu masih berada di medan pertempuran, padahal tentara-tentara itu telah lari berserakan, kembali ke negeri masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang munafik adalah orang-orang pengecut dan tidak beriman sehingga tidak ikut berperang, seakan-akan mereka tidak hadir di sana.

Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui gerak gerik musuh. Dalam pada itu, jika tentara sekutu itu kembali lagi menyerang, mereka menginginkan agar mereka berada di Badiyah (padang pasir) yang jauh dari kota bersama-sama Arab Badui dan penduduk padang pasir, agar mereka tidak terkena bahaya peperangan.

Bagi mereka cukuplah kiranya bila dapat bertanya kepada orang-orang yang datang ke tempat mereka tentang keadaan Nabi dan kaum Muslimin.

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa pada peperangan yang telah lewat itu, andaikata orang-orang munafik tidak meninggalkan medan peperangan dan tetap bersama kaum Muslimin di garis depan, kemudian terjadi pertempuran yang dahsyat, maka mereka juga tidak akan ikut berperang.

Kalaupun ikut berperang, mereka berperang dengan tidak sepenuh hati dan keimanan. Mereka akan melawan musuh sekedar memenuhi permintaan Nabi saja.


Baca Juga : Surah Al-Furqan [25] Ayat 67: Anjuran Bersedekah Secara Proporsional


Ayat 21

Pada ayat ini, Allah memperingatkan orang-orang munafik bahwa sebenarnya mereka dapat memperoleh teladan yang baik dari Nabi saw. Rasulullah saw adalah seorang yang kuat imannya, berani, sabar, dan tabah menghadapi segala macam cobaan, percaya sepenuhnya kepada segala ketentuan Allah, dan mempunyai akhlak yang mulia.

Jika mereka bercita-cita ingin menjadi manusia yang baik, berbahagia hidup di dunia dan di akhirat, tentulah mereka akan mencontoh dan mengikutinya. Akan tetapi, perbuatan dan tingkah laku mereka menunjukkan bahwa mereka tidak mengharapkan keridaan Allah dan segala macam bentuk kebahagiaan hakiki itu.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al Ahzab Ayat 22-23


 

Tafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia

0
tafsir surah Yunus ayat 12
tafsir surah Yunus ayat 12

Di dalam bukunya yang bertajuk Terapi Matsnawi, Dr. Nevzat Tarhan mengatakan “Allah telah berhenti berbicara melalui wahyu-Nya, tetapi sekarang Dia berbicara melalui peristiwa”. Peristiwa adalah wadah yang menampung hikmah-hikmah ilahi. Islam meyakini segala yang terjadi di persada bumi adalah realisasi semua rencana-Nya di zaman azali. Karena itu peristiwa adalah suratan Allah kepada penduduk bumi. Seberapa besar perhatian seseorang menilik hikmah-hikmah itu, sebesar itu pula pesan ilahi yang akan didapatkan.

Silih berganti, tamu dadakan yang bernama musibah terus menghampiri penduduk bumi, tua-muda, berdosa tidak berdosa, jadi santapan lezatnya yang memilukan. Manusia telah memperlihatkan sifat manusiawinya, yaitu berkeluh kesah dengan sepenuh hati kepada Allah yang menjadi harapan satu-satunya meyingkap tumpukan musibah ini.

Akankah kala nanti Allah telah berkenan mengijabah sederet doa di tengah musibah pandemi ini, kita akan berterima kasih dan akan selalu mengigat-Nya? Ataukah sebaliknya, kembali menceburkan diri ke dalam sumur maksiat?

Baca Juga: Sedang Dirundung Musibah? Bersabarlah! Ini 4 Keutamaan Sabar Menurut Al-Quran

Surah Yunus Ayat 12: pengingat di kala susah dan senang

Dalam hal ini Allah melalui Firman-Nya dalam Al-Quran, surah Yunus ayat 12, mengingatkan,

 وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ الضُّرُّ دَعَانَا لِجَنْبِهِ أَوْ قَاعِدًا أَوْ قَائِمًا فَلَمَّا كَشَفْنَا عَنْهُ ضُرَّهُ مَرَّ كَأَنْ لَمْ يَدْعُنَا إِلَى ضُرٍّ مَسَّهُ كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْمُسْرِفِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan”.

Salah satu objek kajian mufassirin saat menafsirkan surah Yunus ayat 12 ini adalah menjelaskan siapa yang dimaksud oleh frasa al-Insan. Dan terlihat, sejak dahulu hingga kini kalangan mufassirin belum menemukan kata sepakat soal itu. Namun secara umum pendapat mereka hanya berkisar pada tiga kemungkinan.

Pertama, yang dimaksud al-insan adalah orang kafir. Kedua, al-insan tertuju kepada salah seorang musyrik Makkah. Dan ketiga, mencakup seluruh manusia tanpa terkecuali. (Al-Bahr al-Muhith [5], 133)

Di antara argumen pendapat yang pertama, yaitu melihat redaksi lafad al-insan yang dibubuhkan alif-lam di depannya. Alif-lam tersebut berfungsi sebagai li’ahdi al-dzikri (menjelaskan kalimat yang telah disebutkan sebelumnya), dan dalam hal ini adalah orang kafir yang disinggung oleh ayat sebelumnya. (Mafatih al-Gaib [9], 44)

Berbeda dengan pendapat kedua, selain kebenarannya masih relatif, satu orang itupun masih mereka selisihkan. Imam Abu Hayyan menyebut empat pendapat sekaligus mengenai orang yang dimaksud oleh mereka dalam al-insan. Berbeda dengan Tohir Ibn Asyur yang hanya menyebut satu pendapat yang diprakarsai oleh Ibn Abbas. Menurut Ibn Abbas, yang dimaksud al-insan dalam ayat itu adalah Abu Hudzaifah Ibn Mughirah al-Makhzumi, seorang musyrik Makkah yang kebetulan sakit saat itu. (At-Tahrir Wa at-Tanwir [5] 110)

Untuk pendapat ketiga sepertinya melihat realita bahwa tidak diragukan lagi apa yang al-Quran gambarkan itu menyentuh semua kalangan, baik itu muslim maupun non muslim. Selain juga secara kaidah bahasa cukup mendukung bahwa setiap kata tunggal yang terbubuhi alif-lam berubah menjadi umum. (Ghayah Al-Wushul, 178)    

Baca Juga: Inilah 3 Kiat-Kiat Agar Kita Selalu Bersyukur dalam Menjalani Kehidupan

Seakan tidak mau terlibat dalam pemakanaan frasa al-insan yang beragam, Al-Imam Abu Fadl Al-Alusi didalam karya besarnya menjelaskan secara umum makna surah Yunus ayat 12 ini secara global dengan mengatakan, “Ayat ini mengandung celaan kepada setiap orang yang enggan berdoa saat bahagia dan baru berdoa saat mengalami masalah dan bahaya. Idealnya setiap manusia mesti selalu merendah diri kepada Allah baik di kala bahagia ataupun saat bahaya. Imam Al-Alusi kemudian mengutip hadis Nabi “kenali Allah sewaktu bahagia, niscaya Dia akan mengenalmu dikala bahaya.” (Ruh al-Ma’ani [4] 71)

Pada umumnya manusia memang jarang bersabar di kala tertimpa musibah, pun jarang bersyukur saat memproleh nikmat. Saat musibah menimpa, umumnya manusia akan segera berdoa, tidak peduli itu ketika berbaring, duduk ataupun berdiri. Seraya memohon dengan penuh harapan agar kiranya Allah segera menghilangkan masalah atau musibah yang sedang melilitnya.

Namun tatkala doanya telah Allah penuhi dengan mengganti susah menjadi senang, derita diubah bahagia, bukannya bersyukur, dia malah menyombongkan diri seakan-akan sebelum itu tidak ada musibah apapun yang menimpa dirinya. Dia lupa atau bahkan pura-pura lupa bahwa baru saja Allah mengijabah permintaannya. Semua itu menunjukkan betapa lemahnya tabiat manusia serta kuatnya pengaruh lalai dan syahwat yang dimiliki setiap manusia.

Melalui ayat ini Allah mengigatkan manusia bahwa jalan seperti ini tercela dan tidak pantas dilalui. Manusia sudah semestinya sadar bahwa yang ideal adalah bersabar kala bahaya dan bersyukur saat bahagia, agar dia menjadi seperti yang Nabi sabdakan “orang yang banyak berdoa di kala bahagia, doanya akan dikabulkan di waktu bahaya”.

Baca Juga: Ketika Ditimpa Musibah, Terus Ngapain? Ini Seharusnya Sikap Seorang Muslim

Tips menghadapi musibah

Selain itu, Fakhruddin Ar-Razi dalam kitab tafsirnya memberi tips menghadapi musibah. Tiga hal yang hendaknya diperhatikan dan senantiasa diingat oleh setiap mukmin yang sedang tertimpa musibah. Pertama, hendaknya hati selalu merasa ridha dan menerima semua ketetapan Allah, tanpa perlu menentang, baik dengan hati apalagi dengan lidah. Bukankah semua makhluk adalah milik-Nya termasuk manusia sendiri. Karena itu bukankah menjadi sangat pantas, Dia melakukan dan menetapkan apa saja yang dikehendaki-Nya? 

Kedua, sebaiknya seorang mukmin mengganti doa dengan dzikir (mengingat) Allah di kala tertimpa musibah. Mengapa demikian? Karena berdoa adalah meminta sesuatu yang diinginkan yang konotasinya tidak murni karena ingin mendekat. Sementara dzikir murni ingin mendekat dan menjalin hubungan khusus dengan-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman “ Barang siapa yang lebih sibuk mengigat-Ku dari pada meminta, maka akan Ku beri dia lebih dari yang Aku beri kepada mereka yang meminta (berdoa)”. Ketiga, sudah sepatutnya tatkala Allah mengijabah, benar-benar bersyukur dengan penuh kesadaran dan pengahayatan. (Mafatih al-Ghaib [9] 43-44)

Ala kulli hal tidak semua tabiat manusia itu baik. Ada baik ada pula yang buruk. Dan al-Quran menganggap tabiat manusia yang cendrung melupakan Allah saat bahagia dan hanya akan mengigat-Nya di kala musibah, adalah bagian dari tabiat buruk yang tercela. Al-Quran melalui ayat ini memberi tahu sekaligus mendorong manusia untuk berusaha mengubah tabiat buruk itu menjadi tabiat yang baik. Waallahu a’lam.

Mengenal Surah Al-Baqarah (Bag. 1): Karakteristik dan Nama Lainnya

0
Mengenal Surah Al-Baqarah (Bag. 1): Karakteristik dan Nama Lainnya
Surah Al-Baqarah

Surah Al-Baqarah adalah surah urutan kedua sekaligus surah terpanjang dalam al-Quran. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam Tafsir Al-Wasith menjelaskan bahwa surah al-Baqarah kira-kira mengambil 2 ½ juz dari total 30 juz di dalam al-Quran. Jumlah ayatnya menurut mayoritas ulama adalah 286 ayat. Ada juga ulama yang mengatakan jumlah ayatnya adalah 287 ayat.

Surah al-Baqarah adalah surah Madaniyyah, yakni surah yang diturunkan di Kota Madinah atau setelah Nabi Muhammad ﷺ berhijrah. Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menukil pendapat dari Ikrimah bahwasannya surah yang pertama kali diturunkan di Madinah adalah surah al-Baqarah. Awal permulaan turunnya adalah setelah Nabi Muhammad ﷺ berhijrah dan sebagian besar ayatnya turun pada tahun pertama hijriah. Turunnya ayat surah al-Baqarah ini berlangsung hingga sebelum wafatnya Rasulullah ﷺ. Hal ini ditandai dengan pendapat ulama yang menyatakan bahwa ayat terakhir al-Quran yang turun adalah ayat 281 dari surah al-Baqarah. Ayat tersebut berbunyi:

وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ ۗثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ ࣖ ٢٨١

Artinya: Waspadalah terhadap suatu hari (kiamat) yang padanya kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian, setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya dan mereka tidak dizalimi.

Ayat tersebut turun sembilan malam sebelum Rasulullah ﷺ wafat. Oleh karena hal tersebut, M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menyatakan bahwa secara keseluruhan surah al-Baqarah turun dalam masa sepuluh tahun.

Surah ini dinamakan al-Baqarah karena di dalamnya terdapat kisah al-Baqarah (sapi betina), yakni kisah Bani Israil yang disuruh untuk menyembelih al-Baqarah. Kisah ini bermula ketika ada seseorang yang terbunuh dan tidak diketahui siapa pembunuhnya. Sementara masyarakat Bani Israil tidak ada yang mengaku dan saling curiga di antara mereka. Bahkan, mereka saling tuduh-menuduh tentang pelaku pembunuhan tanpa adanya bukti, sehingga mereka tidak memperoleh kepastian. Menyikapi hal itu, mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi Musa as. dan meminta beliau untuk berdoa kepada Allah agar menunjukkan siapa sesungguhnya pelaku kejahatan tersebut.

Allah Swt. kemudian menyuruh mereka agar menyembelih seekor sapi dan memukulkan bagian dari sapi tersebut kepada korban pembunuhan. Maka, dengan izin Allah Swt. mayat tersebut hidup kembali dan memberitahukan kepada mereka siapa yang membunuhnya. Namun, karena tabiat Bani Israil yang keras kepala dalam melaksanakan perintah, mereka malah mengejek dan mengolok-ngolok perintah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui kekuasaan Allah dan sangat kasar tabiatnya. Setelah berbagai macam pertanyaan dan kesusahan yang ditimbulkan oleh mereka, akhirnya Bani Israil melaksanakan perintah menyembelih sapi tersebut.

Baca juga: Inilah Tiga Keutamaan Surat Al Baqarah

Nama Lain Surah Al-Baqarah

Surah ini memiliki beberapa nama lain. Dalam kitab Asma’ Suwar al-Quran wa Fadhailuha karya Dr. Munirah Muhammad Nasir dijelaskan beberapa nama tersebut:

  1. Az-Zahra (الزهراء)

Surah al-Baqarah dan Surah Ali Imran dinamakan juga dengan az-Zahrawain (الزهروين), yang artinya dua cahaya yang terang benderang. Bentuk mufrad dari az-Zahrawain adalah az-Zahra’ yang menjadi asal dari nama lain surah al-Baqarah tersebut. Alasan penamaan dua surah tersebut dengan az-Zahrawain adalah karena cahaya, hidayah, dan keagungan pahalanya bagi para pembacanya. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahili, bahwasannya beliau mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ، اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ، وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ، فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ، أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ، تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا، اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ، فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ، وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ

Artinya: Bacalah al-Quran, karena ia pada hari kiamat akan datang sebagai syafa’at bagi pembacanya. Bacalah az-Zahrawain (dua yang bercahaya), yaitu al-Baqarah dan Surah Ali Imran, karena (pahala) keduanya pada hari kiamat akan datang seperti halnya awan (yang menaungi) atau seperti mendung, atau keduanya seperti halnya dua kawanan burung yang membentangkan sayapnya (di udara) yang melindungi pembacanya. Bacalah surah al-Baqarah, karena membacanya adalah berkah, meninggalkannya (tidak membacanya) adalah kerugian, dan tukang sihir tidak akan mampu (mengganggunya). (H.R. Muslim).

  1. Sanam al-Quran (سنام القرأن)

Sanam artinya adalah puncak. Surah al-Baqarah adalah puncak dari al-Quran. Menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah, al-Baqarah dinamakan demikian karena tiada lagi puncak petunjuk setelah kitab suci ini dan tiada puncak setelah kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa dan keniscayaan Hari Kiamat. Sedangkan menurut Dr. Munirah, nama ini muncul dikarenakan al-Baqarah adalah surah terpanjang di dalam al-Quran dan termasuk surah yang ada di awal. Sehingga hal ini sesuai dengan pendapat, ‘Puncak segala sesuatu adalah yang paling tinggi.’

Hadits Rasulullah ﷺ yang menerangkan tentang nama tersebut adalah sebagai berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِكُلِّ شَيْءٍ سَنَامٌ، وَإِنَّ سَنَامَ القُرْآنِ سُورَةُ البَقَرَةِ وَفِيهَا آيَةٌ هِيَ سَيِّدَةُ آيِ القُرْآنِ، هِيَ آيَةُ الكُرْسِيِّ.

Artinya: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda, ‘Setiap sesuatu memiliki puncak. Dan puncak dari al-Quran adalah surah al-Baqarah, dan di dalamnya terdapat ayat yang merupakan pemimpin ayat-ayat al-Quran, yaitu ayat kursi. (H.R. Tirmidzi).

  1. Fusthath al-Quran (فسطاط القران)

Fusthath maknanya adalah kota (مدينة) yang menjadi tempat berkumpulnya manusia. Sebagian mufassir menyebut al-Baqarah dengan nama tersebut dengan dalil hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan oleh ad-Dailami dari Abu Sa’id al-Khudri:

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال: قال رسول الله ﷺ: السُّوْرَةُ الَّذِيْ يُذْكَرُ فِيْهَا الْبَقَرَةُ فُسْطَاطُ الْقُرْأَنِ، فَتَعَلَّمُوْهَا فَإِنَّ تَعَلَّمَهَا بَرَكَةٌ، وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا تَسْتَطِيْعُهَا الْبَطَلَةُ

Artinya: Dari Abi Sa’id al-Khudri ra. dia berkata, Rasulullah bersabda: ‘Surah yang di dalamnya diceritakan al-Baqarah (sapi betina) adalah kotanya al-Quran. Pelajarilah, karena mempelajarinya adalah berkah, meninggalkannya adalah kerugian, dan tukang sihir tidak akan mampu (mengganggunya).’

Alasan al-Baqarah dinamakan atau disifati demikian adalah karena keagungan dan kemuliaannya serta kandungan isinya yang mencakup berbagai macam hukum dan nasihat yang tidak disebutkan di surah selainnya. Bahkan menurut Ibnu al-‘Arabi, karena kandungan ilmu fiqih yang terdapat di dalamnya, Abdullah bin Umar mempelajari surah tersebut selama 80 tahun lamanya. Begitu juga dengan bapaknya, yaitu Umar bin Khaththab, beliau mempelajari ilmu fiqih dan apa yang terkandung di dalam surah al-Baqarah selama 12 tahun.

Itulah beberapa fakta terkait dengan surah al-Baqarah. Tulisan ini Insya Allah akan lanjut ke bagian kedua dengan menjelaskan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan surah al-Baqarah Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Baca juga: Mengenal Nama-nama Lain Surah Al-Fatihah dan Penjelasan Hadisnya

Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 2

0
Tafsir Surah Al Insan
Tafsir Surah Al Insan

Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 1

Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 2 mengungkap hal kedua yang diungkapkan Al-Qur’an dalam kaitan penciptaan manusia adalah dari kondisi ketiadaan. Suatu subjek yang bertolak belakang dengan penjelasan sebelumnya.

اَوَلَا يَذْكُرُ الْاِنْسَانُ اَنَّا خَلَقْنٰهُ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ يَكُ شَيْـًٔا   ٦٧

Dan tidakkah manusia itu memikirkan bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, padahal (sebelumnya) dia belum berwujud sama sekali? (Maryam/19: 67)

Ayat di atas menunjuk pada ciptaan pertama dari jenis manusia. Sangat berbeda dengan apa yang terjadi sekarang. Reproduksi manusia pada saat ini terjadi dengan bibit yang diproduksi dari organ laki-laki dan perempuan.

Harus diperhatikan secara cermat bahwa dalam ayat tersebut, ada pernyataan bahwa sesuatu ada dari bukan sesuatu. Ayat tersebut menyatakan bahwa sebelum tahapan dimana material dan benda lain menjadi benda hidup, ada satu tahapan lain dimana tidak ada eksistensi apa pun. Kita dapat menyatakan bahwa kursi dibuat dari kayu; atau rantai dibuat dari besi. Di sini kita memiliki material yang dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat barang tertentu.

Mereka yang tidak mempercayai agama seringkali menyatakan ayat di atas sebagai dongeng saja. Akan tetapi, ayat di atas tidak menyatakan hal yang demikian. Arti ayat di atas jelas memberitahukan bahwa sebelum adanya penciptaan, tidak ada apa-apa di alam semesta. Setelah ada penciptaan alam semesta, menyusul kemudian penciptaan-penciptaan lainnya, termasuk penciptaan manusia.

Tahap kedua perkembangan manusia tampaknya terjadi pada saat manusia ada secara fisik, namun otak belum berkembang baik. Dengan demikian, posisinya masih sama atau lebih rendah dari binatang. Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (al-Insan/76: 1).

Tahap ketiga evolusi manusia dicapai saat reproduksi antara manusia laki-laki dan perempuan mulai terjadi. Di dalam Al-Qur’an, Dinyatakan suatu masa dari evolusi manusia. Ketika itu manusia mempunyai karakter binatang tingkat tinggi. Karakter ini adalah adanya perbedaan didasarkan pada seks, terbagi menjadi jantan dan betina. Pada masa ini, perkembangbiakan sudah melalui sperma yang dihasilkan manusia laki-laki. Keadaan demikian ini menjadikan manusia sudah memiliki ciri yang sama dengan binatang tingkat tinggi. Dua penggalan ayat di bawah ini menunjukkan hal tersebut:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ اِلَيْهَاۚ فَلَمَّا تَغَشّٰىهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيْفًا فَمَرَّتْ بِهٖ ۚفَلَمَّآ اَثْقَلَتْ دَّعَوَا اللّٰهَ رَبَّهُمَا لَىِٕنْ اٰتَيْتَنَا صَالِحًا لَّنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّٰكِرِيْنَ  ١٨٩

Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah, Tuhan mereka (seraya berkata), “Jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami akan selalu bersyukur.” (al-A’raf/7: 189);Dan firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…. (an-Nisa’/4: 1)

Lebih lanjut Al-Qur’an memperlihatkan perkembangan manusia ke tingkat yang lebih lanjut, yaitu menggunakan nalarnya, demikian:

اِنَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍۖ نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنٰهُ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا   ٢

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (al-Insan/76: 2)

Mulai dari masa ini, karena peran pentingnya di alam semesta, manusia mulai mempelajari alam. Untuk dapat mengelola dengan baik, manusia memerlukan penguasaan pengetahuan secara luas. Tahap keempat ini dicapai saat otak manusia telah mencapai kesempurnaannya. Diciri dari perkembangan kecerdasan dan kepedulian terhadap lingkungan yang sangat cepat. Dengan kemampuannya dalam mendengarkan dan melihat, sebagaimana juga dapat dilakukan oleh binatang, manusia kemudian mulai melatih kecerdasannya sampai pada tingkat dapat melakukan penemuan-penemuan yang berguna untuk kehidupannya. Di sini manusia telah menempatkan dirinya jauh di atas binatang. Ia menjadi jenis binatang yang dapat bertahan hidup melalui kemampuan berpikir dan berbicara.

Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 2, Uraian evolusi manusia ini tidak dengan eksplisit disampaikan dalam   Al-Qur’an. Mengapa? Karena kitab ini tidak dimaksudkan sebagai buku ilmiah. Al-Qur’an diciptakan untuk mengungkapkan kebenaran, dan meninggalkan beberapa gap atau rumpang yang akan diisi oleh kemajuan pengetahuan manusia.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 2-3


Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 1

0
Tafsir Surah Al Insan
Tafsir Surah Al Insan

Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 1 menguraikan proses kejadian manusia dari yang tidak ada menjadi ada. Tesuai dengan nama Surahnya yang memiliki arti manusia Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 1 ini merupakan salah satu ayat evolusi, evolusi sendiri merupakan istilah dari kajian dan penelitian ilmuwan Eropa, namun ternyata Alquran telah lebih dahulu menjelaskan teori Evolusi ini 1400 tahun yang lalu.  

Ayat 1

Ayat pertama ini menegaskan tentang proses kejadian manusia dari tidak ada menjadi ada, pada saat manusia belum berwujud sama sekali. Disebutkan bahwa manusia berasal dari tanah yang tidak dikenal dan tidak disebut-sebut sebelumnya. Apa dan bagaimana jenis tanah itu tidak dikenal sama sekali. Kemudian Allah meniupkan roh kepadanya, sehingga jadilah dia makhluk yang bernyawa.

Ayat di atas dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bagian yang menceritakan evolusi manusia. Uraian sepenuhnya mengenai hal ini dapat dilihat di bawah ini.

Pada abad-19, Charles Darwin mengemukakan teori bahwa jenis manusia ada di muka bumi melalui suatu proses panjang evolusi. Mereka tidak langsung ada sebagaimana dinyatakan pada banyak kitab suci. Dia menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk proses evolusi, yang berujung pada terbentuknya manusia, kemungkinan besar memerlukan waktu jutaan tahun. Hal kedua yang dikemukakan oleh teori Darwin adalah bahwa manusia berkembang dari binatang.

Pada permulaan adanya kehidupan, demikian dinyatakan oleh teori ini, bentuk kehidupan yang ada adalah binatang-binatang tingkat rendah. Dengan berjalannya waktu, muncul binatang-binatang tingkat tinggi dan berukuran lebih besar. Dengan tidak sengaja, dari salah satu binatang berkembang menjadi manusia. Hal demikian ini dibuktikannya dengan adanya sederet bukti dari tengkorak hewan yang secara runut mengarah ke tengkorak manusia saat ini. Bukti lain juga dikemukakan dari perkembangan bentuk embrio. Dalam perkembangannya, embrio manusia berubah-ubah bentuk. Dimulai dari mirip bentuk embrio ikan, kelinci, dan jenis binatang lainnya, dan berakhir berbentuk manusia. Dari temuan terakhir ini, kemudian disimpulkan bahwa evolusi panjang manusia berasal dari bintang tingkat rendah.


Baca Juga: Hakikat Penciptaan Manusia dalam Surah al-Dzariyat ayat 56


Point kedua dari teori Darwin adalah bahwa manusia dan kera datang dari satu moyang yang sudah punah saat ini. Moyang yang punah ini disebutnya sebagai “missing link”, rantai yang hilang. Haekel, seorang peneliti setelah masa Darwin, berpendapat bahwa binatang yang menjadi “missing link” adalah yang disebut Lypotilu. Apabila binatang ini atau sisa-sisa dari binatang ini dapat ditemukan, maka teka-teki mengenai evolusi manusia dapat dijelaskan dengan lebih baik. Para pemikir yang mempercayai teori ini menganggap bahwa gorila dan simpanse ada pada jalur evolusi manusia. Peneliti lain yang bernama Huxley mempunyai pemikiran yang sedikit berbeda. Ia menyimpulkan bahwa garis manusia dapat saja terjadi jauh sebelum munculnya jenis-jenis kera. Jadi, manusia dan kera tidak pernah berhubungan.

Penelitian yang lebih kemudian yang dilakukan oleh Prof. Jones dan Prof. Osborne, cenderung untuk menyimpulkan bahwa walaupun manusia ada melalui proses evolusi, namun prosesnya sudah terpisah dari binatang lainnya di masa yang lebih jauh. Dan dari saat itu, manusia berevolusi pada garisnya sendiri, tanpa bercampur dengan evolusi binatang lainnya. Dengan kata lain, manusia bukanlah cabang dari binatang lain, katakanlah kera, sebagaimana dipercaya oleh Darwin.

Para ahli arkeologi dan antropologi menemukan bahwa peradaban manusia terjadi melalui jalur yang terbagi secara jelas. Pada zaman batu, manusia pertama kali melangkah masuk ke daerah budaya dan kemasyarakatan. Sejak masa itu, manusia melakukan evolusi dalam mempertahankan hidup sebagai “binatang yang lemah”.

Karena tidak memiliki kekuatan, cakar, dan taring yang kuat sebagaimana binatang lain, manusia menggunakan batu sebagai alat mempertahankan diri dan kegunaan lainnya. Kemudian datang zaman perunggu, dimana manusia mulai menggunakan bahan metal untuk membuat peralatan. Zaman ini diikuti oleh zaman besi. Dari berbagai situs yang ditemukan para arkeologi disimpulkan bahwa berbagai zaman dari kehidupan manusia dilakukan dengan perubahan budaya dari satu masa ke masa lainnya.

Di dalam Al-Qur’an, ada satu ayat yang berkaitan erat dengan penciptaan manusia yang bertahap, yaitu:

مَا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ لِلّٰهِ وَقَارًاۚ  ١٣  وَقَدْ خَلَقَكُمْ اَطْوَارًا   ١٤  اَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللّٰهُ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۙ  ١٥  وَّجَعَلَ الْقَمَرَ فِيْهِنَّ نُوْرًا وَّجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا   ١٦  وَاللّٰهُ اَنْۢبَتَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ نَبَاتًاۙ  ١٧  ثُمَّ يُعِيْدُكُمْ فِيْهَا وَيُخْرِجُكُمْ اِخْرَاجًا   ١٨  وَاللّٰهُ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ بِسَاطًاۙ  ١٩  لِّتَسْلُكُوْا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا ࣖ   ٢٠

Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian). Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis? Dan di sana Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah, tumbuh (berangsur-angsur), kemudian Dia akan mengembalikan kamu ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkan kamu (pada hari Kiamat) dengan pasti. Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas. (Nuh/71: 13-20)

Ayat di atas mencela manusia yang masih meragukan bahwa penciptaan tidak dilakukan berdasarkan perencanaan yang baik. Diperlihatkan bagaimana semuanya dilakukan melalui fase-fase atau masa-masa, yang teratur dan didasarkan pada perencanaan yang bijak. Penciptaan dilakukan bukan tanpa tujuan, dan mengarah pada kesempurnaan.

Ternyata hukum evolusi yang dikembangkan para peneliti di Eropa telah dijelaskan secara sangat rinci oleh Al-Qur’an pada 1400 tahun sebelumnya. Dijelaskan oleh Al-Qur’an bahwa manusia tidak diciptakan secara mendadak dan dalam bentuk dan rupa sebagaimana kita saat ini. Allah tidak membuat model dari tanah liat dan “meniupkan” kehidupan ke dalamnya untuk menjadi manusia pertama di muka bumi. Manusia mencapai tahap seperti saat ini setelah melalui proses beberapa masa perubahan.

(Tafsir Kemenag)

Selanjutnya……


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Insan Ayat 1 Part 2