Beranda blog Halaman 278

Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 204: Adab Seorang Mukmin Ketika Mendengar Lantunan Ayat-Ayat Al-Qur’an

0
Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 204,ada ketika mendengarkan lantuman Al-Qur'an
Tafsir Surah Al-A’raf Ayat 204,ada ketika mendengarkan lantuman Al-Qur'an

Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat manusia yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Al-Qur’an memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok. Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya, bahkan, juga sebagai rahmat bagi yang mendengarkan. Sebagaimana firman Allah swt dalam surah al-A’raf ayat 204.

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (204)

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat”

Dalam memahami ayat ini banyak orang beranggapan bahwa perintah untuk mendengarkan atau diam ketika mendengar bacaan Al-Qur’an adalah tatkala berada dalam keadaan shalat dan khotbah. Sementara selain kedaan tersebut (diluar shalat dan khotbah) seperti ketika acara yang di dalamnya ada sesi pembacaan Al-Qur’an tidak diperintah atau dianjurkan untuk diam.

Sebelum membahas lebih lanjut. Sebab nuzul turunnya surat al-A’raf ayat 204 ini sebagaimana disebutkan dalam kitab “Lubaab al-Nuquul” dari Abu Hurairah r.a mengatakan bahwa surat al-A’raf ayat 204 turun sehubungan dengan mengeraskan suara dengan keras tatkala bermakmum di belakang Nabi lalu, turunlah ayat tersebut. Riwayat yang senada juga dari Abu Hurairah r.a, beliau menagatakan, “Para sahabat selalu bercakap-cakap sewaktu dibacakan Al-Qur’an, maka turunlah firman Allah (al-A’raf ayat 204)”.

Baca juga: Tafsir Ahkam: 3 Masalah Terkait Membasuh Kaki Saat Wudhu yang Penting Diperhatikan

Sementara riwayat yang berbeda yakni dari Zuhri r.a yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan seorang pemuda dari sahabat Anshar. Manakala Rasulullah membaca Al-Qur’an maka, pemuda tersebut membarengi bacaannya dengan Nabi. Sehingga turunlah ayat 204 surat al-A’raf tersebut.

Jika kita perhatikan dalam tafsir klasik misal tafsir Ibnu Katsir, dalam menafsirkan ayat ini memang tidak ada pernyataan secara jelas dan tegas apakah perintah untuk diam atau merenung ketika mendengar bacaan Al-Qur’an itu juga dapat diimplementasikan pada selain shalat misal seperti ketika teman satu kelas menyetel Al-Qur’an melalui hp, atau ketika tetangga kita mengadakan hataman Al-Qur’an dengan menggunakan mikrofon. Akan tetapi, jika kita menelurusi dalam kitab-kitab tafsir modern maka kita akan menemukan sebuah interpretasi secara tegas bahwa kandungan perintah pada ayat tersebut tidak hanya pada waktu shalat atau khotbah saja tetapi juga di luar itu.

Kata al-Istimaa’ pada ayat tersebut memiliki makna yang lebih khusus daripada al-Sam’u sebab kata al-Istimaa’ (mendengarkan) dapat dihasilkan dengan sengaja dan niat atau dengan menfokuskan panca indera terhadap suatu pembicaraan untuk memahaminya.

Sementara kata “al-Sam’u” dapat dihasilkan walaupun dengan tanpa sengaja dan kata “al-Inshaat” memiliki makna diam untuk mendengarkan, sehingga tidak ada gangguan untuk merekam segala yang dibacakan. Lebih kompleks, al-Sa’di dalam tafsirnya “Taysiir al-Kariim” memberikan pengertian “al-Istimaa’” dengan memfokuskan pendengaran serta menghadirkan dalam hati dan bertadabbur atas apa yang didengar. Orang-orang yang mengikuti kedua perintah tersebut akan mendapatkan kebaikan dan ilmu yang berlimpah, iman yang kokoh serta petunjuk yang bertambah.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 82: Al-Qur’an Sebagai Syifā’ (Penyembuh) Lahir dan Batin

Hukum Ketika Mendengarkan Lantuman Ayat Al-Qur’an

Melalui ayat tersebut Allah swt menginformasikan tentang adab yang nantinya juga bermuara pada hukum ketika mendengarkan lantunan ayat Al-Qur’an. Dalam kitab tafsir “al-Munir” Syaikh Wahbah Zuhaili menyatakan bahwa ayat tersebut memerintahkan agar kita mendengarkan bacaan Al-Qur’an ketika dilantunkan supaya memahami dan mengambil pelajaran atas isi dari ayat-ayatnya serta tidak berbicara (diam) dan khusyu’ agar dapat berfikir serta berangan-angan (tadabbur) tentang maknanya.

Kemudian beliau melanjutkan bahwa semuanya itu merupakan suatu media untuk mendapatkan rahmat Allah swt dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang hatinya disinari oleh nur al-Iman.

Menurut Syaikh Wahbah Zuhaili, ayat ini juga mengindikasikan tentang hukum wajib untuk mendengarkan (istimaa’) dan diam (inshaat) ketika mendengar bacaan Al-Qur’an, baik di dalam shalat atau selainnya bahkan umum di segala tempat dan keadaan. Bedanya, lebih ditekankan jika dalam keadaan shalat, tatkala imam membaca jahr (keras). Pendapat ini dari Syaikh Hasan al-Basri.

Sementara menurut mayoritas ulama’, hukum wajib mendengarkan dan diam hanya berlaku pada masa Rasulullah saw tatkala beliau membaca Al-Qur’an dan pada waktu shalat serta mendengarkan khotbah. Sebab wajib mendengarkan diluar itu sangat sulit untuk dilakukan karena dapat berimpak meninggalkan pekerjaan. 

Adapun hukum tidak mendengarkan Al-Qur’an dalam suatu acara yang di dalamnya ada sesi pembacaan Al-Qur’an misal wisuda maka sangat dimakruhkan hukumnya. Pendapat tersebut senada dengan pernyataan Syaikh al-Baidhawi dalam tafsirnya “Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta’wiil” bahwa secara dhahir, ayat ini memang menunjukkan hukum wajib secara mutlak. Namun, mayoritas ulama’ menghukumi sunnah mendengarkan Al-Qur’an di luar shalat untuk diam dan memperhatikan.

Baca juga: Gambaran Delusi Para Penolak Kebenaran dalam Surah Al-Hajj Ayat 46

Salah satu kutamaan memperhatikan dan mendengarkan pembacaan Al-Qur’an adalah mendapatkan kebaikan yang berlipat sebagaimana hadis berikut:

روى الإمام أحمد عن أبي هريرة رضي اللّه عنه أن رسول اللّه صلّى اللّه عليه وآله وسلم قال : من استمع إلى آية من كتاب الله ، كتبت له حسنة مضاعفة ، ومن تلاها كانت له نورا يوم القيامة

Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa mendengarkan ayat Al-Qur’an maka baginya kebaikan yang berlipat, dan barangsiapa belajar satu ayat dari Al-Qur’an maka baginya cahaya pada hari kiamat. (H.R Ahmad bin Hanbal)

Dari beberapa penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa hukum memperhatikan dan mendengarkan secara sungguh-sungguh ketika dibacakan Al-Qur’an adalah wajib di dalam shalat dan khotbah sedangkan di luar itu terdapat perbedaan ulama’, ada yang tetap menyatakan wajib dan ada yang menyatakan sunnah. Sebab jika diluar shalat maka, dikhawatirkan dapat meninggalkan pekerjaan yang harus dilakukan ketika menerapkan perintah ayat di atas atau lebih gampangnya dapat mendatangkan masyaqqah (kesulitan).

Sementara apabila menghadiri suatu acara yang didalamnya terdapat sesi pembacaan Al-Qur’an maka sangat dimakruhkan apabila tidak mendengarkan dan memperhatikannya. Dengan mendengarkan dan memperhatikan secara sungguh-sunggguh maka, mimimalnya dapat mengantarkan kita untuk menghayati dan meresapi ayat-ayatnya dan berusaha untuk memahami kandungan-kandungannya.

 

Menilik Peta Perkembangan Tafsir Modern di Mesir dari Kacamata J.J.G. Hans Jansen

0
Hans Jansen
Hans Jansen

Mesir tampaknya memang telah digariskan menjadi kiblat pemikiran Islam, terutama setelah pamor Baghdad sebagai the golden age of Islam menyuram. Masa keemasan pemikiran Islam di Mesir ditandai dengan tampilnya Muhammad Abduh dan Rasyid Rida. Di antara diskursus yang meramaikan peta pemikiran Mesir adalah tafsir Al-Qur’an. Berbagai varian tafsir lahir dari tanah Mesir yang subur dengan intelektualitasnya. Sebagaimana kajian yang dilakukan oleh J.J.G. Hans Jansen. Berbeda dari akademisi-akademisi sebelumnya, Jansen memotret perkembangan tafsir modern Mesir secara keseluruhan.

Menariknya, diskursus tafsir Al-Qur’an yang dilakukan Jansen merupakan kajian awal yang mereview tafsir mufasir perempuan pertama, yakni Aisyah ‘Abdurrahman Bint Asy-Syathi’, yang mana peneliti Barat banyak yang belum membahasnya. Jansen mengawali peta perkembangan tafsir Mesir periode modern dengan tafsir Muhammad Abduh.  Bagi Jansen, Abduh adalah embrio pembaruan kajian Al-Qur’an, meskipun jika dilihat ke belakang embrio penafsiran di Mesir sudah tumbuh jauh sebelum fase Abduh dan Rasyid Rida, bahkan barangkali sudah ada sejak fase imperium Islam di Mesir pada masa Umar bin Khattab (Dzikri Nirwana, 2010: 27).

Berusaha untuk menfokuskan kajiannya, maka Jansen memilih Mesir dan tafsir modern berdasarkan: pertama, modernisasi pemikiran Islam tidak dapat dilepaskan dari embrio pembaruan Abduh, di mana ia sekaligus melakukan renovasi besar-besaran terhadap kajian Al-Qur’an.  Kedua, banyaknya koleksi “tafsir baru”, di antaranya al-Tafsir al-Bayani li al-Qur’an al-Karim yang merupakan satu-satunya tafsir karya mufasir perempuan-Bint Syathi’. Ketiga, Jansen merupakan doctor muda Leiden pada awal dekade 60-an yang berada di bawah bimbingan J. Brugman-seorang spesialis sastra dan budaya Timur Tengah.

Baca Juga: Bint As-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Selanjutnya, dalam menganalisis objek kajiannya Jansen mengkategorikan ke dalam tiga kelompok, pertama, tafsir yang mengadopsi ilmu pengetahuan modern yang tidak bersebrangan dengan Al-Qur’an-selanjutnya disebut tafsir ‘ilmi. Kedua, karya tafsir yang ditujukan untuk membantu pembaca dalam memahami Al-Qur’an atau Jansen memyebutnya tafsir lughawi. Ketiga, tafsir yang bersinggungan dengan keseharian umat atau biasanya disebut dengan tafsir praktis (tafsir adabi ijtima’i).

Sekilas tentang J.J.G. Hans Jansen

Johannes Juliaan Gijsbert Hans Jansen adalah seorang pengarang, politikus dan sarjana Islam kontemporer Belanda. Lahir di Belanda tepatnya pada 17 November 1942 dan meninggal pada 5 Mei 2015. Jansen tertarik untuk mempelajari teologi namun kemudian beralih mendalami bahasa Arab dan Semitik. Ia lulus dan meraih gelar sarjana dalam bidang bahasa Arab dari Universitas Leiden.

Jansen pernah bekerja di Mesir menjadi Direktur Institut Penelitian Belanda di Kairo. Semasa inilah dia menekuni dan meneliti tentang tafsir kontemporer yang berkembang di Mesir. Selesai dari Mesir, tepatnya pada tahun 1983 ia menjadi profesor asosiasi pembelajaran Arab dan Islam di Universitas Leiden.

Beberapa karyanya yang dialihbahasakan ke Bahasa Inggris antara lain: The Interpretation of the Koran in Modern Egypt (Leiden: E.J. Brill, 1974, The Neglected Duty: The Creed of Sadat’s Assassins and Islamic Resurgence in the Middle East (New York: Macmillan, 1986), The Dual Nature of Islamic Fundamentalism (London: Hurst & Company, 1997) 

Muhammad Abduh: Pioner Tafsir Modern dan Tawaran Tafsir Praktis

Dalam bukunya yang telah dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia berjudul “Diskursus Tafsir Modern”, Hans Jansen menganalisis bahwa belum ada tafsir baru di Mesir pada abad ke-19. Kemudian muncullah Abduh dan Rasyid Rida sebagai ‘sang pembabat alas’ bagi sejumlah tradisi tafsir di abad ke-19. Upaya renovasi yang dilakukan Abduh adalah dengan membuang bobot pengetahuan tafsir klasik yang dianggapnya terlalu membebani pembaca. Sebaliknya, dalam tafsirnya, Abduh menawarkan tafsir yang bernarasikan nasihat yang praktis, arif dan bijaksana untuk menjawab problem keseharian umat Muslim di Mesir pada zamannya. Selain itu Abduh menekankan pada nasihat-nasihat akan pentingnya pendidikan, dikarenakan pendidikan sangatlah penting bagi masyarakat Mesir untuk mengusir penjajah.

Hans Jansen juga memperlihatkan bahwa tradisi tafsir yang dibangun oleh Abduh merupakan sebuah gebrakan dari tafsir sebelumnya yang sangat padat dengan gramatika bahasa, istilah Arab, biografi Nabi, hukum dan dogma Muslim, dan lain-lain. Sementara Abduh menempatkan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, di mana Al-Qur’an mudah dipahami secara praktis. Nilai kebaruan Abduh yang lain juga diungkap oleh Jansen, bahwa Abduh menilai Al-Qur’an sebagai kitab yang seharusnya umat Islam bisa merumuskan pemikiran-pemikiran mengenai dunia sekarang dan dunia yang akan datang.

Deretan Mufasir Penerus dan Pengkritik Tradisi Muhammad Abduh

Setelah Abduh wafat, kerja-kerja menafsirkan Al-Qur’an yang menjadi ciri khasnya dilanjutkan oleh Rasyid Rida. Meskipun awalnya tafsir yang ditulis Rida tidak sesukses Abduh. Namun dengan tendensi Abduh, akhirnya tafsir lanjutan Rasyid Rida diterima masyarakat Mesir (Jansen: 30). Pada akhirnya tafsir Abduh dan Rida mencapai kesuksesan besar, di mana tafsirnya menjadi kutipan otoritatif di kalangan ulama Mesir progresif maupun konservatif.

Selain tafsir praktis yang mudah dipahami, kebaruan dalam diskursus tafsir di Mesir setelah ‘direnovasi’ oleh Abduh adalah munculnya tafsir ‘ilmi. Hans Jansen menjelaskan kemunculan Farid Wajdi dengan karya tafsirnya Safwat al-Irfa>n yang menyusun tafsir Al-Qur’an pertama yang mengintegrasikan tafsir ilmiah modern. Tidak hanya itu, Wajdi juga memunculkan metode baru dalam penulisan tafsir Al-Qur’an. Pertama, tafsir didahului dengan esai mengenai tafsir Al-Qur’an secara umum. Esai pengantar ini telah dicetak ulang secara terpisah.

Kedua, Wajdi menuliskan tafsirnya ke dalam dua bagian; bagian pertama memuat apa yang lazimnya disebut tafsir-penjelasan-penjelasan sederhana terhadap kata yang sulit serta analisis sintaksis terhadap kalimat-kalimat yang susah dipahami. Penjelasan ini terletak di dalam bagian tafsir al-alfaz. Sementara bagian kedua memuat bagian tafsir al-ma’a>ni (penjelasan terhadap makna) yang oleh Wajdi dijelaskan menggunakan bahasa Arab standar kontemporer dan diselingi dengan ungkapan-ungkapan kekaguman dan pentingnya Al-Qur’an. Ketiga, tafsir Wajdi merupakan salah satu tafsir awal yang menjadikan sejarah alam hanya salah satu aspek dari penafsiran Al-Qur’an (Jansen: 67-68).

Mufasir lainnya adalah Amin al-Khuli, yakni Menyusun tafsir dengan tetap melanjutkan pemikiran Abduh namun dibarengi dengan kritik atas upaya yang dilakukan Abduh yang membatasi perhatiannya pada gramatika tafsir dan membuatnya anti-filologi. Bagi Al-Khuli gramatika sangatlah penting dalam memahami Al-Qur’an, karena tafsir berangkat dari makna literal yang benar terlebih dahulu untuk sampai pada menjemput hidayah.

Baca Juga: Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi

Oleh karena itu, Al-Khuli menemukan jalan keluar atas dilematika antara filologi dan pengetahuan. Tulisan-tulisannya selanjutnya sangat berpengaruh pada hubungan antara filologi dan penafsiran Al-Qur’an di Mesir (Jansen: 105). Secara ideal  Al-Khuli menyatakan bahwa studi Al-Qur’an dibagi ke dalam dua bagian: pertama, tentang latar belakang Al-Qur’an, meliputi asbab al-nuzul dan tentang bahasa masyarakat yang dituju oleh Al-Qur’an. Kedua, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an harus melihat studi-studi terdahulu.

Upaya Al-Khuli untuk mengkritik tafsir Abduh ini selanjutnya dipraktekkan oleh istrinya ‘Aisyah Abdurrahman Bin Syathi’ dalam menafsirkan tujuh surat pendek Al-Qur’an. Tulisan tafsirnya kemudian dipublikasikan hingga edisi ketiga pada tahun 1968, di mana hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Mesir menaruh perhatian terhadap karyanya. Hans Jansen menjelaskan bahwa Bint Syathi’ benar-benar membuktikan kompetensinya sebagai seorang filolog.

Hal ini dibuktikan dari tafsirnya yang selalu diawali dengan suatu bahasan yang rinci tentang lafaz-lafaz yang dipakai di dalam teks Al-Qur’an dan memberikan kemungkinan-kemungkinan maknanya. Di samping itu, sebagaiman Al-Khu>li, Bint Syathi’ juga mengemukakan referesni yang berasal dari tafsir Al-Qur’an terdahulu.

Mufasir penerus Abduh selanjutnya adalah Muhammad Musthofa Al-Maraghi. Sebagai seorang tokoh yang pernah menjabat sebagai rector Al-Azhar selama dua periode, Al-Maraghi tidak menulis tafsir Al-Qur’annya secara lengkap. Pernyataannya tentang tafsir adalah perlunya pengetahuan yang cukup atas “ilmu pengetahuan modern”, di mana ia menjadi syarat penting bagi seorang mufasir kontemporer. Kendati demikian, Al-Maraghi menolak penafsiran ilmiah. Wallahu a’lam

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 45-50

0
Tafsir Surah Al Mursalat
Tafsir Surah Al Mursalat

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 45-50 ditegaskan lagi bahwa Allah benar-benar akan mengutuk orang-orang yang mendustakan-Nya, sisa-sia kebahagian di dunianya hanyalah sedikit sedangkan balasan di akhirat berlangsung kekal. Kemudian Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 45-50 khususnya ayat 48 merupakan ayat yang turun ketika Rasulullah berdakwah di Saqif, sebuah wilayah yang dekat dengan Makkah. Allah perintahkan kaum Saqif untuk rukuk dan bersujud, akan tetapi dengan keras kepala mereka menolak, oleh sebab itu dalam ayat 49-50 sebagai penutup Tafsir Surah Al Mursalat kembali Allah tegaskan akan balasan bagi mereka yang mendustakan-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 45-50


Ayat 45

Dalam ayat ini sekali lagi Allah mengutuk orang-orang yang mendustakan-Nya, “Kecelakaan bagi orang-orang yang mendustakan (Kami) pada hari itu.” Kecelakaan bagi mereka karena mendustakan apa yang telah diberikan Allah, yaitu kemuliaan orang bertakwa dan dengan kehinaan mereka pada hari Kiamat. Sungguh sial nasib orang yang mendustakan itu.

Ayat 46

Kemudian dalam ayat ini Allah berseru dan mengancam dengan firman-Nya agar mereka makan dan menikmati sisa-sisa kesenangan hidup di dunia yang tinggal sedikit itu, sebab kelak pada waktunya Allah akan memberlakukan sunah berupa kedatangan siksa dan azab buat mereka seperti berulang-ulang dijatuhkan pada bangsa-bangsa sebelum mereka.

Ayat 47

Allah lalu mengulangi lagi celaan dan ancaman-Nya kepada orang yang mendustakan-Nya. Mereka telah melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan diri mereka terbenam dalam azab dan kesengsaraan abadi. Padahal di dunia mereka cuma menikmati kesenangan yang sangat sedikit dan tiada lama waktunya.


Baca Juga: Gambaran Delusi Para Penolak Kebenaran dalam Surah Al-Hajj Ayat 46


Ayat 48

Diriwayatkan bahwa ayat ini turun ketika Rasulullah saw berdakwah menyuruh penduduk negeri Saqif, suatu negeri yang tidak jauh dari Mekah untuk salat menyembah Allah. Mereka menjawab dengan sombong, “Kami tak akan ruku‘ (salat) karena bukan merupakan suatu kebiasaan kami.” Nabi menjawab bahwa tidak ada kebaikan bagi suatu agama yang tidak ada padanya ruku‘ dan sujud. Ada yang mengatakan perintah ini adalah ketika orang-orang kafir disuruh sujud di hadapan Allah di hari akhirat, mereka tak sanggup melakukannya, sebab tidak biasa mengerjakan di atas dunia.

Allah menyatakan bahwa mereka diperintahkan ruku‘ (mengerjakan salat), tetapi mereka enggan. Apabila disuruh patuh dan taat serta takut kepada Allah dan pada hari yang di waktu itu semua mata tunduk karena takut, mereka bersikap keras kepala.

Ayat 49-50

Sebagai penutup dari dua ayat terakhir ini, Allah mengulang kembali kutukan-Nya terhadap orang-orang yang mendustakan perintah dan larangan-Nya. Kecelakaan besar bagi orang yang mendustakan karena tidak patuh kepada perintah-Nya dan tidak mau meninggalkan larangan-Nya.

Setelah mencela orang kafir dengan sangat keras agar mengikuti agama yang benar, maka Allah mengakhiri surah ini dengan menegaskan bahwa orang-orang musyrik itu sama sekali tidak mau mendengarkan nasihat para dai yang mengajak mereka untuk mengikuti ajaran Ilahi bagi kepentingan kehidupan mereka di dunia dan akhirat. Allah mengatakan, “Maka kepada perkataan apakah selain Al-Qur’an mereka akan beriman?” Jadi dengan keterangan-keterangan Al-Qur’an yang begitu jelas dan mudah dimengerti disertai dengan bukti-bukti yang jelas, mereka tidak juga mau beriman, maka manakah lagi kebenaran yang mampu membawa mereka kepada petunjuk Ilahi?”

Dari ayat terakhir ini jelaslah bahwa Allah telah menetapkan ajaran  Al-Qur’an tentang dunia dan akhirat yang menghimpun sekalian keterangan yang ada, lengkap dengan segala seluk-beluknya sebagai alasan yang kuat. Dengan demikian, Al-Qur’an satu-satunya kitab suci yang dikenal manusia yang mengandung keterangan yang begitu jelas dan lengkap. Hanya manusia tidak mau beriman menjelang ajal datang mencabut kehidupannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Kisah Nabi Syuaib dan Penduduk Madyan dalam Al Quran


 

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 39-44

0
Tafsir Surah Al Mursalat
Tafsir Surah Al Mursalat

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 39-44 Allah menantang orang-orang kafir dengan ejekan kepada mereka agar menggunakan kepandaiannya untuk menyelamatkan diri dari siksaan-Nya. Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 39-44 ini juga menggambarkan keadaan surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir, buah-buahan segar berasa manis dan boleh dipetik kapan saja, itulah balasan bagi orang-orang yang beriman selama hidupnya di dunia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 29-38


Ayat 39

Dalam ayat ini, Allah menantang dengan cara mengejek orang-orang kafir dan orang-orang yang merasa mempunyai kekuatan membela diri, untuk menggunakan kepandaian dan tipu dayanya guna menyelamatkan diri dari siksaan-Nya.

Selain itu, ayat ini memberikan suatu pelajaran keras bagi orang-orang yang menentang agama Islam, yang selalu menipu dan mempermainkan orang-orang yang beriman bahwa kelak pada saatnya mereka akan mengetahui betapa lemahnya alasan mereka yang suka mengolok-olokkan agama itu.

Ayat 40

Allah mengulangi lagi ancaman-Nya bahwa kecelakaan besar di hari kebangkitan bagi orang-orang yang mendustakan-Nya. Kecelakaan buat mereka di hari kebangkitan karena waktu itulah terbukti kelemahan dan mereka berhadapan dengan Allah yang mereka dustai. Pada saat seperti itu terbukti betapa batalnya dakwaan yang mereka yakini selama ini.

Ayat 41

Dalam ayat ini dan ayat berikutnya Allah menerangkan berbagai kenikmatan buat orang-orang yang bertakwa yaitu naungan surga yang berada di (sekitar) mata air, di bawah pohon rindang yang mengalir anak-anak sungai di bawahnya, tidak pernah mereka merasakan udara panas dan gejolak api yang membakar. Dalam ayat ini, Allah berfirman:

هُمْ وَاَزْوَاجُهُمْ فِيْ ظِلٰلٍ عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِ مُتَّكِـُٔوْنَ ۚ     ٥٦

Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan. (Yasin/36: 56)


Baca Juga: Zanjabil dan Kafur: Dua Minuman Surga yang Disebutkan dalam Al-Qur’an


Ayat 42

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa di dalam surga terdapat anak sungai, berbagai jenis buah-buahan yang cita rasanya manis dan lezat, boleh dipetik dan dimakan kapan saja dikehendaki tanpa ada yang mengganggu. Bagi yang memakannya tidak perlu takut dan khawatir akan menimbulkan penyakit kalau terlalu banyak memakannya.

Ayat 43

Penduduk surga diterima dengan sambutan yang ramah dari penjaganya, yang mengatakan bahwa orang yang berbuat baik di dunia dahulu, dibolehkan menikmati segala buah-buahan dan minuman yang telah tersedia selama-lamanya. Mereka tidak akan sakit dan tidak pula perlu khawatir akan habis. Inilah balasan terhadap segala jerih payah mereka dulu dengan beramal menaati Allah, berjuang bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada-Nya.

Ayat 44

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa semua kenikmatan itu merupakan pemberian dari-Nya sebagai pembalasan bagi orang yang bertakwa, dan orang yang senantiasa mengamalkan kebaikan dengan dasar dan menghambakan diri kepada-Nya. Tidak ada kebaikan yang luput dari pembalasan pahala Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat lain:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اِنَّا لَا نُضِيْعُ اَجْرَ مَنْ اَحْسَنَ عَمَلًاۚ    ٣٠

Sungguh, mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang baik itu. (al-Kahf/18: 30)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 45-50


Tafsir Ahkam: 3 Masalah Terkait Membasuh Kaki Saat Wudhu yang Penting Diperhatikan

0
Tafsir Ahkam: 3 Masalah Terkait Membasuh Kaki Saat Wudhu yang Penting Diperhatikan
Ilustrasi Membasuh Kaki Saat Wudhu

Ada berbagai permasalahan penting yang disebutkan oleh ahli tafsir ketika menjelaskan ayat tentang kewajiban berwudhu apabila hendak mengerjakan salat. Tiga di antaranya berhubungan dengan ketentuan-ketentuan membasuh kaki yang penting diperhatikan oleh setiap mukmin. Yaitu, Pertama, apakah mata kaki termasuk anggota yang wajib dibasuh? Kedua, yang diwajibkan pada kaki apakah membasuh ataukah cukup mengusap? Ketiga, manakah anggota kaki yang diistilahkan ka’bun atau yang menjadi batas kaki yang wajib di basuh?

Ayat Tentang Kewajiban Membasuh Kaki Saat Wudhu

Ulama’ mengulas hukum kewajiban membasuh kaki saat wudhu merujuk pada firman Allah yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak berdiri melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki (QS. Al-Ma’idah [5] :6).

Permasalahan pertama, yakni apakah mata kaki sebagai batas kaki wajib dibasuh saat wudhu, adalah permasalahan yang juga terjadi pada pembasuhan siku sebagai batas dari tangan. Mayoritas ulama menyatakan mata kaki wajib dibasuh. Sedangkan Imam Zufar menyatakan sebaliknya. Perbedaan ini bermuara pada apakah batas sesuatu masuk pada hukum yang mengenai bagian yang dibatasi? (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/485 dan Al-Majmu’/1/422).

Permasalahan kedua, yakni yang diwajibkan pada kaki apakah membasuh atau mengusap? Permasalahan ini bermuara pada sebagian qiraah yang menyatakan bahwa waarjulakum dapat dibaca kasrah menjadi waarjulikum. Dibaca kasrah ini sebab athaf kepada lafad ruusikum yang di-jer-kan oleh ba’. Sehingga antara kepala dan kaki memiliki kesamaan dalam perlakuan tatkala wudhu, yakni diusap (Tafsir Al-Jami’ li Ahkm al-Qur’an /5/487).

Imam Al-‘Umrani menjelaskan, ada empat pendapat terkait membasuh atau mengusap kaki. Pendapat pertama, yakni mayoritas ulama’, menyatakan kaki wajib dibasuh. Pendapat kedua, yakni dari Syiah Imamiyah, kaki hanya wajib diusap. Pendapat ketiga, yakni pendapat Ibn Jarir Ath-Thabari, boleh mengusap dan boleh membasuh. Pendapat keempat, yakni sebagian Mazhab adz-Dzahiriyah, wajib mengusap dan wajib juga membasuh (Al-Bayan/1/130).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Apakah Siku Wajib Dibasuh Saat Wudhu?

Permasalahan ketiga, yakni manakah anggota kaki yang diistilahkan ka’bun atau yang menjadi batas kaki yang wajib dibasuh? Ibn Katsir menjelaskan bahwa sebagian pendapat menyatakan bahwa ka’bun dalam ayat di atas bukanlah mata kaki sebagaimana umumnya dipahami. Pendapat ini adalah pendapat Syiah yang berlawanan dengan mayoritas ulama (Tafsir Ibn Katsir/3/59).

Syiah meyakini bahwa ka’bun adalah tulang bulat di punggung telapak kaki, atau mungkin bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dinamai dengan tumit. Sehingga menurut mereka, satu kaki hanya memiliki satu ka’bun. Para ulama menentang pendapat ini dengan hadis yang diriwayatkan dari sahabat Nu’man ibn Basyir dan berbunyi (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/488):

أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِوَجْهِهِ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ « أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ – ثَلاَثاً – وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ ». قَالَ فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ كَعْبَهُ بِكَعْبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَتِهِ وَمَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ

Rasulullah salallahualaihi wasallam menghadapkan diri beliau kepada orang-orang. Lalu beliau bersabda: “Rapikan shaf-shaf kalian”. Beliau mengulanginya tiga kali. “Demi Allah, hendaknya kalian merapikan shaf-shaf kalian, atau Allah akan membalik hati kalian”. Nu’man berkata: Aku melihat salah seorang menempelkan mata kakinya ke mata kaki temannya, menempelkan lututnya ke lutut temannya, dan menempelkan bahunya ke bahu temannya (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan selainnya).

Dalam hadis di atas, satu orang menempelkan ka’bun-nya ke ka’bun orang di sampingnya, menunjukkan ka’bun itu letaknya di samping. Dan masing-masing kaki memiliki dua ka’bun di samping kanan dan kirinya. Sehingga lebih tepat memaknai ka’bun sebagai mata kaki daripada tumit.

Kesimpulan

Menurut mayoritas ulama, salah satu kewajiban dalam wudhu adalah membasuh kaki. Batas kaki di sini adalah mata kaki yang juga wajib dibasuh. Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Tentang Batas Mengusap Kepala Saat Wudhu

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 29-38

0
Tafsir Surah Al Mursalat
Tafsir Surah Al Mursalat

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 29-38 mengisahkan orang-orang yang hendak dimasukkan ke dalam neraka akan ditegur malaikat dengan suara yang keras. Di dalam neraka manusia-manusia tidak sanggup lagi berbicara karena terpukau dengan siksaan yang dahsyat. Sekali lagi Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 29-30 menegaskan bahwa pada hari itu akan terpisah kebenaran dan kebatilan, siapapun tidak akan bisa terlepas dari dosa-dosanya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 24-28


Ayat 29

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang bernasib malang yang hendak dimasukkan ke dalam neraka Jahanam, akan ditegur oleh malaikat penjaga dengan suara keras agar mereka pergi kepada azab dan siksaan yang didustakan ketika masih di dunia dahulu.

Ayat 30

Gumpalan asap neraka itu bercabang tiga. Satu bagian di sebelah kanan, satu cabang di kiri, dan yang ketiga di atas pundak mereka, sehingga mereka terkepung di dalamnya dan tidak dapat keluar lagi. Di dalam ayat yang lain, Allah berfirman:

اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلظّٰلِمِيْنَ نَارًاۙ اَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا

Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang zalim, yang gejolaknya mengepung mereka. (al-Kahf/18: 29)

Ayat 31

Allah mengatakan dalam ayat ini bahwa biarpun neraka itu disebutkan punya lindungan namun bukan melindungi mereka dari panasnya api neraka. Tidak ada tempat beristirahat dan tempat berteduh dari kepanasan. Ditegaskan pula di sini bahwa lindungan mereka bukan lindungan seperti yang diperoleh seorang mukmin, karena tidak ada yang dapat menaungi mereka dari panas gejolak api neraka.

Ayat lain menerangkan:

فِيْ سَمُوْمٍ وَّحَمِيْمٍۙ    ٤٢  وَّظِلٍّ مِّنْ يَّحْمُوْمٍۙ    ٤٣  لَّا بَارِدٍ وَّلَا كَرِيْمٍ   ٤٤

(Mereka) dalam siksaan angin yang sangat panas dan air yang mendidih, dan naungan asap yang hitam, tidak sejuk dan tidak menyenangkan. (al-Waqi’ah/56: 42-44)


Baca Juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Ayat 32-34

Allah menyebutkan pula bahwa neraka itu selalu melontarkan bunga api sebesar dan setinggi istana ke seluruh penjuru. Allah meng-umpamakan gejolak api neraka Jahanam yang sangat dahsyat itu dengan unta kuning yang sangat banyak dan bergerak cepat. Allah mengulangi lagi ancamannya bahwa kecelakaan bagi orang yang mendustakan karena mereka tidak dapat mengelakkan diri dari siksaan yang begitu hebat.

Ayat 35

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa pada hari itu manusia tidak bisa berbicara dan hanya terpukau karena kedahsyatan keadaan. Mereka tidak diizinkan berbicara, dan andaikata diizinkan pun, hal itu tidak ada gunanya.

Ayat 36

Allah selanjutnya menerangkan bahwa mereka tidak diizinkan untuk minta uzur, sebab hari itu bukanlah hari pembelaan diri, tetapi hari untuk menerima keputusan. Mereka dapat mengeluh dan menyesali nasib, namun untuk mengajukan sanggahan tidak mungkin lagi karena keputusan Allah tidak dapat diganggu gugat. Dalam Surah al-An‘am/6: 23, orang musyrik di hari itu menyatakan bahwa mereka tidak mau musyrik lagi. Pada Surah an-Nisa’/4: 42 disebutkan bahwa mereka tidak bisa menyembunyikan pembicaraannya, dan dalam ayat az-Zumar/39: 31 disebutkan mereka orang-orang kafir berdebat di muka Allah, saling menuduh, dan saling menyalahkan.

Ayat 37

Dalam ayat ini, Allah mengulangi lagi ancaman-Nya bahwa kecelakaan besar di hari itu bagi orang yang mendustakan. Sebab rasul telah mengajak mereka supaya beriman dan mengancam dengan memperingatkan mereka dengan akan datangnya azab yang mereka hadapi itu. Sayang mereka tidak mau menerima dan mendengarkan ajakan itu.

Ayat 38

Allah menerangkan bahwa hari ini adalah hari keputusan. Inilah hari yang memisahkan antara kebenaran dan kebatilan, hari ketika diungkapkan kebenaran dan kepalsuan seseorang.

Di hari itu, Allah menghimpun semua manusia yang pernah hidup di dunia ini sejak zaman Nabi Adam sampai akhir masa pada tempat yang satu. Tujuannya untuk memberikan suatu keputusan hukum buat mereka siapa yang salah dan siapa yang benar, sehingga masing-masing orang memperoleh haknya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 39


Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 24-28

0
Tafsir Surah Al Mursalat
Tafsir Surah Al Mursalat

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 24-28 mengajak manusia untuk melihat kekuasaan Allah yang terbentang luas di cakrawala ini. Seperti penciptaan bumi dan atmosfernya, gunung-gunung yang menjadi pasak bumi dan air tawar yang diminum setiap hari. Semua itu merupakan anugerah dari Allah untuk semua makhluknya. Selengkapnya baca Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 24-28…..


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 20-23


Ayat 24

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa terlepas dari semua itu kalau memang manusia tak mau mengubah tabiat dan karakternya, tetap saja kafir laknat, dan lebih dari itu juga berusaha merongrong kewibawaan Ilahi itu dengan mempersekutukan-Nya dengan makhluk lain ciptaan-Nya, dan sama sekali tidak yakin adanya hari kebangkitan, hari manusia menerima ganjaran amal perbuatan baiknya, maka Tuhan mengancam untuk kedua kalinya, “Celaka besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.”

Ayat 25

Setelah menyebutkan berbagai rupa nikmat-Nya di sekitar proses kejadian manusia, maka dalam ayat ini, Allah mengajak manusia memperhatikan dengan seksama terhadap nikmat-Nya yang ada di cakrawala ini. Hal ini diungkapkan Allah dengan kalimat pertanyaan, “Bukankah Kami telah menciptakan bumi yang terhampar dan terbentang begitu luas sebagai tempat berkumpul dan tempat hidup bersama-sama mencari penghidupan.

Secara saintifik, planet bumi ini beserta atmosfernya telah diciptakan Allah dengan benar dan tepat. Bumi kita dan atmosfernya mengandung substansi atau materi yang mendukung adanya proses kehidupan, antara lain adanya gas nitrogen (N2) yang tak berbahaya bagi makhluk hidup, namun sangat dibutuhkan untuk timbulnya suatu proses kehidupan, dan gas oksigen (O2), yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan kehidupan semua makhluk hidup. Oleh sebab itu, di bumi semua kehidupan berkumpul (lebih detail lihat Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid 5 Surah Ibrahim/14:19).

Ayat 26

Kegunaan bumi diciptakan terhampar dan tempat berkumpul bukan saja untuk yang masih hidup yang tinggal di atas permukaannya, melainkan juga bagi yang telah meninggal dunia untuk dikuburkan dalam perutnya. Itulah sebabnya dikatakan bumi untuk orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Kifat dalam bahasa Arab berarti kuburan bagi yang meninggal dan rumah bagi yang masih hidup.

Menurut para ilmuwan, bagian atas bumi merupakan lempengan-lempengan kulit bumi yang saling berinteraksi satu sama lain dan mengakibatkan terjadinya deformasi kerak bumi yang antara lain dimanifestasikan dengan pembentukan pegunungan, gunung api dan gempa bumi. Pegunungan-pegunungan yang tinggi ikut serta dalam siklus hidrologi dimana air akhirnya tersimpan di daratan dan menjadi sumber air minum manusia dan kehidupan lainnya.

Ayat 27

Selain itu, Allah juga mengarahkan perhatian manusia kepada tujuan penciptaan gunung yang menjulang tinggi dari permukaan bumi. Ia dikatakan sebagai pasak bumi dan dengan demikian, manusia merasa tenteram tinggal di bumi. Gunung itulah yang bertugas sebagai pasak tiang untuk menjaga keseimbangan bumi tersebut. Terkadang sebagian badan gunung-gunung itu terbenam dalam tanah atau dalam laut maupun sungai-sungai.

Selanjutnya Allah mengajak manusia memikirkan tentang air tawar yang diminum setiap hari, sebagai anugerah dari-Nya. Dialah yang menurut ayat ini memberikan minum. Terkadang air itu tercurah dari langit yang dibawa hujan yang berasal dari gumpalan awan atau dari salju mencair dan adakalanya pula mengalir dari anak-anak sungai atau memancar dari mata air, di bawah celah-celah gunung maupun di pinggir kali, dan sebagainya.

Ayat 28

Oleh karena itu, bagi siapa yang masih mendustakan nikmat Allah itu terkena oleh kutukan ayat ini, “Celaka besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 29


Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 20-23

0
Tafsir Surah Al Mursalat
Tafsir Surah Al Mursalat

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 20-23 Allah mengingatkan kepada manusia tentang asal-usul penciptaannya. Dalam Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 20-23 ini dijelaskan bahwa manusia diciptakan secara bertahap yang berawal dari setetes mani yang kemudian Allah jadikan sebaik-baiknya susunan pada tubuh manusia daripada susunan pada makhluk lainnya.

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 20-23 ini mengajak kita untuk berpikir akan kekuasaan Zat yang Maha Pencipta sehingga kita senantiasa bersyukur kepada Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 12-19


Ayat 20-22

Pada ayat ini, Allah mengingatkan kembali dengan suatu pertanyaan, “Tidakkah manusia itu dijadikan dari setetes air yang hina?” Air yang hina yang disebut mani ini tersimpan dalam tempat yang kokoh yakni rahim ibu. Di situlah mani sang ayah dengan sel telur ibu bercampur dan mengikuti proses kejadian tahap demi tahap yang diatur dengan sangat rapi dan teliti oleh yang Mahakuasa. Setelah cukup waktu yang ditetapkan, maka lahirlah calon manusia itu dalam bentuk bayi.

Ketiga ayat di atas kembali mengulang mengenai peran air mani dalam perkembangan manusia. Namun, dalam ayat ini disebutkan rahim secara khusus. Untuk itu, tekanan interpretasi yang berkait dengan ayat ini adalah rahim.

Menurut sains, rahim atau uterus adalah tempat dimana embrio dan janin tumbuh dan berkembang, sebelum dilahirkan dalam bentuk anak manusia yang utuh. Rahim disebutkan sebagai tempat yang kokoh dan aman karena beberapa hal, yaitu:

  1. Letaknya terlindung karena terletak di antara tulang panggul. Ia ‘dipegang’ secara kuat di kedua sisinya oleh otot-otot, yang pada saat bersamaan memberikan kebebasan kepada rahim untuk bergerak dan tumbuh sampai beberapa ratus kali ukuran sebelumnya, pada saat puncak kandungan sebelum melahirkan.
  2. Pada saat kehamilan, dihasilkan suatu cairan yang dinamakan progesteron, atau biasa disebut sebagai hormon kehamilan, yang berfungsi untuk merendahkan frekuensi kontraksi rahim.
  3. Embrio yang ada di dalam rahim dikelilingi oleh beberapa lapisan membran yang menghasilkan suatu cairan dimana embrio itu berenang di dalamnya. Hal ini menjaga embrio dari kemungkinan rusak akibat benturan dari luar.;Ada satu ayat lain yang mengindikasikan tahapan-tahapan pengembangan dan keamanan yang ditawarkan rahim kepada janin:

يَخْلُقُكُمْ فِيْ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ خَلْقًا مِّنْۢ بَعْدِ خَلْقٍ فِيْ ظُلُمٰتٍ ثَلٰثٍۗ ذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُۗ  لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۚ فَاَنّٰى تُصْرَفُوْنَ  ٦

… Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang memiliki kerajaan. Tidak ada tuhan selain Dia; maka mengapa kamu dapat dipalingkan? (az-Zumar/39: 6)

Mengenai tahapan-tahapan sudah kita bahas di depan. Sedangkan mengenai keamanan janin di dalam rahim, para ahli menemukan adanya tiga lapis membran (di dalam ayat di atas disebutkan dengan ‘tiga kegelapan’) yang dapat mengamankan janin selama berada di dalam rahim, yaitu:

  1. Lapisan membran amnion yang mengandung cairan sehingga janin dalam keadaan berenang. Kondisi demikian ini melindungi janin apabila ada benturan dari luar. Di samping itu, posisi berenang ini memberikan kesempatan kepada janin dalam memposisikan diri saat akan dilahirkan.
  2. Lapisan membran chorion
  3. Lapisan membran decidua;Beberapa peneliti menghubungkan tiga lapisan kegelapan dalam ayat di atas dengan lapisan membran amniotik yang mengelilingi rahim, dinding rahim itu sendiri, dan dinding abdomen di bagian perut.

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 14-16: Asal Mula Penciptaan Manusia dan Jin


Ayat 23

Dalam urusan mengatur dan menetapkan masa lamanya si anak “tersimpan” dalam rahim itu dan kemudian menetapkan bila dia harus lahir sebagai anak yang sempurna ke alam ini, adalah urusan Allah semata. Manusia boleh mengetahui lewat pikirannya, namun soal pengaturannya tetaplah di tangan Yang Mahakuasa. Terhadap soal ini, Allah menegaskan bahwa Dialah sebaik-baiknya yang menentukan.

Betapa tepat, indah, dan harmonis kejadian manusia yang diciptakan-Nya itu dapat kita bandingkan, umpamanya, dengan bentuk dan rupa hewan. Sekalipun jenis makhluk hewan itu tidak ada yang cacat maupun yang janggal menurut penglihatan kita, namun ciptaan dan susunan anatomi tubuh manusia tetap jauh lebih sempurna, indah, dan menarik, dibandingkan dengan segala makhluk hidup yang ada. Dengan merenungkan hal itu, barulah kita menyimpulkan bahwa memang Tuhanlah yang sebaik-baik menentukan.

Ayat ini mengandung ajakan bagi manusia untuk berpikir dan menyimpulkan sikap hidupnya terhadap Zat yang menjadikan itu. Apakah tidak patut manusia bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya? Apakah tidak selayaknya kalau manusia menanggalkan sikap ingkar dan keras kepalanya setelah ia menyadari sepenuhnya betapa kasih sayang Allah, dan betapa Allah telah membimbing kehidupan ini dengan mengirim rasul-Nya guna mengajarkan ajaran tentang keesaan-Nya?

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 24-28


Tafsir Surah Al-Isra Ayat 82: Al-Qur’an Sebagai Syifā’ (Penyembuh) Lahir dan Batin

0
Tafsir Surah Al-Isra Ayat 82: Al-Qur’an Sebagai Syifā’ (Penyembuh) Lahir dan Batin
Surah Al-Isra Ayat 82

Islam sebagai ajaran agama memiliki dua sumber yang bersifat primer dan fundamental, yaitu al-Qur’an dan hadis. Keduanya merupakan pedoman hidup yang dapat mengantarkan seseorang kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Siapa memegang teguh keduanya akan selamat dan bahagia. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan bahkan mengingkari keduanya, tidak akan selamat dan di kemudian hari akan mendapatkan kerugian.

Al-Qur’an memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai petunjuk bagi manusia, serta pembeda dalam menetapkan perkara yang haq dan bathil (Surah al-Baqarah ayat 185). Selain itu, al-Qur’an juga berfungsi sebagai syifā’ (obat/penyembuh) dan rahmah bagi orang-orang yang beriman. Oleh karena itu al-Qur’an memiliki nama lain, yaitu “asy-Syifā”.  Berikut firman Allah Swt mengenai al-Qur’an sebagai syifā’ :

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

Artinya: Kami turunkan dari Al-Qur`ān (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur`ān itu) hanya akan menambah kerugian. (QS.  Al-Isra’ (17):  82).

Baca juga: Tiga Fungsi Pokok Al-Quran [3]: Makna Al-Furqan dalam Surat Al-Baqarah Ayat 185

Tafsir Surah Al-Isra Ayat 82

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa makna dari QS. Al-Isra ayat 82 adalah bahwa al-Qur’an dapat menghilangkan segala penyakit yang ada di dalam hati, seperti syakk (keragu-raguan), nifāq (kemunafikan), syirik (penyekutuan terhadap Allah), zaig (penyimpangan dari kebenaran), dan mail (kecenderungan pada keburukan). Al-Qur’an dapat menyembuhkan segala penyakit tersebut. Al-Qur’an juga menjadi rahmat, karena dapat menghasilkan atau mendatangkan keimanan, hikmah (kebijaksanaan), dorongan pada kebaikan, dan kegemaran untuk berbuat baik. Semua hal tersebut hanya dapat diraih oleh orang-orang yang beriman pada al-Qur’an, membenarkannya, serta mengikuti petunjuk yang ada di dalamnya. Demikianlah al-Qur’an menjadi syifa’  dan rahmat yang sebenar-benarnya (Tafsir Ibnu Katsir, 1997).

Ibnu Katsir juga menjelaskan, sedangkan bagi orang-orang kafir lagi zalim terhadap dirinya sendiri ketika ia mendengarkan al-Qur’an, maka itu hanya akan menambah pengingkaran dan kekufurannya saja. Hal ini telah ditegaskan dalam ayat lain surah Fushilat (41) ayat 44 bahwasannya al-Qur’an itu petunjuk bagi orang-orang yang beriman, sedangkan bagi orang-orang yang tidak beriman (kafir), al-Qur’an menjadi kegelapan belaka disebabkan pada telinga mereka terdapat sumbatan.

Kemudian, asy-Syaukani menjelaskan telah terjadi ikhtilaf  di kalangan ahlul ilmi terkait makna “syifā‘”—dalam Al-Isra ayat 82 tersebut— dengan dua pendapat; Pendapat pertama, al-Qur’an sebagai obat bagi qolbun (hati) untuk menghilangkan kejahilan, keragu-raguan, serta menyingkap penyimpangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan (wujud) Allah Swt; Pendapat kedua, bahwasannya al-Qur’an sebagai obat bagi penyakit-penyakit zahir —seperti pusing, demam, infeksi, bengkak disengat sesuatu, dsb.— dengan cara ruqyah dan ta’awwudz (memohon perlindungan kepada Allah). Tidak ada keberatan (perdebatan) terkait syifa’ yang memiliki dua makna. Ini termasuk dalam bab keumuman majaz atau termasuk dalam bab musytarak (lafadz yang memiliki dua makna atau lebih). (Fath al-Qadīr, 2007).

Asy-Syaukani juga menjelaskan kemudian Allah menjadikan al-Qur’an sebagai rahmah bagi orang-orang yang beriman, karena terkandung di dalamnya berbagai macam ilmu yang bermanfaat, serta mengandung kemaslahatan bagi agama dan urusan dunia (muamalah duniawiyah). Kemudian, tatkala orang-orang yang beriman membacanya dan men-tadabburi-nya, maka akan mendatangkan pahala yang besar, rahmat, maghfirah, dan keridaan dari Allah Swt.

Berdasarkan penjelasan Ibnu Katsir dan asy-Syaukani dalam masing-masing kitab tafsirnya bahwa al-Qur’an senantiasa menjadi syifa’ bagi orang-orang yang beriman dalam mengobati berbagai macam penyakit batin (hati) dan penyakit zahir (fisik). Al-Qur’an dapat menjadi syifa’ dengan cara membacanya, mentadabburinya, dan juga mengamalkan isinya.

Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat Penyakit Hati Manusia

Praktik penyembuhan dengan al-Qur’an

Ada beberapa surah yang biasa dibaca oleh Nabi saw sebagai bentuk tindakan preventif dan kuratif terhadap berbagai penyakit, yaitu al-mu’awwidzatain (surah an-Nas dan al-Falaq) yang berfungsi mencegah gangguan setan, sihir, orang yang hasad, makhluk-makhluk yang berbahaya, dsb. Selain itu, ada juga ummul kitab (surah al-Fatihah) yang pernah dibaca sahabat untuk mengobati seseorang yang bengkak (demam) disebabkan  sengatan binatang. Hal ini telah diceritakan dalam hadis muttafaqun ‘alaih berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ ، أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانُوا فِي سَفَرٍ، فَمَرُّوا بِحَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ، فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ، فَقَالُوا لَهُمْ : هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ ؟ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَيِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ : نَعَمْ. فَأَتَاهُ، فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، فَبَرَأَ الرَّجُلُ، فَأُعْطِيَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ، فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا، وَقَالَ : حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلَّا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ : “ وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ؟ “ ثُمَّ قَالَ: “خُذُوا مِنْهُمْ، وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ مَعَكُمْ”.

Artinya: Dari Abu Sa’id Al-Khudri (diriwayatkan) bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah saw dahulu berada dalam perjalana, lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk kampung tersebut lantas berkata pada para sahabat yang mampir, Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah karena pembesar kampung kami tersengat binatang atau terserang demam?”. Di antara para sahabat lantas menjawab, Iya ada”.  Lalu ia (salah satu sahabat) pun mendatangi pembesar tersebut dan meruqyahnya dengan membaca surah Al-Fatihah. Pembesar tersebut pun sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan (hadiah) seekor kambing, namun ia enggan menerimanya sampai kisah tadi diceritakan terlebih dahulu pada Nabi saw. Lalu ia mendatangi Nabi saw dan menceritakan kisahnya tadi pada beliau. Ia berkata, Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah melainkan hanya membacakan surah Al-Fatihah.” Rasulullah saw lantas tersenyum dan berkata, Bagaimana engkau bisa tahu Al-Fatihah adalah (surah yang dapat dijadikan) ruqyah? Beliau pun bersabda, Ambillah kambing itu dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Demikianlah tafsir singkat al-Qur’an surah al-Isra ayat 82 yang berisikan penjelasan al-Qur’an sebagai syifa’ (penyembuh) bagi orang-orang yang beriman atas berbagai macam penyakit, baik penyakit batin (hati), maupun penyakit zahir (fisik) sebagaimana penjelasan di atas. Semoga kita semua termasuk golongan orang-orang beriman yang bisa mendapatkan manfaat dari al-Qur’an ini.

Baca juga: Keistimewaan Madu Sebagai Obat dalam Tafsir Surah AN-Nahl Ayat 68-69

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 12-19

0
Tafsir Surah Al Mursalat
Tafsir Surah Al Mursalat

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 12-19 mengancam orang-orang kafir akan diazab sedangkan orang yang beriman akan memperoleh kenikmatan di hadapan Allah kelak, hari ancaman tersebut disebut dengan yaumul fashl (Hari Pemisah). Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 12-19, Allah telah memberi balasan beruba macam-macam azab terhadap kaum yang terdahulu.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 1-11


Ayat 12

Ayat ini menegaskan bahwa sampai kapankah urusan umat dengan rasul mereka ditangguhkan, sehingga yang kafir harus diazab atau mendapatkan kehinaan, dan sebaliknya yang beriman memperoleh kenikmatan dan pemeliharaan dari Allah? Ayat ini merupakan ancaman betapa hebatnya masalah-masalah yang dihadapi umat di hari itu, dan betapa beratnya tanggung jawab manusia di hadapan Allah kelak.

Ayat 13

Kemudian Allah menerangkan bahwa pada hari yang dijanjikan itu Dia menyelesaikan segala perkara yang terjadi di antara sesama makhluk. Pada hari itulah tegaknya Mahkamah Ilahi yang mengadili segala perkara dengan seadil-adilnya. Itulah hari yang disebut Yaumul Fashl (hari pemisah).

Ayat 14

Dalam ayat ini, Allah menunjukkan betapa dahsyatnya hari itu dalam bentuk pertanyaan kepada Nabi Muhammad, “Tahukah engkau apakah hari pemisah itu?” Apakah hari saat umat dan rasul mereka masing-masing dikumpulkan?

Ayat 15

Kemudian Allah sendiri menjelaskan jawaban dari pertanyaan yang disebutkan dalam ayat di atas. Pada hari itu azab dan kehinaan menimpa orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul serta kitab suci yang diturunkan-Nya. Azab akan dijatuhkan kepada manusia yang suka mendustakan apa yang telah disampaikan dan diceritakan para rasul.

Semua orang kafir masih ragu terhadap semua yang ditegaskan Allah. Akan tetapi, Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Ayat lain menegaskan:

يَوْمَ تُبَدَّلُ الْاَرْضُ غَيْرَ الْاَرْضِ وَالسَّمٰوٰتُ وَبَرَزُوْا لِلّٰهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ   ٤٨

(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka (manusia) berkumpul (di Padang Mahsyar) menghadap Allah Yang Maha Esa, Mahaperkasa. (Ibrahim/14: 48)


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 1-6: Hari Kiamat itu Pasti, Inilah Visualisasinya


Ayat 16

Ayat ini dimulai dengan pertanyaan Allah, “Apakah Kami tidak membinasakan orang-orang yang telah mendustakan rasul-Nya sebelum kamu?” Sejarah para nabi dan rasul bersama kaumnya mencatat bahwa hampir setiap bangsa yang telah mendurhakai Allah dan rasul-Nya telah dibinasakan dengan berbagai macam azab yang satu dengan yang lainnya berbeda.

Terkadang Allah menghancurkan mereka dengan banjir seperti nasib yang telah diderita oleh umat Nabi Nuh, ketika negeri mereka ditenggelamkan Allah dengan air bah. Ada yang ditelan binasa oleh bumi setelah negeri itu dilanda oleh gempa yang sangat hebat, seperti halnya umat Nabi Lut. Ada pula yang diserang angin kencang selama 8 hari 7 malam, yang menyebabkan seluruh penduduknya tewas, kecuali orang yang beriman, yakni umat Nabi Saleh. Begitulah seterusnya.

Pertanyaan Allah yang demikian mengandung suatu peringatan halus agar manusia yang masih kafir itu hendaknya mawas diri, sebab bagaimana pun juga sunatullah peraturan Allah yang berlaku tidak akan diubah. Dalam hal ini, siapa yang kafir baik dahulu maupun sekarang atau pada masa yang akan datang, tetap akan merasakan siksaan dari-Nya. Oleh karena itu, hendaklah manusia sadar sebelum datang penyesalan yang tiada berguna.

Ayat 17

Ayat ini menyatakan bahwa azab Allah yang menimpa bangsa-bangsa dahulu kala itu silih berganti datangnya. Umat yang satu binasa, ada umat lain yang serupa. Pada saatnya mereka akan binasa pula bila tidak mau belajar dari sejarah nenek moyang mereka yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya.

Dengan penurunan Al-Qur’an, Allah memperingatkan orang Mekah yang bersikap menantang dan mendustakan Nabi Muhammad dan juga kepada umat yang hidup sesudah beliau pada masa kini dan akan datang. Hendaklah umat manusia selalu belajar dari sejarah, karena sejarah itu akan datang mengulang dirinya.

Ayat 18

Tafsir Surah Al Mursalat Ayat 12-19 khususnya dalam ayat ini, Allah sekali lagi menegaskan bahwa apa yang telah diperbuat-Nya terhadap umat dahulu akan sama saja dengan apa yang dilakukan-Nya terhadap umat sekarang. Sebab sunnah-Nya sejak dahulu sampai sekarang tetap sama, tidak akan berubah sedikit pun. Begitulah Dia telah menghancurkan orang-orang yang berdosa akibat perbuatan dan sikap mereka yang mendustai-Nya.

Ayat 19

Ayat ini berisi kecaman Allah terhadap orang-orang yang mendustakan-Nya serta para nabi dan rasul-Nya dengan kecaman “celakalah orang yang mendustakan”.

Pengulangan sumpah dan kecaman yang terdapat dalam Surah al-Mursalat ini, di samping dimaksudkan untuk menegaskan arti (ta’kid), juga mengandung pengertian lain, yakni bahwa kecaman tersebut tidak hanya diberlakukan di akhirat, melainkan juga diperlihatkan-Nya di dunia ini.

Imam al-Qurthubi mengatakan kata wail diulang-ulang dalam surah ini untuk menunjukkan bahwa untuk masing-masing bangsa yang mendustakan Allah, diberikan siksaan yang berlainan dengan apa yang diterima oleh bangsa lain sebelumnya. Masing-masing umat nabi dahulu kala yang bersikap membangkang telah menerima siksaan Ilahi yang berlainan satu dengan lainnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Mursalat ayat 20-23