Beranda blog Halaman 275

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 30-35

0
Tafsir Surah Al Qiyamah
Tafsir Surah Al Qiyamah

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 30-35, Allah mengingatkan orang kafir bahwa mereka akan celaka karena tidak mempercayai Rasulullah dan mengimani Allah, bahkan dengan sombong dan angkuh mereka justru menceritakan ke sanak saudaranya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 25-29


Ayat 30

Ayat ini menegaskan bahwa pada hari itu manusia dihalau kepada Tuhannya, yakni dikembalikan apakah dia akan ditempatkan di neraka atau di dalam surga.

Menurut Ibnu ‘Abbas, ayat ini merupakan pemberitaan tentang orang kafir yang tidak diterima di sisi Allah, roh yang dahulu tidak pernah mau beriman dan hanya berbuat menurut apa yang disukainya. Pengertian ayat ini dikaitkan dengan ayat lain:

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهٖ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً ۗحَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُوْنَ   ٦١  ثُمَّ رُدُّوْٓا اِلَى اللّٰهِ مَوْلٰىهُمُ الْحَقِّۗ  اَلَا لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ اَسْرَعُ الْحَاسِبِيْنَ   ٦٢

Dan Dialah Penguasa mutlak atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila kematian datang kepada salah seorang di antara kamu, malaikat-malaikat Kami mencabut nyawanya, dan mereka tidak melalaikan tugasnya. Kemudian mereka (hamba-hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) ada pada-Nya. Dan Dialah pembuat perhitungan yang paling cepat. (al-An‘am/6: 61-62)

Ayat 31-32

Ayat-ayat ini menerangkan bahwa orang kafir itu tidak mau membenarkan rasul, dan berpaling dari kebenaran serta tidak mau mengerjakan salat. Ia selalu mendustakan Rasulullah dan Al-Qur’an, dan tidak mau mengesakan Allah. Ia tetap menyekutukan-Nya dan meyakini bahwa Tuhan itu berbilang. Ia juga tidak mau mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya, dan selalu menentang dan berpaling dari perintah Tuhan, serta terpengaruh oleh kesenangan duniawi.

Ayat 33

Ayat ini selanjutnya menjelaskan bahwa orang kafir itu tidak hanya menantang dan tidak mau patuh kepada Allah, bahkan dia mendatangi keluarga dan sanak familinya untuk menceritakan segala sikapnya itu dengan sombong dan angkuh.

Orang-orang yang mengingkari Allah selalu bersikap mendustakan kebenaran Ilahi dengan hatinya, serta berbuat dan bertindak sehari-hari dengan sikap itu. Lebih dari itu, dia merasa bangga dan sombong terhadap apa yang dikerjakannya. Tidak sedikit pun kebaikan menurut pandangan Allah yang melekat pada diri orang itu, lahiriah maupun batiniah.

Ayat 34

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 30-35, khususnya ayat ini menegaskan bahwa dengan nada mengancam, Allah  mengingatkan orang kafir akan kedatangan kecelakaan baginya. Ucapan ini berarti suatu ancaman dan peringatan keras. Merekalah yang paling patut dan pantas menerima siksaan. Orang Arab mengucapkan kalimat itu kepada seseorang yang mengerjakan perbuatan tercela.

Ayat 35

Ancaman ini diulang sekali lagi untuk memperkuatnya, “Kecelakaanlah bagi orang kafir dan kecelakaan baginya.” Diriwayatkan oleh ahli-ahli tafsir dari Qatadah bahwa pada suatu hari Rasulullah saw memegang erat-erat lengan Abu Jahal sambil menghardik musuh Allah itu, “Celaka engkau hai Abu Jahal, celaka engkau!” Abu Jahal menjawab dengan sombong, “Muhammad, engkau mengancamku? Demi Allah, tak sanggup engkau berbuat sesuatu terhadapku, bahkan Tuhan yang engkau sembah juga tidak! Demi Allah, saya ini lebih perkasa dari segala orang yang berjalan antara bukit ini, dari segala penduduk Mekah.” Tetapi di hari pertempuran Badar, Allah membinasakan Abu Jahal dengan kematian yang buruk sekali. Ketika berita tewasnya Abu Jahal disampaikan kepada Rasulullah, beliau bersabda, “Sesungguhnya setiap umat itu ada Fir‘aunnya (ada orang yang paling sombong), maka Fir‘aun dari umat ini adalah Abu Jahal.”

Sa‘id bin Jubair bertanya kepada Ibnu ‘Abbas tentang perkataan “aula laka fa aula” ini, apakah sesuatu yang diucapkan Nabi ini berasal dari dirinya atau memang Allah yang menyuruhnya? Ibnu ‘Abbas menjawab, “Benar beliau yang mengucapkannya, kemudian Allah menurunkan wahyu sama dengan ucapan beliau itu.” Kutukan Allah ini berlaku bagi orang yang berwatak seperti Abu Jahal yang akan muncul pada setiap masa.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 36-40


 

Nabi Muhammad Saw Gemar Berkurban Setiap Tahun

0
Berkurban Setiap Tahun
Berkurban Setiap Tahun

Ibadah kurban merupakan salah satu amaliah yang utama dalam ajaran Islam di samping ibadah-ibadah wajib. Karena itulah, nabi Muhammad saw gemar berkurban sebagai bentuk rasa syukur beliau kepada Allah swt. Bahkan disebutkan dalam banyak riwayat bahwa beliau senantiasa berkurban setiap tahun meskipun dalam keadaan sulit dan hanya dilakukan secara sederhana.

Kegemaran nabi Muhammad saw berkurban bukan tanpa alasan, sebab Allah swt telah memerintah beliau secara langsung dalam surah al-Kautsar untuk melakukan ibadah kurban sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang begitu banyak dari-Nya. Firman Allah Swt:

اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ ١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ ٢ اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ ࣖ ٣

Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah). Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).”

Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan surah al-Kausar diturunkan. Kelompok pertama berpandangan bahwa kata abtar yang berarti terputus menunjukkan surah ini diturunkan di Mekah, karena istilah itu banyak merujuk pada makna terputusnya keturunan, yakni saat nabi Muhammad diolok-olok oleh kaum Quraisy pasca kewafatan anak beliau Ibrahim.

Baca Juga: Menjelang Idul Adha, Inilah 6 Perbedaan Kurban dan Akikah

Kelompok kedua menyatakan bahwa surah al-Kausar diturunkan di Madinah atau madaniyah. Sebab, salah satu hadis yang berbicara mengenai asbabun nuzul surah al-Kausar diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang dopercaya baru memeluk Islam pada awal hijrah. Oleh karena itu, ada kemungkinan surah ini turun di Madinah, bukan di Mekah (Tafsir al-Qur’an al-Azhim).

Terlepas dari perdebatan diturunkan, surah al-Kausar berisi tentang anugerah Allah swt yang banyak kepada nabi Muhammad saw dan nikmat tersebut mesti disyukuri oleh beliau dalam kehidupan sehari-harinya seperti melakukan shalat dan berkurban. Menurut al-Biqa’i, al-kautsar atau al-nahr yakni penyembelihan unta merupakan simbol kemurahan dan anugerah di kalangan masyarakat Arab kala itu (Nazm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa as-Suwar).

Quraish Shihab menyebutkan, surah al-Kausar ayat 1-2 bermakna sesungguhnya Allah swt telah memberikan banyak anugerah kepada nabi Muhammad saw, maka wajar saja jika Allah kemudian memerintahkan beliau, “Maka shalatlah demi Tuhan pemelihara-mu dan sembelihlah binatang untuk kamu sedekahkan kepada orang yang membutuhkan.

Quraish Shihab juga menyatakan bahwa surah al-Kausar memilik kaitan dengan surah al-Ma’un. Menurutnya, surah al-Kausar berisi dua bentuk manifestasi iman, yakni ibadah ritual (shalat) dan sosial (kurban). Dalam konteks ini seakan-akan Allah swt berfirman, “shalat dan berkurbanlah, jangan engkau menjadi orang yang mengabaikan sosial seperti para penghardik anak yatim (Tafsir al-Misbah [15]: 563).

Perintah Allah swt kepada nabi Muhammad saw dalam surah al-Kausar ini kemudian beliau praktikkan secara sempurna. Bahkan disebutkan bahwa nabi Muhammad saw gemar berkurban setiap tahun walaupun dalam keadaan sulit. Beliau senantiasa berkurban sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah swt, baik untuk dirinya maupun umatnya yang belum bisa berkurban.

Ibadah kurban yang dilakukan Nabi Muhammad saw pun tidak tanggung-tanggung. Misalnya, pada saat Haji Wada’ tahun 10 H atau 632 M beliau mengurbankan 100 ekor unta pada Idul Adha kala itu. Hal ini menunjukkan bahwa nabi Muhammad saw gemar berkurban dan sangat antusias melaksanakannya dalam rangka mensyukuri nikmat Allah swt.

Riwayat ini dapat disimak pada hadis dari Jabir ra yang berbunyi, “Sesungguhnya Rasulullah SAW ketika berhaji, membawa 100 ekor unta untuk al-hadyu (kurban bagi orang yang haji). Beliau menyembelih 63 ekor unta, dan mewakilkan ke Ali untuk menyembelih sisanya” (Sahih Ibnu Hibban [9]: 327). Sementara di riwayat yang lain menyebut nabi memotong 30 ekor dan Ali sisanya.

Nabi Muhammad juga pernah berkurban bagi umatnya. Jabir dan Abdillah berkata, “Saya menghadiri salat Idul-Adha bersama Nabi. Setelah beliau berkhotbah, beliau turun dari mimbarnya dan didatangkan kepadanya seekor kambing. Kemudian beliau menyembelihnya dengan tangannya, sambil mengatakan: Dengan nama Allah. Allah Maha Besar. Kambing ini dariku dan dari orang-orang yang belum menyembelih di kalangan umatku.” (HR. Ahmad).

Baca Juga: Surah Al-Hajj [22] Ayat 34: Berkurban Adalah Syariat Agama Samawi

Yang perlu diperhatikan berkenaan ibadah kurban yang dilakukan nabi – selain dari aspek intensitas dan kualitasnya – adalah tujuan berkurban itu sendiri. Nabi Muhammad saw gemar berkurban setiap tahun semat-mata sebagai bentuk ketakwaan dan rasa syukur kepada Allah swt, bukan demi mencari simpati atau pujian dari manusia. Karena pada hakikatnya yang diinginkan dari ibadah kurban adalah ketakwaan, bukan ketenaran.

Terakhir, kisah nabi Muhammad saw gemar berkurban setiap tahun sebagaimana dijelaskan di atas sebaiknya dijadikan contoh oleh umatnya untuk melakukan hal serupa atau lebih dari itu. Beliau telah mengajarkan kepada manusia – khususnya umatnya – bahwa ketakwaan yang sesungguhnya adalah gabungan dari keimanan kepada Allah swt dan perbuatan baik kepada sesama manusia atau makhluk. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 25-29

0
Tafsir Surah Al Qiyamah
Tafsir Surah Al Qiyamah

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 25-29, wajah orang-orang kafir saat itu bermuram durja, masam, melambangkan kesedihan dan ketakutan yang luar biasa. Oleh sebab itu, Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 25-29 ini kembali mengingatkan manusia untuk senantiasa ingat akan adanya hari akhir.


Baca Sebelumnya:


Ayat 24-25

Ayat berikut ini menjelaskan bahwa wajah orang-orang kafir pada hari itu muram. Mereka bermuram durja, berwajah masam melambangkan kesedihan dan ketakutan yang luar biasa. Mereka yakin akan ditimpa malapetaka yang dahsyat, sebagaimana firman Allah:

يَّوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَّتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ ۚ فَاَمَّا الَّذِيْنَ اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْۗ  اَ كَفَرْتُمْ بَعْدَ اِيْمَانِكُمْ فَذُوْقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُوْنَ  ١٠٦ 

Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang berwajah hitam muram (kepada mereka dikatakan), “Mengapa kamu kafir setelah beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (Ali ‘Imran/3: 106);Adapun wajah orang-orang mukmin ketika itu menjadi putih berseri mukanya. Mereka berada dalam rahmat Allah (surga) dan kekal di dalamnya, sebagaimana firman-Nya:

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ مُّسْفِرَةٌۙ  ٣٨  ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ ۚ  ٣٩  وَوُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌۙ  ٤٠  تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ ۗ  ٤١  اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ ࣖ  ٤٢ 

Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria,  dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram), tertutup oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan). Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka. (‘Abasa/80: 38-42)

Ayat 26

Dalam ayat ini, Allah menyerukan manusia supaya sekali-kali tidak melupakan akhirat. Apabila napas seseorang telah sampai ke kerongkongan maka pertobatan tidak ada lagi gunanya. Jangan sekali-kali terpengaruh dengan kehidupan duniawi dan ingatlah bahwa pada waktunya, jiwa manusia akan dicabut oleh malaikat maut. Bila nyawa bercerai dengan tubuh, maka hubungan manusia dengan segala apa yang dimilikinya terputus dan ia akan menghadapi babak baru dari kehidupannya yang kekal dan abadi. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

فَلَوْلَآ اِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُوْمَۙ    ٨٣  وَاَنْتُمْ حِيْنَىِٕذٍ تَنْظُرُوْنَۙ    ٨٤

Maka kalau begitu mengapa (tidak mencegah) ketika (nyawa) telah sampai di kerongkongan, dan kamu ketika itu melihat.  (al-Waqi’ah/56: 83-84)

Ayat 27

Ayat ini menggambarkan suasana orang yang dalam sakratulmaut ketika keluarganya bertanya-tanya, “Siapakah yang dapat menyembuhkan?” Secara umum, pada saat seseorang sedang sakratulmaut, kaum famili dan sanak keluarganya ditimpa oleh kegelisahan, “Siapa dan dokter mana gerangan yang dapat menyembuhkan dia dari sakitnya?” Artinya usaha-usaha pengobatan tetap dilakukan, namun orang harus yakin kalau memang sudah ajal, tidak seorang pun yang dapat menyelamatkannya dari ketentuan Allah itu. Semuanya tanpa pandang bulu, bahkan semua yang fana ini pasti akan hancur. Hanya Allah sendiri yang tidak hancur.

Menurut Ibnu ‘Abbas, ayat ini berarti “siapakah gerangan yang mencabut nyawanya, apakah malaikat azab atau malaikat rahmat”. Pokoknya terjadi saling bertanya, apakah si mayat berbahagia atau celaka dengan kematiannya. Manusia memang tidak mengetahui sebelum kedatangan malaikat maut apakah ia akan selamat atau celaka.

Ayat 28-29

Ayat-ayat ini menggambarkan bahwa orang yang sedang menghadapi sakratulmaut itu yakin bahwa itulah saat perpisahan dengan dunia. Dalam bahasa lain dapat dikatakan bahwa di saat kematian datang, seseorang baru merasa yakin bahwa telah tiba saatnya berpisah buat selama-lamanya dengan dunia, harta, keluarga, dan sanak famili.

Allah sengaja menyebutkan kata-kata Zanna (yang sebenarnya berarti menyangka) karena pada saat jiwa akan melayang itu pun, dia masih sangat ingin hidup lagi disebabkan kecintaannya yang berlebihan terhadap kehidupan yang fana ini. Manusia belum begitu yakin akan kematiannya sendiri.

Pernyataan ayat ini yang menyebutkan “betis kirinya telah bertaut dengan betis kanan” mengandung arti bahwa dia sudah tidak dapat menggerakkan kedua betisnya (kaki)nya. Bahkan ia juga tidak lagi dapat menggerakkan batang tubuhnya karena organ dan jaringan tubuh telah berhenti bekerja.

Kata-kata iltaffa (bertaut) diartikan Ibnu ‘Abbas dengan bertautnya di saat kematian itu antara beratnya meninggalkan dunia ini dengan ketakutan yang luar biasa menghadapi akhirat. Bertautlah bala dengan bala, dan disitulah letaknya siksaan sakratulmaut yang hanya dapat dirasakan oleh yang bersangkutan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 30-35


 

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 19-24

0
Tafsir Surah Al Qiyamah
Tafsir Surah Al Qiyamah

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 19-24 melanjutkan tafsir sebelumnya, Allah memberi jaminan kepada Rasulullah akan penjelasan wahyu yang telah disampaikan oleh Jibril. Setelah itu Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 19-24 ini kembali berbicara tentang hari akhir, kelak penduduk surga akan berseri-seri wajahnya karena mereka dapat berjumpa Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 14-18


Ayat 19

Ayat ini menjelaskan adanya jaminan Allah bahwa sesungguhnya atas tanggungan Allah-lah penjelasannya. Maksudnya setelah Jibril selesai membacakan Al-Qur’an itu kepada Nabi Muhammad saw, maka Allah langsung memberikan penjelasan kepada beliau melalui ilham-ilham yang ditanamkan ke dalam dada Nabi saw, sehingga pengertian ayat ini secara sempurna sebagaimana yang dikehendaki Allah dapat diketahui Nabi saw. Allah pula yang menyampaikan kepada Nabi segala rahasia, hukum-hukum, dan pengetahuan Al-Qur’an itu secara sempurna. Dengan begitu, tidak dapat diragukan sedikit pun bahwa sesungguhnya Al-Qur’an itu dari sisi Allah.

Ayat 20

Dalam ayat ini, Allah mencela kehidupan orang musyrik yang sangat mencintai dunia. Allah menyerukan, “Sekali-kali jangan. Sesungguhnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia dan meninggalkan kehidupan akhirat.” Dengan ayat ini terdapat suatu kesimpulan umum bahwa mencintai kehidupan adalah salah satu watak manusia seluruhnya. Memang ada sebagian yang mengharapkan kebahagiaan akhirat, namun yang mencintai hidup dunia serta mendustai adanya hari kebangkitan jauh lebih besar jumlahnya.

Ayat 21

Terpengaruh dengan kehidupan duniawi biasanya dibarengi dengan sikap mendustai wahyu, serta melupakan kehidupan hari akhirat dan bahkan tidak percaya dengan kedatangannya.

Ayat 22-23

Ayat ini menerangkan sebagian hal ihwal manusia pada hari kebangkitan saat wajah-wajah orang beriman pada waktu itu berseri-seri. Golongan yang gembira dan berwajah ceria inilah calon penghuni surga. Merekalah yang berwajah cerah yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya.

Di mana pun mereka dapat melihat-Nya. Artinya mereka langsung memandang kepada Allah tanpa dinding pembatas (hijab). Demikian kesimpulan pendapat ulama ahli sunnah berdasarkan hadis-hadis sahih yang menerangkan lebih lanjut tentang makna melihat Tuhan yang disebutkan dalam ayat ini. Dikatakan bahwa orang yang beriman yang beruntung melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri pada hari akhirat sebagaimana mereka melihat bulan purnama yang bersinar terang benderang yang tidak ada awan di bawahnya. Hadis al-Bukhari yang menyebutkan hal itu berbunyi:

اِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عَيَانًا كَمَا تَرَوْنَ هَذَا الْقَمَرَ لاَ تُضَامُّوْنَ فِيْ رُؤْيَتِهِ فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ لاَ تُغْلَبُوْا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا فَافْعَلُوْا. (رواه البخاري و مسلم عن جرير بن عبد الله)

Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu dengan mata kepalamu sendiri (terang-terang) sebagaimana kamu melihat bulan (purnama), kamu tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya. Jika kamu mampu tidak meninggalkan salat sebelum terbit matahari dan terbenam matahari maka lakukanlah.  (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Jarir bin ‘Abdillah)

Sekalipun ada keterangan yang jelas dari ayat 22 ini yang diperkuat dengan beberapa hadis di atas yang menegaskan bahwa manusia mukmin nanti melihat sendiri wajah Allah itu, namun sebagian dari ulama salaf mencoba mentakwilkan (memalingkan) pengertian ayat dan hadis-hadis tersebut. Mujahid (seorang tabiin yang terkenal) berpendapat bahwa arti melihat Allah di dalam surga adalah “melihat pahala yang ada di sisi Allah”. Namun hal demikian dianggap tidak berdasarkan alasan yang kuat, sebab kata-kata “nashara” (melihat) dalam bahasa Arab betul-betul berarti melihat dengan mata kepala sendiri bukan melihat dengan mata hati dan sebagainya.

Permasalahan tentang “apakah manusia nanti melihat Allah pada hari Kiamat atau tidak?” menjadi persoalan yang diperselisihkan (khilafiah) sejak dari dahulu. Ulama ahli sunnah tetap berpendirian bahwa orang mukmin pasti melihat Allah berdasarkan ayat di atas, ditambah keterangan dari berbagai hadis sahih. Sebaliknya ulama-ulama Mu‘tazilah menegaskan tidak mungkin sama sekali manusia melihat wajah dan zat Allah berdasarkan bunyi ayat ke 103 Surah al-An‘am: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.

Ayat ini, menurut Mu‘tazilah, terbatas pengertiannya pada melihat nikmat, keridaan, dan pahala yang disediakan Allah. Persoalan akhirat adalah persoalan gaib, tidak dapat kita ukur dalam perbandingan dengan apa yang ada sekarang.

Jalan yang ringkas dan selamat serta tidak terlibat dalam pertikaian yang berlarut-larut itu adalah “mengimani sepenuhnya apa yang diberikan ayat tanpa membahasnya lagi. Bagaimana pengertian yang sesungguhnya, kita serahkan kepada Allah saja. Masih banyak lapangan ijtihad (pemikiran) yang lain bila seseorang ingin mendalami maksud ayat-ayat suci Al-Qur’an.”

Berikut ini kita kutip beberapa hadis tentang melihat Allah di akhirat:

قَالُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ هَلْ تُضَارُّوْنَ فِيْ رُؤْيَةِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ لَيْسَ دُوْنَهُمَا سَحَابٌ قَالُوْا: لاَ، قَالَ فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَ رَبَّكُمْ كَذَلِكَ (رواه البخاري و مسلم عن أبي هريرة)

Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah apakah kami dapat melihat Tuhan kami di hari Kiamat kelak?” Beliau menjawab, “Apakah sulit bagi kalian melihat matahari dan bulan yang tidak dihalangi oleh awan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda lagi, “Demikian pula kamu melihat Tuhanmu.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

عَنْ صُهَيْبٍ عَنِ النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِذَا دَخَلَ اَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: تُرِيْدُوْنَ شَيْئًا اَزِيْدُكُمْ، فَيَقُوْلُوْنَ: اَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوْهَنَا، اَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ وَتُنْجِنَا مِنَ النَّاِر، قَالَ فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ فَمَا اُعْطُوْا شَيْئًا اَحَبَّ اِلَيْهِمْ مِنَ النَّظْرِ ِالَى رَبِّهِمْ ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ اْلآيَةَ: ((لِلَّذِيْنَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ)). (رواه مسلم)

Diriwayatkan dari Suhaib dari Nabi saw bahwa beliau bersabda, “Bila penduduk surga telah masuk ke dalam surga, Allah berfirman, ‘Apakah engkau ingin lagi sesuatu yang hendak Aku tambahkan?’ Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau sudah cerahkan wajah kami, bukankah telah Engkau masukkan kami ke dalam surga. Dan telah Engkau lepaskan kami dari api neraka?’ Nabi bersabda dan kemudian hijab pun tersingkap, maka tiadalah sesuatu pemberian yang lebih mereka senangi selain daripada melihat Tuhan mereka.” Kemudian beliau membaca ayat ini (Yunus/10: 26): lilladzina ahsanuul-husna wa ziyadah.  (Riwayat Muslim)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 25-29


 

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 14-18

0
Tafsir Surah Al Qiyamah
Tafsir Surah Al Qiyamah

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 14-18 ini terbagi menjadi dua pembahasan yakni melanjutkan tentang hari akhir dan juga Rasulullah. Pertama, Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 14-18  khususnya pada ayat 14-15 melanjutkan tafsir sebelumnya, kelak manusia tidak dapat lagi berbohong, memberi alasan karena semua tubuhnya menjadi saksi apa yang telah diperbuatnya ketika masih di dunia. Kedua, di akhir Tafsir Surah Al Qiyamah ayat 14-18 merupakan peringatan allah kepada Rasulullah bagaimana cara menerima wahyu yang Allah sampaikan melalui perantara malaikat Jibril. 


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 10-13


Ayat 14

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa diri manusia itu sendiri menjadi saksi. Tidak perlu orang lain menceritakan kepadanya karena semua bagian tubuhnya menjadi saksi atas segala yang telah dikerjakannya, dengan jujur tanpa berbohong. Siapa yang berbuat jahat diberi siksaan dan tidak bisa dihindari. Pendengaran, penglihatan, kaki, tangan, dan semua anggota tubuh membeberkan segala yang telah dikerjakannya.

اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ   ٦٥ 

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (Yasin/36: 65)

Meskipun telah diterangkan dalam Al-Qur’an akan datangnya hari Kiamat dan manusia mempertanggungjawabkan amalnya, tetapi  manusia tetap saja ingin mengajukan berbagai alasan untuk mendebat keputusan Allah, karena mengikuti hawa nafsunya.

Ayat 15

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa biarpun manusia berusaha mengajukan berbagai alasan guna menutupi segala kesalahannya, dan menyembunyikan segala perbuatan jeleknya, namun semua itu tidak akan berguna karena anggota tubuhnya akan menjadi saksi atas dirinya. Dalam ayat lain disebutkan:

اِقْرَأْ كِتَابَكَۗ  كَفٰى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيْبًاۗ  ١٤

Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu.  (al-Isra’/17: 14)

اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى اَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ اَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ اَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ   ٦٥ 

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. (Yasin/36: 65)

Dari isyarat ayat di atas dapat pula kita mengambil pelajaran bahwa keyakinan orang musyrik mempersekutukan Allah dan menyembah patung atau berhala, serta ketidakpercayaan mereka pada hari kebangkitan adalah kepercayaan yang salah. Hati kecil mereka sendiri sesungguhnya tidak mengakui yang demikian. Oleh karena itu, segala alasan yang mereka kemukakan guna menolak kebenaran, sebenarnya adalah alasan palsu. Mereka mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak hati nurani sendiri.

Ayat 16

Dalam ayat ini, Allah melarang Nabi Muhammad menggerakkan lidahnya untuk membaca Al-Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Dalam bahasa lain, Allah melarang Nabi saw menggerak-gerakkan lidah dan bibirnya untuk cepat-cepat menangkap bacaan Jibril karena takut bacaan itu luput dari ingatannya.”

Hal ini terjadi ketika Surah Thaha turun, dan semenjak ada teguran Allah dalam ayat ke 16 ini, tentu beliau sudah tenang dalam menerima wahyu, dan tidak perlu cepat-cepat menangkapnya. Pada ayat lain terdapat maksud yang sama, yakni:

فَتَعٰلَى اللّٰهُ الْمَلِكُ الْحَقُّۚ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْاٰنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يُّقْضٰٓى اِلَيْكَ وَحْيُهٗ ۖوَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا   ١١٤

Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (Thaha/20: 114)

Allah melarang Nabi saw meniru bacaan Jibril kalimat demi kalimat sebelum selesai membacakannya, agar Nabi Muhammad dapat menghafal dan memahami dengan baik ayat yang diturunkan itu.

Ayat 17-18

Allah menjelaskan bahwa larangan mengikuti bacaan Jibril ketika ia sedang membacakannya adalah karena sesungguhnya atas tanggungan Allah-lah mengumpulkan wahyu itu di dalam dada Muhammad dan membuatnya pandai membacanya. Allah-lah yang bertanggung jawab bagaimana supaya Al-Qur’an itu tersimpan dengan baik dalam dada atau ingatan Muhammad, dan memantapkannya dalam kalbunya. Allah pula yang memberikan bimbingan kepadanya bagaimana cara membaca ayat itu dengan sempurna dan teratur, sehingga Muhammad hafal dan tidak lupa selama-lamanya.

Apabila Jibril telah selesai membacakan ayat-ayat yang harus diturunkan, hendaklah Muhammad saw membacanya kembali. Nanti ia akan mendapatkan dirinya selalu ingat dan hafal ayat-ayat itu. Tegasnya pada waktu Jibril membaca, hendaklah Muhammad diam dan mendengarkan bacaannya.

Dari sudut lain, ayat ini juga berarti bahwa bila telah selesai dibacakan kepada Muhammad ayat-ayat Allah, hendaklah ia segera mengamalkan hukum-hukum dan syariat-syariatnya.

Semenjak perintah ini turun, Rasulullah senantiasa mengikuti dan mendengarkan dengan penuh perhatian wahyu yang dibacakan Jibril. Setelah Jibril pergi, barulah beliau membacanya dan bacaannya itu tetap tinggal dalam ingatan beliau. Diterangkan dalam hadis riwayat al-Bukhari bahwa Ibnu ‘Abbas berkata:

فَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ إِذَا أَتَاهُ جِبْرِيْلُ اِسْتَمَعَ فَإِذَا انْطَلَقَ جِبْرِيْلُ قَرَأَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا أَقْرَأَهُ. (رواه البخاري عن ابن عباس)

Setelah perintah itu turun, Rasulullah selalu mendengarkan dan memperhatikan ketika Jibril datang, setelah Jibril pergi beliau membacanya sebagaimana diajarkan Jibril. (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas).

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah AL Qiyamah Ayat 19-24


 

Tafsir Ahkam: Dalil Buang Air Membatalkan Wudhu dan Perdebatan Ulama Seputarnya

0
Tafsir Ahkam: Dalil Buang Air Membatalkan Wudhu dan Perdebatan Ulama Seputarnya
Buang Air Membatalkan Wudhu

Di antara hal yang dapat membatalkan wudhu adalah keluarnya sesuatu dari kemaluan atau dubur. Hal ini disinggung Al-Qur’an dengan redaksi “kembali dari tempat buang air”. Ulama’ kemudian mengambil kesimpulan bahwa apa yang keluar dari kemaluan dan dubur, sebagaimana buang air kecil dan besar, serta buang angin dapat membatalkan wudhu.

Lalu bagaimana bila benda yang keluar dari kemaluan atau dubur adalah benda yang lazimnya tidak keluar atau jarang keluar dari dua tempat tersebut? Misalnya keluar krikil atau darah dari dubur, apakah hal itu lantas membatalkan wudhu? Permasalahan ini memancing perdebatan di kalangan ulama dan ini berkaitan dengan redaksi Al-Qur’an tentang hal yang membatalkan wudhu. Berikut penjelasan ulama’ pakar tafsir dan hukum fikih.

Buang Hajat Membatalkan Wudhu

Ulama’ mengulas hukum batalnya wudhu orang yang buang air besar maupun kecil, merujuk pada firman Allah yang berbuyi:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا

Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci) (QS. Al-Ma’idah [5] :6).

Baca juga: Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6

Ibn Katsir tatkala mengulas ayat “kembali dari tempat buang air”, menjelaskan bahwa redaksi Al-Ghaaith atau bila dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi kakus, pada asalnya bermakna tempat yang tenang. Kata ini kemudian dipakai untuk menunjukkan aktivitas yang mengakibatkan hadas kecil (Tafsir Ibn Katsir/2/314).

Sedang Imam Al-Qurthubi menjelaskan, Al-Ghaaith makna aslinya adalah tempat atau bagian yang tersembunyi dari bumi. Dimana tempat ini merupakan tempat yang menjadi tujuan orang Arab tatkala membuang hajat. Tujuannya agar dapat melindungi diri dari pandangan manusia. Pada perkembangan selanjutnya, Al-Ghaaith justru dimakai sebagai lafaz yang bermakna kotoran yang keluar tatkala membuang hajat (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/5/220).

Imam Al-Qurthubi juga menyatakan bahwa ia meyakini bila hal yang keluar dari kemaluan serta dubur, yang dapat membatalkan wudhu, adalah hal-hal yang memang biasanya keluar dari dua jalan tersebut. Kalau bukan hal yang biasanya keluar dari dua jalan tersebut, seperti halnya darah istihadhah, kerikil, atau lain sebagainya, maka tidak membatalkan wudhu. Imam Al-Qurthubi mendasarkan pandangannya pada hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah yang berbunyi:

قَالَتِ اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ ، فَكَانَتْ تَرَى الدَّمَ وَالصُّفْرَةَ ، وَالطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهْىَ تُصَلِّى

‘Aisyah berkata: salah seorang istri Rasulullah salallahualaihi wasallam melakukan I’tikaf bersama beliau. Ia sedang istihadhah dan ada sebuah wadah di bawahnya. Bersamaan dengan itu, si perempuan sedang salat (HR. Imam Bukhari).

Imam Ar-Razi menyatakan pendapat yang berbeda. Ia menyamakan segala hal yang keluar dari kemaluan dan dubur, dengan aktivitas membuang hajat yang dimaksud dalam ayat di atas. Entah apakah hal yang keluar tersebut termasuk yang biasanya keluar dari kemaluan dan dubur, atau yang jarang. Oleh karena itu, keluarnya darah istihadhah termasuk membatalkan wudhu. Pendapat ini berdasarkan pada keumuman ayat di atas. Hal yang sama disampaikan oleh Al-Jashshash dalam Ahkamul Qur’an (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/482 dan Ahkamul Qur’an lil Jashshash/5/447).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Benarkah Bersentuhan dengan Lawan Jenis itu Membatalkan Wudhu?

Penutup

Imam Al-Mawardi menjelaskan, perkara yang keluar dari kemaluan dan dubur terbagi menjadi dua jenis. Yakni yang memang biasanya keluar dari dua jalan tersebut (mu’tad), serta yang jarang (naadir). Contoh perkara yang biasa keluar adalah kotoran manusia, kencing, kentut, dan darah haid. Sedang contoh yang jarang adalah cairan madzi, wadi, cacing kremi, kerikil, kecing sebab beser, serta darah istihadhah.

Mengenai perkara yang jarang keluar dari kemaluan dan dubur, terkait apakah ia membatalkan wudhu atau tidak, ulama’ berbeda pendapat. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah menyatakan membatalkan wudhu. Sedang Imam Malik menyatakan tidak (Al-Hawi Al-Kabir/1/307). Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 10-13

0
Tafsir Surah Al Qiyamah
Tafsir Surah Al Qiyamah

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 10-13 ditegaskan bahwa tidak akan ada tempat bagi manusia untuk berlari menghindari kiamat, hanya Allah lah tempat kembali. Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 10-13 juga menerangkan ketika tiba waktunya manusia segala perbuatan manusia akan dihisab dan diberi ganjaran yang setimpal.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 5-9


Ayat 10

Allah menegaskan bahwa pada hari Kiamat itu manusia berkata, “Ke manakah tempat lari?” Masing-masing orang berusaha mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Sebagian mengartikan ayat ini dengan “Ke manakah tempat lari menghindari api neraka?” Tentulah manusia yang dimaksudkan adalah orang-orang kafir, karena pada saat itu orang-orang mukmin tidak ada yang menyangsikan kedatangan hari Kiamat itu seperti disebutkan dalam beberapa hadis Nabi. Apakah orang-orang kafir itu dapat menyelamatkan diri? Tidak!

Ayat 11

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa sekali-kali tidak ada tempat berlindung. Tidak ada satu perlindungan pun yang mungkin menyelamatkan mereka dari siksaan Allah. Tidak ada benteng maupun bukit atau senjata yang dapat digunakan. Demikian dalam ayat lain Allah menegaskan:

اِسْتَجِيْبُوْا لِرَبِّكُمْ مِّنْ قَبْلِ اَنْ يَّأْتِيَ يَوْمٌ لَّا مَرَدَّ لَهٗ مِنَ اللّٰهِ ۗمَا لَكُمْ مِّنْ مَّلْجَاٍ يَّوْمَىِٕذٍ وَّمَا لَكُمْ مِّنْ نَّكِيْرٍ   ٤٧

Patuhilah seruan Tuhanmu sebelum datang dari Allah suatu hari yang tidak dapat ditolak (atas perintah dari Allah). Pada hari itu kamu tidak memperoleh tempat berlindung dan tidak (pula) dapat mengingkari (dosa-dosamu).  (asy-Syura/42: 47)


Baca Juga: Apa Makna “Kiamat Sudah Dekat” dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya


Ayat 12

Kemudian dalam ayat ini diterangkan keadaan yang sebenarnya dan ke mana manusia hendak dikumpulkan. Hanya kepada Allah tempat manusia kembali. Di tempat penuh kesengsaraan atau di tempat penuh nikmat penuh kebahagiaan. Semuanya tergantung kepada kehendak Allah. Dia Penguasa Tunggal di hari itu. Semua manusia kembali kepada Allah tanpa kecuali. Ke sanalah tujuan perjalanan hidup yang terakhir. Allah berfirman:

وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ    ٤٢

Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu). (an-Najm/53: 42)

Ayat 13

Ayat ini menerangkan bahwa pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. Kepada manusia diceritakan ketika telah tiba waktunya menghisab dan menimbang amalannya. Semua akan dibeberkan dengan jelas, mana perbuatan baik yang telah dikerjakan dan mana yang seharusnya dikerjakan tapi tidak sempat lagi dilaksanakan. Demikian pula mana yang semestinya dahulu diperbuat guna menghindarkan diri dari azab Allah dan mencapai pahala-Nya. Tidak ada yang luput dari pemberitaan itu, karya yang kecil maupun yang besar, yang baru maupun yang usang.

Ibnu ‘Abbas mengartikan ayat ini dengan menjelaskan bahwa yang diceritakan tidak hanya sekadar perbuatan buruk dan baik seseorang menjelang dia meninggal dunia, tetapi juga segala karya, pikiran, dan kebiasaannya. Semua orang akan menyaksikan sendiri di hadapannya segala wujud amaliahnya, sebagaimana disebutkan dalam ayat lain:

وَوُضِعَ الْكِتٰبُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْنَ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ وَيَقُوْلُوْنَ يٰوَيْلَتَنَا مَالِ هٰذَا الْكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّآ اَحْصٰىهَاۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًاۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا ࣖ   ٤٩

Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya,” dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun. (al-Kahf/18: 49)

Sehubungan dengan hal ini, disebutkan pula dalam hadis Rasulullah saw:

سَبْعٌ يَجْرِى أَجْرُهَا لِلْعَبْدِ بَعْدَ مَوْتِهِ وَهُوَ فِيْ قَبْرِهِ مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا أَوْ أَجْرَى نَهْرًا أَوْ حَفَرَ بِئْرًا أَوْ غَرَسَ نَخْلاً أَوْ بَنَى مَسْجِدًا أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُلَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ. (رواه أبو نعيم والبيهقي عن أنس بن مالك)

Tujuh macam perbuatan seorang hamba yang tetap mengalir pahalanya bagi orang yang sudah wafat sedang dia dalam kuburnya: orang yang mengajarkan ilmu, orang yang membuat aliran sungai, orang yang menggali sumur, orang yang menanam pohon kurma, orang yang mendirikan masjid, orang yang mewariskan (menyebarluaskan) mushaf (kitab suci Al-Qur’an), dan orang yang meninggalkan anak (keturunan) yang memohonkan ampunan baginya setelah ia meninggal. (Riwayat Abu Nu‘aim dan al-Baihaqi dari Anas bin Malik)

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 15-18


Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 5-9

0
Tafsir Surah Al Qiyamah
Tafsir Surah Al Qiyamah

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 5-9 menyebutkan bahwa manusia dapat berpikir dan menyadari akan kekuasaan Allah, tetapi manusia lebih sering menunda-nunda untuk bertobat dan meninggalkan maksiat hingga akhirnya malaikat terlebih dahulu mencabut nyawanya. Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 5-9 menggambarkan secara jelas bagaimana terjadinya kiamat kelak.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 1-4


Ayat 5

Dalam ayat ini ditegaskan bahwa sebenarnya manusia dengan perkembangan pikirannya menyadari bahwa Allah sanggup berbuat begitu, namun kehendak nafsu mempengaruhi pikirannya. Bahkan manusia itu hendak berbuat maksiat terus-menerus. Sesungguhnya tidak ada manusia yang tidak mengenal kekuasaan Tuhannya, untuk menghidupkan dan menyusun tulang-belulang orang yang sudah mati. Akan tetapi, mereka masih ingin bergelimang dengan berbagai perbuatan maksiat, kemudian menunda-nunda tobat atau menghindarkan diri daripadanya.

Sesungguhnya manusia yang seperti ini, menurut Sa‘id bin Jubair, suka cepat-cepat memperturutkan kehendak hati dan berbuat apa saja yang diinginkan. Nafsu selalu menggodanya, “Nanti sajalah aku bertobat; nanti sajalah aku mengerjakan kebaikan.” Celakanya dia belum sempat tobat dan beramal baik, malaikat maut sudah lebih dahulu mencabut nyawanya. Padahal pada saat itu, ia sedang asyik dalam perbuatan maksiat.

Boleh jadi juga maksud ayat ini adalah bahwa seseorang selalu berangan-angan tentang betapa nikmatnya kalau ia mendapat ini dan itu, mendapat mobil dan rumah mewah atau jabatan yang empuk, dan seterusnya, namun lupa mengingat mati, lupa dengan akan datangnya hari kebangkitan, hari saat diperiksa segala pekerjaannya.

Kata-kata liyafjura berarti cenderung kepada yang batil, atau suka menyimpang dari kebenaran. Orang seperti ini ingin hidup bebas seperti binatang. Ia tidak mau dihalangi untuk mengerjakan apa saja dengan teguran akal sehat atau larangan agama yang mengekang keinginannya.

Ayat 6

Selanjutnya, Allah menggambarkan sikap orang keras kepala yang bertanya, “Bilakah hari Kiamat itu?” Pertanyaan ini muncul sebagai tanda terlalu jauhnya jangkauan hari Kiamat itu dalam pikiran si penanya dan menunjukkan ketidakpercayaan akan terjadinya. Hal ini ada hubungannya dengan ayat sebelumnya, yakni: “Kenapa ia terus-menerus ingin mengerjakan kejahatan?” Karena mereka mengingkari adanya hari kebangkitan, sehingga tidak merasa perlu memikirkan segala akibat dari kejahatan yang dilakukan. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ لِمَا تُوْعَدُوْنَ ۖ   ٣٦  اِنْ هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوْثِيْنَ ۖ   ٣٧

Jauh! Jauh sekali (dari kebenaran) apa yang diancamkan kepada kamu, (kehidupan itu) tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, (di sanalah) kita mati dan hidup  dan tidak akan dibangkitkan (lagi). (al-Mu’minun/23: 36-37)

Kalau disimpulkan, ada dua sebab ketidakpercayaan manusia kepada hari Kiamat, yaitu:

  1. Karena ragu-ragu dengan kekuasaan Allah. Misalnya pikiran yang berpendapat bahwa bagian tubuh yang sudah hancur, berserakan, dan bercampur aduk dengan tanah, di timur maupun di barat, mungkinkah dapat disusun dan dihidupkan kembali? Bagaimana bisa tubuh manusia yang demikian kembali kepada keadaan semula?

 Seperti bunyi ayat 3 dan 4:

اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَلَّنْ نَّجْمَعَ عِظَامَهٗ ۗ  ٣  بَلٰى قَادِرِيْنَ عَلٰٓى اَنْ نُّسَوِّيَ بَنَانَهٗ   ٤

Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? (Bahkan) Kami mampu menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna.  (al-Qiyamah/75: 3-4)

2.  Karena keinginan yang terus-menerus untuk menikmati kesenangan duniawi, dan kedatangan Kiamat (hari berkumpul dan berhisab) tentu saja memutuskan segala bentuk kesenangan itu, seperti disebutkan dalam ayat ke-5:

بَلْ يُرِيْدُ الْاِنْسَانُ لِيَفْجُرَ اَمَامَهٗۚ  ٥

Tetapi manusia hendak membuat maksiat terus-menerus. (al-Qiyamah/75: 5)

Ayat 7-9

Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan tiga hal tanda kedatangan hari Kiamat, yakni:

  1. Apabila mata terbelalak (karena ketakutan). Pada waktu itu, mata tidak sanggup menyaksikan sesuatu hal yang sangat dahsyat. Dalam ayat lain tercantum makna yang sama, yakni:

مُهْطِعِيْنَ مُقْنِعِيْ رُءُوْسِهِمْ لَا يَرْتَدُّ اِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ ۚوَاَفْـِٕدَتُهُمْ هَوَاۤءٌ ۗ    ٤٣ 

Mereka datang tergesa-gesa (memenuhi panggilan) dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong.  (Ibrahim/14: 43)

2.  Apabila bulan telah hilang cahayanya untuk selama-lamanya, bukan seperti keadaan waktu gerhana bulan yang hanya berlangsung sebentar saja.

  1. Matahari dan bulan dikumpulkan. Artinya matahari dan bulan saling bertemu, keduanya terbit dan terbenam pada tempat yang sama, menyebabkan gelapnya suasana alam semesta ini. Padahal keadaan begitu tidak pernah terjadi, masing-masing berada dalam posisi yang telah ditentukan. Allah berfirman:

لَا الشَّمْسُ يَنْۢبَغِيْ لَهَآ اَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا الَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ ۗوَكُلٌّ فِيْ فَلَكٍ يَّسْبَحُوْنَ  ٤٠

Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yasin/36: 40)

Pada saat itulah manusia yang kafir menyadari betapa janji Allah menjadi kenyataan. Semua orang berusaha hendak menyelamatkan diri.

Menurut kajian ilmiah, skenario kiamat ada bermacam-macam, ada yang berupa skenario besar (Grand Scenario), ada pula skenario “lokal” walaupun dampaknya bisa universal dan berpengaruh kepada seluruh alam semesta. Pada Grand Scenario sistem alam semesta mengalami suatu perubahan sistem yang memburuk bahkan bisa secara drastis sehingga alam semesta sebagai sistem menjadi ambruk dan kiamat datang.

Skenario jenis kedua bersifat “lokal”, artinya hanya terjadi di salah satu galaksi atau tata surya. Besar kemungkinan bahwa kejadian ini berlangsung di galaksi Bima Sakti atau bahkan di tata surya kita, di mana manusia berada. Salah satu skenario yang mungkin adalah mengarahnya lubang hitam (black hole) ke tata surya kita. Bila anggota tata surya kita, termasuk planet bumi, dikenai lubang hitam, yang berarti akan tersedot gravitasi yang sangat kuat, maka semua yang ada di permukaan bumi termasuk manusia akan terangkat kemudian kaki-kakinya akan terlepas dan akhirnya tubuh manusia akan tercerai-berai hingga enam puluh empat bagian.

Sedangkan pada saat yang sama, matahari akan tersedot, termasuk energi nuklirnya hingga habis, sedangkan planet seluruh anggota tata surya kita dan matahari juga akan bersama-sama tersedot, hingga akan menyatu karena sedotan gravitasi yang sangat kuat. Jelaslah bahwa cahaya bulan dan tentu saja cahaya sumbernya yaitu matahari akan menghilang. Maka seluruh tata surya kita akan lebur sehingga mengganggu keseimbangan galaksi kita, dan akibat universalnya, keseimbangan Bima Sakti ini akan berdampak pada keseimbangan posisi dan energi alam semesta, sehingga kiamat hanyalah soal waktu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 10-13



Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 1-4

0
Tafsir Surah Al Qiyamah
Tafsir Surah Al Qiyamah

Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 1-4, Allah menyatakan bahwa hari kiamat itu pasti akan datang dan manusia hendaknya bersiap menghadapinya. Dalam Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 1-4 Allah bersumpah dengan hari kiamat dan juga dengan jiwa-jiwa yang menyesal.


Baca Juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 1-6: Hari Kiamat itu Pasti, Inilah Visualisasinya


Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah bersumpah dengan hari Kiamat. Maksudnya ialah Allah menyatakan dengan tegas bahwa hari Kiamat itu pasti datang. Oleh karena itu, manusia hendaknya bersiap-siap menghadapinya dengan beriman dan mengerjakan amal saleh, karena hari Kiamat merupakan hari pembalasan amal.

Ayat 2

Allah juga bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri (an-nafsul-lawwamah) terhadap sikap dan tingkah lakunya pada masa lalu yang tidak sempat lagi diisi dengan perbuatan baik. An-Nafsul-lawwamah juga berarti jiwa yang menyesali dirinya karena berbuat kejahatan, kenapa masih saja tidak sanggup dihentikan? Pada kebaikan yang disadari manfaatnya kenapa tidak diperbanyak atau dilipatgandakan saja? Begitulah an-nafsul-lawwamah berkata dan menyesali dirinya sendiri.

Perasaan menyesal itu senantiasa ada walaupun ia sudah berusaha keras dengan segenap upaya untuk mengerjakan amal saleh. Padahal semuanya pasti akan diperhitungkan kelak. An-Nafsul-lawwamah juga berarti jiwa yang tidak bisa dikendalikan pada waktu senang maupun susah. Waktu senang bersikap boros dan royal, sedang di masa susah menyesali nasibnya dan menjauhi agama.

An-Nafsul-lawwamah sebenarnya adalah jiwa seorang mukmin yang belum mencapai tingkat yang lebih sempurna. Penyesalan adalah benteng utama dari jiwa seperti ini karena telah melewati hidup di atas dunia dengan kebaikan yang tidak sempurna.

Perlu dijelaskan di sini hubungan antara hari Kiamat dengan an-nafsul-lawwamah, yang sama-sama digunakan Allah untuk bersumpah dalam awal surah ini. Hari Kiamat itu kelak akan membeberkan tentang jiwa seseorang, apakah ia memperoleh kebahagiaan atau kecelakaan. Maka jiwa atau an-nafsul-lawwamah boleh jadi termasuk golongan yang bahagia atau termasuk golongan yang celaka. Dari segi lain, Allah sengaja menyebutkan jiwa yang menyesali dirinya ini karena begitu besarnya persoalan jiwa dari sudut pandangan Al-Qur’an.

Huruf “la” yang terdapat pada ayat 1 dan 2 di atas adalah “la zaidah” yang menguatkan arti perkataan sesudahnya, yaitu adanya hari Kiamat dan an-nafsul-lawwamah.

Allah sendiri menjawab sumpah-Nya walaupun dalam teks ayat tidak disebutkan. Jadi setelah bersumpah dengan hari Kiamat dan an-nafsul-lawwamah, Allah menegaskan, “Sungguh kamu akan dibangkitkan dan akan dimintai pertanggungjawabanmu.” Pengertian ini diketahui dari ayat berikutnya.

Ayat 3

Apakah manusia mengira bahwa Allah tidak akan mengumpulkan kembali tulang-belulangnya? Apakah manusia mengira bahwa tulangnya yang telah hancur di dalam kubur, setelah berserakan di tempat yang terpisah-pisah tidak dapat dikumpulkan Allah kembali? Ayat yang diungkapkan dengan nada pertanyaan ini mengandung makna agar manusia memikirkan persoalan mati dan adanya hari kebangkitan itu secara serius.

Ayat 4

Diriwayatkan bahwa ayat ke 3 dan ke 4 ini diturunkan karena ulah dua orang yang bernama ‘Adiyy bin Abi Rabi‘ah bersama Akhnasy bin Syuraiq. ‘Adiyy pernah menjumpai Rasulullah dengan bertanya, “Hai Muhammad, tolong ceritakan kepadaku kapan datang hari Kiamat dan bagaimana keadaan manusia pada waktu itu?” Rasulullah saw menceritakan apa adanya. ‘Adiyy menjawab pula, “Demi Allah, andaikata aku melihat dengan mata kepalaku sendiri akan hari itu, aku juga tidak akan membenarkan ucapanmu itu dan aku juga tidak percaya kepadamu dan kepada hari Kiamat itu. Apakah mungkin hai Muhammad, Allah sanggup mengumpulkan kembali tulang-belulang manusia?” Kemudian turunlah ayat ke 4 di atas yang menegaskan kekuasaan Allah sebagai jawaban terhadap pertanyaan ‘Adiyy bin Abi Rabi‘ah dan orang-orang yang bersikap seperti dia.

Untuk menghilangkan keragu-raguan itu, Allah menegaskan sebenarnya Dia berkuasa menyusun (kembali) jari-jemari manusia dengan sempurna. Bahkan Allah sanggup mengumpulkan dan menyusun kembali bagian-bagian tubuh yang hancur sekalipun itu adalah bagian terkecil seperti jari-jemari yang begitu banyak ruas dan bukunya. Andaikata Allah tidak mempunyai ilmu pengetahuan dan kekuasaan yang sempurna, tentu tidak mungkin Allah bisa menyusunnya kembali. Ringkasnya sebagaimana tulang-belulang dan jari-jemari itu tersusun dengan sempurna, maka Allah sanggup mengembalikannya lagi seperti semula.


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Qiyamah Ayat 5-9


 

Fenomena Pengemis Viewers di YouTube dan Perintah Menjaga Kehormatan Diri dalam Al-Qur’an

0
Fenomena Pengemis Viewers di YouTube dan Perintah Menjaga Kehormatan dalam Al-Qur’an
Mengemis Viewers di YouTube

Pada era sekarang, YouTube menjadi media yang banyak digandrungi. Selain viewers yang semakin meningkat, konten kreator pun juga demikian. Hal ini disebabkan karena YouTube menyajikan konten yang bervariasi, mulai dari konten pendidikan, politik, agama, atau hanya konten hiburan semata.

Dari sudut pandang konten kreator, YouTube menjanjikan pendapatan yang cukup besar untuk channel yang sudah dimonetisasi. Dilansir dari https://finance.detik.com, meng-upload video ke YouTube memang bisa mendatangkan cuan, syarat utamanya tentu adalah viewers yang banyak.

Seorang YouTuber dapat menghasilkan pendapatan antara US$ 0,01 hingga US$ 0,03 per tampilan iklan di video yang diunggah YouTuber tersebut. Namun, rata-rata yang diperoleh YouTuber mencapai US$ 0,18, atau setara Rp 2.610 (kurs Rp 14.500) per tampilan iklan untuk satu video.

Pendapatan yang menjanjikan ini tentu akan memikat banyak orang untuk menjadi YouTuber atau konten kreator di YouTube. Namun sayangnya, untuk mendapatkan viewers yang banyak, tidak sedikit orang yang membuat konten ‘nyeleneh’ atau tidak pantas. Sebab hal ini juga menjadi kebiasaan pengguna YouTube yang akan selalu penasaran ketika melihat konten-konten aneh.

Tidak hanya itu, demi mendapatkan penonton yang banyak, terkadang seorang YouTuber juga menggunakan teknik clickbait, yaitu membuat judul thumbnail yang memikat. Terkadang clickbait yang dibuat sebagian oknum YouTuber ini terlalu berlebihan sampai judul yang dicantumkan tidak sesuai dengan isi videonya.

Hal ini tentu sangat menganggu bagi viewer yang terlanjur mengklik video tersebut. Sebab terdapat unsur kebohongan yang telah dibuat oleh YouTuber, meskipun dari pihak YouTube tidak ada larangan atau hukuman ketika membuat clickbait. Namun tetap saja hal demikian tidaklah pantas dilakukan.

Bahkan dampak terparah dari hausnya para YouTuber akan viewers ini membuat mereka meng-upload konten yang tidak senonoh seperti konten berbau pornografi. Kominfo pernah merilis data konten pornografi berada di tempat teratas dengan jumlah 16.902 pemblokiran. Ditambah dengan berbagai konten negatif yang lain.

Sungguh mencengangkan bukan? Tentu hal ini perlu mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak. Merebaknya YouTuber yang menghalalkan segala cara demi viewers yang banyak ini seakan menjadikan mereka layaknya pengemis yang meminta-minta dengan cara yang keliru.

Tentu fenomena ini mengingatkan kita pada satu kisah di dalam al-Qur’an yang menggambarkan keadaan orang-orang muslim yang memiliki kedudukan terhormat. Mereka mengabdikan dirinya ke jalan Allah, sehingga mereka lupa dengan kekurangan harta yang dimiliki. Namun hal itu, tidak menjadikan mereka mengemis kepada orang lain.

Lebih jelas, kisah tersebut diabadikan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 273 sebagai berikut:

لِلْفُقَرَاۤءِ الَّذِيْنَ اُحْصِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الْاَرْضِۖ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاۤءَ مِنَ التَّعَفُّفِۚ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْۚ لَا يَسْـَٔلُوْنَ النَّاسَ اِلْحَافًا ۗوَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ

Terjemahan: “(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga mereka tidak dapat berusaha di bumi. (Orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 273).

Baca juga: Belajar Tafsir dari Youtube? Berikut 9 Daftar Rekomendasi Pengajiannya! (Part 1)

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 273

Ibnu Katsir menyebut orang-orang fakir yang dimaksud dalam ayat tersebut yakni orang-orang Muhajirin yang telah meninggalkan segala kekayaan di Mekkah kemudian tinggal di Madinah dan belum mendapatkan usaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Kemudian mereka tidak dapat melakukan aktivitas di bumi karena terikat dengan jihadnya.

Namun orang-orang mengira bahwa mereka adalah orang kaya karena perilakunya yang tidak meminta-meminta. Hal tersebut terlihat dari tanda-tanda yang tampak dari diri mereka. Selain itu mereka juga tidak suka meminta-minta kepada orang lain dengan cara memaksa.

Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa ayat di atas mengisahkan tentang orang-orang fakir yang disebabkan sibuk jihad di jalan Allah, sehingga tidak dapat memperoleh peluang bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Mereka adalah orang-orang terhormat, bersih walau miskin, rapi walau sederhana, taat beragama, dan menghargai diri sendiri. Sampai ketika orang lain melihat mereka, tidak akan menyangka mereka adalah orang fakir karena enggan meminta-minta.

Sayyid Qutub menambahkan penjelasan ayat tersebut dengan mengibaratkan orang-orang fakir mulia yang menyembunyikan kebutuhannya itu seakan-akan seperti menutup aurat mereka. Sehingga mereka tidak menodai dan melukai kehormatannya sedikit pun. Sejatinya ayat ini juga berpesan kepada orang yang berinfaq untuk memberikannya secara rahasia agar hanya ia sendiri yang tahu dan kebaikan di sisi-Nya tidak akan sia-sia.

Baca juga: Inilah Delapan Ciri-Ciri Mukmin Sejati Menurut Surah Al-Furqan

Ibrah Ayat dan Kaitannya dengan Fenomena YouTuber

Pesan tersirat ayat di atas adalah larangan untuk meminta-minta meski dalam kondisi yang sulit. Manusia sejatinya diberikan kekuatan untuk bisa bangkit dari permasalahan yang dihadapinya dengan jalan ikhtiar. Hal serupa telah dicontohkan oleh orang-orang Muhajirin yang mampu terlihat berwibawa, kuat, bahkan terlihat seperti orang kaya padahal mereka sedang dilanda kesusahan.

Sikap bijak yang tidak meminta-minta menjadikan pribadi mereka sangat terhormat. Wacana inilah kiranya menjadi pelajaran di era sekarang untuk bijak dalam bertindak, bukan mengerjakan berbagai cara hanya untuk pelampiasan kehendak. Bukan tentang uang atau kufur nikmat, tetapi tentang penjagaan muru’ah atau martabat.

Hal ini pula yang sejatinya diperhatikan oleh para YouTuber, tidak sepantasnya mereka membuat konten yang tidak pantas hanya demi viewers yang banyak. Maka semestinya, prinsip menjaga kehormatan dalam ayat di atas dapat dijadikan sebagai renungan ketika membuat konten-konten bermanfaat di YouTube dengan cara-cara yang kreatif.

Para YouTuber setidaknya dapat memberikan edukasi terhadap penontonnya tanpa harus membuat clickbait yang terlalu berlebihan. Buatlah konten yang menarik tanpa harus mengorbankan kehormatan diri sendiri sebagai konten kreator. Meski tak banyak viewers, tetapi tidak menghalalkan berbagai cara yang dapat mencoreng kehormatan. Wallahu A’lam.

Baca juga: Hoaks Seputar covid-19 dan Pesan Tabayyun dalam Al-Quran