Beranda blog Halaman 317

Tafsir Ahkam: Hukum Takbiran Pada Hari Raya Idul Fitri

0
Hukum Takbiran Pada Hari Raya Idul Fitri
Hukum Takbiran Pada Hari Raya Idul Fitri

Hari raya tidaklah bisa dilepaskan dari bacaan takbir. Baik hari raya Idul Fitri maupun hari raya Idul Adha. Bahkan di malam hari raya Idul Fitri, ada tradisi mengumandangkan takbir berkeliling, baik dengan jalan kaki maupun berkendara. Lalu bagaimana sebenarnya hukum membaca takbir tepat di hari raya Idul Fitri maupun di malam harinya menurut Al-Qur’an? Berikut penjelasan ulama’ pakar tafsir dan pakar hukum fikih tentang hukum takbiran pada hari raya Idul Fitri.

Anjuran Bertakbir di Hari Raya

Ulama’ mengulas hukum bertakbir di hari raya Idul Fitri merujuk pada firman Allah yang berbuyi:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ١٨٥

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur (QS. Al-Baqarah [2] :185).

Baca juga: Pandangan Para Mufasir Tentang Peristiwa Pengangkatan Nabi Isa

Ulama’ mengambil hukum takbir dari redaksi walitukabbirallaha (bertakbir/ mengagungkan Allah). Lewat ayat tersebut ulama’ menyatakan bahwa bertakbir di hari raya Idul Fitri hukumnya Sunnah. Bahkan Imam Ad-Dawud Ad-Dzahiri menyatakan hukum wajib sebab redaksi ayat yang dipakai berbentuk kata perintah. Hanya Abu Hanifah yang menyatakan takbir di hari tersebut tidaklah disyariatkan (Tafsir ibn katsir/1/505).

Imam Ar-Razi di dalam tafsirnya menyatakan, ada dua penafsiran terkait redaksi walitukabbirallah. Penafsiran pertama adalah terkait tentang hukum membaca takbir tatkala Idul Fitri. Lewat penafsiran ini ulama’ berbeda pendapat mengenai tiga hal. Pertama mengenai mana yang lebih utama antara takbir di Idul Fitri dan Idul Adha; kedua mengenai kapan mulai dianjurkannya takbir; ketiga sampai kapan takbir dianjurkan. Penafsiran lain tentang redaksi walitukabbirallah menyatakan, dianjurkannya bersyukur kepada kepada Allah secara umum saja (Tafsir Mafatihul Ghaib/3/107).

Imam Ar-Ruyani di dalam Kitab Al-Bayan menyatakan, Mazhab Syafiiyah meyakini bahwa takbir di hari raya Idul Fitri dimulai sejak tenggelamnya matahari pada malam hari raya. Berbeda dengan Mazhab Malikiyah dan Hanabilah yang menyatakan bahwa mulainya takbir adalah semenjak hendak berangkat menuju Salat Ied. Dasar yang dipakai Mazhab Syafiiyah adalah, pada redaksi ayat di atas yang mengaitkan takbir dengan sempurnanya perhitungan hari puasa. Hal ini menunjukkan dimulainya takbir adalah saat selesainya hari terakhir bulan puasa; yakni dengan tenggelamnya matahari.

Sedang untuk batas terakhir takbir bagi orang yang tidak melaksanakan Salat Ied berjamaah, sebagian pendapat menyatakan ada tiga pendapat dalam Mazhab Syafiiyah. Pertama, saat imam keluar hendak melaksanakan salat id; kedua, saat imam melaksanakan takbiratul ihram; ketiga, sampai imam selesai salat dan melaksanakan dua khutbah (Al-bayan/2/653).

Imam Al-Mawardi menyatakan, ulama’ sepakat tentang kesunnahan takbir di malam hari raya Idul Adha. Sedang untuk takbir di malam Idul Fitri, ulama berbeda pendapat. Mazhab Syafiiyah menyatakan Sunnah. Sedang Mazhab Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa kesunnahan di mulai di hari raya Idul Fitri itu sendiri, bukan pada malam harinya (Al-Hawi Al-Kabir/2/1096).

Baca juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan, takbir pada hari raya Idul Fitri menurut sebagian ulama’ hukumnya adalah Sunnah. Khusus untuk malam Idul Fitri, takbir hukumnya sunnah menurut Mazhab Syafiiyah. Oleh karena itu, tradisi takbiran baik di tempat ibadah maupun di jalan-jalan adalah tradisi yang berpijak kepada Mazhab Syafiiyah, yang menyatakan bahwa kesunnahan takbir di hari Idul Fitri dimulai dari tenggelamnya matahari. Wallahu a’lam bish showab.

Pandangan Para Mufasir Tentang Peristiwa Pengangkatan Nabi Isa

0
Kenaikan Nabi Isa
Kenaikan Nabi Isa dalam Surah An-Nisa Ayat 157-158

Salah satu permasalahan yang sering ditanyakan terkait kisah dalam Al-Qur’an – terutama kisah para nabi – adalah peristiwa pengangkatan nabi Isa as ke langit. Orang-orang acapkali bertanya, “apakah beliau benar-benar diangkat ke langit atau disalib? bagaimana Al-Qur’an mengisahkan tentang pengangkatan nabi Isa? Dan siapa sebenarnya yang diserupakan dengan beliau?”

Jika merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an berkenaan peristiwa pengangkatan nabi Isa as, khususnya surah an-Nisa [4] ayat 157 dan 158, di sana akan ditemukan informasi yang menyebutkan bahwa nabi Isa tidak dibunuh dan tidak disalib sebagaimana yang dianggap oleh sebagian orang. Yang benar menurut kedua ayat ini adalah Allah swt mengangkatnya kepada-Nya.

Baca Juga: Kisah Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya

Firman Allah swt:

وَّقَوْلِهِمْ اِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللّٰهِۚ وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۗوَاِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ ۗمَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًاۢ ۙ ١٥٧ بَلْ رَّفَعَهُ اللّٰهُ اِلَيْهِ ۗوَكَانَ اللّٰهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا ١٥٨

Dan (Kami hukum juga) karena ucapan mereka, “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat tentang (pembunuhan) Isa, selalu dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), melainkan mengikuti persangkaan belaka, jadi mereka tidak yakin telah membunuhnya. Tetapi Allah telah mengangkat Isa ke hadirat-Nya. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

Secara umum, surah an-Nisa [4] ayat 157 dan 158 berisi tentang bantahan Allah swt terhadap pengakuan kaum Yahudi bahwa mereka telah membunuh nabi Isa as, puteran Maryam. Ia tidaklah dibunuh dan tidak disalib, sebab kenyataannya, orang yang mereka bunuh adalah seseorang yang diserupakan dengan nabi Isa, sedangkan dirinya diangkat ke hadirat Allah swt.

Atas dasar kedua ayat inilah Quraish Shihab berargumen, seorang muslim wajib yakin dan percaya bahwa nabi Isa tidak disalib dan tidak pula dibunuh, tetapi diselamatkan oleh Allah swt. Namun kita tidak bisa memastikan bagaimana cara penyelamatan dan pengangkatan nabi Isa, karena itu merupakan rahasia-Nya dan tidak ada bukti konkret yang bisa dijadikan acuan. Para ulama juga berbeda pandangan mengenai perincian peristiwa tersebut

Hal senada disampaikan oleh al-Sa’adi dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan. Menurutnya, surah an-Nisa [4] ayat 157 dan 158 merupakan bantahan terhadap kaum Yahudi yang mengaku telah membunuh dan menyalib nabi Isa as. Padahal yang sebenarnya terjadi mereka tidaklah membunuh atau menyalibnya, melainkan orang yang diserupakan oleh Allah swt dengannya.

Pendapat inilah –berdasarkan makna tekstual Al-Qur’an – yang dipegangi oleh mayoritas mufasir, bahwa nabi Isa tidak mati dibunuh dan tidak disalib, tetapi beliau diangkat Allah swt ke hadirat-Nya. Namun mereka berbeda pendapat mengenai bagaimana Allah mengangkatnya, karena tidak ada keterangan rinci di dalam Al-Qur’an maupun hadis (Tafsir al-Misbah [2]: 650).

Menurut Syekh Nawawi al-Bantani – mengutip para mutakallimin – ketika kaum Yahudi sepakat untuk membunuh nabi Isa, Allah swt langsung mengangkatnya ke langit. Mengetahui hilangnya nabi Isa, para petinggi kebingungan dan takut masyarakat awam tidak lagi mempercayai mereka. Akhirnya dipilihlah seorang laki-laki untuk menggantikan tempat nabi Isa.

Pemuda tersebut kemudian dibunuh dan disalib. Mereka (kaum Yahudi) menipu orang-orang dan menyatakan bahwa itu adalah nabi Isa as. Mayoritas masyarakat percaya terhadap dakwaan ini karena mereka jarang bertemu dengan nabi Isa kecuali segelintir orang. Selain itu, jumlah Nasrani yang sedikit menyulitkan identifikasi kebenaran peristiwa tersebut (Marah Labid [1]: 240).

Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa orang yang disalip bukanlah orang jahat, melainkan salah satu sahabat murid nabi Isa yang sering disebut Hawariyyun. Dikisahkan bahwa ia menggantikan posisi nabi Isa ketika dikepung di suatu rumah. Ia berinisiatif melakukan hal ini dengan janji bahwa ia akan mendapatkan ganjaran surga di sisi Allah swt.

Pendapat ini didasarkan pada riwayat sahih dari Ibnu Abbas yang berbunyi, “Ketika Allah hendak mengangkat Isa ke langit, beliau menemui para muridnya, dan ketika itu di rumah ada 12 lelaki Hawariyyun… kemudian Isa mengatakan, ‘Siapakah di antara kalian yang wajahnya digantikan seperti wajahku, lalu dia akan dibunuh menggantikan aku, dan dia akan mendapatkan surga yang derajatnya sama denganku’.”

Lalu berdirilah seorang pemuda yang paling muda usianya, “Saya.” “Duduk.” Kata Isa. Nabi Isa mengulang lagi tawarannya, dan pemuda itu angkat tangan dan menyatakan “Saya.” Nabi Isa tetap menyuruhnya untuk duduk. Hingga berlangsung sampai 3 kali. Pada pertanyaan ketiga, pemuda ini mengangkat tangan lagi, “Saya.” Lalu Isa mengatakan, “Baik, kamu orangnya.”

Lantas Allah swt menyerupakannya dengan nabi Isa, sedangkan nabi Isa diangkat melalui lubang angin yang ada di atap, menuju langit. Kemudian datanglah orang Yahudi yang mencarinya, mereka langsung menangkap manusia  yang mirip dengan nabi Isa itu, dan langsung membunuhnya, lalu menyalibnya sebagaimana kisah yang masyhur di masyarakat (Tafsir Ibnu Katsir [2]: 449).

Sedangkan Sayyid Qutb menyebutkan – mengutip Injil Barnabas – orang yang dibunuh dan disalib adalah Yahuza atau lebih dikenal Yudas Iskariot. Dikisahkan bahwa setelah nabi Isa diangkat ke langit oleh Allah swt melalui perantara malaikat Jibril, Mikail, Rafail dan Oril, Yudas memasuki ruangan nabi Isa lalu diserupakan dengan beliau. Akibatnya, ia lah yang ditangkap, dibunuh dan disalib.

Baca Juga: Tafsir Surah Maryam Ayat 33: Tiga Bentuk Keselamatan Yang Diminta oleh Nabi Isa

Terlepas dari perdebatan siapa orang yang diserupakan oleh Allah swt dengan nabi Isa dan bagaimana Allah mengangkat beliau, ada satu hal yang harus diyakini oleh seorang muslim, yakni bahwa nabi Isa tidak dibunuh dan disalib sebagaimana disebutkan dalam surah an-Nisa [4] ayat 157 dan 158. Adapun perincian bagaimana peristiwa pengangkatan nabi Isa hanya Allah swt yang mengetahuinya dan tidak perlu diperdebatkan.

Dalam konteks kerukunan beragama – berkenaan pandangan ini – umat Islam tidak boleh memaksakan pendapat kepada kaum Kristiani bahwa nabi Isa tidak disalib sebagaimana anggapan mereka. Sebab tindakan tersebut dapat mencederai kerukunan bermasyarakat. Kita cukup menyebutkan bahwa dalam ajaran Islam, khususnya dalam Al-Qur’an, nabi Isa diangkat oleh Allah swt tidak dibunuh dan tidak pula disalib. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari

0
waspadai terorisme ekologis! memaknai Rahmatan Lil Alamin
waspadai terorisme ekologis! memaknai Rahmatan Lil Alamin

Tantangan umat beragama di tengah himpitan globalisasi sebetulnya tak melulu soal terorisme agama saja, dirasa akan mencabik-cabik persatuan yang dirajutnya sejak revolusi 1945, dalam keberagaman dan keberagamaan. Ada teror lain yang tidak kalah bahaya bagi kelangsungan dan keberlanjutan hidup umat manusia, yakni terorisme ekologis.

Di mana banyak investor modal besar menghajar lanskap hutan menjadi perkebunan sawit dan tambang batu bara, pegunungan disulap jadi tambang emas, batuan kapur, dan tambang ekstraktif lainnya. Sehingga terjadi pencemaran lingkungan sebagai dampaknya, serta rentan terjadinya bencana ekologis, seperti krisis air dan banjir bandang.

Saya temukan istilah terorisme ekologis pertama kali dalam buku karangan Vandhana Shiva, Water Wars. Karena kadangkali mereka yang punya relasi kuasa suka menyelubungi perang rebutan sumber daya alam sebagai konflik etnis atau agama. Seperti isu separatisme Kaum Sikh yang menyelisihkan pembagian air sungai Punjab di India.

Bahkan perang antar kabilah dan suku di semenanjung Arab praIslam juga dilatar belakangi oleh perebutan oase di tengah gurun pasir (Firas Alkhateb, 2016), hingga gelombang terorisme di kawasan Afghanistan dan juga Suriah ditenggarai untuk menyokong kepentingan Amerika dalam perang minyak. Artinya, tumbuh suburnya ideologi fundamentalisme agama seringkali berada di negara terbelakang yang kaya akan sumber daya alam.

Baca Juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Al-Quran

Alarm Waspada Terorisme Ekologis dalam Memaknai Rahmatan Lil Alamin

Pertanyaannya sekarang, seberapa jauh Islam memperhatikan terorisme ekologis yang dimotori oleh elit bisnis? Nyatanya begitu berbeda perhatiannya terhadap terorisme agama. Saban terjadi bom bunuh diri oleh para jihadis, banyak menuai kecaman dari berbagai kalangan, terutama dari umat Islam sendiri. Di mana-mana tidak lelah merapalkan slogannya yang hingga familiar di telinga kita, bahwa Islam itu agama yang rahmatan lil alamin, agama yang menebar kasih sayang di muka bumi ini.

Maka menjadi penting memaknai slogan tersebut, yang berangkat dari ayat Al-Quran, Surah Al-Anbiya’ [21] : 107.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”

Menurut tafsiran kitab al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 17 (Ibnu Asyur, 1984), ada dua aspek yang dapat dirinci dari ayat di atas. Pertama, penciptaan diri Nabi Muhammad Saw yang suci dengan akhlak yang penuh kasih sayang (rahmat). Kedua, rahmat yang universal dalam syariat Nabi.

Pada aspek pertama, Abu Bakar Muhammad bin Thahir berkata “Allah menghiasi Nabi Muhammad Saw dengan hiasan rahmat, maka keberadaan Nabi adalah rahmat, segenap watak (karakter) Nabi adalah rahmat, dan sifat Nabi adalah rahmat kasih sayang kepada umat manusia”.

Di mana Nabi menjadi manusia yang penuh kasih sayang di setiap tindakannya kepada umat. Memiliki jiwa yang suci dan wahyu beserta syariat yang diterimanya menjadi rahmat dan mampu melapangkan jiwa.

Baca Juga: Mengenal Green Deen: Persepektif Keberislaman yang Ramah Lingkungan dan Berbasis Nilai-Nilai Qur’ani

Adapun aspek kedua, yakni mengandung unsur rahmat yang universal bagi seluruh mahluk. Karena terma li al-‘alamin itu sehubungan dengan terma rahmatan, di mana pengertiannya mencakup segala hal yang meneguhkan pada istilah ‘alam. Kata ‘alam menurut Ibnu Asyur mencakup dua hal: segenap golongan yang berpengetahuan, yakni manusia; dan berbagai macam mahluk yang hidup.

Pertama, segenap mahluk yang berpengetahuan. Artinya adanya syariat Nabi Muhammad punya cakupan luas yang merahmati umat manusia. Sedang syariat-syariat nabi sebelumnya kalaupun penuh rahmat namun tidak diperuntukkan bagi segenap manusia.

Seperti halnya hanifiyyah sebagai syariat Nabi Ibrahim, rahmatnya khusus bagi Nabi Ibrahim sendiri, tidak untuk tuntunan umum. Kemudian syariat Nabi Isa juga tak jauh beda, yang terkadang mengandung tidak sedikit tentang hukum-hukum yang membutuhkan hikmah ilahi dalam kebijakan politik kebangsaan yang teratur. Seperti syariat dalam kitab Taurat, yang menjadi pedoman sekaligus rahmat bagi keseharian Nabi Isa dan segenap umatnya saja.

Sementara Islam mengasihi seluruh umat manusia, bahkan menurut Ibnu Asyur hingga terhadap orang-orang non-muslim, seperti halnya mereka berkenan hidup di bawah naungan kekuasaan Islam, yang disebut ahl al-dzimmat.

Kedua, berkenaan pada segenap mahluk yang hidup di muka bumi ini. Syariat yang demikian berhubungan dengan kehidupan fauna (hayawan) yang membersamai manusia dan memberi kemanfaatan.

Syariat Islam mengizinkan manusia untuk mengambil manfaat dari binatang, tetapi tak membolehkan mempermainkan hewan buruan dan menyiksa hewan yang tak hendak dimakan. Selanjutnya, bila ada hewan yang mengganggu dan berbahaya maka boleh membunuhnya dan membuangnya, demi mencapai rahmat bagi kehidupan manusia.

Penafsiran demikian yang sudah banyak diamini oleh kalangan ulama, menarik jika disandingkan dengan pemaparan Syeikh Ali Jum’ah, seorang mufti di kawasan Mesir, dalam kitabnya al-Bi’ah wa al-hifadz Alaiha min Mandzur Islamy (2009), yang membahas tentang ekologi (al-bi’ah) dalam perspektif Islam secara teologi dan fikih.

Menyoal Nabi Muhammad Saw yang diutus untuk merahmati semesta alam dalam Surat Al-Anbiya’ ayat 107. Ali Jum’ah menerangkan bahwa Rasul menjadi rahmat bagi mahluk seluruhnya, semua manusia dan jin, rahmat bagi hewan, tetumbuhan, dan benda-benda padat (jamad) di muka bumi ini.

Rahmat yang paling agung berupa petunjuk manusia kepada ma’rifat, yakni mengenal Sang Pencipta dan segenap ciptaan-Nya, serta penentuan jalan yang lurus dalam penghambaan kepada Sang Pencipta, Allah Swt.

Sebagaimana Hadis yang menyerukan kasih sayang kepada semua mahluk, Rasul Saw. bersabda: “Orang-orang yang pengasih akan dikasihi Sang Maha Pengasih, kasihilah orang mereka yang di bumi, maka mereka yang di langit akan mengasihimu” (H.R. Tirmidzi, hadis hasan sahih)

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis

Menurut Ali Jum’ah selanjutnya, rahmat secara universal yang diserukan Rasul punya ruang lingkup yang luas dan meliputi segenap artian: menjaga dan melestarikan lingkungan hidup manusia, yang memungkinkan mencapai rahmat dalam aspek syariat maupun filsafat, dan kapanpun dan di manapun berada hingga di luar Islam.

Karena tidak dipungkiri aktivitas umat Islam sendiri selalu berkaitan dengan sumber-sumber agraria, misalnya bersuci (thaharah) yang menjadi bab utama dalam kitab fikih, di mana aktivitas wudhu sebelum shalat membutuhkan air yang bersih.

Hal ini bisa terancam jika terjadi krisis air, akibat banyaknya alihfungsi hutan menjadi sawit yang rakus air, dan tambang ekstraktif yang kemudian mencemari air. Ketika terjadi hujan lebat datang bencana baru lagi berupa banjir yang airnya meski melimpah tapi tak dapat dimanfaatkan.

Dalam konteks luas, kerusakan lingkungan yang terpampang di depan mata kita ini, juga mengancam segenap kehidupan di muka bumi ini. Dalam film dokumenter Kinipan, bahwa Covid 19 merupakan proses zoonosis, pindahnya virus yang hidup di hutan belantara ke dalam peradaban manusia karena hutannya telah hilang.

Inilah sebentuk terorisme ekologis yang diaktori oleh aliansi para pemodal dan difasilitas oleh negara, untuk meraup keuntungan yang tiada mengenal kepuasan. Padahal jika kita berangkat dari teologi rahmat li al-‘alamin, sudah seharusnya mengasihi segenap bentang alam yang dianugerahkan oleh Tuhan.

Wallahu a’lam

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 61-65

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 61-65 mengisahkan tentang Nabi Musa dan Yusya’ yang akan menyeberangi dua laut. Perjalanan ini mengantarkan Nabi Musa dan Yusya’ berjumpa dengan Nabi Khidir. Selain itu dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 61-65 tentang cara orang memperoleh ilmu menurut Imam Al-Ghazali.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 60


Ayat 61

Dalam ayat ini, Allah menceritakan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusya’ sampai ke pertemuan dua laut, mereka berhenti, tetapi tidak tahu bahwa tempat itulah yang harus dituju. Sebab, Allah tidak memberi tahu dengan pasti tempat itu. Hanya saja Allah memberi petunjuk ketika ditanya oleh Nabi Musa sebelum berangkat, sebagaimana sabda Rasul saw ketika menceritakan pertanyaan Nabi Musa itu :

يَارَبِّي وَكَيْفَ لِيْ بِهِ؟ قَالَ: تَأْخُذُ مَعَكَ حُوْتًا فَتَجْعَلُهُ بِمِكْتَلٍ فَحَيْثُمَا فَقَدْتَ الْحُوْتَ فَهُوَ ثَمَّ. (رواه البخاري عن أبيّ بن كعب)

Ya Tuhanku, bagaimana saya dapat menemukannya? Allah berfirman, “Bawalah seekor ikan dan masukkan pada sebuah kampil, manakala ikan itu hilang, di situlah tempatnya.” (Riwayat al-Bukhari dari Ubay bin Ka’ab)

Di atas sebuah batu besar di tempat itu, Nabi Musa dan muridnya merasa mengantuk dan lelah. Keduanya pun tertidur dan lupa pada ikannya. Ketika itu, ikan yang ada dalam kampil tersebut hidup kembali dan menggelepar-gelepar, lalu keluar dan meluncur menuju laut. Padahal kampil waktu itu ada di tangan Yusya’. Kejadian ini, yaitu ikan mati menjadi hidup kembali, merupakan mukjizat bagi Nabi Musa a.s..

 Setelah bangun tidur, mereka pun melanjutkan perjalanan. Yusya’ pun lupa tidak menceritakan kepada Nabi Musa kejadian yang aneh tentang ikan yang sudah mati hidup kembali.

Ayat 62

Dalam ayat ini, Allah menceritakan bahwa keduanya terus melanjut-kan perjalanannya siang dan malam. Nabi Musa pun merasa lapar dan berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan ini.”

Perasaan lapar dan lelah setelah melampaui tempat pertemuan dua laut itu ternyata mengandung hikmah, yaitu mengembalikan ingatan Nabi Musa a.s. kepada ikan yang mereka bawa.

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan betapa luhurnya budi pekerti Musa a.s. dalam bersikap kepada muridnya. Apa yang dibawa oleh muridnya sebagai bekal itu merupakan milik bersama, bukan hanya milik sendiri. Betapa halus perasaannya ketika menyadari bahwa letih dan lapar itu tidak hanya dirasakan dirinya, tetapi juga dirasakan orang lain.

Ayat 63

Dalam ayat ini, Yusya’ menjawab secara jujur bahwa ketika mereka beristirahat dan berlindung di batu tempat bertemunya dua laut, ikan itu telah hidup kembali dan menggelepar-gelepar, lalu masuk ke laut dengan cara yang sangat mengherankan. Namun, dia lupa dan tidak menceritakan kepada Nabi Musa a.s.. Kekhilafan ini bukan karena ia tidak bertanggung jawab, tetapi setan yang menyebabkannya.

Ayat 64

Mendengar jawaban seperti tersebut di atas, Nabi Musa menyambut-nya dengan gembira seraya berkata, “Itulah tempat yang kita cari. Di tempat itu, kita akan bertemu dengan orang yang kita cari, yaitu Nabi Khidir.” Mereka pun kembali mengikuti jejak semula, untuk mendapatkan batu yang mereka jadikan tempat berlindung.

Menurut al-Biqa’i, firman Allah dalam ayat ini menunjukkan bahwa mereka itu berjalan di padang pasir, sehingga tidak ada tanda-tanda, akan tetapi ada jejak mereka. Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud dalam firman Allah tentang pertemuan dua laut itu ialah pertemuan air tawar (sungai Nil) dengan air asin (Laut Tengah) yaitu kota di Dimyath atau Rasyid di negeri Mesir.

Ayat 65

Dalam ayat ini, dikisahkan bahwa setelah Nabi Musa dan Yusya’ menelusuri kembali jalan yang dilalui tadi, mereka sampai pada batu yang pernah dijadikan tempat beristirahat. Di tempat ini, mereka bertemu dengan seseorang yang berselimut kain putih bersih.

Orang ini disebut Khidir, sedang nama aslinya adalah Balya bin Mulkan. Ia digelari dengan nama Khidir karena ia duduk di suatu tempat yang putih, sedangkan di belakangnya terdapat tumbuhan menghijau. Keterangan ini didasarkan pada hadis berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا سُمِّيَ الْخِضْرُ لِأَنَّهُ جَلَسَ عَلَى فَرْوَةٍ بَيْضَاء، فَإِذَا هِيَ تَهْتَزُّ مِنْ خَلْفِهِ خَضْرَاء. (رواه البخاري)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw bersabda, “Dinamakan Khidir karena ia duduk di atas kulit binatang yang putih. Ketika tempat itu bergerak, di belakangnya tampak tumbuhan yang hijau.” (Riwayat al-Bukhari)

Dalam ayat ini, Allah swt juga menyebutkan bahwa Khidir itu ialah orang yang mendapat ilmu langsung dari Allah. Ilmu itu tidak diberikan kepada Nabi Musa, sebagaimana juga Allah telah menganugerahkan ilmu kepada Nabi Musa yang tidak diberikan kepada Khidir.

Menurut Hujjatul Islam al-Gazali, bahwa pada garis besarnya, ada dua cara bagi seseorang untuk mendapatkan ilmu:

  1. Proses pengajaran dari manusia, disebut at-ta’lim al-insani, yang dibagi lagi menjadi dua, yaitu: Belajar kepada orang lain (di luar dirinya) dan belajar sendiri dengan menggunakan kemampuan akal pikiran.
  2. Pengajaran yang langsung diberikan Allah kepada seseorang yang disebut at-ta’lim ar-rabbani, yang dibagi menjadi dua juga, yaitu : Diberikan dengan cara wahyu, yang ilmunya disebut: ‘ilm al-anbiya’ (ilmu para nabi) dan ini khusus untuk para nabi dan diberikan dengan cara ilham yang ilmunya disebut ‘ilm ladunni (ilmu dari sisi Tuhan). ‘Ilm ladunni ini diperoleh dengan cara langsung dari Tuhan tanpa perantara. Kejadiannya dapat diumpamakan seperti sinar dari suatu lampu gaib yang langsung mengenai hati yang suci bersih, kosong lagi lembut. Ilham ini merupakan perhiasan yang diberikan Allah kepada para kekasih-Nya (para wali).

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 66-73


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 57-59

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 57-59 menerangkan tentang dalam memperingati manusia Allah melakukannya dengan cara yang menyenangkan hati hingga sampai ke ancaman. Selain itu Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 57-59 ini juga menjelaskan bahwa Allah Maha pengampun.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 54-56


Ayat 57

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa menolak kebenaran adalah suatu kezaliman yang sangat besar. Allah telah memperingatkan dengan cara yang menyenangkan hati, berupa kabar gembira, ataupun dengan cara ancaman, namun orang-orang kafir dan orang-orang musyrik itu tetap keras kepala, dan tetap memilih kekafiran dan perbuatan maksiat yang terus mereka kerjakan.

Dengan sikap keras kepala dan menolak kebenaran itu berarti mereka telah menganiaya atau menzalimi diri sendiri. Kezaliman pada diri sendiri yang mereka lakukan mengundang hukuman Allah yang datang beruntun atas diri mereka. Setelah mereka menolak kebenaran yang dibawa oleh rasul, mereka pun lupa atas tindakan kekafiran dan kemaksiatannya. Penolakan mereka terhadap kebenaran menyebabkan mereka terseret kepada tindakan-tindakan kemaksiatan.

Kesalahan-kesalahan yang dilakukan itu menyebabkan mereka lupa atas nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya. Akhirnya, mereka sama sekali tidak dapat memikirkan akibat apa yang akan menimpa diri mereka sendiri. Hatinya telah membatu, sehingga tidak dapat memahami kebenaran manapun.

Seruan kebenaran syariat Islam tidak mereka dengar lagi, kian hari mereka bertambah parah, sehingga obat apapun yang diberikan tidak akan dapat menolong. Ayat ini sangat tepat diberlakukan pada orang musyrik Mekah yang mati dalam kekafiran.

Ayat 58

Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa Dia Maha Pengampun, dan rahmat-Nya Maha Luas, meliputi seluruh alam, seluruh apa yang ada di langit dan di bumi. Salah satu bukti atas sifat pemurah dan rahmat Allah Yang Maha Luas itu ialah Dia tidak segera menjatuhkan azab atas orang-orang kafir musyrik.

Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi mereka kembali menjadi sadar, karena setiap manusia mempunyai benih kebaikan di dalam dirinya. Diharapkan pikirannya yang jernih akan menyuburkan fitrah manusiawinya untuk berkembang dan ingat kembali kepada Tuhan.

Sehingga kalau mereka mau memohon ampun, meskipun dosa-dosanya menumpuk dan menggunung, niscaya akan di-ampuni oleh Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Memang ada di antara orang-orang yang sesat itu yang dapat melepaskan diri dari kesesatan, kemudian kembali ke jalan yang benar.

 Meskipun Allah memiliki sifat menahan murka, Maha Pengampun dan Mahaluas Rahmat-Nya, namun kalau tenggang waktu yang sudah diberikan tidak juga digunakan untuk menyadari diri, maka akan datang waktu yang sudah dijanjikan Allah untuk mengazab para musyrikin dan orang-orang kafir itu. Kalau ketentuan batas waktu itu sudah tiba, mereka harus mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya. Mereka harus menanggung azab Allah akibat perbuatan mereka sendiri. Pada waktu itu, tidak ada seorang pun yang dapat membelanya, dan tidak ada suatu tempat pun yang dapat dijadikan untuk berlindung.

Ayat 59

Dalam ayat ini, Allah mengingatkan kembali negeri-negeri yang telah dibinasakan beserta penduduknya, karena tetap berbuat zalim dan kufur kepada ayat-ayat Allah, kendatipun telah diberi peringatan dan ancaman oleh para rasul yang diutus kepada mereka. Negeri-negeri beserta penduduknya itu antara lain: Madyan (negeri kaum Syuaib), Hijr (negeri kaum ¤amud), al-Ahqaf (negeri kaum ‘Ad), dan Sodom (negeri kaum Luth).

Kebinasaan mereka itu sengaja disebutkan kembali dengan maksud bahwa kendati Allah memiliki sifat Pengampun dan Mahaluas Rahmat-Nya, namun kalau suatu bangsa atau penduduk suatu negeri tetap berbuat zalim dan kufur kepada ayat-ayat Allah, mereka akan dihancurkan beserta negerinya.

Selain dari sifat tersebut di atas, Allah juga memiliki sifat Maha Adil. Dia akan menjatuhkan azab dan hukuman sesuai dengan tindak perbuatan hamba-Nya itu sendiri. Hal ini pun berlaku atas kaum kafir dan musyrikin Quraisy. Kalau sudah datang waktunya, maka para pemuka kaum Quraisy Mekah itu dihancurkan Tuhan, yaitu pada Perang Badar.

Peringatan ini dimaksudkan juga untuk menambah kuat dan mantap keimanan orang-orang yang sudah beriman.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 60


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 54-56

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 54-56 ini mengisahkan tentang macam-macam perumpamaan dalam Alquran sebagai bentuk pembelajaran bagi manusia sebagai makhluk yang paling suka membantah.

Ayat 54

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 54-56 khususnya pada ayat ini menjelaskan bahwa berbagai macam perumpamaan dikemukakan Allah di dalam Al-Qur’an, baik berupa perbandingan terhadap sesuatu ataupun berbentuk kisah. Hal ini dimaksudkan sebagai cermin perbandingan bagi manusia, sebab ia mempunyai akal pikiran. Dari binatang kecil, seperti nyamuk, semut, lalat, dan lebah, sampai benda-benda alam yang besar, seperti gunung dan samudera, dijadikan contoh untuk menarik perhatian manusia.

Namun demikian, manusia adalah makhluk yang paling suka membantah. Artinya, ketika Allah menyadarkan akal pikiran dan budi luhurnya dengan berbagai macam perumpamaan itu, mereka pun mencari-cari dalih untuk mengingkari dan tidak mau mematuhinya. Hal itu disebabkan oleh pengaruh hawa nafsu, kesombongan, dan tipu daya setan dan Iblis.

Dalam suatu hadis diriwayatkan bahwa Rasulullah saw datang kepada Ali dan Fatimah pada suatu malam dan bertanya:

اَلاَ تُصَلِّيَانِ؟ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا أَنْفُسُنَا بِيَدِ اللهِ فَإِذَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَنَا بَعَثَنَا، فَانْصَرَفَ حِيْنَ قُلْتُ ذٰلِكَ وَلَمْ يَرْجِعْ إِلَيَّ شَيْئًا ثُمَّ سَمِعْتُهُ وَهُوَ مُوَلٍّ يَضْرِبُ فَخِذَهُ وَيَقُوْلُ: وَكَانَ الْإِنْسَانَ أَكْثَرَ شَيْئٍ جَدَلاً. (رواه البخاري عن علي بن أبي طالب)

“Apakah kamu berdua salat?” Maka saya (Ali) menjawab, “Hai Rasulullah, diri kami ini sesungguhnya ada di tangan Allah, kalau dia mau membangkitkan kami, tentu Dia sanggup membangkitkan kami.” Maka beliau berpaling ketika saya mengucapkan itu, dan beliau tidak menjawab perkataan saya sedikit pun. Kemudian saya mendengar beliau memukul pahanya sendiri sambil berpaling dan mengucapkan, “Tetapi manusia itu adalah makhluk yang paling banyak membantah.” (Riwayat al-Bukhari dari Ali bin Abu Thalib)

Ayat 55

Setelah cukup banyak macam perumpamaan dan kias perbandingan dipaparkan dalam Al-Qur’an, tetapi ternyata manusia banyak yang ingkar, maka Allah kembali memberikan penjelasan tentang kesombongan orang-orang kafir pada masa dahulu. Mereka mendustakan rasul dan tidak mau mengikuti petunjuk-petunjuk yang dibawanya.

Kendati mereka telah menyaksikan sendiri tanda-tanda dan bukti-bukti yang jelas tentang kebenaran petunjuk-petunjuk itu, tetapi mereka tidak juga insaf dan tetap tidak mau mengikutinya. Padahal kalau mereka mau mengikuti petunjuk para rasul dan meninggalkan kemusyrikan, mau mohon ampun kepada Allah, dan bertobat atas kemaksiatan yang dilakukannya pada waktu yang silam, niscaya mereka akan diberi ampunan. Tetapi semua itu tidak mereka kerjakan.

Demikian pula kaum musyrikin Quraisy, mereka tidak mau mengikuti petunjuk Al-Qur’an, karena sifat ingkar dan keras kepala yang telah mengakar pada jiwa mereka. Sifat inilah yang mendorong mereka meminta ditimpakan siksaan atas mereka, sebagaimana yang pernah ditimpakan kepada orang-orang yang terdahulu, yaitu azab yang membinasakan mereka sampai ke akar-akarnya (azab isti’shal), atau azab yang ditimpakan kepada mereka berturut-turut, azab demi azab dengan nyata.

Permintaan orang-orang musyrik Quraisy yang menentang Allah dan mengejek Rasulullah saw itu diterangkan oleh Allah swt dalam firman-Nya:

وَاِذْ قَالُوا اللهم  اِنْ كَانَ هٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَاَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ اَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ

Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, ”Ya Allah, jika (Al-Qur’an) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.” (al-Anfal/8: 32); Sikap mereka yang demikian itu menunjukkan kekafiran yang berlebihan yang mencelakakan bagi diri mereka sendiri.

Ayat 56

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan tugas para rasul-Nya, yaitu menyampaikan petunjuk dan menyadarkan manusia untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan dua cara:

  1. Dengan cara tabsyir, yaitu menyampaikan berita-berita yang menggembirakan. Barang siapa yang menuruti dan menaati petunjuk Allah, niscaya Dia akan memberikan keselamatan di dunia dan di akhirat.
  2. Dengan cara indzar, yaitu menyampaikan berita-berita yang berisi ancaman. Barang siapa yang tidak mau mematuhi petunjuk Allah, tetapi menuruti setan dan hawa nafsu, maka dia akan mendapatkan kerugian dan kecelakaan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Petunjuk yang dibawa para rasul adalah petunjuk kebenaran yang mutlak karena dan datang dari Allah. Barang siapa membantahnya seperti yang dilakukan oleh orang-orang kafir, berarti ia membantah kebenaran mutlak. Dengan kata lain, orang-orang kafir itu membuat kesalahan mutlak.

Apalagi cara yang mereka tempuh adalah cara yang salah. Mereka tidak menempuh jalan yang lurus, berarti mereka berada pada jalan yang bengkok. Mereka menentang kesucian, berarti mereka menempuh jalan yang kotor. Keinginan mereka untuk menumpas kebenaran hanya akan sia-sia. Sebab kebenaran akan tetap tegak.

Inilah yang selalu dialami oleh setiap rasul dalam mengemban tugasnya menyampaikan kebenaran dan petunjuk-petunjuk Allah. Para rasul mendapat tantangan dan perlawanan dari orang-orang yang sombong. Seruan kebenaran dan ancaman Allah hanya jadi bahan ejekan dan olok-olokan mereka. Bahkan tidak jarang terjadi, kalau orang-orang kafir itu terdesak dan kewalahan, mereka mengeluarkan ancaman-ancaman yang langsung ditujukan kepada para rasul atau pengikut-pengikutnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Kahfi ayat 57-59


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 51-53

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 51-53 menjelaskan bahwa setan tidak berhak untuk menjadi pelindung bagi manusia, sebab Allah maha kuasa atas segala sesuatu di alam semesta ini. Dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 51-53 ini dikisahkan pula bahwa ketika penciptaan manusia setan tidak didatangkan untuk menyaksikan. Kemudian Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 51-53 ini juga mengingatkan kembali kepada manusia untuk mempercayai hari akhir.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-kahfi ayat 50


Ayat 51

Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan tentang kekuasaan-Nya, dan menyatakan bahwa setan tidak berhak untuk menjadi pembimbing atau pelindung bagi manusia. Setan tidak mempunyai hak sebagai pelindung, tidak hanya disebabkan kejadiannya dari nyala api saja tetapi juga karena mereka tidak mempunyai saham dalam menciptakan langit dan bumi ini.

Allah swt menegaskan bahwa Iblis dan setan tidak dihadirkan untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi ketika Allah menciptakannya, bahkan tidak pula penciptaan diri mereka sendiri, dan tidak pula sebagian mereka menyaksikan penciptaan sebagian yang lain. Bilamana mereka tidak punya andil dalam penciptaan itu, bagaimana mungkin mereka memberikan pertolongan dalam penciptaan tersebut.

Dengan demikian, patutkah setan-setan itu dijadikan sekutu Allah? Allah swt dalam menciptakan langit dan bumi ini tidak pernah sama sekali menjadikan setan-setan, berhala-berhala, dan sembahan-sembahan lainnya sebagai penolong. Hanya Allah yang menciptakan alam semesta ini, tanpa pertolongan siapapun.

Oleh karena itu, setan-setan dan berhala-berhala tidak patut dijadikan sekutu bagi Allah dalam peribadatan seorang hamba-Nya. Sebab, yang disembah hanyalah yang ikut menciptakan bumi dan langit. Sekutu dalam penciptaan, sekutu pula dalam menerima ibadah. Dan sebaliknya tidak bersekutu dalam penciptaan, tidak bersekutu pula dalam menerima ibadah. Maka yang berhak menerima ibadah hanyalah Allah swt.

Allah swt berfirman:

قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِۚ لَا يَمْلِكُوْنَ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِى السَّمٰوٰتِ وَلَا فِى الْاَرْضِ وَمَا لَهُمْ فِيْهِمَا مِنْ شِرْكٍ وَّمَا لَهٗ مِنْهُمْ مِّنْ ظَهِيْرٍ   ٢٢

Katakanlah (Muhammad), ”Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah! Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka sama sekali tidak mempunyai peran serta dalam (penciptaan) langit dan bumi dan tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya.” (Saba/34: 22);

Ayat 52

Allah dalam ayat ini mengingatkan Rasulullah tentang hari kiamat. Allah menyeru kaum musyrikin dengan seruannya, “Cobalah panggil orang-orang atau sembahan-sembahan yang kamu muliakan ketika di dunia, dan kamu anggap sebagai sekutu-Ku. Barangkali mereka sanggup memberikan perlindungan dan syafaat kepadamu, lalu melepaskan kamu dari azab yang sedang kamu hadapi saat ini.”

Lalu mereka segera memanggil sembahan-sembahan itu untuk meminta pertolongan dan memberi syafaat kepada mereka. Akan tetapi, ternyata sedikit pun sembahan-sembahan itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolong mereka, bahkan tidak menjawab panggilan itu. Allah menjadikan antara orang-orang kafir itu dengan sembahan-sembahan mereka, tempat kebinasaan (maubiq/api neraka).

Maubiq dalam ayat ini dapat pula berarti permusuhan, maksudnya terjadi permusuhan antara sembahan-sembahan itu dan penyembah-penyembahnya, sebagaimana dalam firman Allah swt:

وَاتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اٰلِهَةً لِّيَكُوْنُوْا لَهُمْ عِزًّا ۙ  ٨١  كَلَّا ۗسَيَكْفُرُوْنَ بِعِبَادَتِهِمْ وَيَكُوْنُوْنَ عَلَيْهِمْ ضِدًّا ࣖ  ٨٢

Dan mereka telah memilih tuhan-tuhan selain Allah, agar tuhan-tuhan itu menjadi pelindung bagi mereka. Sama sekali tidak! Kelak mereka (sesembahan) itu akan mengingkari penyembahan mereka terhadapnya, dan akan menjadi musuh bagi mereka. (Maryam/19: 81-82)

Ayat 53

Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa orang-orang yang berdosa, yakni penyembah-penyembah berhala atau selain Allah, menyaksikan api neraka pada hari kiamat. Mereka menyadari bahwa mereka akan memasuki neraka itu, dan tidak ada jalan keluar dari ancaman itu sama sekali.

Allah telah menetapkan azab kepada mereka. Tidak ada kemungkinan lagi bagi mereka untuk menghindarkan diri dari azab, karena sudah terkepung dari segala penjuru. Alangkah besar duka cita mereka itu ketika menunggu hukuman yang dijatuhkan atas diri mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 54-56


 

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 50

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 50 mengisahkan tentang perintah Allah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Sedangkan Iblis menolak perintah Allah sebab merasa dirinya lebih mulia dari manusia yang diciptakan dari tanah. Dalam tafsir Surah Al-Kahfi ayat 50 ini dijelaskan pula bahwa kesombongan iblis tersebut sebab dia merasa penciptaan Api lebih tinggi derajatnya ketimbang tanah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 49


Ayat 50

Dalam ayat ini dijelaskan ketika Allah memerintahkan malaikat untuk sujud kepada Adam, mereka menaati perintah itu dan sujud kepada-nya. Hanya Iblis yang menolak perintah itu. Malaikat yang selalu taat kepada Allah termasuk makhluk gaib, tidak seorangpun yang mengetahui hakikat-nya. Menurut penjelasan Al-Qur’an, malaikat terbagi menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan mempunyai tugas masing-masing.

Dalam Islam, yang memberi ilham kepada manusia untuk cenderung kepada kebenaran dan kebaikan adalah malaikat, sebagaimana yang terjadi pada kisah Maryam a.s. Sedangkan yang menggoda dan menimbulkan was-was dalam hati manusia ialah setan. Dia ingin mendorong manusia berbuat kejahatan, sebagaimana firman Allah swt:

اَلشَّيْطٰنُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاۤءِ ۚ

Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir). (al-Baqarah/2: 268)

Malaikat dan setan adalah makhluk rohani yang memiliki hubungan dengan jiwa manusia, namun tidak diketahui hakikatnya. Manusia harus beriman sebagaimana yang diperintahkan dalam rukun iman tanpa menambah dan menguranginya.

Semua manusia bisa merasakan bahwa jika ia bermaksud mengerjakan sesuatu, terjadi pergolakan dalam jiwanya antara cenderung kepada kebaikan atau kejahatan, hingga keinginan yang satu mengalahkan yang lain. Jika kita cenderung kepada kebaikan, itu adalah akibat dorongan malaikat, dan jika cenderung kepada kejahatan, maka itu adalah dorongan setan.

Dilihat dari segi kejadian, keduanya berasal dari unsur yang berbeda. Malaikat diciptakan dari cahaya, sedangkan jin atau setan diciptakan dari lidah api. Firman Allah swt:

وَخَلَقَ الْجَاۤنَّ مِنْ مَّارِجٍ مِّنْ نَّارٍۚ

Dan Dia menciptakan jin dari nyala api tanpa asap. (ar-Rahman/55: 15)

Sabda Rasulullah saw:

خُلِقَتِ الْمَلاَئِكَةُ مِنْ نُوْرٍ وَخُلِقَ إِبْلِيْسُ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ. (رواه مسلم عن عائشة)

Malaikat diciptakan dari cahaya, Iblis diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan seperti yang diceritakan kepadamu. (Riwayat Muslim dari ‘A’isyah r.a.)

Iblis menolak sujud kepada Adam karena menurutnya, unsur api lebih tinggi dari tanah. Karena Adam dibuat dari unsur tanah, Iblis merasa hina jika disuruh sujud dan hormat kepadanya, sebagaimana yang diceritakan Allah dalam firman-Nya:

قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ ۗقَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ

(Allah) berfirman, ”Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, ”Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (al-A’raf/7: 12)

Pendapat Iblis ini sangat keliru karena ketinggian derajat dan kemuliaan tidak tergantung pada asal usul, melainkan pada ketaatan kepada Allah. Karena tidak mau sujud kepada Adam, maka Iblis menjadi fasik dalam artian tidak taat kepada perintah Tuhan. Iblis menolak untuk taat karena isi perintah Allah tersebut berlawanan dengan jalan pikirannya. Jadi, dia keberatan untuk sujud kepada Adam. Iblis memiliki bakat suka membang-kang dan selalu melakukan perlawanan sesuai dengan dasar kejadiannya dari nyala api.

Sesudah menjelaskan kefasikan Iblis, Tuhan mengingatkan manusia agar jangan sampai menempatkan Iblis dan keturunannya sebagai pemimpin, karena mereka adalah musuh manusia dan musuh Tuhan. Banyak riwayat, baik yang datang dari Nabi Muhammad saw maupun dari sahabat, yang menunjukkan Iblis dan keturunannya (setan) terus-menerus berkembang-biak, dan umat manusia diingatkan agar tidak tergoda rayuannya untuk mengikutinya.

Setan bertebaran di muka bumi ini untuk menggoda manusia. Hanya manusia yang zalim yang tunduk kepada godaan setan dan menjadikan mereka sebagai pemimpin dan pelindung. Sungguh, setan itu seburuk-buruk makhluk Allah. Orang-orang yang mengikuti setan dikatakan zalim karena Allah swt yang telah menurunkan rahmat dan kenikmatan kepada mereka ditinggalkan dan lebih memilih ajakan setan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 51-53


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 60

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 60 menceritakan tentang perjalanan Nabi Musa menuju dua laut, mulai dari durasi waktu yang diperlukannya hingga asal tempat itu ditemukan. Selengkapnya Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 60 di bawah ini….

Ayat 60

Dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 60 ini, Allah menceritakan betapa gigihnya tekad Nabi Musa a.s. untuk sampai ke tempat bertemunya dua laut. Berapa tahun dan sampai kapan pun perjalanan itu harus ditempuh, tidak menjadi soal baginya, asal tempat itu ditemukan dan yang dicari didapatkan.

Penyebab Nabi Musa a.s. begitu gigih untuk mencari tempat itu ialah beliau mendapat teguran dan perintah dari Allah, seperti yang diriwayatkan dalam hadis yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

إِنَّ مُوْسَى قَالَ خَطِيْبًا فِي بَنِي إِسْرَائِيْلَ فَسُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَعْلَمُ؟ قَالَ أَنَا، فَعَتَبَ اللهُ عَلَيْهِ إِذْلَمْ يَرُدَّ الْعِلْمَ إِلَيْهِ فَأَوْحَى اللهُ إِلَيْهِ إِنَّ لِيْ عَبْدًا بِمَجْمَعِ الْبَحْرَيْنِ هُوَ أَعْلَمُ مِنْكَ. (رواه البخاري عن أبي بن كعب)

Bahwasanya Musa a.s. (pada suatu hari) berkhutbah di hadapan Bani Israil. Kemudian ada orang bertanya kepada beliau, “Siapakah manusia yang paling alim.” Beliau menjawab, “Aku.” Maka Allah menegurnya karena dia tidak mengembalikan ilmu itu kepada Allah Ta’ala. Kemudian Allah mewahyukan kepadanya, “Aku mempunyai seorang hamba di tempat pertemuan dua laut yang lebih alim daripadamu.” (Riwayat al-Bukhari dari Ubay bin Ka’ab)

Dalam wahyu tersebut, Allah menyuruh Nabi Musa agar menemui orang itu dengan membawa seekor ikan dalam kampil (keranjang), dan dimana saja ikan itu lepas dan hilang di situlah orang itu ditemukan. Lalu Musa a.s. pergi menemui orang yang disebutkan itu, dan dalam hadis tidak diterangkan di mana tempatnya. Demikianlah kebulatan tekad yang dimiliki oleh seorang yang berhati dekat dengan Tuhannya. Dengan tangkas dan giat, dia melaksanakan seruan-Nya.

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud Musa dalam ayat ini adalah Nabi Musa bin Imran, nabi Bani Israil yang Allah turunkan kepadanya kitab Taurat yang berisi syariat. Nabi Musa adalah seorang nabi yang mempunyai berbagai mukjizat yang luar biasa.

Alasan mereka antara lain ialah Musa yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an ialah Musa yang menerima Kitab Taurat. Dengan demikian, Musa di sini pun tentu Musa yang menerima Taurat itu pula. Jika yang dimaksud dalam ayat ini adalah Musa yang lain, tentu ada penjelasannya.

Menurut Nauf al-Bukali, yang dimaksud Musa di sini ialah Musa bin Misya bin Yusuf bin Yakub, yaitu seorang nabi yang diangkat sebelum Nabi Musa bin Imran. Alasan mereka antara lain:

  1. Tidak masuk akal kalau yang dimaksud dengan Musa di sini ialah Nabi Musa bin Imran. Sebab beliau adalah seorang nabi yang telah pernah berbicara langsung dengan Allah, menerima kitab Taurat dari-Nya, dan dapat mengalahkan musuhnya dengan mukjizat yang luar biasa. Bagaimana mungkin dapat diterima akal, seorang yang luar biasa seperti itu disuruh Allah pergi menemui orang lain dan masih harus berguru kepadanya.
  2. Musa bin Imran, nabi Bani Israil itu, setelah keluar dari Mesir dan pergi ke Gurun Pasir Sinai, tidak pernah meninggalkan tempat itu dan beliau wafat di sana.

Alasan-alasan mereka ini dapat dibantah. Seseorang bagaimanapun tinggi ilmu pengetahuannya, tentu saja masih ada segi kelemahannya. Demikian pula halnya dengan Nabi Musa, tentu ada segi kekurangan dan kelemahannya. Pada segi inilah kelebihan Nabi Khidir dari Nabi Musa. Inilah yang harus dipelajari Nabi Musa darinya, yaitu hal-hal yang diceritakan Allah swt pada ayat-ayat berikut.

Kepergian Nabi Musa dari Semenanjung Sinai boleh jadi tidak diberi-tahukan kepada Bani Israil, sehingga mereka menyangka kepergiannya untuk bermunajat kepada Allah. Setelah kembali, Nabi Musa tidak menceritakan peristiwa pertemuannya dengan Khidir karena peristiwa itu boleh jadi belum dapat dipahami kaumnya. Oleh karena itu, dipesankan kepada pemuda yang ikut bersamanya agar merahasiakannya.

Pemuda yang menyertai Nabi Musa ini bernama Yusya’ bin Nun bin Afratim bin Yusuf a.s. Dia adalah pembantu dan muridnya. Yusya’ inilah yang memimpin Bani Israil memasuki Palestina ketika Nabi Musa telah meninggal dunia.

Dalam ayat ini, Allah telah memberikan contoh tentang kesopanan menurut ajaran Islam, yaitu untuk memanggil bujang atau pembantu rumah tangganya dengan sebutan fata (pemuda) bagi pembantu lelaki, dan fatat bagi pembantu perempuan. Nabi Muhammad saw pernah bersabda:

لاَ يَقُوْلُ أَحَدُكُمْ عَبْدِيْ وَلاَ أَمَتِيْ وَلْيَقُلْ فَتَايَ وَ فَتَاتِيْ. (رواه البخاري و مسلم عن أبي هريرة)

Janganlah seseorang di antara kamu memanggil hambaku atau hamba perempuanku, tetapi hendaklah memanggil fataya atau fatati. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Mengenai orang yang hendak dijumpai oleh Nabi Musa a.s. adalah Balya bin Malkan. Kebanyakan para ahli tafsir menjulukinya dengan sebutan Khidir. Mereka juga berpendapat bahwa beliau seorang nabi dengan alasan firman Allah swt:

اٰتَيْنٰهُ رَحْمَةً مِّنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنٰهُ مِنْ لَّدُنَّا عِلْمًا  ٦٥  قَالَ لَهٗ مُوْسٰى هَلْ اَتَّبِعُكَ عَلٰٓى اَRنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا  ٦٦

…yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami. Musa berkata kepadanya, ”Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” (al-Kahf/18: 65-66)

Yang dimaksud dengan rahmat dalam ayat ini ialah wahyu kenabian. Sebab sambungan (akhir) ayat ini menyebutkan rahmat itu langsung diajarkan dari sisi Allah tanpa perantara dan yang berhak menerima seperti itu hanyalah para nabi. Lagi pula dalam ayat berikutnya disebutkan supaya (Nabi) Khidir mengajarkan ilmu yang benar kepada Nabi Musa. Tidak ada nabi yang belajar kepada bukan nabi. Bahkan pada ayat 82 juga disebutkan:

وَمَا فَعَلْتُهٗ عَنْ اَمْرِيْ

Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. (al-Kahf/18: 82)

Maksud ayat di atas adalah setelah Nabi Musa dan Yusya’ mengikutinya, Nabi Khidir melakukan yang aneh-aneh dan tidak masuk akal. Tetapi waktu Nabi Musa bertanya kepadanya, demikianlah jawabannya. Ini berarti bahwa tindakan Nabi Khidir itu berdasarkan wahyu dari Allah, dan ini adalah satu bukti yang kuat bagi kenabiannya.

Dari uraian-uraian di atas dapat diambil kesimpulan dan pelajaran bahwa rendah hati itu mempunyai nilai yang jauh lebih baik daripada sombong.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al Kahfi ayat 61-65


Tafsir Surah Al-A’la Ayat 14-15: Idul Fitri sebagai Momentum Manusia yang Beruntung

0
idul fitri sebagai momentum mencapai manusia yang beruntung
idul fitri sebagai momentum mencapai manusia yang beruntung

Idul Fitri adalah proses ritual keagamaan sekaligus ritual sosial untuk mencapai derajat manusia yang beruntung. Isyarat ini ditunjukkan oleh ayat Al-Quran, salah satunya dalam surah Al-A’la ayat 14-15.

Kenapa Idul Fitri penting untuk diperhatikan oleh setiap insan Muslim? Karena di dalamnya terdapat proses untuk mencapai derajat manusia yang beruntung. Keberuntungan tersebut setelah melewati ibadah puasa Ramadhan dan diiringi dengan rangkaian Idul Fitri.

Allah telah menegaskan dalam Al-Quran bahwa orang yang menunaikan zakat, menyebut (mengagungkan) Allah, dan melaksanakan salat ia termasuk manusia yang beruntung. Kandungan tersebut terdapat dalam surah al-A’la ayat 14-15:

قَدۡ أَفۡلَحَ مَن تَزَكَّىٰ  ١٤ وَذَكَرَ ٱسۡمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىَّ  ١٥

Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman) (14) dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang (15)

Dalam surah Al-A’la ayat 14-15 tersebut, di awali dengan bentuk tahqiq “menyatakan tanpa keraguan” ayat di atas mengisyaratkan bahwa tiga rangkaian tersebut akan mengatarkan manusia ke puncak kebahagiaan. Adapun tiga rangkaian tersebut terdapat dalam momen Idul Fitri, sehingga dapat kita sederhanakan Idul Fitri ialah momen meraih kebahagiaan dan keberuntungan.

Keberuntungan “falaha” menurut Muhammad Sayyid Thanthawi adalah sampainya seseorang kepada apa yang ia inginkan, berupa kemenangan (keberuntungan) dan kemanfaatan. Al-Tafsīr al-Wasith li al-Qur’an al-Karīm (15:368).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Makna Shalat Ied Pada Hari Raya Idul Fitri

Tafsir surah Al-A’la ayat 14-15: Pertama, Membersihkan Diri

Membersihkan diri dalam ayat tersebut terdapat di dalam kata tazakka, dari kata zakaa (زكي) yang berarti ‘bersih’, karena dalam ayat tersebut ada penambahan dalam lafaznya yang berada di huruf ‘ك’ maka di dalam maknanya juga berbeda; tambahnya suatu lafaz berarti menunjukkan bertambahnya makna.

Apabila dilihat secara mendalam, salah satu prosesi dari Idul Fitri ada istilah zakat fitrah. Kata zakat dalam konteks bahasa Arab, pada dasarnya diambil dari kata زكي; dengan mempunyai makna tujuan adanya zakat fitrah untuk membersihkan badan. Dengan demikian, tidak heran ulama ahli fiqh membagi zakat dalam dua diskursus, yaitu zakat mal (harta) dan zakat badan (zakat fitrah).

Dengan demikian, dalam ayat 14 tersebut dapat diartikan dengan “beruntunglah orang yang membersihkan diri (zakat harta)”. Pendapat tersebut sebagaimana yang dipilih oleh Abu al-Ahwash yang dikutip oleh Imam al-Mawardi dalam kitab tafsirnya, al-Nukāt wa al-‘Uyūn (6:255).

Oleh karena itu, apabila menggunakan perspektif tujuan dan pendekatan bahasa maka zakat fitrah sebagai “membersihkan diri” tidak bisa dihindarkan. Karenanya, walaupun secara syari’at (pelaksanaan, waktu) berbeda antara zakat harta dan badan, namun dalam tujuannya sama yaitu membersihkan diri. Disamping itu dimensi yang terdapat di dalamnya meniscayakan dimensi sosial.

Baca Juga: Surah at-Taubah [9] Ayat 103: Tujuan Zakat Menurut Al-Qur’an

Tafsir surah Al-A’la ayat 14-15: Kedua, Mengingat Nama Tuhannya

Imam Al-Mawardi mencatat ada enam makna dalam وَذَكَرَ ٱسۡمَ رَبِّهِۦ, yaitu; pertama meng-Esakan Allah; kedua, berdoa dan berharap kepada Allah; ketiga, beristigfar dan bertaubat; keempat, mengingat-Nya dengan hati ketika salat dan takut akan siksa-nya, berharap kemurahannya (balasan), dengan berharap dan takut tersebut diharapkan mendapatkan khusyu (konsentrasi) di dalam melaksanakan salatnya; kelima, menyebut (mengingat) Allah tatkala takbiratul ihram; keenam, memulai bacaan surat dengan nama Allah (bismillah). al-Nukāt wa al-‘Uyūn (6:255).

Benang merahnya, keragaman pendapat mufasir di atas dapat kita fahami bahwa semua praktik yang bertujuan untuk mengingat, menyebut, dan mengagungkan Allah maka itu termasuk dalam penggalan ayat وَذَكَرَ ٱسۡمَ رَبِّهِۦ, yang akan mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan. Artinya orang yang bertakbir pada malam Idul Fitri dengan menyebut nama Allah dan mengagungkan dengan lantunan takbir merupakan proses mengingat Allah, dan termasuk dalam ayat di atas.

Perihal makna ‘mengingat’ yang dikhususkan dalam konteks salat, sebagaimana makna-makna di atas, hal tersebut dilihat dari lafaz setelahnya “فَصَلَّى” yang hubungan dan maknanya satu kesatuan, yakni dalam rangka mentauhidkan, keikhlasan, dan ketaatan kepada Allah.

Baca Juga: Menelisik Makna Idulfitri: Makna Ied dan Makna Fitri

Tafsir surah Al-A’la ayat 14-15: Ketiga, Menjaga Salat

Wahbah al-Zuhaili dan mayoritas mufasir menafsirkan ‘salat’ dalam ayat tersebut ialah salat lima waktu.

هِيَ الصَلَوَاتُ الخَمْسُ والمُحَافَظَةُ عَلَيْهَا وَالْأِهْتِمَامُ بِهَا

Salat yang dimaksud ialah menjaga dan memerhatikan salat lima waktu. Al-Tafsīr  al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī’ah wa al-Manhaj (30:198).

Akan tetapi Abū Sa’īd al-Khudri berpendapat bahwa maksud salat dalam ayat tersebut ialah salat ‘id. Masuk akal juga, apabila kita cermati secara seksama, teks dalam ayat tersebut menggunakan “fa” huruf athaf yang bermakna ‘kemudian’. Jadi, pelaksanaan salat tersebut setelah melakukan zakat dan mengingat Allah.

Pendapat tersebut juga diperkuat oleh pendapat Abū al-Ahwash, yang mengatakan bahwa “mengerjakan salat setelah zakat”. Walaupun al-Ahwash tidak menyebutkan secara spesifik zakat apa dan salat apa yang dimaksud, namun melihat keumuman ayat pendapatnya, dapat diartikan setelah setelah menunaikan zakat fitrah kemudian salat idul fitri.

Bahkan Fakhruddin al-Razi secara filosofis mempertanyakan kenapa dalam ayat tersebut penyebutan zakat didahulukan dari pada salat, padahal kebanyakan ayat al-Quran mengatakan sebaliknya. Ternyata dalam melaksanakan dua kewajiban itu, kemungkinan besar ada orang yang menunaikan zakat terlebih dahulu; sebagaimana jawaban dari al-Wāhidiy.

Alhasil, Idul Fitri secara global merupakan momen yang berisi tiga prosesi, yaitu zakat fitrah, mengagungkan Allah, dan melaksanakan salat Idul Fitri. Oleh karena itu, orang yang benar-benar menjaga dan memeriahkan hari raya Idul Fitri dengan tiga prosesi (di atas) maka ia termasuk orang yang beruntung.

Wallahu A’lam.