Beranda blog Halaman 318

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 49

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 49 ini menerangkan bahwa salah satu peristiwa yang terjadi di hari kiamat adalah diberikannya buku catatan amal semasa hidupnya.

Ayat 49

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 49 ini, Allah swt menambahkan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di hari kiamat, yaitu buku catatan amal perbuatan seseorang semasa hidupnya di dunia diberikan kepadanya. Isi catatan itu ada yang baik dan ada yang buruk, dan ada yang diberikan dari sebelah kanan, ada pula yang dari sebelah kiri.

Orang-orang mukmin dan beramal saleh menerimanya dari sebelah kanan, lalu ia melihat isinya. Ternyata kebaikannya lebih besar dari kejahatannya, dan kejahatan itu segera diampuni oleh Allah swt. Maka dia dimasukkan ke dalam surga, sebagaimana firman Allah swt:

فَاَمَّا مَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِيَمِيْنِهٖ فَيَقُوْلُ هَاۤؤُمُ اقْرَءُوْا كِتٰبِيَهْۚ   ١٩  اِنِّيْ ظَنَنْتُ اَنِّيْ مُلٰقٍ حِسَابِيَهْۚ  ٢٠  فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍۚ  ٢١  فِيْ جَنَّةٍ عَالِيَةٍۙ  ٢٢

Adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kanannya, maka dia berkata, ”Ambillah, bacalah kitabku (ini).” Sesungguhnya aku yakin, bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridai, dalam surga yang tinggi. (al-Haqqah/69: 19-22)

Kepada orang kafir dan orang yang bersalah, kitab catatan amal mereka di dunia diberikan dari sebelah kiri. Lalu mereka melihat isinya, dan ternyata penuh dengan catatan dari berbagai kejahatan, baik berupa perbuatan ataupun perkataan. Bukti-bukti demikian itu menimbulkan rasa ketakutan di hati mereka terhadap hukuman Allah dan kecaman-kecaman manusia.

Dengan penuh penyesalan mereka berkata, “Aduhai, celaka kami, mengapa buku catatan ini sedikit pun tidak meninggalkan kesalahan kami yang kecil apalagi yang besar, semuanya dicatatnya.” Keadaan mereka diterangkan Allah lebih jauh dengan firman-Nya:

وَاَمَّا مَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِشِمَالِهٖ ەۙ فَيَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ لَمْ اُوْتَ كِتٰبِيَهْۚ  ٢٥  وَلَمْ اَدْرِ مَا حِسَابِيَهْۚ  ٢٦  يٰلَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَۚ  ٢٧  مَآ اَغْنٰى عَنِّيْ مَالِيَهْۚ   ٢٨  هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطٰنِيَهْۚ  ٢٩  خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُۙ  ٣٠  ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُۙ  ٣١

Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata, ”Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku, sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku, Wahai, kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku.” (Allah berfirman), ”Tangkaplah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya.” Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala. (al-Haqqah/69: 25-31)

Mereka mendapatkan segala tindakan mereka yang melanggar aturan agama dan kemanusiaan tertulis di hadapan mereka. Mereka lupa bahwa selama hidup di dunia ada malaikat-malaikat yang selalu mencatat dengan teliti segala perbuatan dan perkataan mereka. Firman Allah swt:

وَاِنَّ عَلَيْكُمْ لَحٰفِظِيْنَۙ  ١٠  كِرَامًا كَاتِبِيْنَۙ  ١١  يَعْلَمُوْنَ مَا تَفْعَلُوْنَ  ١٢

Dan sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (amal perbuatanmu), mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan. (al-Infithar/82: 10-12)

Semua perbuatan manusia sengaja ditulis dalam buku catatan amal untuk diperlihatkan kepada mereka pada hari kiamat. Firman Allah swt:

يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَّا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُّحْضَرًا  ۛوَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوْۤءٍ ۛ

(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan…. (Ali ‘Imran/3: 30)

Dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 49 ini dijelaskan bahwa Tidak ada seorangpun pada hari kiamat itu yang teraniaya. Setiap amal perbuatan akan ditimbang betapapun kecilnya. Allah swt menjamin tegaknya keadilan pada hari itu. Firman-Nya:

وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيٰمَةِ فَلَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْـًٔاۗ وَاِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ اَتَيْنَا بِهَاۗ وَكَفٰى بِنَا حَاسِبِيْنَ

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan. (al-Anbiya’/21: 47)

Allah swt tidak akan merugikan hamba-hambanya, sebaliknya akan memberikan pengampunan kepada mereka yang bersalah, kecuali dosa kekufuran. Dia memberikan hukuman kepada mereka berdasar hikmah dan keadilan-Nya. Allah memberikan pahala bagi mereka yang taat, dan menjatuhkan hukuman bagi yang berbuat maksiat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 50


 

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 47-48

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 47-48 menerangkan berbagai peristiwa yang terjadi pada hari kiamat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 39-46 


Ayat 47

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 47-48 khususnya dalam ayat ini, Allah swt menerangkan berbagai peristiwa yang terjadi pada hari kiamat. Peristiwa-peristiwa itu antara lain:

Pada hari itu, Allah swt mencabut gunung-gunung dari cengkeraman bumi, sehingga hancur menjadi debu lalu diterbangkan ke udara sebagai-mana Allah menerbangkan awan. Dalam ayat yang lain Allah swt berfirman:

اِذَا رُجَّتِ الْاَرْضُ رَجًّاۙ   ٤  وَّبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّاۙ    ٥  فَكَانَتْ هَبَاۤءً مُّنْۢبَثًّاۙ   ٦

Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah ia debu yang beterbangan. (al-Waqi’ah/56: 4-6)

Keadaan permukaan bumi ketika itu tampak polos. Tidak ada lagi sisa-sisa benda peradaban manusia, pohon-pohon kayu, sungai-sungai, dan laut yang selama ini terdapat di permukaan bumi. Semua manusia tampak jelas di hadapan Tuhan, tidak ada satu pun yang menutupi keadaan mereka seperti diterangkan Allah dalam firman-Nya:

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ يَنْسِفُهَا رَبِّيْ نَسْفًا ۙ  ١٠٥  فَيَذَرُهَا قَاعًا صَفْصَفًا ۙ  ١٠٦  لَّا تَرٰى فِيْهَا عِوَجًا وَّلَآ اَمْتًا ۗ  ١٠٧

Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang gunung-gunung, maka katakanlah, ”Tuhanku akan menghancurkannya (pada hari Kiamat) sehancur-hancurnya, kemudian Dia akan menjadikan (bekas gunung-gunung) itu rata sama sekali, (Sehingga) kamu tidak akan melihat lagi ada tempat yang rendah dan yang tinggi di sana.” (Taha/20: 105-107)

Pada hari itu, Allah swt mengumpulkan umat manusia dari zaman awal sampai akhir, sesudah dibangkitkan dari kuburnya masing-masing. Tidak seorang pun pada hari itu yang ketinggalan untuk diperiksa, baik raja maupun rakyat. Keadaan demikian diterangkan Allah swt dalam firman-Nya:

قُلْ اِنَّ الْاَوَّلِيْنَ وَالْاٰخِرِيْنَۙ   ٤٩  لَمَجْمُوْعُوْنَۙ اِلٰى مِيْقَاتِ يَوْمٍ مَّعْلُوْمٍ   ٥٠

Katakanlah, ”(Ya), sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian, pasti semua akan dikumpulkan pada waktu tertentu, pada hari yang sudah dimaklumi. (al-Waqi’ah/56: 49-50)

Firman Allah swt:

ذٰلِكَ يَوْمٌ مَّجْمُوْعٌۙ لَّهُ النَّاسُ وَذٰلِكَ يَوْمٌ مَّشْهُوْدٌ

… Itulah hari ketika semua manusia dikumpulkan (untuk dihisab), dan itulah hari yang disaksikan  (oleh semua makhluk). (Hud/11: 103)

Rasulullah saw menceritakan pula keadaan hari yang dahsyat itu sebagai berikut:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ يُحْشَرُ النَّاسُ حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً فَقُلْتُ: اَلرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ جَمِيْعًا يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ؟ فَقَالَ: اَلْأَمْرُ أَشَدُّ مِنْ أَنْ يَهُمَّهُمْ ذٰلِكَ. (رواه مسلم)

Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra bahwa dia berkata, “Aku dengar Rasulullah saw bersabda, “Pada hari kiamat itu manusia dikumpulkan (di Padang Mahsyar) berkaki telanjang, bertelanjang bulat, lagi tidak berkhitan.” Aku lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah antara laki-laki dan perempuan saling melihat satu sama lain?” Rasul saw menjawab, “Ya ‘Aisyah, urusan hari kiamat itu lebih dahsyat dari melihat satu sama lain.” (Riwayat Muslim dalam sahihnya)

Ayat 48

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 47-48 khususnya dalam ayat ini Allah swt menerangkan lagi apa yang terjadi pada hari kiamat itu, yaitu malaikat dan manusia dihadapkan kepada Allah dengan berbaris saf demi saf (barisan) seperti dalam salat jamaah, satu sama lain tidak saling menutupi, masing-masing dalam deretannya. Suasana mereka seperti pasukan di hadapan raja.

Lalu Allah menyatakan kepada mereka yang kafir dan ingkar kepada hari kiamat dengan pernyataan yang menggentarkan hati mereka, bahwa mereka didatangkan di hadapan Tuhan tanpa harta dan anak, bahkan tanpa pakaian dan sepatu seperti halnya pada waktu mereka diciptakan pertama kali. Sebagaimana diterangkan Allah pada ayat yang lain dengan firman-Nya:

وَلَقَدْ جِئْتُمُوْنَا فُرَادٰى كَمَا خَلَقْنٰكُمْ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّتَرَكْتُمْ مَّا خَوَّلْنٰكُمْ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِكُمْۚ

Dan kamu benar-benar datang sendiri-sendiri kepada Kami sebagaimana Kami ciptakan kamu pada mulanya, dan apa yang telah Kami karuniakan kepadamu, kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia). (al-An’am/6: 94)

Rasulullah saw menerangkan pula tentang peristiwa hari kiamat ini dengan sabdanya:

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُنَادِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا عِبَادِيْ أَنَا اللهُ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنَا أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ وَأَحْكَمُ الْحَاكِمِيْنَ وَأَسْرَعُ الْحَاسِبِيْنَ، أَحْضِرُوْا حُجَّتَكُمْ وَيَسِّرُوْا جَوَابَكُمْ فَإِنَّكُمْ مَسْئُوْلُوْنَ مُحَاسَبُوْنَ، يَا مَلاَئِكَتِيْ أَقِيْمُوْا عِبَادِيْ صُفُوْفًا عَلَى أَطْرَافِ أَنَامِلِ أَقْدَامِهِمْ لِلْحِسَابِ. (رواه ابن منده عن معاذ بن جبل)

Sesungguhnya Allah Yang Maha Tinggi memanggil pada hari kiamat, “Hai hamba-hamba-Ku. Aku Allah tiada Tuhan kecuali Aku, yang Maha Pengasih di antara yang pengasih, yang Mahabijaksana di antara yang bijaksana, dan yang paling segera mengambil perhitungan. Siapkan alasan-alasanmu, mudahkanlah jawaban-jawabanmu. Kamu sekalian akan ditanya dan akan dihisab. Wahai malaikat-malaikat, aturlah hamba-hamba-Ku berdiri dalam barisan yang rapat untuk dihisab.” (Riwayat Ibnu Mandah dari Mu’adz bin Jabal)

Allah mencerca mereka karena dahulu menganggap bahwa hari kebang-kitan yang dijanjikan Tuhan itu tidak akan terjadi. Dulu mereka selalu menyombongkan diri di hadapan orang-orang Islam dengan harta kekayaan dan anak-anak mereka sambil mengingkari hari kiamat. Tapi pada saat hari kiamat itu terjadi, mereka tidak berkutik lagi.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 49


Menelisik Makna Idulfitri: Makna Ied dan Makna Fitri

0
Idulfitri
Idulfitri

Hari ini, kita masih merasakan hari kemenangan umat Islam setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Hari raya Idulfitri merupakan puncak dari pelaksanaan ibadah puasa, yaitu menjadi manusia yang muttaqin dan kembali fitri kepada-Nya.

Pada kesempatan ini penulis akan mengulas makna Idulfitri dalam dua bagian, yaitu makna Ied dan makna Fitri.

Makna Ied

Ibnu Manzur dalam Lisan al-Arab mengatakan, ‘ied bermakna,

كل يوم فيه جَمْع، واشتقاقه من عاد يعود، كأنهم عادوا إليه

“Hari yang penuh kebersamaan (mampu menyatukan), di hari itu manusia kembali sebagaimana ia kembali (suci) kepada-Nya”.

Ibn Mandzur memberikan pemaknaan tersendiri terhadap redaksi isytaqaqa min ‘ada, yaitu hari di mana semua umat Islam kembali (suci dan bersatu), hari pengganti (kegundahan menjadi kebahagiaan), dan bukan permusuhan.

Sedangkan Syekh Azhari mendefinisikan kata ‘Ied dari perspektif orang Arab, yaitu waktu yang di mana semua umat Islam berbahagia dan sedih (karena Ramadhan telah berlalu) (al-waqtu al-ladzi ya’udu fihi al-farh wa al-hazn). Lebih dari itu, Ahmad Warson Munawwir dalam Kamus al-Munawwir-nya, kata ‘Ied memunculkan beragam makna, di antaranya raja’a (kembali), shara (menjadi), al-syai’ au al-amri (mengulangi), ‘alaihi (kembali kepada keadaan semula), dan nafa’ahu (mendatangkan manfaat, faedah).

Yusuf Qardhawi mendefinisikan yaum al-‘ied,

العيد هو أشبه بمحطة استراحة في رحلة الحياة، أو واحة في صحراء الحياة؛ ولذلك كانت الأمم تخترع المناسبات المختلفة من قديم لتحتفل فيها وتفرح وتمرح

“Tempat persinggahan dalam perjalanan hidup atau oase di padang pasir kehidupan. Oleh karena itu, umat manusia menciptakan sesuatu yang berbeda dari yang dulu guna bahagia, suka cita dan membahagiakan”

Hari kembali (yaum al-ied) merupakan hari kegembiraan dan kebahagiaan (yaum farah wa surur), sebaik-baik hari bagi orang mukmin baik di dunia maupun akhirat karena di hari itu keutamaan Allah swt dilimpahruahkan kepada seluruh umat Islam (afrah al-mu’minin fi dunyahum wa ukhrahum innama hiya bi fadhli maulahum) sebagaimana dilukiskan-Nya dalam Q.S. Yunus [10]: 58,

قُلْ بِفَضْلِ اللّٰهِ وَبِرَحْمَتِهٖ فَبِذٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوْاۗ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (Q.S. Yunus [10]: 58)

Imam al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsirkan redaksi bifadhillahi wa birahmatihi dengan mengutip riwayat qaul dari Ali bin al-Hasan al-Azdari, dari Abu Muawiyah, dari al-Hajjaj, dari ‘Atiyyah, dari Abi Said al-Khudri bahwa yang dimaksud bifadhlillahi ialah Al-Quran, sedangkan wa birahmatihi adalah menjadikan kamu sekalian ahl al-Quran.

Mufassir lain mengatakan, seperti al-Zamakhsyari, al-Qurtuby, bahwa yang dimaksud dengan karunia Allah swt (bifadhlillahi) adalah Islam, sementara rahmat-Nya (wa birahmatihi) adalah Al-Quran.

Tidak jauh berbeda, al-Razi misalnya, dalam Mafatih al-Ghaib, ia menafsiri ayat di atas,

والمقصود منه الإشارة إلى ما قرره حكماء الإسلام من أن السعادات الروحانية أفضل من السعادات الجسمانية وقد سبق في مواضع كثيرة من هذا الكتاب المبالغة في تقرير هذا المعنى

“Adapun maksud (isyarah) dari ayat di atas adalah merujuk kepada hukum Islam bahwa kebahagiaan ruhaniyah (al-sa’adah al-ruhaniyyah) lebih utama daripada kebahagiaan jasmaniyah atau materi (al-sa’adah al-jasmaniyyah) sebagaimana disinggung dalam kitab-kitab terdahulu”.

Berpijak pada beberapa mufasir di atas bahwa kata “Ied” memiliki beragama interpretasi. ‘Ied juga bermakna kembali kepada kesucian, rasa sedih karena ramadhan telah pergi, kembali kepada persatuan dan kesatuan, kembali kepada fitrah manusia (untuk beribadah kepada-Nya, kembali dari pribadi yang kurang baik (bahkan buruk) menuju pribadi yang muttaqin (bertakwa), dan tentunya semua itu memunculkan rasa kebahagiaan dan kegembiraan baik di dunia maupun akhirat.

Makna Fitri

Kata fitri secara bahasa berakar kata dari lafadz ifthar (afthara-yufthiru-iftharan), artinya makan pagi, sarapan, memberi makanan buka puasa. Ibn Mandzur dalam Lisan al-Arab, kata fitri bermakna naqidh al-shaum wa qad afthara (kebalikan puasa, yaitu berbuka). Kata fitri juga berdasar pada hadits Nabi saw yang termaktub dalam Fathul Bari, Sunan al-Tirmidzi, Shahih Ibn Khuzaiman Ibn Hibban wal Hakim yaitu

حدثنا محمد بن عبد الرحيم حدثنا سعيد بن سليمان قال حدثنا هشيم قال أخبرنا عبيد الله بن أبي بكر بن أنس عن أنس بن مالك قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يغدو يوم الفطر حتى يأكل تمرات وقال مرجأ بن رجاء حدثني عبيد الله قال حدثني أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم ويأكلهن وترا

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahim, Sa’id bin Sulaiman berkata kepada kami Hasyim, telah mengabarkan kepada kami Ubaidillah bin Abi Bakr bin Anas dari Anas bin Malik berkata, “Tidak sekali pun Rasulullah saw pergi (untuk shalat) pada hari raya Idulfitri tanpa makan beberapa kurma terlebih dahulu”. Dalam riwayat lain, “Nabi saw makan kurma dalam jumlah yang ganjil”. (H.R. Bukhari)

Berpijak pada hadits di atas makna Idulfitri adalah hari raya umat Islam untuk kembali berbuka atau menikmati hidangan bersama-sama dengan penuh kebahagiaan dan suka cita. Maka tak heran, jika salah satu sunnah sebelum melaksanakan shalat Idulfitri adalah memakan makanan atau minum meski sedikit sebagai penanda bahwa sudah waktunya berbuka dan haram untuk berpuasa.

Makna lain yang kerapkali disepadankan adalah fitrah. Fitrah bermakna kembali suci, kembali kepada kejadian atau penciptaan awal manusia. Secara istilah, dalam Mausu’ah Mafahim al-Islamiyah al-Ammah sebagaimana dinukil dari Kitab al-Kulliyat li Abi al-Baqa dan Kamus al-Muhith, kata fitrah memiliki dua arti utama;

Pertama, terkait dengan penciptaan asal mula wujud manusia itu sendiri (tata’allaqu bil khalqi wal ibtida’i wal ikhtira’i lil maujudat). Allah swt telah menanamkan fitrah-Nya kepada manusia berupa rasa kasih sayang dan keselamatan bukan sebaliknya. Lebih dari itu, fitrah manusia adalah makhluk Allah yang tunduk patuh atas segala perintahnya, beriman dan penciptaan manusia oleh-Nya diproyeksikan untuk membawa kebahagiaan dan sebagai khalifah di muka bumi.

Kedua, makna fitrah berkaitan dengan agama dan religiusitas (tata’allaqu bi al-din wa al-tadyin). Makna fitrah di sini merujuk pada iman kepada Allah swt. Hal ini termaktub dalam firman-Nya Q.S. al-Rum [30]: 30,

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (Q.S. al-Rum [30]: 30)

Para mufassir sepakat bahwa kata fitrah di sini bermakna agama Islam. Sebagaimana disampaikan al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan, bahwa fitrah bermakna al-Islam mudz khalaqahum min Adam jami’an, yuqirruna bidzalik (agama Islam sejak Allah swt menciptakan dari Nabi Adam hingga sekarang, dan mereka mengakuinya).

Tidak jauh berbeda, al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib bahwa fitrah manusia adalah

أي إذا تبين الأمر وظهرت الوحدانية ولم يهتد المشرك فلا تلتفت أنت إليهم وأقم وجهك للدين

“Tatkala perkara menjadi jelas, keesaan-Nya tampak nyata sedangkan mereka (kaum musyrik) belum memperoleh petunjuk, maka berpalinglah darinya (dari kaum musyrik) dan hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam)”.

Sementara al-Suyuthi dalam al-Dur al-Mantsur ketika menjelaskan kata fitrah, menukil dari beberapa qaul, misalnya, Mujahid memaknai al-fitrah dengan agama Islam. Ibn Abi Syaibah, Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir dari Ikrimah, al-fitrah adalah Islam. Ibn Abi Hikam dari al-Dhahhak memaknai al-fitrah dengan agama Allah di mana semua ciptaan-Nya beragama dengan agama Allah. Begitu pula al-Hakim al-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul juga mengatakan hal serupa.

Dalam konteks ini, kata fitri bermakna al-fitrah sebagai kembali kepada Islam, kembali kepada agama Allah dan kembali kepada naluri keberagamaan yaitu kepada Allah swt. Setiap manusia yang dilahirkan di muka bumi telah mengandung naluri Islam dan ia terikat oleh perjanjian-Nya.

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa Idul Fitri bermakan kembali kepada fitrah manusia, kesucian atau terbebas dari belenggu dosa dan egosentrisme sehingga berada dalam keadaan yang suci.

Hikmah Idulfitri

Hari raya Idulfitri yang tengah kita rayakan bersama keluarga dan sanak saudara tercinta mengandung dua makna, yaitu makna ketuhanan dan manusia. Idulfitri sebagai makna ketuhanan bahwa manusia tidak “boleh” melupakan Tuhannya sehingga Idulfitri tidak berdasarkan selebrasi kosong tanpa arti, melainkan diawali dengan takbir (Allahu akbar wa lillahil hamd). Lebih lanjut, Idulfitri adalah momentum untuk kembali kepada makna tauhid dan mengesakan-Nya kembali. Betapa banyak umat manusia acapkali “menduakan-Nya” dengan yang lain, harta tahta misalnya, dan sebagainya.

Akhir kata, kami menghaturkan, “Selamat Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1442 H”. Taqabbalallahu minna wa minkum, taqabbal ya karim. Minal aidzin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin. Semoga amal ibadah kita semua diterima oleh Allah swt dan di tahun depan kita semua masih dipertemukan kembali dengan ramadhan dan Idulfitri dalam keadaan yang lebih baik lagi, dan menjadi pribadi yang muttaqin, serta dirindukan oleh Allah swt. Aamiin. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 43-46

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 43-46 menerangkan bahwa tidak ada segolongan makhluk pun yang sanggup menolong pemilik kebun dari murkanya Allah sebab kekufurannya. Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 43-46 ini Allah swt mengumpamakan suasana kehidupan dalam dunia ini beserta segala keindahan dan kemegahannya seperti keadaan air hujan yang diturunkan dari langit.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 39-42


Ayat 43

Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa tidak ada segolongan orang pun yang sanggup menolong pemilik kebun itu, baik keluarganya, pengawal, buruh-buruh, anak-anak, atau siapa saja yang tadinya menjadi kebanggaannya. Hanya Allah yang dapat menolongnya dari kehancuran dan kebinasaan. Sedangkan orang itu sendiri tidak dapat menolong dirinya sendiri dengan kekuatan yang ada padanya

Ayat 44

Kemudian Allah swt menegaskan dalam ayat ini bahwa dalam kesulitan dan kesengsaraan seperti yang dialami oleh pemilik kebun itu, benar-benar hanya Allah sendiri yang mempunyai hak dan kekuatan untuk memberikan pertolongan. Akan tetapi, pertolongan itu hanya diberikan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, dan taat serta patuh kepada perintah-Nya. Allah akan membela, menenteramkan hati, dan menyelamatkan mereka dari segala macam muslihat dan tipu daya musuh-musuh mereka. Dialah yang paling baik dalam memberi pahala dan balasan.

Ayat 45

Allah swt mengumpamakan suasana kehidupan dalam dunia ini beserta segala keindahan dan kemegahannya, yang kemudian secara berangsur-angsur akan lenyap, seperti keadaan air hujan yang diturunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan yang menghijau, berbunga, dan berbuah. Kehijauan itu secara berangsur-angsur berubah menjadi kuning kering, dan akhirnya lenyap dihembus angin.

Semua yang ada di atas bumi ini tentu menempuh suatu proses perubahan dari lahir, tumbuh, kembang, layu, dan lenyap. Oleh karena itu, manusia yang menjadi penghuni bumi ini jangan tertipu oleh kemegahan dunia. Mereka yang mempunyai kekayaan yang besar janganlah membangga-banggakan hartanya dan jangan pula merendahkan orang lain yang tak punya harta benda.

Sesungguhnya harta benda itu, cepat atau lambat, akan lenyap. Allah Yang Mahasempurna dan Mahamulia yang menciptakan segala benda dan memeliharanya, menum-buhkan, melenyapkan, lalu mengembalikan lagi ke bumi. Dialah Yang Mahakuasa dan menetapkan hukum-hukum perubahan itu.

Dalam Al-Qur’an, banyak ayat-ayatnya yang mengumpamakan kehidupan duniawi ini dengan kehidupan tumbuh-tumbuhan, antara lain firman Allah swt:

اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ  كَمَثَلِ غَيْثٍ اَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهٗ ثُمَّ يَهِيْجُ فَتَرٰىهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُوْنُ حُطَامًاۗ وَفِى الْاٰخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيْدٌۙ وَّمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللّٰهِ وَرِضْوَانٌ  ۗوَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu. (al-Hadid/57: 20)

Ayat 46

Allah menjelaskan bahwa yang menjadi kebanggaan manusia di dunia ini adalah harta benda dan anak-anak, karena manusia sangat memperhatikan keduanya. Banyak harta dan anak dapat memberikan kehidupan dan martabat yang terhormat kepada orang yang memilikinya. Seperti halnya ‘Uyainah, pemuka Quraisy yang kaya itu, atau Qurthus, yang mempunyai kedudukan mulia di tengah-tengah kaumnya, karena memiliki kekayaan dan anak buah yang banyak.

Karena harta dan anak pula, orang menjadi takabur dan merendahkan orang lain. Allah menegaskan bahwa keduanya hanyalah perhiasan hidup duniawi, bukan perhiasan dan bekal untuk ukhrawi. Padahal manusia sudah menyadari bahwa keduanya akan segera binasa dan tidak patut dijadikan bahan kesombongan. Dalam urutan ayat ini, harta didahulukan dari anak, padahal anak lebih dekat ke hati manusia, karena harta sebagai perhiasan lebih sempurna daripada anak.

Harta dapat menolong orang tua dan anak setiap waktu dan dengan harta itu pula kelangsungan hidup keturunan dapat terjamin. Kebutuhan manusia terhadap harta lebih besar daripada kebutuhannya terhadap anak, tetapi tidak sebaliknya.

Kemudian Allah swt menjelaskan bahwa yang patut dibanggakan hanyalah amal kebajikan yang buahnya dirasakan oleh manusia sepanjang zaman sampai akhirat, seperti amal ibadah salat, puasa, zakat, jihad di jalan Allah, serta amal ibadah sosial seperti membangun sekolah, rumah anak yatim, rumah orang-orang jompo, dan lain sebagainya. Amal kebajikan ini lebih baik pahalanya di sisi Allah daripada harta dan anak-anak yang jauh dari petunjuk Allah swt, dan tentu menjadi pembela dan pemberi syafaat bagi orang yang memilikinya di hari akhirat ketika harta dan anak tidak lagi bermanfaat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 47-48


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 39-42

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 39-42 masih mengisahkan Yahuza dan Qurthus sang pemilik kebun yang penuh dengan buah-buahannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 36-38


Ayat 39

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 39-42 ini Yahuza meneruskan kata-katanya kepada Qurthus, “Seharusnya kamu mengucapkan syukur kepada Allah ketika memasuki kebun-kebunmu dan merasakan kagum terhadap keindahannya. Mengapa kamu tidak mengucapkan pujian kepada Allah atas segala nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepadamu, berupa harta dan anak yang banyak yang belum pernah diberikan-Nya kepada orang lain.”

“Katakanlah “Masya Allah” ketika itu, sebagai tanda pengakuan atas kelemahanmu di hadapan-Nya, dan bahwa segala yang ada itu tidak mungkin terwujud tanpa izin dan kemurahan-Nya. Di tangan-Nya nasib kebun-kebun itu, disuburkan menurut kehendak-Nya ataupun dihancurkan menurut kehendak-Nya pula.

Mengapa kamu tidak mengucapkan la quwwata illa billahi (tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) sebagai tanda pengakuan bahwa tidak ada kekuatan yang dapat memakmurkan dan mengurusnya kecuali dengan pertolongan Allah swt.” Ayat ini mengandung pelajaran tentang zikir yang baik diamalkan. Nabi Muhammad saw berkata kepada sahabatnya, Abu Hurairah:

اَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى كَنْزٍ مِنْ كُنُوْزِ الْجَنَّةِ تَحْتَ الْعَرْشِ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ: أَنْ تَقُوْلُ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ. (رواه أحمد عن أبي هريرة)

Maukah aku tunjukkan kepadamu salah satu perbendaharaan surga yang terletak di bawah Arasy? Aku menjawab, “Ya, saya mau.” Rasul berkata, “Kamu membaca la quwwata illa billahi.” (Riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah).

Demikian pula banyak hadis-hadis Rasul saw yang mengajarkan kepada umatnya sewaktu mendapat nikmat dari Allah supaya dia mengucapkan bacaan itu, Rasulullah saw bersabda:

مَا أَنْعَمَ اللهُ عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً فِى أَهْلٍ أَوْ مَالٍ أَوْ وَلَدٍ فَيَقُوْلُ مَا شَاءَ اللهُ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، إِلاَّ دَفَعَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ كُلَّ آفَةٍ حَتَّى تَأْتِيَهُ مَنِيَّتُهُ وَقَرَأَ وَلَوْلاَ إِذَ دَخَلْتَ، إلخ. (رواه البيهقي وابن مردويه عن أنس)

Setiap Allah swt memberikan kepada seorang hamba nikmat pada keluarga, harta, atau anak lalu dia mengucapkan “masya’ Allah, la quwwata illa billah”, tentu Allah menghindarkan dia dari segala bencana sampai kematiannya, lalu Rasulullah membaca ayat 39 Surah al-Kahf ini. (Riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Mardawaih dari Anas r.a.)

Setelah Yahuza selesai menasehati saudaranya supaya beriman, dan sudah menjelaskan tentang kekuasaan Allah swt, mulailah dia menanggapi perkataan saudaranya yang membanggakan harta dan orang-orangnya. Yahuza berkata, “Jika kamu memandang aku lebih miskin daripada kamu, baik mengenai harta kekayaan, maupun mengenai anak buah, maka tidaklah mengapa bagiku.”

Ayat 40

“Namun aku mengharapkan agar Allah mengubah keadaanku, memberi aku kekayaan, dan menganugerahkan  kepadaku kebun yang lebih baik daripada kebunmu karena imanku kepada-Nya. Sebaliknya, Allah swt akan melenyapkan kenikmatan yang diberikan-Nya kepadamu karena kekafiranmu, dan Dia akan menghancurkan kebun-kebunmu dengan mengirim petir dari langit yang membakar habis semuanya, sehingga menjadi tanah tandus yang licin.”

Ayat 41

“Atau Allah menghancurkan kebun-kebun itu dengan bencana dari bumi dengan jalan menghisap air yang mengalirinya dan masuk ke dalam perut bumi, sehingga kamu tak dapat berbuat apa-apa untuk mencari air itu lagi.”

Demikianlah harapan Yahuza yang mukmin itu, agar Allah memperlihat-kan kekuasaan-Nya secara nyata kepada orang yang kafir dan sombong itu. Dengan turunnya hukuman itu, baik berupa bencana dari langit ataupun dari bumi, manusia yang kafir itu bisa menjadi sadar.

Ayat 42

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 39-42 dalam ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa apa yang diharapkan Yahuza akan segera menjadi kenyataan. Allah swt kemudian membinasakan segala harta kekayaan Qurthus. Tadinya ia mengatakan dengan penuh kesombongan bahwa kebun-kebunnya tidak akan binasa selama-lamanya.

Tetapi setelah dia menyaksikan kehancuran harta kekayaannya, timbullah kesedihan dan penyesalan yang mendalam, sambil membolak-balikkan dua telapak tangannya sebagai tanda menyesal terhadap lenyapnya segala biaya yang dibelanjakannya untuk membangun kebun-kebunnya selama ini. Semua tanaman dan pohon anggur yang ada dalam kebun itu runtuh bersama penyangganya.

Pada saat kesedihannya memuncak, dia teringat kepada nasihat dan ajaran saudaranya, sehingga ia mengerti bahwa bencana itu datang karena kemusyrikan dan kezalimannya terhadap diri sendiri. Lalu keluarlah kata-kata penyesalan dari mulutnya, “Aduhai, kiranya aku beriman dan bersyukur, tentulah Tuhan tidak akan menghancurkan kebun-kebunku.”

Kata-kata penyesalan yang demikian lahir dari seorang yang sudah berada dalam kesulitan besar yang tak terelakkan lagi. Semua orang bila terjepit dan berada dalam bencana, dia mengeluh dan dari mulutnya keluar kata-kata yang mencerminkan penyesalannya yang mendalam. Sedangkan jika tidak terjepit atau tidak dalam kesengsaraan, dia tidak akan mengeluarkan kata-kata demikian.

Firman Allah swt:

فَلَمَّا رَاَوْا بَأْسَنَاۗ قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَحْدَهٗ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهٖ مُشْرِكِيْنَ 

Maka ketika mereka melihat azab Kami, mereka berkata, ”Kami hanya beriman kepada Allah saja dan kami ingkar kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.” (al-Mu’min/40: 84)

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 43-46


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 36-38

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 36-38 melanjutkan kisah dua pemilik kebun sebelumnya. Dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 36-38 ini sang pemilik kebun yang ingkar akan adanya hari kiamat berkata kepada saudaranya bahwa ketika kiamat datang tentu ia akan mendapatkan yang lebih baik dari kebunnya sekarang.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat Ayat 32-35


Ayat 36

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat Ayat 36-38 ini mengungkapkan ucapan pemilik kebun itu kepada saudaranya yang mukmin tentang ketidakpercayaannya bahwa hari kiamat itu akan datang. Sekiranya hari kiamat itu datang dan dia dikembalikan kepada Tuhan, dia tentu akan kembali mendapatkan yang lebih baik daripada kebun-kebun yang dimilikinya di dunia ini.

Sikap pemilik kebun itu menunjukkan keingkaran akan adanya hari kiamat (hari akhir). Dugaannya bahwa akan mendapatkan kebun-kebun yang lebih baik daripada kebun-kebunnya di dunia ini pada hari kiamat didasarkan atas pengalamannya bahwa kedua kebun yang dimilikinya dan dipercayakan Tuhan kepadanya terus berbuah dan berkembang hanya karena kesanggupan dan usaha yang memilikinya.

Oleh karena itu, dimana dan kapan saja, kemusnahan itu selalu menyertainya. Allah swt menggambarkan pula sifat orang kafir ini dalam ayat yang lain dengan firman-Nya:

وَّلَىِٕنْ رُّجِعْتُ اِلٰى رَبِّيْٓ اِنَّ لِيْ عِنْدَهٗ لَلْحُسْنٰىۚ

“…Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya…..” (Fushshilat/41: 50)

Ucapan yang membawa kepada kekafiran ialah:

  1. Pengakuannya tentang keabadian alam
  2. Tidak adanya kebangkitan manusia dari kubur
  3. Anggapannya bahwa ganjaran di akhirat dicerminkan oleh keadaan di dunia.

Pandangan terhadap keabadian alam ini meniadakan keputusan dan kehendak Tuhan Pencipta Alam. Keingkarannya terhadap kebangkitan manusia dari kubur menunjukkan bahwa dia meniadakan kekuasaan Allah untuk mengembalikan manusia ke bentuk aslinya. Pandang-an bahwa ganjaran di akhirat dicerminkan oleh kehidupan dunia, misalnya bilamana seseorang di dunia hidup sebagai pemilik kebun, maka ganjaran di akhirat pun baginya sebagai pemilik kebun.

Ini adalah kepercayaan primitif, atau kepercayaan yang berdasarkan kebudayaan. Kepercayaan seperti itu berlawanan dengan agama yang bersumber pada wahyu Allah swt yang mempunyai kebijaksanaan dalam memberikan ganjaran kepada hamba-hamba-Nya.

Ayat 37

Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan jawaban Yahuza untuk membantah pemikiran saudaranya itu. Qurthus, pemilik kebun yang kaya itu, memandang Yahuza rendah karena kemiskinannya. Sebaliknya, Yahuza memandang Qurthus rendah karena kekafirannya. Dalam percakapannya dengan Qurthus, dia menyatakan bahwa tidak patut dia mengingkari kekuasaan Allah yang menciptakan dirinya dari tanah?

Bukankah makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau hewan itu dari tanah juga? Dari makanan dan minuman itu terbentuk sel-sel yang akhirnya menjadi nuthfah. Nuthfah berkembang tahap demi tahap karena mendapat makanan, baik dari protein nabati ataupun hewani, sehingga menjadi seorang laki-laki seperti Qurthus.

Bagaimana seseorang dapat mengingkari kekuasaan Allah, sedangkan kejadiannya menunjukkan dengan jelas akan adanya kekuasaan itu. Setiap insan sadar akan dirinya, bahwa pada mulanya dia tidak ada, kemudian menjadi ada. Tidak mungkin kehadirannya ke alam wujud ini dihubungkan oleh dirinya sendiri. Satu-satunya Zat yang bisa menghubungkan kejadiannya itu ialah Penciptanya yaitu Allah Rabbul Alamin.

Untuk meyakinkan adanya hari kebangkitan, Allah menjelaskan proses kejadian manusia, sebagaimana firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّنَ الْبَعْثِ فَاِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُّطْفَةٍ

Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani. (al-Hajj/22: 5);

Ayat 38

Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan pernyataan Yahuza kepada saudaranya yang kafir itu bahwa dia tidak sependapat dengannya. Dia berkeyakinan tidak ada Tuhan yang disembah kecuali Allah yang memelihara makhluk, Yang Maha Esa, dan Mahakuasa. Yahuza juga mengatakan bahwa dia tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Pendirian saudaranya bahwa Allah tidak kuasa membangkitkannya dari kubur sama sekali tidak dapat diterima Yahuza karena menganggap Allah lemah dan sama dengan makhluk.

Hal demikian, menurutnya, sama dengan syirik. Sikap Yahuza yang tegas di hadapan saudaranya yang kaya itu sangat terpuji, meskipun dia dalam keadaan fakir yang berkedudukan sebagai seorang yang meminta pekerjaan, namun dengan penuh keberanian, dia menyatakan perbedaan identitas (hakikat) pribadinya, yaitu perbedaan yang menyangkut akidah atau keimanan kepada Tuhan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 39-46


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 32-35

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 32-35 mengisahkan tentang perumpaan dua laki-laki yang dijadikan perumpaan tentang perbedaan antara iman dan kufur. Diceritakan dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 32-35 bahwa kedua laki-laki tersebut memiliki kebun yang penuh dengan buah-buahan sepanjang tahunnya. Selengkapnya Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 32-35…..


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 29-31


Ayat 32

Dalam ayat ini, dua orang laki-laki dijadikan Allah sebagai perumpamaan untuk menjelaskan kepada para pemuka musyrik yang kaya itu tentang perbedaan antara iman dan kufur, atau antara hamba yang mulia di sisi-Nya dengan yang hina. Ulama berbeda pendapat, apakah cerita dalam ayat ini hanya perumpamaan saja, tidak ada dalam kenyataan sejarah, atau hal ini merupakan kisah nyata.

Mereka yang berpendapat bahwa kisah ini merupakan kisah nyata berbeda tentang siapa yang dimaksudkan dengan dua orang ini. Menurut riwayat yang disebutkan Imam al-Qurthubi, ada yang mengatakan kedua laki-laki itu adalah penduduk Mekah dari kabilah Bani Makhzum. Mereka berdua bersaudara, yang mukmin bernama Yahuza dan yang kafir bernama Qurthus. Keduanya semula bersama-sama dalam suatu usaha, kemudian berpisah dan membagi kekayaan mereka.

Masing-masing menerima ribuan dinar. Yahuza menggunakan uangnya seribu dinar untuk membebaskan budak, seribu dinar untuk membelikan makanan bagi orang-orang yang terlantar, dan seribu dinar untuk membelikan pakaian orang-orang yang lapar.

Adapun Qurthus menggunakan uangnya untuk kawin dengan seorang wanita kaya, dan membeli hewan ternak, sehingga harta kekayaan berkembang. Sisa uang yang lain digunakan untuk berdagang dan selalu membawa laba, sehingga dia menjadi orang yang terkaya di negerinya pada saat itu.

Sebuah riwayat menyebutkan bahwa kisah ini adalah tentang orang kaya dengan kebun dan tanamannya yang luas. Dia memiliki dua buah kebun anggur yang dikelilingi oleh pohon-pohon korma dan di antara keduanya terdapat sebidang ladang tempat bermacam-macam tanaman dan buah-buahan.

Ayat 33

Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan tentang keadaan kedua kebun yang penuh dengan buah-buahan sepanjang tahun itu. Pohon-pohonnya selalu rindang dan lebat. Sedikit pun kedua kebun itu tidak pernah mengalami kemunduran dan kekurangan sepanjang musim. Keduanya selalu memberikan hasil yang membawa kemakmuran kepada pemiliknya.

Di tengah-tengah kebun itu mengalir sebuah sungai yang setiap waktu dapat mengairi tanah dan ladang-ladang di sekitarnya. Pengairan yang teratur menyebabkan tanaman selalu subur, dan sungai yang mengalir itu benar-benar menambah keindahannya. Itulah kenikmatan besar yang telah dilimpahkan Allah kepada pemiliknya.

Ayat 34

Allah swt menjelaskan dalam ayat ini bahwa pemilik kebun itu masih memiliki kekayaan lain berupa harta perdagangan emas, perak, dan lain-lainnya yang diperoleh dari penjualan hasil kebun dan ladang. Qurthus benar-benar berada dalam kehidupan yang mewah, dengan harta kekayaan yang melimpah ruah, dan memiliki pembantu-pembantu, buruh-buruh, dan pengawal-pengawal dalam jumlah yang besar.

Keadaan yang demikian membuat dirinya sombong dan ingkar kepada Tuhan yang memberikan nikmat itu kepadanya. Dia berkata kepada temannya yang beriman, yang sebelumnya telah menyeru kepadanya agar beriman kepada Allah dan hari kebangkitan, “Aku mempunyai harta yang lebih banyak daripada kamu, seperti yang kamu saksikan, dan pengikut-pengikutku lebih banyak. Sewaktu-waktu mereka siap mempertahankan diri dan keluargaku dari musuh-musuhku, serta memelihara dan membela hartaku.”

Dengan perkataan ini, dia mengisyaratkan bahwa seseorang dapat hidup bahagia dan jaya tanpa beriman kepada Tuhan seru sekalian alam. Dia beranggapan bahwa segala kejayaan yang dimilikinya dan kenikmatan yang diperolehnya semata-mata berkat kemampuan dirinya. Tiada Tuhan yang dia rasakan turut membantu dan memberi rezeki dan kenikmatan kepadanya.

Ayat 35

Dalam ayat ini Allah swt menerangkan bahwa ketika dia memasuki kebunnya bersama saudaranya, dia mengatakan kepada saudaranya yang mukmin, sambil menunjuk kebunnya, bahwa kebun-kebun itu tidak akan binasa selama-lamanya.

Ada dua sebab yang mendorongnya berkata demikian:

Pertama: Kepercayaan penuh terhadap kemampuan tenaga manusia untuk memelihara kebun-kebun itu, sehingga selamat dari kebinasaan. Dengan kekayaan berupa mas dan perak sebagai modal, dan sumber daya manusia yang berpengalaman dan berpengetahuan tentang perawatan dan pemeliharaan tanaman dan kebun, dia percaya sanggup menjaga kelestarian, keindahan, dan kesuburan kebun dan tanamannya. Ia sama sekali tidak menyadari keterbatasan daya dan akal sehat manusia dan tidak percaya bahwa ada kekuatan gaib yang kuasa berbuat sesuatu terhadap segala kekayaan itu.

Kedua: Kepercayaan akan keabadian alam dan zaman serta ketidak-percayaan terhadap hari kiamat. Dia berkeyakinan bahwa segala yang ada ini kekal abadi. Tidak ada yang akan musnah dari alam ini, yang terjadi hanyalah perubahan dan pergantian menurut hukum yang berlaku. Air, tumbuh-tumbuhan, tanah dan lain-lainnya akan terus tersedia dan tidak akan ada putusnya.

Demikianlah pandangan pemilik kebun itu. Sesungguhnya dia telah berbuat zalim dan tidak jujur terhadap dirinya sendiri. Seharusnya dia bersyukur kepada Allah yang telah memberikan segala kenikmatan kepadanya. Tidak ada seorangpun yang hidup bahagia dalam dunia ini dengan hanya berdiri di atas kaki sendiri, tanpa bantuan atau kerjasama dengan orang lain. Mengapa dia menyombongkan diri, padahal dia sebenarnya menyadarinya.

Mengapa dia ingkar kepada Tuhan, padahal dia menyadari ikut terlibat dalam perubahan alam itu sendiri, mengapa dia tidak mau mengakui siapakah sebenarnya yang menciptakan semua perubahan dalam alam ini dan yang menciptakan hukum-hukumnya. Mengapa dia tidak jujur terhadap pengakuan hati nuraninya sendiri akan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta? Sesungguhnya sikap demikian merupakan kezaliman yang besar.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 36-38


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 29-31

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 29-31 berisi tentang penegasan terhadap orang kafir bahwa kebenaran yang hanya berasal dari Allah. Kewajiban orang kafir dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 29-31 ini adalah mengikuti kebenaran dan mengamalkannya.

Ayat 29

Pada ayat ini, Allah swt memerintahkan Rasul-Nya supaya menegaskan kepada orang-orang kafir bahwa kebenaran yang disampaikan kepada mereka itu berasal dari Allah, Tuhan semesta alam. Kewajiban mereka adalah mengikuti kebenaran itu dan mengamalkannya. Manfaat dari kebenaran itu, tentulah kembali kepada mereka yang mengamalkannya.

Demikian pula sebaliknya, akibat buruk dari pengingkaran terhadap kebenar-an itu kembali kepada mereka yang mengingkarinya. Oleh karena itu, barang siapa yang ingin beriman kepada-Nya dan masuk ke dalam barisan orang-orang yang beriman, hendaklah segera berbuat tanpa mengajukan syarat-syarat dan alasan-alasan yang dibuat-buat sebagaimana halnya pemuka-pemuka musyrikin yang memandang rendah orang-orang mukmin yang fakir. Juga demikian halnya bagi siapa yang ingkar dan meremehkan kebenaran.

Rasulullah saw tidak akan memperoleh kerugian apa-apa karena keingkaran itu, sebagaimana halnya beliau tidak akan memperoleh ke-untungan apapun jika mereka beriman. Allah swt berfirman:

اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. (al-Isra’/17: 7)

Tetapi jika manusia memilih kekafiran dan melepaskan keimanan, berarti mereka telah melakukan kezaliman, yakni meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Oleh karena itu, Allah memberikan ancaman yang keras kepada mereka, yaitu akan melemparkan mereka ke dalam neraka.

Mereka tidak akan lolos dari neraka itu, karena api neraka yang bergejolak itu mengepung mereka dari segala penjuru, sehingga mereka laksana orang yang tertutup dalam kurungan. Bilamana dalam neraka itu mereka saling meminta minum karena dahaga, maka akan diberi air yang panasnya seperti cairan besi yang mendidih yang menghanguskan muka mereka.

Sungguh sangat jelek air yang mereka minum itu. Tidak mungkin air minum yang panasnya seperti itu dapat menyegarkan kerongkongan, dan menghilangkan dahaga orang yang sedang kepanasan, bahkan sebaliknya, menghancurkan diri mereka. Neraka yang mereka tempati itu adalah tempat yang paling buruk dan penuh dengan siksaan.

Ayat 30

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 29-31 khususnya ayat ini, Allah menjelaskan pahala bagi orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an dan mengamalkan segala perintah Allah dan Rasul dengan sebaik-baiknya, yaitu diberi pahala yang besar. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala dari amal kebajikan yang mereka lakukan, dan tidak pula mengurangi hak-hak mereka sedikit pun.

Banyak janji Allah dalam Al-Qur’an kepada orang-orang mukmin di antaranya bilamana mereka melakukan amal kebajikan, sedikit pun Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Setiap amal kebajikan, meskipun hanya sebesar biji sawi, tentu diberi ganjaran oleh Allah swt, sebagaimana firman-Nya:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ  ٧  وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ  ٨

Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (al-Zalzalah/99: 7-8)

Ayat 31

Dalam ayat ini, Allah swt menguraikan ganjaran bagi orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an dan mengerjakan amal saleh. Allah swt menyediakan untuk mereka surga ‘Adn yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Surga ‘Adn itu sangat luas, sehingga taman-taman yang ada di dalamnya bagaikan surga tersendiri.

Mereka juga dianugerahi perhiasan-perhiasan yang indah, yaitu gelang mas yang menghiasi tangan mereka. Perhiasan yang gemerlap itu hanya memenuhi tangan mereka yang dahulu disentuh air wudu.

Rasulullah saw bersabda:

تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوُضُوْءُ. (رواه البخاري و مسلم عن أبي هريرة)

Perhiasan orang-orang yang beriman itu (di surga) memenuhi tempat yang dicapai oleh wuduk. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Di samping perhiasan tersebut, mereka juga mengenakan pakaian sutra yang halus dan tebal berwarna hijau dan berlapiskan benang-benang emas. Sungguh pakaian itu terhitung pakaian yang sangat mewah dalam kehidupan duniawi.

Warna hijau adalah warna alami, warna yang menyejukkan pandangan dan perasaan. Untuk tempat mereka beristirahat dalam surga disediakan beberapa buah arikah (sofa) sejenis tempat duduk sambil bertelekan menikmati istirahatnya. Demikian itulah surga, pahala yang paling baik dan tempat yang indah, yang disediakan Allah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 32-35


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 27-28

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 27-28 berisi tentang beberapa perintah Allah dan juga kisah beberapa sahabat sebelum masuk Islam.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 24-26


Ayat 27

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 27-28 ini Allah swt memerintahkan Rasul-Nya agar mem-bacakan Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya, mengamalkan isinya, menyampaikan kepada umat manusia, dan mengikuti perintah dan larangan yang tercantum di dalamnya. Tugas Rasul saw adalah menyampaikan wahyu Allah itu kepada umat manusia, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

۞ يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗوَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ ۗوَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ

Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (al-Ma’idah/5: 67)

Rasulullah tidak perlu mempedulikan perkataan orang-orang yang menghendaki agar ayat-ayat Al-Qur’an itu didatangkan sesuai dengan kepentingan mereka. Mereka berkata, “Datangkan ayat Al-Qur’an yang lain daripada ini atau ganti dengan yang lain.”

Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang dapat mengganti ataupun mengubah kalimat-kalimat Al-Qur’an, baik kalimat perintah ataupun larangan, baik kalimat ancaman terhadap mereka yang melakukan kemaksiatan ataupun janji Allah kepada mereka yang taat dan berbuat kebaikan. Hanya Allah Yang Kuasa mengubah atau mengganti kalimatnya berdasarkan hikmah-Nya. Firman Allah swt:

يَمْحُوا اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُ وَيُثْبِتُ ۚوَعِنْدَهٗٓ اُمُّ الْكِتٰبِ

Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfu§). (ar-Ra’d/13: 39)

Pergantian ayat oleh Allah dalam Al-Qur’an dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih besar manfaatnya, sebagaimana firman-Nya:

وَاِذَا بَدَّلْنَآ اٰيَةً مَّكَانَ اٰيَةٍ ۙوَّاللّٰهُ اَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ

Dan apabila Kami mengganti suatu ayat dengan ayat yang lain, dan  Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya…. (an-Nahl/16: 101)

Segala ketentuan atau hukum yang telah ditetapkan Allah haruslah dipatuhi. Jika tidak, pasti akan ada hukuman yang diberikan Allah sesuai  dengan apa yang sebelumnya telah diancamkan kepada orang-orang yang melanggar garis-garis yang ditetapkan-Nya. Tak seorang pun yang dapat menjadi pelindung, kecuali Allah swt karena kekuasaan-Nya meliputi makhluk-Nya. Tak seorangpun yang dapat lolos dari hukuman yang telah ditetapkan-Nya.

Ayat 28

Diriwayatkan dalam Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 27-28 bahwa ‘Uyainah bin Hishn al-Fazary datang kepada Nabi Muhammad saw sebelum dia masuk Islam. Ketika itu beberapa orang sahabat Nabi yang fakir berada di sampingnya, di antaranya adalah Salman al-Farisi yang sedang berselimut jubah dan tubuhnya mengeluarkan keringat, karena sedang menganyam daun korma.

‘Uyainah berkata kepada Rasul saw, “Apakah bau mereka (sahabat-sahabat yang fakir) tidak mengganggumu? Kami ini pemuka-pemuka bangsawan suku Mudar. Jika kami masuk Islam, maka semua suku Mudar akan masuk Islam. Tidak ada yang mencegah kami untuk mengikutimu, kecuali kehadiran mereka. Oleh karena itu, jauhkanlah mereka agar kami mengikutimu atau adakan untuk mereka majelis tersendiri, dan kami majelis tersendiri pula.” Kemudian turunlah ayat ini.

Dalam ayat ini, Allah swt memerintahkan Rasul-Nya agar bersabar dan dapat menahan diri untuk duduk bersama dengan beberapa orang sahabatnya yang tekun dalam ibadah sepanjang hari karena mengharapkan rida Allah swt semata. Para sahabat itu hidup dalam kesederhanaan jauh dari kenikmatan duniawi. Mereka itu antara lain ialah: Ammar bin Yasir, Bilal, ¢uhaib, Ibnu Mas’ud, dan sahabat-sahabat lainnya.

 Di surah yang lain, Allah berfirman:

وَلَا تَطْرُدِ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ ۗمَا عَلَيْكَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِّنْ شَيْءٍ وَّمَا مِنْ حِسَابِكَ عَلَيْهِمْ مِّنْ شَيْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَكُوْنَ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ

Janganlah engkau mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, mereka mengharapkan keridaan-Nya. Engkau tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan engkau (berhak) mengusir mereka, sehingga engkau termasuk orang-orang yang zalim. (al-An’am/6: 52)

Sikap kaum musyrikin terhadap sahabat-sahabat Nabi yang fakir itu sama halnya dengan sikap kaum Nuh terhadap pengikut-pengikut Nabi Nuh a.s. sebagaimana difirmankan Allah swt:

۞ قَالُوْٓا اَنُؤْمِنُ لَكَ وَاتَّبَعَكَ الْاَرْذَلُوْنَ

Mereka berkata, ”Apakah kami harus beriman kepadamu, padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?” (asy-Syu’ara’/26: 111)

Sudah semestinya Rasul saw tidak mengindahkan sikap orang kafir itu. Allah swt memperingatkan beliau agar jangan sampai meninggalkan dan meremehkan sahabat-sahabatnya yang fakir, karena hanya didorong oleh kepentingan duniawi atau disebabkan adanya harapan terhadap keimanan orang-orang yang kaya dari kaum musyrikin.

Para sahabat itu adalah orang-orang yang dengan ikhlas hatinya memilih jalan hidup sederhana dan rela meninggalkan segala kelezatan duniawi semata-mata untuk mencari rida Allah. Rasul saw mengucapkan syukur kepada Allah atas kehadiran mereka itu di tengah-tengah umatnya. Katanya:

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ جَعَلَ فِي أُمَّتِيْ مَنْ أَمَرَنِيْ أَنْ أُصَبِّرَ نَفْسِيْ مَعَهُمْ. (رواه ابن جرير الطبري والطبراني و ابن مردويه)

Segala puji bagi Allah yang telah menghadirkan di kalangan umatku orang yang aku diperintahkan untuk sabar menahan diriku bersama dia. (Riwayat Ibnu Jarir ath-°abari, Ath-Thabrani, dan Ibnu Mardawaih)

Dengan demikian, memandang rendah dan meremehkan orang-orang yang hidup miskin dan melarat, tidak dibenarkan oleh agama Islam, terutama bila mereka orang ahli ibadah dan takwa.

Allah dengan tegas melarang Muhammad saw menuruti keinginan para pemuka kaum musyrikin untuk menyingkirkan orang-orang yang fakir dari majelisnya. Orang yang meng-ajukan permintaan seperti itu adalah orang-orang yang sudah tertutup jiwa mereka untuk kembali kepada Tuhan, dan memiliki tabiat yang buruk. Perbuatan mereka yang melampaui batas, kefasikan, dan kemaksiatan menambah gelap hati mereka, sehingga akhirnya mereka bergelimang dalam dosa.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 29-31


Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 24-26

0
Tafsir Surah Al-Kahfi
Tafsir Surah Al-Kahfi

Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 24-26 menerangkan tentang anjuran mengucapkan Insya Allah. Hal ini sebab digunakan oleh Nabi ketika menjawab pertanyaan orang musyrik Mekah. Selain itu Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 24-26 tentang berapa lama waktu pemuda Ashabul Kahfi tinggal di gua. 

Selengkapnya Baca Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 24-26 ini…


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 23


Ayat 24

Dalam ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa jawaban Nabi terhadap pertanyaan orang-orang musyrik Mekah hendaklah disertai dengan kata-kata “insya Allah” yang artinya “jika Allah mengizinkan”. Sebab ada kemungkinan seseorang akan meninggal dunia sebelum hari besok itu datang dan barangkali ada suatu halangan, sehingga dia tidak dapat mengerjakan apa yang diucapkannya itu. Bilamana dia menyertainya dengan kata insya Allah, tentulah dia tidak dipandang pendusta dalam janjinya.

 Sekiranya seseorang terlupa mengucapkan kata-kata insya Allah dalam janjinya, hendaklah dia mengucapkan kalimat itu sewaktu dia teringat kapan saja. Sebagai contoh pernah Rasul saw mengucapkan kata insya Allah setelah dia teringat. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa beliau mengucapkan, “Demi Allah pasti akan memerangi Quraisy,” kemudian beliau diam lalu berkata, “Insya Allah ……..”

 Allah swt kemudian menyuruh Rasul-Nya supaya mengharapkan dengan sangat kepada-Nya supaya Allah memberikan petunjuk kepada beliau ke jalan yang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih kuat untuk dijadikan alasan bagi kebenaran agama. Allah swt telah memenuhi harapan Nabi saw tersebut dengan menurunkan kisah nabi-nabi beserta umat mereka masing-masing pada segala zaman. Dari kisah nabi-nabi dan umatnya itu, umat Islam memperoleh pelajaran yang sangat berfaedah bagi kehidupan mereka dunia dan akhirat.

Ayat 25

Allah lalu menjelaskan tentang berapa lama Ashhabul Kahf tinggal dalam gua sesudah ditutup pendengaran mereka. Mereka tidur dalam gua itu selama tiga ratus tahun menurut perhitungan ahli kitab berdasarkan tahun matahari (syamsiah) atau tiga ratus tahun lebih sembilan tahun menurut perhitungan orang Arab berdasar bilangan tahun bulan (qamariah).

Penjelasan Allah tentang berapa lama Ashhabul Kahf tidur di dalam gua merupakan mukjizat bagi Nabi Muhammad. Beliau tidak belajar ilmu falak tapi mengetahui selisih hitungan sembilan tahun antara perhitungan dengan sistem matahari selama 300 tahun dengan sistem perhitungan tahun bulan. Setiap seratus tahun matahari, tiga tahun selisih hitungannya dengan tahun bulan. Setiap tiga puluh tahun matahari, selisih hitungannya satu tahun dengan tahun bulan dan setiap satu tahun matahari berselisih sebelas hari dengan tahun bulan.

Pengetahuan di atas tentu datang dari Allah. Allah pula yang mengalih-kan perhatian manusia kepada keindahan yang terdapat di permukaan bumi seperti matahari, cahaya bulan, dan segala keindahan yang ditimbulkan oleh sinar matahari itu. Pertukaran musim melahirkan berbagai keindahan, dan pertukaran musim itu sendiri disebabkan perubahan letak matahari.

Demikian pula tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang, yang beraneka ragam dalam hidupnya, tergantung kepada sinar matahari yang dipancarkan ke bumi. Nabi Muhammad saw diutus kepada umat manusia agar menerangkan bahwa mempelajari segala keindahan yang ada di bumi ini lebih mendekat-kan diri kepada kebenaran dan keesaan Allah. Penciptaan alam raya ini lebih rumit daripada penciptaan manusia itu sendiri. Allah berfirman:

لَخَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ اَكْبَرُ مِنْ خَلْقِ النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ

Sungguh, penciptaan langit dan bumi itu lebih besar daripada penciptaan manusia, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Gafir/40: 57)

Ayat 26

Dalam ayat ini, Allah swt memerintahkan Rasul saw agar menyatakan kepada mereka yang masih berselisih tentang berapa lama Ashhabul Kahf tidur di dalam gua, bahwa Tuhan lebih mengetahui lamanya mereka tidur dalam gua itu. Apa yang diterangkan Allah itu pasti benar, tidak ada keraguan padanya.

Para ahli kitab berselisih tentang lamanya waktu mereka tidur seperti halnya mereka berselisih tentang jumlahnya. Hanya Allah yang mengetahui berapa lama mereka tidur, karena memang Dialah Yang Maha Mengetahui dan memiliki ilmu pengetahuan tentang segala yang gaib, baik di bumi maupun di langit. Dialah Yang Maha Mengetahui segala hal ihwal manusia yang tersembunyi, dan tidak ada sesuatupun yang tertutup bagi-Nya.

Oleh karena itu, manusia tidak perlu lagi membicarakan berapa lama penghuni gua itu tidur di tempatnya, tetapi serahkan hal itu kepada Allah, karena Dia itulah yang mengetahui hal-hal yang gaib, apalagi hal-hal yang nyata. Sungguh alangkah terangnya penglihatan Allah atas segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, dan alangkah tajamnya pendengaran-Nya terhadap segala macam suara dan bunyi dari makhluk-Nya.

Tidak ada seorangpun yang dapat menjadi pelindung bagi penghuni-penghuni gua itu selain Allah. Dialah yang memelihara dan mengurus segala hal ihwal mereka dengan sebaik-baiknya. Dan Dia tidak bersekutu dengan seorangpun dalam menetapkan keputusan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Kahfi ayat 27-28