Beranda blog Halaman 342

Tafsir Surah Hud Ayat 89-92

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 89-92 masih berbicara mengenai kaum Madyan yang ingkar terhadap dakwah Nabi Syu’aib. Penolakan mereka semakin keras, sampai-sampai menganggap Nabi Syu’aib sebagai orang yang hina.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 87-88


Ayat 89

Pada ayat ini diterangkan bahwa Nabi Syu’aib a.s. menjelaskan kepada kaumnya nasihat dan peringatan dengan mengatakan,

“Hai kaumku, janganlah pertentangan antara aku dengan kamu, karena kamu masih tetap mempertahankan menyembah berhala dan patung-patung, dan menganiaya hak orang lain dengan mengurangi takaran, timbangan dan lain-lain, mendorong dan menyebabkan kamu menjadi orang-orang yang jahat.

Hal itu akan menyebabkanmu ditimpa oleh azab yang membinasakan di dunia ini sebagai-mana azab topan yang menenggelamkan kaum Nuh atau azab angin keras yang memusnahkan kaum Hud atau azab suara keras mengguntur yang mematikan kaum Saleh.”

Kalau azab yang menimpa kaum-kaum itu yang disebabkan pembangkangan mereka terhadap Allah dan rasul-rasul-Nya, tidak dapat menjadi contoh dan pengajaran bagimu, karena sudah jauh masanya atau tempatnya dari kamu, maka perhatikanlah tentang azab hujan batu yang membakar dan memusnahkan kaum Lut. Peristiwa ini tidaklah jauh masa dan tempatnya dari kamu.

Ayat 90

Pada ayat ini diterangkan bahwa Nabi Syu’aib a.s. menyuruh kaumnya untuk memohon ampun kepada Allah Yang Maha Esa dengan beriman kepada-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan menyembah berhala-berhala dan patung-patung, dan tidak mengurangi takaran, timbangan dan mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak halal.

Kemudian ia menyuruh mereka supaya tobat yakni kembali kepada jalan yang benar dengan menaati Allah dan menjauhi larangan-Nya, karena sesungguhnya Allah Maha Penyayang dan Pengasih terhadap hamba-Nya yang sudah bertobat dan kembali kepada jalan yang benar dengan memberikan ampunan dan membebaskan dari azab dunia dan akhirat.

Perintah minta ampun dan tobat disebut secara bergandengan sebagaimana terdapat dalam ayat-ayat lain yang maksudnya hampir sama. Akan tetapi, kalau perintah istigfar itu ditujukan kepada orang-orang yang masih kafir, maka maksudnya bukan sekedar minta ampun tetapi supaya beriman kepada Allah.

Adapun tobat ialah menyesali kesalahan yang diperbuat dan kembali kepada jalan yang benar. Kesalahan yang dimaksud ialah kesalahan-kesalahan yang dilakukan sesudah beriman, sebab kesalahan-kesalahan yang diperbuat di dalam kekafiran bisa hapus sendiri dengan beriman, dan masuk Islam.


Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Adam Memakan Buah dan Bencana dari Kerusakan Alam


Ayat 91

Sesudah penduduk Madyan (kaum Syu‘aib a.s.) merasa jenuh dan jengkel terhadap Nabi Syu‘aib a.s. karena semua alasan yang mereka kemukakan untuk menolak seruannya dijawab oleh Nabi Syu’aib, mereka akhirnya berkata,

“Hai Syu‘aib, kami tidak dapat memahami apa yang engkau kemukakan kepada kami mengenai tuhan-tuhan sembahan kami dan peraturan-peraturan yang mengekang kebebasan kami untuk bertindak dan mengendalikan harta kekayaan kami, begitu pula tentang azab yang akan menimpa kami, jika kami tidak mengikuti kemauanmu.

Seakan-akan engkaulah yang menetapkan segala sesuatu dan di tangan engkaulah kebahagiaan dan kecelakaan kami, padahal semua itu adalah semata-mata urusan Tuhan.

Kami melihat dan meyakini bahwa engkau adalah seorang yang lemah tak berdaya, tidak mungkin akan dapat membawa manfaat atau mudarat kepada kami, dan bila kami ingin membinasakan engkau, engkau tidak akan dapat membela diri. Kalau tidak rasa kasihan kami terhadap keluarga dan karib kerabatmu, tentulah kami sudah melemparimu dengan batu sampai mati.”

Mereka melanjutkan bantahannya, “Engkau sendiri tidak ada harapan dan tidak ada harganya bagi kami karena engkau bukanlah seorang yang gagah berani dan perkasa yang dapat mempertahankan diri dari serangan orang lain.

Hanya semata-mata karena kasihan kepada keluarga dan karib kerabatmulah, kami belum membunuhmu, karena mereka masih tetap berada di pihak kami, dalam golongan kami tidak mau meninggalkan agama kami dan agama nenek moyang kami.”


Baca juga: Kata al-Mahabbah (Cinta) dan Persaudaraan Universal dalam Al-Quran


Ayat 92

Mendengar ucapan kaumnya yang sangat menusuk hati dan menganggapnya sebagai orang hina dan tidak berdaya itu, Nabi Syu’aib a.s. berkata:

“Sungguh sangat menyedihkan kepicikan pikiranmu dan sangat mengherankan sekali pendapatmu itu. Apakah kamu menganggap kaum kerabatku itu lebih mulia dan lebih perkasa dari Allah yang menciptakan mereka, menciptakan kamu semua bahkan menciptakan langit dan bumi?

Apakah hanya karena aku berasal dari mereka, sehingga tidak berani melaksanakan ancamanmu itu, bukan karena aku beriman kepada Allah yang akan menyeru kamu supaya kamu menyembah dan tidak mempersekutukan-Nya.

Karena Dialah Yang Maha Kuasa, Maha Perkasa, dan Maha Pemurah yang melimpahkan-Nya dan menganggap enteng kekuasaan dan rahmat-Nya. Dialah yang patut kamu takuti. Dialah yang sewajarnya kamu muliakan, bahkan kaum kerabatku tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kehendak Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kamu lakukan, tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya. Dia akan memberi balasan yang setimpal atas keingkaran dan kedurhakaanmu itu.”


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 93-95


(Tafsir Kemenag)

 

Tafsir Surah Al A’raf ayat 180

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 180 ini menyebutkan nama-nama Allah yang paling baik, luas dan dalam akan maknanya,yakni Asma’ul Husna. Dalam Tafsir Surah Al A’raf ayat 180 tertulis 99 nama-nama Allah yang Maha Agung sesuai dengan sifat Allah SWT.

 

Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 179


Ayat 180

Dalam Tafsir Surah Al A’raf ayat 180 ini disebutkan Al-Asma’ul Husna artinya nama-nama Allah yang paling baik, paling luas, dan paling dalam pengertiannya, sebagaimana sabda Rasulullah:

إِنَّ ِللهِ تِسْعًا وَتِسْعِيْنَ اِسْمًا، مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

“Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barangsiapa menghafalnya masuklah dia ke surga.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah);Jumlah sembilan puluh sembilan itu tidaklah berarti batas jumlah, sesungguhnya nama Allah itu tidaklah terbatas. Dalam Al-Qur’an nama Allah lebih dari jumlah angka tersebut. Nama-nama itu merupakan sifat dari zat Allah Yang Maha Esa, bukan zat Tuhan yang dikira orang musyrikin.

Mengenai Asma’ul Husnā yang sembilan puluh sembilan itu diriwayatkan oleh at-Tirmizi dan al-Hakim dari jalan (sanad) al-Walid bin Muslim sebagai berikut:

هُوَ الله ُالَّذِيْ لاَإِلٰهَ إِلاَّ هُوَ

١- الرَّحْمٰنُ ٢- الرَّحِيْمُ ٣- الْمَلِكُ ٤- الْقُدُّوْسُ

٥- السَّلاَمُ  ٦- الْمُؤْمِنُ  ٧- الْمُهَيْمِنُ  ٨- الْعَزِيْزُ

٩- الْجَبَّارُ  ١٠- الْمُتَكَبِّرُ  ١١- الْخَالِقُ  ١٢- الْبَارِئُ

١٣- الْمُصَوِّرُ  ١٤- الْغَفَّارُ  ١٥- الْقَهَّارُ  ١٦- الْوَهَّابُ

١٧- الرَّزَّاقُ  ١٨- الْفَتَّاحُ  ١٩- الْعَلِيْمُ  ٢٠- الْقَابِضُ

۲۱- الْبَاسِطُ  ۲۲- الْخَافِضُ  ۲۳- الرَّافِعُ  ۲٤- الْمُعِزُّ

۲٥- الْمُذِلُّ  ۲٦- السَّمِيْعُ  ۲٧- الْبَصِيْرُ  ۲٨- الْحَكَمُ

۲٩- الْعَدْلُ  ۳٠- اللَّطِيْفُ  ۳١- الْخَبِيْرُ  ۳۲- الْحَلِيْمُ

۳۳- الْعَظِيْمُ  ۳٤- الْغَفُوْرُ  ۳٥- الشَّكُوْرُ  ۳٦- الْعَلِيُّ

۳٧- الْكَبِيْرُ  ۳٨- الْحَفِيْظُ  ۳٩- الْمُقِيْتُ  ٤٠- الْحَسِيْبُ

٤١- الْجَلِيْلُ ٤۲- الْكَرِيْمُ ٤۳- الرَّقِيْبُ  ٤٤- الْمُجِيْبُ

٤٥- الْوَاسِعُ  ٤٦- الْحَكِيْمُ  ٤٧- الْوَدُوْدُ  ٤٨- الْمَجِيْدُ

٤٩- الْبَاعِثُ  ٥٠- الشَّهِيْدُ  ٥۱- الْحَقُّ  ٥٢- الْوَكِيْلُ

٥۳- الْقَوِيُّ  ٥٤- الْمَتِيْنُ  ٥٥- الْوَلِيُّ  ٥٦- الْحَمِيْدُ

٥٧- الْمُحْصِيُّ  ٥٨- الْمُبْدِئُ ٥٩- الْمُعِيْدُ  ٦٠- الْمُحْيِي

٦۱- الْمُمِيْتُ  ٦۲- الْحَيُّ  ٦۳- الْقَيُّوْمُ  ٦٤- الْوَاجِدُ

٦٥- الْمَاجِدُ  ٦٦- الْوَاحِدُ  ٦٧- اْلأَحَدُ  ٦٨- الصَّمَدُ

٦٩- الْقَادِرُ  ٧٠- الْمُقْتَدِرُ  ٧۱- الْمُقَدِّمُ  ٧۲- الْمُؤَخِّرُ

٧۳- اْلأَوَّلُ  ٧٤- اْلاٰخِرُ  ٧٥- الظَّاهِرُ  ٧٦- الْبَاطِنُ

٧٧- الْوَالِي  ٧٨- الْمُتَعَالِي  ٧٩- الْبَرُّ  ٨٠- التَّوَّابُ

٨۱- الْمُنْتَقِمُ  ٨۲- الْعَفُوُّ  ٨۳- الرَّءُوْفُ  ٨٤- مَالِكُ الْمُلْكِ

٨٥- ذُو الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ   ٨٦- الْمُقْسِطُ  ٨٧- الْجَامِعُ

٨٨- الْغَنِيُّ  ٨٩- الْمُغْنِي  ٩٠- الْمَانِعُ  ٩۱- الضَّارُّ

٩٢- النَّافِعُ  ٩۳- النُّوْرُ  ٩٤- الْهَادِي  ٩٥- الْبَدِيْعُ

٩٦- الْبَاقِي  ٩٧- الْوَارِثُ  ٩٨- الرَّشِيْدُ  ٩٩- الصَّبُوْرُ

(رواه الترمذي والحاكم)

Dialah Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia. (1) Yang Maha Pengasih, (2) Yang Maha Penyayang, (3) Maharaja, (4) Yang Mahasuci, (5) Maha Sejahtera, (6) Yang Maha Menenteramkan, (7) Yang Maha Memelihara, (8) Yang Mahaperkasa, (9) Yang Mahakuasa, (10) Yang Maha Memiliki Kebesaran, (11) Yang Maha Menciptakan, (12) Yang Mengadakan, (13) Yang Membentuk Rupa, (14) Yang Maha Pengampun, (15) Yang Maha Mengalahkan, (16) Yang Maha Pemberi, (17) Yang Maha Memberi Rezeki, (18) Yang Maha Memberi Keputusan, (19) Yang Maha Mengetahui, (20) Yang Maha Membatasi Rezeki, (21) Yang Maha Melapangkan Rezeki, (22) Yang Maha Merendahkan, (23) Yang Maha Meninggikan, (24) Yang Maha Menjadikan Mulia, (25) Yang Menjadikan Hina, (26) Yang Maha Mendengar, (27) Yang Maha Melihat, (28) Yang Jadi Hakim, (29) Yang Mahaadil, (30) Yang Mahahalus, (31) Yang Mahateliti, (32) Yang Mahasantun, (33) Yang Mahaagung, (34) Yang Maha Mengampuni, (35) Yang Maha Mensyukuri, (36) Yang Mahatinggi, (37) Yang Mahabesar, (38) Yang Maha Memelihara, (39) Yang Maha Penentu Waktu, (40) Yang Maha Membuat Perhitungan, (41) Yang Penuh Kebesaran, (42) Yang Maha Pemurah, (43) Yang Jadi Pengawas, (44) Yang Maha Mengabulkan, (45) Yang Mahaluas, (46) Yang Maha Bijaksana, (47) Yang Maha Mencintai,(48)Yang Mahamulia, (49) Yang Maha Membangkitkan, (50) Yang Maha Menjadi Saksi, (51) Yang Penuh Kebenaran, (52) Yang Maha Menjadi Tempat Bertawakkal, (53) Yang Mahakuat, (54) Yang Mahakokoh, (55) Yang Maha Melindungi, (56) Yang Maha Terpuji, (57) Yang Maha Menghitung, (58) Yang Maha Menciptakan, (59) Yang Maha Mengembalikan, (60) Yang Menghidupkan, (61) Yang Mematikan, (62) Yang Maha Hidup, (63) Yang Berdiri Sendiri, (64) Yang Maha Menemukan, (65) Yang Mahamulia, (66) Yang Mahamandiri, (67) Yang Maha Esa, (68) Yang Maha Tumpuan, (69) Yang Maha Kuasa, (70) Yang Maha Menentukan, (71) Yang Maha Mendahulukan, (72) Yang Maha Mengakhirkan, (73) Yang Mahaawal, (74) Yang Mahaakhir, (75) Yang Mahanyata, (76) Yang Maha Tersembunyi, (77) Yang Maha Melindungi, (78) Yang Maha Meninggikan, (79) Yang Maha Pelimpah Kebajikan, (80) Yang Maha Penerima Tobat, (81) Yang Maha Pembalas, (82) Yang Maha Pemaaf, (83) Yang Maha Penyantun, (84) Yang Memiliki Kekuasaan, (85) Yang Maha Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan, (86) Yang Mahaadil, (87) Yang Menghimpun, (88) Yang Mahakaya, (89) Yang Maha Memberi Kekayaan, (90) Yang Maha Mencegah, (91) Yang Maha Pemberi Mudarat, (92) Yang Maha Pemberi Manfaat, (93) Yang Maha Bercahaya, (94) Yang Maha Pemberi Petunjuk, (95) Yang Maha Pencipta Keindahan, (96) Yang Mahakekal, (97) Yang Maha Mewarisi, (98) Yang Maha Pemberi Bimbingan, (99) Yang Mahasabar. (Riwayat at-Tirmizi dan al-Hakim)

Terjemahan nama-nama Allah sesungguhnya tidak dapat diterjemahkan  secara tepat. Terjemahan ini sekedar untuk menjelaskan maknanya sesuai dengan keterbatasan bahasa Indonesia.

Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk menyebutkan nama-nama yang paling baik ini dalam berdoa dan berzikir. Karena dengan berdoa dan berzikir itu mereka selalu ingat kepada Allah, dan iman mereka bertambah hidup dan subur dalam jiwa mereka

Dalam pada itu Allah memerintahkan pula kepada orang-orang yang beriman agar mereka meninggalkan perilaku orang-orang yang menyimpangkan pengertian nama-nama Allah dari pengertian yang benar, misalnya dengan memberikan ta’wil atau memutar-balikkan pengertian sehingga mengaburkan kesempurnaan yang mutlak dari sifat-sifat Allah. Mereka yang berbuat demikian kelak akan ditimpa azab Allah. Penyimpangan atau penyelewengan dari nama-nama Allah Yang Maha Sempurna itu bermacam-macam bentuknya, antara lain:

  1. Memberikan nama kepada Allah dengan nama yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an ataupun dalam hadis Rasul yang sahih. Semua ulama sepakat bahwa nama dan sifat Allah itu harus didasarkan atas penjelasan Al-Qur’an dan hadis Rasul (tauqifi).
  2. Menolak nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh Allah untuk zat-Nya, atau menolak untuk menisbahkan suatu perbuatan kepada Allah karena memandang yang demikian itu tidak patut bagi kesucian-Nya atau mengurangi kesucian-Nya. Mereka yang menolak ini memandang diri mereka seolah-olah lebih mengetahui dari Allah dan Rasul-Nya, mana yang layak dan mana yang tidak layak bagi Allah.
  3. Menamakan sesuatu selain Allah dengan nama yang hanya layak bagi Allah.
  4. Memutar-balikkan nama dan sifat-sifat Allah dengan penafsiran sendiri sehingga keluar dari pengertian dan maksud yang sebenarnya, seperti paham yang mengatakan bahwa sifat-sifat Allah sama dengan sifat manusia, seperti mendengar, melihat, berkata-kata, punya muka, tangan, kaki, tertawa, marah, senang dan sebagainya. Kendati Allah memiliki sifat mendengar, melihat dan sebagainya, namun mendengarnya Allah tidak sama dengan mendengarnya makhluk, melihatnya Allah tidak sama dengan melihatnya makhluk. Atau paham yang memberikan takwil terhadap sifat-sifat Allah sedemikian rupa sehingga sifat Allah itu tidak memilikik arti sama sekali.
  5. Mempersekutukan Allah dengan sembahan selain Allah dalam segi nama yang khusus untuk Allah. Seperti memakai lafal Allah untuk sebuah berhala atau kata Rabbul ‘Alamin. ok dari kehidupan manusia sebagai pribadi dan bangsa.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 74-75


 

Surah Al-Qadr [97] Ayat 3: Lailatul Qadar Lebih Baik dari Seribu Bulan

0
Surah al-Qadr
Surah al-Qadr

Surah al-Qadr merupakan surah madaniyah atau surah yang diturunkan pada periode Madinah. Al-Wahidi menuturkan, surah ini adalah surah pertama yang turun di Madinah yang terdiri dari 5 ayat, 30 kalimat dan 121 huruf. Sedangkan al-Maraghi dalam kitabnya, Tafsir al-Maraghi, mengatakan bahwa surah al-Qadr adalah surah makiyah atau surah yang diturunkan pada periode Mekah, tepatnya setelah surah ‘Abbasa.

Terlepas dari perdebatan ulama mengenai kapan surah al-Qadr diturunkan, apakah di periode Mekah ataupun Madinah?, surah ini secara umum berisi tentang proses nuzul al-Qur’an pertama kali ke langit dunia dari lauhul mahfuz dan bercerita tentang kemuliaan lailatul qadar di mana para malaikat berbondong-bondong turun ke dunia untuk mengurus berbagai persoalan atas izin Allah swt.

Lailatul Qadar merupakan salah satu malam di bulan puasa. Menurut Sebagian ulama, malam tersebut biasanya jatuh di malam ganjil di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Lailatul Qadar disebutkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan, sebuah malam di mana seorang muslim berkesempatan untuk mendapatkan keberkahan dan pahala berlipat ganda.

Baca Juga: Kitab Maqashid al-Shaum: Inilah Tujuh Keutamaan Puasa Ramadhan

Kemuliaan Lailatul Qadar telah disebutkan Baginda Nabi Muhammad saw dalam sabdanya:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إَيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (Sahih al-Bukhari [4]: 217 dan Sahih Muslim 759).

Kemuliaan Lailatul Qadar juga disebutkan dalam surah al-Qadr [97] ayat 2-3 yang berbunyi:

وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ ٢لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ ٣

Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu (Lailatul Qadar) lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr [97] ayat 2-3).

Menurut Quraish Shihab, surah al-Qadr [97] ayat 2-3 merupakan penjelasan dari Allah swt tentang kemuliaan Lailatul Qadar. Dia seakan-akan berfirman: “Dan apakah yang menjadikan engkau tahu apakah Lailatul Qadar? Engkau tidak akan mampu mengetahui dan menjangkau secara keseluruhan kemuliaan Lailatul Qadar itu. Tak ada kata yang mampu menjelaskannya dan engkau hanya mengetahui bahwa Malam kemuliaan itu (Lailatul Qadar) lebih baik daripada seribu bulan.

Setidaknya ada empat makna qadr dari ayat di atas yang telah disampaikan ulama, yakni: Pertama, penetapan. Lailatul Qadar adalah malam penetapan Allah swt atas perjalanan hidup makhluk selama setahun. Kedua, pengaturan. Artinya, Lailatul Qadar adalah malam di mana Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai khittah yang mengatur nabi Muhammad saw dalam mendakwahi manusia kepada kebaikan.

Ketiga, kemuliaan. Ini berarti bahwa sesungguhnya Allah swt telah menurunkan Al-Qur’an pada malam yang mulia. Malam tersebut dimuliakan karena Al-Qur’an turun padanya sebagaimana nabi Muhammad saw yang mendapatkan kemuliaan dengan datangnya wahyu. Keempat, sempit. Maksudnya pada malam itu bumi sesak karena banyaknya malaikat yang turun (Tafsir Al-Misbah [15]: 426-427).

Menurut Syekh Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid, kemuliaan Lailatul Qadar – salah satunya – terletak pada kadar ibadah di malam Lailatul Qadar lebih baik dari pada ibadah seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadar di dalamnya. Pandangan ini disampaikan oleh Imam Mujahid dengan dasar kisah dari nabi saw mengenai seorang bani Israil yang mendapatkan kebaikan setara seribu bulan manakala beribadah di malam Lailatul Qadar.

Pandangan serupa dituturkan al-Sa’adi dalam Tafsir al-Sa’adi. Menurutnya, surah al-Qadr [97] ayat 3 bermakna kemuliaan Lailatul Qadar sebanding dengan kemuliaan seribu bulan tanpa Lailatul Qadar. Ibadah yang dilakukan di dalamnya juga lebih baik daripada ibadah yang dilakukan dalam seribu bulan. Keistimewaan ini merupakan anugerah Allah swt bagi umat nabi Muhammad yang memiliki kelemahan seperti pendeknya umur.

Sedangkan menurut mayoritas ulama, kemuliaan Lailatul Qadar disebabkan karena Al-Qur’an turun padanya. Hal ini telah disyaratkan oleh Allah swt pada surah al-Qadr ayat pertama, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar.” Karena itulah,  Malam kemuliaan itu (Lailatul Qadar) lebih baik daripada seribu bulan yang di dalamnya tidak ada lailatul qadar.

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa Al-Qur’an memuliakan segala hal yang berkaitan dengannya. Ketika Al-Qur’an turun di malam qadar, maka malam itu menjadi mulia. Hal serupa terjadi pada bulan Ramadhan yang menjadi mulia karena Al-Qur’an diturunkan di dalamnya, begitu pula pada nabi Muhammad saw. Artinya, siapa pun yang berkaitan dengan Al-Qur’an, ia akan menjadi mulia karena Al-Qur’an.

Baca Juga: Sejarah Puasa dan Rahasia Dipilihnya Bulan Ramadhan Menurut Para Tokoh Tafsir

Sebagai catatan, perumpamaan kemuliaan Lailatul Qadar setara dengan seribu bulan tidak mesti dipahami sebagai keterangan matematis, bahwa malam tersebut setara dengan seribu bulan, tidak lebih dan tidak kurang. Perumpamaan ini lebih bermakna kemuliaan Lailatul Qadar begitu banyak, tidak dapat diungkapkan dijelaskan, saking banyaknya hal itu ungkapkan dengan frasa lebih baik dari seribu bulan biasa.

Satu hal yang harus digarisbawahi berkenaan kelebihan Lailatul Qadar, yakni kelebihan itu terletak pada nilai pahalanya, bukan kewajiban ibadahnya. Artinya, tidak benar jika seseorang mengatakan bahwa ia cukup beribadah di malam qadar saja yang bernilai seribu bulan dan dengan itu ia meninggalkan ibadah wajib di hari-hari yang lain. Anggapan semacam ini keliru sekaligus menyesatkan (Tafsir Al-Misbah [15]: 427).

Karena alasan itulah, ada pula pendapat yang mengatakan kemuliaan dan nilai setara seribu bulan didapatkan oleh seseorang melalui hasil ibadah yang tulus dan ikhlas karena Allah swt. Hal ini disimpulkan dari tidak adanya keterangan rinci kapan pastinya Lailatul Qadar terjadi di bulan Ramadhan. Seakan-akan Allah swt merahasiakannya agar manusia fokus beribadah kepada-Nya, bukan mencari Lailatul Qadar. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Hud Ayat 87-88

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 87-88 berbicara mengenai bantahan Nabi Syu’aib atas protes yang dilakukan oleh kaumnya. Nabi Syu’aib telah menyatakan sebenar-benarnya kepada kaum yang ingkar itu dengan prilaku dirinya sendiri.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 85-86


Ayat 87

Pada ayat ini, Allah menerangkan reaksi yang dihadapi Nabi Syu’aib a.s. dari kaumnya sebagai bantahan atas dua macam isi dakwahnya itu, yaitu: pertama, supaya mereka menyembah Allah Yang Maha Esa dan tidak boleh mermpersekutukan-Nya dengan menyembah berhala-berhala dan sebagai-nya; kedua, supaya mereka menyempurnakan takaran dan timbangan dan tidak boleh menguranginya.

Terhadap isi dakwah yang pertama, mereka membantah dengan mengatakan, “Apakah salatmu, yang ditimbulkan oleh kekacauan pikiran yang tidak menentu dan perbuatan gila, yang mendorong dan memerintahkan kamu supaya kami meninggalkan sembahan kami dari berhala-berhala dan patung-patung yang disembah oleh nenek-moyang kami?”

Mereka sengaja menyebutkan salat Syu’aib a.s. karena ia terkenal banyak melakukan salat sehingga menjadi ejekan bagi mereka, karena mereka menyangka bahwa perbuatannya itu adalah perbuatan gila dan kekacauan pikiran yang tidak menentu.

Apabila kaumnya melihat ia sedang melakukan salat mereka saling mengedipkan mata dan mentertawakannya, maka salat itu adalah di antara syi’ar-syi’ar agama yang menjadi bahan tertawaan mereka.

Adapun terhadap isi dakwahnya yang kedua, mereka membantah dengan mengatakan, “Apakah salat itu yang memerintahkan kamu supaya melarang dan mengekang kebebasan kami dalam mendayagunakan harta kekayaan kami menurut kepandaian dan kecerdikan dengan segala macam tipu daya sesuai dengan kemauan dan keinginan kami? Sungguh kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi pandai.”

Menurut Ibnu Abbas, pujian kepada Syu’aib a.s. itu merupakan ejekan terhadapnya, sedang yang mereka maksud ialah sebaliknya, yakni lawan dari dua sifat itu. Pendapat ini sesuai dengan percakapan mereka sebelumnya yang sifat dan tujuannya adalah mengejek.

Pendapat lain mengatakan bahwa pujian itu tetap menurut artinya yang asal berdasarkan prasangka mereka semula yaitu sebelum Syu’aib a.s. menyampaikan dakwahnya itu kepada mereka. Seolah-olah mereka mengatakan, “Kamu selama ini sangat penyantun lagi pandai, mengapa sekarang kamu mau menyusahkan kami?” Pendapat ini seirama dengan perkataan kaum Samµd kepada Nabi Saleh a.s. yang diterangkan dalam firman Allah:

قَالُوْا يٰصٰلِحُ قَدْ كُنْتَ فِيْنَا مَرْجُوًّا قَبْلَ هٰذَآ اَتَنْهٰىنَآ اَنْ نَّعْبُدَ مَا يَعْبُدُ اٰبَاۤؤُنَا وَاِنَّنَا لَفِيْ شَكٍّ مِّمَّا تَدْعُوْنَآ اِلَيْهِ مُرِيْبٍ  ٦٢

Mereka (kaum Samud) berkata, ”Wahai Saleh! Sungguh, engkau sebelum ini berada di tengah-tengah kami merupakan orang yang diharapkan, mengapa engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami? Sungguh, kami benar-benar dalam keraguan dan kegelisahan terhadap apa (agama) yang engkau serukan kepada kami.” (Hµd/11: 62)


Baca juga: Epidemiologi Al-Qur’an (2): Virus Sampar Dalam Kisah Nabi Shalih dan Kaum Tsamud


Ayat 88

Pada ayat ini Allah swt menerangkan jawaban Syu’aib a.s. terhadap bantahan kaumnya itu dengan mengatakan, “Hai kaumku bagaimana pikiranmu tentang persoalan ini jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku bahwa dakwah yang kusampaikan kepadamu itu bukan pendapatku sendiri tetapi wahyu dari Allah.

Ia telah menganugerahkan kepadaku bermacam-macam rezeki yang baik. Semuanya aku peroleh dengan jalan yang halal, tanpa mengurangi takaran dan timbangan dan cara-cara lain yang sifatnya mengurangi atau merugikan hak orang lain dengan cara yang tidak sah.

Apa yang kukatakan ini kepadamu sekalian adalah hasil percobaan dan pengalamanku dalam usaha yang berhasil baik yang mengandung kebajikan dan keberkahan, bukan sekadar berdasarkan teori atau omongan orang yang belum berpengalaman.”

Selanjutnya Nabi Syu’aib a.s. menjelaskan kepada kaumnya dengan mengatakan, “Sama sekali aku tidak bermaksud melarangmu untuk mengurangi takaran dan timbangan serta perbuatan-perbuatan lain yang sifatnya mengurangi atau merugikan hak orang lain dengan jalan yang tidak halal, lalu kemudian aku sendiri mengerjakannya, tetapi sejak semula aku telah berlaku jujur dan tidak mengerjakan penipuan dan kecurangan.”

Kemudian Nabi Syu’aib a.s. mengatakan bahwa ia tidak akan mendapat taufik dalam setiap langkah yang diambilnya, kecuali dengan hidayah dan pertolongan Allah. Kemudian ia menyatakan lagi bahwa ia tidak punya daya dan kekuatan, hanya kepada Allah-lah dia bertawakal dalam menunaikan dakwah yang disampaikan kepada kaumnya. Dan kepada-Nyalah ia kembali dalam segala urusan di dunia ini, dan Dialah yang akan membalas semua amalnya di hari akhirat.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 89-92


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 139-141

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada ayat sebelumnya Allah memerintahkan kepada keturunan Ibrahim untuk menganut agama Islam dan manusia itu dinilai berdasarkan amalnya hanya Allah yang dapat menolong mereka. Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 139-141 masih membahas tentang derajat manusia bukan diukur dengan bangsa, keturunan atau pangkat tetapi diukur dengan amal perbuatan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 133-138


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 139-141 merupakan peringatan bagi umat Muhammad untuk menganut dan menjaga agama Allah. Jangan dipengaruhi hawa nafsu sehingga berani mengubah-ubah agama Allah, seperti yang telah dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Ayat 139

Diriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, “Wajiblah manusia mengikuti agama kami, karena nabi berasal dari kami agama diturunkan atas kami, tidak pernah dijanjikan kepada orang Arab.” Maka Allah menolak pendapat mereka dengan ayat ini.

Dengan ayat ini pengakuan orang-orang Yahudi dan Nasrani sudah terjawab dengan menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi mereka mengatakan yang demikian. Allah Tuhan seluruh alam, Pencipta dan Pemilik seluruh makhluk. Derajat manusia bukan diukur dengan bangsa, keturunan dan pangkatnya, tetapi diukur dengan amal dan perbuatannya.

Pengaruh perbuatan itu tampak pada diri setiap manusia dan tingkah lakunya. Perbuatan yang baik memberi pengaruh yang baik, sebaliknya perbuatan yang buruk memberi pengaruh yang buruk pula. Hanya Allah yang dapat menilai perbuatan itu.

Pengaruh perbuatan buruk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani tergambar di dalam ucapan mereka. Allah berfirman:

وَقَالُوْا لَنْ يَّدْخُلَ الْجَنَّةَ اِلَّا مَنْ كَانَ هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰى ۗ تِلْكَ اَمَانِيُّهُمْ ۗ قُلْ هَاتُوْا بُرْهَانَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ”Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, ”Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar.” (al Baqarah/2:111)

وَقَالُوْا كُوْنُوْا هُوْدًا اَوْ نَصٰرٰى تَهْتَدُوْا ۗ قُلْ بَلْ مِلَّةَ اِبْرٰهٖمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Dan mereka berkata, ”Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah, ”(Tidak!) Tetapi (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus dan dia bukanlah termasuk orang yang musyrik.” (al Baqarah/2:135)

Akhir ayat ini menegaskan bahwa agama yang benar ialah agama yang berasaskan Tauhid, agama yang memurnikan ketaatan kepada Allah semata. Agama itulah yang dibawa Nabi Muhammad saw, untuk seluruh manusia hingga akhir zaman.


Baca juga: Surah Maryam [19] Ayat 26: Kisah Maryam Berpuasa Bicara


Ayat 140

Ayat ini menerangkan pengakuan yang lain dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, yaitu semua nabi dan rasul mengakui agama mereka. Mereka melakukan segala macam usaha untuk menguatkan dan membenarkan ucapan mereka, sekalipun usaha itu dilarang Allah.

Allah mengungkapkan kesalahan orang Yahudi dan Nasrani yang mengemukakan hujahnya dalam usaha membenarkan ucapan mereka. Kesalahan itu ialah mereka mengatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya memeluk agama Yahudi dan Nasrani padahal para nabi itu telah ada sebelum agama Yahudi dan agama Nasrani ada.

Perkataan “Yahudi” baru dikenal setelah Nabi Musa a.s. meninggal dunia, dan perkataan Nasrani timbul dan dikenal setelah Nabi Isa a.s. meninggal dunia. Mengapa mereka mengatakan yang demikian, padahal perkataan itu tidak sesuai dengan kenyataan sejarah dan logika yang benar.

Apakah yang demikian karena mereka lebih mengetahui atau Allah yang lebih mengetahui? Apakah perkataan itu sengaja mereka ucapkan hanya sekadar untuk membantah kerasulan Muhammad saw?

Maksud orang-orang Yahudi dan Nasrani mengucapkan perkataan yang demikian dijelaskan oleh kalimat berikutnya, ialah untuk menyembunyikan syahadah Allah. “Syahadah Allah” ialah penyaksian Allah yang tersebut di dalam Taurat dan Injil bahwa Ibrahim a.s. dan anak cucunya bukan penganut agama Yahudi dan bukan pula penganut agama Nasrani, dan Allah akan mengutus Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir yang berasal dari keturunan Ismail a.s.

Perkataan “menyembunyikan syahadah Allah” itu termasuk perbuatan yang paling zalim di sisi Allah, karena perbuatan itu berakibat menyesatkan manusia dari jalan Allah, jalan kebenaran dan jalan kebahagiaan.

Karena itu Allah memperingatkan mereka, bahwa Allah tidak lengah sedikit pun terhadap segala macam perbuatan hamba-hamba-Nya baik yang tampak maupun yang tidak tampak, baik yang besar maupun yang kecil.

Ayat 141

Allah menyatakan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya serta umat-umat yang telah lalu, mereka akan diberi balasan yang sesuai dengan amal perbuatannya, kamu tidak dibebani tanggung jawab atas perbuatan mereka itu. Kamu yang ada sekarang hendaklah beramal dan akan memperoleh balasan sesuai dengan amal yang kamu kerjakan.

Ayat ini merupakan peringatan bagi umat Muhammad agar selalu memelihara agama Allah. Jangan dipengaruhi hawa nafsu sehingga berani mengubah-ubah agama Allah, seperti yang telah dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Ayat ini menjelaskan bentuk tanggung jawab setiap orang. Setiap orang bertanggung jawab kepada Allah terhadap apa yang mereka lakukan. Allah tidak memikulkan dosa seseorang kepada orang lain.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 142-143


(Tafsir kemenag)

Makna Puasa dan 3 Tingkatannya menurut Tafsir Sufistik

0
3 tingkat puasa menurut tafsir sufistik
3 tingkat puasa menurut tafsir sufistik

Puasa Ramadan ternyata tidak hanya menyimpan aspek eksoteris (dimensi lahiriyah), akan tetapi sarat akan nuansa esoteris (dimensi batiniyah atau sufistik). Benar kata Syekh Ibrahim al-Kurani dalam Ithaf al-Dzaki bahwa setiap ayat Al-Quran mengandung makna lahir dan batin, yang dalam istilahnya disebut sebagai dzul wajhain (dua sisi wajah Al-Quran), tak terkecuali makna puasa Ramadan dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 183. Bila kita telaah tafsir-tafsir sufistik, kita akan menemukan dimensi esoteris puasa tersebut.

Pada pembahasan kali ini akan mengulas makna puasa dalam perspektif tafsir sufistik. Pertanyaan yang mungkin muncul ialah apakah memang betul bahwa puasa hanya menahan diri untuk tidak makan, minum, bersanggama, dan seterusnya atau jangan-jangan puasa menyimpan dimensi batiniyah atau aspek sufi yang luar biasa? Simak selengkapnya di bawah ini.

Makna Puasa menurut Tafsir Sufistik

Ada beberapa ulama sufi seperti al-Qusyairi, al-Ghazali, al-Jilani, Ibn ‘Arabi, Ibn ‘Ajibah, Ibnu ‘Atiyyah dan lain sebagainya yang mengulas makna puasa Ramadan perspektif tafsir sufistik. Berikut penjelasannya.

Penafsiran pertama disampaikan al-Qusyairi dalam Lathaif al-Isyarat-nya, ia mengemukakan,

الصوم على ضربين: صوم ظاهر وهو الإمساك عن المفطرات مصحوباً بالنية، وصوم باطن وهو صَوْنُ القلب عن الآفات، ثم صون الروح عن المساكنات، ثم صون السِّرِّ عن الملاحظات

“Puasa itu terbagi menjadi dua, yaitu puasa zahir dan batin. Puasa zahir ialah menahan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa dengan disertai niat. Adapun puasa batin adalah menjaga hati dari penyakit hati, menjaga jiwa dari rasa miskin, dan menjaga rahasia (sirr) dari hingar bingar keramaian”.

Puasa batin, demikian kata al-Qusyairi, adalah menjaga lisan dari ghibah (shaun al-lisan ‘an al-ghibah), menjaga takaran dari riba (shaun al-tharfi ‘an al-nadzari bil ribah), menjaga segala hal yang dapat membatalkan puasa sampai malam tiba, dan menjaga diri dari keburukan sehingga menyaksikan kebenaran (an yasyhadu al-haqqu). Sebagaimana sabda Nabi saw, “shumu wa afthiru liru’yatihi”.

Baca juga: Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Memahami Al-Quran dan Memahami Allah Swt

Jika pada umumnya, ulama menafsiri kata “liru’yatihi” dengan jika kalian telah melihat hilal Ramadan, maka bukalah, demikian pula tatkala melihat hilal bulan syawal. Namun bagi al-Qusyairi tidak, ia menafsiri hadits tersebut dengan “puasa mereka karena ingin menyaksikan Allah, buka mereka juga karena Allah, perjumpaan mereka hanya kepada Allah tidak kepada yang lain. Sebab Allah lah tujuan hidup dan puasa mereka”.

Lebih jauh, al-Qusyairi tatkala membagi maqamat tasawuf-nya dalam Risalah al-Qusyairiyah sarat akan ibadah puasa. Pendek kata, semua maqamat tasawufnya tidak ada yang tidak mengandung dimensi puasa. Lihat saja setapak demi setapak, setiap maqamatnya harus dilalui dengan mengosongkan perut, meninggalkan syahwat, mujahadah, sabar, syukur, ikhlas, jujur, istiqamah dan takwa. Bukankah itu semua tahapan ibadah puasa menuju derajat muttaqin?

Tidak puas dengan penafsiran al-Qusyairi, al-Baqli dalam Ara’is al-Bayan fi Haqaiq al-Quran,

فرض عليكم الامساك عن الكون اصلا لانكم في طلب المشاهدة فواجب ان تصوموا عن مالوفات الطبيعة فى مقام العبودية كما كتب على المرسلين والنبين والعارفين والمحبين من قبلكم لكى تخلصوا عن رجس البشرية وتصلوا مقام الامن والقربة

“Diwajibkan atas kamu sekalian untuk menjauhkan diri dari alam semesta terlebih dahulu karena tujuan kamu adalah musyahadah. Maka, wajib bagimu untuk berpuasa dari segala hal yang berbau materialisme sebab puasa jenis itu adalah tingkatannya seorang hamba (maqamat al-‘ubudiyyah) sebagaimana diwajibkan atas para utusan-Nya, nabi-Nya, ‘arif billah-Nya, pecinta-Nya sebelum kamu agar kalian ikhlas menjalankannya dari kepelikan persoalan manusia dan agar kalian tetap berdoa memohon supaya aman dan dekat kepada-Nya”.

Tidak jauh berbeda, Ibn ‘Arabi dalam tafsirnya menggunakan istilah shiyam untuk menyebut puasa Ramadan, berikut penuturannya,

وصيامهم هو الإمساك عن كلّ قول وفعل وحركة وسكون ليس بالحق للحق

“Puasa (shiyam) adalah menahan dari segala perkataan, perbuatan dan segala aktifitas serta kenyamanan kecuali dengan kebenaran untuk kebenaran”.

Lebih lanjut, al-Jilani dalam Tafsir al-Jilani mendefinisikan puasa adalah menahan diri secara khusus (al-imsaku ‘an al-makhshushi) dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari di bulan Ramadan atau yang dikenal dalam terminologi syariat (lisan al-syari’ah). Adapun puasa transendental yaitu menolak segala hal yang berlainan dengan kebenaran karena ia merupakan orang yang berakal (li ulin nuha), yakin dan mukasyafah terhadap segala sesuatu yang sirr (‘an sara-ir al-umuri).

Hampir senada dengan al-Jilani, al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil dan Ibn Atiyyah dalam al-Muharrar al-Wajiz lebih menjelaskan puasa Ramadan kepada puasa dari pembicaraan yang tidak berguna (imsakun ‘an al-kalami). Ia juga menggunakan diksi al-shaum untuk menjelaskan definisi puasa Ramadan, yaitu menahan diri dari makan dan minum, serta jima’ dengan disertai niat di waktu yang khusus (al-imsaku ‘an al-akli wa al-syurbi wa al-jima’i ma’an al-niyyati fi waqti makhshushin).

Baca juga: Dua Dimensi Makna Puasa Menurut Sinta Nuriyah, Ragam Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183

Adapun penjelasan lebih rinci dikemukakan oleh Ibn Ajibah, al-Ghazali dan ulama Indonesia, KH. Sholeh Darat. Ketiganya sepakat bahwa puasa Ramadan terbagi menjadi tiga, yaitu puasanya orang awam, puasanya orang khas, dan puasanya orang khawashul khas.

Ibn Ajibah misalnya, dalam al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Quran al-Majid, ia berkalam yang kemudian diamini oleh al-Ghazali dalam Ihya-nya dan KH. Sholeh Darat dalam Faid al-Rahman-nya,

واعلم أن الصيام على ثلاث درجات: صوم العوام، وصوم الخواص، وصوم خواص الخواص. أما صوم العوام: فهو الإمساك عن شهوتَي البطن والفَرْج، وما يقوم مقامَهما من الفجر إلى الغروب، مع إرسال الجوارح في الزلاَّت، وإهمال القلب في الغفلات. وصاحبُ هذا الصوم ليس له من صومه إلا الجوع، لقوله صلى الله عليه وسلم: ” مَنْ لم يَدَعْ قولَ الزُور والعملَ به فليس لله حاجةٌ في أنْ يدع طعامَه وشرابَه ” وأما صوم الخواص: فهو إمساك الجوارح كلَّها عن الفَضول، وهو كل ما يشغل العبد عن الوصول، وحاصلُه: حفظ الجوارح الظاهرة والباطنة عن الاشتغال بما لا يَعْنِي. وأما صوم خواص الخواص: فهو حفظ القلب عن الالتفات لغير الرب، وحفظ السر عن الوقوف مع الغير، وحاصله: الإمساك عن شهود السَّوى، وعكوفُ القلب في حضرة المولَى، وصاحب هذا صائم أبداً سرمداً. فأهل الحضرة على الدوام صائمون، وفي صلاتهم دائمون، نفعنا الله بهم وحشرنا معهم

“Ketahuilah puasa (shiyam) terbagi tiga maqam, yaitu puasanya orang awam, khas dan khawashul khawas. Adapun puasanya orang awam, yaitu menahan dari nafsu syahwat perut dan kemaluan mulai dari munculnya fajar hingga tenggelamnya matahari, disertai dengan segenap badan dan membiarkan hatinya tetap dalam kondisi lalai.

Dan puasa jenis ini tidak lain hanya mendapat dahaga (ju’), sebagaimana sabda Nabi saw, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan zur (dusta), serta tetap mengamalkannya atau berlaku bodoh, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan”. Sementara itu, puasa khas yaitu menahan segenap anggota badan dari rasa curiga dan segala hal yang menghalangi dirinya dari sampai (wushul) kepada Allah. Hasilnya adalah ia senantiasa menjaga segenap anggota badan lahiriyah dan jiwa batiniyah untuk sibuk mendekat dan bersama-Nya.

Baca juga: Surah Maryam [19] Ayat 26: Kisah Maryam Berpuasa Bicara

Adapun puasa khawashul khawas yaitu menjaga hatinya dari segala sesuatu yang dapat menghalangi perjumpaannya dengan Tuhannya, menjaga sirri-nya dari sesuatu yang dapat menghentikannya sehingga pantang baginya untuk berpaling dari kebenaran, senantiasa mempersembahkan hatinya kepada derajat yang lebih tinggi, Allah swt serta orang yang berpuasa dengan tipologi seperti ini akan kekal selamanya.

Maka, bagi orang yang berpuasa dengan tipe khawashul khas mereka senantiasa hudur (hadir) kepada Allah swt, setiap doanya kekal (dikabulkan) oleh-Nya. Semoga Allah senantiasa memberkahi kita dan mengumpulkannya dengan mereka.”

Dari tiga tingkat puasa itu dapat disederhanakan bahwa berpuasa menurut tafsir sufistik adalah menahan seluruh anggota badan dari perkataan dan perbuatan yang buruk, menjaga pandangan dan kemaluannya, tidak mengumbar syahwat, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang syubhat, serta berbuka dengan yang halal. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Hud Ayat 85-86

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 85-86 berbicara mengenai dakwah yang dilakukan oleh Nabi Syu’aib a.s. Ia menasehati kaumnya agar tidak melakukan kecurangan dalam hal takaran dan timbangan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 82-84


Ayat 85

Syu’aib a.s. menjelaskan kepada kaumnya tentang hal yang harus mereka lakukan dalam soal takar-menakar dan timbang-menimbang, setelah lebih dahulu melarang mereka mengurangi takaran dan timbangan.

Kewajiban itu ialah supaya kaumnya menyempurnakan takaran dan timbangan dengan adil tanpa kurang atau lebih dari semestinya. Bagi penjual yang sebetulnya dilarang ialah mengurangi takaran dan timbangan dari semestinya, dan tidak ada salahnya menambah dengan sepantasnya, untuk meyakinkan bahwa takaran dan timbangan itu benar-benar sudah cukup.

Cara ini adalah terpuji, akan tetapi Syu’aib a.s. mewajibkan mereka supaya berbuat adil tanpa kurang atau lebih. Ini maksudnya supaya dalam melaksanakan takaran dan timbangan benar-benar teliti.

Setelah Nabi Syu’aib a.s. melarang kaumnya mengurangi takaran dan timbangan dan mewajibkan mereka supaya menyempurnakannya, kemudian ia melarang mereka dari segala macam perbuatan yang sifatnya mengurangi hak-hak orang lain, hak milik perseorangan atau orang banyak, baik jenis yang ditakar dan yang ditimbang maupun jenis-jenis lainnya seperti yang dihitung atau yang sudah dibatasi dengan batas-batas tertentu.

Lebih jauh lagi Nabi Syu’aib a.s. melarang kaumnya berbuat apa saja yang sifatnya merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman di muka bumi, baik yang berhubungan dengan urusan-urusan keduniaan maupun yang berhubungan dengan keagamaan. Ayat ini mengandung hukum antara lain:

  1. Wajib menyempurnakan timbangan dan takaran sebagaimana mestinya.
  2. Haram mengambil hak orang lain, dengan cara dan jalan apa saja, baik hak itu milik perseorangan atau milik orang banyak seperti harta pemerintah dan perusahaan.
  3. Haram berbuat sesuatu yang bersifat merusak atau mengganggu keamanan dan ketenteraman di muka bumi, seperti mencopet, mencuri, merampok, korupsi, menteror, dan lain-lainnya.

Baca juga: Epidemiologi Al-Qur’an (2): Virus Sampar Dalam Kisah Nabi Shalih dan Kaum Tsamud


Ayat 86

Pada ayat ini, Nabi Syu’aib a.s. memberikan penjelasan kepada kaumnya bahwa keuntungan yang halal yang mereka peroleh setelah menyempurnakan takaran dan timbangan, adalah lebih baik dari keuntungan yang haram yang mereka peroleh dengan cara mengurangi takaran dan timbangan, jika mereka beriman. Karena iman itu benar-benar dapat membersihkan jiwa dari keserakahan dan ketamakan, dan mengisinya dengan sifat pemurah.

Tetapi jika mereka tidak beriman, tentu tidak akan dapat merasakan sama sekali. Selanjutnya Nabi Syu’aib a.s. menjelaskan kepada kaumnya, bahwa ia bukanlah orang yang ditugaskan memelihara atau menjaga mereka dari berbuat kejahatan-kejahatan.

Dia hanya sekadar menyampaikan nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk kepada mereka. Tugas itu sudah dilaksanakannya dengan sungguh-sungguh dan disertai dengan peringatan-peringatan tentang azab Allah kepada orang-orang yang tetap membangkang.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 87-88


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al A’raf ayat 179

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 179 menguraikan beberapa sebab yang menjadikan manusia masuk ke dalam neraka salah satunya adalah akal dan perasaan mereka tidak dipergunakan untuk memahami keesaan dan kebesaran Allah.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 178


Ayat 179

Kemudian Allah dalam ayat ini menguraikan apa yang tidak terperinci pada ayat-ayat yang lampau tentang hal-hal yang menyebabkan terjerumusnya manusia ke dalam kesesatan. Allah menjelaskan banyak manusia menjadi isi neraka Jahanam seperti halnya mereka yang masuk surga, sesuai dengan amalan mereka masing-masing.

Hal-hal yang menyebabkan manusia itu diazab di neraka Jahanam ialah: bahwa akal dan perasaan mereka tidak dipergunakan untuk memahami keesaan dan kebesaran Allah, padahal kepercayaan pada keesaan Allah itu membersihkan jiwa mereka dari segala macam was-was dan dari sifat hina serta rendah diri, lagi menanamkan pada diri mereka rasa percaya terhadap dirinya sendiri.

Demikian pula mereka tidak menggunakan akal pikiran mereka untuk kehidupan rohani dan kebahagiaan abadi. Jiwa mereka terikat kepada kehidupan duniawi, sebagaimana difirmankan Allah:

يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنِ الْاٰخِرَةِ هُمْ غٰفِلُوْنَ

“Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (ar-Rum/30: 7)

Mereka tidak memahami bahwa tujuan mereka diperintahkan menjauhi kemaksiatan, dan berbuat kebajikan, adalah untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Mereka tidak memahami hukum-hukum masyarakat dan pengaruh kepercayaan agama Islam dalam mempersatukan umat. Mereka tidak memahami tanda-tanda keesaan Allah, baik dalam diri manusia maupun yang ada di permukaan bumi. Mereka tidak memahami dan merenungkan wahyu Tuhan yang disampaikan kepada Rasul-Nya.

Mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat bukti kebenaran dan keesaan Allah. Segala kejadian dalam sejarah manusia, segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia setiap hari, yang dilihat dan yang didengar, tidak menjadi bahan pemikiran dan renungan untuk dianalisa dan hal ini disimpulkan Allah dalam firman-Nya:

وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَّاَبْصَارًا وَّاَفْـِٕدَةًۖ فَمَآ اَغْنٰى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَآ اَبْصَارُهُمْ وَلَآ اَفْـِٕدَتُهُمْ مِّنْ شَيْءٍ اِذْ كَانُوْا يَجْحَدُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَحَاقَ بِهِمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ ࣖ 

“Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit pun bagi mereka, karena mereka (selalu) mengingkari ayat-ayat Allah dan (ancaman) azab yang dahulu mereka memperolok-olokkannya telah mengepung mereka.” (al-Ahqaf/46: 26);

Mereka tidak dapat memanfaatkan mata, telinga, dan akal sehingga mereka tidak memperoleh hidayat Allah yang membawa mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Keadaan mereka seperti binatang bahkan lebih buruk dari binatang, sebab binatang tidak mempunyai daya-pikir untuk mengolah hasil penglihatan dan pendengarannya. Binatang bereaksi dengan dunia luar berdasarkan naluri dan bertujuan hanyalah untuk mempertahankan hidup.

Dia makan dan minum, serta memenuhi kebutuhannya, tidaklah melampaui dari batas kebutuhan biologis hewani. Tetapi bagaimana dengan manusia, bila sudah menjadi budak hawa-nafsu. Dan akal mereka tidak bermanfaat lagi. Mereka berlebihan dalam memenuhi kebutuhan jasmani mereka sendiri, berlebihan dalam mengurangi hak orang lain. Diperasnya hak orang lain bahkan kadang-kadang di luar perikemanusiaan.

Bila sifat demikian menimpa satu bangsa dan negara, maka negara itu akan menjadi serakah dan penindas bangsa dan negara lain. Mereka mempunyai hati (perasaan dan pikiran), tetapi tidak digunakan untuk memahami ayat-ayat (Allah). Mereka lupa dan melalaikan bukti-bukti kebenaran Allah pada diri pribadi, pada kemanusiaan dan alam semesta ini, mereka melupakan penggunaan perasaan dan pikiran untuk tujuan-tujuan yang luhur dan meninggalkan kepentingan yang pokok dari kehidupan manusia sebagai pribadi dan bangsa..

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 180


 

Mengenal Abdullah Yusuf Ali dan Tafsir The Holy Qur’an

0
Abdullah Yusuf Ali
Abdullah Yusuf Ali

Sosok Abdullah Yusuf Ali merupakan tokoh yang cukup populer terutama di kalangan muslim India dan cendekiawan Eropa. Namun demikian, ia tidak mendapatkan popularitas yang ‘sepadan’ dalam lintas sejarah pembaharuan muslim India, sehingga hampir-hampir tidak tercatat sebagai salah satu pembaharu Islam di tanah India. Sudah lumayan lama Yusuf Ali menekuni kajian-kajian seputar Al-Quran. Ia mendalami berbagai seluk beluk literatur tafsir, mulai dari tafsir klasik hingga mutakhir, baik yang ditulis dalam bahasa Arab ataupun bahasa Ingris.

Biografi Ringkas Abdullah Yusuf Ali

Merujuk pada keterangan Sherif dalam bukunya Searching for Solace: A Biography of Abdullah Yusuf Ali, Interpreter of the Qur’an, Abdullah Yusuf Ali lahir di Bombay pada tanggal 14 April 1872 di sebuah kota tekstil di Gujarat, India Barat. Kota kelahirannya itu menjadi keresidenan Bombay pada masa kejayaan Raj. Ia hidup dan tumbuh di tengah-tengah keluarga pedagang yang tajir. Ayahnya sendiri adalah seorang saudagar Bombay yang taat agama. Sementara ibunya wafat ketika ia masih bayi. Sedari kecil, Yusuf Ali sudah menerima pendidikan agama dan menjadi penghafal Al-Quran.

Awal perkelanaan intelektual Yusuf Ali di mulai ketika bersekolah di Bombay. Di sana, ia masuk di Anjuman el-Islam pada tahun 1881 saat berusia 9 tahun. Setelah itu, ia mengikuti pendidikan di Wilson School (1884-1887), sebuah sekolah menengah di Scodlandia. Ketika berusia 15 tahun, ia mendaftar di Wilson College yang berafiliasi dengan Universitas Bombay (1887). Karena prestasi yang gemilang, Yusuf Ali berkesempatan meraih beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke St. Jhon University Cambridge, dengan program studi ilmu hukum (1891).

Karir Abdullah Yusuf Ali diawali setelah ia menyelesaikan kuliah hukumnya di St. John University, Cambridge, yaitu dengan mengikuti pendaftaran pegawai negeri India (Indian Civil Service) pada tahun 1894. Pengumuman kelulusannya pada tahun 1895 dan ia mulai melaksanakan tugasnya pada tahun 1896 di United Province (UP), India. Masa karir merupakan masa penuh dinamika yang melibatkan berbagai aktivitas publik dan pembicaraan intelektual seorang Yusuf Ali.

Baca juga: Vernakularisasi Al-Qur’an Terjemah Bahasa Aceh: Upaya Melestarikan Warisan Budaya Lokal  

Selain dikenal menggandrungi dunia penafsiran Al-Quran, Yusuf Ali merupakan sosok pujangga penikmat sastra Persia dan sastra Ingris klasik. Para sastrawan Ingris bahkan tak ragu memuji kemampuan dan penguasaan gramatika bahasa Yusuf Ali. Mereka menyebutnya sebagai Shakespeare Ingris. Ia menjadi rujukan penting dalam diskursus keilmuan sastra Ingris. Seperti halnya Ahmad Khan, Yusuf Ali membela kepentingan umat Islam dengan penuh loyalitas. Dalam kehidupan pribadi, sosial bahkan keagamaan, Yusuf Ali berupaya memadukan paradigma dunia Timur dan Barat. Sebuah idealisme yang rumit dan penuh tantangan ingin ia wujudkan dalam kultur pemikiran umat Islam.

Yusuf Ali tutup usia pada tanggal 10 Desember 1953 di usianya yang ke 81 tahun setelah terkena serangan jantung dan dirawat di RS. St. Sthephenis Hospital. Ia dimakamkan di pemakaman muslim di Brockward-Suri, Ingris. Masih menurut Sherif, ada sekitar 125 tulisan Yusuf Ali yang terpublikasikan. Di antaranya adalah Life and Labour of the People of India, Anglo Muhammadan Law, Muslim Education Ideals, The Making of India: a Brief History, The Fundamental of Islam, Personality of Muhammad, dan Religious Polity of Islam.

The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary

Di tengah-tengah kesibukan sebagai ketua Islamic College di Lahore-Pakistan, Yusuf Ali menyisihkan waktu luang untuk menyelesaikan pekerjaannya menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Ingris berikut tafsirnya, yang diberi judul The Holy Qur’an: Text, Translation and Commentary. Karya ini adalah karya paling fenomenal Abdullah Yusuf Ali. The Holy Qur’an pertama kali dipublikasikan pada tahun 1934.

Penerjemahan, ulasan, lampiran dan tafsir yang ditulis dalam gaya syair yang tak bersajak, atau dalam bentuk prosa yang ritmik. Dalam karya itu, Ali menyajikan terjemahan bahasa Inggris yang berdampingan letaknya dengan teks bahasa Arab. Terjemahan bahasa Inggris ini tidak sekedar menukar sebuah kata dalam bahasa Arab dengan kata lain dalam bahasa Inggris, tetapi dengan mengungkapkan sebaik mungkin untuk mengeluarkan makna sepenuhnya sebagaimana yang dimaksud dari bahasa Arabnya.

Baca juga: Dua Dimensi Makna Puasa Menurut Sinta Nuriyah, Ragam Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183

Abdullah Yusuf Ali sangat mengusahakan irama musik dan nada bahasa asalnya yang begitu agung dan indah memantul dalam terjemahan ini, sehingga pembaca dapat membacanya bukan hanya dengan mata, lisan dan suara, tetapi juga dengan cahaya yang mengisi intelek manusia. Bahkan dengan cahaya yang paling dalam dan murni yang diberikan oleh hati nurani dan kesadaran batin manusia. Yusuf Ali menghabiskan 40 tahun untuk menyempurnakan karyanya ini. Wajarlah bila karya ini sangat terkenal, karena Yusuf Ali telah berkelana, rihlah ilmiyah, membuat catatan-catatan, menemui tokoh-tokoh dan menggali pikiran dan hati mereka ketika menyempurnakan karya ini.

Lebih dari setengah abad lamanya sejak pertama kali diterbitkan, tafsir karya Yusuf Ali memiliki posisi penting dalam sejarah besar khazanah tafsir Al-Quran berbahasa Ingris sampai sekarang dan telah tersebar ke berbagai belahan dunia. Tafsir yang memiliki kekhasan pada gaya bahasa ini sudah berulang kali dicetak dan diterbitkan kembali dalam jumlah jutaan eksemplar. Hingga detik ini, The Holy Qur’an hampir menembus seluruh penjuru dunia dan menjadi salah satu literatur pokok bagi sarjana muslim Barat.

Baca juga: Theodor Nöldeke: Sarjana German Pelopor Kajian Sejarah Al-Qur’an

Ibrahim dalam tulisannya Telaah The Holy Qur’an Karya Abdullah Yusuf Ali, memetakan beberapa rujukan yang digunakan Yusuf Ali selama penulisan The Holy Qur’an. Diantara rujukan-rujukan itu adalah Tafsir al-Thabari, Tafsir al-Kashshaf, Tafsir al-Kabir, Anwar al-Tanzil, Tafsir Ibnu Katsir, dan Tafsir al-Manar. Sementara untuk referensi pendukung non-tafsir yang digunakan adalah Lisan al-Arab, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Encyclopedia of Islam, dan masih banyak lagi.

Semoga kita semua bisa meneladani sosok seperti Yusuf Ali, pribadi produktif berkarya dengan sentuhan-sentuhan pemikiran yang mampu memikat semua orang. Bukan hanya kalangan umat Islam sendiri, bahkan akademisi Barat pun sama. Serta semoga, semua jerih payah Yusuf Ali yang melekat pada setiap karya-karyanya menjadi amal jariyah yang terus menyiramkan keberkahan untuknya. Amin.

Wallahu a’lam []

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 133-138

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya dibahas mengenai perintah Allah kepada Ibrahim untuk berserah diri dan mengakui keesaan Allah. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 133-138 masih membicarakan wasiat Yakub kepada putranya agar menyembah Allah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 130-132


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 133-138 ini menegaskan bahwa manusia itu dinilai dan dibalas berdasarkan amalnya, tidak seorang pun yang dapat menolong mereka selain Allah. Jadi Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim dan keturunannya agar menganut agama Allah.

Ayat 133

Ayat ini diarahkan kepada orang Yahudi, ketika mereka bertanya kepada Rasulluah saw, “Tidakkah engkau mengetahui bahwa Yakub di hari-hari menghadapi kematiannya mewasiatkan kepada putra-putranya agar memeluk agama Yahudi? Maka turunlah ayat ini yang membantah ucapan mereka itu.

Ayat ini menentang kebenaran ucapan orang-orang Yahudi bahwa mengapa mereka berani mengucapkan yang demikian. Apakah mereka hadir ketika Yakub berwasiat, sehingga mereka mengatakan Yakub beragama Yahudi atau Nasrani?

Tidak, mereka tidak menghadirinya, karena itu janganlah mengada-ada, mengatakan sesuatu yang tidak ada, seperti mengatakan Ibrahim beragama Yahudi atau Nasrani, dan sebagainya.

Yang diwasiatkan Yakub kepada putranya ialah agar mereka menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, agar mereka menganut agama Islam, agama yang dianut Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, Isa dan yang dianut para nabi.

Ayat 134

Ayat ini mengisyaratkan umat-umat yang dahulu dan perbuatan mereka, yaitu umat Nabi Ibrahim dan nabi-nabi yang didoakannya, yang telah diterangkan pada ayat sebelum ini. Ayat ini menegaskan bahwa manusia itu dinilai dan dibalas berdasarkan amalnya, tidak seorang pun yang dapat menolong mereka selain Allah.

Ayat 135

Hanif berarti “lurus,” tidak cenderung kepada yang batil. “Agama yang hanif ialah agama yang benar, agama yang dapat mencapai jalan yang benar, jalan untuk kebahagiaan di dunia dan akhirat. Bahkan agama yang belum dicampuri oleh sesuatu pun dan tidak bergeser sedikit pun dari asalnya.

Ayat ini seolah-olah menyuruh Rasulullah saw mengatakan,  Hai orang Yahudi, Nasrani dan musyrik Mekah, kami tidak mengikuti agamamu.”

Di dalamnya tidak ada petunjuk ke jalan yang benar dan karena agama itu telah banyak dicampuri oleh tangan-tangan manusia, tetapi kami akan mengikuti agama Ibrahim yang kamu bangga-banggakan itu, karena di dalam agama itu memurnikan ketaatan hanya kepada Allah saja, dan karena agama itu belum dicampuri oleh tangan manusia sedikit pun.

Disebut  kaum Muslimin mengikuti agama Ibrahim yang hanif , adalah untuk menyadarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari perbuatan mereka. Mereka menyatakan keturunan Ibrahim a.s., tetapi mereka tidak bersikap, berbudi pekerti dan berpikir seperti Ibrahim a.s.

Mereka menyatakan pengikut agama Ibrahim, tetapi mereka telah mengubah-ubahnya, dan tidak memeliharanya seperti yang dilakukan Ibrahim a.s.

Dari ayat ini dapat dipahami, bahwa Allah mengingatkan umat Muhammad agar selalu waspada terhadap agama mereka, dan selalu berpedoman kepada Al-Qur′an dan sunah Nabi, jangan sekali-kali mengikuti hawa nafsu sehingga berani mengubah, menambah dan mengurangi agama Allah.

Dari perkataan  dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang-orang musyrik  dapat dipahami bahwa agama Ibrahim adalah agama Tauhid, agama yang mengakui keesaan dan kekuasaan Allah. Allah berfirman:

وَاِذْ بَوَّأْنَا لِاِبْرٰهِيْمَ مَكَانَ الْبَيْتِ اَنْ لَّا تُشْرِكْ بِيْ شَيْـًٔا وَّطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّاۤىِٕفِيْنَ وَالْقَاۤىِٕمِيْنَ وَالرُّكَّعِ السُّجُوْدِ

Dan (ingatlah), ketika Kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ”Janganlah engkau mempersekutukan Aku dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, dan orang yang beribadah dan orang yang rukuk dan sujud. (al Hajj/22:26)


Baca juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 68-69: Fakta Menarik di Balik Pembakaran Nabi Ibrahim


Ayat 136

Ayat ini memberi petunjuk cara mengemukakan bantahan dan dalil-dalil dalam bertukar pikiran, yaitu dengan membandingkan antara asas suatu agama dengan agama lain dan sebagainya.

Al-Asbat ialah anak cucu Nabi Yakub a.s. Yang dimaksud dengan “beriman kepada nabi-nabi” yang tersebut di atas ialah beriman kepada nabi Allah, yang telah diperintahkan mengajak orang pada masanya beriman kepada Allah. Prinsip-prinsip pokok agama yang dibawa oleh nabi adalah sama, yaitu ketauhidan.

Perkataan  kami berserah diri kepada-Nya , merupakan sindiran yang tajam yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi, Nasrani dan musyrik Mekah. Karena mereka mengatakan dan mengakui sebagai pengikut Ibrahim a.s. sedang Ibrahim a.s. tidak menyekutukan Allah, seperti yang telah mereka lakukan.

Ayat 137

Pengakuan iman Ahli Kitab berbeda dengan pengakuan iman kaum Muslimin. Ahli Kitab hanya beriman kepada nabi-nabi terdahulu yang diutus kepada mereka saja dari ras Bani Israil, tidak beriman kepada nabi-nabi Allah yang lain.

Iman mereka dipengaruhi oleh hawa nafsu sendiri. Karena itu mereka berani menambah, dan mengurangi agama Allah. Orang-orang yang beriman dan mengikuti hawa nafsu mereka adalah orang-orang yang berada dalam permusuhan dengan kaum Muslimin.

Dari perkataan  sesungguhnya berada dalam permusuhan dengan kamu  dapat dipahami bahwa di kalangan Ahli Kitab ada perasaan tidak menyukai Rasulullah saw. Perasaan itu bukan karena mereka tidak menyukai agama yang dibawa Nabi Muhammad, tetapi karena rasul terakhir itu tidak diangkat dari golongan mereka.

Perkataan  Allah akan memelihara kamu dari mereka  merupakan janji Allah kepada Muhammad saw dan kaum Muslimin bahwa Allah pasti akan memelihara dan memenangkan mereka dalam perjuangan menegakkan agama Allah.

Ayat 138

Iman yang sebenarnya ialah iman yang tidak dicampuri oleh unsur-unsur syirik. Ibnu Jarir berkata,  Sesungguhnya orang-orang Nasrani bila anak mereka dilahirkan, maka mereka datang kepada pendeta pada hari yang ketujuh, mereka memandikannya dengan air yang disebut al-Ma’mudi untuk membaptisnya.

Mereka mengatakan, “Ini adalah kesucian pengganti khitan. Maka apabila mereka telah mengerjakannya jadilah anak itu seorang Nasrani yang sebenarnya.” Maka Allah menurunkan ayat ini.

Sibgah Allah berarti  celupan Allah . Maksudnya ialah iman kepada Allah yang tidak disertai sedikit pun dengan kemusyrikan. Hal ini ditegaskan oleh perkataan  dan hanya kepada-Nya lah kami menyembah , tidak kepada yang lain. Hal ini ditegaskan oleh firman Allah:

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ  لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (ar Rum/30:30)

Ayat ini menerangkan bahwa dalam menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan agama haruslah digunakan kaidah-kaidah atau dalil-dalil agama, tidak boleh didasarkan kepada hawa nafsu dan keinginan manusia.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia tidak dapat menghapus atau membersihkan dosa manusia yang lain, atau menerima tobatnya seperti yang dilakukan orang-orang Nasrani dengan membabtis anak-anak mereka.

Yang membersihkan dan menghapus dosa seseorang ialah usaha orang itu sendiri sesuai dengan petunjuk Allah, dan hanya Allah saja yang dapat menerima tobat seseorang.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 139-141


(Tafsir kemenag)