Beranda blog Halaman 341

Tafsir Surah Hud Ayat 96-98

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 96-98 berbicara mengenai kisah Nabi Musa a.s yang diutus kepada Bani Israil. Tantangan utama Nabi Musa adalah Fir’aun. Allah telah menganugerahi mukjizat kepada Nabi Musa a.s untuk menghadapi Fir’aun.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 93-95


Ayat 96

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah mengutus Musa a.s. dilengkapinya dengan tanda-tanda kekuasaan-Nya dan mukjizat yang nyata dan kesemuanya itu menunjukkan keesaan Allah swt, tidak ada Tuhan melainkan Dia.

Ulama tafsir sepakat bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah yang memperkuat kenabian Nabi Musa a.s. ada sembilan macam, yaitu tongkat, tangan putih bercahaya, angin topan, belalang, kutu, darah, katak, kekurangan buah-buahan dan kekurangan jiwa. Kesembilan tanda-tanda kekuasaan Allah itu, telah dicantumkan antara lain dalam firman-Nya:

فَاَلْقٰى عَصَاهُ فَاِذَا هِيَ ثُعْبَانٌ مُّبِيْنٌ ۖ    ١٠٧

وَّنَزَعَ يَدَهٗ فَاِذَا هِيَ بَيْضَاۤءُ لِلنّٰظِرِيْنَ ࣖ  ١٠٨

Lalu (Musa) melemparkan tongkatnya, tiba-tiba tongkat itu menjadi ular besar yang sebenarnya. Dan dia mengeluarkan tangannya, tiba-tiba tangan itu menjadi putih (bercahaya) bagi orang-orang yang melihatnya. (al-A’raf/7: 107-108); Dan firman-Nya:

فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الطُّوْفَانَ وَالْجَرَادَ وَالْقُمَّلَ وَالضَّفَادِعَ وَالدَّمَ اٰيٰتٍ مُّفَصَّلٰتٍۗ فَاسْتَكْبَرُوْا وَكَانُوْا قَوْمًا مُّجْرِمِيْنَ  ١٣٣

Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah (air minum berubah menjadi darah) sebagai bukti-bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa. (al-A’raf/7: 133)

Dan firman-Nya pula:

وَلَقَدْ اَخَذْنَآ اٰلَ فِرْعَوْنَ بِالسِّنِيْنَ وَنَقْصٍ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ  ١٣٠

Dan sungguh, Kami telah menghukum Fir’aun dan kaumnya dengan (mendatangkan musim kemarau) bertahun-tahun dan kekurangan buah-buahan, agar mereka mengambil pelajaran. (al-A’raf/7: 130)

Di samping kelengkapan mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa a.s. itu, Allah swt juga telah memberikan kefasihan dan kepandaian berhujah kepada adiknya bernama Harun terutama di dalam berdialog dengan Fir’aun beserta pemimpin-pemimpin kaumnya. Inilah yang dimaksud dengan “sultanan mubina” (mukjizat yang nyata).

Sebagian ulama Tafsir berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan sultanan mubina pada ayat ini, ialah tongkat Nabi Musa a.s. Sekalipun itu termasuk salah satu dari sembilan tanda-tanda kekuasaan Allah swt sebagaimana tersebut di atas, tetapi dialah yang paling menonjol dibandingkan dengan tanda-tanda kekuasaan Allah yang lain yang diberikan kepada Musa a.s.

Dengan mukjizat tongkat itulah, ahli-ahli sihir Fir’aun berbalik, lalu beramai-ramai beriman meninggalkan Fir’aun dan kepercayaannya yang sesat, sebagaimana dalam firman Allah swt:

وَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنْ اَلْقِ عَصَاكَۚ فَاِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُوْنَۚ   ١١٧  فَوَقَعَ الْحَقُّ وَبَطَلَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَۚ   ١١٨  فَغُلِبُوْا هُنَالِكَ وَانْقَلَبُوْا صٰغِرِيْنَۚ   ١١٩  وَاُلْقِيَ السَّحَرَةُ سٰجِدِيْنَۙ   ١٢٠  قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ   ١٢١  رَبِّ مُوْسٰى وَهٰرُوْنَ  ١٢٢

Dan Kami wahyukan kepada Musa, ”Lemparkanlah tongkatmu!” Maka tiba-tiba ia menelan (habis) segala kepalsuan mereka. Maka terbuktilah kebenaran, dan segala yang mereka kerjakan jadi sia-sia. Maka mereka dikalahkan di tempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina. Dan para pesihir itu serta merta menjatuhkan diri dengan bersujud. Mereka berkata, ”Kami beriman kepada Tuhan seluruh alam, (yaitu) Tuhannya Musa dan Harun.” (al-A’raf/7: 117-122)


Baca juga: Menggali Nilai-nilai Santri pada Kisah Nabi Musa As dalam Surat Al-Kahfi


Ayat 97

Pada ayat ini Allah swt menjelaskan bahwa Nabi Musa a.s. yang dilengkapi dengan tanda-tanda kekuasaan Allah dan mukjizat yang nyata, telah diutus kepada Fir’aun dan pemimpin-pemimpin kaumnya, agar mereka menyembah hanya kepada Allah swt, Tuhan Pencipta alam, karena tidak ada Tuhan yang sebenarnya melainkan Dia.

Meskipun mereka telah melihat dan menyaksikan sendiri tanda-tanda kekuasaan Allah dan mukjizat yang nyata yang diperlihatkan oleh Nabi Musa a.s. yang kesemuanya itu menunjukkan atas kekuasaan Allah swt, namun mereka tidak mau sadar, bahkan mereka tetap menaati perintah Fir’aun, sekalipun Fir’aun itu tidak benar, dan tidak mendatangkan kebaikan bahkan yang demikian itu hanya merusak dan menyesatkan.

Ayat 98

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Fir’aun telah merusak di muka bumi dan menyesatkan kaumnya di dunia, pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa di akhirat nanti, dia akan mengantar kaumnya ke tempat yang telah disediakan untuk mereka.

Ia berjalan di depan dan kaumnya yang mengiringinya dari belakang sehingga mereka sampai ke neraka, lalu mereka dijebloskan ke dalamnya bersama-sama. Alangkah celaka dan meruginya Fir’aun dan kaumnya, karena neraka itu seburuk-buruk tempat yang didatangi, bahkan sejak mereka meninggalkan dunia ini, tiap hari, pagi dan petang neraka itu selalu ditampakkan kepada mereka sebagaimana firman Allah swt:

فَوَقٰىهُ اللّٰهُ سَيِّاٰتِ مَا مَكَرُوْا وَحَاقَ بِاٰلِ فِرْعَوْنَ سُوْۤءُ الْعَذَابِۚ  ٤٥  اَلنَّارُ يُعْرَضُوْنَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَّعَشِيًّا ۚوَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ ۗ اَدْخِلُوْٓا اٰلَ فِرْعَوْنَ اَشَدَّ الْعَذَابِ  ٤٦

Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, sedangkan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang sangat buruk. Kepada mereka diperlihatkan neraka, pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Lalu kepada malaikat diperintahkan), ”Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras!” (al-Mu’min/40: 45-46)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 99-101


(Tafsir Kemenag)

Puasa Jasmani dan Rohani menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

0
Makna puasa jasmani dan rohani
Makna puasa jasmani dan rohani

Kewajiban berpuasa bukanlah ajaran baru dalam risalah Nabi Muhammad Saw. Umat sebelum kita pun melakukan hal yang sama. Dibandingkan dengan ibadah-ibadah lain, puasa memang terasa cukup berat. Pada umumnya, puasa dimaknai dengan menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum serta menjauhi apa saja yang bisa membatalkannya, dimulai dari terbit fajar sampai matahari terbenam (lihat Ahsin W. Al-Hafidz, Kamus Ilmu Alquran). Namun kali ini, saya akan menampilkan dua makna puasa, sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani; puasa jasmani dan rohani.

Biografi Singkat Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani

Syeikh Abdul Qadir lahir pada tahun 470 H/1077 M di Jailan, sebuah daerah yang terletak di sebelah selatan laut Kaspia-Iran. Ayahnya bernama Abi Shalih al-Sayyid Musa dan ibundanya bernama Sayyidah Fatimah. Dari jalur ayah, Syeikh Abdul Qadir menapaki garis nasab hingga sampai kepada Sayyidina Hasan cucu Rasulullah Saw. Sementara dari jalur ibu, silsilahnya bersambung kepada Sayyidina Husain yang juga cucu Rasulullah Saw.

Setelah selesai menimba ilmu di tanah kelahirannya, pada tahun 1095 M, Syeikh Abdul Qadir bertolak merantau ke Baghdad. Ketika itu, Baghdad adalah pusat dan jantung peradaban keilmuan Islam. Di sana, ia menemui banyak ulama dan berguru kepada mereka. Beberapa guru Syeikh Abdul Qadir—yang bisa disebutkan di sini, antara lain adalah ‘Ali bin ‘Aqil al-Hanbali, Abu Zakariya Yahya bin Abi al-Tibrisi, Abu Ghalib Muhammad bin Hasan al-Baqillani dan masih banyak yang lain (lihat Syeikh Abdul Qadir, Tafsir Al-Jailani, Vol. I).

Baca juga: Baca Ayat Ini untuk Menghilangkan Rasa Takut dan Menjaga Kesehatan Mental

Usai berkelana menjalani rihlah ilmiahnya selama kurang lebih 33 tahun, Syeikh Abdul Qadir mulai menampakkan diri di tengah-tengah khalayak masyarakat. Ia dikenal sebagai pribadi yang jujur. Kejujuran seorang Syeikh Abdul Qadir adalah buah didikan keluarga, terutama sang ibu yang selalu mengajarkannya untuk berprilaku jujur. Syeikh Abdul Qadir wafat pada tahun 561 H/1168 M di usianya yang ke 91 tahun dan dimakamkan di Baghdad (lihat al-Kaaf, Ajaran Tasawuf Syekh Abdul Qadir Al-Jailani).

Puasa Bukan Hanya Soal Menahan Lapar dan Haus

Seperti yang kita tahu, kaum sufi tidak pernah berhenti pada apa yang tampak. Mereka akan berusaha menyelami segala hal di dunia ini untuk menemukan ‘mutiara’ indah yang bersembunyi di baliknya. Begitu juga dengan Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani. Sebagai figur yang dikenang menjadi pemimpin para sufi, ia terlihat memaknai puasa melalui kacamata kaum sufi. Makna puasa menurut Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani bisa kita lihat dalam penafsiran QS. Al Baqarah [2]: 183:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.”

Dalam tafsirnya Tafsir Al-Jailani (Vol. I: 157-158), Syeikh Abdul Qadir menafsiri ayat ini sebagai berikut:

{يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ} في دينكم {ٱلصِّيَامُ} هو الإمساك المخصوص من طلوع الفجر الثاني إلى غروب الشمس في الشهر المعروف بلسان الشريعة والإمساك المطلق والإعراض الكلي عمّا سوى الحق عند أولي النهى واليقين المستكشفين عن سرائر الأمور، المتحققين بها حسب المقدور {كَمَا كُتِبَ عَلَى} أمم الأنبياء {ٱلَّذِينَ} خلوا {مِن قَبۡلِكُمۡ} وإنما فرض عليكم {لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ} رجاء أتحفظوا أنفسكم عن الإفطار في الأكل المميت للقلب المطفي نيران العشق والمحبة الحقيقة.

Ketika memaknai puasa, Syeikh Abdul Qadir memulainya dari sudut pandang fiqih/syariat, yaitu menahan diri dari hal-hal tertentu (hal-hal yang bisa membatalkan puasa) terhitung sejak terbitnya fajar shadiq (imsak) sampai terbenamnya matahari (maghrib). Pemaknaan ini merupakan arti sempit dari puasa, yang dalam penafsiran Syeikh Abdul Qadir diistilahkan dengan al-imsak al-makhsus.

Baca juga: Menelusuri Sejarah Kewajiban Puasa Menurut Para Mufasir

Apa yang menarik adalah pada penjelasan berikutnya, tepatnya pada frasa al-imsak al-mutlaq wa al-i‘rad al-kulliy ‘amma siwa al-Haq. Menurut Syeikh Abdul Qadir, puasa juga berarti menahan secara mutlak dan menolak secara total dari apapun selain al-Haq. Puasa jenis ini adalah puasanya orang-orang yang akalnya bersih, yakin dan telah mencapai kasyf atas hakikat dengan semampunya. Apa yang dimaksud dengan term al-Haq di sini adalah Allah Swt. Sebab, dalam dunia tasawuf, kata al-Haq selalu dirujukkan kepada Dia yang Maha Segala-galanya.

Membaca kutipan penafsiran di atas, kiranya kita dapat mencerna bahwa Syeikh Abdul Qadir membagi makna puasa menjadi dua pengertian. Pertama, puasa secara syariat (al-imsak al-makhsus). Makna puasa yang pertama ini sesuai dengan arti puasa secara umum, yaitu menahan diri dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa (makan, minum dan lain-lain). Puasa perama ini bisa kita sebut dengan puasa jasmani. Kedua, puasa dalam arti menahan secara mutlak dan menolak total apapun selain-Nya (al-imsak al-mutlaq wa al-i‘rad al-kulliy ‘amma siwa al-Haq). Puasa dalam pengertian kedua ini bisa juga kita istilahkan dengan puasa rohani.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 52: Jihad itu Memerangi Hawa Nafsu

Penjelasan Syeikh Abdul Qadir terhadap puasa jenis kedua di atas hampir sama dengan penjelasan Al-Ghazali. Menurut Hujjatul Islam ini, puasa semestinya disempurnakan dengan menjaga anggota tubuh (dhahir dan batin) dari hal-hal yang dibenci Allah Swt. Seperti menjaga mata dari pandangan-pandangan kotor, menjaga lisan dari pembicaraan yang tidak bermanfaat, menjaga telinga dari apapun yang dilarang hingga menjaga hati (lihat Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah).

Terakhir, Syeikh Abdul Qadir mengungkap hikmah yang terpendam di balik kewajiban puasa. Bahwa puncak dari syariat puasa adalah agar kita bisa menjaga diri dari sikap berlebihan dalam urusan makan. Sebab, hal itu dapat mematikan hati, memadamkan api rindu kepada Allah Swt, dan meredupkan cinta yang hakiki kepada-Nya. Semoga di bulan Ramadan ini, kita semua mampu menjalani puasa jasmani dan rohani semaksimal mungkin. Amin. Wallahu a’lam []

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 142-143

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya telah dibahas mengenai derajat manusia diukur dari amal perbuatannya. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 142-143 ini membahas tentang perpindahan kiblat dari Baitulmakdis ke Ka’bah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 139-141


Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 142-143 dijelaskan bahwa perubahan kiblat dari Baitulmakdis ke Ka’bah untuk menguji manusia, siapa yang benar-benar beriman dan mengikuti Rasul serta siapa pula yang lemah imannya, membelok dari jalan yang lurus.

Ayat 142

Ayat ini diturunkan di Medinah berkenaan dengan perpindahan kiblat kaum Muslimin dari Baitulmakdis (Masjidilaqsa) ke Baitullah (Masjidilharam). Nabi Muhammad saw serta kaum Muslimin ketika masih berada di Mekah melaksanakan salat menghadap Baitulmakdis, sebagaimana yang dilakukan oleh nabi-nabi sebelumnya, tetapi beliau mempunyai keinginan dan harapan agar kiblat tersebut pindah ke Ka’bah yang berada di Masjidilharam di Mekah.

Sebab itu, beliau berusaha menghimpun kedua kiblat dengan cara menghadap ke Ka’bah dan Baitulmakdis sekaligus, dengan mengerjakan salat di sebelah selatan Ka’bah menghadap ke utara, karena Baitulmakdis juga terletak di utara.

Setelah beliau hijrah ke Medinah tentu tidak mungkin lagi untuk berbuat demikian, karena Ka’bah tidak terletak di utara kota Medinah, tidak lagi dalam satu arah dengan Baitulmakdis.

Dengan demikian beliau setelah berada di Medinah hanya menghadap Baitulmakdis ketika salat. Hal itu berlangsung selama 16 bulan, dan beliau berdoa agar Allah menetapkan Ka’bah menjadi kiblat, sebagai pengganti Baitulmakdis.

Beliau menengadahkan wajahnya ke langit, menantikan wahyu dari Allah swt dengan penuh harapan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, sebagai salah seorang hamba Allah yang berbudi luhur dan berserah diri kepada-Nya. Tidak lama kemudian, turunlah ayat ini yang memerintahkan perpindahan kiblat dari Baitulmakdis ke Ka’bah.

Ayat ini diturunkan pada bulan Rajab tahun kedua Hijri. Ayat ini sekaligus merupakan jawaban terhadap ejekan kaum musyrikin dan keingkaran orang-orang Yahudi serta kaum munafik atas perpindahan kiblat tersebut.

 Orang yang mengingkari dan mengejek perpindahan kiblat, oleh ayat ini dinamakan sebagai  orang yang kurang akal (sufaha′/pandir). Mereka mencela padahal tidak mengetahui persoalan-persoalan yang pokok dalam masalah perpindahan kiblat itu.

Mereka tidak menyadari, bahwa arah yang empat, yaitu timur, barat, utara dan selatan, semuanya adalah kepunyaan Allah swt, tidak ada keistimewaan yang satu terhadap yang lain.

Dengan demikian, apabila Allah memerintahkan hamba-Nya menghadap ke satu arah dalam salat, maka hal ini bukanlah disebabkan karena arah tersebut lebih mulia dari yang lain, melainkan semata-mata untuk menguji kepatuhan mereka kepada perintah dan peraturan-Nya.

Kaum Yahudi, orang musyrik dan orang munafik yang mengingkari perpindahan kiblat tersebut, oleh Tuhan disebut sebagai  orang yang kurang akal  (pandir). Mereka menanyakan alasan perpindahan itu. Nabi Muhammad saw diperintahkan Allah untuk memberikan jawaban kepada kami dengan mengatakan bahwa semua arah kepunyaan Allah.

Apabila Dia menentukan kiblat bagi kaum Muslimin, maka hal itu adalah untuk mempersatukan mereka dalam beribadah. Hanya saja orang yang kurang akal telah menjadikan batu-batu dan bangunan-bangunan tersebut sebagai pokok agama.

Padahal, kelebihan dan keutamaan sesuatu arah bukanlah karena zatnya sendiri, melainkan karena ia telah dipilih dan ditentukan Allah swt.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. Maka siapa saja yang patuh dan menaati perintah Allah tentulah akan memperoleh petunjuk-Nya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebaliknya orang yang ingkar dan kufur terhadap agama-Nya tentulah tidak akan memperoleh petunjuk atau hidayah-Nya.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Salat Menghadap Kiblat dan Hukum Salat di Dalam Ka’bah


Ayat 143

Umat Islam adalah ummatan wasatan umat yang mendapat petunjuk dari Allah swt, sehingga mereka menjadi umat yang adil serta pilihan dan akan menjadi saksi atas keingkaran orang yang kafir. Umat Islam harus senantiasa menegakkan keadilan dan kebenaran serta membela yang hak dan melenyapkan yang batil.

Mereka dalam segala persoalan hidup berada di tengah orang-orang yang mementingkan kebendaan dalam kehidupannya dan orang-orang yang mementingkan ukhrawi saja.

Dengan demikian, umat Islam menjadi saksi yang adil dan terpilih atas orang-orang yang bersandar pada kebendaan, yang melupakan hak-hak ketuhanan dan cenderung kepada memuaskan hawa nafsu.

Mereka juga menjadi saksi terhadap orang-orang yang berlebih-lebihan dalam soal agama sehingga melepaskan diri dari segala kenikmatan jasmani dengan menahan dirinya dari kehidupan yang wajar.

Umat Islam menjadi saksi atas mereka semua, karena sifatnya yang adil dan terpilih dan dalam melaksanakan hidupnya sehari-hari selalu menempuh jalan tengah.

Demikian pula Rasulullah saw menjadi saksi bagi umatnya, bahwa umatnya itu sebaik-baik umat yang diciptakan untuk memberi petunjuk kepada manusia dengan amar makruf dan nahi mungkar.

Kemudian dijelaskan bahwa perubahan kiblat dari Baitulmakdis ke Ka’bah adalah untuk menguji manusia, siapa di antara mereka yang benar-benar beriman dan mengikuti Rasul serta siapa pula yang lemah imannya, membelok dari jalan yang lurus.

Memang pemindahan kiblat itu dirasakan sangat berat oleh orang yang fanatik kepada kiblat yang pertama, karena manusia pada umumnya sulit untuk mengubah dan meninggalkan kebiasaannya.

Tetapi orang yang mendapat petunjuk dari Allah dengan mengetahui hukum-hukum agamanya dan rahasia syariatnya, mereka sadar bahwa melaksanakan ibadah dengan menghadap kiblat itu adalah semata-mata karena perintah Allah bukan karena suatu rahasia yang tersembunyi pada tempat itu, dan bahwa penempatan kiblat itu untuk menghimpun manusia pada satu arah serta untuk persatuan umat.

Untuk menghilangkan keragu-raguan dari sebagian kaum Muslimin tentang pahala salatnya selama mereka menghadap ke Baitulmakdis dulu, maka Allah menerangkan bahwa Dia sekali-kali tidak akan menyia-nyiakan iman dan amal orang-orang yang mematuhi Rasul karena Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 144-150


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surah Al A’raf ayat 181-183

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 181-183 dijelaskan bahwa Allah menciptakan satu umat yang jumlahnya banyak untuk menempati syurga.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 179


Ayat 181

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia menciptakan juga satu umat yang besar jumlahnya untuk menempati surga. Mereka terdiri dari umat-umat dan suku-suku yang berjuang untuk membimbing manusia ke jalan yang benar serta mendidik mereka berpendirian teguh. Mereka menegakkan keadilan dan kebenaran yang telah ditetapkan Allah dan tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali jalan Allah itu. Mereka inilah umat Nabi Muhammad saw.;Berkata Rasulullah saw berhubungan dengan ayat ini :

هٰذِهِ أُمَّتِيْ بِالْحَقِّ يَحْكُمُوْنَ وَيَقْضُوْنَ وَيَأْخُذُوْنَ وَيُعْطُوْنَ (رواه البخاري ومسلم في الصحيحين)

“Inilah umatku dengan kebenaran mereka memerintah, menetapkan keputusan-keputusan, mengambil (hak mereka) dan memberikan (hak orang lain)”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dalam Sahihain)

Rasulullah saw berkata dalam hadis lain :

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِيْ عَلَى الْحَقِّ مَنْصُوْرِيْنَ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ اَمْرُ الله (رواه ابن ماجه عن ثوبان)

“Senantiasa ada segolongan umatku yang menegakkan kebenaran, siapa yang menentang mereka tidaklah dapat menyusahkan mereka hingga datang ketentuan Allah (hari Kiamat).” (Riwayat Ibnu Mājah dari Saubān)

Dari hadis-hadis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ijmak ulama menjadi hujah pada setiap masa, dan pada tiap masa itu pasti ada orang-orang yang ahli ijtihad.

Ayat 182

Allah menerangkan dalam ayat ini, bahwa mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah seperti orang-orang Quraisy yang menentang dakwah Muhammad saw, tentu akan menerima hukuman Allah secara berangsur-angsur tanpa menyadari akibat kesesatan mereka itu. Hal demikian disebabkan mereka tidak memahami Sunatullah dalam pertumbuhan perkembangan manusia, bahwa pertarungan antara yang hak dengan yang batil, antara yang benar dengan yang salah, tentulah yang hak akan memperoleh kemenangan. Apa yang bermanfaat bagi manusia mengalahkan apa yang memudaratkan mereka.

Allah berfirman:

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهٗ فَاِذَا هُوَ زَاهِقٌۗ

Sebenarnya Kami melemparkan yang hak (kebenaran) kepada yang batil (tidak benar) lalu yang hak itu menghancurkannya, maka seketika itu (yang batil) lenyap. (al-Anbiya/21: 18)

Dan lagi Allah swt berfirman:

فَاَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاۤءً ۚوَاَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِى الْاَرْضِۗ  كَذٰلِكَ يَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ ۗ 

Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada gunanya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan. (ar-Ra’d/13: 17)

Peringatan Allah kepada mereka yang menentang dan mendustakan kerasulan Muhammad saw, mereka akan dibinasakan secara istidraj (berangsur-angsur), telah terbukti kebenarannya. Orang-orang kafir Quraisy yang sangat keras memusuhi Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya telah mengalami kekalahan dalam berbagai peperangan, dalam menghadapi kaum Muslimin. Orang-orang Quraisy tertipu oleh kebesaran dan kekuatannya sendiri. Meskipun mereka selalu mengalami kekalahan, namun mereka tidak menyadari bahwa mereka berangsur-angsur menuju kehancuran.

Ayat 183

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa orang-orang yang mendustakan lambat laun menerima azab. Karena Allah membiarkan mereka berumur panjang, hidup makmur, dan mampu berperang, bukanlah lantaran Allah mengasihi mereka, tetapi sebagai tipuan  terhadap mereka. Dengan kemewahan dan kekuatan yang mereka miliki, mereka berlarut-larut dalam kezaliman, mereka tidak memiliki norma moral, kecuali norma-norma yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Mereka adalah orang-orang yang mendustakan agama, dan orang-orang yang kafir terhadap Allah. Dalam sejarah umat manusia, baik orang seorang atau sebagai bangsa jika berlaku zalim dan aniaya, akhir  kezaliman itu adalah kehancuran bagi mereka sendiri. Allah swt berfirman:

فَذَرْهُمْ فِيْ غَمْرَتِهِمْ حَتّٰى حِيْنٍ   ٥٤  اَيَحْسَبُوْنَ اَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهٖ مِنْ مَّالٍ وَّبَنِيْنَ ۙ  ٥٥  نُسَارِعُ لَهُمْ فِى الْخَيْرٰتِۗ بَلْ لَّا يَشْعُرُوْنَ  ٥٦ 

“Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai waktu yang ditentukan. Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya.” (al-Mu’minun/23: 54-55-56);

Rasulullah saw, bersabda:

إِنَّ الله َيُمْلِيْ لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ (رواه البخاري ومسلم عن أبي موسى)

“Sesungguhnya Allah swt memberi tangguh (tidak segera menimpakan azab) bagi orang yang zalim, tetapi bilamana Allah swt mengazabnya, Allah tidak akan membiarkannya lepas”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 184


 

Inilah Lima Hakikat Puasa Ramadan menurut Al-Ghazali

0
Lima hakikat puasa menurut Al-Ghazali
Lima hakikat puasa menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, dalam Bab Asrar al-Shaum, ia menyatakan lima hakikat puasa bagi orang khusus (shaum al-khusus) yang patut kita cermati dan teladani dengan baik agar kualitas puasa kita mencapai derajat yang tinggi (al-darajat al-‘ula). Sebelum itu, ada baiknya kita meniliki sebenarnya bagaimana puasa yang khusus itu?.

Al-Ghazali mendefinisikan puasa khusus sebagai berikut,

صَوْمُ الصَالِحِيْنَ فَهُوَ كَفُّ الْجَوَارِحِ عَنِ الْآثاَمِ وَتَمَامِهِ بِسِتَّةِ أُمُوْرٍ

“Puasa yang dilakukan oleh seorang yang shalih di mana ia mempuasakan seluruh anggota badannya secara sempurna”.

Dalam artian, mempuasakan di sini adalah menahan diri dari segala perbuatan dan perkataan yang dibenci oleh Allah swt walaupun secuil. Jika dikontekstualisasikan dengan realias saat ini, yaitu menjauhkan jari jemarinya dari menebar konten hoax, menjaga lisannya dari menebar permusuhan, perpecahan, ujaran kebencian (hate speech), memprovokasi, menggunjing dan sebagainya. Menjaga kakinya dari melangkah ke tempat yang maksiat atau merencanakan strategi busuk. Menjaga pendengarannya dari menguping pembicaraan orang lain, dan masih banyak yang  lainnya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Bagi Orang Gila dan Epilepsi

Karena itu, al-Ghazali telah memberikan lima hakikat puasa yang dapat kita teladani dengan harapan kualitas dan mutu ibadah puasa Ramadan kita dapat meningkat dari tahun ke tahun. Berikut paparannya,

Tidak melihat segala apa yang dibenci oleh Allah swt atau yang dapat melalaikan-Nya

غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفِّهِ عَنِ الْاِتِّسَاعِ فِي النَظَرِ إِلَى كُلِّ مَا يَذِمُّ وَيَكْرَهُ وَإلَى كُلِّ مَا يَشْغَلُ اْلقَلْبَ وَيُلْهِيْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ عَزَ وَجَلَّ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّظْرَةُ سَهْمٌ مَسْمُوْمٌ مِنْ سِهَامِ إِبْلِيْسٍ لَعَنَهُ اللهُ فَمَنْ تَرَكَهَا خَوْفًا مِنَ اللهِ أَتَاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِيْمَانًا يَجِدْ حَلَاوَتُهُ فِيْ قَلْبِهِ وَرَوَى جَابِرْ عَنْ أَنَسٍ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ خَمْسُ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ الْكَذِبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالْيَمِيْنُ الْكَاذِبَةُ وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ

“Menahan pandangan dari apa yang dibenci oleh-Nya atau yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat kepada-Nya. Rasul saw bersabda, “Pandangan merupakan panah beracun milik iblis la’natullah. Maka barang siapa yang menjaga pandangannya, karena takut kepada Allah semata, niscaya Dai akan memberikan keimanan yang manis yang berasal dari dalam hatinya”.

Diriwayatkan dari Jabir dari Anas dari Rasul saw bersabda, “Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa, yaitu berbohong, ghibah (menggunjing), mengadu domba (fitnah), sumpah palsu dan memandang dengan pandangan penuh syahwat birahi (penuh nafsu)”.

Menjaga lisan dari perkataan unfaedah, berdusta, mengumpat, fitnah, perkataan keji dan kasar serta memprovokasi.

حِفْظُ الِّلسَانِ عَنِ الْهَذَبَانِ وَالْكَذِبِ وَالْغِيْبَةِ وَالنَّمِيْمَةِ وَالْفَحْشِ وَالْجَفَاءِ وَالْخُصُوْمَةِ وَالْمُرَاءِ وَإلْزَامِهِ السُّكُوْتِ وَشَغْلِهِ بِذِكْرِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ فَهَذَا صَوْمُ الِّلسَانِ

“Menjaga lisan dari perkataan sia-sia, berdusta, menggunjing, memfitnah, berkata kotor (keji) dan kasar, serta menebar permusuhan. Dan mengkonversinya dengan lebih banyak berdiam diri (tidak berbicara yang unfaedah), memperbanyak dzikir dan membaca Al-Quran. Inilah puasa lisan (shaum al-lisan).

Sederhananya, puasa Ramadan mengisyaratkan kepada kita untuk menjaga kalam  dari perkataan yang buruk, baik kepada diri sendiri maupun orang lain (al-imsak ‘an al-kalam) sebagaimana disampaikan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya.

Menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tidak terpuji

كَفُّ السَّمْعِ عَنِ الْإصْغَاءِ إِلَى كُلِّ مَكْرُوْهٍ لِأَنَّ كُلَّ مَا حَرَمَ قَوْلُهُ حَرَمَ الْإصْغَاءَ إلَيْهِ وَلِذَلِكَ سِوَى اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بَيْنَ الْمُسْتَمِعِ وَأَكْلِ السُّحْتِ فَقَالَ تَعَالَى سَمَّاعُوْنَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُوْنَ لِلسُّحْتِ وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ لَوْلَا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّوْنَ وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ فاَلسُّكُوْتُ عَلَى الْغِيْبَةِ حَرَامٌ وَقَالَ تَعَالَى إنَّكُمْ إِذَا مِثْلَهُمْ وَلِذَلِكَ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُعْتَابُ وَالْمُسْتَمِعُ شَرِيْكَانِ فِي لإثْمِ

“Mencukupkan (menjaga) pendengaran dari segala sesuatu yang dibenci oleh Allah karena sesungguhnya segala sesuatu yang dilarang untuk diucapkan berlaku pula untuk didengarkan. Dalam hukum Allah, mendengar yang haram sama dengan memakan yang haram, seperti yang difirmankan-Nya, “mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tidak halal”. (Q.S. al-Maidah [5]: 42).

Karenanya, orang yang berniat puasanya agar bernilai khusus (صوم الصالحين فهو كف الجوارح عن الآثام وتمامه بستة أمور), seyogyanya berdiam diri dan menjauhkan diri dari ngerasani (menggunjing). Allah swt berfirman, “Jika engkau tetap duduk bersama mereka, sungguh engkaupun seperti mereka jua”. (Q.S. al-Nisa [4]: 140). Hal ini diperkuat dengan hadits Nabi saw, “Yang mengumpat dan pendengarnya, keduanya berserikat dalam dosa”. (H.R. al-Trimidzi)”

Baca juga: Peran Sayyidah Khadijah Saat Nabi Menerima Wahyu Pertama di Bulan Ramadan

Menjaga kesucian setiap anggota badan dari sesuatu yang syubhat (tidak jelas apakah ini haram atau halal)

كَفُّ بِقِيَّةِ الْجَوَارِحِ عَنِ الآثَامِ مِنَ الْيَدِ وَالرَّجُلِ عَنِ اْلمَكَارِهِ وَكَفُّ الْبَطْنِ عَنِ الشُّبْهَاتِ وَقْتِ الْإفْطَارِفَلاَ مَعْنَى لِلصَّوْمِ وَهُوَ الْكَفُّ عَنِ الطَّعَامِ الْحِلَاِل ثُمَّ الْإفْطَارِ عَلَى اْلحَرَامِ فَمِثَالُ هَذَا الصَّائِمَ مِثَالُ مَنْ يَبْنِي قَصْرًا وَيَهْدُمُ مِصْرًا فَإنَّ الطَّعَامَ الْحِلَالِ إنَّمَا يَضُرُّ بِكَثْرَتِهِ لَا بِنَوْعِهِ فَالصَّوْمِ لِتَقْلِيْلِهِ وَقَدْ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صَوْمِهِ إلاَّ الْجُوْعِ وَالْعَطَشِ

“Menjaga kesucian setiap anggota badan (tangan, kaki, perut, dll) dari perkara yang syubhat, terlebih yang haram. Misalnya, mencukupkan diri dari makanan yang halal saja dan meninggalkan yang haram. Puasa menjadi tidak bernilai apa-apa (alias muspro, no faedah) jika  menahan diri memakan yang halal namun tatkala berbuka dengan makanan yang haram-haram. Rasul saw bersabda, “Berapa banyak orang yang berpuasa namun mereka tidak mendapatkan apa-apa melainkan rasa lapar dan dahaga”. (H.R. al-Nasa’i dan Ibn Majah)

Puasa juga berarti menjaga seluruh anggota badan baik lahiriyah maupn batiniyah dari segala sesuatu yang tidak bermanfaat (hifdz al-jawarih al-dzahirah wa al-bathinah ‘an al-isystighal bima la ya’ni). Demikian kata Ibn Ajibah dalam al-Bahr al-Madid.

Tidak memakan makanan yang berlebihan

أَنْ لَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ الطَّعَامِ الْحِلاَلِ وَقْتِ الْإفْطَارِ بِحَيْثُ يَمْتَلِىءُ جَوْفُهُ فَمَا مِنْ وِعَاءِ أَبْغَضُ إلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ بَطْنِ مَلِيْءُ مِنْ حِلَالٍ وَكَيْفَ يُسْتَفَادُ مِنَ الصَّوْمِ قَهْرُ عَدُوَّ اللهِ وَكَسْرُ الشَّهْوَةِ إذَا تَدَارَكَ الصَّائمَ عِنْدَ فَطَرَهُ مَا فَاتَهُ ضَحْوَةُ نَهَارِهِ وَرُبَمَا يَزِيْدُ عَلَيْهِ فِي أَلْوَانِ الطَّعَامِ حَتَى اسْتَمْرَتِ الْعَادَاتِ بِأَنَّ تَدْخُرَ جَمِيْعَ اْلأَطْعِمَةُ لِرَمَضَانِ فَيُؤَكَّلُ مِنَ الْأَطْعِمَةِ فِيْهِ مَا لَا يَؤْكُلُ فِيْ عِدَّةِ أَشْهُرٍ

“Tidak memperbanyak makanan yang berlebihan ketika berbuka. Sebab tidak ada sesuatu yang lebih dibenci Allah swt selain perut yang disesaki (over capacity) dengan makanan halal. Di antara manfaat puasa adalah mengalahkan setan dan menaklukkan syahwat. Bagaimana semuanya itu akan tercapai, apabila jika berbuka perut kita diisi makanan secara berlebihan”.

Benar ia berpuasa tidak makan dan minum, namun ketika berbuka ia menjejali perutnya dengan segudang makanan. Tentu ini tidak baik, berpuasalah secara “benar” dan berbukalah juga secara “benar”. Benar di sini bermakna tidak hanya benar lahiriyah, namun secara batiniyah juga. Dalam konteks memakan makanan yang berlebihan, secara lahiriyah puasanya tetap sah, akan tetapi secara hakikat sesungguhnya ia tidak melakukan intisari dari puasa itu yaitu menahan (al-imsak).

Baca juga: Surah at-Taubah Ayat 60: Delapan Golongan yang Berhak Menerima Zakat

Demikianlah kelima hakikat puasa khusus yang diutarakan al-Ghazali. Sejatinya puasa Ramadan adalah madrasah penempaan diri bagi kita untuk mampu mengendalikan nafsu dan memperbanyak kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt sehinga benar-benar menjadi pribadi yang muttaqin (kokoh secara spiritual, sosial maupun intelektual). Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Hud Ayat 93-95

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 93-95 masih berbicara mengenai keingkaran Kaun Nabi Syu’aib. Namun kali ini sudah mencapai batasnya. Pada akhirnya mereka di azab oleh Allah sama halnya dengan keadaan kaum Samud.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 89-92


Ayat 93

Kemudian Nabi Syu’aib a.s. dengan tegas menentang mereka dan mengatakan kepada mereka, “Berbuatlah sekehendak hatimu, lakukanlah apa yang dapat kamu lakukan, dan kumpulkanlah segala kekuatan yang ada pada kamu, aku akan tetap berpegang teguh kepada akidahku, dan aku tetap beriman kepada-Nya dan aku percaya dan yakin bahwa Dia akan melindungiku dan memeliharaku dari segala marabahaya.

Kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang akan ditimpa azab dan malapetaka, siapa di antara kita yang berbohong dan berdusta, tunggulah nasib yang akan menimpamu, aku pun bersamamu menunggu.”

Ini adalah suatu tantangan yang berani dari seorang yang tak berdaya, tak mempunyai penolong dan pembela dari kalangan kaumnya dan tidak mempunyai kekuatan yang dapat diandalkan, tetapi penuh keyakinan dan kepercayaan bahwa Allah selalu menyertainya dan tidak akan mengabaikan atau menyia-nyiakannya.

Inilah tantangan terhadap orang-orang yang sombong dan takabur, selalu membanggakan materi tetapi lupa bahwa di atas kekuatan materi ada kekuatan gaib yang dapat menghancurleburkan mereka yaitu kekuatan dan kekuasaan Allah swt.


Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman


Ayat 94

Sudah menjadi ketetapan dan sunnah Allah bagi umat-umat yang dahulu bahwa setiap umat yang durhaka dan menolak seruan rasul-Nya akan ditimpa malapetaka dan dibinasakan kecuali orang-orang yang beriman dan patuh serta taat kepada Allah.

Akhirnya siksaan dan malapetaka itu ditimpakan pula kepada penduduk Madyan dan dengan rahmat dan kasih sayang Allah, Nabi Syu’aib a.s. beserta orang-orang yang beriman diselamatkan dari malapetaka berupa suara yang keras mengguntur yang menggoncangkan hati setiap orang dan menimbulkan goncangan dan gempa bumi yang maha hebat sehingga penduduk negeri itu dengan sekejap mata hilang ditelan bumi, persis seperti malapetaka yang menimpakan kaum Samµd, kaum Nabi Saleh a.s. yang ingkar dan durhaka pula.

Ayat 95

Negeri Madyan sesudah malapetaka itu menjadi sunyi sepi seakan-akan belum pernah didiami manusia. Sungguh celaka nasib mereka dan terjauhlah mereka dari rahmat dan kasih sayang Allah karena keingkaran dan kedurhakaan mereka sama halnya dengan nasib kaum Samµd.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 96-98


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 118-120

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 118-120 berbicara terkait dua topik besar. Pertama Allah mengabarkan bahwa Ia mengampuni tiga orang yang bertaubat – setelah menerima hukuman dari Allah dan Rasul-Nya – berkat kesungguhan mereka dalam pertaubatan untuk mencari ridho dari Allah swt.   Dan Allah menegaskan cara  pertaubatan agar diterima, yakni hendalaklah seseorang menjalankan perintah dan menjauhi larangan yang telah ditetapkan.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 115-117


Topik kedua yang dibahas dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 118-120 berisi kecaman terhadap orang-orang yang tidak ikut berperang dan memilih bersenang-senang di rumah mereka. Tidak pantas bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar kota Madinah, tidak turut menyertai Rasulullah pergi berperang, dan tidak pantas pula bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul.

Ayat 118

Dalam ayat ini kembali diungkapkan hal ihwal tiga orang di antara orang-orang mukmin yang mangkir dari Perang Tabuk, yaitu: Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi’.

Mereka ini semula dengan sengaja tidak ikut berperang bersama Rasulullah saw, tetapi kemudian mereka mengalami tekanan jiwa, dan dunia bagi mereka terasa sempit, karena orang-orang mukmin lainnya memandang mereka sebagai orang-orang yang tidak terhormat.

Mereka merasa yakin, bahwa hanya Allah-lah tempat berlindung dari segala siksaan-Nya. Setelah datang kesadaran dan rasa penyesalan, maka mereka bertobat kepada Allah.

Allah pun menerima tobat itu, agar mereka tetap berada dalam keinsafan kembali kepada agama Allah dengan bimbingan Rasul-Nya. Setelah terlanjur melakukan pelanggaran terhadap perintah-Nya.

Pada akhir ayat ini ditegaskan kembali bahwa Allah Maha Penerima Tobat serta Maha Pengasih kepada hamba-Nya.

Dia senantiasa menerima tobat hamba-Nya yang benar-benar bertobat kepada-Nya dan mengampuni dosa serta melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya kepada mereka, walaupun mereka itu telah terlanjur melakukan kesalahan yang menyebabkan mereka berhak untuk dijatuhi azab dan siksa.


Baca Juga : Fadhilah Taubat dalam Al-Quran: Menghapus Dosa dan Membuka Pintu Rezeki


Ayat 119

Allah menunjukkan seruan-Nya dan memberikan bimbingan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya, agar mereka tetap dalam ketakwaan serta mengharapkan rida-Nya, dengan cara menunaikan segala kewajiban yang telah ditetapkan-Nya, dan menjauhi segala larangan yang telah ditentukan-Nya, dan hendaklah senantiasa bersama orang-orang yang benar dan jujur, mengikuti ketakwaan, kebenaran dan kejujuran mereka.

Dan jangan bergabung kepada kaum munafik, yang selalu menutupi kemunafikan mereka dengan kata-kata dan perbuatan bohong ditambah pula dengan sumpah palsu dan alasan-alasan yang tidak benar.

 Al-Baihaq³ meriwayatkan suatu hadis Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:

اِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى البِرِّ وَإِنَّ اْلبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا. وَإِنَّ اْلكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا (متفق عليه)

Sesungguhnya kejujuran itu menuntun kepada kebajikan, dan kebajikan itu menuntun kepada surga. Sesungguhnya seseorang akan berlaku jujur sampai ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur.  Dan sesungguhnya kedustaan itu menuntun kepada kejahatan, dan kejahatan itu menuntun ke neraka. Sesungguhnya seseorang itu berlaku dusta sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta. (Hadis Muttafaq ‘Alaih)

Berdusta selamanya terlarang kecuali bila terpaksa, sebagai tipu muslihat dalam peperangan, atau untuk mendamaikan antara pihak-pihak yang ber-sengketa, atau kebohongan seorang lelaki kepada isterinya yang dimaksud-kan untuk menyenangkan hatinya, misalnya dalam memuji kecantikannya, akan tetapi bukan kebohongan dalam masalah keuangan dan kepentingan kehidupan rumah tangga atau lainnya.

Dalam hal ini Rasulullah saw telah bersabda:

كُلُّ الْكَذِبِ يُكْتَبُ عَلَى ابْنِ اٰدَمَ إِلاَّ رَجُلٌ كَذَبَ فِي خَدِيْعَةِ حَرْبٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ رَجُلٌ يُحَدِّثُ امْرَأَتُهُ لِيُرْضِيَهَا (رواه ابن أبي شيبة وأحمد عن أسماء بنت يزيد)

Setiap kebohongan yang dilakukan oleh seseorang selalu dituliskan sebagai dosanya kecuali bagi seorang yang berbohong sebagai tipu muslihat dalam peperangan, atau kebohongan untuk mendamaikan dua orang yang bersengketa atau kebohongan yang dilakukan seseorang terhadap isterinya dengan maksud untuk menyenangkan hatinya. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad, dari Asma’ binti Yazid)

Ayat 120

Allah menjelaskan bahwa kaum Muslimin yang berdiam di kota Medinah, dan kaum Muslimin Badui yang berdiam di sekitar kota Medinah seharusnya menyertai Rasulullah saw ke medan perang dan tidak patut bagi mereka untuk tidak mencintai Rasulullah saw karena lebih mencintai diri sendiri.

Bila mereka tidak ikut ke medan perang dan hanya tinggal di rumah, ini berarti mereka tidak bersedia menanggung bermacam penderitaan untuk membela agama Allah, mereka tidak merasakan haus, payah dan lapar.

Tidak pula menginjak daerah yang dipertahankan oleh orang-orang kafir, dan tidak pula ikut menimpakan suatu bencana kepada musuh sebagai yang dirasakan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang ikut berperang.

Padahal jika mereka mengalami dan melaksanakan hal-hal tersebut niscaya akan dituliskan bagi mereka di sisi Allah sebagai amal saleh setiap kali mereka mengalami dan melaksanakannya, dan akan diberi ganjaran yang amat besar sebagaimana yang dilakukan terhadap orang-orang yang ikut berperang bersama Rasulullah.

Setiap kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang mukmin baik yang berupa pengorbanan lahir maupun batin tidak akan disia-siakan Allah, apalagi kebajikan untuk membela agama-Nya.

Orang-orang yang tinggal di rumah tanpa alasan yang dibenarkan Allah, sesungguhnya adalah orang-orang yang mementingkan diri sendiri, tidak bersedia memberikan pengorbanan dan penderitaan untuk kepentingan bersama dan untuk membela agama Allah.

Padahal kenikmatan yang mereka peroleh dalam rumah tangga mereka adalah semata-mata karunia dan rahmat dari Allah.

Kesetiaan dan ketaatan kepada Rasulullah haruslah dalam segala situasi dan keadaan, baik pada waktu suka, maupun duka, yang memerlukan pengorbanan atas kesenangan diri, kenikmatan hidup, harta benda dan jiwa raga.

Oleh sebab itu, bila datang suatu bahaya yang mengancam kepentingan bersama, kehormatan bangsa dan agama, maka setiap orang mukmin harus bangkit berjuang bersama-sama, tanpa memperhitungkan laba-rugi bagi diri sendiri.

Ini adalah lebih mulia, dari pada yang hidup dalam kemewahan, tetapi kehilangan kehormatan diri, agama, bangsa, dan tanah airnya.

Allah tidak menyia-nyiakan setiap amal kebajikan dan pengorbanan yang diberikan oleh setiap orang mukmin.

Ganjaran pahala yang amat besar disediakan-Nya untuk orang-orang mukmin yang telah berjuang bersama Rasulullah, dan selanjutnya, untuk orang-orang mukmin yang berjuang di jalan Allah, hingga Hari Kiamat kelak. Balasan setiap kebajikan adalah kebajikan pula, inilah ketentuan dari Allah.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 121-122


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 115-117

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 115-117 menjelaskan tentang sifat Allah swt, yang Maha Rahmat, Adil, dan Bijaksana. Dia tidaklah menyesatkan suatu kaum yang telah dianugerahi petunjuk oleh-Nya, justru merekalah yang melanggar dan menjauhi petunjuk tersebut. Harus diketahui bahwa Allah adalah Dzat yang memiliki kekuasaan di langit dan bumi, ia yang menciptakan, memelihara, menghidupkan, dan mematikan, segalanya atas otoritas mutlak Allah swt.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 113-114


Tafsir Surah At Taubah Ayat 115-117 juga menjelaskan wujud dari Rahmat Allah, yakni menerima pertaubatan Nabi, kaum Muhajirin, dan Anshar dimasa sulit mereka, dan Dia jualah yang memberikan keamanan terhadap hamba-hambanya, termasuk pada perang Tabuk ketika menghadapi kekaisaran Romawi. Sungguh Allah maha pengampun dan peduli dengan hamba-hambanya yang beriman.

Ayat 115

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa apabila satu kaum benar-benar telah diberi petunjuk, dan telah dilapangkan dada mereka untuk menerima agama Islam, maka Dia sekali-sekali tidak akan menganggap kaum tersebut sebagai orang-orang yang sesat, lalu Dia memperlakukan mereka sama dengan orang-orang yang benar-benar sesat, yang patut dicela dan disiksa.

Allah tidak akan berbuat demikian apabila mereka hanya berbuat satu kesalahan, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan yang disebabkan kesalahan ijtihad mereka.

Allah tidak akan mencela dan menyiksa mereka karena kesalahan semacam itu, sampai mereka benar-benar paham ajaran-ajaran agama, baik berupa larangan yang harus mereka hindari, maupun perintah yang harus dikerjakan.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah amat mengetahui segala sesuatu, termasuk kebutuhan manusia terhadap keterangan dan penjelasan.

Oleh sebab itu, Allah telah menjelaskan masalah-masalah yang penting dalam agama dengan penjelasan yang pasti dalam firman-Nya, sehingga kaum Muslimin akan dapat mencapai kebenaran dalam ijtihad mereka dan tidak akan tergoda oleh hawa nafsu mereka.

Itulah sebabnya Allah tidak menyalahkan Nabi Ibrahim ketika ia memohon ampun untuk bapaknya sebab hal itu dilakukan sebelum ia mendapat bukti dan keterangan yang jelas tentang keadaan ayahnya. Setelah ia mendapat keterangan dan bukti-bukti yang jelas, maka ia segera menghentikan doanya.

Demikian pula, Allah tidak akan menimpakan hukuman terhadap Nabi Muhammad saw dan orang-orang mukmin yang telah memohonkan ampun kepada Allah untuk ibu bapak dan kaum kerabat mereka yang telah mati dalam kekafiran, apabila hal itu dilakukan sebelum memperoleh keterangan yang jelas mengenai ketentuan Allah dalam masalah tersebut.


Baca Juga : Makna Kata Hidayah dalam Al-Quran dan Macamnya Menurut Al-Maraghi


Ayat 116

Allah menjelaskan bahwa Dialah yang memiliki kekuasaan, baik di langit maupun di bumi. Dialah yang menguasai semua yang ada di alam ini. Dia pulalah yang mematikan hamba-Nya bila ajalnya sudah sampai.

Dan Sunnah-Nyalah yang berlaku di alam semesta ini. Tidak ada yang mengurus dan menguasai kepentingan orang-orang mukmin, dan tidak ada pula yang akan menolong mereka terhadap musuh, kecuali Allah swt.

Oleh sebab itu, orang-orang mukmin tidak boleh menyimpang dari ketentuan Allah, terutama mengenai larangan-Nya untuk memohonkan ampun bagi orang musyrik, walaupun ia termasuk kaum kerabat yang patut diurus dan ditolong. Demikian pula dalam ketentuan-ketentuan yang lain, baik berupa larangan, mupun perintah-perintah-Nya.

Ayat 117

Ayat ini merupakan lanjutan dari ayat-ayat terdahulu, mengenai masalah tobat dari orang-orang yang mangkir dari Perang Tabuk.

Adalah menjadi suatu kebiasaan dalam Al-Qur’an untuk menghentikan suatu pembicaraan, lalu mengemukakan pembicaraan yang lain, tetapi kemudian kembali lagi membicarakan masalah semula.

Cara semacam ini akan memberikan pengertian yang lebih mantap dan kesan kuat dalam hati dan pikiran orang-orang yang mendengar atau membacanya, dan tidak membosankan.

Selain itu juga ada hubungan dengan larangan tentang memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik, yang tersebut dalam ayat yang lalu, karena dalam kedua masalah ini terdapat kesalahan yang perlu ditebus dengan jalan bertobat, dan memperbaiki kekeliruan yang perlu dimintakan ampunan dari Allah.

Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia telah menerima tobat Nabi Muhammad saw dan kaum Muhajirin serta Anshar dan orang-orang mukmin lainnya, yang telah mengikuti Nabi dalam masa-masa sulit, yaitu saat Perang Tabuk, karena Perang Tabuk itu terjadi dalam saat kesulitan.

Kesulitan makanan, karena saat itu musim paceklik, sehingga sebutir kurma dimakan oleh satu atau dua orang. Kesulitan air, sehingga ada yang menyembelih untanya agar dapat mengambil air dari lambungnya untuk diminum, padahal unta itu amat mereka perlukan untuk pengangkutan dari satu tempat ke tempat yang lain, sehingga seekor unta dipakai untuk keperluan sepuluh orang.

Ditambah lagi udara waktu itu (waktu terjadi Perang Tabuk) amat panas. Penerimaan tobat tersebut terjadi setelah hampir berpalingnya hati segolongan kaum Anshar dan Muhajirin tersebut, sehingga mereka pergi berperang dengan perasaan enggan dan berat, bahkan ada yang dengan sengaja mangkir dari peperangan.

Tetapi kemudian Allah menerima tobat mereka setelah mereka menyadari kesalahan mereka.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Maha Pengasih dan Penyayang kepada Nabi dan para pengikutnya. Oleh sebab itu Dia senantiasa menerima tobat orang-orang yang benar-benar bertobat kepada-Nya.

Menurut penafsiran Ibnu ‘Abbas, yang dimaksud Allah menerima tobat Nabi ialah tobat yang dilakukan Nabi atas kekeliruan beliau lantaran mengizinkan beberapa orang tidak ikut berperang, padahal mereka tidak mempunyai uzur yang dapat dibenarkan.

Yang dimaksud dengan penerimaan tobat kaum Muhajirin dan Anshar ialah tobat yang mereka lakukan dari kesalahan mereka ketika mereka merasa keberatan untuk keluar ke medan perang, padahal mereka adalah orang-orang yang dipandang paling kuat imannya.

Sebagian dari mereka mempunyai kesalahan lantaran mereka suka mendengarkan pembicaraan orang-orang munafik padahal pembicaraan itu dimaksudkan untuk menimbulkan fitnah di kalangan kaum Muslimin.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 118-120


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 113-114

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Jika sebelumnya menjelaskan tentang sifat orang mukmin, yang diantaranya adalah gemar bertaubat. Maka Tafsir Surah At Taubah Ayat 113-114 menerangkan tentang orang-orang yang tidak layak untuk dimohonkan ampunan bagi mereka, yakni orang Musyrik, sekalipun mereka adalah kaum kerabat dekat yang kita sayangi.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 112


Dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 113-114 Allah memberikan permisalan dengan kasus Ibrahim yang meminta ampun untuk ayahnya, alasan Allah membiarkan hal tersebut karena Ibrahim sebelumnya sudah berjanji untuk meminta ampun kepada Allah untuk ayahnya, meski ia kemudian sadar bahwa ayahnya termasuk orang yang memusuhi Allah, lalu Ibrahim pun berlepas diri darinya.

Ayat 113

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang mukmin untuk mengajukan permohonan kepada Allah agar memberikan ampunan kepada orang musyrik, walaupun mereka adalah kerabat Nabi atau kerabat dari orang-orang mukmin.

Apalagi bila Nabi dan orang-orang mukmin telah mendapatkan bukti yang jelas bahwa mereka yang dimohonkan ampunan itu adalah calon-calon penghuni neraka, karena perbuatan dan tindak-tanduk mereka telah menunjukkan keingkaran mereka kepada Allah.

Pada ayat ke 80 Surah at-Taubah ini juga Allah telah menerangkan bahwa Dia tidak akan memberikan ampunan bagi orang-orang munafik, karena mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, sehingga sama saja halnya, apakah Rasulullah memintakan ampunan untuk mereka, ataupun tidak.

Dalam ayat ke 48 dan 116 Surah an-Nisa’ Allah telah menegaskan pula, bahwa Dia tidak akan memberikan ampun kepada siapa pun yang menjadi musyrik, yaitu mempersekutukan Allah dengan yang lain.

Orang-orang yang mempersekutukan Allah, walaupun mereka mengaku beriman dan menyembah kepada Allah, namun mereka juga menyembah selain Allah. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak beriman pada kesempurnaan dan kekuasaan Allah.

Oleh sebab itu, dalam ayat lain Allah menegaskan bahwa kemusyrikan adalah suatu kezaliman yang besar, dan merupakan dosa yang tidak bisa diampuni. Itulah sebabnya, maka Lukman al-Hakim memberikan pelajaran kepada putranya untuk tidak menyekutukan Allah. Beliau berkata:

لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar. (Luqman/31: 13).

Pada ayat (113) di atas terdapat isyarat bahwa mendoakan orang-orang yang telah mati dalam kekafirannya, agar mereka memperoleh ampunan dan rahmat Allah, adalah terlarang. Larangan ini mencakup segala macam dan cara berdoa, baik doa-doa yang biasa dilakukan sesudah salat maupun doa-doa yang dibaca dalam upacara tertentu.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, dan Abu Daud dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw pernah mengunjungi makam ibundanya, lalu beliau menangis, sehingga menyebabkan orang-orang yang berada di sekitarnyapun menangis pula.

Lalu beliau bersabda, “Aku telah meminta izin kepada Allah untuk memohonkan ampun untuk ibuku, tetapi Allah tidak mengizinkan, dan aku meminta izin untuk mengunjungi kuburan ibuku, maka Allah mengizinkan. Oleh sebab itu, kamu boleh mengunjungi kuburan karena hal itu akan mengingatkan kamu kepada kematian.”

Dengan adanya larangan Allah dalam ayat ini kepada Nabi dan orang-orang mukmin untuk memintakan ampunan bagi orang-orang musyrik.

Dapat diambil kesimpulan bahwa kenabian dan keimanan yang sejati tidak akan membolehkan seseorang untuk memanjatkan doa ke hadirat Allah untuk mengampuni orang-orang musyrik dalam keadaan bagaimana juga, walaupun mereka termasuk kaum kerabat yang dicintai.

Hal itu disebabkan karena bagi Nabi dan orang-orang mukmin sudah cukup jelas dari berbagai bukti dan kenyataan, bahwa orang-orang musyrik itu telah mati dalam kekafiran sehingga dengan demikian mereka merupakan calon-calon penghuni neraka, maka tidaklah selayaknya untuk dimintakan ampun kepada Allah, karena perbuatan mereka tidak diridai-Nya.


Baca Juga : Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 10: Intisari Doa Kasih Sayang dan Pengampunan


Ayat 114

Dari keterangan-keterangan yang terdapat dalam ayat di atas mungkin terlintas pertanyaan dalam pikiran kita, apakah sebabnya Allah melarang Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin untuk memohon ampun bagi orang-orang yang telah mati dalam kemusyrikan dan kekafiran.

Walaupun kaum kerabat dan ibu bapaknya sendiri, padahal Nabi Ibrahim pernah memohonkan ampun bagi bapaknya, yang juga seorang musyrik yang mati dalam kemusyrikan dan kekafiran.

Maka dalam ayat ini Allah memberikan jawaban-Nya bahwa benar Nabi Ibrahim pernah memohonkan ampun kepada Allah bagi bapaknya yang bernama Azar, dengan mengucapkan doa sebagai berikut:

وَاغْفِرْ لِاَبِيْٓ اِنَّهٗ كَانَ مِنَ الضَّاۤلِّيْنَ ۙ

Dan ampunilah ayahku, sesungguhnya dia adalah termasuk orang yang sesat. (asy-Syu’ara’ /26: 86)

Akan tetapi Nabi Ibrahim berbuat demikian itu adalah karena ia pernah menjanjikan kepada bapaknya untuk mendoakannya, dengan harapan agar Allah memberikan taufik kepadanya untuk beriman, dan memberikan petunjuk kepadanya jalan yang benar yang telah dibentangkannya.

Janjinya itu menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim sudah meyakini bahwa tugasnya hanyalah sekedar mendoakan kepada Allah sedang ia sendiri tidak berwenang memberikan petunjuk ataupun keselamatan, apalagi mengampuni dosanya.

Dengan demikian, Ibrahim telah memenuhi janjinya, akan tetapi hanya sekedar pemenuhan janji. Hal ini juga disebutkan Allah dalam firman-Nya:

وَاِبْرٰهِيْمَ الَّذِيْ وَفّٰىٓ ۙ

Dan, (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (an-Najm/53: 37)

Dalam ayat selanjutnya, Allah menjelaskan bahwa walaupun Ibrahim telah memohonkan ampunan bagi ayahnya untuk memenuhi janjinya, namun kemudian setelah nyata baginya bahwa bapaknya benar-benar memusuhi Allah dalam kemusyrikan, maka Ibrahim tidak lagi mendoakan bapaknya setelah matinya.

Nabi Ibrahim mendoakan bapaknya di kala bapaknya masih hidup, dengan harapan semoga bapaknya mendapat hidayat dan taufik dari Allah, meninggalkan kemusyrikannya dan bertobat kepada Allah. Doa yang semacam ini tidaklah terlarang.

Keimanan seseorang kepada Allah dan hari akhir tidak akan membiarkannya mengasihi orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya. Hal ini telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya pada ayat-ayat lain:

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُّؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ يُوَاۤدُّوْنَ مَنْ حَاۤدَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَوْ كَانُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ اَوْ اَبْنَاۤءَهُمْ اَوْ اِخْوَانَهُمْ اَوْ عَشِيْرَتَهُمْۗ

Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. (al-Mujadalah/58: 22).

Pada masa bapaknya masih hidup, Nabi Ibrahim sudah tahu tentang tingkah lakunya yang tidak diridai Allah, sehingga ia sendiri pernah diancamnya dengan kata-kata yang kasar, yang tersebut dalam ayat berikut:

قَالَ اَرَاغِبٌ اَنْتَ عَنْ اٰلِهَتِيْ يٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ لَاَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِيْ مَلِيًّا

Dia (ayahnya) berkata, “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau tidak berhenti, pasti engkau akan kurajam, maka tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (Maryam/19: 46).

Namun demikian Ibrahim juga berjanji kepada bapaknya untuk mendoakannya kepada Allah agar diberi ampun dan rahmat serta petunjuk.

Akan tetapi, setelah bapaknya  meninggal, nyatalah bagi Ibrahim bahwa ayahnya benar-benar memusuhi Allah pada masa hidupnya. Maka Ibrahim tidak lagi berdoa untuknya. Apakah gerangan sebab yang demikian?

Maka di akhir ayat ini Allah menerangkan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu: karena Ibrahim adalah manusia yang amat takut kepada Allah, serta taat dan patuh kepada-Nya, ia juga terkenal sebagai penyantun, dan kokoh pendiriannya dalam segala hal.

Itulah sebabnya Nabi Ibrahim segera berhenti berdoa untuk bapaknya, setelah mengetahui bahwa dia benar-benar seorang musyrik, yang dalam hatinya telah tertanam dengan kuat kepercayaan syirik dan permusuhan terhadap Allah.

Nabi Ibrahim berhati lembut, ia sangat menyesalkan sikap orang-orang musyrik di kalangan kaumnya, termasuk bapaknya sendiri.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 115-117


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 112

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 112 khusus berbicara terkait dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh orang Mukmin, yang tentunya jauh berbeda dengan sifat yang dimiliki kaum munafik sebagaimana yang sudah kita ketahui pada penafsiran sebelumnya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 107-111


Diantara sikap orang Mukmin yang dibahas dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 112 adalah gemar bertaubat, beribadah, mencari ilmu, dan amal-amal kebajikan lain, yang sekiranya bisa membuat mereka dekat dengan Allah dan Rasul-Nya. Berikut detail penjelasannya.

Ayat 112

Dalam ayat ini disebutkan beberapa sifat dari orang-orang mukmin yang telah mencapai puncak kesempurnaan iman, yang telah mengorbankan harta benda dan jiwa raga mereka dalam berjihad untuk menjunjung tinggi dan menegakkan agama Allah.

Sifat-sifat tersebut ialah:

  1. Mereka adalah orang-orang yang bertobat, kembali kepada Allah dengan cara meninggalkan setiap perbuatan yang akan menjauhkan diri dari keridaan-Nya. Maka tobat orang yang pernah menjadi kafir adalah kembalinya mereka kepada jalan Allah, serta melaksanakan perintah syariat-Nya.

Dalam hal ini Allah telah berfirman:

فَاِنْ تَابُوْا وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ ۗ

Jika mereka bertobat, mendirikan salat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. (at-Taubah/9: 11)

Sedang tobat orang yang pernah menjadi munafik ialah dengan cara meninggalkan kemunafikannya itu.

Tobat orang-orang yang durhaka ialah dengan cara meninggalkan kedurhakaannya dengan menyesali apa yang telah diperbuatnya, serta bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi, sebagaimana tobat yang telah dilakukan oleh beberapa orang mukmin (Abu Lubabah dengan kawan-kawannya) yang telah mangkir dari Perang Tabuk.

Adapun tobat orang yang telah lalai dari melakukan kebajikan, ialah dengan cara berbuat kebajikan lain yang lebih banyak, sedang tobat orang yang lalai dari mengingat Allah ialah dengan cara berzikir dan bersyukur lebih banyak lagi setelah menyadari kelalaiannya.

  1. Orang-orang mukmin yang mencapai puncak kesempurnaan iman mempunyai sifat sebagai orang-orang yang beribadat kepada Allah semata-mata dengan ikhlas, tanpa riya’ maupun syirik.

Semua ibadah doa dan harapannya hanya ditujukan kepada Allah semata. Mereka menjauhi segala perbuatan yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah atau mengharapkan pertolongan dari selain Allah, baik untuk kepentingan duniawi maupun ukhrawi.

  1. Orang-orang mukmin disifati sebagai orang-orang yang senantiasa menyampaikan pujian kepada Allah, baik dalam waktu suka maupun pada saat duka.

Dalam hal ini ‘Aisyah r.a. menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw, apabila menemukan suatu hal yang menggembirakan maka beliau mengucapkan kata-kata pujian yang berbunyi:

اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ (رواه ابن ماجه والحاكم)

Segala pujian hanyalah untuk Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan dapat disempurnakan. (Riwayat Ibnu Majah dan al-Hakim)

Dan apabila beliau menghadapi suatu hal yang tidak diinginkannya, maka beliau mengucapkan kata pujian yang berbunyi:

اَلْحَمْدُ ِللهِ عَلَى كُلِّ حَالٍ (رواه ابو داود والترمذى و غيره)

Segala puji hanyalah untuk Allah semata-mata, dalam segala hal. (Riwayat Abu Dawud, at-Tirmizi, dan lain-lain).

  1. Orang-orang mukmin yang mencapai puncak kesempurnan juga memiliki sifat sebagai orang-orang yang suka mengembara untuk tujuan-tujuan yang baik dan benar.

Misalnya pengembaraan yang dilakukan untuk menuntut ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan agama, maupun ilmu pengetahuan untuk kemajuan duniawi, atau untuk sesuatu yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan tanah air.

Atau melakukan pengembaraan untuk melihat dan memperhatikan keadaan bangsa-bangsa dan negeri-negeri lain, agar dari semuanya itu dapat diambil pelajaran yang berguna, serta meningkatkan keimanan dan ibadah kita kepada Allah, Pencipta alam semesta.

Di dalam Al-Qur’an, terdapat banyak firman Allah yang mendorong manusia agar mengadakan perjalanan di muka bumi ini, untuk mendapatkan pengalaman dan pelajaran, yang akan menambah kuatnya keimanan mereka. Antara lain firman Allah:

قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ ثُمَّ انْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Jelajahilah bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu.” (al-An’am/6: 11).

Dan firman-Nya dalam ayat yang lain:

اَلَمْ يَرَوْا كَمْ اَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِّنْ قَرْنٍ مَّكَّنّٰهُمْ فِى الْاَرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّنْ لَّكُمْ

Tidakkah mereka memperhatikan berapa banyak generasi sebelum mereka yang telah Kami binasakan, padahal (generasi itu), telah kami teguhkan kedudukannya di bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu. (al-An’am/6: 6).

Masih banyak ayat lainnya yang sejiwa dengan ayat-ayat di atas yang menyuruh manusia untuk memperhatikan lebih banyak makhluk Tuhan di dunia ini. Semakin jauh berjalan, semakin banyak yang dilihat, dan memberikan banyak pengetahuan, pengalaman, dan pelajaran, yang akhirnya menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah.


Baca Juga : Kriteria Perempuan Salihah dalam Surah At-Tahrim Ayat 11-12


  1. Sifat lainnya yang dimiliki orang-orang mukmin sejati ialah senantiasa melakukan ruku’ dan sujud kepada Allah, yakni mendirikan salat. Sengaja Allah menyebutkan masalah ruku’ dan sujud dalam ayat ini, karena kedua hal tersebut adalah menunjukkan sifat tunduk tawadu’ serta penghambaan diri kepada Allah, dan juga untuk menggambarkan bahwa pekerjaan salat itu tidak pernah lepas dari ruku’ dan sujud.
  2. Dua sifat lainnya dari orang-orang mukmin sejati ialah suka mengajak orang lain untuk berbuat kebajikan, dan mencegahnya dari perbuatan yang mungkar, dengan jalan mengajaknya kepada keimanan dan melakukan perbuatan-perbuatan yang merupakan buah dari keimanan itu, yaitu hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan pribadi dan kehidupan bersama dalam masyarakat.
  3. Sifat lainnya yang disebutkan terakhir dalam ayat ini, ialah sebagai orang-orang yang senantiasa menjaga diri untuk tidak melampaui batas dan ketentuan yang telah ditetapkan Allah, seperti syari’at dan hukum-hukum-Nya, yang harus diikuti oleh kaum mukmin untuk kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat, dan apa-apa yang harus mereka jauhi, karena bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkannya.

Demikian pula, dalam hukum dan syari’at tersebut telah dijelaskan pula apa-apa yang harus dilakukan oleh umat Islam dan para pemimpin mereka, baik untuk kepentingan pribadi muslim, maupun untuk kejayaan masyarakat Islam umumnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 113-114