Beranda blog Halaman 340

Tafsir Surah Al A’raf ayat 186-187

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 186-187 mengulas tentang orang-orang yang sesat dan tidak mendapat petunjuk dari Allah disebabkan kelengahan dari menahan godaan setan serta hawa nafsu, sehingga jiwa yang fitrah tidak menanggapi isi al-Quran. Selengkapnya Tafsir Surah Al A’raf ayat 186-187 di bawah ini…


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 185


Ayat 186

Kemudian Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa orang yang disesatkan oleh Allah, tidak ada baginya yang memberi petunjuk. Seorang menjadi sesat karena dia telah kehilangan potensi dalam dirinya (fitrah) untuk menerima petunjuk. Kehilangan potensi itu disebabkan kelengahan dirinya sendiri dalam memeliharanya dari pengaruh dan godaan setan dan hawa nafsu. Karena tidak adanya potensi itu, maka jiwanya tidak menanggapi isi Al-Qur’an sewaktu datang kepadanya.

Bahkan dia mengadakan reaksi yang negatif, yakni menolak, tidak menerima Al-Qur’an. Meskipun Rasul yang datang membawa Al-Qur’an itu kepadanya mempunyai akhlak yang mulia, akal yang sempurna, tetapi karena dia telah kehilangan kesediaan itu, maka Al-Qur’an tetap tidak berpengaruh pada jiwa orang yang disesatkan Allah itu. Jiwanya telah gelap, tidak menerima ajaran Al-Qur’an. Karena itu tak ada cahaya petunjuk baginya.

Hatinya gelap bertambah gelap akibat perbuatan yang mungkar serta kelaliman yang melampaui batas. Keraguan semakin mencekam hati manusia yang demikian, dan akhirnya sulitlah baginya untuk memperoleh jalan keluar dari kesesatan itu.

Firman Allah swt:

كَلَّا بَلْ ۜرَانَ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka. (al-Muthaffifin/83: 14)

Setiap perbuatan yang jahat menambah gelap hati manusia. Hati yang gelap menimbulkan perbuatan-perbuatan yang jahat kembali. Demikianlah akhirnya manusia yang sesat itu berputar-putar dalam lingkaran kesesatan. Mereka bergelimang dalam lumpur dosa dan kesesatan. Dia dapat lepas dan tertolong dari lingkaran kesesatan ini bilamana dia memiliki kemauan yang keras untuk kembali ke jalan Allah dan Nur Ilahi.

Ayat 187

Allah dalam ayat ini menegaskan bahwa hanya Dialah yang mengetahui saat terjadinya hari Kiamat itu. Kepastian terjadinya hari Kiamat dan apa yang terjadi pada hari Kiamat sudah banyak dijelaskan oleh Al-Qur’an. Akan tetapi khusus yang berkenaan dengan saat terjadinya hari Kiamat itu tidak ada dijelaskan dalam Al-Qur’an. Hal itu hanya berada dalam ilmu Allah semata-mata.

Kita dapat menarik pelajaran dari peringatan ini, bahwa tak seorang manusia pun yang tahu, kapan akan terjadi pada hari Kiamat. Dengan demikian berarti kita tidak boleh mempercayai ramalan orang atau berita bahwa hari Kiamat akan terjadi pada hari, tanggal, bulan dan tahun sekian atau saat tertentu. Peringatan ini berlaku umum untuk masa kapan pun.

Ternyata sampai masa kita sekarang hal ini memang sering terjadi, entah di dunia Barat, di Afrika atau di tanah air kita sendiri, ada saja orang atau golongan yang percaya, bahwa hari Kiamat sudah dekat, akan terjadi pada waktu-waktu tertentu dengan menyebutkan saat akan terjadinya. Banyak orang yang percaya dan tertipu dengan ramalan atau berita yang dibuat orang  dengan mengaku pemuka agama, akibatnya ada yang sampai menelan korban.

  Yang menanyakan saat terjadinya hari Kiamat itu ialah orang Quraisy. Ayat ini turun di Mekah. Di Mekah tidak ada orang Yahudi yang memberitahukan dan mengajarkan kepada orang-orang Quraisy tentang kerasulan, hari berbangkit, surga dan neraka. Berbeda halnya dengan orang Arab Medinah yang sudah banyak bergaul dengan bangsa Yahudi. Mereka sudah mempunyai pengertian tentang kenabian dan hari berbangkit.

Jika orang Quraisy menanyakan tentang hari Kiamat itu maka sebenarnya pertanyan itu dilatar belakangi anggapan mereka bahwa hari Kiamat itu tidak mungkin terjadi dan merupakan suatu berita bohong, Allah menggambarkan pikiran mereka dengan firman-Nya:

يَسْتَعْجِلُ بِهَا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِهَاۚ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مُشْفِقُوْنَ مِنْهَاۙ وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهَا الْحَقُّ ۗ اَلَآ اِنَّ الَّذِيْنَ يُمَارُوْنَ فِى السَّاعَةِ لَفِيْ ضَلٰلٍۢ بَعِيْدٍ  

Orang-orang yang tidak percaya adanya hari Kiamat meminta agar hari itu segera terjadi, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa Kiamat itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya Kiamat itu benar-benar telah tersesat jauh. (asy-Syura/42: 18)

Karena isi pertanyaan itu merupakan keingkaran, maka Nabi Muhammad disuruh untuk menjawabnya dengan jawaban yang sangat bijaksana, Nabi menjawab bahwa persoalan kapan terjadinya hari Kiamat itu bukan persoalan manusia, bukan pula persoalan Nabi, tetapi persoalan itu kepunyaan Allah semata-mata. Hanyalah Dia yang mengetahui saat terjadinya peristiwa kiamat itu, dan bagaimana proses terjadinya. Nabi ditugaskan oleh Allah, untuk memperingatkan tentang kepastian hari Kiamat dan kedahsyatan yang terjadi pada waktu itu sesuai dengan berita  Al-Qur’an.

Orang Quraisy ingin memancing jawaban dari Rasulullah saw, dan dari jawaban itu mereka bermaksud mencemoohkan dan mendustakannya. Dirahasiakannya saat terjadinya hari Kiamat mengandung hikmah yang besar bagi orang-orang yang beriman. Mereka dengan hati pasrah menyerahkan persoalan yang bakal terjadi pada hari Kiamat itu hanya kepada Allah. Dialah yang akan membuka tabir kerahasiaan itu, tak ada orang lain yang menyertainya ataupun yang menjadi perantara dengan hamba-hamba-Nya untuk memberitahukan saat terjadinya hari Kiamat itu. Para nabi hanya bertugas memperingatkan tentang adanya hari Kiamat.

Memang hari Kiamat merupakan beban yang berat bagi penduduk langit dan bumi, karena pada hari itu segala amal perbuatan mereka akan diperhitungkan. Dan juga sukar bagi mereka, karena mereka tidak mengetahui saat kiamat itu terjadi. Kiamat itu akan terjadi dengan tiba-tiba pada saat mereka lalai dan tidak menyadarinya. Bagi orang yang sibuk dengan amal kebajikan, serta tawakal kepada Allah untuk menghadapai hari akhir itu. Kapan pun terjadi peritiwa dahsyat itu, dia sudah siap sedia menghadapinya.

 Kemudian Allah menegaskan lagi kepada Nabi Muhammad, bahwa orang-orang musyrik itu bertanya kepada beliau tentang hari Kiamat, karena mereka menganggap seakan-akan Nabi mengetahuinya. Jika Nabi tidak mengetahuinya, Nabi dapat langsung bertanya kepada Allah. Maka Allah memerintahkan kembali kepada Nabi untuk menandaskan bahwa saat terjadinya hari Kiamat itu tetap rahasia Allah, Dia sajalah yang mengetahui saat terjadinya kiamat itu. tidak ada orang lain yang mengetahuinya, dan tidak ada orang yang akan diberi ilmu untuk mengetahui mengapa Allah merahasiakan terjadinya kiamat itu dan apa hikmat yang terkandung dalam merahasiakan itu. Dan banyak manusia yang tidak tahu mana yang patut ditanyakan dan mana yang tidak patut ditanyakan.

Menurut Zahir, Nabi Muhammad, tidaklah mengetahui saat hari Kiamat itu, beliau hanya mengetahui dekatnya hari Kiamat.

Nabi Muhammad saw bersabda:

بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ وَأَشَارَ بِالسَّـبَّابَةِ وَالْوُسْطَى (رواه الترمذي)

“Aku diutus dan datangnya hari Kiamat itu seperti dua ini, sambil memperlihatkan telunjuknya dan jari tengahnya”. (Riwayat at-Tirmizi);

Maksudnya jarak waktu antara beliau dengan hari Kiamat amat dekat seperti jarak antara dua jari tersebut. Meski pun Allah merahasiakan saat terjadinya hari Kiamat itu, namun Allah telah memberitahukan kepada Nabi Muhammad tanda-tanda sebelum kiamat terjadi. Sebagaimana firman Allah swt:

فَهَلْ يَنْظُرُوْنَ اِلَّا السَّاعَةَ اَنْ تَأْتِيَهُمْ بَغْتَةً ۚ فَقَدْ جَاۤءَ اَشْرَاطُهَا ۚ فَاَنّٰى لَهُمْ اِذَا جَاۤءَتْهُمْ ذِكْرٰىهُمْ  

Maka apa lagi yang mereka tunggu-tunggu selain hari Kiamat, yang akan datang kepada mereka dengan tiba-tiba, karena tanda-tandanya sungguh telah datang. Maka apa gunanya bagi mereka kesadaran mereka itu, apabila (hari Kiamat) itu sudah datang? (Muhammad/47: 18);

Maka suatu tanda yang nyata bahwa kiamat itu sudah dekat, ialah diutusnya Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir kepada umat manusia. Dengan kebangkitan beliau itu sempurnalah bimbingan keagamaan oleh Allah kepada manusia, berarti sempurna pula kehidupan kerohanian dan kehidupan materil namun sesudah kehidupan materi itu mencapai puncaknya tibalah kehancuran dan kemusnahan.

Dalam hadis banyak pula tanda yang menerangkan tentang terjadinya hari Kiamat itu. Di antaranya ialah keinginan manusia memiliki harta-benda atau kebutuhan materinya saling bertentangan dengan keinginannya kepada kepuasan rohani. Pada suatu masa manusia mengutamakan kebutuhan spiritual yang diutamakan, dan kebutuhan materi yang dikalahkan. Kemudian dimenangkan lagi kebutuhan materil bersamaan dengan perkembangan kesesatan, kejahatan, kemungkaran dan kekufuran, hingga datanglah hari Kiamat pada saat manusia bergelimang dalam kejahatan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 188


 

Perbedaan Durasi Waktu Puasa dan Alternatif Hukumnya

0
Durasi Waktu Puasa dan Alternatif Hukumnya
Durasi Waktu Puasa dan Alternatif Hukumnya

Durasi waktu puasa yang kita kenal selama ini adalah dimulai dari imsak sampai adzan maghrib. Namun pertanyaannya, bagaimana dengan daerah-daerah yang pembagian waktu antara siang dan malamnya cenderung ekstrem. Ada kalanya siang berjalan begitu lama, atau sebaliknya waktu malam yang terlampau lama. Katakanlah seperti daerah Skandinavia (semenanjung bagian utara Eropa) yang berpuasa kurang lebih 20-21 jam. Serta daerah-daerah lain yang praksisnya berpuasa lebih dari 18 jam. Dalam ilmu medis diterangkan bahwa selama waktu 18 jam lebih perut tidak boleh kosong. Lantas bagaimana alternatif hukumnya untuk daerah yang durasi siangnya lebih dari 18 jam?

Baca juga:  Surah at-Taubah [9] Ayat 103: Tujuan Zakat Menurut Al-Qur’an

Dari Terbit Fajar hingga Matahari Terbenam

Kalau melihat pedoman Al-Quran, durasi waktu puasa terhitung sejak terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari seperti yang disebutkan dalam QS. Al Baqarah [2]: 187:

وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ

“Dan makan serta minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”

Mengenai QS. Al Baqarah [2]: 187 ini, kita bisa merujuk pada sabda Nabi Saw. ketika ada sahabat yang tidak paham dengan apa yang dimaksud ‘benang putih dan benam hitam’. Kemudian Rasulullah Saw bersabda:

إنما ذلك سواد الليل وبياض النهار

“Sesungguhnya yang demikian itu adalah gelapnya malam dan terangnya siang.” (lihat Imam Bukhari, Sahih al-Bukhari)

Abdul Hamid al-Syarwani pernah mengatakan dalam Hasyiyah ‘ala Tuhfatul Muhtaj:

ألفاظ الشارع إذا وردت منه تحمل على الغالب فيه. والأمور النادرة لا تحمل عليها

“Bila datang lafal (hukum) dari Allah sebagai pembuat syariat, maka diberlakukan pada kondisi yang lazim. Sementara perkara langka, tidak ditanggungkan oleh lafal (hukum) tersebut.”

Baca juga:  Inilah Lima Hakikat Puasa Ramadan menurut Al-Ghazali

Jika demikian, maka konteks pembicaraan ayat di atas adalah masyarakat yang bertempat tinggal di daerah geografis yang mirip dengan Arab, atau daerah-daerah yang peralihan waktu antara siang dan malamnya terbilang normal. Tetapi beda lagi kalau dikaitkan dengan daerah-daerah yang panjang durasi waktu malam dan siangnya tidak normal. Taruhlah seperti daerah kutub Utara dan kutub Selatan. Sebab, semua syariat dalam risalah kenabian menyesuaikan dengan kondisi umum, tidak pada kasus-kasus langka. Sehingga durasi puasa yang kelewat batas/tidak normal menjadi pengecualian sebagaimana yang dikatakan Ibnu ‘Abidin dalam Raddul Muhtar:

لأن القصر الفاحش غير معتبركالطول الفاحش والعبارات حيث أطلقت تحمل على الشائع الغالب دون الخفي النادر

“Pendek yang kelewat batas itu tidak masuk katagori, sama seperti panjang yang kelewat batas. Sementara ketika keterangan itu diungkapkan, diberlakukan pada kenyataan umum yang dominan, bukan pada kenyataan yang tersembunyi yang langka.”

Durasi Waktu Puasa di Berbagai Negara

Pelaksanaan ibadah puasa tahun 2021 di seluruh penjuru dunia menunjukkan bahwa perbedaan lama waktu puasa antar negara berbeda cukup signifikan. Ada yang sekitar 11 jam, sedang perkiraan waktu terpanjang adalah 20 jam. Tahun ini, perkiraan perbedaan durasi waktu puasa tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya. Melansir Tribunnews.com, daftar durasi waktu puasa setiap negara bisa dilihat pada tabel berikut ini:

Nama Negara Durasi Waktu Puasa
Greenland, Islandia 19-20 Jam
Finlandia 18-19 Jam
Swedia, Skotlandia, Norwegia, Denmark, Rusia 17-18 Jam
Jerman, Belanda, Polandia, Ingris, Prancis, Kazakhstan, Belgia, Swiss 16-17 Jam
Rumania, Kanada, Bulgaria, Italia, Spanyol, Portugal, Yunani, China, Amerika Serikat, Korea Utara, Turki 15-16 Jam
Maroko, Jepang, Pakistan, Iran, Irak, Lebanon, Suriah, Mesir, Yerusalem, Kuwait, Palestina, India, Hong Kong, Bangladesh, Oman, Afghanistan, Arab Saudi, Qatar, UEA, 14-15 Jam
Yaman, Ethiopia, Senegal, Nigeria, Sri Langka, Thailand, Sudan, Malaysia, Singapura, Kenya 13-14 Jam
Angola, Indonesia, Brazil, Zimbabwe 12-13 Jam
Afrika Selatan, Argentina, Paraguay, Uruguay, Australia, Cile 11-12 Jam

 Alternatif Durasi Waktu Puasa di Wilayah Tidak Normal

Dalam kasus wilayah yang memiliki pergantian siang dan malam tidak normal, para praktisi fiqih memberikan dua alternatif; 1) Mengikuti waktu Hijaz (Makkah, Madinah dan sekitarnya), karena dua kawasan tersebut merupakan tempat syariat Islam diturunkan; 2) Menyesuaikan dengan perhitungan waktu di negara normal terdekat (lihat Abduh, Tafsir al-Manar, Vol. II: Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah). Alternatif pertama banyak diikuti oleh lembaga-lembaga fatwa seperti Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta Mesir: Fatwa No. 4777 Tanggal 09/07/2013 dan Fatwa No. 3740 Tanggal 31/07/2011). Untuk alternatif ke dua bisa kita lihat dalam al-Hawi li al-Fatawi karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi.

Baca juga: Surah Al-Qadr [97] Ayat 3: Lailatul Qadar Lebih Baik dari Seribu Bulan

Alternatif ke dua ini juga dipakai oleh Alhafiz dalam artikelnya di laman NU Online. Bahwa patokan yang bisa digunakan dalam kasus wilayah yang abnormal adalah perhitungan waktu imsak serta buka puasa dari jadwal negara terdekat di mana durasi siang dan malamnya cenderung berimbang atau kurang lebih berimbang. Sehingga, umat muslim yang tinggal di sana tetap bisa melakukan ibadah puasa tanpa terganggu dengan masalah perbedaan durasi waktu puasa.

Melansir fatwa Lembaga Fatwa Mesir, ketentuan konversi durasi waktu puasa di atas hanya berlaku untuk daerah atau kawasan yang memiliki waktu siang mencapai 18 jam lebih. Sebab, sangat sulit bagi manusia untuk berpuasa selama 18 jam lebih secara berturut-turut setiap hari. Salah satu yang menjadi pertimbangan adalah dari segi kesehatan; bahwa tidak makan dan minum sepanjang 18 jam lebih akan membahayakan tubuh. Kenyataan ini tidak tepat jika dikaitkan dengan tujuan dari pembebanan suatu hukum dalam syariat. Dengan demikian, negara-negara yang memiliki durasi siang sampai 18 jam lebih diperkenankan mengikuti alternatif di atas, seperti Finlandia, Greenland, dan Islandia. Wallahu a’lam []

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 151-159

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembahasan sebelumnya dijelaskan bahwa Allah menetapkan arah kiblat ke arah ka’bah. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 151-159 ini Allah mengingatkan kepada kaum Muslimin untuk bersyukur atas segala nikmat yang dianugerahkan oleh-Nya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 144-150


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 151-159 Allah akan menolong, menguatkan dan memenangkan orang-orang yang berjuang menegakkan kebenaran agamanya. Dan Allah akan menguji kaum Muslimin, siapa yang sabar akan ujian tersebut ialah yang akan mendapatkan kabar gembira.

Ayat 151

Di antara penyempurnaan nikmat itu ialah dengan mengutus seorang rasul, yaitu Muhammad saw, yang membacakan ayat-ayat Allah, membebaskan umat dari penyakit syirik dan kejahatan-kejahatan jahiliyah, mengajarkan Al-Qur’an serta hikmah, dan mengajarkan apa yang belum mereka ketahui, sehingga umat Islam menjadi umat yang memimpin manusia ke arah kemajuan dan kebahagiaan.

Ayat 152

Maka dengan nikmat yang telah dianugerahkan Allah kepada kaum Muslimin, hendaklah mereka selalu ingat kepada-Nya, baik di dalam hati maupun dengan lisan, dengan jalan tahmid (membaca al-Hamdulillah), tasbih (membaca Subhanallah), dan membaca Alquran dengan jalan memikirkan alam ciptaan-Nya untuk mengenal, menyadari dan meresapkan tanda-tanda keagungan, kekuasaan dan keesaan-Nya.

Apabila mereka selalu mengingat Allah, Dia pun akan selalu mengingat mereka pula. hendaklah mereka bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat yang telah dianugerahkan-Nya dengan jalan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya dan dengan jalan memuji serta bertasbih dan mengakui kebaikan-Nya.

Di samping itu, janganlah mereka mengkufuri nikmat-Nya dengan menyia-nyiakan dan mempergunakannya di luar garis-garis yang telah ditentukan-Nya.

Ayat 153

Perjuangan menegakkan kebenaran harus diiringi dengan ke-sabaran dan memperbanyak salat, sehingga menjadi ringan segala kesukaran dan cobaan, karena Allah senantiasa beserta orang-orang yang sabar. Dia akan menolong, menguatkan dan memenangkan orang-orang yang berjuang menegakkan kebenaran agamanya.

Ayat 154

Mempertahankan agama Islam suatu perjuangan. Setiap perjuangan akan meminta pengorbanan. Akan ada yang kehilangan harta benda atau keluarga dan akan ada yang gugur di medan perang dan sebagainya.

Mereka yang gugur di medan perang adalah syuhada di jalan Allah. Mereka itu menduduki tempat yang amat mulia. Maka janganlah dikira bahwa mereka itu mati, tetapi mereka itu hidup di alam lain. Hanya saja manusia tidak menyadari kehidupan mereka itu dan tidak mengetahui hakikatnya.

Mereka hidup dalam alam gaib di mana arwah para syuhada diistimewakan dari arwah manusia lainnya. Semangat dan cita-cita perjuangan mereka itu akan dilanjutkan oleh generasi-generasi sesudahnya sehingga akan tetap hidup selama-lamanya.

Ayat 155

Allah akan menguji kaum Muslimin dengan berbagai ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan (bahan makanan). Dengan ujian ini, kaum Muslimin menjadi umat yang kuat mentalnya, kukuh keyakinannya, tabah jiwanya, dan tahan menghadapi ujian dan cobaan. Mereka akan mendapat predikat sabar, dan merekalah orang-orang yang mendapat kabar gembira dari Allah.

Ayat 156

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar memberitahukan ciri-ciri orang-orang yang mendapat kabar gembira yaitu orang yang sabar, apabila mereka ditimpa sesuatu musibah mereka mengucapkan: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) (Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).

Ayat 157

Kabar gembira itu ialah berita bahwa orang yang sabar itu mendapat berkat, ampunan, rahmat dan pujian dari Allah, dan mereka orang-orang yang mendapat petunjuk kepada jalan yang benar.

Ayat 158

Pada ayat ini kabar gembira itu ditegaskan kembali dengan menjelaskan bahwa Safa dan Marwah adalah salah satu tempat ibadah dan barang siapa ingin mengerjakan ibadah haji, haruslah ia melakukan sa’i antara Safa dan Marwah.

Dengan demikian nyatalah bahwa kaum Muslimin pasti akan berhasil menaklukkan kota Mekah, karena Mekah adalah tempat melakukan ibadah haji yang menjadi rukun kelima dalam Islam yang harus dikerjakan oleh setiap Muslim yang mampu menunaikannya. Karena itu, Masjidilharam dan sekelilingnya harus dibersihkan dari berhala serta kemusyrikan.

Meskipun ada perbedaan pendapat antara imam-imam mazhab mengenai hukum sa’i ini; ada yang menganggapnya sebagai rukun haji seperti Imam Malik dan Imam Syafii dan ada pula yang menganggapnya sebagai wajib haji seperti Imam Abu Hanifah, namun jelas bahwa sa’i itu harus dikerjakan dalam menunaikan ibadah haji.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 28: Manfaat Ibadah Haji dalam Segi Sosial dan Ekonomi


Secara umum, tidak ada perbedaan antara rukun dan wajib, tetapi khusus dalam masalah haji dibedakan antara keduanya. Rukun ialah yang harus dikerjakan atau tidak dapat diganti atau ditebus. Wajib ialah yang mesti dikerjakan tapi jika tertinggal harus diganti dengan membayar denda (dam).

Yang menjadi pertanyaan di sini ialah mengapa dalam ayat ini disebutkan “tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya” padahal itu adalah suatu rukun yang wajib, dan tidak mungkin seseorang yang menunaikan rukun atau wajib akan berdosa.

Hal ini untuk menghilangkan keragu-raguan kaum Muslimin tentang mengerjakan sa’i, karena kaum musyrikin juga mengerjakan sa’i dalam ibadah mereka, seakan-akan apa yang dikerjakan kaum musyrikin itu tidak boleh dilakukan oleh kaum Muslimin dan mereka akan berdosa bila mengerjakannya.

Jadi harus dipahami bahwa maksud mengerjakan sa’i kaum musyrikin berbeda dari kaum Muslimin. Mengerjakan sa’i itu adalah bukti atau perwujudan dari keimanan kepada Allah serta kepatuhan pada perintah-Nya.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa barang siapa yang berbuat kebajikan atau amal ibadah lebih daripada yang diwajibkan kepadanya (mengerjakan yang sunah-sunah), Allah akan mensyukuri amal kebaikan itu dan Allah Maha Mengetahui semua amalan hamba-Nya. Maka janganlah ragu-ragu berbuat kebaikan, karena semua amal itu akan dibalas dengan berlipat ganda oleh Allah.

Ayat 159

Ayat ini turun mengenai pendeta-pendeta Yahudi. Mereka menyembunyikan kepada kaum mereka tentang sifat-sifat Nabi Muhammad yang tersebut dalam kitab suci mereka, agar orang Yahudi jangan masuk Islam.

Ahli Kitab selalu menyembunyikan kebenaran Islam serta kebenaran Nabi Muhammad saw padahal yang demikian itu telah tertulis dengan nyata dan jelas dalam kitab mereka.

Orang-orang itu wajar mendapat laknat dari Allah dan dijauhkan dari rahmat serta kasih sayang-Nya dan wajar pula bila laknat dimintakan untuk mereka oleh malaikat dan manusia seluruhnya.

Hukum mengenai kutukan bagi orang yang menyembunyikan ilmu pengetahuan yang sebenarnya mesti disiarkan dan dikembangkan tidak hanya terbatas pada Ahli Kitab, bahkan mencakup semua orang yang bersikap seperti itu.

Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, beliau bersabda:

مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ

(أخرجه ابن ماجه عن أبي هريرة)

Siapa ditanya tentang suatu ilmu yang diketahuinya tetapi tidak mau menerangkannya kepada penanya itu maka Allah akan membelenggunya dengan belenggu dari api neraka pada hari Kiamat. (Riwayat Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Abu Hurairah berkata, “Kalau tidak karena takut akan ancaman Allah dalam ayat ini (ayat 159) tentu saya tidak akan meriwayatkan suatu hadis pun dari Rasulullah.”

Karena itu seorang Muslim berkewajiban menyampaikan ilmu yang dimilikinya, baik yang berupa pengetahuan agama maupun berupa pengetahuan umum, yang bermanfaat bagi masyarakat.

Bila diketahui akan ada pelanggaran terhadap hukum agama, atau penyelewengan dari akidah yang benar, seperti tersiarnya bid’ah dari aliran-aliran kepercayaan yang bertentangan dengan tauhid, para ulama harus bangun serentak untuk mencegahnya, baik dengan lisan maupun tulisan. Dengan demikian kesucian agama dan kemurniannya akan tetap terpelihara.

Orang Yahudi mendapat laknat karena mereka selalu menyembunyikan kebenaran. Bila mereka melihat sesuatu yang mungkar atau yang tidak benar, mereka diam saja dan tidak berusaha untuk mencegah atau memperbaikinya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 160-163


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surah Hud Ayat 104-109

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 104-109 berbicara mengenai keadaan orang-orang ketika di akhirat. Pada hari itu mereka terbagi menjadi dua golongan. Pertama adalah golongan yang celaka dan kedua adalah golongan yang selamat. Semua itu tergantung amalnya ketika di dunia.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 102-103


Ayat 104

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa hari Kiamat adalah hari dimana segenap makhluk akan berkumpul dan menyaksikan segala amalnya dan tiap-tiap manusia diminta mempertanggungjawabkan amalnya di dunia, tidak akan ditunda dan diperpanjang, tetapi akan berakhir sesuai dengan yang telah ditentukan Allah swt.

Ayat 105

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa jika hari yang telah ditentukan itu tiba, tidak seorang pun dapat berbicara dan berbuat sesuatu kecuali dengan izin Allah, sebagaimana firman-Nya:

هٰذَا يَوْمُ لَا يَنْطِقُوْنَۙ  ٣٥

وَلَا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُوْنَ   ٣٦

Inilah hari, saat mereka tidak dapat berbicara, dan tidak diizinkan kepada mereka mengemukakan alasan agar mereka dimaafkan. (al-Mursalat/77:  35-36)

 Dan firman-Nya:

يَوْمَ يَقُوْمُ الرُّوْحُ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ صَفًّاۙ  لَّا يَتَكَلَّمُوْنَ اِلَّا مَنْ اَذِنَ لَهُ الرَّحْمٰنُ وَقَالَ صَوَابًا  ٣٨

Pada hari, ketika ruh dan para malaikat berdiri bersaf-saf, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan dia hanya mengatakan yang benar. (an-Naba’/78: 38)

Di antara orang-orang yang berkumpul di hari Kiamat itu, ada yang celaka, mereka akan mendapat azab yang pedih sebagaimana yang telah diancamkan kepada orang-orang kafir, dan ada yang berbahagia, mereka akan memperoleh pahala dan kesenangan sepanjang masa sesuai dengan yang telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa.


Baca juga: Surah Maryam [19] Ayat 26: Kisah Maryam Berpuasa Bicara


Ayat 106

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa orang-orang yang termasuk golongan celaka, karena pada waktu mereka di dunia telah merusak akidahnya, mengikuti orang-orang yang sesat perbuatannya, sehingga pudar dan padamlah cahaya iman dari padanya, bergelimang dosa sepanjang masa.

Mereka itu akan dimasukkan ke dalam neraka dan merasakan azab yang pedih seperti halnya seekor himar yang mengeluarkan dan memasukkan nafasnya disertai rintihan dan teriakan yang amat keras.

Ayat 107

Mereka akan kekal di dalam neraka, selama-lamanya kecuali kalau Allah swt menghendaki yang lain, karena Dia Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Apa saja yang dikehendaki-Nya akan terwujud dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan ada.

Ayat 108

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa orang-orang yang berbahagia karena ketika mereka berada di dunia selalu berhati-hati dan menghindari perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah dan menjauhi godaan-godaan yang akan menjerumuskannya ke lembah maksiat, mereka akan ditempatkan di surga, dan kekal di dalamnya selama-lamanya, kecuali Allah swt menghendaki yang lain.

Balasan dan nikmat yang dianugerahkan kepada orang-orang yang berbahagia adalah karunia semata-mata dari Allah swt yang terus menerus tiada putus-putusnya, sesuai dengan firman-Nya:

فَلَهُمْ اَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍۗ  ٦

Mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya. (at-Tin/95: 6)

Ayat 109

Pada ayat ini, Allah swt menghibur Nabi Muhammad saw dan memberi peringatan kepada musuh-musuhnya. Dan bagi orang-orang musyrik penyembah berhala, Allah pasti akan menyiksa mereka karena apa yang disembah mereka, sama saja dengan yang telah disembah oleh nenek moyangnya. Sebagaimana nenek moyang mereka telah disiksa akibat perbuatannya memusuhi nabi-nabi dan menyembah berhala, begitu juga yang akan ditimpakan kepada mereka, tidak dikurangi sedikit pun.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 110-112


(Tafsir Kemenag)

Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Atibba’ al-Tabi’in (3)

0
kajian tafsir
genealogi kajian tafsir di kawasan Yaman

Muhammad Husain al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun menjelaskan bahwa periodisasi perkembangan tafsir terbagi menjadi tiga periode, yaitu periode masa Nabi dan sahabat, periode tabi’in, dan periode pembukuan. Berdasarkan periodisasi tersebut, maka masa atibba’ al-tabi’in ini masuk dalam kategori perkembangan kajian tafsir yang ketiga yaitu fase periode pembukuan (‘ashr al-tadwin). Fase ini dimulai pada masa akhir dinasti Umayyah dan awal pemerintahan dinasti Abbasiyah.

Hampir sama dengan masa sebelumnya, secara umum para ulama tafsir pada masa ini melakukan kajian tafsir berdasarkan metode transmisi sanad riwayat penafsiran Al-Qur’an yang mereka dapat dari para tabi’in. Tidak hanya itu, pada masa ini juga dikenal mulai melakukan pembukuan terhadap kumpulan riwayat hadis.

Salah satu subbab dari pembukuan hadis tersebut adalah subbab tentang riwayat yang berkenaan dengan tafsir Al-Qur’an. Beberapa ulama yang menyusun subab tafsir dalam proses pembukuan hadis antara lain adalah Yazid ibn Harun al-Sulami (w. 117 H), Syu’bah ibn al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ ibn al-Jarah (w. 197 H), dan masih banyak lainya.

Baca Juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Nabi dan Sahabat (1)

Adapun dalam konteks kawasan Yaman, Ali ibn Hassan menjelaskan dalam karyanya yang berjudul al-Tafsir fi al-Yaman: ‘Ardlun wa Dirasah bahwasanya terdapat beberapa ulama yaman yang menjadi tonggak perkembangan kajian tafsir di kawasan Yaman sepeninggal pendahulunya yaitu para tabi’in. Beberapa ulama tersebut antara lain adalah:

Abdullah ibn Thawus al-Yamani

Ulama yang memiliki kunyah (nama panggilan) Abu Muhammad al-Abnawi ini merupakan putra dari pembesar tabi’in Yaman yaitu Thawus ibn Kaisan. Abdullah ibn Thawus banyak meriwayatkan ilmu-ilmu tafsir dari ayahnya sendiri yaitu Thawus ibn Kaisan, kemudian belajar juga kepada Atha’ ibn Abi Rabah, Wahab ibn Munabbih, Ikrimah ibn Khalid dan masih banyak ulama lainya.

Ilmu-ilmu yang dikuasai Abdullah ibn Thawus tersebut kemudia ia ajarkan ke beberapa muridnya, seperti Ayyub ibn al-Sakhtayani, Sufyan al-Tsauri, Sufyan ibn Uyainah, Abdul Malik ibn Juraij, Umar, Ibnu Dinar, Ma’mar ibn Rasyid, dan murid-murid lainya. Proses pengajaran tersebut terus dilakukan hingga akhirnya ia wafat pada tahun 132 H.

al-Hakam ibn Aban Abu Isa al-Adni

Pada awalnya, al-Hakam bukanlah penduduk asli Yaman, karena ia lahir dan menikmati kehidupan masa kecil di Madinah. Namun, ia kemudian pindah dan bertempat tinggal di Yaman, dikarenakan ia diberi tugas untuk menjadi hakim di daerah Adn, Yaman. Selama hidupnya, al-Hakam dikenal sebagai seorang pakar hadis (muhaddits) dan perawi hadis yang tsiqah.

Ia banyak belajar dan banyak meriwayatkan dari beberapa pembesar ulama tabi’in, seperti Ikrimah, Abdullah ibn Thawus, dan ulama lainya. Adapun murid-murid dari al-Hakam ibn Aban Isa al-Adni antara lain adalah Ibrahim ibn al-Hakam, Ibnu Juraij, Ibnu Uyainah, Ma’mar ibn Rasyid, Yazid ibn Abi Hakim dan Ahmad ibn Hanbal. Ia wafat pada tahun 154 H, tepatnya ketika usianya mencapai 84 tahun.

Hammam ibn Nafi’ al-Himyari

Ayah dari seorang pakar hadis di zamanya yaitu Abdurrazaq ibn Hammam ini dikenal sebagai seorang ulama yang ahli ibadah. Bahkan, terdapat ulama yang menyebutkan bahwa selama hidupnya ia telah melakukan haji sebanyak 60 kali. Dalam segi keilmuan, ia belajar ke berbagai pembesar ulama pada masanya, seperti Salim ibn Abdillah ibn Umar ibn al-Khattab, Wahab ibn Munabbih, Abdullah ibn Thawus, Ikrimah, Umar ibn Zaid, Husain ibn Rustum, dan Harun ibn Qais. Ia juga memiliki beberapa murid seperti putranya sendiri yaitu Abdurrazaq ibn Hammam, Abdullah ibn al-Mubarak, dan Ma’mar ibn Rasyid.

Ma’mar ibn Rasyid

Dalam tulisan yang berjudul Juhud Ulama’ al-Yaman fi Tafsir al-Qur’an karya Abdul Wahab al-A’dzami, dijelaskan bahwa Ma’mar ibn Rasyid dilahirkan pada tahun 95/96 H. Semasa kecil, Ma’mar ibn Rasyid lahir dan tumbuh di daerah Basrah. Hingga akhirnya melakukan rihlah ke Yaman. Ketika berada di Yaman, ia menikah dan bertempat tinggal di kota San’a. Sebagai seorang muhaddits, ia benyak meriwayatkan dari al-Zuhri, Yahya ibn Abi Katsir, Hammam ibn Munabbih, Hisyam ibn Urwah, Ayyub al-Sakhtayani, Tsabit al-Battani, al-Hakam ibn Aban al-Adni dan masih banyak guru lainya.

Ketika karir intelektualnya sudah mapan, Ma’mar ibn Rasyid mulai menyampaikan riwayat-riwayat yang ia dapatkan kepada beberapa muridnya, seperti Abu Ishaq, Sa’id ibn Abi Urwah, Sufyan al-Tsauri, Sufyan ibn Uyainah, Ibnu al-Mubarak, Abdul A’la, Hisyam ibn Yusuf, Yazid ibn Zurai’, dan Abdurrazaq ibn Hammam dan masih banyak lainya. Ma’mar ibn Rasyid wafat pada tahun 153/154 H di Yaman, tepatnya ia wafat pada usia 58 tahun.

Selain empat nama ulama yang telah disebutkan tersebut, masih terdapat nam-nama ulama Yaman lain yang juga ikut berkontribusi dalam periode ketiga ini, seperti Atha’ ibn Muslim al-Shan’ani, Tsabit ibn Sa’d al-Ma’ribi, al-Qasim ibn Fayyadl al-Shan’ani, dan ‘Aqil ibn Ma’qil al-Yamani.

Baca Juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Tabi’in (2)

Berdasarkan paparan yang telah disampaikan, Manna’ al-Qattan menyampaikan dalam karyanya Mabahits fi Ulum al-Qur’an bahwasanya pada masa ini memang mulai terjadi penyusunan secara terstruktur terhadap kumpulan riwayat hadis tentang penafsiran Al-Qur’an dalam sebuah subab pembahasan dari kitab hadis.

Namun, penyusunan riwayat-riwayat hadis tentang penafsiran Al-Qur’an tersebut masih tercampur dengan riwayat-riwayat hadis lainya dan belum dalam bentuk kitab tafsir tersendiri. Oleh karena itu, tidak heran jika para ulama yang mengembangkan kajian tafsir pada periode ini, khususnya di kawasan Yaman, ialah ulama yang juga seorang perawi hadis. Wallahu A’lam

Tafsir Surah Hud Ayat 102-103

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 102-103 berbicara mengenai azab-azab yang ditimpakan kepada kaum-kaum terdahulu seperti kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Samud dan lain sebagainya. Semua itu terjadi akibat dari prilaku mereka sendiri.


Baca sebeulmnya: Tafsir Surah Hud Ayat 99-101


Ayat 102

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa azab yang ditimpakan kepada negeri-negeri kaum Nuh, kaum ‘Ad dan kaum Samµd itu juga akan ditimpakan kepada semua negeri yang penduduknya tetap bersifat dan selalu berbuat kerusakan di muka bumi ini.

Tidak ada suatu kaum pun yang akan luput dan terhindar daripadanya apabila Allah swt telah menghendakinya. Sabda Nabi Muhammad saw:

إِنَّ الله َتَعَالَى لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ

(رواه أحمد و البخاري ومسلم و الترمذي عن أبي موسى الأشعري)

Sesungguhnya Allah swt menangguhkan siksaan bagi orang-orang yang zalim sehingga apabila Dia mengazabnya Dia tidak akan meluputkannya. (Riwayat Ahmad, al-Bukhāri, Muslim dan at-Tirmizi dari Abu Mµsā al-Asy’ari)

Sesungguhnya azab Allah itu sangat pedih. Uraian di atas dapat dijadikan pelajaran terutama bagi orang-orang yang zalim, supaya mereka sadar dan menginsafi perbuatannya yang jahat itu.

Tidak ada suatu usaha dan kekuatan bagaimanapun hebatnya yang dapat menghalangi atau membendung azab Allah yang akan ditimpakan-Nya kepada suatu negeri atau suatu kaum. Firman Allah swt:

اَوَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۗ كَانُوْٓا اَشَدَّ# مِنْهُمْ قُوَّةً وَّاَثَارُوا الْاَرْضَ وَعَمَرُوْهَآ اَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوْهَا وَجَاۤءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنٰتِۗ فَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلٰكِنْ كَانُوْٓا اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَۗ  ٩

Dan tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul)? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri) dan mereka telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya melebihi apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang jelas. Maka Allah sama sekali tidak berlaku zalim kepada mereka, tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri mereka sendiri. (ar-Rµm/30: 9) (103)


Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 7: Belajarlah dari Kisah Nabi Yusuf!


Ayat 103

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa apa yang telah dikisahkan tentang kehancuran umat-umat dahulu sebagai akibat dari penganiayaan yang telah dilakukannya, adalah menjadi bahan pelajaran bagi orang-orang yang mau sadar dan takut kepada azab akhirat.

Allah yang menyiksa mereka di dunia ini, tentu mampu pula menyiksa mereka di akhirat kelak dan apa yang meliputi mereka di dunia ini, merupakan gambaran dan contoh dari apa yang akan ditemuinya di akhirat nanti.

Kejadian-kejadian seperti topan, gempa bumi, tanah longsor, dan sebagainya, yang menghancurkan harta benda dan jiwa yang tidak sedikit jumlahnya, adalah azab dan teguran dari Allah swt kepada manusia untuk menyadari kesalahan-kesalahan, dosa-dosa, penganiayaan-penganiayaan yang diperbuatnya, dan bukan hanya bencana alam yang tidak ada sangkut pautnya dengan kekuasaan Allah swt.

Sebelum terjadi hal-hal seperti tersebut di atas, rasul-rasul Allah telah memperingatkan kepada kaumnya akan terjadinya sesuatu, supaya mereka berhati-hati. Itu semua menunjukkan bahwa kejadian-kejadian itu tidaklah secara kebetulan, tetapi erat hubungannya dengan Qada dan Qadar, salah satu rukun iman yang wajib diyakini dan dipercayai, perhatikanlah firman Allah swt:

وَسَيَعْلَمُ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اَيَّ مُنْقَلَبٍ يَّنْقَلِبُوْنَ ࣖ

Dan orang-orang yang zalim kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali. (asy-Syu’ara/26: 227)

Orang-orang yang tidak mau sadar akan peringatan Allah di dunia ini, akan diazab nanti di akhirat, pada hari di mana semua makhluk akan berkumpul untuk dihisab semua amalnya, kemudian dibalas dengan seadil-adilnya. Kejadian itu disaksikan oleh semua makhluk baik manusia, jin, malaikat, maupun makhluk-makhluk yang lain.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 104-109


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Hud Ayat 99-101

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 99-101 berbicara mengenai siksa yang akan dialami oleh orang-orang yang ingkar terhadap utusan Allah Swt. Keadaan mereka yang mendapat siksa baik di dunia maupun di akhirat itu akibat ulah mereka sendiri.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 96-98


Ayat 99

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa Fir’aun beserta kaumnya sejak di dunia telah mendapat laknat dari umat sesudahnya, terus menerus, sampai di akhirat nanti dilaknat lagi oleh orang-orang yang sedang berada di Padang Mahsyar, menunggu keputusan dari Qadi Rabbul Jalil tentang di mana ia akan ditempatkan nanti. Laknat atau kutukan yang mereka peroleh adalah satu hal yang paling buruk. Ayat ini sejalan dengan firman Allah swt:

وَاَتْبَعْنٰهُمْ فِيْ هٰذِهِ الدُّنْيَا لَعْنَةً ۚوَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ هُمْ مِّنَ الْمَقْبُوْحِيْنَ ࣖ  ٤٢

Dan Kami susulkan laknat kepada mereka di dunia ini; sedangkan pada hari Kiamat mereka termasuk orang-orang yang dijauhkan (dari rahmat Allah). (al-Qasas/28: 42)

Ayat 100

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa perisitwa yang telah terjadi pada umat terdahulu dan kejadian-kejadian penting baik di kota maupun di desa-desa sejak dari kaum Nabi Nuh a.s. hingga kaum nabi-nabi sesudahnya, sengaja dicantumkan di dalam Al-Qur’an, supaya Nabi Muhammad dapat membacakan kepada manusia dan dapat pula dibaca oleh orang-orang sepeninggalnya untuk dapat dijadikan pelajaran dan peringatan.

 Di antara negeri-negeri yang telah dibinasakan itu ada yang masih nampak bekas-bekasnya ibarat tanaman yang masih tegak berdiri di muka bumi seperti halnya negeri kaum Nabi Saleh a.s. Ada pula yang tidak mempunyai bekas sama sekali laksana tanaman yang telah dituai yang tidak mempunyai bekas-bekas sedikit pun seperti halnya negeri kaum Nabi Lut a.s. yang telah dijungkirbalikkan itu.


Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim


Ayat 101

Ayat ini menerangkan bahwa dibinasakannya mereka itu bukanlah tindakan aniaya dari Allah, tetapi mereka sendirilah yang menganiaya dirinya yang menyebabkan Allah mengambil tindakan demikian.

Mereka mempersekutukan Allah dan mengadakan kerusakan di muka bumi secara terus-menerus, sehingga azab tidak dapat ditunda-tunda. Andaikata mereka dibiarkan dalam keadaan yang demikian berlarut-larut, niscaya mereka akan tetap saja, malah bertambah-tambah penganiayaan, kejahatan, dan pengrusakannya di muka bumi, sebagaimana kata Nabi Nuh a.s. tentang kaumnya, kepada Allah:

اِنَّكَ اِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوْا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوْٓا اِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا   ٢٧#

Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur. (Nµh/71: 27)

Rasul-rasul yang diutus kepada mereka cukup gigih memberikan pelajaran dan petunjuk, tetapi mereka tetap saja angkuh dan membangkang. Apabila diberi ancaman, mereka makin membangkang dan menentang karena mereka terlalu percaya bahwa tuhan-tuhan sembahannya itulah yang akan menyelamatkan dari segala marabahaya dan azab yang akan menimpanya.

Padahal apabila Allah swt telah memutuskan akan menurunkan azab dan membinasakan suatu kaum, maka sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah swt itu tidak akan bermanfat sedikit pun dan tidak mempunyai daya sama sekali untuk menahan dan menghalangi keputusan Allah.

Kepercayaan mereka kepada sembahan-sembahan mereka itu, tidak lain kecuali hanya menambah kebinasaan dan kehancuran mereka. Mereka percaya bahwa sembahan-sembahan itu akan menimpakan malapetaka kepada nabi yang diutus sebagaimana diceritakan Allah swt di dalam firman-Nya; mengenai kaum Nabi Hud a.s.:

اِنْ نَّقُوْلُ اِلَّا اعْتَرٰىكَ بَعْضُ اٰلِهَتِنَا بِسُوْۤءٍ

Kami hanya mengatakan bahwa sebagian sesembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu. (Hµd/11: 54)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 102-103


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 144-150

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya dibahas mengenai perubahan kiblat dari Baitul Makdis ke Ka’bah. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 144-150 ini masih menerangkan riwayat sebelumnya, Nabi Muhammad meminta kepada Allah agar ditetapkan arah kiblat ke arah ka’bah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 142-143


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 144-150 dijelaskan pemindahan kiblat ke Ka’bah, adalah ketetapan yang benar dari Allah, tetapi orang Yahudi membantah kebenaran ini, mengingkari dan menyembunyikan kebenaran. Tetapi sebagian dari mereka ada yang mengakui kebenarannya serta mempercayai.

Ayat 144

Sebagaimana telah diterangkan dalam riwayat tentang sebab turunnya ayat tersebut di atas, Nabi Muhammad saw ingin sekali agar kiblat itu ditetapkan Allah ke arah Ka’bah. Oleh sebab itu, beliau sering menengadahkan mukanya ke langit menantikan wahyu yang akan memerintahkan perpindahan kiblat itu, Maka, turunlah ayat ini menetapkan perpindahan kiblat tersebut dari Baitulmakdis ke Masjidilharam.

Di sini disebutkan arah Masjidilharam, bukan Ka’bah, sebagai isyarat yang membolehkan kita menghadap “ke arah Ka’bah” pada waktu salat apabila Ka’bah itu jauh letaknya dari kita dan tidak dapat dilihat. Sebaliknya, jika kita dekat dengan Ka’bah, maka kita menghadap Ka‘bah pada waktu salat.

Jadi tidak diwajibkan menghadap ke bangunan Ka’bah itu, kecuali orang-orang yang dapat melihatnya. Dengan demikian, semua kaum Muslimin di berbagai penjuru bumi wajib menghadap  ke arah Ka’bah  dalam salat.

Untuk melaksanakan tugas itu mereka diwajibkan (wajib kifayah) mengetahui ilmu bumi untuk mengetahui arah kiblat dalam salat, sebagaimana mereka sebaiknya mengetahui ilmu falak untuk mengetahui jadwal waktu salat.

Pemindahan kiblat ke Ka’bah, adalah ketetapan yang benar dari Allah, tetapi orang yang kurang akal membantah kebenaran ini, bahkan mereka menimbulkan fitnah dan menyebarkan keragu-raguan di antara Muslimin yang lemah imannya.

Ayat 145

Orang yang berwatak demikian tidak dapat diharapkan bahwa mereka akan kembali kepada kebenaran. Mereka akan tetap dalam kesesatan meskipun diberi alasan dan keterangan serta bukti-bukti yang jelas. Oleh sebab itu, mereka tidak akan mau mengikuti kiblat umat Islam.

Terhadap sesama mereka pun kaum Yahudi dan Nasrani tetap mempertahankan kiblatnya masing-masing. Andaikata kaum Muslimin mengikuti keinginan mereka, tentulah mereka akan termasuk orang-orang yang aniaya.

Ayat 146

Orang Yahudi mengetahui bahwa apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw itu benar, karena mereka telah mengenal Nabi Muhammad dari kitab mereka sendiri. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah swt:

اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ  ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ ࣖ

(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolong-nya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang beruntung. (al-A’raf/ 7: 157)

Orang Yahudi itu mengenal Nabi Muhammad saw karena telah disebut-sebut di dalam Kitab Taurat (lihat al-A’raf/7:157 dan tafsirnya) dengan sifat-sifatnya dan pribadinya lebih daripada mengenal anaknya sendiri.

Diriwayatkan dari Umar, bahwa beliau berjumpa dengan seorang pendeta Yahudi yang telah masuk Islam bernama Abdullah bin Salam, yang berkata demikian, “Saya lebih mengenal Nabi Muhammad daripada mengenal anak saya sendiri.” Umar bertanya kepadanya, “Mengapa?”

Ia menjawab, “Karena aku sedikit pun tidak meragukan bahwa Muhammad itu adalah nabi, sedangkan mengenai anakku, ada saja kemungkinan bahwa ibunya telah berkhianat.” Maka Umar mencium kepala Abdullah bin Salam.

Sebagian orang Yahudi mengingkari dan menyembunyikan kebenaran bahwa Nabi Muhammad saw itu adalah nabi dan bahwa Ka’bah itu adalah kiblat, tetapi sebagian lagi dari mereka ada yang mengakui kebenarannya serta mempercayai dan menerima petunjuknya.


Baca juga: Surah-surah Pendek yang Sunnah Dibaca pada Tiap Rakaat Salat Witir


Ayat 147

Kebenaran itu adalah apa yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, bukan apa yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Dalam hal ini kaum Muslimin tidak boleh ragu. Masalah kiblat ini sebenarnya bukanlah masalah prinsip sebagai asas agama seperti tauhid, iman kepada hari kiamat dan lain-lain, tetapi kiblat ini hanya merupakan suatu arah yang masing-masing umat diperintahkan untuk menghadap kepadanya dalam salat mereka.

Ayat 148

Setiap umat mempunyai kiblat masing-masing. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail a.s, menghadap ke Ka’bah. Bani Israil menghadap ke Baitulmakdis dan orang Nasrani menghadap ke timur, yang prinsip ialah beriman kepada Allah dan mematuhi segala perintah-Nya.

Karena Allah telah memerintahkan agar kaum Muslimin menghadap ke Ka’bah dalam salat, maka fitnah dan cemoohan dari orang yang ingkar itu tidak perlu dilayani, tetapi hendaklah kaum Muslimin bekerja dengan giat, beramal, bertobat dan berlomba membuat kebajikan.

Allah nanti akan menghimpun umat manusia untuk menghitung serta membalas segala amal perbuatannya, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu; tidak ada yang dapat melemahkan-Nya untuk mengumpulkan semua manusia pada hari pembalasan.

Ayat 149-150

Perintah untuk menghadap ke arah Masjidilharam diulangi dalam kedua ayat ini untuk menjelaskan, bahwa perintah itu bersifat umum untuk seluruh umat, masa serta tempat, karena sangat penting serta ada hikmah yang terkandung di dalamnya yaitu agar tidak ada lagi alasan bagi ahli kitab, kaum musyrikin dan munafikin untuk menentang Nabi dalam persoalan pemindahan kiblat.

Hal yang sama berlaku untuk kaum musyrikin yang berpendapat bahwa Nabi dari keturunan Ibrahim akan datang menghidupkan agamanya, sehingga tidak pantas apabila berkiblat kepada selain Ka’bah yang telah didirikan oleh Nabi Ibrahim.

Dengan demikian, batallah alasan-alasan para Ahli Kitab dan kaum musyrikin itu. Orang zalim di antara mereka yang melontarkan cemoohan dan bantahan-bantahan tanpa alasan yang berdasarkan akal sehat dan keterangan dari wahyu tidak perlu dipikirkan dan dihiraukan. Adapun cemoohan mereka itu adalah sebagai berikut:

Pihak Yahudi berkata, “Tiadalah Muhammad itu berpindah kiblat ke Ka’bah, melainkan karena kecenderungan kepada agama kaumnya dan kecintaan kepada negerinya; sekiranya dia berada di atas kebenaran, tentulah ia akan tetap berkiblat ke kiblat para nabi sebelumnya.”

Pihak musyrik berkata, “Ia telah kembali kepada kiblat kita dan akan kembali kepada agama kita.” Dan orang-orang munafik berkata, “Berpindah-pindah kiblat itu menunjukkan bahwa Muhammad dalam keragu-raguan dan tidak berpendirian.” Demikianlah alasan-alasan yang dibuat-buat oleh para penentang agama Islam pada waktu itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 151-159


(Tafsir kemenag)

Surah at-Taubah [9] Ayat 103: Tujuan Zakat Menurut Al-Qur’an

0
Tujuan Zakat
Tujuan Zakat

Umat Islam meyakini bahwa setiap ibadah dalam ajaran Islam memiliki tujuan hikmah tertentu yang tersirat maupun tersurat, baik bersifat internal maupun eksternal. Sebagai contoh, tujuan zakat menurut Al-Qur’an adalah untuk membersihkan harta dan diri pelakunya. Di sisi lain, zakat juga dapat membantu mengentaskan kemiskinan dan mempererat hubungan antar golongan masyarakat.

Zakat adalah ibadah yang memiliki dua dimensi, yaitu vertikal dan horizontal. Zakat merupakan ibadah yang berfungsi sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (hablu minallah; vertikal) dan sebagai bentuk perhatian kepada sesama manusia (hablu minannaas; horizontal). Dua dimensi inilah yang membuat zakat menjadi salah satu tonggak keislaman selain shalat.

Baca Juga: Surah at-Taubah Ayat 60: Delapan Golongan yang Berhak Menerima Zakat

Zakat sering disebut sebagai ibadah kesungguhan dalam harta (maliyah ijtihadiyah). Posisi penting zakat dalam Islam dapat dilihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang menyandingkan perintah zakat dengan perintah shalat. Uslubul qur’an semacam ini memberi makna bahwa zakat adalah ibadah yang memiliki peran penting serupa dengan shalat.

Sama seperti tujuan ibadah lain, tujuan zakat juga terdiri dari berbagai aspek sebagaimana dituturkan Harun Nasution dalam bukunya, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, yaitu: Sarana memperkuat keyakinan dan pengabdian kepada Allah; membangun karakter dan kedisiplinan diri sebagai hamba Tuhan di muka bumi; mempererat persaudaraan dan rasa kasih sayang; dan latihan moral.

Tujuan zakat secara spesifik disebutkan oleh Allah swt dalam surah at-Taubah (9) ayat 103 yang berbunyi:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ١٠٣

Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketenteraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah (9) ayat 103).

Menurut Quraish Shihab, surah at-Taubah (9) ayat 103 berbicara mengenai sekelompok orang yang imannya masih lemah, yang mencampurbaurkan amal baik dan buruk dalam kesehariannya. Mereka ini diharapkan dapat mendapatkan hidayah dan ampunan Allah swt – salah satunya – melalui sedekah dan membayar zakat guna membantu kesulitan sesama muslim.

Karena alasan itulah, dalam surah at-Taubah (9) ayat 103 nabi Muhammad saw diperintahkan mengambil shadaqat, yakni sebagian harta mereka sebagai zakat dan sedekah. Jika zakat tersebut diserahkan dengan penuh ketulusan dan kesungguhan, maka itu akan membersihkan harta dan jiwa mereka serta mengembangkan keduanya (Tafsir al-Misbah [5]: 706).

Selain itu, pada ayat ini nabi Muhammad saw juga diperintahkan mendoakan mereka yang berzakat, berdoalah untuk mereka, guna menunjukkan restu kepada mereka dan memohonkan keselamatan serta kesejahteraan bagi mereka. Doa tersebut akan membuat jiwa mereka yang selama ini takut dan gelisah akibat dosa menjadi tenteram.

Al-Sa’adi menuturkan dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah at-Taubah (9) ayat 103 berisi tentang perintah dan tujuan zakat. Setidaknya ada tiga tujuan zakat yang tercantum pada ayat ini, yaitu: membersihkan mereka dari dosa-dosa dan akhlak tercela; dan menumbuhkan atau menambahkan akhlak yang terpuji pada diri mereka; serta membuat harta mereka berkembang.

Atas dasar ayat inilah al-Sa’adi berpendapat bahwa sunah hukumnya mendoakan orang yang memberi sedekah atau zakat sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad saw, baik doa yang bersifat umum maupun khusus seperti minta diampuni dosa. Doa tersebut diharapkan mampu menenteramkan dan membahagiakan hati mereka.

Hal serupa disampaikan oleh Imam Syaukani dalam Fath al-Qadir. Pada akhir surah at-Taubah (9) ayat 103 Allah sekan berfirman, “Doakanlah mereka setelah engkau (Muhammad) menerima sedekah dari harta mereka. Doamu itu bertujuan agar mereka merasa tenteram pasca dilanda keresahan akibat perbuatan dosa. Yakinlah, Aku Maha Mendengar, Maha Mengetahui semuanya.”

Karena ayat inilah, Imam Syafi’i – sebagaimana dikutip Syekh Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid – menganjurkan penerima zakat untuk berdoa ketika menerima zakat dengan doa sebagai berikut:

آجرك الله فيما أعطيت وجعله لك طهورا وبارك لك فيما أبقيت

Ajarakallahu fi ma a’thaita, wa ja’alahu laka thahura, wa baraka laka fi ma abqaita.

Artinya: “Semoga Allah memberimu ganjaran atas pemberianmu, dan menjadikannya sarana penyucian bagimu, serta memberimu keberkahan dalam harta yang masih ada padamu.

Zakat sendiri terbagi kepada beberapa jenis, di antaranya: Pertama, zakat fitrah yakni zakat yang wajib dibayarkan umat muslim ketika bulan Ramadan atau hari raya Idulfitri, Kedua, zakat harta yakni harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Memberikan Zakat Kepada Orang Tua dan Kerabat Dekat

Ketiga, zakat perdagangan atau tijarah yakni zakat yang berkaitan dengan komoditas perdagangan. Zakat ini memiliki ketentuan yakni diambil dari modal, dan dihitung dari total penjualan barang sebesar 2,5 persen. Selain itu, ada pula ijtihad kontemporer mengenai jenis zakat seperti zakat profesi, zakat saham dan zakat perusahaan dengan analogi pada zakat perdagangan.

Di samping tujuan zakat yang telah disebutkan di atas, zakat sangat bermanfaat bagi perkembangan ekonomi masyarakat, khususnya dalam mengatasi kemiskinan. Melalui zakat akan terbentuk stabilitas ekonomi dan hubungan harmonis antara setiap elemen masyarakat. Bisa dikatakan bahwa zakat mendekatkan seseorang dengan Tuhan dan kemanusiaan. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al A’raf ayat 184-185

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 184-185 mengulas tentang sikap orang-orang Quraisy yang mendustakan Nabi Muhammad dan Allah sangat mencela sikap mereka tersebut. Selengkapnya Tafsir Surah Al A’raf ayat 184-185 di bawah ini.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 177-178


Ayat 184

Dalam ayat ini Allah mencela sikap orang-orang Quraisy yang mendustakan Nabi Muhammad, dan tidak merenungkan kenyataan-kenyataan kepribadian Nabi sendiri. Bahkan karena kejujurannya beliau diberi gelar “Al-Amin”. (Orang yang terpercaya) oleh mereka sendiri. Mengapa mereka tidak merenungkan pula inti dakwahnya, sebagai bukti kerasulannya dan ayat-ayat Al-Qur’an yang menetapkan keesaan dan kekuasaan Allah.

Sekiranya mereka bersedia merenungkan hal yang demikian, tentulah nampak bagi mereka kebenaran, dan tidaklah keluar dari mulut mereka tuduhan bahwa Nabi Muhammad itu orang gila. Dia adalah sahabat mereka semenjak kecil, sedikit pun tidak ada tanda-tanda gila padanya sebagaimana mereka saksikan sendiri dalam perkembangan hidupnya. Allah menceritakan dalam Al-Qur’an tentang tuduhan mereka itu dengan firmannya:

اَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ اَمْ جَاۤءَهُمْ مَّا لَمْ يَأْتِ اٰبَاۤءَهُمُ الْاَوَّلِيْنَ ۖ  ٦٨  اَمْ لَمْ يَعْرِفُوْا رَسُوْلَهُمْ فَهُمْ لَهٗ مُنْكِرُوْنَ ۖ  ٦٩  اَمْ يَقُوْلُوْنَ بِهٖ جِنَّةٌ ۗ بَلْ جَاۤءَهُمْ بِالْحَقِّ وَاَكْثَرُهُمْ لِلْحَقِّ كٰرِهُوْنَ   ٧٠ 

“Maka tidakkah mereka menghayati firman (Allah), atau adakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek-moyang mereka terdahulu? Ataukah mereka tidak mengenal Rasul mereka (Muhammad), karena itu mereka mengingkarinya? Atau mereka berkata: “Orang itu (Muhammad)  gila.” Padahal, dia telah datang membawa kebenaran kepada mereka, tetapi kebanyakan mereka membenci kebenaran.” (al-Mu’minun/23: 68-69-70)

Firman Allah swt:

وَقَالُوْا يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْ نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ اِنَّكَ لَمَجْنُوْنٌ  ۗ

Dan Mereka berkata, “Wahai orang yang kepadanya diturunkan Al-Qur’an, sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar orang gila.” (al-Hijr/15:6);

Tuduhan gila kepada Nabi Muhammad oleh orang kafir Mekah itu sebenarnya sudah menjadi kebiasaan orang-orang kafir zaman dahulu kepada Nabi-nabi mereka, seperti Nabi Nuh, Nabi Musa, dan lain-lainnya.

Firman Allah swt:

كَذٰلِكَ مَآ اَتَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا قَالُوْا سَاحِرٌ اَوْ مَجْنُوْنٌ

Demikianlah setiap kali seorang rasul yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti  mengatakan, “Dia itu pesihir atau orang gila.” (adz-Dzariyat/51: 52)

Sesungguhnya Nabi Muhammad, bukanlah orang gila, tetapi beliau adalah seorang Rasul, seorang yang menyampaikan peringatan kepada manusia tentang azab dan penderitaan yang akan mereka alami jika ingkar kepada Allah dan menolak agama-Nya. Nabi Muhammad hanya memberi nasihat kepada mereka, bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat, baik untuk pribadi ataupun masyarakat hanyalah dicapai dengan agama yang dibawanya.

Ayat 185

Dalam ayat ini Allah mengecam mereka yang mendustakan Rasul. Mengapa mereka tidak memperhatikan apa yang terdapat pada kerajaan langit, dalam ruang angkasa yang sangat luas dengan jutaan bintang-bintang dan sejumlah planet-planet yang belum diketahui secara pasti keadaannya, beserta bulan-bulan yang beredar sekelilingnya di tiap-tiap planet itu. Dan mengapa pula mereka tidak memperhatikan apa yang terjadi di bumi, lautan dan daratan dengan segala hewan dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di alam keduanya? Semua makhluk itu bagaimana kecilnya tunduk kepada suatu hukum yang rapi dan pasti, “Siapakah yang menciptakan hukum atau Sunnah itu?” Sekiranya mereka sejenak merenungkan isi kerajaan langit dan bumi itu tentulah mereka akan memperoleh petunjuk untuk membenarkan kerasulan Muhammad saw, mereka beriman kepada ayat-ayat Al-Qur’an yang dibawanya.

Demikian pula halnya, sekiranya mereka memperhatikan dengan mendalam pada diri mereka sendiri. Manusia sebagai makhluk yang hidup pastilah akan berakhir dengan kematian, cepat atau lambat. Apakah mereka akan menghadap Tuhan dengan membawa amal kejahatan itu?

Orang-orang kafir akan menyadari betapa bijaksananya jika sekiranya mereka menerima peringatan-peringatan dan ajaran-ajaran yang dibawa Rasul. Apa yang dibawa oleh Rasul itu sebenarnya bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akhirat, yakni kepercayaan tentang adanya hari Kiamat dan hari pembalasan, buruk dan baik dan berita kehidupan sesudah mati. Jika mereka tidak percaya kepada ajaran Al-Qur’an yang dibawa oleh Rasul itu, maka adakah ajaran lain atau berita lain yang patut mereka percayai? Jika mereka tidak menemukan berita dan ajaran lainnya, maka Al-Qur’an-lah satu-satunya pilihan dan pegangan bagi mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 186