Beranda blog Halaman 339

Surah al-Isra’ [17] Ayat 7: Hakikat Perbuatan Baik Bagi Manusia

0
Hakikat Perbuatan Baik
Hakikat Perbuatan Baik

Dalam ajaran Islam, seorang muslim diperintahkan untuk melakukan perbuatan baik terhadap diri sendiri, orang lain dan alam sekitar. Perbuatan baik ini ada beragam bentuknya, mulai dari hal yang paling kecil seperti menjaga kesehatan hingga sesuatu yang monumental seperti mereboisasi hutan. Apa pun bentuknya, hakikat perbuatan baik akan kembali pada kebaikan manusia itu sendiri.

Hakikat perbuatan baik telah disebutkan oleh Allah swt dalam surah al-Isra’ [17] ayat 7 yang berbunyi:

اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ فَاِذَا جَاۤءَ وَعْدُ الْاٰخِرَةِ لِيَسٗۤـُٔوْا وُجُوْهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوْهُ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّلِيُتَبِّرُوْا مَا عَلَوْا تَتْبِيْرًا ٧

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. Apabila datang saat hukuman (kejahatan) yang kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu lalu mereka masuk ke dalam masjid (Masjidil Aqsa), sebagaimana ketika mereka memasukinya pertama kali dan mereka membinasakan apa saja yang mereka kuasai.”

Secara umum, surah al-Isra’ [17] ayat 7 berbicara mengenai hakikat perbuatan baik dan buruk. Pada dasarnya setiap perbuatan baik yang dilakukan manusia tidak hanya diperuntukkan bagi obyeknya, melainkan juga bagi pelakunya. Artinya, jika seseorang berbuat baik, maka sebenarnya perbuatan baik itu akan kembali kepada dirinya sendiri, begitu pula sebaliknya.

Baca Juga: Tips Agar Ikhlas dalam Berbuat Baik: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 77

Menurut Quraish Shihab, surah al-Isra’ [17] ayat 7 berisi tentang penegasan hakikat perbuatan baik dan buruk pada ayat sebelumnya, bahwa kebinasaan yang dialami oleh bangsa Israil disebabkan oleh kedurhakaan dan kezaliman yang mereka lakukan, bukan karena orang lain. Sebaliknya, jika mereka mau taat dan bersungguh-sungguh niscaya Allah akan memberikan ganjaran sesuai ketetapan-Nya.

Al-Sa’adi dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan menafsirkan surah al-Isra’ [17] ayat 7 dengan makna, jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Karena sesungguhnya hakikat perbuatan baik akan kembali kepada kalian sebagai pelakunya sebagaimana adanya, baik di dunia maupun di akhirat.

Di sisi lain, jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. Kejahatan yang kembali atau timbal-balik yang dirasakan oleh kalian mungkin tidak akan sama – atau berbeda – dengan perbuatan kalian sebelumnya, namun yang pasti hal itu akan memberi mudharat atau kerugian yang setimpal bagi kalian, baik di dunia maupun di akhirat.

Sedangkan Syeikh Nawawi al-Bantani dalam Marah Labid menuturkan, apabila kalian melakukan perbuatan baik seperti ketaatan, maka kalian telah berbuat baik kepada diri sendiri, karena berkat ketaatan tersebut Allah swt akan membukakan pintu kebaikan bagi kalian. Sebaliknya, jika kalian berbuat kejahatan seperti bermaksiat, maka kalian sebenarnya telah berbuat buruk kepada diri sendiri. Sebab, itu semua dapat mendatangkan siksa Allah swt.

Hal serupa disampaikan oleh Imam al-Syaukani dalam Fath al-Qadir. Menurutnya, jika seseorang berbuat baik – perkataan ataupun tindakan – maka sebenarnya ia telah berbuat baik pada dirinya, karena ganjaran atau pahala dari perbuatan baik tersebut akan kembali padanya. Dan jika seseorang berbuat jahat – perkataan atau tindakan – maka itu akan terjadi atau kembali pula padanya.

Sebagian ulama berpandangan lafaz falaha tidak bermakna perbuatan jahat akan kembali pada pelakunya, sebab huruf lam tidak dikonotasikan kepada sesuatu yang negatif, melainkan positif. Jika surah al-Isra’ [17] ayat 7 bermaksud demikian, seharusnya lafaz yang digunakan bukanlah falaha, tetapi lafaz fa’alaiha sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 286.

Quraish Shihab kemudian mencoba menjelaskan makna tersebut. Menurutnya, penggunaan kata li anfusikum dan falaha pada surah al-Isra’ [17] ayat 7 bertujuan untuk menegaskan bahwa amal seseorang, baik atau buruk, akan tertuju kepadanya secara khusus, bukan kepada orang lain. Artinya, pemaknaan kejahatan akan kembali kepada pelakunya tidaklah salah (Tafsir al-Misbah [7]: 416).

Pandangan ini juga dikatakan oleh Imam Syukani dalam kitabnya Fath al-Qadir. Huruf lam pada kata falaha semakna dengan kata fa’alaiha yang berkonotasi pada sesuatu yang negatif. Sedangkan Ibnu Jarir at-Thabari menyebutkan bahwa lam pada falaha bermakna ila (kepada). Artinya segala perbuatan buruk akan kembali  dampaknya kepada sang pelaku, bukan orang lain.

Quraish Shihab menambahkan, di dunia setiap perbuatan tidak akan berdampak kepada pihak lain kecuali atas izin Allah. Dampak dari suatu perbuatan hanya akan kembali kepada pelakunya, baik maupun buruk. Dengan demikian, tepatlah sudah pesan yang disampaikan dalam surah al-Isra’ [17] ayat 7, bahwa hakikat perbuatan baik dan buruk akan kembali kepada si pelaku.

Baca Juga: Surah Al-Baqarah Ayat 201: Doa Memohon Kebaikan di Dunia dan di Akhirat

Firman Allah swt:

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ ٧ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ ٨

Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”

Terakhir sebagai catatan, surah al-Isra’ [17] ayat 7 hendaknya tidak dimaknai dalam arti perbuatan baik itu dilakukan demi kebaikan sendiri. Akibatnya, seseorang hanya melihat sisi kemanfaatan perbuatan baik tersebut bagi dirinya dan melupakan aspek ketulusan serta keikhlasan. Meskipun hakikat perbuatan baik akan kembali kepada pelakunya, namun seseorang sebaiknya meluruskan niat berbuat baik untuk mengharapkan rida Allah swt. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al A’raf ayat 192-195

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 192-195 ini Allah menegaskan bahwa berhala-berhala yang disembah oleh orang musyrikin itu memiliki derajat yang jauh lebih rendah daripada manusia. Namun sayangnya mereka menolak dan tetap mengutamakan berhala-berhala tersebut


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 190


Ayat 192

Ayat ini seperti ayat-ayat yang lalu menggambarkan penyembah-penyembah berhala pada umumnya, termasuk kemusyrikan Arab Mekah. Allah menjelaskan bahwa sembahan-sembahan kaum musyrikin itu tidak punya kesanggupan apa-apa, baik dalam memberi pertolongan terhadap diri mereka sendiri, ketika terjadi serangan dari musuh kepada penyembah-penyembah itu, ataupun mereka ditimpa oleh malapetaka, patung-patung itu tidak dapat memberikan pertolongan. Bahkan bila ada seseorang mengotori patung-patung itu atau mencuri perhiasannya, niscaya patung itu tidak dapat membela dirinya sendiri. Demikianlah patung-patung itu hanya disembah dan dibela, tetapi menyembah itu tak dapat imbalan apa-apa dari patung itu.

Ayat 193

Allah swt menyatakan dalam ayat ini kepada kaum musyrikin bahwa jika mereka memohon kepada berhala-berhala itu agar memberi petunjuk kepada mereka sebagaimana mereka memohon kepada Allah agar memberi kebaikan, tentulah berhala-berhala itu tidak dapat memberi petunjuk ke jalan yang menuju cita-cita mereka atau ke jalan yang menuju keselamatan mereka dari kesulitan dan kesukaran yang menimpa mereka. Berhala-berhala itu tidak dapat mengikuti keinginan mereka, dan tidak pula memperkenankan permohonan mereka. Keadaannya sama saja apakah penyembah-penyembah berhala itu memohon sesuatu kepada berhala itu ataukah mereka tidak minta apa-apa. Berhala itu tidak akan paham permohonan mereka, tidak mendengar dan tidak pula memikirkan apa yang diucapkan kepada mereka.

Patutkah sesuatu yang memiliki sifat-sifat di atas itu disembah. Seharusnya yang disembah itu ialah Allah Yang memberi manfaat kepada yang menyembah-Nya. Yang memberi hukuman kepada yang berbuat maksiat kepada-Nya. Yang menghancurkan musuh-musuh-Nya. Yang memberikan petunjuk kepada yang taat kepada-Nya, dan mendengarkan doa-doa orang-orang yang berdoa kepada-Nya.

Ayat 194

Dalam ayat ini ditandaskan bahwa sesembahan selain Allah yang menjadi tujuan doa kaum musyrikin itu sebenarnya makhluk seperti mereka. Doa adalah pengharapan dan permintaan dari orang yang mengucapkan kepada siapa saja yang dipandangnya mempunyai kekuatan yang lebih besar dari dia untuk memenuhi pengharapan, baik untuk mendapatkan kemanfaatan ataupun untuk menolak kesusahan dan kerugian.

Mengapa mereka memanjatkan doa kepada berhala-berhala yang sebenarnya adalah makhluk Allah seperti mereka, yang tunduk kepada qudrat dan iradat Allah swt. Sangat tidak logis jika mereka memohon kepada berhala-berhala itu sesuatu yang mereka sendiri, dan juga berhala-berhala itu tidak dapat mencapainya. Seharusnya mereka memanjatkan doa kepada Allah Pencipta dan Pengatur segala sebab dan akibat dalam alam ini. Segala benda mati dan benda hidup di dalam alam ini semua tunduk kepada Sunnah-Nya.

Akan tetapi jika kaum musyrik itu meyakini bahwa kepercayaan mereka benar yaitu berhala itu mampu memberi kemanfaatan ataupun menolak kemudaratan yang tidak sanggup dikerjakan oleh manusia, biarlah mereka berdoa kepada berhala itu kalau doa itu memang dapat dikabulkan oleh berhala itu. Sungguh amat sesat pikiran orang-orang yang memandang bahwa benda mati itu punya daya dan kekuatan seperti Tuhan Pencipta-Nya.

Ayat 195

Dalam ayat ini Allah memperingatkan para pemuja benda-benda itu, bahwa berhala-berhala itu bukan saja tidak sederajat dengan mereka bahkan lebih rendah dari mereka. Berhala-berhala itu tidak memiliki kelengkapan tubuh seperti kaki, tangan, mata dan lain-lain sebagainya, yang dapat mengabulkan permohonan dan tuntutan pemujanya. Benda-benda itu tidak seperti penyembahnya yang keadaannya lebih sempurna dan lebih lengkap.

Peringatan Allah ini merupakan ejekan dan penghinaan kepada kaum musyrikin, tetapi kaum musyrikin itu tidak menginsyafi keadaan diri mereka, bahkan mereka merasa sombong dan takabur. Mereka enggan menerima petunjuk dan pelajaran dari Rasul saw dengan alasan bahwa Rasul itu seorang manusia. Mereka berkata sesama mereka tentang kemanusiaan rasul, sebagimana difirmankan Allah:

وَلَىِٕنْ اَطَعْتُمْ بَشَرًا مِّثْلَكُمْ اِنَّكُمْ اِذًا لَّخٰسِرُوْنَ ۙ

Dan sungguh, jika kamu menaati manusia yang seperti kamu, niscaya kamu pasti rugi. (al-Mu’minun/23: 34);

Di sinilah kejanggalan pikiran mereka. Mereka menolak Rasul karena beliau seorang manusia. Padahal Rasul saw, mempunyai kelebihan pengetahuan, kebijaksanaan dan hidayah dari Allah dibanding dengan manusia lainnya. Mereka lebih mengutamakan patung-patung daripada seorang Rasul. Bahkan mengangkat patung-patung dan benda-benda sembahan sampai ke derajat tuhan.

Maka Allah memerintahkan Rasul untuk menantang mereka dengan mengatakan kepada mereka bahwa jika benar berhala-berhalanya punya kekuatan, suruhlah mereka bersatu untuk membinasakan Rasul saw. Tidak perlu mereka memberi kesempatan menunggu Rasul saw membinasakannya lebih dulu. Tantangan yang demikian itu tidak akan terucapkan oleh Nabi saw sekiranya keimanan kepada pertolongan Allah tidak betul-betul diyakininya.

Tantangan demikian harus diucapkan. Sebab dalil-dalil dan alasan ilmiyah tidak bermanfaat lagi untuk menyatakan kebathilan kepercayaan masyarakat musyrikin Arab itu. Nabi Muhammad diperintahkan untuk meminta kepada mereka agar berhala-berhala mereka membinasakan nabi Muhammad. Tantangan yang demikian itu cukup membuat hati penyembah-penyembah berhala itu gentar.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 186


 

Manusia sebagai Makhluk Terbaik dalam Surah At-Tin Ayat 4

0
makhluk terbaik
makhluk terbaik surah at-tin ayat 4

Artikel ini akan mengulas tentang manusia sebagai makhluk terbaik yang terdapat dalam Q.S at-Tin ayat 4. Allah Swt berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin: 4)

Pernahkah kita sadari, bahwa di antara sekian banyak makhluk ciptaan Allah yang ada di jagat raya ini, kita adalah makhluk terbaik yang Allah hadirkan ke dunia ini.

Jika malaikat diciptakan Allah dengan dibekali akal tanpa nafsu, sementara binatang diciptakan dengan disertai nafsu tanpa akal, maka manusia Allah ciptakan dengan bekal yang komplit, yaitu dilengkapi akal dan nafsu. Dan untuk membimbing akal dan nafsu yang dimiliki manusia itu, Allah menurunkan wahyu berupa kitab suci.

Baca Juga: Memaknai Istilah-istilah Manusia dalam Al-Qur’an Perspektif Bintu Syathi

Husain Mazhahiri dalam bukunya berjudul ‘Awamil as-Saytharah ‘ala al-Gharaiz fi Hayat al-Insan. menjelaskan bahwa secara eksistensial, manusia terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi ruhy dan jismy. Dalam dimensi ruhy terdapat beberapa komponen, antara lain: akal, nurani, hati, dan sebagainya.

Dimensi ini disebut juga sebagai dimensi malakuti (kemalaikatan). Sementara dalam dimensi jismy terdapat beberapa komponen yang, hampir sama dengan yang terdapat pada binatang, seperti insting (naluri), nafsu, dan sebagainya. Oleh karena itu, dimensi ini disebut juga sebagai dimensi hayawani.

Jika seseorang mampu mengoptimalkan dimensi ruhy yang ada dalam dirinya, serta mengendalikan dimensi jismy-nya, maka dia bisa menjadi lebih mulia dari malaikat sekalipun. Sebaliknya, jika dimensi jismy-nya lebih dominan dan mengalahkan dimensi ruhy-nya, maka tidak menutup kemungkinan dia akan menjadi lebih rendah dan hina dari binatang.

Kembali kepada penjelasan ayat di atas, bahwa Allah Swt telah menciptakan manusia dalam bentuk terbaik. Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj menjelaskan bahwa makna fi ahsani taqwim adalah sebaik-baik rupa, sebagus-bagus bentuk, sesempurna-sempurna anggota tubuh, dengan susunan yang tertata rapih dan seimbang. Ditambah lagi dengan ilmu, pemikiran, kalam (komunikasi), kepemimpinan dan kebijaksanaan (hikmah), semakin menegaskan bahwa manusia layak menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi ini.

Dari keterangan ini jelaslah bahwa makhluk terbaik yang diciptakan Allah itu bernama manusia. Segala potensi, keistimewaan, kemuliaan ada pada diri dan selalu melingkupi manusia. Kemuliaan tersebut akan terus ada dan menyertai manusia, jika dia mempertahankan dan menjaganya melalui aktivitas mulia berupa peningkatan kualitas hubungan dengan Allah (hablun minallah) dan hubungan dengan manusia (hablun minannas). Dengan kata lain, kemuliaan manusia akan terjaga dengan baik jika ibadah ritual dan ibadah sosial terjalin erat satu sama lain.

Sebaliknya, jika kualitas hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia terabaikan, atau salah satunya terabaikan, maka kemuliaan yang sudah ada pada dirinya akan berganti dengan kehinaan. Keistimewaan yang melingkupinya akan berubah menjadi kerendahan.

Lanjutan dari ayat di atas menegaskan hal tersebut.

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ

“Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).”

Ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal al-Qur’an menjelaskan bahwa kondisi “serendah-rendahnya” (asfala safilin) pada manusia itu terjadi ketika ia sudah menyimpang dari fitrah yang telah digariskan oleh Allah Swt. Ketika manusia lebih memilih hawa nafsunya, meninggalkan ajaran agamanya, tidak mengindahkan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah, pada saat itulah posisinya jatuh pada tingkat yang serendah-rendahnya (asfala safilin).

Baca Juga: Hakikat Penciptaan Manusia dalam Surah al-Dzariyat ayat 56

Bahkan, menurut Sayyid Quthb, pada kondisi ini, binatang lebih tinggi derajatnya dari manusia, karena mereka tetap pada fitrah yang telah Allah tetapkan, yakni mereka tetap bertasbih kepada Allah. Sedangkan manusia yang diciptakan sebagai makhluk terbaik, menyimpang bahkan menentang aturan Allah Swt.

Al-Qur’an membimbing manusia untuk tetap pada fitrahnya, sehingga selalui berada pada posisi sebagai makhluk terbaik, yaitu dengan tetap memegang teguh keimanan, kemudian menyempurnakannya dengan amal saleh. Dengan cara seperti ini, manusia tetap akan berada pada posisi sebagai makhluk terbaik di antara seluruh makhluk ciptaan Allah yang ada di jagat raya ini.

Tafsir Surah Hud Ayat 116-119

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 116-119 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai celaan Allah Swt kepada orang-orang yang memiliki potensi untuk berbuat baik namun tidak melakukannya. Kedua berbicara mengenai kemungkinan terjadinya penyeragaman umat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 113-115


Ayat 116

Pada ayat ini Allah swt menyatakan celaan-Nya kepada orang-orang pintar, cerdik-pandai yang tidak melarang orang-orang sesamanya berbuat kerusakan di muka bumi, padahal akal sehat dan pikiran cerdas yang mereka miliki itu cukup untuk dapat mengerti dan memahami kebaikan yang diserukan oleh para rasul.

\Hanya sedikit saja di antara mereka yang mempergunakan akal sehat, pikiran, dan kecerdasannya, untuk melarang berbuat yang mungkar dan menyuruh berbuat yang baik.

Mereka yang sedikit itulah yang diselamatkan oleh Allah. Orang-orang dahulu yang cerdik pandai yang zalim lebih mementingkan kemewahan dan kesenangan yang berlebih-lebihan yang menyebabkan mereka itu menjadi sombong, takabur, dan fasik.

Ajakan rasul kepada kebaikan ditentangnya, bahkan mereka berbuat sebaliknya. Kejahatan merebak, tidak ada seorang pun di antara mereka yang melarang orang lain berbuat yang mungkar.

Oleh karena dosa yang mereka perbuat itu sudah terlalu berat, maka Allah membinasakan mereka. Firman Allah:

وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا   ١٦

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu). (al-Isra’/17: 16)

Ayat 117

Pada ayat ini Allah swt menjelaskan bahwa Dia tidak akan membinasakan suatu negeri, jika penduduk negeri itu, masih berbuat kebaikan, tidak berbuat zalim seperti mengurangi timbangan sebagaimana halnya kaum Nabi Syu’aib a.s., tidak melakukan perbuatan liwat (homoseks, sodomi) seperti halnya kaum Nabi Lut a.s., tidak patuh kepada pimpinannya yang kejam dan bengis, seperti halnya Fir’aun, dan kejahatan lain, karena yang demikian, adalah suatu kezaliman. Allah tidak akan menyuruh melakukan yang demikian itu. Firman Allah:

وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ

Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya). (Fu¡¡ilat/41: 46); Dan firman-Nya:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْـًٔا

Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun. (Yµnus/10: 44);

Ayat 118

Ayat ini menjelaskan bahwa kalau Allah menghendaki, maka manusia menjadi umat yang satu dalam beragama sesuai dengan fitrah asal kejadiannya.

Sekalipun pada mulanya manusia itu merupakan umat yang satu tidak terdapat perselisihan di antara mereka, tetapi setelah mereka berkembang biak, timbullah keperluan dan keinginan yang berbeda-beda maka timbul pulalah perbedaan dan perselisihan yang tak habis-habisnya, sebagaimana firman Allah:

وَمَا كَانَ النَّاسُ اِلَّآ اُمَّةً وَّاحِدَةً فَاخْتَلَفُوْا

Dan manusia itu dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih. (Yµnus/10: 19)


Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran Ayat 103: Dalil Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia


Ayat 119

 Perselisihan mereka tidak saja tentang agama yang dianut oleh masing-masing kaum seperti agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Islam, atau syirik, tetapi juga penganut dari satu agama, kecuali orang-orang yang mendapat rahmat dari Allah dan diberi taufik serta hidayah.

Mereka itu bersatu dan selalu mengusahakan persatuan agar manusia taat kepada peraturan dan ketentuan Allah, mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Demikian kehendak Allah mengenai keragaman manusia.

Ada yang mendapat rahmat, taufik, dan hidayah dari Allah, mereka bersatu dan menggalang persatuan, dan mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang bahagia yang akan menjadi penghuni surga.

Ada pula yang tak putus-putusnya berselisih dan mereka termasuk dalam golongan orang-orang yang celaka yang menjadi penghuni neraka. Malik bin Anas pernah berkata, “Manusia itu diciptakan sebagian berada di surga dan sebagian yang lain berada di neraka sa’ir.”

Oleh karena itu Allah mengakhiri ayat ini dengan satu ketegasan bahwa telah menjadi ketentuan-Nya akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia yang selalu berbuat jahat dan dosa di muka bumi ini.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 120-123


(Tafsir Kemenag)

Genealogi Kajian Tafsir Kawasan Yaman: Pasca Atba’ al-Tabi’in Hingga Abad ke-14 H (4)

0
Tafsir kawasan Yaman pasca Atba at-Tabiin
Tafsir kawasan Yaman pasca Atba at-Tabiin

Ali ibn Hassan menjelaskan dalam karyanya yaitu al-Tafsir fi al-Yaman: ‘Ardlun wa Dirasah bahwa pada periode setelah Atba’ al-tabi’in ini, kajian tafsir di kawasan Yaman mengalami perkembangan yang sangat pesat. Salah satu penyebab dari berkembangnya kajian tafsir pada periode ini adalah dikarenakan banyaknya pembesar ulama pada masanya yang berkunjung atau menetap di Yaman, kemudian mengembangkan dan menghidupkan kembali kajian keilmuan Islam di kawasan Yaman.

Beberapa pembesar ulama tersebut antara lain adalah Abdul Malik ibn Abdul Aziz ibn Juraij (w. 150 H), Abu Urwah Ma’mar ibn Rasyid al-Bashri (w. 153 H), Sudyan ibn Uyainah (w. 198 H), Ishaq ibn Rawahah (w. 238 H), dan al-Imam Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H). Keberadaan mereka menjadi salah satu penyebab kajian tafsir berkembang, hingga akhirnya memunculkan banyak mufasir dari Yaman.

Tidak hanya itu, perkembangan kajian tafsir di Yaman pada periode ini juga ditandai dengan dihasilkanya banyak karya tentang tafsir Al-Qur’an. Karya-karya tafsir tersebut terdapat yang berbentuk cetakan buku ataupun masih dalam bentuk manuskrip. Dalam hal ini, penulis akan menyampaikan karya-karya tafsir yang muncul mulai dari akhir abad ke-2 H hingga abad ke-14 H, sebagaimana berikut:

Baca juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Atibba’ al-Tabi’in (3)

Akhir abad ke-2 H: Tafsir al-Qur’an karya Abu Abdillah Muhammad ibn Tsaur al-Yamani (w. 190 H), dan Tafsir al-Qur’an karya Abu Muhammad Musa ibn Abdurrahman al-Shan’ani (w. 190 H). Abad ke-3 H: Tafsir al-Qur’an karya Abdurrazaq ibn Hammam al-Shan’ani (w. 211 H), Tafsir al-Qur’an al-Qasim ibn Ibrahim al-Rasi (w. 246 H), dan Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Yahya ibn al-Husain al-Hadi (w. 298 H).

Abad ke-4 H: al-Syarh wa al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad ibn Yahya al-Murtadla (w. 310 H). Abad ke-5 H: Tafsir al-Gharib min Kitab Allah karya al-Husain ibn al-Qasim, al-Burhan fi Tafsir al-Qur’an karya al-Nashir ibn al-Husain al-Dailami (w. 444 H), al-’Ahd al-Akid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid karya al-Nashir ibn al-Husain al-Dailami (w. 444 H), al-Nur al-Sathi’ fi al-Lail al-Bahim fi Tafsir al-Qur’an al-’Adzim karya Ali ibn Muhammad al-Rasi (w. 500 H).

Abad ke-6 H: al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an karya Nisywan ibn Sa’id al-Himyari (w. 573 H), Gharib al-Qur’an karya Nisywan ibn Sa’id al-Himyari (w. 573 H), Lawami’ al-Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad ibn al-Husain al-Mu’ini (w. 584 H).

Baca juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Tabi’in (2)

Abad ke-7 H: Mukhtashar Tahdzib al-Hakim al-Jasymi karya Muhammad ibn Ahmad al-’Absyami (w. 623 H), al-Bayan fi al-Tafsir karya ‘Athiyah ibn Muhyiddin al-Sha’di (w. 665 H), ‘Umdah al-Qawiy wa al-Dla’if al-Kasyif lima Waqa’a fi Wasith al-Wahidi min al-Tabdil wa al-Tahrif karya Ismail ibn Muhammad al-Hadhrami (w. 676 H), Tafsir al-Qur’an al-Karim karya al-Hasan ibn Abi al-Baqa’ (w. 679 H), al-Muntaha wa al-Bayan wa al-Manar li al-Hairan fi I’rab al-Qur’an wa Asraruhu al-Mu’rabah wa Ma’anihi al-Mu’jamah karya Muhammad ibn Ali al-Shan’ani (w. 680 H).

Abad ke-8 H: terdapat kurang lebih 16 karya tafsir, seperti al-Manhaj al-Qawim fi Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Ali ibn Yahya al-Shibahi (w. 700 H), al-Bustan fi I’rab Musykilat al-Qur’an karya Ahmad ibn Abi Bakr al-Jibli (w. 717 H), al-Raudhah wa al-Ghadir fi Bayan ma Tahtaj al-Ayat al-Syar’iyah min al-Tafsir karya Izzuddin Muhammad ibn al-Hadi al-Hasani al-Yahyuwi (w. 720 H), dan al-Manhaj al-Qawim fi Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Muhammad ibn Idris ibn al-Nashir Ali (w. 736 H). Selain karya tafsir, pada masa ini juga muncul karya tentang ilmu tafsir, seperti al-Taisir fi ‘Ilm al-Tafsir karya al-Hasan ibn Muhammad al-Shan’ani (w. 791 H).

Abad ke-9 H: pada masa ini terdapat 11 karya tafsir yang mayoritasnya fokus mengkaji ayat-ayat ahkam, seperti Taisir al-Bayan li Ahkam al-Qur’an karya Muhammad ibn Nuruddin al-Muza’i (w. 825 H), al-Tsamarat al-Yani’ah wa al-Ahkam al-Wadlihah al-Qathi’ah karya Yusuf ibn Ahmad al-Tsalatsi (w. 832 H), Hashr Ayat al-Ahkam dan al-Qawa’id fi al-Tafsir karya Ibnu al-Wazir (w. 840 H), al-Intiqad li al-Ayat al-Mu’tabarah fi al-Ijtihad karya Ahmad ibn Yahya al-Yamani (w. 840 H), dan Syafi al-’Alil fi Syarh al-Khamsimiah Ayah min al-Tanzil karya Abdullah ibn Muhammad al-Najri (w. 877 H)

Baca juga: Membaca Urgensi Konteks Al-Qur’an dari Tiga Karya Fenomenal Imam Jalaluddin As-Suyuthi

Abad ke-10 H: pada masa ini ditemukan sebanyak 4 kitab tafsir, yaitu Alfiyyah fi Gharib al-Qur’an karya Hamzah ibn Abdillah al-Nasyiri (w. 926 H), al-Tafsir al-Kabir dan al-Takmil al-Syaf fi Ma’ani Kasyf al-Kasyaf karya Muhammad ibn Yahya atau Ibnu Bihran (w. 957 H), serta al-Bayan al-Muwadldlih bi al-Dalil lima Waqa’a min al-Alfadz al-Musykilah fi Ma’alim al-Tanzil karya Jamaluddin Muhammad al-Zabidi (w. 991 H).

Abad ke-11 H: pada masa ini terkumpul sebanyak 10 karya kita tafsir, diantaranya adalah Tafsir al-Khaulani karya Abdurrahman ibn Abdillah al-Khaulani (w. 1003 H), Syudur al-Ibriz fi Lughat al-Kitab al-’Aziz karya Muhammad ibn Abdil Qadir al-Jubani (w. 1015 H), Tafsir Ayat al-Ahkam karya al-Imam al-Qasim ibn Muhammad al-Zaidi (w. 1029 H), al-Dlanain fi Takmilah Tafsir al-Qur’an karya Ali ibn Muhammad al-’Absi (w. 1041 H), dan al-Mashabih al-Sati’ah al-Anwar al-Majmu’ah min Tafsir al-Aimmah al-Athar karya Abdullah ibn Ahmad al-Syarafi (w. 1062 H),

Abad ke-12 H: pada masa ini terdapat 10 karya tafsir, diantaranya adalah Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain karya Ali ibn Muhammad al-Uqaibi (w. 1101 H), al-Ithaf li Thalabah al-Kasyaf karya Shalih ibn Mahdi al-Muqbili (w. 1108 H), ‘Ishmah al-Afham ‘an Mukhalafah al-Auham karya Hasyim ibn Yahya al-Shan’ani (w. 1157 H), dan Mafatih al-Ridlwan fi Tafsir al-Dzikr bi al-Atsar wa al-Qur’an karya Muhammad ibn Ismail al-Shan’ani (w. 1182 H).

Baca juga: Tafsir Al-Jalalain tentang Surah Al-Ahzab Ayat 37 dan Beberapa Komentar Atasnya

Abad ke-13 H: pada masa ini ditemukan sebanyak 6 karya tafsir, diantaranya adalah Fath al-Rahman fi Tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an karya Ibrahim ibn Muhammad al-Shan’ani (w. 1213 H), Taisir al-Manan Tafsir al-Qur’an karya Ahmad ibn Abdilqadir al-Kaukabani (w. 1222 H), Fath al-Qadir al-Jami’ baina Fanniy al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir karya Muhammad ibn Ali al-Syaukani (w. 1250 H), dan Muqaddimah fi ‘Ilm al-Tafsir karya Ahmad ibn Abdirrahman al-Shan’ani (w. 1281 H).

Abad ke-14 H: pada masa terakhir ini, Ali ibn Hassan menyebutkan sebanyak 7 karya tafsir. Beberapa karya tafsir tersebut antara lain adalah al-Tuhfah fi al-Tafsir karya Abdulkarim ibn Abdillah (w. 1309 H), al-Anwar al-Shadi’ah fi al-Tafsir karya Hasan ibn Yahya al-Qasimi al-Dlahyani (w. 1343 H), Ridha Allah al-Akbar kaya Muhammad ibn Ali al-Ghasym (w. 1355 H), al-Ta’liq al-Manba’ li al-Anam ‘an Adillah Syarh Ayat al-Ahkam li al-Najri karya Yahya ibn Muhammad (w. 1370 H), dan al-Burhan fi I’rab Ayat al-Qur’an karya Ahmad Muqiri ibn Ahmad Husain al-Ahdali (w. 1390 H).

Demikian paparan singkat mengenai periode terakhir dari genealogi kajian tafsir di kawasan Yaman. Periode ini ditandai dengan pesatnya perkembangan kajian tafsir beserta munculnya berbagai ulama yang memiliki karangan di bidang tafsir Al-Qur’an maupun ilmu tafsir, mulai akhir abad ke-2 H hingga abad ke-14 H. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Hud Ayat 113-115

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 113-115 berbicara mengenai dua hal. Pertama perintah untuk tidak terpengaruh dengan orang musyrik. Kedua berbicara mengenai Ibadah dan bersabar. Ibadah dan sabar seseorang akan mendapatkan jalan keluar dari segala masalah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 110-112


Ayat 113

Pada ayat ini, Allah swt menandaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad dan menganut agamanya, supaya jangan sekali-kali cenderung kepada orang-orang zalim, yaitu musuh-musuh kaum Muslimin yang selalu menyakitinya dan orang-orang musyrik yang selalu berusaha mengembalikannya kepada kemusyrikan.

Jangan sekali-kali minta bantuan dan pertolongan dari mereka, seakan-akan mereka telah dijadikan pemimpinnya, karena bila hal itu sudah sampai kepada derajat yang demikian, maka termasuklah orang-orang mukmin itu seperti mereka juga yang tidak akan mendapat petunjuk. Firman Allah:

وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ مِّنْكُمْ فَاِنَّهٗ مِنْهُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَ  ٥١

Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (al-Ma’idah/5: 51)

Satu-satunya yang dapat dijadikan pemimpin serta diminta bantuan dan pertolongannya hanya Allah. Barang siapa yang berbuat selain dari itu, maka ia termasuk orang yang zalim yang tak mempunyai penolong, sebagaimana firman Allah:

وَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ   ٧٢

Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu. (al-Maidah/5: 72)

Ayat 114

Ayat ini memerintahkan agar kaum Muslimin mendirikan salat, lengkap dengan rukun dan syaratnya, tetap dikerjakan lima kali dalam sehari semalam menurut waktu yang telah ditentukan yaitu salat Subuh, Zuhur, dan Asar, Magrib, dan Isya. Sejalan dengan ayat ini firman Allah:

فَسُبْحٰنَ اللّٰهِ حِيْنَ تُمْسُوْنَ وَحِيْنَ تُصْبِحُوْنَ  ١٧

وَلَهُ الْحَمْدُ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَعَشِيًّا وَّحِيْنَ تُظْهِرُوْنَ  ١٨

Maka bertasbihlah kepada Allah pada petang hari dan pada pagi hari (waktu subuh), dan segala puji bagi-Nya baik di langit, di bumi, pada malam hari dan pada waktu zuhur (tengah hari). (ar-Rµm/30: 17-18)

Ayat ini menerangkan juga bahwa perbuatan-perbuatan yang baik, yang garis besarnya ialah mengerjakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, antara lain melaksanakan salat, akan menghapuskan dosa-dosa kecil dan perbuatan-perbuatan buruk. Ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad saw:

أَتْبِعُوا السَّيِّئَاتِ بِالْحَسَنَاتِ فَإِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ

(رواه الترمذي عن أبي ذر الغفاري)

Iringilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan yang baik, maka perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk itu. (Riwayat at-Tirmizi dari Abu Zar al-Gifari)

Dan firman Allah:

اِنْ تَجْتَنِبُوْا كَبَاۤىِٕرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُّدْخَلًا كَرِيْمًا   ٣١

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga). (an-Nisa’/4: 31)

Pesan-pesan terdahulu seperti perintah istiqamah, larangan berbuat aniaya dan memihak kepada orang-orang zalim serta perintah mendirikan salat adalah merupakan pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang sadar dan insyaf yang selalu ingat kepada Allah.


Baca juga: Tafsir Surah Hud Ayat 112: Perintah Istiqomah Dalam Kebaikan


Ayat 115

Pada ayat ini, Allah swt memerintahkan supaya berlaku sabar. Yang dimaksud dengan sabar dalam ayat ini ialah tabah dan tahan menghadapi segala kesulitan dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Sabar dan salat adalah dua amal yang kembar yang dapat dijadikan penolong untuk dapat mengatasi segala kesulitan yang dihadapi, sehingga dengan mudah dapat sampai kepada yang dicita-citakan. Tidak sedikit ayat yang menganjurkan supaya sabar dan salat itu dijadikan penolong. Antara lain firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ  ١٥٣

Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar. (al-Baqarah/2: 153); Dan firman-Nya:

فَاصْبِرْ عَلٰى مَا يَقُوْلُوْنَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا ۚوَمِنْ اٰنَاۤئِ الَّيْلِ فَسَبِّحْ وَاَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضٰى  ١٣٠

Maka sabarlah engkau (Muhammad) atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan sebelum terbenam; dan bertasbihlah (pula) pada waktu tengah malam dan di ujung siang hari, agar engkau merasa tenang. (Taha/20: 130)

Ayat ini disudahi dengan suatu penegasan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan seperti sabar, tetapi Allah akan menyempurnakan pahalanya sebagaimana firman-Nya:

اِنَّمَا يُوَفَّى الصّٰبِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ   ١٠

Hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. (az-Zumar/39: 10)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 116-119


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 160-163

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada ayat sebelumnya Allah yang memberi nikmat dan menguji kaum Muslimin. Dan memberikan kabar gembira bagi mereka yang sabar. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 160-163 menerangkan bahwa pintu taubat Allah terbuka untuk mereka yang betaubat sungguh-sungguh.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 151-159


Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 160-163 Allah mengingatkan kaum Muslimin untuk tidak berputus asa dari rahmat-Nya meskipun terlalu banyak dosa yang diperbuat karena Allah Maha Pengampun.

Ayat 160

Orang yang tobat dari kesalahan dan kelalaiannya serta mem-perbaiki dirinya dengan cara mendekatkan diri kepada Allah, menerangkan serta menyebarkan ilmu yang dimilikinya, berani menegakkan kebenaran serta memerangi kemungkaran dikecualikan dan dibebaskan dari laknat Allah.

Bagi orang-orang yang seperti itu walaupun mereka telah terlanjur berbuat kesalahan, namun Allah tetap menyediakan ampunan, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Jadi janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah dan petunjuk-Nya bagaimanapun besar dan banyaknya kesalahan serta dosanya, karena pintu tobat dan rahmat Allah terbuka selebar-lebarnya bagi orang yang insaf dan ingin memperbaiki dirinya.

Ayat 161-162

Orang-orang kafir, termasuk para Ahli Kitab yang tidak bertobat, kemudian mati dalam kekafiran, mereka tetap mendapat laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam neraka, tidak akan diringankan siksaan mereka dan tidak akan ditangguhkan.

Demikian nasib mereka kelak pada hari kiamat, tidak ada kesempatan lagi untuk bertobat dan mengerjakan amal saleh, dan andaikata mereka sanggup memberikan emas sebesar bumi untuk menebus kesalahan mereka, pasti tidak akan diterima Allah sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَمَاتُوْا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْ اَحَدِهِمْ مِّلْءُ الْاَرْضِ ذَهَبًا وَّلَوِ افْتَدٰى بِهٖۗ  اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ وَّمَا لَهُمْ مِّنْ نّٰصِرِيْنَ ࣖ   ۔

Sungguh, orang-orang yang kafir dan mati dalam kekafiran, tidak akan diterima (tebusan) dari seseorang di antara mereka sekalipun (berupa) emas sepenuh bumi, sekiranya dia hendak menebus diri dengannya. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang pedih dan tidak memperoleh penolong. (Ali ‘Imran/3: 91)


Baca juga: Kapankah Datang Pertolongan Allah Swt? Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 214


Ayat 163

Allah Tuhan yang Maha Esa, yang Maha Pemurah, Maha Penyayang. Dialah yang berhak disembah dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dengan menyembah berhala-berhala dan lain sebagainya, seperti yang dilakukan oleh sebagian Ahli Kitab, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَۚ وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوْٓا اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ  لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah dan (juga) Al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan. (at Taubah/9: 31)

Dialah yang Maha Pengasih lagi Maha Pemurah, yang sangat luas dan banyak rahmat-Nya dan tidak boleh meminta pertolongan (dalam hal-hal yang di luar kesanggupan kodrat manusia) kecuali kepada-Nya, karena meminta rahmat dan pertolongan kepada selain-Nya adalah syirik dan berarti mengakui adanya kekuatan selain dari kekuasaan-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 164


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surah Al A’raf ayat 188-191

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 188-191 ini Allah menegaskan bahwa perkara dunia banyak yang membawa manfaat dan banyak pula yang membawa mudarat, semua perkara tersebut berasal dari ridhanya Allah. Selain itu dalam Tafsir Surah Al A’raf ayat 188-191 khususnya dalam ayat 190 Allah sangat mencela perbuatan kaum yang menyembah berhala. 

Selain itu pada ayat 189 dalam Tafsir Surah Al A’raf ayat 188-189 ini dijelaskan pula bahwa manusia diciptakan dari pasangan perempuan dan juga laki-laki.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 186-187


Ayat 188

Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, untuk menegaskan kepada umat manusia, bahwa segala perkara di dunia ini membawa baik yang  manfaat atau mudarat adalah berasal dari Allah. Nabi Muhammad sendiri walau pun dekat pada Allah tidaklah menguasai kemanfaatan dan kemudaratan sehingga dia dapat mengatur menurut kehendak-Nya.

Kaum Muslimin pada mulanya beranggapan bahwa setiap orang yang menjadi Rasul tentulah dia mengetahui perkara-perkara yang gaib, memiliki kemampuan di luar kemampuan manusia biasa, baik untuk mencari sesuatu keuntungan ataupun menolak sesuatu kemudaratan untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Untuk memperbaiki kekeliruan pandangan ini, Allah menyuruh Rasulullah untuk menjelaskan bahwa kedudukan Rasul tidak ada hubungannya dengan hal yang demikian itu. Rasul hanyalah pemberi petunjuk dan bimbingan, tiadalah dia mempunyai daya mencipta atau meniadakan. Apa yang diketahuinya tentang hal-hal yang gaib adalah yang diberi tahu oleh Allah kepadanya.

Sekiranya Nabi saw mengetahui hal-hal yang gaib, misalnya mengetahui peristiwa-peristiwa pada hari mendatang, tentulah Nabi saw mempersiapkan dirinya lahir batin, moril dan materil untuk menghadapi peristiwa itu dan tentulah beliau tidak akan ditimpa kesusahan.

Sebenarnya Rasul saw adalah manusia biasa. Perbedaan dengan orang biasa hanyalah terletak pada wahyu yang diterimanya dan tugas yang dibebankan kepada beliau, yakni memberikan bimbingan dan pengajaran yang telah digariskan Allah untuk manusia. Nabi hanyalah memberi peringatan dan membawa berita gembira kepada orang yang beriman.

Ayat 189

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan dari jenis yang satu, dan dari jenis yang satu itu diciptakan pasangannya, maka hiduplah mereka berpasangan pria-wanita (suami-isteri) dan tenteramlah dia dengan isterinya itu. Hidup berpasangan suami-isteri merupakan tuntutan kodrati manusia rohaniyah dan jasmaniah. Bila seseorang telah mencapai usia dewasa, timbullah keinginan untuk hidup berpasangan sebagai suami-isteri, dan dia akan mengalami keguncangan batin apabila keinginan itu tidak tercapai.

Sebab dalam berpasangan suami-isteri itulah terwujud ketenteraman. Ketenteraman tidak akan terwujud dalam diri manusia diluar hidup berpasangan suami-isteri. Maka tujuan kehadiran seorang isteri pada seorang laki-laki di dalam agama Islam ialah menciptakan hidup berpasangan itu sendiri. Islam mensyariatkan manusia agar mereka hidup berpasangan suami-isteri, karena dalam situasi hidup demikian itu manusia menemukan ketenteraman dan kebahagian rohaniyah dan jasmaniah.

Bila kedua suami-isteri itu berkumpul, mulailah isterinya mengandung benih. Saat permulaan dari pertumbuhan benih itu terasa ringan. Pertama-tama terhentinya haid dan selanjutnya benih itu terus berproses, perlahan-lahan. Maka ketika kandungannya mulai berat, ibu-bapak memanjatkan doa kepada Allah agar keduanya dianugerahi anak yang saleh, sempurna jasmani, berbudi luhur, cakap melaksanakan tugas kewajiban sebagai manusia. Kedua, isteri itu berjanji akan mewajibkan atas dirinya sendiri untuk bersyukur kepada Allah karena menerima nikmat itu dengan perkataan, perbuatan dan keyakinan.

Ayat 190

Allah memperkenankan doa kedua suami-isteri itu dengan menganugerahkan anak yang saleh kepada keduanya. Tetapi kemudian mereka tidaklah bersyukur kepada Allah atas nikmat itu, bahkan mereka menisbahkan anak yang saleh itu kepada berhala-berhala dengan mengatakan bahwa anak itu hamba dari patung-patung, atau mereka hubungkan anak itu kepada binatang-binatang atau kepada alam. Mereka tidak mengatakan anak itu sebagai anugerah Allah. Oleh karena itu mereka tidak bersyukur kepada Allah. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan.

Ayat 191

Kemudian Allah dalam ayat ini mencela keras sikap, pikiran dan tingkah laku orang-orang yang menyembah berhala yang tidak dapat menciptakan sesuatu pun walaupun hanya benda-benda yang rendah nilainya, karena berhala-berhala itu sendiri dibikin oleh tangan manusia. Tidaklah wajar bagi orang-orang yang punya pikiran menjadikan berhala itu sebagai sembahan, baik dia dipandang sebagai sekutu Allah dalam menerima ibadah ataupun sebagai perantara antara manusia dengan Allah. Sebab segala pujian atau sembahan kepada selain Allah sedikitpun tidak ada faedahnya. Firman Allah swt:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ لَنْ يَّخْلُقُوْا ذُبَابًا وَّلَوِ اجْتَمَعُوْا لَهٗ ۗوَاِنْ يَّسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْـًٔا لَّا يَسْتَنْقِذُوْهُ مِنْهُۗ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوْبُ 

Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka.  Mereka tidak dapat merebut kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah. (al-Hajj/22: 73)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 193


 

Tiga Imam Qira’ah yang Concern Pada Kajian Rasm

0
Tiga Imam-imam Qira’ah
Tiga Imam-imam Qira’ah

Pada tulisan yang lalu berjudul Menjawab Kritik Ignaz Goldziher atas Relasi Qira’ah dan Rasm, penulis telah memberikan sedikit penjelasan terkait dengan sejarah terbentuknya hubungan antara qira’ah dan rasm Al-Qur’an. Bahwa model rasm yang semula disusun berdasarkan qira’ah kemudian berbalik menjadi validator atas ragam qira’ah shahihah.  Kali ini penulis hendak memberikan gambaran kedekatan keduanya melalui sajian karya-karya terdahulu dalam bidang ilmu rasm, yang ternyata ditulis oleh imam-imam qira’ah.

*****

Sejumlah mushaf yang didistribusikan Khalifah ‘Utsman ke berbagai wilayah Islam kala itu, Madinah, Mekah, Syam, Kufah, dan Basrah, menjadi sumber kajian yang sangat inspiratif bagi umat Islam. Setidaknya dua bidang kajian mengalami trend peningkatan yang positif, qira’ah dan rasm. Pola-pola kajian keduanya juga relatif serupa: kajian partikular terhadap satu model mushaf saja, atau lebih luas, komparasi keseluruhan mushaf yang ada.

Baca juga: Penelusuran Pengaruh Kajian Awal Rasm Turats Pinggiran

Sayangnya, catatan sejarah yang relatif familiar khususnya adalah yang berkaitan dengan qira’ah. Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam daftar rincian panjang nama pakar qira’ah baik dari thabaqah sahabat, tabi‘ien, maupun era-era setelahnya hingga pada imam tujuh di berbagai karya ilmu-ilmu Al-Qur’an. Sementara data-data yang berkaitan dengan rasm tidak demikian.

Namun menariknya, dari sedemikian minimnya data yang ada pada rasm, ternyata mampu menunjukkan bahwa kajian mengenai qira’ah dan rasm di era awal Islam sangat dekat dan selalu berjalan beriringan.

Tiga imam qira’ah yang concern pada kajian rasm

Dari catatan yang diberikan oleh Zainal Arifin, menukil dari Ganim Qadduri al-Hamd dalam Juhud al-Ummah fi Rasm al-Qur’an al-Karim, serta Ahmad bin Ahmad bin Mu‘ammar Syirsyal dalam pengantarnya terhadap Mukhtashar al-Tabyin li Hija’ al-Tanzil karya Abu Dawud Sulaiman bin Najah, disebutkan bahwa sedikitnya tiga dari tujuh imam qira’ah mempunyai concern terhadap kajian rasm. Mereka adalah Ibn ‘Amir al-Syamiy, Hamzah al-Kufiy, dan ‘Ali al-Kisa’iy.

Baca juga: Ilmu Rasm dalam Filologi Mushaf Al-Quran Kuno dan Upaya Kritik Teks

Ibn ‘Amir memiliki nama lengkap ‘Abdullah bin ‘Amir al-Yahshubiy, wafat pada tahun 118 H. Beliau adalah seorang tabi‘ien yang sempat menjabat qadli pada era Al-Walid bin ‘Abd al-Malik di Damaskus. Beliau mengambil qira’ah dari Al-Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumiy dari ‘Utsman bin ‘Affan. Dua perawi yang dimilikinya adalah Hisyam bin ‘Ammar (w. 245 H.) dan ‘Abdullah bin Ahmad Ibn Dzakwan (w. 242 H.).

Karyanya dalam bidang rasm adalah Ikhtilaf Mashahif al-Syam wa al-Hijaz wa al-‘Iraq dan Maqthu‘ al-Qur’an wa Maushuluh. Dilihat dari namanya, karya Ibn ‘Amir ini merupakan upaya komparasi terhadap mushaf-mushaf yang dikirim oleh ‘Utsman. Bahkan tampak bahwa Ibn ‘Amir sangat berupaya membandingkan seluruh mushaf yang ada: Syam, Hijaz meliputi dua kota, Mekah dan Madinah, dan Iraq yang menggabungkan Kufah dan Basrah.

Hamzah bin Habib bin ‘Imarah al-Zayyat al-Faradli al-Taimiy adalah nama lengkap Hamzah. Beliau wafat di Halwan tahun 156 H. pada masa kepemimpinan Abu Ja‘far al-Manshur. Beliau mengambil riwayat kepada Sulaiman bin Mihran al-A‘masy kepada Yahya bin Watstsab kepada Zir bin Hubaisy kepada ‘Utsman, ‘Ali dan ‘Abdullah bin Mas‘ud. Dua perawi yang dimilikinya adalah Khalaf bin Hisyam (w. 229 H.) dan Khalad bin Khalid (w. 220 H.). Karyanya dalam bidang rasm adalah Maqthu‘ al-Qur’an wa Maushuluh.

‘Ali al-Kisa’iy memiliki nama lengkap Abu al-Hasan ‘Ali bin Hamzah bin Abdillah bin Bahman bin Fairuz al-Asadiy al-Kufiy al-Kisa’iy. Bersama Hamzah dan ‘Ashim, beliau merupakan qurra’ Kufah. Dalam beberapa catatan biografinya, beliau lebih masyhur dikenal sebagai tokoh ilmu Nahwu bersanding dengan Imam Sibawaih. Beliau wafat pada tahun 189 H. Dua perawi yang dimilikinya adalah Abu al-Harits al-Laits bin Khalid (w. 240 H.) dan Hafsh al-Duriy (w. 246) yang juga menjadi perawi dari Abu ‘Amr.

Diantara karya-karyanya dalam bidang rasm adalah Ikhtilaf Mashahif Ahl al-Madinah wa Ahl al-Kufah wa Ahl al-Basrah, Maqthu‘ al-Qur’an wa Maushuluh dan Al-Hija’ li al-Mashahif. Seperti halnya era Ibn ‘Amir, karya rasm di era Al-Kisa’i termasuk juga miliknya memiliki nuansa komparasi terhadap mushaf-mushaf ‘Utsman. Selain itu juga diketahui bahwa terminologi rasm belum cukup populer dan masih menggunakan term lain, yakni hija’.

Keberadaan karya-karya ini, yang ditulis oleh para imam qira’ah, menjadi bukti kedekatan hubungan antara qira’ah dan rasm. Lebih jauh bahwa rasm ternyata telah menjadi pusat perhatian (mahal al-i‘tina’) para imam qira’ah, disamping qira’ah itu sendiri. Maka tidak berlebihan jika Al-Farmawy dalam Rasm al-Mushhaf wa Naqthuhu mengatakan, “Para imam qira’ah sepakat (ijma‘) akan keharusan rasm (marsum al-mashahif)”. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Tafsir Surah Hud Ayat 110-112

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 110-112 berbicara mengenai orang-orang yang ingkar terhadap Kitabullah. Adapun inti pembahasannya adalah agar Nabi Muhammad Saw tidak sedih terhadap orang-orang yang ingkar karena Nabi Musa a.s pernah mengalami hal yang sama.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 104-109


Ayat 110

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa Dia telah memberikan kitab Taurat kepada Musa a.s., kemudian kitab Taurat itu diperselisihkan oleh kaumnya, apakah kitab Taurat itu betul dari Allah atau bukan?

Ada di antara mereka yang percaya, bahwa kitab Taurat itu betul-betul dari Allah dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu, Nabi Muhammad tidak perlu merasa gusar kalau dia melihat orang-orang kafir Mekah meragukan Al-Qur’an, baik isi maupun kebenarannya.

Andaikata tidak ada ketentuan dari Allah untuk menangguhkan kepada orang-orang yang zalim dan ingkar sampai kepada waktu yang telah ditetapkan, tentunya Allah mengazab mereka sebagaimana telah mengazab dan menghancurkan orang-orang yang menentang dakwah rasul dahulu sebelum Nabi Muhammad saw. Sejalan dengan isi ayat ini, Allah berfirman:

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللّٰهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظّٰلِمُوْنَ ەۗ اِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيْهِ الْاَبْصَارُۙ  ٤٢

Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak, (Ibrāhim/14: 42)

Pada akhir ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang mendustakan kitab Allah benar-benar dalam keraguan dan kebimbangan yang sangat dalam, sebagaimana firman Allah:

وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ    ١٤

Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur’an) itu. (asy-Syµrā/42: 14)


Baca juga: Bagaimana Sikap Kita Terhadap Ajaran dalam Kitab Taurat dan Injil?


Ayat 111

Pada ayat ini Allah swt menegaskan bahwa orang-orang yang memperselisihkan tentang kebenaran Al-Qur’an dan meragukan kedatangannya dari Allah, maka Allah akan menyempurnakan balasan perbuatan mereka baik di dunia maupun di akhirat, karena Allah Maha Mengetahui apa yang telah mereka kerjakan. Firman Allah:

ذٰلِكَ بِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْكُمْ وَاَنَّ اللّٰهَ لَيْسَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِۚ   ١٨٢

Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan sesungguh-nya Allah tidak menzalimi hamba-hamba-Nya. (Ali Imran/3: 182); Dan firman-Nya:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهٖ ۙوَمَنْ اَسَاۤءَ فَعَلَيْهَا ۗوَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ  ۔   ٤٦

Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya). (Fussilat/41: 46)

Ayat 112

Ayat ini memberikan tuntutan kepada Nabi Muhammad saw terhadap apa yang semestinya ia perbuat pada waktu umatnya melancarkan tantangan, dan meragukan Al-Qur’an yang dibawanya.

Dia diperintahkan untuk tetap pada pendiriannya, berjalan di atas jalan yang lurus, menyampaikan syariat yang diamanatkan kepadanya, melaksanakan risalahnya dan jangan sampai terlintas di dalam hatinya akan meninggalkan sebagian dari apa yang telah diwahyukan kepadanya, karena kekejaman fitnahan umatnya, sebagaimana firman Allah:

فَلَعَلَّكَ تَارِكٌۢ بَعْضَ مَا يُوْحٰىٓ اِلَيْكَ وَضَاۤىِٕقٌۢ بِهٖ صَدْرُكَ

Maka boleh jadi engkau (Muhammad) hendak meninggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan dadamu sempit karenanya. (Hµd/11: 12)

Begitu pula orang-orang yang telah sadar dan insyaf serta tobat dari kemusyrikan dan kekafiran dan telah beriman bersama Muhammad saw supaya tetap dalam pendiriannya, mempertahankan akidah tauhidnya dan jangan sekali-kali bergeser dari jalan yang lurus dan benar yang telah diimani dan diyakininya, karena Allah melihat dan mengetahui semuanya itu. Sejalan dengan ayat ini, Allah berfirman:

فَلِذٰلِكَ فَادْعُ ۚوَاسْتَقِمْ كَمَآ اُمِرْتَۚ وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَهُمْۚ وَقُلْ اٰمَنْتُ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنْ كِتٰبٍۚ وَاُمِرْتُ لِاَعْدِلَ بَيْنَكُمْ ۗ اَللّٰهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۗ لَنَآ اَعْمَالُنَا وَلَكُمْ اَعْمَالُكُمْ ۗ لَاحُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ ۗ اَللّٰهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۚوَاِلَيْهِ الْمَصِيْرُ ۗ   ١٥

Karena itu serulah (mereka beriman) dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka dan katakanlah, ”Aku beriman kepada Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan agar berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal perbuatan kami dan bagi kamu amal perbuatan kamu. Tidak (perlu) ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah (kita) kembali.” (asy-Syµra/42: 15)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 113-115


(Tafsir Kemenag)