Beranda blog Halaman 338

Surah Al-Baqarah Ayat 124, Ujian Allah Swt Kepada Nabi Ibrahim As

0
Nabi Ibrahim As
Nabi Ibrahim As

Kedudukan Nabi Ibrahim as menempati posisi yang sangat istimewa disisi Allah Swt. Ia tidak hanya sebagai nabi dan rasul yang diutus Allah untuk umat manusia, disamping itu Nabi Ibrahim juga merupakan leluhur bani Isra’il.

Keistimewaannya tersebut, tidak lepas dari doanya yang telah dikabulkan Allah karena ketaqwaanya. Ujian Allah kepada nabi Ibrahim menempatkannya sebagai pemimpin dan teladan bagi umat sesudahnya.

Dalam Kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Al-Fadl Al-Qur’an, Fuad al-Baqi’ menjelaskan bahwa secara etimologi kata ujian dalam al-Qur’an disebutkan dengan lafadz ابتلى sebanyak 8 kali dalam al-Qur’an yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 124, al-fajr ayat 15 dan 16, al-Insan ayat 2, Ali Imron ayat 152 dan 154, an-Nisa’ ayat 6 dan al-azhab ayat 11.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 68-69: Fakta Menarik di Balik Pembakaran Nabi Ibrahim

Sedangkan dalam Lisan al-Arab makna lafadz  ابتلى sama dengan اختبر yang berarti menguji baik berupa ujian kebaikan ataupun ujian kejelakan, sehingga beberapa ayat tersebut sama bermakna menguji atau diuji, baik berupa ujian Allah terhadap Nabi Ibrahim maupun Umat Islam secara umum. Namun ujian yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim as hanya disebut sekali dalam al-Qur’an, yakni dalam surat al-Baqarah ayat 124.

۞ وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” 

Wahbah az-Zuhaily dalam karya nya Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al’Manhaj, mengatakan bahwa ujian Allah kepada nabi Ibrahim pada ayat diatas disebutkan menggunakan lafadz ابتلى ابراهيم ربه بكلمات yang bermakna Allah menguji nabi Ibrahim dengan beberapa kalimat.

Dalam konteks ini, ujian Allah merupakan sebuah pilihan bagi nabi Ibrahim antara menunaikan atau berpalung darinya. Hanya saja ujian bagi seorang hamba dari tuhannya tentu merupakan sebuah perintah yang harus ditunaikan.

Wahbah az-Zuhaily juga memahami bahwa ujian Allah kepada Nabi Ibrahim as mengandung makna tentang keutamaan bagi nabi Ibrahim, sebab dalam ayat ini pula, Allah mengabarkan tentang balasan kepada Nabi Ibrahim berupa kemulian baginya.

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, ada penjelasan bahwa secara umum ulama’ tafsir sependapat bahwa ujian Allah bagi nabi Ibrahim merupakan suatu perintah dan larangan untuk menguji seberapa tinggi tingkat ketakwaan nabi Ibrahim.

Namun, spesifik ujian Allah dengan lafadz بكلمات menimbulkan perdebatan dan pertanyaan apa maksud dari beberapa kalimat tersebut. Ibnu Katsir turut menafsirkannya sebagai kalimat al-Qadriyah atau asy-Syari’ah yakni berupa syar’iat tentang perintah dan larangan Allah Swt. Ia mengkolerasikan lafadz بكلمات dalam arti syari’at dengan keterangan yang ada dalam surat at-tahrim ayat 12 dan al-An’am ayat 115.

Perbedaan penafsiran tentang makna بكلمات tidak lepas dari tidak adanya keterangan ayat al-Qur’an dan hadis nabi yang menjelaskan tentang ayat tersebut. Walaupun perbedaan penafsiran hanya terletak pada aspek spesifik ujian Allah kepada nabi Ibrahim, akan tetapi esensinya ulama’ tafsir sepaham bahwa ujian Allah berupa perintah dan larangan bagi nabi Ibrahim.

Ujian tersebut telah ditunaikan secara sempurna yang dinyatakan dalam lafadz فاتمهن (telah menunaikan). Dengan demikian perintah dan larangan Allah kepadan nabi Ibrahim, mengindikasikan bahwa ujian diberikan secara bertahap untuk menjadikannya sebagai pemimpin.

Keterangan beberapa ayat yang banyak dihubungkan dengan ujian-ujian Allah Swt kepada nabi Ibrahim, dapat ditemukan dalam ayat tentang kisah nabi Ibrahim. Ayat kisah ini, tentu dapat dikorelasikan dengan ayat di atas, untuk menjelaskan beberapa ujian yang telah Ibrahim terima sepanjang hidupnya, diantaranya:

  1. Kisah nabi Ibrahim as yang rela mengorbankan perasaannya sendiri ketika harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya yang musyrik, bahkan sampai harus menghadapi hukuman dibakar hidup-hidup. Kisah-kisah ini dapat ditemukan dalam keterangan surat Al-Anbiya’ 51-69.
  2. Kisahnya ketika Allah memerintah untuk menyembelih putra tercintanya, Isma’il. bahkan setalah sekian lama ia menantikan keturunan sebelum Isma’il dilahirkan. Hal ini dikisahkan dalam Surat Ash-Shaffat ayat 102-107.
  3. Kisah dirinya dan putranya, Isma’il yang membangun masjid al-haram dengan menyisihkan tenaga, sebagaimana keterangan dalam surat Al-Baqarah ayat 125-127.

Baca Juga: Surah Al-Baqarah Ayat 129: 3 Harapan Nabi Ibrahim Untuk Figur Nabi Muhammad saw

Kisah-kisah nabi Ibrahim as dalam al-Qur’an marupakan bukti keistemaawaan dirinya di sisi Allah Swt. Disamping itu, hikmah dari kisah-kisah tersebut dapat menjadi teladan bagi umat Islam dalam meniru ketakwaannya kepada Allah Swt.

Hal ini menunjukkan betapa beratnya ujian yang diberikan Allah, nabi Ibrahim mampu menyelesaikannya dengan sempurnya, hingga Allah menjadikannya sebagai pemimpin. Meskipuan terdapat beberapa pendapat bahwa gelar pemimpin merupakan sebuah beban bagi setiap manusia, hanya saja dalam konteks ayat ini gelar kepemimpinan bagi nabi Ibrahim merupakan suatu anugerah sebagai balasan dari amalnya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 2 (Bagian 1)

0
Tafsir Surah Ar Ra'd
Tafsir Surah Ar Ra'd

Tafsir Surah Ar Ra’d ayat 2 berbicara lebih lanjut mengenai bukti kebenaran Al-Qur’an dan bukti adanya Allah Swt. Salah satu pembuktiannya adalah melalui segala ciptaannya. Misalnya menciptakan langit tanpa tiang dan lain sebagainya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Ar Ra’d ayat 1


Ayat 2

Ayat ini menjelaskan bukti-bukti kebenaran Al-Qur’an dengan memaparkan tanda-tanda atau bukti-bukti adanya Allah yang menurunkan Al-Qur’an. Keberadaan Allah ini dibuktikan dengan berbagai ciptaannya yang bisa dilihat dan dirasakan manusia di alam raya ini.

Secara terperinci Allah menerangkan keadaan langit yang ditinggikan tanpa tiang, perjalanan matahari dan bulan yang masing-masing beredar menurut waktu dan tempat yang sudah ditentukan, keadaan bumi yang penuh dengan gunung dan lembah yang mengalir sungai di antaranya, dan adanya bermacam-macam kebun yang menghasilkan beraneka ragam buah-buahan.

Semua itu menunjukkan bahwa hanya Allah yang dapat memberi manfaat dan mudarat, yang dapat menghidupkan dan mematikan dan Yang Mahakuasa atas segala sesuatu.

Tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dipaparkan dalam ayat ini:

  1. Menciptakan langit di atas bumi tanpa adanya tiang sebagaimana yang biasa dilihat oleh seluruh makhluk, dan jarak yang sangat jauh di antara benda-benda di langit yang kesemuanya beredar menurut ketentuan dan peraturan Allah sendiri seperti benda-benda yang terlihat melayang di angkasa.
  2. Kemudian Allah bersemayam di atas Arasy-Nya dan mengatur alam semesta ini. Tentang kebijaksanaan-Nya telah dibentangkan secara panjang lebar di dalam Surah al-A‘r±f dan Surah Yµnus.
  3. Allah swt telah menundukkan matahari dan bulan untuk kemanfaatan sekalian makhluk-Nya, masing-masing berjalan pada rotasi/lintasannya menurut waktu yang ditentukan. Tentang perjalanan matahari dan bulan telah dijelaskan dengan terperinci dalam Surah Yµnus dan Surah Hµd.

Baca juga: Kisah Nabi Hud As dan Kaum ‘Ad Dalam Al-Quran


Allah swt mengatur segala kejadian dalam kerajaan-Nya secara sempurna, Dialah yang menghidupkan dan mematikan, mengadakan dan meniadakan, memberi kekayaan dan kemiskinan, menurunkan wahyu kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Semua itu menunjukkan bahwa Allahlah yang mempunyai kekuasaan yang mutlak dan rahmat yang luas, karena menentukan penciptaan suatu makhluk dengan keadaan sifat dan tabiat tertentu, tidak dapat dilaksanakan kecuali oleh Tuhan Yang Mahaagung dan Mahakuasa.

Dialah yang mengatur alam kebendaan dan alam kerohanian dan Dialah yang mengatur benda-benda yang amat besar dan amat kecil, semuanya dengan penuh hikmah kebijaksanaan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 2 (Bagian 2)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 1

0
Tafsir Surah Ar Ra'd
Tafsir Surah Ar Ra'd

Surah Ar Ra’d tergolong dalam kategori madaniyah. Jumlah ayat dari surah ini adalah 43. Penamaan surah ini terdapat dalam ayat ke tigabelas yang berbicara tentang guruh. Adapun ayat pertama di sini berbicara tentang kebenaran al-Qur’an.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 120-123


Ayat 1

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, dan tidak mengandung hal-hal yang bisa meragukan orang terhadap kebenarannya.

Kebenaran Al-Qur’an meliputi seluruh aspek yang terkandung di dalamnya seperti hukum, syariat yang bersifat Sālih fi kulli zaman wa makan (cocok untuk sepanjang zaman dan di semua tempat), bermacam-macam perumpamaan, kisah, dan petunjuknya yang harus diikuti oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Kebenaran Al-Qur’an telah terbukti pada masa-masa awal Islam. Dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an, umat Islam mampu membangun bangsa yang berbudaya tinggi dan berakhlak mulia. Al-Qur’an memotivasi manusia untuk bangkit berjuang menegakkan kebenaran, menghancurkan kemungkaran, menegakkan keadilan, dan melenyapkan kezaliman.


Baca juga: Al-Quran Adalah Mukjizat, Ini 6 Bukti Kehebatannya


Dengan menjalankan petunjuk Al-Qur’an umat Islam mampu menjadi bangsa yang berwibawa. Tapi ketika Al-Qur’an ditinggalkan, umat Islam lebih memilih keduniaan daripada akhirat yang kekal, dan akibat ketidakyakinan umat Islam terhadap janji-janji Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an, umat Islam berubah menjadi bangsa yang terbelakang, terbelit kemiskinan dan kebodohan.

Jika umat Islam saat ini tidak menyadari kekeliruannya dan tidak berusaha memperbaikinya, dengan cara kembali menjalankan pesan-pesan Al-Qur’an, maka umat Islam akan tetap terpuruk dalam kebodohannya. Allah tidak akan mengubah nasib mereka jika mereka tidak mengubah nasib mereka sendiri. Firman Allah swt.:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. (ar-Ra’d/13: 11)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 2 (Bagian 1)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 165-170

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya telah disebutkan bahwa rahmat yang diciptakan Allah patut dipikirkan dan direnungkan untuk menambah keimanan. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 165-170 ini membahas tentang orang musyrik.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 164


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 165-170 yang di maksud orang musyrik ialah mereka yang menyembah selain Allah Ketika mendapat kenikmatan dan ketika ditimpa malapetaka meminta pertolongan kepada Allah.

Ayat 165

Di antara manusia, baik zaman dahulu maupun zaman sekarang, ada yang menganggap bahwa di samping Allah ada lagi sesembahan yang diagungkan dan dicintai sama dengan mengagungkan dan mencintai Allah, seperti: berhala, pemimpin-pemimpin, arwah nenek moyang dan lain-lain sebagainya.

Apabila mereka mendapat nikmat dan kebaikan, mereka panjatkan syukur dan pujian kepada sesembahan tersebut, dan apabila mereka ditimpa kesusahan atau malapetaka mereka meminta dan berdoa kepada Allah dengan harapan mereka akan dapat ditolong dan dilepaskan dari cengkeraman bahaya yang mereka hadapi. Tindakan seperti ini adalah tindakan orang musyrik, bukan tindakan orang mukmin.

Seorang mukmin tidak akan melakukan perbuatan seperti itu karena ia percaya dan yakin dengan sepenuh hatinya bahwa yang harus disembah adalah Allah dan yang harus dicintai dan dipanjatkan doa kepadanya hanyalah Allah.

Di akhirat nanti orang yang mempersekutukan Allah dengan menyembah berhala, pemimpin dan arwah itu akan kekal di neraka dan akan menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa Allah sajalah yang Mahakuasa dan Dia sajalah yang berhak menyiksa dan siksa-Nya amat berat.

Ayat 166-167

Pada saat menerima azab di akhirat mereka melihat sesembahan yang mereka sembah selagi di dunia, berlepas diri dari mereka dan menyatakan tidak bertanggung jawab atas kesesatan dan kekeliruan mereka dalam menyembah selain Allah.

Karena itu mereka mengharap-harap kiranya mereka diberi kesempatan hidup kembali di dunia, agar mereka dapat menyembah Allah saja dan berlepas diri dari berhala serta pemimpin-pemimpin yang mereka sembah dahulu.

Dengan demikian mereka tidak akan mengalami kepahitan dan kegetiran seperti yang mereka alami itu. Tetapi harapan itu sia-sia belaka karena nasi telah menjadi bubur.

Mereka akan tetap berada dalam neraka dan tidak dapat keluar lagi dari sana, baik untuk kembali ke dunia guna memperbaiki akidah dan amalnya, ataupun untuk masuk ke surga, karena pintu surga tertutup bagi orang-orang musyrik.

Ayat 168

Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sa’sa’ah, Khuza’ah dan Bani Mudli.

Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina, lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala.

Padahal Allah tidak mengharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakan-Nya dalam firman-Nya:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ  ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, dan (hewan yang mati) tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, itu adalah suatu kefasikan. (al Ma′idah/5: 3)


Baca juga: Tafsir Ahkam: Kebolehan Memakan Makanan Haram dalam Situasi Darurat


Segala sesuatu selain dari yang tersebut dalam ayat ini boleh dimakan, sedangkan bahirah dan wasilah tidak tersebut di dalam ayat itu. Memang ada beberapa ulama berpendapat bahwa di samping yang tersebut dalam ayat itu, ada lagi yang diharamkan memakannya berdasarkan hadis Rasulullah saw seperti makan binatang yang bertaring tajam atau bercakar kuat.

Allah menyuruh manusia makan makanan yang baik yang terdapat di bumi, yaitu planet yang dikenal sebagai tempat tinggal makhluk hidup seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan lainnya.

Sedang makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri halal dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surah al Ma′idah dan dalam ayat 173 surah al-Baqarah ini.

Selain dari yang diharamkan Allah dan selain yang tersebut dalam hadis sesuai dengan pendapat sebagian ulama adalah halal, boleh dimakan.

Kabilah-kabilah itu hanya mengharamkan beberapa jenis tanaman dan binatang berdasarkan hukum yang mereka tetapkan dengan mengikuti tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, dan karena memperturutkan hawa nafsu dan kemauan setan belaka.

Janganlah kaum Muslimin mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.

Ayat 169

Setan selalu menyuruh manusia agar melakukan kejahatan dan mengerjakan yang keji dan yang mungkar. Setan tidak rela dan tidak senang bila melihat seseorang beriman kepada Allah dan menaati segala perintah dan peraturan-Nya.

Setan tidak segan-segan menyuruh manusia berdusta terhadap Allah dengan menyuruh membuat peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang bertentangan dengan hukum Allah sehingga dengan demikian akan kacau-balaulah peraturan agama dan tidak dapat diketahui lagi mana peraturan agama dan mana yang bukan.

Ayat 170

Sungguh aneh kemauan dan jalan pikiran pengikut setan. Apabila dikatakan kepada mereka,  Ikutilah peraturan yang diturunkan Allah,  mereka menjawab,  Kami tidak akan mengikutinya; kami hanya akan mengikuti peraturan yang kami pusakai dari nenek moyang kami.  Padahal sudah jelas bahwa peraturan-peraturan itu hanya dibuat menurut hawa nafsu belaka.

Apakah mereka tidak dapat memikirkan dan meneliti sehingga dapat mengetahui bahwa peraturan-peraturan itu tidak ada faedah dan manfaatnya?  Apakah mereka akan mematuhi juga peraturan-peraturan itu walaupun nenek moyang mereka yang membuat peraturan-peraturan itu adalah bodoh, tidak mengetahui suatu apa pun dan tidak pula dapat petunjuk dari Allah?

Dalam ayat ini dapat diambil suatu kesimpulan yaitu bahwa seorang Muslim tidak boleh bertaklid buta kepada siapa pun karena bertaklid buta itu adalah sifat para pengikut setan.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 171-173


(Tafsir kemenag)

Tafsir Ahkam: Bagaimana Hukum Lansia yang Sudah Tidak dapat Berpuasa

0
Hukum Lansia yang Sudah Tidak dapat Berpuasa
Hukum Lansia yang Sudah Tidak dapat Berpuasa

Orang yang tidak dapat berpuasa sebab satu atau dua hal yang datang secara berkala dan dapat hilang, memiliki kewajiban untuk mengqadha puasanya. Sebagaimana tidak bisa puasa sebab menstruasi, maka ia berkewajiban mengqadha puasa tatkala menstruasi itu hilang atau selesai. Begitu pula yang terjadi pada orang yang sedang hamil atau sakit yang dapat diharapkan kesembuhannya. Lalu bagaimana menyikapi puasa bagi manula yang tidak hanya tidak kuat puasa Ramadhan, tapi bahkan tidak kuat puasa sama sekali? Yang kadang untuk makan saja, ia pikun dan harus berkali-kali diingatkan? Berikut penjelasan ulama’.

Baca juga: Surah al-Isra’ [17] Ayat 7: Hakikat Perbuatan Baik Bagi Manusia

Kemudahan Yang Diberikan Islam Pada Manula

Para ahli tafsir mengaitkan puasa manula yang tidak lagi kuat berpuasa dengan firman Allah yang berbunyi:

.اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗوَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗوَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

 (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah [2] :184).

Imam Ar-Razi di dalam tafsirnya menyatakan, para pakar tafsir berbeda pendapat mengenai orang yang dimaksud dengan redaksi “yuthiiquunahu” di ayat di atas. Ada tiga pendapat mengenai hal itu. Pertama, yang dimaksud oleh redaksi tersebut adalah orang sakit serta musafir yang kuat berpuasa, sebagaimana disinggung dalam rentetan ayat sebelunya. Kedua, orang yang sehat serta tidak dalam perjalanan. Yakni kebalikan dari status sakit dan musafir yang disinggung dalam rentetan ayat sebelumnya. Pendapat ini adalah pendapat yang diyakini mayoritas ahli tafsir. Ketiga, manula yang sudah tidak lagi kuat berpuasa. Pendapat ini mengartikan “yuthiiquunahu” dengan makna kuat berpuasa disertai kesulitan yang luar biasa (Tafsir Mafaatiihul Ghaib/3/93).

Imam An-Nawawi menyatakan dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, Mazhab Syafiiyah berserta para pembesarnya sepakat bahwa manula yang tidak lagi kuat berpuasa dalam artian andai berpuasa ia akan menahan beban amat berat, ia tidak lagi diwajibkan berpuasa. Imam An-Nawawi juga mengutip keterangan Ibn Mundzir, bahwa ulama’ berbagai mazhab sepakat soal hal ini.

Imam Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi Al-Kabir menjelaskan, Imam As-Syafii memahmi bahwa redaksi “yuthiiquunahu” di dalam Surat Al-Baqarah ayat 184 tidak terkhusus pada manula yang tidak kuat berpuasa saja. Melainkan juga yang kuat berpuasa. Hanya saja, tatkala ayat ini dinusakh oleh ayat 185 yang berisi perintah untuk berpuasa, hukum puasa bagi manula yang tidak kuat berpuasa tidaklah berubah. Sebab perintah berpuasa tentunya hanya ditujukan pada yang kuat saja, bukan yang sudah tidak kuat.

Baca juga: Manusia sebagai Makhluk Terbaik dalam Surah At-Tin Ayat 4

Pada keterangan kitab al-bayan, manula yang tidak lagi kuat berpuasa tidak diwajibkan berpuasa, dan tentunya tidak diwajibkan qadha puasa sebab memang ia sudah tidak lagi kuat berpuasa, menurut sebagian ulama’ ia diwajiban untuk membayar fidyah. Ulama’ yang mewajibkan fidyah di antaranya adalah Mazhab Syafiiyah, At-Tsauri, Hanafiyah Dan Hanbaliyah. Hal ini sesuai dengan kandungan Al-Baqarah ayat 184 yang menunjukkan bahwa fidyah menjadi ganti dari puasa yang tidak dapat dijalankan.

Baca juga: Perbedaan Durasi Waktu Puasa dan Alternatif Hukumnya

Berdasar uraian di atas, ulama’ telah sepakat bahwa manula yang tidak lagi kuat berpuasa, ia tidak diwajibkan untuk berpuasa. Hal ini sesuai dengan semangat Islam yang memberi kemudahan kepada pemeluknya yang menemui kesulitan-kesulitan tatkala menjalankan syariat Islam. Wallahu a’lam bishshowab.

Tafsir Surah Al A’raf ayat 200-202

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 200-202 ini menjelaskan bahwa kesehatan jiwa dan tubuh dapat terpenuhi jika kita dapat muraqabah (mendekatkan diri kepada Allah). Salah satu senjata ampuh yang dapat menghalau godaan setan ketika manusia hendak bermuraqabah adalah dengan bacaan ta’awudz. Selengkapnya baca Tafsir Surah Al A’raf ayat 200-202 di bawah ini…


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 199


Ayat 200

Dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang kemungkinan Nabi Muhammad digoda setan, lalu dia tidak dapat melaksanakan prinsip di atas (baca tafsir ayat 199). Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar selalu memohonkan perlindungan kepada Allah jika golongan setan datang, dengan membaca “Ta’awwuz”, yaitu:

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”.;Allah swt Maha Mendengar segala permohonan yang diucapkan dan Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam jiwa seseorang, yang dapat mendorong dia berbuat kejahatan atau kesalahan. Jika doa itu dibaca orang yang tergoda itu dengan hati yang ikhlas dan penghambaan diri yang tulus kepada Allah, maka Allah akan mengusir setan dari dirinya, serta akan melindunginya dari godaan setan itu.

Firman Allah swt:

فَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ مِنَ الشَّيْطٰنِ الرَّجِيْمِ   ٩٨  اِنَّهٗ لَيْسَ لَهٗ سُلْطٰنٌ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ   ٩٩ 

“Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur’an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak ada akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan”. (an-Nahl/16:98-99)

Sabda Rasulullah saw:

مَا مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ وُكِّلَ بِهِ قَرِيْنُهُ مِنَ الْجِنِّ، قَالُوْا وَإِيَّاكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ وَإِيَّايَ إِلاَّ أَنَّ الله َأَعَانَنِيْ عَلَيْهِ وَأَسْلَمُ مِنْهُ (رواه مسلم عن عائشة وابن مسعود(

“Tidak seorang pun di antara kamu sekalian melainkan didampingi temannya dari jenis jin. Berkatalah para sahabat: Engkau juga hai Rasulullah? Beliau menjawab, “Saya juga”. Hanya Allah menolong aku menghadapinya maka selamatlah aku dari padanya.” (Riwayat Muslim dari ‘Aisyah ra. dan Ibnu Mas’ud);

Meskipun dalam ayat ini perintah ditujukan kepada Rasul, namun perintah ini meliputi seluruh umatnya yang ada di dunia ini.

Ayat 201

Dalam ayat ini Allah menjelaskan reaksi orang-orang yang bertakwa bila digoda setan. Ayat ini memperkuat pula ayat sebelumnya tentang keharusan kita berlindung kepada Allah dari godaan setan.

Sesungguhnya orang yang bertakwa ialah orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan salat, menginfakkan sebagian dari rezekinya. Bila mereka merasa ada dorongan dalam dirinya untuk berbuat kemungkaran, mereka segera sadar bahwa yang demikian itu adalah godaan setan dan mereka segera mengucapkan doa isti’adzah dan menyerahkan diri kepada Allah agar dipelihara dari tipu muslihat setan. Berkat kesadaran itu, mereka terhindar dari jurang kebinasaan dan jaring-jaring setan, karena mereka bisa menahan diri agar tidak jatuh ke dalam perangkap setan, sedang yang masuk perangkap setan itu hanyalah orang yang lalai kepada Allah dan kurang mawas diri.

Senjata yang paling ampuh mengusir setan, ialah ingat dan murāqabah (mendekatkan diri) kepada Allah di dalam segala keadaan. Ingat selalu kepada Allah akan menanamkan ke dalam jiwa cinta kebenaran dan kebajikan, melemahkan kecenderungan negatif/buruk. Jiwa yang dipenuhi iman ialah jiwa yang sehat. Jiwa yang sehat seperti badan yang sehat yang punya kekebalan.

Badan yang punya kekebalan, badan yang kuat, tidak mudah diserang penyakit. Bakteri-bakteri dan kuman penyakit tidak dapat berkembang biak dalam tubuh yang penuh dengan daya kekebalan itu. Demikian pula jiwa orang yang takwa, tidak mudah dikalahkan godaan setan. Orang yang bertakwa segera bereaksi terhadap rangsangan setan yang timbul dalam dirinya. Reaksi itu berupa ingatan kepada Allah disertai dengan kesadaran terhadap tipu muslihat setan dengan segala akibatnya.

Memelihara jiwa yang sehat dari godaan setan sama halnya dengan memelihara badan yang sehat, yakni memerlukan perawatan yang terus menerus agar tetap bersih dan sehat, memerlukan murāqabah yang tetap, ingat kepada Allah dalam segala keadaan. Dengan demikian setan tidak mendapat kesempatan mengganggu diri.

Ayat 202

Ayat ini menerangkan bahwa orang jahil dan kafir membantu setan dalam menyesatkan dan berbuat kerusakan. Sebab orang-orang jahil itu selalu dipengaruhi setan dan tidak ingat kepada Allah. Jika timbul dalam diri mereka dorongan nafsu hewani, mereka melampiaskannya dalam bentuk tindakan dan perbuatan hewani. Tidak ada kekuatan jiwa yang membendung nafsu hewani itu. Karena itu mereka terus menerus melakukan kerusakan dan bergelimang dalam kesesatan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 186


 

Memperingati Earth Day: Simak Perhatian Al-Quran Terhadap Lingkungan

0
Memperingati Earth Day: Simak Perhatian Al-Quran
Memperingati Earth Day: Simak Perhatian Al-Quran

Hampir saja lupa, bahwa tanggal 22 April merupakan hari bumi. Setiap tanggal ini kelestarian bumi memang diperingati secara internasional, hal ini dilakukan dalam rangka memberi pengamatan, dukungan serta kesadaran global untuk perlindungan alam dan lingkungan. Mengulik dari sejarahnya, perayaan hari bumi atau yang dikenal dengan earth day pada awalnya disuarakan pada 22 April 1970 silam oleh seorang pecinta lingkungan bernama Gaylord Nelson, asal Amerika Serikat. Menurut berbagai redaksi, gagasan ini merupakan bentuk apresiasi terhadap planet bumi sebagai rumah bagi manusia.

Dalam Islam, perhatian terhadap lingkungan telah terekam sejak 14 abad yang lalu. Redaksi al-quran tidak sekali dua kali mengumandangkan pesan pelestarian lingkungan. Bahkan, perhatian al-quran tentang ekologi lingkungan tergolong cukup kompleks. Di antara pesan Al-Quran yang secara tegas menyatakan manfaat bumi bagi kehidupan manusia sebagaimana dalam surah Yasin (36:33):

وَآيَةٌ لَهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ

Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bumi yang mati (tandus). Kami hidupkan bumi itu dan kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari (biji-bijian) itu mereka makan. (QS. Yasin 36: 33)

Tafsir Surat Yasin Ayat 33

Menurut penafsiran Quraish Shihab, ayat ini mengajak manusia untuk memperhatikan alam sekeliling, setelah ayat sebelumnya mengajak untuk memperhatikan pengalaman sejarah. Kemudian, dalam tafsir at-Thabari diterangkan bahwa muatan ayat di atas merupakan petunjuk tentang kekuasaan Allah terhadap hal-hal yang dikehendaki berupa kuasa menghidupkan bumi yang mati akibat kekeringan, kemudian dengan kebesaranNya Allah menurunkan air hujan dari langit agar tumbuhan dapat berbuah dan menjadi makanan pokok bagi manusia. Selanjutnya, tafsir al-Munir seakan mempertegas keterangan di atas, dengan menyebut bahwa berbagai tanaman, dengan variasi warna dan bentuk yang berbeda-beda tidak lain sebagai bentuk cinta Allah kepada para makhluknya.

Baca juga: Surah al-Isra’ [17] Ayat 7: Hakikat Perbuatan Baik Bagi Manusia

Selain ayat di atas, masih banyak tema al-quran yang membahas tentang keserasian alam, misalnya tentang ekosistem bumi sebagaimana dalam surah al-Mukminun (23:19), al-Hijr (15:20), pesan bersikap kasih sayang terhadap binatang dalam surah Hud (11:6), al-An’am (6:38), pesan menghidupkan lahan mati dalam surah Yasin (36:33), pesan menyeimbangkan eksploitasi alam dalam surah al-Mulk (67:3), al-An’am (6:141), serta anjuran agar tidak berbuat kerusakan sebagaimana dalam surah ar-Rum(30:41).

Tidak perlu disangkal lagi, Pesan-pesan Al-Quran terkait lingkungan ini cukup jelas dan prospektif, bahwa bumi diciptakan Allah sebagai bentuk manifestasi kasih sayang-Nya kepada semua makhluk. Sehingga segala sesuatu yang telah diciptakan dan terhampar di muka bumi ini tidak lain untuk kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya. Melalui ayat-ayat Al-Quran, Allah telah memberikan sinyal untuk bersikap harmonis terhadap bumi disertai dengan pengeloaan yang baik.

Secara historis, dalam kedaan perang pun, Rasulullah menghimbau kepada para sahabat agar tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan. Tentu, dalam keadaan damai sekalipun. Setiap unsur yang mendukung terciptanya kehidupan makmur, damai, bersih dan asri merupakan ajaran pola kehidupan yang islami. Tidak khayal, jika terciptanya keharmonisan manusia dan alam mampu melahirkan kehidupan yang madani dan berkualitas.

Baca juga: Manusia sebagai Makhluk Terbaik dalam Surah At-Tin Ayat 4

Sebagai penutup, ada ungkapan Sayyed Hossein, bahwa alam adalah simbol Allah, maka teciptanya pemahaman terhadap simbol ini akan mengantarkan manusia pada eksistensi dan keramahan Allah. Maka sebagaimana ajaran al-quran dan sunnah marilah kita jadikan peringatan hari bumi ini sebagai refleksi semangat menjaga dengan bumi. Meski sejatinya, setiap hari manusia harus membingkai keharmonisan dengan alam, sehingga rahmatn lil ‘alamin benar-benar dirasakan bagi seluruh penduduk bumi. Wallahu a’lam bi ashshoab

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 164

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya dijelaskan bahwa Allah membuka lebar pintu taubat bagi mereka yang sungguh-sungguh memperbaiki diri karena Allah Maha Pengampun. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 164 dijelaskan bahwa Allah Maha Menciptakan segala yang ada di langit dan bumi.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 160-163


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 164 disebutkan bahwa rahmat yang diciptakan Allah patut dipikirkan dan direnungkan untuk menambah keimanan yang mendalam dalam kalbu akan keesaan dan kebesaran Allah.

Ayat 164

Dialah yang menciptakan langit dan bumi untuk keperluan manusia, maka seharusnyalah manusia memperhatikan dan merenungkan rahmat Allah yang Mahasuci itu karena dengan memperhatikan isi alam semuanya akan bertambah yakinlah dia pada keesaan dan kekuasaan-Nya, akan bertambah luas ilmu pengetahuannya mengenai alam ciptaan-Nya, pengetahuan itu dapat dimanfaatkan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah yang Maha Mengetahui.

Dalam ayat ini Allah swt “menuntun” manusia untuk mau melihat, memperhatikan dan memikirkan segala yang ada dan terjadi di sekitarnya dengan menyebutkan ciptaan-ciptaan Nya. Penciptaan langit dan bumi sungguh sarat akan rahasia dan tanda-tanda kebesaran Allah swt.

Ciptaan-ciptaan Allah itu ada yang bisa langsung terlihat dan nyata kemanfaatannya sehingga mudah kita memahaminya, tetapi tidak sedikit untuk memahaminya perlu melalui prosesi pemikiran dan perenungan yang panjang dan dalam.

Upaya manusia untuk mengetahui rahasia dan tanda kebesaran Allah, telah pula mendorong mereka untuk semakin dekat kepada-Nya. Memahami kehebatan, kecanggihan dan keharmonisan jagat raya ini telah membuat tidak sedikit ilmuwan semakin menyadari dan yakin bahwa sesungguhnya semua yang ada di alam semesta ini sengaja direncanakan, dibuat, diatur, dan dipelihara oleh-Nya.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia pada kesimpulan bahwa sistem Tata Surya yang terdiri dari jutaan bintang bahkan mungkin lebih (termasuk di dalamnya bumi kita ini) hanyalah menjadi bagian kecil dari Galaksi Bima Sakti yang memuat lebih dari 100 milyar bintang. Dan Bima Sakti-pun hanyalah satu dari 500 milyar lebih galaksi dalam jagat raya yang diketahui.

Sesungguhnya semua bintang-bintang dalam alam semesta ini berada dalam lintasan orbit masing-masing yang telah ditentukan (az Zariyat/51 :7).

Orbit-orbit dalam alam semesta juga dimiliki oleh galaksi-galaksi yang bergerak pada kecepatan yang tinggi dalam orbit-orbit yang telah ditetapkan. Ketika mereka bergerak, tidak ada satupun benda-benda langit ini yang memotong orbit atau bertabrakan dengan benda langit lainnya.

Begitu pula perihal bumi ciptaan-Nya, semuanya menunjukkan kesempurnaan penciptanya. Allah berfirman yang artinya:

…Dan di bumi ini terdapat tanda-tanda kekuasan Allah bagi orang-orang yang yakin….. (az Zariyat/51: 20)

Sebuah ensiklopedia sains modern menggambarkan unsur-unsur kimia yang ada di bumi kita ini mempunyai variasi yang menakjubkan. Beberapa di antaranya langka karena susah ditemukan tapi ada juga yang berlimpah.

Ada yang dapat dilihat oleh mata telanjang karena berbentuk cairan dan padatan, tetapi ada juga yang tak nampak karena berupa gas. Kenyataan ini mestinya dapat membimbing kita untuk semakin terkesan dengan keagungan dan keesaan Sang Pencipta nya, Allah swt.

Munculnya siang dan malam silih berganti mengajak kita berfikir tentang adanya pengaturan yang sempurna. Pertanyaan yang muncul adalah “siapa yang mengatur itu semua?”

Silih bergantinya malam dan siang, serta bergilir-nya antara keduanya, panjang dan pendeknya waktu, dan adanya berbagai musim merupakan pengaturan iklim yang sempurna yang terkondisi dengan nyaman untuk dapat dihuni oleh manusia.

Kata al-fulk dalam ayat ini berarti bahtera atau perahu. Untuk membuat perahu dibutuhkan pengetahuan tentang sifat air, pergerakan angin, udara, awan yang berhubungan dengan musim, kaidah-kaidah dasar fisika fluida serta hukum dasar lainnya, seperti hukum Archimides untuk benda mengapung, ataupun konsep desain dan konstruksi.

Akhirnya manusia dapat membuat kapal atau perahu untuk berlayar mengarungi lautan sehingga mereka dapat menjelajahi pelosok bumi. Di dalam silih bergantinya malam dan siang ini terdapat petunjuk tentang waktu dan arah lantaran kedua hal ini dibutuhkan dalam pelayaran.

Dari fenomena alam ini pula manusia menciptakan ilmu falak dan pengetahuan tentang cuaca yang gunanya sangat banyak bagi memenuhi keperluan manusia. Allah berfirman yang artinya sebagai berikut:

“….Dan Dia lah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut… (al An’am/6: 97). Kemudian “Dia turunkan dari langit berupa air”.

Di dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menjelaskan bagaimana Allah swt menurunkan air hujan. Ayat-ayat dimaksud adalah ar Rum/30: 48; Qaf/50:9-11; Gafir/23: 18 dan 48-50; al Hijr/15: 22; Fatir/35: 91; al A’raf/7: 57; al Jasiyah/45: 5; ar Ra’d/13 :17; al Mulk/67 :30; az Zumar/39: 21; an Nur/24:43 dan al Waqi’ah/56: 68.

Terjadinya hujan secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut. Diawali dengan adanya penguapan air yang disebabkan oleh panasnya udara yang memanasi permukaan laut. Pemanasan mengakibatkan terjadinya pergeseran molekul-molekul zat air yang kemudian menjadi uap.

Ketika uap tersebut naik ke atas, terbentuklah awan yang semakin menebal. Karena dingin dan berat awan tebal tadi berubah menjadi titik-titik air yang kemudian jatuh ke bumi. Itulah yang dinamakan hujan”.


Baca juga: Inilah Empat Manfaat Hujan dalam Al Quran


… lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan… (al Baqarah/2: 164)

Dengan air inilah timbul kehidupan dengan berbagai tumbuhan di permukaan bumi, yang kemudian dimanfaatkan hewan dan manusia sebagai sumber kehidupan mereka. Akhirnya kehidupan di bumi berkembang sebagaimana bisa kita saksikan. Hal inipun diisyaratkan dalam firman Allah yang artinya sebagai berikut:

….Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila Kami turunkan air diatasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah… (al Hajj/22: 5).

Turunnya hujan yang menjadi pendukung kehidupan bagi tumbuhan, hewan dan manusia demikian itu merupakan bukti bahwa Allah Maha Esa dan Maha Menciptakan. Dan jika ditinjau dari segi kemanfaatannya, maka kenyataan tersebut merupakan rahmat Ilahi.

Hendaklah selalu diperhatikan dan diselidiki apa yang tersebut dalam ayat ini, yaitu:

  1. Diciptakannya bumi yang didiami manusia ini dan apa yang tersimpan di dalamnya merupakan perbendaharaan dan kekayaan yang tidak akan habis-habisnya baik di darat maupun di laut. Semua itu adalah nikmat dan kasih sayang Allah kepada manusia, oleh karena itu manusia harus memanfaatkan, menjaga dan melestarikannya untuk kehidupan yang baik dari generasi ke generasi berikutnya.
  2. Penciptaan langit dengan bintang-bintang dan planet semua berjalan dan bergerak menurut tata tertib dan aturan Ilahi. Tidak ada yang menyimpang dari aturan-aturan itu, apabila terjadi penyimpangan, akan terjadi tabrakan antara yang satu dengan yang lain dan akan binasalah alam ini seluruhnya. Hal ini tidak akan terjadi kecuali bila penciptanya sendiri yaitu Allah yang Mahakuasa telah menghendaki terjadinya hal tersebut.
  3. Pertukaran malam dan siang dan perbedaan panjang dan pendeknya waktu malam dan siang pada beberapa negeri karena perbedaan letaknya, kesemuanya itu membawa faedah dan manfaat yang amat besar bagi manusia. Walaupun sebab-sebabnya telah diketahui dengan perantaraan ilmu falak, tetapi penelitian manusia dalam hal ini harus dipergiat dan diperdalam lagi sehingga dengan pengetahuan itu manusia dapat lebih maju lagi dalam memanfaatkan rahmat Tuhan.
  4. Bahtera yang berlayar di lautan untuk membawa manusia dari satu negeri ke negeri lain dan untuk membawa barang-barang perniagaan untuk memajukan perekonomian. Bagi orang yang belum pernah berlayar di tengah-tengah samudera yang luas mungkin hal ini tidak akan menarik perhatian, tetapi bagi pelaut-pelaut yang selalu mengarungi lautan yang menjalani bagaimana hebatnya serangan ombak dan badai apalagi bila dalam keadaan gelap gulita di malam hari, hal ini pasti akan membawa kepada kesadaran bahwa memang segala sesuatu itu dikendalikan dan berada di bawah inayah Allah yang Mahakuasa dan Mahaperkasa.
  5. Allah swt menurunkan hujan dari langit sehingga dengan air hujan itu bumi yang telah mati atau kering dapat menjadi hidup dan subur, dan segala macam hewan dapat pula melangsungkan hidupnya dengan adanya air tersebut. Dapat digambarkan, bagaimana jika hujan tidak turun dari langit, semua daratan akan menjadi gurun, semua makhluk yang hidup akan mati dan musnah kekeringan.
  6. Perubahan arah angin dari suatu tempat ke tempat yang lain merupakan suatu tanda dan bukti bagi kekuasaan Allah serta kebesaran rahmat-Nya bagi manusia. Dahulu, sebelum adanya kapal api, kapal-kapal layarlah yang dipakai mengarungi lautan yang luas; dan bila tidak ada angin tentu kapal itu tidak dapat bergerak ke tempat yang dituju. Di antara angin itu ada yang menghalau awan ke tempat-tempat yang dikehendaki Allah, bahkan ada pula yang mengawinkan sari tumbuhan, dan banyak lagi rahasia-rahasia yang terpendam yang belum dapat diselidiki dan diketahui oleh manusia.
  7. Demikian pula, harus dipikirkan dan diperhatikan kebesaran nikmat Allah kepada manusia dengan bertumpuk-tumpuknya awan antara langit dan bumi. Ringkasnya, semua rahmat yang diciptakan Allah termasuk apa yang tersebut dalam ayat 164 ini patut dipikirkan dan direnungkan bahkan dibahas serta diteliti, untuk meresapkan keimanan yang mendalam dalam kalbu, dan untuk memajukan ilmu pengetahuan yang juga membawa kepada pengakuan akan keesaan dan kebesaran Allah.

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 165-170


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surah Al A’raf ayat 196-199

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 196-199 mengisahkan tentang dua pemuda yakni Mu’az bin Amr bin al- Jamuh beserta Mu’az bin Jabal ra yang menghancurkan patung-patung kaum musyrikin dan menjadikannya kayu bakar bagi para janda. Selengkapnya Tafsir Surah Al A’raf ayat 196-199 di bawah ini:


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 195


Ayat 196

Ayat ini menerangkan lanjutan ucapan Nabi Muhammad dihadapan kaum musyrikin, yaitu bahwa sesungguhnya Allah Yang menjadi pelindungnya, Yang mengurusi urusannya, dan Yang menjadi penolongnya. Allah Yang menurunkan Al-Qur’an, Yang menjelaskan keesaan-Nya dan yang mewajibkan manusia berbakti serta berdoa kepada-Nya dalam segala keadaan. Al-Qur’an itu membentangkan pula kekeliruan dan kebathilan penyembahan berhala.

Karena itu Rasulullah saw tidak memperdulikan berhala-berhala itu dan tidak pula merasa takut kepadanya, meskipun orang-orang musyrikin menakut-nakuti dengan berhala itu. Allah juga akan memberikan pertolongan dan perlindungan-Nya kepada hamba-Nya yang saleh, yakni mereka yang memiliki jiwa yang bersih berkat kebersihan akidahnya, dan dari kebersihan jiwa itu lahir amal perbuatan yang luhur, berguna bagi kehidupan pribadi dan masyarakat.

Ayat 197

Allah swt menegaskan kembali pada kaum musyrikin bahwa berhala-berhala yang mereka harapkan pertolongannya itu tidak dapat berbuat apa-apa bahkan menolong diri mereka sendiri tidak dapat, apalagi menolong diri orang lain. Baik memberi manfaat, maupun menolak kemudharatan, seperti apa yang diperbuat Nabi Ibrahim as. Beliau menghancurkan patung-patung kaumnya, sehingga menjadi berkeping-keping. Patung-patung itu tidak dapat membela diri dan membalas dendam.

Diceritakan oleh Ibnu Katsir, bahwa Mu’az bin Amr bin al- Jamuh beserta Mu’az bin Jabal ra, masuk agama Islam ketika Nabi Muhammad, tiba di Medinah. Keduanya masih muda-muda. Pada suatu malam mereka pergi menghancurkan patung-patung orang musyrikin dan dijadikan kayu bakar untuk para janda. Maksudnya agar kaumnya mengetahui dan mengambil pelajaran dari peristiwa itu.

Orang tuanya yang bernama Amr bin al-Jamuh seorang kepala suku, memiliki sebuah patung yang selalu disembahnya dan diberinya wangi-wangian. Pada suatu malam kedua anak muda itu mendatangi patung tersebut. Lalu patung itu dibalikkannya, kepalanya dibawah dan diberinya kotoran manusia. Besok harinya Amr bin Al Jamuh datang ke tempat patung sembahannya, dilihatnya apa yang telah terjadi. Patung itu kemudian dibersihkanya dan diberinya wangi-wangian lalu dia letakkan sebuah pedang di sampingnya. Berkatalah dia kepada patung itu: “Belalah dirimu”. Tetapi keesokan harinya kedua anak muda itu kembali mengulangi perbuatannya dan orang tua itupun kembali pula berbuat seperti semula lagi.

Akhirnya kedua anak muda itu mengambil patung itu dan mengikatnya bersama anjing yang mati, lalu diletakkannya di dekat sumur yang dekat dengan tempat itu. Kemudian ketika orang tua itu datang lagi dan melihat apa yang terjadi atas patungnya, sadarlah dia bahwa agama yang dianutnya selama ini adalah agama yang bathil. Kemudian Amr bin Jamuh masuk agama Islam dan menjadi seorang muslim yang baik. Beliau mati syahid dalam Perang Uhud (Lihat Tafsir Ibnu Katsir jilid 2, hal 277).

Ayat 198

Dalam ayat ini Allah menyatakan kembali bahwa meskipun orang musyrikin itu meminta berhala-berhala itu memberi petunjuk kepada mereka, namun berhala-berhala itu tidak akan mendengar permintaan itu. karena benda-benda itu tidak mempunyai pendengaran walaupun dia punya telinga. Kaum musyrikin itu melihat berhala-berhala itu memandang kepada mereka, padahal dia tidak melihat, karena berhala-berhala itu tidak punya penglihatan walaupun ia punya mata yang dipahat oleh pembuatnya.

Ayat 199

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Rasul-Nya, agar berpegang teguh pada prinsip umum tentang moral dan hukum.

1. Sikap Pemaaf dan berlapang dada

Allah swt menyuruh Rasul-Nya agar beliau memaafkan dan berlapang terhadap perbuatan, tingkah laku dan akhlak manusia dan janganlah beliau meminta dari manusia apa yang sangat sukar bagi mereka sehingga mereka lari dari agama.

Sabda Rasullah saw:

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلاَتُنَفِّرُوْا (رواه البخاري ومسلم عن أبي موسى ومعاذ)

“Mudahkanlah, jangan kamu persulit dan berilah kegembiraan, jangan kamu susahkan”. (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Abu Musa dan Mu’āz)

Termasuk prinsip agama, memudahkan, menjauhkan kesukaran dan segala hal yang menyusahkan manusia. Demikian pula halnya dalam bidang budi pekerti manusia banyak dipengaruhi lingkungannya. Bahkan banyak riwayat menyatakan bahwa yang dikehendaki pemaafan di sini ialah pemaafan dalam bidang akhlak atau budi pekerti (Tafsir Ibn Katsir dalam tafsir ayat tersebut)

Rasulullah berkata sehubungan dengan ayat ini:

مَا هٰذاَ يَا جِبْرِيْلُ؟ قَالَ إِنَّ الله َأَمَرَكَ أَنْ تَعْفُوَ عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَتُعْطِيَ مَنْ حَرَمَكَ وَتَصِلَ مَنْ قَطَعَكَ

رواه ابن جرير وابن أبي حاتم عن ابن أبي عن أبيه

“Apakah ini ya Jibril? Jawab Jibril, “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kamu agar memaafkan orang yang berbuat aniaya terhadapmu, memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepadamu dan menyambung hubungan kepada orang yang memutuskannya.” (Riwayat Ibn Jarir dan Ibn Abi Hatim, dari Ibn Ubay dari bapaknya)

2. Menyuruh manusia berbuat ma’ruf (baik)

Pengertian ’urf pada ayat ini adalah ma’ruf. Adapun Ma’ruf adalah adat kebiasaan masyarakat yang baik, yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam Al-Qur’an kata”ma’ruf” dipergunakan dalam hubungan hukum-hukum yang penting, seperti dalam hukum pemerintahan, hukum perkawinan. Dalam pengertian kemasyarakatan kata “ma’ruf” dipergunakan dalam arti adat kebiasaan dan muamalah dalam suatu masyarakat. Karena itu ia berbeda-beda sesuai dengan perbedaan bangsa, negara, dan waktu.

Di antara para ulama ada yang memberikan definisi “ma’ruf” dengan apa yang dipandang baik melakukannya menurut tabiat manusia yang murni tidak berlawanan dengan akal pikiran yang sehat. Bagi kaum Muslimin yang pokok ialah berpegang teguh pada na¡-na¡ yang kuat dari Al-Qur’an dan Sunnah. Kemudian mengindahkan adat kebiasaan dan norma yang hidup dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan na¡ agama secara jelas.

3. Tidak mempedulikan gangguan orang jahil

Yang dimaksud dengan orang jahil ialah orang yang selalu bersikap kasar dan menimbulkan gangguan-gangguan terhadap para Nabi, dan tidak dapat disadarkan. Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar menghindarkan diri dari orang-orang jahil, tidak melayani mereka, dan tidak membalas kekerasan mereka dengan kekerasan pula.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 200


 

Tafsir Surah Hud Ayat 120-123

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 120-123 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai kisah-kisah rasul terdahulu. Kedua mengenai perintah kepada Nabi Muhammad Saw untuk menjawab tuduhan yang alamatkan padanya. Terakhir mengenai kekuasaan Allah Swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 116-119


Ayat 120

Ayat ini menerangkan bahwa kisah para rasul terdahulu bersama umatnya, seperti peristiwa perdebatan dan permusuhan di antara mereka, keluhan para nabi karena kaumnya mendustakan serta menyakiti dan sebagainya, semuanya itu berguna untuk meneguhkan hati Rasulullah agar tidak tergoyahkan oleh apa pun untuk mengemban tugas kerasulan dan menyiarkan dakwahnya.

Selain itu, kisah-kisah tersebut juga menanamkan keyakinan yang mantap dan mendalam tentang apa yang diserukan para rasul, seperti akidah bahwa Allah adalah Esa, bertobat dan beribadah kepada-Nya dengan ikhlas, meninggalkan kejahatan, baik yang nyata maupun yang tidak nyata.

Kesemuanya itu merupakan pelajaran dan peringatan yang bermanfaat bagi orang-orang mukmin bahwa umat terdahulu itu ditimpakan azab kepadanya karena mereka telah berbuat aniaya dan kerusakan di bumi.

Ayat 121

Pada ayat ini, Allah swt memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar berkata kepada orang-orang kafir;

“Berbuatlah menurut kedudukan dan kemampuanmu menentang dakwah dan menyakiti orang-orang yang berdakwah beserta pendukung-pendukungnya. Kami pun akan berbuat menurut kedudukan dan kemampuan kami mempertahankan dakwah dan meneruskan perintah Allah, serta taat dan patuh kepada-Nya.”

Ini adalah ancaman kepada mereka tentang azab yang akan diterimanya sebagai balasan dari perbuatannya itu.


Baca juga: Tafsir Surat al-Mulk Ayat 25-27: Balasan Bagi yang Ingkar Terhadap Ancaman Allah


Ayat 122

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada orang-orang kafir yang tetap membangkang kepada Rasul agar mereka menunggu apa yang akan terjadi dengan dakwah Rasul, dan musibah apa yang menimpa Rasul, yang memang sangat mereka harapkan, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

اَمْ يَقُوْلُوْنَ شَاعِرٌ نَّتَرَبَّصُ بِهٖ رَيْبَ الْمَنُوْنِ   ٣٠

Bahkan mereka berkata, ”Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya.” (at-Tur/52: 30)

Kemudian Rasul diperintahkan untuk mengatakan kepada mereka bahwa ia juga menunggu apa yang akan terjadi dengan nasib mereka, apakah mereka akan diazab Allah, ataukah mereka akan dikalahkan oleh orang-orang mukmin, dalam peperangan yang akan terjadi antara kedua belah pihak, sebagaimana nasib yang diterima umat-umat terdahulu, yang membangkang kepada nabi-nabi mereka.

Sesungguhnya Allah menjamin kemenangan bagi orang-orang yang membela agama, dan kekalahan serta kehinaan bagi orang-orang yang zalim. Ayat-ayat ini serupa dengan firman Allah:

فَسَوْفَ تَعْلَمُوْنَۙ مَنْ تَكُوْنُ لَهٗ عَاقِبَةُ الدَّارِۗ اِنَّهٗ لَا يُفْلِحُ الظّٰلِمُوْنَ

Kelak kamu akan mengetahui, siapa yang akan memperoleh tempat (terbaik) di akhirat (nanti). Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan beruntung. (al-An’am/6: 135)

Ayat 123

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah mengetahui yang tersembunyi dan tidak terjangkau dengan ilmu siapa pun baik di langit maupun di bumi. Dialah mengetahui segala apa yang akan terjadi dan waktu terjadinya secara tepat.

Semua urusan akan kembali kepada-Nya. Apa yang Dia kehendaki pasti jadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki tak akan ada. Oleh karena itu, Dialah satu-satunya yang pantas dan wajib disembah, dengan segala keikhlasan. Kepada-Nyalah kita harus bertawakal guna tercapainya sesuatu yang di luar kemampuan kita, karena barang siapa yang bertawakal kepada-Nya akan tercapailah keperluannya. Firman Allah:

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu. (at-Talaq/65: 3)

Pada akhir ayat ini, Allah swt menjelaskan bahwa Dia tidak akan lalai dari apa yang telah dikerjakan hamba-Nya. Dia akan menyempurnakan tiap-tiap balasan amal yang diperbuat di dunia ini dan tidak akan ada pengurangan sedikit pun.; Firman Allah:

وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ ۗثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ ࣖ  ٢٨١

Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan). (al-Baqarah/2: 281)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 1


(Tafsir Kemanag)