Beranda blog Halaman 337

Ragam Penafsiran atas Frasa La’allakum Tattaqun dalam Surah al-Baqarah Ayat 183

0
al-baqarah Ayat 183
al-baqarah Ayat 183

Surah al-Baqarah Ayat 183 menjadi ayat yang paling populer dikutip selama bulan Ramadhan. Secara konteks kandungan ayat, memang sangat relevan jika ayat ini masif dikutip. Adapun frasa akhir ayat ini (la’allakum tattaqun—agar kamu bertaqwa) juga menjadi salah satu diskursus yang banyak mendapati sorotan. Artikel ini akan mengulas ragam penafsiran atas frasa la’allakum tattaqun dalam beberapa kitab tafsir mu’tabarah atau yang biasa dijadikan rujukan.

Ada 3 (tiga) kitab tafsir yang akan dijadikan sampel dan sekaligus mewakili masing-masing periode tafsir (era klasik-era kontemporer). Keempat karya tafsir tersebut ialah Tafsir al-Thabari atau Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an (era klasik), Tafsir al-Razi atau Mafatih al-Ghaib (era pertengahan), Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (era modern-kontemporer). (Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an).

Baca Juga: Kriteria Orang Bertakwa dalam Al-Quran Surat Yunus Ayat 133-135

Tafsir al-Thabari

Imam al-Thabari dalam Jami’ul Bayan di Tafsir al-Qur’an juga memberikan sorotan terhadap frasa akhir Surah al-Baqarah Ayat 183. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan di bawah ini:

وأما تأويل قوله:”لعلكم تَتقون”، فإنه يعني به: لتتقوا أكل الطعام وشرب الشراب وجماع النساء فيه. يقول: فرضت عليكم الصوم والكفّ عما تكونون بترك الكف عنه مفطرين، لتتقوا ما يُفطركم في وقت صومكم.

“dan adapun takwil firman Allah: la’allakum tattaqun ialah supaya kalian mencegah diri kalian dari nafsu ingin makan, minum maupun jima’ di saat berpuasa. Ada pendapat yang mengatakan bahwa diwajibkan atas kalian itu berpuasa dan menahan diri terhadap segala hal yang dapat menyebabkan kalian berbuka (saat  sedang berpuasa)”.

Penafsiran Imam al-Thabari ini setidaknya memberikan kesimpulan bahwa takwa yang dimaksud ayat menurutnya ialah menjadi orang-orang yang mampu menahan diri dari apapun yang dapat membatalkan puasa. Lalu jika dikaitkan dengan makna terminologis taqwa maka akan didapati bahwa menjalankan puasa merupakan bentuk imtitsalu awamirillah dan mencegah diri dari hal yang membatalkannya merupakan bentuk ijtinabu nawahih.

Maka penafsiran al-Thabari sejatinya tetap membawa esensi makna taqwa secara terminologis. Meskipun kemudian direpresentasikan dalam bentuk perilaku nyata yang sesuai dengan konteks pembicaraan yang dibicarakan dalam ayat.

Mafatih al-Ghaib

Dalam Mafatih al-Ghaib, Imam Fakhruddin al-Razi menuliskan beberapa penafsiran makna. Karena terlalu panjang, maka kutipan dari penafsiran tidak dituliskan secara keseluruhan dan hanya dicantumkan bagian-bagian terpentingnya. Berikut penjelasan al-Razi:

1- أَنَّ الصَّوْمَ يُورِثُ التَّقْوَى لِمَا فِيهِ مِنَ انْكِسَارِ الشَّهْوَةِ وَانْقِمَاعِ الْهَوَى فَإِنَّهُ يَرْدَعُ عَنِ الْأَشَرِ وَالْبَطَرِ وَالْفَوَاحِشِ وَذَلِكَ لِأَنَّ الصَّوْمَ يَكْسِرُ شَهْوَةَ الْبَطْنِ وَالْفَرْجِ

2- لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ اللَّهَ بِصَوْمِكُمْ وَتَرْكِكُمْ لِلشَّهَوَاتِ فَإِنَّ الشَّيْءَ كُلَّمَا كَانَتِ الرَّغْبَةُ فِيهِ أَكْثَرَ كَانَ الِاتِّقَاءُ عَنْهُ أَشَقَّ وَالرَّغْبَةُ فِي الْمَطْعُومِ وَالْمَنْكُوحِ أَشَدُّ مِنَ الرَّغْبَةِ فِي سَائِرِ الْأَشْيَاءِ فَإِذَا سَهُلَ عَلَيْكُمُ اتِّقَاءُ اللَّهِ بِتَرْكِ الْمَطْعُومِ وَالْمَنْكُوحِ، كَانَ اتِّقَاءُ اللَّهِ بِتَرْكِ سَائِرِ الْأَشْيَاءِ أَسْهَلَ وَأَخَفَّ

“1. Bahwasanya puasa mewariskan takwa (bagi yang melakoninya) yang bentuknya berupa penaklukan syahwat dan pengendalian hawa nafsu. Puasa juga menghalangi seseorang bersikap angkuh dan berlaku keji. Hal itu dikarenakan puasa berfungsi sebagai pengendali syahwat perut (lapar-haus) dan farji (jima’)”

“2. Makna la’allakum tattaqun ialah supaya kalian bertakwa kepada Allah dan meninggalkan syahwat. Sebab sesuatu yang begitu disenangi cenderung susah untuk ditahan. Kesenangan manusia pada urusan perut dan kawin lebih kuat dari pada urusan lainnya, sehingga jika kalian (umat Islam) mudah melakoni taqwallah dengan meninggalkan urusan perut dan kawin maka taqwallah dengan meninggalkan urusan-urusan selainnya tentu akan lebih mudah”.

Penafsiran al-Razi memberikan poin-poin yang menarik untuk diulas. Pertama, al-Razi telah membawa makna taqwa ke dalam diskursus yang lebih luas dari yang dihadirkan oleh al-Thabari dengan istilah syahwat yang ia gunakan. Kedua, al-Razi mempermisalkan syahwat dengan dua hal yang paling digemari manusia yaitu urusan perut dan farji.

Maka jika direfleksikan, penafsiran al-Razi ini mengajak kita berpikir bahwa seseorang yang mampu berpuasa tentu semestinya akan lebih terlatih untuk mengaplikasikan taqwallah dalam urusan-urusan yang merupakan turunan-turunan dari bentuk syahwat bathni maupun farji. Contoh sederhana dari turunan tersebut seperti halnya korupsi (bathni) dan pergaulan bebas (farji).

Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir

Menarik sekali untuk membaca diskursus ini pada kitab tafsir yang lahir dari tangan seorang yang dinilai sebagai ahli maqashid. Sebab frasa di akhir Q.S. al-Baqarah Ayat 183 tersebut dapat dianggap sebagai maqasid dari adanya kewajiban puasa itu sendiri. Maka berikut ini kutipan penafsiran dalam al-Tahrir wa al-Tanwir:

 وَقَوْلُهُ: لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ بَيَانٌ لِحِكْمَةِ الصِّيَامِ وَمَا لِأَجْلِهِ شُرِعَ وَالتَّقْوَى الشَّرْعِيَّةُ هِيَ اتِّقَاءُ الْمَعَاصِي، وَإِنَّمَا كَانَ الصِّيَامُ مُوجِبًا لِاتِّقَاءِ الْمَعَاصِي، لِأَنَّ الْمَعَاصِيَ قِسْمَانِ، قِسْمٌ يَنْجَعُ فِي تَرْكِهِ التَّفَكُّرُ كَالْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالسَّرِقَةِ وَالْغَصْبِ فَتَرْكُهُ يَحْصُلُ بِالْوَعْدِ عَلَى تَرْكِهِ وَالْوَعِيدِ عَلَى فِعْلِهِ وَالْمَوْعِظَةِ بِأَحْوَالِ الْغَيْرِ، وَقِسْمٌ يَنْشَأُ مِنْ دَوَاعٍ طَبِيعِيَّةٍ كَالْأُمُورِ النَّاشِئَةِ عَنِ الْغَضَبِ وَعَنِ الشَّهْوَةِ الطَّبِيعِيَّةِ الَّتِي قَدْ يَصْعُبُ تَرْكُهَا بِمُجَرَّدِ التَّفَكُّرِ، فَجَعَلَ الصِّيَام وَسِيلَةً لِاتِّقَائِهَا، لِأَنَّهُ يَعْدِلُ الْقُوَى الطَّبِيعِيَّةَ الَّتِي هِيَ دَاعِيَةُ تِلْكَ الْمَعَاصِي، لِيَرْتَقِيَ الْمُسْلِمُ بِهِ عَنْ حَضِيضِ الِانْغِمَاسِ فِي الْمَادَّةِ إِلَى أَوْجِ الْعَالَمِ الرُّوحَانِيِّ، فَهُوَ وَسِيلَةٌ لِلِارْتِيَاضِ بِالصِّفَاتِ الْمَلَكِيَّةِ وَالِانْتِفَاضِ مِنْ غُبَارِ الْكُدُرَاتِ الْحَيَوَانِيَّةِ.

lafadz la’allakum tattaqun merupakan penjelasan mengenai hikmah di balik pensyariatan puasa. Adapun taqwa secara syar’i itu ialah meninggalkan kemaksiatan. Maka puasa itu berfungsi sebagai alasan untuk meninggalkan kemaksiatan sebab kemaksiatan dibagi menjadi dua jenis: jenis yang dapat ditinggalkan dengan pengaruh pikiran (yang jernih) seperti khamr, judi, mencuri dan amarah. Dan jenis kemaksitan yang tumbuh dari hal-hal yang secara alami dilakukan seperti amarah serta syahwat bawaan yang begitu susah ditinggalkan dengan hanya berpikir jernih. Maka pada syahwat jenis inilah puasa dapat menjadi wasilah untuk menahannya. Puasa juga wasilah bagi manusia untuk naik tingkat dari hasutan kegemilangan materi menuju puncak alam ruhani serta melatih ketundukan pada sifat kemalaikatan dan memberontak dari keruhnya sifat kehewanan.”

Ada beberapa poin menarik yang patut diulas dari uraian indah Ibn Asyur di atas. Pertama, Ibn Asyur menggunakan istilah meninggalkan kemaksiatan sebagai definisi dari taqwa. Berbeda halnya dengan al-Razi yang menggunakan istilah syahwat (abstrak). Ibn Asyur tampak lebih condong pada bentuk representatif (eksis) yang sifatnya general. Meskipun pada akhirnya Ibn Asyur juga mengarahkan fungsi puasa yang secara khusus untuk meredam kemaksiatan yang bersumber dari syahwat.

Baca Juga: Takwa dan Tawakkallah, Tips Mencari Rezeki Menurut Al-Quran

Kedua, Ibn Asyur menyisipkan nilai-nilai sufistik yang dilengkapi dengan sisipan istilah-istilah sufisme. Penafsiran ini memberikan nuansa yang berbeda dan sekaligus memperlihatkan upaya Ibn Asyur dalam menampilkan maqasid ibadah puasa yang tidak hanya dari perpektif Fiqh namun juga Tasawuf.

Dari ketiga kitab tafsir yang telah diulas, terlihat bahwa masing-masing memiliki warna dan kekhasan penafsiran yang berbeda-beda khususnya dalam mendefinisikan taqwa dalam surah al-Baqarah Ayat 183. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari sisi pemilihan istilah serta keluasan diskursus atau wacana yang dihadirkan. Namun pada dasarnya ketiga penafsiran tersebut tetap membawa esensi yang sama bahwa puasa ialah ibadah yang disyariatkan dengan tujuan mencetak umat yang bertaqwa pada Rabb-nya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yusuf ayat 4-8

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Dalam Tafsir Surah Yusuf ayat 4-8 mengulas mimpi Nabi Yusuf yang melihat sebelas bintang, matahari dan bulan semuanya mengelilingi Nabi Yusuf. Nabi Yusuf menceritakan mimpi ini ke ayahandanya yakni Nabi Yakub, dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Yusuf ayat 4-8 bahwa Nabi Yakub menjelaskan maksud mimpi tersebut. Selengkapnya baca Tafsir Surah Yusuf ayat 4-8 di bawah ini….


Baca Juga: Kisah Mimpi Yusuf Bukan Wahyu: Tafsir Surah Yusuf Ayat 4


Ayat 4

Pada suatu ketika Nabi Yusuf a.s. memberitahukan kepada ayahnya Nabi Yakub bin Ishak bin Ibrahim bahwa ia bermimpi melihat sebelas bintang, matahari, dan bulan, semuanya tunduk dan sujud kepadanya. Tentu saja sujud di sini bukan dengan arti menyembah seperti yang kita kenal, tetapi hanyalah sujud dalam arti kiasan yaitu tunduk dan patuh. Sujud dengan arti tunduk dan patuh itu ada juga terdapat dalam Al-Qur’an, seperti firman Allah:

وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ

Dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya). (ar-Rahman/55: 6);

Setelah mendengar cerita itu, Nabi Yakub a.s. menyadari bahwa mimpi anaknya bukan mimpi biasa, tetapi merupakan ilham dari Allah sebagaimana kerapkali dialami oleh para nabi. Ia yakin bahwa anaknya ini akan menghadapi urusan yang sangat penting dan setelah dewasa menjadi pemimpin dimana masyarakat akan tunduk kepadanya tidak terkecuali saudara-saudaranya dan ibu-bapaknya.

Ia merasa khawatir kalau hal ini diketahui oleh saudara-saudaranya, dan tentulah mereka akan merasa iri dan dengki terhadapnya serta berusaha untuk menyingkirkan atau membinasakannya apalagi mereka telah merasa bahwa ayah mereka lebih banyak menumpahkan kasih sayangnya kepadanya. Tergambarlah dalam khayal Nabi Yakub bagaimana nasib anaknya bila mimpi itu diketahui oleh saudara-saudaranya, tentulah mereka dengan segala usaha dan tipu daya akan mencelakakannya.

Ayat 5

Oleh sebab itu, Nabi Yakub a.s. berkata kepada anaknya, “Hai anakku, jangan sekali-kali engkau beritahukan apa yang engkau lihat dalam mimpi itu, karena kalau mereka sampai mengetahuinya, mereka akan mengerti ta’bir mimpi itu dan mereka akan iri dan dengki terhadapmu. Aku melihat bahwa mimpi itu bukan sembarang mimpi. Mimpimu itu adalah sebagai ilham dari Allah bahwa engkau di belakang hari akan menjadi orang besar serta berpengaruh, dan manusia akan tunduk patuh kepadamu termasuk saudara-saudaramu dan aku serta ibumu. Aku tidak dapat menjamin bahwa saudara-saudaramu tidak akan melakukan tindakan-tindakan buruk terhadapmu.”

Nasihat ayahnya itu disadari sepenuhnya oleh Yusuf dan selalu diingat dan dikenangnya sehingga nanti pada akhir kisah ketika ia telah dapat bertemu dengan seluruh keluarganya, ia tetap mengatakan bahwasanya setan lah yang memperdaya saudara-saudaranya sehingga terputus hubungan antara dia dengan keluarganya, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

وَقَالَ يٰٓاَبَتِ هٰذَا تَأْوِيْلُ رُءْيَايَ مِنْ قَبْلُ  ۖقَدْ جَعَلَهَا رَبِّيْ حَقًّاۗ وَقَدْ اَحْسَنَ بِيْٓ اِذْ اَخْرَجَنِيْ مِنَ السِّجْنِ وَجَاۤءَ بِكُمْ مِّنَ الْبَدْوِ مِنْۢ بَعْدِ اَنْ نَّزَغَ الشَّيْطٰنُ بَيْنِيْ وَبَيْنَ اِخْوَتِيْۗ اِنَّ رَبِّيْ لَطِيْفٌ لِّمَا يَشَاۤءُ ۗاِنَّهٗ هُوَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ 

Dan dia (Yusuf) berkata, ”Wahai ayahku! Inilah takwil mimpiku yang dahulu itu. Dan sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan. Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari penjara dan ketika membawa kamu dari dusun, setelah setan merusak (hubungan) antara aku dengan saudara-saudaraku. Sungguh, Tuhanku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (Yusuf/12: 100)

Ayat 6

Selanjutnya ayahnya berkata, “Demikianlah Tuhan akan memilihmu untuk menjadi nabi dan mengangkat derajatmu menjadi penguasa serta menganugerahkan kepadamu berbagai macam nikmat dan kemuliaan. Dia akan memberikan kepadamu ilmu dengan mengilhamkannya kepadamu. Dengan ilmu itu kamu dapat menta’birkan mimpi dan mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia biasa.” Hal ini terbukti di waktu Yusuf dalam penjara, dapat menta’birkan mimpi raja Mesir sehingga ia menjadi orang yang disegani dan diangkat menjadi penguasa tertinggi. Selain itu dapat mengetahui makanan apa yang akan dibawa oleh pegawai penjara sebelum makanan itu sampai ke kamar temannya seperti tersebut dalam firman Allah dalam surah ini juga.

قَالَ لَا يَأْتِيْكُمَا طَعَامٌ تُرْزَقٰنِهٖٓ اِلَّا نَبَّأْتُكُمَا بِتَأْوِيْلِهٖ قَبْلَ اَنْ يَّأْتِيَكُمَا ۗذٰلِكُمَا مِمَّا عَلَّمَنِيْ رَبِّيْۗ

Dia (Yusuf) berkata, ”Makanan apa pun yang akan diberikan kepadamu berdua aku telah dapat menerangkan takwilnya, sebelum (makanan) itu sampai kepadamu. Itu sebagian dari yang diajarkan Tuhan kepadaku.” (Yusuf/12: 37);

Kemudian Yakub berkata lagi kepada Yusuf dalam ayat ini, “Allah akan menyempurnakan nikmat dan karunia-Nya kepadamu dan kepada keluarga Yakub termasuk ayahmu, saudaramu, dan keturunan mereka di belakang hari. Adapun nikmat dan karunia-Nya kepadamu ialah seperti yang telah diterangkan tadi, sedang nikmat dan karunia-Nya kepada ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu dan keturunan mereka ialah terlepasnya mereka dari berbagai macam kesulitan serta marabahaya dan mendapat kehormatan serta kedudukan di Mesir, kemudian di antara keturunan keluarga Yakub akan diangkat pula beberapa orang nabi. Semua nikmat dan karunia itu telah diberikan Allah kepada kakekmu Ibrahim serta Ishak. Kepada Ibrahim, Allah telah menjanjikan akan memilih di antara keluarga dan keturunannya untuk menerima kenabian dan kitab suci.”

Lanjut Yakub lagi, “Demikianlah ta’bir mimpi itu dan bergembiralah dengan rahmat dan karunia Allah yang akan dianugerahkan kepadamu, tetapi engkau harus tabah dan sabar menghadapi segala ujiannya dan penuh tawakkal serta rela atas segala yang ditimpakan-Nya kepadamu, karena Dia Mahabijaksana dan Maha Mengetahui segala apa yang ditetapkan-Nya.”

Ayat 7

Allah memperingatkan lebih dahulu bahwa pada kisah Nabi Yusuf a.s. ini terdapat teladan yang baik dan pelajaran bagi orang yang memperhatikannya yaitu betapa besar kekuasaan Allah swt, dan betapa luas hikmah dan kebijaksanaan-Nya dalam mengatur sesuatu dalam suatu rentetan kejadian yang akhirnya sampai kepada tujuan yang dimaksud yaitu pemberian rahmat dan karunia kepada orang yang dikasihi-Nya. Sesudah itu barulah Allah mengisahkan bagaimana sikap saudara-saudara Yusuf terhadapnya.

Ayat 8

Saudara-saudara Yusuf berkata sesama mereka, “Sesungguhnya ayah kita lebih banyak menyayangi Yusuf dan saudaranya Bunyamin dan lebih banyak menumpahkan perhatiannya kepada keduanya, padahal kitalah yang lebih berhak untuk disayangi dan diperhatikan, karena kita ini sudah menjadi orang dewasa yang kuat dan dapat membelanya serta memenuhi segala kebutuhannya. Sikap ayah kita itu bertentangan dengan keadilan dan persamaan hak antara anak-anak. Mengapa ayah lebih mengutamakan dua orang anak yang lemah dan tak berdaya itu dari pada kita yang kuat serta lebih sanggup berkhidmat dan berbakti kepadanya?”

Sepintas lalu nampak dengan jelas kebenaran ucapan saudara-saudara Yusuf itu, seakan-akan Nabi Yakub a.s. telah membuat kekeliruan dengan tindakannya itu padahal dia seorang nabi yang selalu dibimbing Allah dalam segala sikap dan tindakannya. Menurut riwayat memang Yakub menumpah-kan perhatian yang besar terhadap Yusuf, karena ada firasat dan tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Yusuf mempunyai keistimewaan pada sifat dan pembawaannya.

Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh saudara-saudaranya yang lain. Maka Yakub sangat menaruh harapan kepadanya, apalagi setelah ia mendengar Yusuf menceritakan mimpinya. Jika Yakub lebih cinta kepada Yusuf dan lebih banyak memperhatikannya, maka hal itu adalah wajar, sebab Yusuf dan Bunyamin masih kecil-kecil dan lebih banyak membutuhkan perhatian dan bimbingan orang tuanya dibanding saudara-saudaranya yang sudah besar. Hanya sifat iri dan dengki sajalah yang mendorong saudara-saudaranya untuk melakukan tindakan permusuhan terhadapnya, bukanlah karena ayah mereka sudah menyimpang dari jalan keadilan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 9-16

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 3

0
Tafsir Surah Ar Ra'd
Tafsir Surah Ar Ra'd

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 3 berbicara mengenai tanda-tanda kekuasaan Allah selain penciptaan langit. Salah satunya adalah penciptaan bumi yang dihamparkan sehingga bisa dimanfaatkan oleh manusia. Selain itu juga penciptaan gunung dan lain sebagainya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 2 (Bagian 2)


Ayat 3

Pada ayat ini Allah menerangkan sisi lain dari tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di bumi, yaitu:

Pertama, Dialah Allah yang membentangkan bumi menjadi luas dan lebar supaya mudah dijadikan tempat kediaman makhluk-Nya. Semua binatang dapat hidup di atasnya dengan leluasa.

Manusia dapat mengambil manfaat dari hasil buminya, hewan-hewannya, dan benda-benda logam yang terpendam di dalam perutnya, serta dapat berkeliaran di muka bumi untuk mencari rezeki dan segala kemanfaatannya. Karena sangat luas, bumi ini kelihatannya seperti lahan datar, meskipun keadaan yang sebenarnya berbentuk bola sebagaimana diyakini oleh para ulama ahli falak.

Kedua, Allah telah mengadakan gunung-gunung di atas permukaan bumi ini sebagai tonggak dan pasak yang menjaga kestabilan bumi supaya tidak bergerak dan tidak bergeser.

Ketiga, Allah telah menciptakan sungai-sungai di bumi untuk kepentingan manusia dan binatang-binatang. Manusia dapat mengairi dengan air sungai itu kebun-kebun dan sawah ladangnya yang nantinya menghasil-kan bermacam-macam hasil bumi dan buah-buahan.

Keempat, Bunga dari pohon buah-buahan dijadikan Allah berpasang-pasangan dimana terdapat unsur jantan dan unsur betina. Ilmu pengetahuan telah menetapkan bahwa sebuah pohon itu tidak akan berbuah kecuali jika telah terjadi perkawinan antara unsur jantan (serbuk sari) dan betina (putik bunga) yang biasanya berada pada sebagian besar dari jenis pohon.

Ada pohon yang hanya memiliki unsur jantan saja, sedangkan unsur betinanya ada pada pohon yang lain sehingga perlu dikawinkan supaya dapat berbuah seperti pohon kurma. Ada pula yang mempunyai unsur jantan dan betina dalam satu bunga seperti pohon kapas.

Kelima, Allah menutupkan malam kepada siang sehingga suasana alam yang terang berubah menjadi gelap gulita seperti menutup sesuatu dengan kain hitam.

Demikian pula Allah menyinarkan siang kepada malam sehingga  kegelapan hilang dan alam kelihatan terang benderang. Semuanya itu dijadikan Allah untuk menyempurnakan kemanfaatan bagi manusia dengan memberikan kesempatan istirahat dan tidur di malam hari dan bekerja mencari nafkah pada siang hari sesuai dengan firman Allah:

اَلَمْ يَرَوْا اَنَّا جَعَلْنَا الَّيْلَ لِيَسْكُنُوْا فِيْهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًاۗ

Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Kami telah menjadikan malam agar mereka beristirahat padanya dan (menjadikan) siang yang menerangi? (an-Naml/27: 86)

Dalam ayat 3 di atas, dijelaskan bahwa Allah menutupkan malam kepada siang. Dalam ayat yang lainnya juga disebutkan bahwa malam menutup siang dan siang menutup malam. Kata-kata yang digunakan dalam bahasa Arab ini mirip seperti orang memakai sorban, yaitu kain yang satu menutup yang lain dan secara berlapis-lapis menutup kepala.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Bagaimana Hukum Lansia yang Sudah Tidak dapat Berpuasa


Dengan demikian kata menutupkan malam kepada siang, sebetulnya mengisyaratkan bahwa planet bumi kita ini bulat; bukannya datar seperti gambaran orang-orang jahiliah kuno.

Setelah Allah menerangkan dalil-dalil kekuasaan-Nya yang dapat dilihat oleh mata tiap pagi dan petang, tiap-tiap waktu dan keadaan, maka Allah menerangkan bahwa tanda-tanda itu tidak diperhatikan kecuali oleh orang-orang yang suka bersyukur dan merenungi tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Lalu dengan akal pikirannya dapat mencapai kebenaran dan beralih dari memandang sebab kepada yang menyebabkan.

Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang mau memikirkan bahwa pencipta alam itu adalah Tuhan yang mempunyai kehendak yang mutlak dan kekuasaan yang meliputi segala sesuatu, yang Kuasa untuk menghidupkan yang telah mati di antara makhluk-Nya, dan mengembalikan mereka dari alam fana.

Oleh karena itu, tidak boleh beribadah kecuali kepada-Nya, tidak boleh tunduk dan berserah diri kecuali kepada kekuasaan-Nya. Beribadah tidak boleh ditujukan kepada patung-patung, berhala-berhala, batu-batu, pohon, malaikat, nabi-nabi, dan lain sebagainya karena benda-benda itu tidak dapat menolak kemudaratan dari dirinya sendiri, sesuai dengan firman Allah:

اِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ لَنْ يَّخْلُقُوْا ذُبَابًا وَّلَوِ اجْتَمَعُوْا لَهٗ ۗوَاِنْ يَّسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْـًٔا لَّا يَسْتَنْقِذُوْهُ مِنْهُۗ

Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. (al-Hajj/22: 73)

Dan telah diriwayatkan pula dalam sebuah hadis Nabi saw:

تَفَكَّرُوْا فِى خَلْقِ اللهِ وَلاَ تَتَفَكَّرُوْا فِى اللهِ

(رواه أبو نعيم عن ابن عباس)

Pikirkanlah olehmu sekalian tentang makhluk Allah dan jangan memikirkan tentang Allah. (Riwayat Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 4


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al A’raf ayat 203-206

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 203-206 ini menjelaskan beberapa fungsi al-Qur’an yang salah satunya adalah sebagai pedoman dan juga petunjuk bagi umat manusia. Selain itu Tafsir Surah Al A’raf ayat 203-206 membahas tentang keutamaan berdzikir.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 200-202


 

Ayat 203

Dalam ayat ini diterangkan tingkah laku teman-teman setan dalam usaha mereka menentang Nabi Muhammad, bilamana wahyu tidak datang kepada Nabi Muhammad disebabkan keterlambatan turunnya ayat, maka orang-orang musyrikin itu mendesak Nabi Muhammad agar beliau menciptakan sendiri ayat-ayat itu. Desakan mereka itu sebenarnya mengandung arti pengingkaran terhadap Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Sebab mereka memandang Al-Qur’an itu ciptaan Nabi Muhammad belaka, karena itu bisa dibuat kapan saja. Maka Allah memerintahkan kepada Nabi untuk menjelaskan kepada mereka bahwa Al-Qur’an itu wahyu Allah yang diwahyukan kepadanya.

Nabi hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya. Bukan haknya untuk mendesak Allah agar menciptakan sesuatu perkara, Nabi hanya dapat menunggu wahyu yang akan disampaikan kepadanya, untuk disampaikan pula kepada umatnya. Jika tidak ada dia tidak boleh mengubah sendiri Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu adalah kalam Allah, dia mempunyai tiga fungsi bagi orang-orang yang beriman sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat ini.

  1. Sebagai bukti yang nyata dari Allah untuk menunjukkan keesaan-Nya, kenabian Muhammad dan hari Kiamat. Siapa yang memperhatikan dan merenungkan isi Al-Qur’an, tentu akan yakin bahwa Al-Qur’an itu dari Allah swt.
  2. Sebagai petunjuk atau pedoman yang membimbing manusia dalam mencari kebenaran dan jalan yang lurus.
  3. Sebagai rahmat dalam kehidupan manusia dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’an memberikan peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran yang mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh kaum Muslimin untuk kehidupan mereka sehari-hari.

Ayat 204

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ayat ini diturunkan karena sahabat salat di belakang Rasulullah sambil berbicara.  Allah dalam ayat ini memerintahkan orang-orang yang beriman agar mereka memberikan perhatian yang sungguh-sungguh kepada Al-Qur’an. Hendaklah mereka mendengarkan sebaik-baiknya ataupun isinya untuk dipahami, mengambil pelajaran-pelajaran dari padanya dan mengamalkannya dengan ikhlas.

Sabda Rasulullah saw:

مَنِ اسْتَمَعَ إِلَى اٰيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةٌ مُضَاعَفَةٌ وَمَنْ تَلاَهَا كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري و أحمد عن أبي هريرة)

Barangsiapa mendengarkan (dengan sungguh-sungguh) ayat dari Al-Qur’an, dituliskan baginya kebaikan yang berlipat ganda dan barang siapa membacanya, adalah baginya cahaya pada hari Kiamat.” (Riwayat al-Bukhāri dan Imam Ahmad dari Abu Hurairah);

Hendaklah orang-orang mukmin itu bersikap tenang sewaktu Al-Qur’an dibacakan, sebab di dalam ketenangan itulah mereka dapat merenungkan isinya. Janganlah pikiran mereka melayang-layang sewaktu Al-Qur’an diperdengarkan, sehingga tidak dapat memahami ayat-ayat itu dengan baik. Allah akan menganugerahkan rahmat-Nya kepada kaum Muslimin bilamana mereka memenuhi perintah Allah tersebut dan menghayati isi Al-Qur’an.

Ada beberapa pendapat seputar perintah untuk mendengarkan dan bersikap tenang sewaktu Al-Qur’an dibacakan:

  1. Wajib mendengarkan dan bersikap tenang ketika Al-Qur’an dibacakan berdasarkan perintah tersebut, baik di dalam salat ataupun diluar salat. Demikianlah pendapat ¦asan al-Ba¡ri dan Abu Muslim al-A¡fahani.
  2. Wajib mendengarkan dan bersikap tenang, tetapi khusus pada bacaan-bacaan Rasul saw di zaman beliau dan bacaan iman dalam salat, serta bacaan khatib dalam khutbah Jum’at.
  3. Mendengarkan bacaan Al-Qur’an di luar salat dan khutbah seperti resepsi dipandang sangat dianjurkan agar kita mendapat rahmat Allah.

Ayat 205

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Rasul beserta umatnya untuk menyebut nama Allah atau berzikir kepada-Nya. Baik zikir itu dengan membaca Al-Qur’an, tasbih, tahlil, doa, ataupun pujian lain-lainnya menurut tuntunan agama, dengan tadarru’ dan suara lembut pada setiap waktu terutama pagi dan sore, agar kita tidak tergolong orang yang lalai. Kemudian Allah menggariskan bagi kita adab dan cara berzikir atau menyebut nama Allah itu sebagai berikut:

  1. Zikir itu yang paling baik dilakukan dengan suara lembut, karena hal ini lebih mudah mengantar untuk tafakur yang baik.

Diriwayatkan bahwa dalam suatu perjalanan. Nabi mendengar orang berdoa dengan suara yang keras, berkatalah beliau kepada mereka itu:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ، اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّ الَّذِيْ تَدْعُوْنَهُ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ اِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِكُمْ (رواه ابن ماجه)

“Hai manusia kasihanilah dirimu, sesungguhnya kamu tidak menyeru kepada yang tuli atau yang jauh dari padamu. Sesungguhnya Yang kamu seru itu adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Dia lebih dekat kepadamu dari leher (unta) kendaraanmu”. (Riwayat Ibnu Majah)

  1. Zikir itu dapat dilakukan dalam hati atau dengan lisan, karena zikir dalam hati menunjukkan keikhlasan, jauh daripada riya’, dan dekat pada perkenaan Allah swt. Zikir dapat dilakukan dengan lisan, lisan mengucapkan dan hati mengikutinya.
  2. Zikir dapat pula dilakukan secara berjamaah, dengan tujuan untuk mendidik umat agar terbiasa melakukan zikir.

Ayat 206

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa malaikat yang kedudukannya mulia di sisi Tuhan tiadalah merasa berat dan enggan menyembah Allah. Hendaklah manusia mencontoh ketaatan malaikat itu kepada Tuhan. Para malaikat itu selalu mensucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya, dan dari menyembah berhala-berhala. Para malaikat sujud dan salat kepada Allah swt.

Ayat ini termasuk ayat sajadah yang pertama dalam Al-Qur’an. Di sunatkan bagi orang Islam melakukan sujud setelah membaca atau mendengar ayat ini dibacakan.

Abu Darda’ meriwayatkan sebagai berikut:

إِنَّهُ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَدَّهَا فِيْ سَجَدَاتِ الْقُرْاٰنِ (رواه ابن ماجه)

“Bahwasanya Rasulullah saw memandang ayat ini salah satu ayat sajadah dalam Al-Qur’an”. (Riwayat Ibnu Majah)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Kisah 70 Sahabat Nabi dan Dzikir Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil


 

Mengenal Kitab Tafsir Indonesia yang Lahir dari Ruang Akademik

0
Tafsir Indonesia dari ruang akademik
Tafsir Indonesia dari ruang akademik

Kitab tafsir Indonesia lahir dari ruang sosial budaya yang beragam. Menurut Islah Gusmian dalam buku Khazanah Tafsir Indonesia, kitab tafsir ada yang lahir dari ruang akademik, adapula dari ruang non akademik. Keduanya memilki karakteristik yang berbeda. Pada tulisan ini terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai tafsir yang lahir dari ruang akademik.

Tafsir Al-Quran yang bersifat akademik adalah suatu karya tafsir yang lahir karena pada awalnya ditulis untuk kepentingan akademik di perguruan tinggi atau kitab tafsir yang berawal dari tugas akademik dalam rangka memperoleh gelar akademik, baik dalam rangka pengambilan gelar akademik S1, S2 maupun S3. Jadi, pada awalnya kitab tafsir tersebut sebelum dibukukan atau menjadi produk tafsir, berupa naskah skripsi, tesis maupun disertasi.

Baca juga: Mengenal Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura): Tafsir Ilmi Pertama di Madura

Secara umum, kitab tafsir yang lahir dari ruang akademik lebih komprehensif dari konten isi, penulisannya dan analisis yang digunakan. Disebabkan ketatnya persyaratan penulisan yang harus dikuasai pengkaji tafsir di perguruan tinggi.

Selain itu, karya tafsir dari ruang akademik ini menitikberatkan pada kaidah bahasa ilmiahnya, mekanisme penyusunan redaksionalnya, seperti penggunaan catatan kaki baik footnote atau innote maupun endnote dan kecenderungan tulisannya dominan pada satu permasalahan (satu tema pokok) atau tafsir yang memfokuskan diri dalam satu topik bahasan tertentu, biasanya disebut dengan tafsir tematik singular.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Bagaimana Hukum Lansia yang Sudah Tidak dapat Berpuasa

Kitab Tafsir dari Ruang Akademik

Menariknya, kitab tafsir di Indonesia yang diterbitkan pada dekade terakhir ini, disemarakkan dengan berbagai kajian tematik dari ruang akademik. Ini dilihat dari beberapa kitab berikut ini:

Tafsir Surah Al-Fatihah KH. Zainul Mun’im karya A. Rafiq Zainul Mun’im. Buku tafsir ini mulanya adalah naskah skripsi A. Rafiq Zainul Mun’im di jurusan tafsir dan hadis fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Karya ini berusaha menelusuri salah satu tafsir ulama lokal dengan memanfaatkan sebuah disiplin keilmuan filologi sebagai pendekatannya. Sebelum terbit pada tahun 2004, buku yang berawal dari naskah skripsi ini berjudul Tafsir Surat al-Fatihah dalam Naskah Tafsir Al-Quran bi al-Imla’ K. H. Zaini Mun’im: Suatu Kajian Filologis.

Tafsir Inklusif Makna Islam: Analisis Linguistik-Histori Pemaknaan Islam dalam Al-Quran Menuju Titik Temu Agama-agama Semetik karya Ajat Sudrajat. Buku tafsir ini bermula dari sebuah naskah tesis yang diajukan kepada program pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Semula berupa naskah tesis dengan judul Makna Islam dalam Al-Quran dan Kaitannya dengan Titik Temu Agama-agama Semitik. Kemudian untuk keperluan penerbitan, naskah yang berawal dari tesis ini kemudian dibukukan pada tahun 2004. Namun mengalami beberapa perubahan untuk penyempurnaan, termasuk judulnya yang dalam edisi buku tidak sama dengan naskah semula .

Baca juga: Genealogi Kajian Tafsir Kawasan Yaman: Pasca Atba’ al-Tabi’in Hingga Abad ke-14 H (4)

Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Quran karya Nasaruddin Umar. Kitab ini merupakan disertasi yang diujikan pada tahun 1999 di IAIN Jakarta dengan judul Perspektif Jender dalam Al-Quran. Kemudian diterbitkan pada tahun yang sama. Kitab ini menggunakan metode tematik dengan berbagai pendekatan seperti normatif-teologis, semantik-linguistik dan sosio-historis dalam menganalisis relasi laki-laki dan perempuan pada ayat-ayat Al-Quran.

Selain kitab tafsir yang telah dikemukakan sebelumnya, terdapat beberapa kitab tafsir yang lahir dari ruang akademik yakni Memasuki Makna Cinta Karya Abdurrasyid Ridha yang awalnya berupa skripsi, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis terhadap Konsepsi Al-Quran Karya Machasin dan Konsep Sabar dalam Al-Quran Pendekatan Tafsir Tematik.  Kedua kitab tersebut sebelumnya, berupa tesis.

Baca juga: Mengenal Kitab Ilmu At-Tafsir: Referensi Dasar Ilmu Tafsir

Kitab yang awalnya berupa disertasi seperti Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran karya Abd. Moqsith Ghazali, Konsep Perbuatan Manusia Menurut Al-Quran: Sebuah Kajian Tematik Karya Jalaluddin Rahman, Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir (1999) karya Zainatu Subhan, Jiwa dalam Al-Quran: Solusi Krisis Kerohanian Manusia Modern (2000) karya Achmad Mubarak, Konsep Kufr dalam Al-Quran Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tematis Karya Harifuddin Cawidu, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran (1992) karya Musa Asy’arie, dan Ahl Kitab: Makna dan Cakupannya (1998) karya Muhammad Ghalib Mattalo. (Khazanah Tafsir Indonesia) Wallaahu a’lam.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 171-173

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya Allah telah menyebutkan tentang orang musyrik yang menduakan Allah dengan sesembahan lain. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 171-173 Allah menjelaskan tentang perumpamaan orang kafir yang menolak ajaran Islam.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 165-170


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 171-173 juga ditegaskan pada kaum mukmin untuk makan dari makanan yang baik (halal) dari Allah dan rezeki yang diberikan oleh-Nya harus disyukuri.

Ayat 171

Allah memberikan perumpamaan bagi orang kafir yang menerima saja semua yang diperintahkan pemimpin mereka dan apa yang dilakukan nenek moyang mereka sehingga mereka menolak ajaran Islam yang benar dan sesuai dengan akal pikiran.

Mereka seperti hewan piaraan, yang bila dipanggil oleh tuannya, ia datang, bila diusir ia pergi dan bila ia dilarang memasuki suatu padang rumput, ia menghindarinya, sedangkan ia sendiri tidak mengerti apalagi memikirkan untuk apa dipanggil, untuk apa diusir dan untuk apa tidak dibolehkan memasuki suatu tempat.

Demikianlah orang kafir itu seakan-akan tidak bertelinga untuk mendengar, tidak berlidah untuk berbicara dan tidak punya mata untuk melihat dan memperhatikan.

Ayat 172

Di dalam ayat ini ditegaskan agar seorang mukmin makan makanan yang baik yang diberikan Allah, dan rezeki yang diberikan-Nya itu haruslah disyukuri. Dalam ayat 168 perintah makan makanan yang baik-baik ditujukan kepada manusia umumnya.

Karenanya, perintah itu diiringi dengan larangan mengikuti ajaran setan. Sedangkan dalam ayat ini perintah ditujukan kepada orang mukmin saja agar mereka makan rezeki Allah yang baik-baik. Sebab itu, perintah ini diiringi dengan perintah mensyukurinya.

Ayat 173

Menetapkan suatu hukum dengan menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, sepenuhnya hak Allah swt, karena Dialah yang berkuasa. Dialah yang disembah, ditaati segala perintah-Nya dan dijauhi segala larangan-Nya.

Kalau ada seseorang mengharamkan sesuatu atau menghalalkannya maka sebenarnya orang itu telah menyamakan dirinya dengan Allah, dan tidak boleh diikuti. Membenarkan orang itu sama dengan mempersekutukan Allah dan mengakui bahwa di samping Allah ada yang berhak dibenarkan dan dipatuhi hukumnya.

Demikianlah halnya orang musyrik, mereka menyembah dan mematuhi perintah selain Allah berupa berhala-berhala, pemimpin-pemimpin yang menguasai berhala-berhala itu, mereka tidak diakui oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai orang mukmin selama mereka mempunyai kepercayaan seperti itu.

Di sini ditegaskan makanan yang diharamkan ada empat macam itu saja. Ada lagi beberapa jenis binatang yang dilarang dimakan berdasarkan ayat seperti yang tersebut di atas.

Kemudian dijelaskan lagi bahwa tidak berdosa orang yang dalam keadaan darurat makan makanan yang diharamkan, apabila mereka benar-benar dalam keadaan darurat, seperti tidak ada lagi makanan yang akan dimakan, dan jika tidak dimakan akan membawa bahaya besar atau kematian.

Sebenarnya mereka tidak ingin bahkan merasa jijik memakannya, tapi hanya sekadar untuk menyelamatkan jiwanya. Adapun memakan yang lebih dari itu hukumnya tetap haram. Ini kehendak Allah dan Allah tidak memberatkan seorang hamba lebih daripada kesanggupannya.

Menurut jumhur ulama, makanan yang haram dimakan, haram pula diperjualbelikan, karena najis, kecuali ulama Hanafi dan Zahiri yang mengatakan bahwa segala yang dapat dimanfaatkan, boleh diperjualbelikan, seperti jual beli kotoran hewan dan sampah-sampah yang najis, karena dibutuhkan penggunaannya di kebun-kebun dan lain-lain.

Ayat tersebut menerangkan dengan jelas bahwa umat Islam dilarang memakan bangkai, darah dan daging babi. Darah dan bangkai sudah jelas, karena di dalamnya banyak mengandung racun. Sedangkan mengenai daging babi, mungkin perlu penjelasan lebih lanjut.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Khamar itu Haram! Fase Terakhir Pengharaman Khamar


 Menurut saintis, babi adalah binatang yang berbentuk seperti tong, dengan kaki yang pendek. Babi hutan yang ada saat ini diduga sebagai nenek moyang babi peliharaan. Babi hutan dapat berlari sangat cepat dan pandai berenang. Mereka termasuk pemakan segala macam makanan, mulai dari rumput sampai bangkai.

Bahkan babi ternak menyukai kotorannya sendiri. Dengan demikian, bukan persoalan kebersihan peternakan babi yang perlu dibicarakan di sini, akan tetapi memang babi secara alami bukan binatang yang bersih. Bagaimanapun canggihnya sistem kebersihan yang diterapkan, sifat babi tersebut tidak berubah.

Sesuai dengan cara hidup alaminya yang sangat jorok, maka mereka memiliki kandungan antibodi (suatu zat yang dihasilkan tubuh untuk pertahanan diri terhadap penyakit) yang tinggi.

Kandungan antibodi yang tinggi yang tersimpan di dalam daging babi, kurang menguntungkan kesehatan manusia yang memakannya. Termasuk dalam hal ini kandungan kolesterol dan lemak yang tinggi yang ada pada daging babi.

Kematangan seksual babi sangat cepat. Babi jantan sudah matang dan dapat membuahi pada umur delapan bulan. Sedangkan babi betina sudah dapat beranak setelah umur enam bulan. Mereka baru berhenti beranak pada umur 15 tahun. Babi betina dapat beranak sampai dengan 20 ekor dalam sekali pembuahan. Dorongan seksual babi sangat besar.

Pertumbuhan anak babi sangat cepat. Ketika lahir, beratnya sekitar 2 kg. Setelah enam bulan, beratnya dapat mencapai 100 kg. Berat babi dapat mencapai, yang terbesar ditemukan, 363 kg.

Semua ini dapat terjadi karena babi memiliki hormon pertumbuhan dan hormon seksual yang sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan babi banyak memiliki lemak. Kedua hormon tersebut (yang hadir dalam jumlah tinggi) juga menambah panjang daftar penyebab mengapa daging babi tidak baik untuk dikonsumsi.

Beberapa penelitian medis menyebutkan bahwa dalam tubuh babi terkandung beberapa virus yang dapat menyebabkan seseorang yang memakannya terjangkit suatu penyakit. Di samping itu satu penelitian menyebutkan bahwa satu dari enam orang di Amerika terserang kuman pada ototnya karena mengkonsumsi babi.

Hal ini bisa terjadi karena dalam tubuh babi terkandung beberapa jenis cacing pita yang membahayakan. Seperti sudah banyak diketahui bahwa penyakit cacing pita Trichinellosis ditularkan melalui daging babi. Tenasolium adalah salah satu nama cacing yang berkembang biak dalam pencernaan yang panjangnya dapat mencapai delapan meter.

Beberapa penyakit yang merebak secara luas oleh penyakit dengan babi sebagai inangnya dapat disimak di bawah ini. Pada 1968 ditemukan sejenis kuman dari daging babi yang merupakan penyebab dari kematian sekian banyak pasien di Belanda dan Denmark.

Pada 1918, flu Babi pernah menyerang banyak bagian dari dunia kita dan menelan korban jutaan orang. Flu ini kembali muncul pada 1977, dan di Amerika Serikat ketika itu dilakukan imunisasi yang menelan biaya mencapai 135 juta dolar.

Wabah virus flu burung dan SARS pada tahun 2005-2007 juga tidak lepas dari peran binatang babi sebagai hospes (inang) perantara bagi beberapa virus dari hewan lain yang juga dapat menular pada manusia seperti virus SARS dan flu burung.

Beberapa penyakit lainnya yang dapat ditimbulkan babi adalah menularkan penyakit influensa, radang otak (Japanese B. Encephalitis), peradangan mulut dan hati (Stomatitis dan Myocarditis) dan lainnya.

Salah satu temuan baru yang terungkap setelah maraknya rekayasa genetika adalah ditemukannya virus-virus yang terdapat pada babi yang tidak terbunuh melalui cara dibakar atau pemasakan biasa. Ada juga cacing yang disebut Trichine yang dapat masuk dan berdiam di tubuh manusia selama bertahun-tahun.

Lemak babi mengandung complicated fats antara lain triglycerides, dan dagingnya mengandung kolesterol yang sangat tinggi, mencapai lima belas kali lipat lebih banyak dari daging sapi.

Dalam Encydopedia Americana dijelaskan perbandingan antara kadar lemak yang terdapat pada babi, domba, dan kerbau. Dalam kadar berat yang sama, babi mengandung 50% lemak, domba 17%, dan kerbau tidak lebih dari 5%.

Beberapa bagian babi diketahui dapat digunakan untuk menggantikan organ manusia. Misalnya saja katup jantung babi adalah pengganti katup jantung manusia yang terbaik.

Tetapi perlu dicermati, karena babi juga merupakan tempat hidupnya banyak bakteri, virus dan parasit yang berbahaya untuk manusia, maka kemungkinan akan menulari manusia yang menerima organ babi tersebut menjadi sangat tinggi.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 174-177


(Tafsir kemenag)

Kalimat Istirja’ di Akhir Surah Al-Baqarah Ayat 156, Kita Semua Milik Allah

0
Milik Allah
Kalimat Istirja', Kita Semua Milik Allah

“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un…”, Sesungguhnya kita milik Allah, dan ‎sesungguhnya kita akan kembali kepada-Nya. Demikian dijelaskan dalam akhir Surah ‎Al-Baqarah ayat 156.‎

Kalimat istirja’ di atas, biasa diucapkan ketika kita mendengar seseorang ‎terkena musibah. Lebih-lebih ketika musibah itu berupa kematian. Inilah yang ‎lazim kita jumpai di tengah-tengah masyarakat. ‎

Pada hakekatnya, apa pun musibah yang menimpa kita atau orang lain, ‎baik berupa sakit, kecelakaan, kehilangan, kematian, atau pun musibah-‎musibah lainnya, maka kita dianjurkan mengucapkan kalimat istirja’ tersebut.‎

Baca Juga: Wafatnya Ulama Itu Musibah Terbesar: Tafsir Surah Ar-Ra’d Ayat 41

Kalimat ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’, jika kita pahami lebih jauh ‎maknanya, maka akan kita jumpai sebuah pesan yang sangat dalam, yakni ‎perintah agar kita menyadari sepenuh hati bahwa segala yang kita miliki, baik ‎berupa harta, jabatan, kedudukan, popularitas, bahkan anak dan istri atau ‎suami kita, semua itu milik Allah. Maka, kapan pun Allah berkehendak untuk ‎mengambilnya kembali, kita harus mengikhlaskannya.‎

Kita tidak diperkenankan untuk mempertanyakan atau bahkan ‎‎‘menggugat’ ketetapan Allah yang telah diberikan kepada kita. Apalagi, kita ‎kemudian menganggap bahwa Allah tidak berlaku adil, karena menimpakan ‎musibah tersebut kepada kita.

Semua ketetapan (qadla) dan qadar Allah yang ‎dituliskan untuk kita adalah yang terbaik menurut Allah. Allah lah yang paling ‎tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Alih-alih kita mempertanyakan keadilan ‎Allah, introspeksi diri adalah cara terbaik yang dapat kita lakukan. Apa pun ‎ketetapan yang telah Allah gariskan untuk kita, harus kita terima dengan ‎lapang dada dan ikhlas. ‎

Untuk dapat bersikap ikhlas dalam menghadapi kondisi seperti ini adalah ‎dengan cara menyadari dari mana sesungguhnya kita berasal? Apa yang kita ‎bawa ketika lahir ke dunia ini?‎

Kita semua, ketika pertama kali melihat alam dunia ini, ketika baru saja ‎keluar dari perut ibu kita masing-masing, tidak ada satu pun yang membawa ‎harta kekayaan, jabatan, kedudukan, popularitas atau yang lainnya. Bahkan, ‎sehelai benang pun tidak kita miliki. Kita semua terlahir dalam kondisi ‎telanjang, tidak membawa bekal apa pun berupa materi. ‎

Satu hal yang kita bawa adalah perjanjian yang telah kita sepakati ‎dengan Allah ketika kita masih di alam rahim. Seperti ditegaskan dalam Q.S. ‎Al-A’raf: 172:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan ‎anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ‎jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka ‎menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan ‎yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‎‎”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ‎ini (keesaan Tuhan)”.‎

Ayat ini menegaskan bahwa hanya janji tauhid yang kita bawa ke dunia ‎ini ketika kita dilahirkan oleh ibu kita. Tidak ada bekal berupa pengetahuan, ‎harta, kekayaan dan bekal-bekal lain selain janji tauhid tadi.‎

Setelah seseorang dewasa, kemudian dia dapat menjalani kehidupan ‎secara layak dengan bekerja keras, berjuang sekuat tenaga mengerahkan ‎segala potensi yang dimilikinya, maka kemudian kesuksesan pun dia raih.‎

Baca Juga: Perempuan dan Hak untuk Bekerja dalam Kisah Dua Putri Nabi Syu’aib

Pada saat seperti inilah, ketika kesuksesan hidup sudah dicapainya, akan ‎terlihat jelas siapa yang tetap memegang teguh janji tauhid yang dibawanya, ‎dan siapa yang melupakan janji tersebut.‎

Orang-orang yang sadar dari mana mereka berasal, ke mana mereka ‎akan pulang, niscaya akan tetap memegang teguh janji tauhid itu hingga ajal ‎menjemputnya. Sekali lagi, kita semua ini milik Allah dan akan kembali kepada ‎Allah.‎

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 2 (Bagian 2)

0
Tafsir Surah Ar Ra'd
Tafsir Surah Ar Ra'd

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 2 bagian kedua ini meneruskan pembicaraan sebelumnya, yakni tentang penciptaan langit. Namun di sini dijelaskan dari sudut pandang sanitifik. Misalnya penjelasan tentang birunya warna langit.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 2 (Bagian 1)


Ditinjau dari sudut saintifik, langit atau samā’ dalam ayat ini dapat berarti langit biru atau atmosfer yang dekat dengan bumi ini. Dalam pengertian yang lebih luas samā’ juga dapat diartikan dengan langit antariksa (space) yang sangat luas ini.

Atmosfer adalah selubung gas yang meliputi suatu planet (termasuk bumi). Ia membentuk ruang udara. Atmosfer dibagi ke dalam 6 (enam) wilayah menurut ketinggiannya, yang satu berada di atas yang lainnya.

Secara berurutan dari wilayah yang terendah, maka atmosfer dibagi menjadi: (1) Troposfer (Troposphere ketinggian: 0-8 Km), (2) Tropopause, ketinggian: 8-12 Km (3) Stratosfer (Stratosphere, ketinggian: 12-80 Km), (4) Mesosfer (Mesosphere, ketinggian: 80 Km) (5) Ionosfer (Ionosphere, ketinggian: 100 Km) dan (6) Eksosfer (Exosphere, ketinggian >100Km).

Terjadinya awan, cuaca dan sebagainya berada di wilayah Troposfer. Komposisi atmosfer (di wilayah Troposfer), mayoritas terdiri dari gas nitrogen (78%), juga oksigen (20%). Atmosfer ini menyeliputi bumi dan dapat ’tegak’ di atas bumi karena adanya gaya gravitasi bumi.

Inilah pengertian dari meninggikan langit tanpa tiang’ itu. Tentu saja ini adalah tafsir langit yang berbeda dengan tujuh lapis langit yang menyangkut galaksi dan lain sebagainya.

Berkaitan dengan langit tanpa tiang, ditinjau dari struktur konstruksi maka struktur tanpa tiang hanya dimungkinkan kalau konstruksinya berbentuk bola atau mirip bola (spherical, surface of revolution), meskipun demikian para ahli belum sepakat tentang bentuknya; ada yang menyatakan sebagai bola, seperti sadel, bahkan sebagai terompet.

Pada konstruksi ini dinding dan tiang menyatu menjadi permukaan bola itu sendiri. Jadi, konstruksi langit tanpa tiang hanya dimungkinkan  bila langit itu berbentuk bola, sesuai dengan temuan ilmiah yang menyatakan bahwa alam semesta adalah bola besar yang  mengembang makin membesar dengan kecepatan cahaya yaitu dengan kecepatan cahaya 300 ribu kilometer setiap detiknya (the expanding universe).


Baca juga: Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (2): Ulama Kontra


Langit-antariksa, memang terbentuk sejak Dentuman Besar (Big Bang) dan terus mengembang dan meluas. Dalam Surah az-Zāriāt/51:47 disebutkan: Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Kami benar-benar meluaskannya. Kata samā’ pada ayat 47 Surah az-Zāriāt/51 di atas lebih tepat diartikan langit-antariksa.

Langit-antariksa (space) memang terus-menerus mengembang (space expansion). Penelitian spektrum Galaksi, menunjukkan adanya pergeseran spektrum pita-merah yang teratur, hal ini menjelaskan bahwa jarak antar Galaksi semakin menjauh, dan inilah yang merupakan indikasi langit-antariksa semakin mengembang.

Tentu langit ini tidak memerlukan tiang; karena dibangun dengan kekuatan maha dahsyat dari Allah swt yang berupa Dentuman Besar. Dentuman Besar (Big Bang) ini telah memecah Gaya Superforce menjadi Gaya-gaya Fundamental seperti: Gaya Gravitasi, Gaya Nuklir Kuat, Gaya Nuklir Lemah, dan Gaya Elektromagnetik; yang kesemuanya ini menstabilkan langit-antariksa ini.

Seterusnya dalam ayat-2 ini disebutkan: ”Dia menundukkan matahari dan bulan; masing-masing beredar menurut waktu yang telah ditentukan”. Kata ”menundukkan” berarti bahwa baik matahari maupun bulan tunduk pada sunatullah, atau hukum-hukum alam dari Allah. Tentang ”masing-masing beredar menurut waktu yang ditentukan”, lihat keterangan pada Surah Yµnus/10: 5 di atas. Demikian penjelasan dari sudut pandang saintis.

Kesemuanya itu terjadi berkat kesempurnaan Allah dalam Zat, sifat, ilmu, dan kekuasaan-Nya yang tidak dapat ditiru oleh siapapun juga. Allah mengatur urusan makhluk-Nya, menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya dengan peraturan yang sangat rapi dan sempurna, serta mengatur benda-benda di langit sehingga berjalan menurut lintasan yang telah ditentukan, seperti bentuk mata rantai yang sambung menyambung sehingga tidak terjadi tabrakan di ruang angkasa yang dapat menimbulkan malapetaka dan bencana.

Semua ini berlangsung terus-menerus sampai datang hari kiamat, dimana akan terjadi kekacauan dan ketidakteraturan kerja benda-benda langit di alam angkasa. Kehancuran alam semesta dimulai dengan terbelahnya langit, seperti dijelaskan dalam firman Allah:

اِذَا السَّمَاۤءُ انْفَطَرَتْۙ  ١

وَاِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْۙ  ٢

Apabila langit terbelah, dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan. (al-Infitar/82:1-2)

Kemudian Allah menerangkan bahwa tanda-tanda kesempurnaan kekuasaan-Nya di langit dan di bumi merupakan sarana yang bisa menimbulkan keyakinan bagi umat manusia akan adanya perjumpaan dengan Allah Sang Pencipta pada hari kiamat, dimana Dia akan memberikan ganjaran kepada orang-orang yang berbuat kebajikan dan menghukum orang-orang yang berbuat kejahatan.

Jika manusia meyakini kebenaran ini, niscaya dia dapat berpaling dari penyembahan berhala dan patung kepada keikhlasan beribadah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, percaya kepada janji dan ancaman-Nya, percaya kepada semua rasul-Nya, mengikuti segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, sehingga mereka menjadi manusia yang bahagia di dunia dan di akhirat.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 3


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yusuf ayat 1-3

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 1-3 merupakan awal mula dikisahkannya Nabi Yakub dan Nabi Yusuf. Namun sebelum memasuki kisah yang sangat mahsyur tersebut Tafsir Surah Yusuf ayat 1-3 diawali dengan penjelasan makna bunyi ayat pertama yang mengandung kata “al-Mubin” hal ini mengisyaratkan surah Yusuf mengandung kisah yang menarik dan kisah terebut dimulai dari ayat ke 3 dalam Tafsir Surah Yusuf  ayat 1-3 di bawah ini…


Baca juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan


Ayat 1

Ayat pertama surah Yusuf ini sama bunyinya dengan ayat pertama pada surah Yunus kecuali pada akhir ayat pertama surah Yunus ada kata “al Hakim” sedang pada ayat pertama surah ini terdapat kata “al-Mubin”.

Al-Hakim artinya penuh hikmat dan al-Mubin artinya nyata, jelas, dan terang. Biasanya dengan memperhatikan ayat pertama dari tiap-tiap surah sudah dapat diperkirakan apa pokok-pokok isi surah itu. Surah Yunus yang ayat pertamanya diakhiri dengan al-Hakim, terdapat di dalamnya masalah-masalah hikmat dan filsafat, seperti masalah keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, kebenaran risalah yang dibawa para nabi yang dikuatkan dengan berbagai macam mukjizat, masalah hari kebangkitan, hari pembalasan, dan sebagainya. Semuanya itu adalah masalah-masalah yang harus direnungkan dan difikirkan secara mendalam dan termasuk masalah hikmat dan filsafat.

Adapun surah Yusuf ayat pertamanya diakhiri dengan al-Mubin. Hal ini mengisyaratkan bahwa di dalamnya terdapat suatu kisah yang sangat menarik, digubah dengan susunan kata-kata yang mempesona penuh balagah dan falsafah dalam suatu jalinan cerita yang indah yang mendorong pembacanya untuk mengikuti sampai akhir, suatu kisah yang patut menjadi contoh dan teladan yang menggambarkan dengan jelas bagaimana kehidupan seorang nabi yang mulia semenjak kecilnya mengalami beraneka ragam penderitaan sampai ia menjadi penguasa yang disegani dan dihormati di negeri Mesir.

Ayat 2

Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa Dia menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab yang fasih agar dapat direnungkan dan difikirkan isi dan maknanya. Memang Al-Qur’an diturunkan untuk semua manusia, bahkan juga untuk jin, tetapi karena yang pertama-tama menerimanya ialah penduduk Mekah, maka wajarlah bila firman itu ditujukan lebih dahulu kepada mereka dan seterusnya berlaku untuk semua umat manusia. Pertama-tama Allah menuntut perhatian orang-orang Quraisy dan orang-orang Arab seluruhnya supaya mereka memperhatikan isinya dengan sebaik-baiknya karena di dalamnya terkandung bermacam-macam ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan akhirat seperti hukum-hukum agama, kisah para nabi dan rasul, hal-hal yang bertalian dengan pembangunan masyarakat, pokok-pokok kemakmuran, akhlak, filsafat, tata cara berpolitik, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional, dan lain sebagainya. Semuanya itu diutarakan dalam bahasa Arab yang indah susunannya mudah dipahami oleh mereka.

Ayat 3

Pada ayat ini, Allah mengkhususkan firman-Nya kepada Nabi Muhammad saw dan tentu saja untuk diperhatikan oleh orang Arab dan umat manusia seluruhnya. Para mufasir mengatakan bahwa surah Yusuf ini adalah salah satu surah dalam Al-Qur’an yang diturunkan untuk menghibur dan menggembirakan hati Nabi Muhammad saw di kala beliau menderita tekanan-tekanan yang berat dari kaum Quraisy berupa cemoohan, hinaan, pembangkangan, dan tindakan kekerasan sehingga beliau terpaksa hijrah bersama Abu Bakar ke Medinah. Memang demikianlah halnya karena kisah Nabi Yusuf ini adalah suatu kisah yang menarik sekali, dikisahkan dengan cara terperinci, tiap babak mengandung hikmah yang dalam dan pelajaran yang besar manfaatnya bagi orang yang memperhatikannya, apalagi bila dilihat dari segi keindahan susunan bahasa dan isi ceritanya yang belum dikenal seluruhnya baik oleh Nabi Muhammad saw sendiri maupun oleh kaum Quraisy dan orang Arab pada umumnya.

Kisah ini selain menceritakan keadaan Nabi Yakub a.s. beserta anak-anaknya yang masih hidup dengan cara kehidupan orang-orang Badui, menceritakan pula bagaimana kehidupan dalam masyarakat yang telah maju dan berkebudayaan tinggi, bagaimana kehidupan para penguasa yang penuh dengan kemewahan serta kesenangan dan bagaimana pula cara mereka mengendalikan pemerintahan dan mengatur perekonomian negara. Benarlah firman Allah yang mengatakan bahwa kisah Nabi Yusuf a.s. yang akan dikisahkan berikut ini adalah kisah yang paling baik, menarik, dan yang paling indah penggambarannya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 4-8


 

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 123

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Sebelumnya telah dijelaskan pentingnya memperdalam pengetahuan agama dan menyebarluaskannya kepada masyarakat luas. Adapun Tafsir Surah At Taubah Ayat 123 menjelaskan sikap ketika menghadapi orang pertama adalah sikap luwes dan diplomasi, untuk menghindari pertumbahan darah dan dampak negatif lainnya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 121-122


Sikap lain yang disampaikan dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 123 terutama jika diplomasi tidak berjalan dengan baik adalah sikap tegas, yakni sikap memerangi jika memang kaum Mukminin diperangi. Sikap ini diambil jika memang tidak ada jalan lain selain demikian, dan Allah membenarkan sikap yang demikian.

Ayat 123

Pedoman dan petunjuk  berperang yang ditunjukkan Allah dalam ayat ini kepada Rasulullah saw dan kaum Muslimin adalah lebih dahulu memerangi musuh-musuh Islam yang berada pada garis lingkaran yang terdekat dengan pusat kedudukan umat Islam, kemudian dilanjutkan kepada lingkaran yang lebih jauh.

Hal ini didasarkan kepada prinsip, bahwa peperangan yang dilakukan umat Islam hanyalah untuk mengamankan jalannya dakwah Islamiyah dan untuk melindungi keselamatan umat Islam, sedang dakwah tersebut juga dimulai dari orang-orang yang terdekat, dilanjutkan kepada orang-orang yang lebih jauh.

Dengan demikian, terlihat adanya keselarasan antara dakwah Islamiyah dan peperangan tersebut.

Petunjuk ini telah dilaksanakan dengan baik oleh Rasulullah saw, baik dalam bidang dakwah, maupun peperangan yang berfungsi untuk meng-amankan dakwah tersebut.

Mengenai dakwah, beliau telah melaksanakannya lebih dahulu kepada keluarganya yang terdekat dan sahabat-sahabat karibnya, sesuai dengan petunjuk Allah.

وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْاَقْرَبِيْنَ ۙ

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (asy-Syu‘ara/26: 214).

Dan firman-Nya dalam ayat yang lain:

وَلِتُنْذِرَ اُمَّ الْقُرٰى وَمَنْ حَوْلَهَاۗ

…dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. (al-An’am/6: 92)

Kemudian, dakwah ini beliau lanjutkan kepada masyarakat yang lebih luas, tidak saja dalam lingkungan negeri Arab, bahkan kepada raja-raja dan bangsa-bangsa sekitar Jazirah Arab.

Demikian pula dalam hal peperangan, sesuai dengan ayat-ayat sebelum-nya dimulai dari musuh-musuh Islam yang terdekat, yang selalu melakukan tipu daya untuk menghalang-halangi kelangsungan dakwah Islamiyah.

Kemudian dilanjutkan kepada suku-suku Arab yang lebih jauh dari pusat kedudukan atau basis umat Islam. Sesudah Rasulullah saw wafat, maka para khalifah sesudahnya meneruskan peperangan tersebut ke daerah-daerah yang lebih jauh, yaitu ke negeri Syam (Syria) dan Irak.

Kemudian menyusup ke benua Afrika (sebelah Barat) dan Persia, Khurasan, bahkan sampai ke pegunungan Hindukust (sebelah Timur) sesuai dengan perluasan dakwah Islamiyah.

Musuh-musuh Islam yang terdekat kepada Rasulullah dan kaum Muslimin ketika itu ialah orang-orang kafir yang terdiri dari kaum Yahudi yang berdiam di kota Medinah, kemudian di Khaibar, dan selanjutnya mereka yang memerangi kaum Muslimin di Perang Tabuk, dan sesudah itu musuh-musuh Islam di daerah-daerah Syam yang ketika itu berada dalam kekuasaan Romawi Timur yang berpusat di Bizantium.

Strategi perang dengan cara memulai dari yang terdekat kepada yang jauh, adalah tepat sekali, ditinjau dari berbagai segi, yaitu: dari segi kemungkinan fasilitas pengangkutan, perbekalan, dan biaya.

Semakin dekat tempatnya, semakin mudah cara-cara pengangkutan, dan dengan demikian semakin kecil pula biaya dan perbekalan yang diperlukan.

Semakin jauh tempat yang harus didatangi, semakin sukar pula pengangkutan, dan semakin banyak pula waktu dan perbekalan yang diperlukan.Dengan sendirinya semakin banyak biaya dan tenaga yang dibutuhkan.

Perang dalam tuntunan ajaran Islam adalah perjuangan yang harus dipersiapkan untuk terciptanya perdamaian sebagaimana pepatah dalam bahasa Arab, yang diungkapkan dalam kalimat:

السِّلمُ الْمُسَلَّحُ

Perdamaian yang dipersenjatai

Dalam kaidah umum biasa dikatakan, kita harus selalu siap berperang untuk menciptakan perdamaian. Jika kita tidak dalam keadaan siap perang maka musuh setiap saat dapat menyerang kita, tetapi jika kita dalam keadaan siap perang maka musuhpun tidak berani menyerang kita.

Karena itulah dalam Al-Qur′an, terutama Surah at-Taubah banyak mengungkapkan persoalan perang dan petunjuk-petunjuk kepada umat Islam untuk selalu siap berperang dengan berbagai stretegi untuk mewujudkan perdamaian.


Baca Juga : Makna Islam Sebagai Agama Perdamaian dalam Al-Quran


Allah memberikan petunjuk-Nya, agar kaum Muslimin mampu meng-gunakan kekerasan dan kekuatan terhadap orang-orang kafir yang menghalang-halangi dakwah Islamiyah, apabila jalan diplomasi dan perlakuan yang lemah lembut dan ramah tamah tidak bermanfaat  lagi untuk mereka.

Kaum Muslimin diperintahkan untuk bersikap adil, kasih sayang, dan ramah tamah kepada orang-orang bukan Islam.

Akan tetapi bila mereka tetap mengganggu kepentingan umat Islam, terutama dakwah Islamiyah, maka kaum Muslimin harus menggunakan kekuatan dan kekuasaan, sehingga mereka menghentikan permusuhan terhadap Islam dan kaum Muslimin.

Hal ini tersebut pula dalam firman Allah pada ayat yang lain:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنٰفِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۗ

Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. (at-Taubah/9: 73)

Dengan demikian jelaslah bahwa kaum Muslimin harus siap mengguna-kan dua macam sikap dalam menghadapi orang kafir dan munafik yaitu, pertama sikap diplomasi yang luwes, lembut, dan ramah tamah  jika mereka mau diajak berdamai.

Orang kafir dalam hubungan ini disebut sebagai kafir mu’ahidi atau kafir zimmi, jika mereka termasuk warga negara kita.

Kedua, tegas dan bila perlu mempergunakan kekuatan, apabila mereka tidak mau diajak hidup berdampingan secara damai.

Orang kafir dalam kondisi demikian disebut sebagai kafir ¥arbi, sehingga tidak ada jalan menghadapi mereka kecuali dengan kekuatan dan peperangan.

Pada akhir ayat ini Allah meyakinkan orang-orang yang bertakwa, bahwa Dia senantiasa bersama mereka.

Artinya Allah memberikan jaminan kepada orang-orang yang bertakwa, yaitu yang senantiasa menjaga hukum-hukum dan ketentuan Allah, bahwa Dia akan selalu memberikan bantuan dan pertolongan-Nya.

Ketentuan-ketentuan Allah yang perlu diperhatikan dalam masalah peperangan ialah agar umat Islam tidak lalai dalam mempersiapkan segala sesuatu yang perlu untuk mencapai kemenangan, yaitu kekuatan fisik dan mental.

Kekuatan fisik mencakup: prajurit yang berbadan sehat dan kuat, alat-alat senjata yang efektif, kubu-kubu pertahanan yang tangguh, serta perbekalan dan perlengkapan yang cukup.

Sedang kekuatan mental ialah: niat yang ikhlas, semangat yang tinggi, kesabaran dan keuletan yang tangguh, serta siasat perang yang jitu serta disiplin yang kuat, dan persatuan yang kokoh.

Termasuk pula etika perang dan moral yang tinggi, yaitu tidak berlaku zalim terhadap wanita, anak-anak, orang tua yang lemah, serta tidak pula berlaku kejam terhadap orang-orang yang sudah menyerah atau tertawan, selama mereka ini tidak membahayakan bagi kepentingan Islam dan umat Islam.

Untuk mencapai kemenangan ini diperlukan iman yang kokoh, serta ingat dan tawakkal kepada Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 124-126