Beranda blog Halaman 336

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 127-129

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 127-129 adalah seri terakhir dalam surah ini, tafsir ini menjelaskan bagaimana cemooh orang munafik tidak hanya melalui lisan tapi juga dengan perbuatan, karena itu Allah memalingkan mereka dari kebenaran, karena sesungguhnya mereka tidak mau memahami kebenaran walaupun yang membawa kebenaran tersebut adalah Nabi Muhammad yang sangat penyantun


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 124-126


Selain itu, Tafsir Surah At Taubah Ayat 127-129 juga mengingatkan nabi bahwa orang munafik akan terus berpaling dari kebenaran, dan menolak untuk mengikuti ajakannya. Maka, hendaklah Nabi berserah diri kepada Allah atas urusan mereka.

Ayat 127

Ayat ini menerangkan sikap dan tindakan orang-orang munafik di majlis Rasulullah waktu diturunkan ayat-ayat Al-Qur’an.

Bila diturunkan satu ayat atau satu surah kepada Rasulullah saw, mereka saling berpandangan satu sama lain dan mengedipkan mata sebagai isyarat memandang enteng apa yang telah diturunkan itu. Sikap mereka ini menunjukkan bahwa pengaruh kekafiran telah berurat berakar dalam jiwa mereka.

Mereka sebenarnya tidak ingin mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an dari Rasulullah, dan tidak ingin orang lain mendapat petunjuk dari Al-Qur’an.

Sikap orang-orang munafik lainnya ialah: mereka secara diam-diam meninggalkan majlis Rasulullah saw seraya saling bertanya kepada sesama temannya yang lain, “Apakah ada orang yang melihat kepergian kita meninggalkan majlis itu?  Sedangkan orang-orang mukmin mendengar dan memperhatikan ayat-ayat itu dengan tunduk dan penuh perhatian.

Sikap orang-orang munafik inilah yang membuat Allah memalingkan hati mereka dari iman dan dari petunjuk-petunjuk yang ada dalam ayat-ayat     Al-Qur’an. Allah melakukan yang demikian karena mereka lebih dulu mengingkari seruan Nabi dan tidak menghiraukan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an.


Baca Juga : Hinaan terhadap Nabi Muhammad SAW yang Diabadikan dalam Al-Quran


Ayat 128

Ayat ini sekalipun khusus ditujukan kepada bangsa Arab di masa Nabi, tetapi juga ditujukan kepada seluruh umat manusia. Semula ditujukan kepada orang Arab di masa Nabi, karena kepada merekalah Al-Qur′an pertama kali disampaikan, karena Al-Qur′an itu dalam bahasa Arab, tentulah orang Arab yang paling dapat memahami dan merasakan ketinggian sastra Al-Qur′an.

Dengan demikian mereka mudah pula menyampaikan kepada orang-orang selain bangsa Arab. Jika orang-orang Arab sendiri tidak mempercayai Muhammad dan Al-Qur′an, tentu orang-orang selain Arab lebih sukar mempercayainya.

Ayat ini seakan-akan mengingatkan orang-orang Arab, sebagaimana isinya yang berbunyi,  Hai orang-orang Arab, telah diutus seorang Rasul dari bangsamu sendiri yang kamu ketahui sepenuhnya asal-usul dan kepribadian-nya, serta kamu lebih mengetahuinya dari orang-orang lain.

Sebagian mufassir menafsirkan perkataan  رَسُوْلٌ ِمنْ اَنْفُسِكُمْ   “Rasµlun min anfusikum” dengan hadis:

اِنَّ الله َاصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ وَ اصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى بَنِيْ هَاشِمٍ مِنْ قُرَيْشٍ وَ اصْطَفَانِيْ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ (رواه مسلم والترمذي عن وصيلة بن أسقى)

Bersabda Rasulullah saw, “Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Kinanah dari keturunan Ismail, dan memilih suku Quraisy dari Bani Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari suku Quraisy, dan Allah telah memilihku dari Bani Hasyim.” (Riwayat Muslim dan at-Tirmizi dari Wasilah bin Asqa’)

Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami tentang kesucian keturunan Nabi Muhammad saw, yang berasal dari suku-suku pilihan dari bangsa Arab. Dan orang-orang Arab mengetahui benar tentang hal ini.

Nabi Muhammad saw yang berasal dari keturunan yang baik dan terhormat mempunyai sifat-sifat yang mulia dan agung, yaitu:

  1. Nabi merasa tidak senang jika umatnya ditimpa sesuatu yang tidak diinginkan, seperti dihinakan karena dijajah dan diperhamba oleh musuh-musuh kaum Muslimin, sebagaimana ia tidak senang pula melihat umatnya ditimpa azab yang pedih di akhirat nanti.
  2. Nabi sangat menginginkan agar umatnya mendapat taufik dari Allah, bertambah kuat imannya, dan bertambah baik keadaannya. Keinginan beliau ini dilukiskan oleh Allah dalam firman-Nya:

اِنْ تَحْرِصْ عَلٰى هُدٰىهُمْ فَاِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ يُّضِلُّ وَمَا لَهُمْ مِّنْ نّٰصِرِيْنَ

Jika engkau (Muhammad) sangat mengharapkan agar mereka mendapat petunjuk, maka sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang disesatkan-Nya, dan mereka tidak mempunyai penolong. (an-Nahl/16: 37).

Dan Allah berfirman:

وَمَآ اَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْنَ

Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12: 103)

  1. Nabi selalu belas kasihan dan amat penyayang kepada kaum Muslimin. Keinginannya ini tampak pada tujuan risalah yang disampaikannya, yaitu agar manusia hidup berbahagia di dunia dan akhirat nanti.

 Dalam ayat ini Allah memberikan dua macam sifat kepada Nabi Muhammad, kedua sifat itu juga merupakan sifat Allah sendiri, yang termasuk di antara “asmaul husna”, yaitu sifat “ra’uf” (amat belas kasihan) dan sifat “rahim” (penyayang) sebagai tersebut dalam firman-Nya:

اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

…Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. (al-Baqarah/2: 143)

Pemberian kedua sifat itu kepada Muhammad menunjukkan bahwa Allah menjadikan Muhammad sebagai Rasul yang dimuliakan-Nya.

Ayat 129

Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya bahwa jika orang-orang kafir dan munafik itu tidak juga mau beriman setelah didatangkan kepada mereka petunjuk, katakanlah kepada mereka, “Cukuplah Allah bagiku, dan Dia akan menolongku, tidak ada Tuhan yang lain yang disembah, selain Dia, hanya kepada-Nya-lah aku bertawakal dan menyerahkan diri, dan hanya Dialah yang mengatur dan mengurus alam semesta, Dia memiliki ‘Arsy yang Agung.

 Diriwayatkan dari Zaid bin ¤abit yang ditugaskan oleh Umar ra untuk mengumpulkan Al-Qur′an yang masih belum terkumpul di masa Abu Bakar, bahwa Zaid berkata,

“…Hingga aku memperoleh dua ayat terakhir dari Surah at-Taubah pada catatan Khuzaimah bin Tsabit al-Anshari, aku tidak memperolehnya sebelumnya dari seorang pun, sedang kedua ayat itu dihafal dan dikenal oleh orang banyak.” (Riwayat al-Bukhari, at-Tirmizi, an-Nasa’i dan perawi-perawi yang lain).

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 124-126

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 124-126 berbicara tentang perbedaan sikap orang munafik ketika diturunkan suatu surah al-Quran yang berisi ajakan iman, maka mereka terkesan mengejek dengan membuat pertanyaan yang tidak seharusnya. Allah menegaskan bahwa hati mereka ada penyakit yang dan lambat laut akan mati. Selain penyakit hati mereka juga kerap Allah uji berupa penyakit fisik, paceklik, dan bencana alam,namun mereka tidak menyadarinya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 123


Ayat 124

Sikap kaum munafik di masa Nabi Muhammad saw di antaranya adalah apabila ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan kepada beliau dan disampaikan kepada mereka, maka di antara mereka itu ada yang bertanya kepada teman-temannya baik dari kalangan munafik sendiri maupun teman-teman mereka dari kaum Muslimin yang lemah imannya bahwa siapakah di antara mereka yang bertambah imannya dengan turunnya surah ini.

Ini meyakinkan bahwa Al-Qur’an ini benar-benar dari Allah bahwa Muhammad itu benar-benar pesuruh Allah, bahwa tiap-tiap ayat Al-Qur’an merupakan mukjizat bagi Muhammad, dan bahwa Al-Qur’an itu bukan buatan Muhammad.

Jika diperhatikan pertanyaan orang munafik yang tersebut dalam ayat-ayat ini, dirasakan bahwa pertanyaan itu bukanlah maksudnya untuk menanyakan sesuatu yang tidak diketahui, tetapi menunjukkan apa yang menjadi isi hati mereka; yaitu mereka belum percaya kepada Rasulullah, sekalipun mulut mereka telah mengakuinya.

Bahkan mereka ingin agar orang-orang Islam yang lemah imannya menjadi seperti mereka pula.

Seandainya tidak ada penyakit di dalam hati orang-orang munafik itu, pasti mereka mengetahui bahwa iman yang sesungguhnya yang disertai dengan ketundukan dan penghambaan diri kepada Allah, karena telah merasakan dan meyakini kekuasaan-Nya, pasti akan bertambah dengan mendengar dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, apalagi jika langsung mendengarnya dari Rasulullah saw sendiri.

Sifat-sifat munafik ini diterangkan dalam firman-Nya:

يُخٰدِعُوْنَ اللّٰهَ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا ۚ وَمَا يَخْدَعُوْنَ اِلَّآ اَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَۗ  ٩  فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌۙ فَزَادَهُمُ اللّٰهُ مَرَضًاۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ۢ ەۙ بِمَا كَانُوْا يَكْذِبُوْنَ  ١٠

Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab  yang pedih, karena mereka berdusta. (al-Baqarah/2: 9-10)

Mengenai kesan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dalam hati orang-orang yang beriman diterangkan dalam firman Allah:

بَلْ هُوَ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ فِيْ صُدُوْرِ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَۗ وَمَا يَجْحَدُ بِاٰيٰتِنَآ اِلَّا الظّٰلِمُوْنَ

Sebenarnya, (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu. Hanya orang-orang yang zalim yang mengingkari ayat-ayat Kami. (al-‘Ankabut/29: 49)

Pertanyaan orang-orang munafik itu dijawab Allah dengan ungkapan yang tersebut pada akhir ayat ini yang maksudnya adalah orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya dan mereka merasa gembira.


Baca Juga : Tafsir Surah Maryam Ayat 33: Tiga Bentuk Keselamatan Yang Diminta oleh Nabi Isa


Ayat 125

Jawaban pertanyaan mereka seputar Al-Qur’an diterangkan pada ayat ini. Adapun orang-orang yang hatinya ragu-ragu dan orang-orang munafik, yaitu orang-orang yang hatinya penuh kekafiran sedang mulutnya menyatakan iman, setiap ayat yang disampaikan kepada mereka selalu menimbulkan keragu-raguan dan kemunafikan dalam hati mereka.

Hal seperti ini selalu bertambah kuat pengaruhnya pada diri mereka, sehingga akhirnya mereka mati sebagai seorang munafik yang kafir. Hal yang mereka alami ini akan dialami oleh orang-orang sesudah mereka, yang sama hatinya dengan hati mereka, mereka akan mati sebagai orang kafir.

Ayat 126

Pada ayat ini Allah tidak membenarkan bahkan mencela sikap orang-orang munafik yang tetap membangkang, tidak mau bertobat dan tidak pula mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa yang telah mereka alami.

Padahal kepada mereka setiap tahun telah didatangkan cobaan dan pengalaman pahit serta kekalahan yang seharusnya dapat menambah kuat iman seseorang sehingga mampu membedakan antara yang benar dan yang salah.

Berbagai cobaan, ujian, dan pengalaman mereka itu, jika mereka mau merenungkannya dengan baik, tentu akan menyampaikan mereka kepada kesimpulan bahwa Muhammad itu benar-benar Rasulullah yang diutus Allah kepada mereka.

Akan tetapi, mereka tetap ingkar dan tidak mau bertobat serta mengambil pelajaran dari padanya. Bahkan hati mereka bertambah sesat dan bertambah ingkar.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 127-129


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 121-122

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 121-122 berbicara tentang orang-orang yang selalu berbuat baik seperti berinfak atau melakukan perjalanan dalam rangka ketaatan kepada Allah, maka seberapapun usaha yang mereka lakukan, baik besar ataupun kecil, semuanya akan dihitung dan akan mendapatkan ganjaran dari Allah swt.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 118-120


Tafsir Surah At Taubah Ayat 121-122 juga menjelaskan pentingnya pembagian tugas kerja dalam kehidupan bersama dengan penegasan bahwa tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ke medan perang sehingga hal yang lainnya terabaikan. Seperti menuntut ilmu, berdakwah, dan lain sebagainya.

Ayat 121

Allah menjelaskan bahwa mereka yang tinggal di rumah dan tidak berangkat ke medan perang bersama Rasulullah, tentu tidak ikut memberikan sumbangan bagi perjuangan dan mereka tidak ikut merasakan kepayahan melintasi lembah dan padang pasir.

Lain halnya dengan orang-orng yang ikut berperang. Mereka yang berbuat dan mengalami hal yang demikian itu niscaya dituliskan di sisi Allah sebagai amal saleh, karena Allah akan memberikan kepada mereka balasan yang jauh lebih tinggi nilainya daripada apa yang telah mereka sumbangkan dan apa yang mereka perbuat itu.

Orang-orang yang ikut berperang serta menyumbangkan harta bendanya untuk perjuangan di jalan Allah, berarti telah melakukan dua macam pengorbanan yang mulia, yaitu pengorbanan harta benda, dan pengorbanan jiwa raga.

Pengorbanan yang paling mulia, tentulah berhak untuk diberi ganjaran yang paling mulia pula, bahkan ganjaran itu lebih tinggi dari pada pengorbanan yang telah diberikannya.

Mengenai hal ini, telah ada suatu ketentuan dalam agama Islam, sebagaimana firman Allah:

مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَا ۚ

Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. (al-An’am/6: 160).

Perlu diingat bahwa pahala yang besar itu tidak hanya diberikan Allah kepada orang mukmin yang mengorbankan harta benda dan jiwa raga dalam peperangan saja, melainkan juga kepada orang-orang mukmin yang melakukan amal kebajikan dalam bidang yang lain.

Namun demikian, pengorbanan yang diberikan dalam berjihad di medan perang untuk membela agama adalah lebih mulia daripada pengorbanan untuk kepentingan yang lain.

Sehingga pengorbanan harta yang sedikit jumlahnya untuk keperluan jihad sama nilainya dengan pengorbanan harta yang banyak untuk kebajikan yang lain. Penderitaan yang sedikit yang diderita dalam berjihad sama nilainya dengan penderitaan besar yang dialami dalam perbuatan amal yang lain.


Baca Juga : Jangan Ragu Untuk Bersedekah! Inilah 4 keutamaan Sedekah Menurut Al-Quran


Ayat 122

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa tidak semua orang mukmin harus berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin saja.

Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi harus menuntut ilmu dan mendalami agama Islam, supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat sehingga kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.

Perang bertujuan untuk mengalahkan musuh-musuh Islam serta mengamankan jalan dakwah Islamiyah.

Sedang menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama bertujuan untuk mencerdaskan umat dan mengembangkan agama Islam, agar dapat disebarluaskan dan dipahami oleh semua macam lapisan masyarakat.

Dengan demikian, ayat ini mempunyai hubungan yang erat dengan ayat-ayat yang lalu, karena sama-sama menerangkan hukum berjihad, akan tetapi dalam bidang dan cara yang berlainan.

Tugas ulama dalam Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya.

Tugas-tugas tersebut merupakan tugas umat dan setiap pribadi muslim, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah saw telah bersabda:

بَلِّغُوْا عَنِّيْ وَلَوْ اٰيَةً (رواه البخارى)

Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) dari padaku, walaupun hanya satu ayat Al-Qur’an saja. (Riwayat al-Bukhari)

Akan tetapi, tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya.

Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama, agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islamiyah dengan cara dan metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula.

 Apabila umat Islam telah memahami ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian, umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat.

Di samping itu perlu diingat, bahwa apabila umat Islam menghadapi peperangan yang memerlukan tenaga manusia yang banyak, maka dalam hal ini seluruh umat Islam harus dikerahkan untuk menghadapi musuh.

Tetapi bila peperangan itu sudah selesai, maka masing-masing harus kembali kepada tugas semula, kecuali sejumlah orang yang diberi tugas khusus untuk menjaga keamanan dan ketertiban, dalam dinas kemiliteran dan kepolisian.

Oleh karena ayat ini telah menetapkan bahwa fungsi ilmu adalah untuk mencerdaskan umat, maka tidak dapat dibenarkan bila ada orang Islam yang menuntut ilmu pengetahuan hanya untuk mengejar pangkat dan kedudukan atau keuntungan pribadi saja.

Apalagi untuk menggunakan ilmu pengetahuan sebagai kebanggaan dan kesombongan diri terhadap golongan yang belum menerima pengetahuan.

Orang-orang yang telah memiliki ilmu pengetahuan harus menjadi pelita dan pembimbing bagi umatnya. Ia harus menyebarluaskan ilmunya, dan membimbing orang lain agar memiliki ilmu pengetahuan pula.

Selain itu, ia sendiri juga harus mengamalkan ilmunya agar menjadi contoh dan teladan bagi orang-orang sekitarnya dalam ketaatan menjalankan peraturan dan ajaran-ajaran agama.

Dengan demikian dapat diambil suatu pengertian, bahwa dalam bidang ilmu pengetahuan, setiap orang mukmin mempunyai tiga macam kewajiban, yaitu: menuntut ilmu, mengamalkannya, dan mengajarkannya kepada orang lain.

Menurut pengertian yang tersurat dari ayat ini, kewajiban menuntut ilmu pengetahuan yang ditekankan di sisi Allah adalah dalam bidang ilmu agama. Akan tetapi agama adalah suatu sistem hidup yang mencakup seluruh aspek dan segi kehidupan manusia.

Setiap ilmu pengetahuan yang berguna dan dapat mencerdaskan kehidupan mereka, dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama, wajib dipelajari. Umat Islam diperintahkan Allah untuk memakmurkan bumi ini dan menciptakan kehidupan yang baik.

Sedang ilmu pengetahuan adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban, adalah wajib pula hukumnya. Dalam hal ini, para ulama Islam telah menetapkan suatu kaidah yang berbunyi:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Sesuatu yang diperlukan untuk melaksanakan yang wajib, maka ia wajib pula hukumnya.

Karena pentingnya fungsi ilmu dan para sarjana, maka beberapa negara Islam membebaskan para ulama (sarjana) dan mahasiswa pada perguruan agama, dari wajib militer, agar pengajaran dan pengembangan ilmu senantiasa dapat berjalan dengan lancar, kecuali bila negara sedang menghadapi bahaya besar, yang harus dihadapi oleh segala lapisan masyarakat.

 (Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 123

Tafsir Ahkam: Untuk Musafir, Tetap Berpuasa atau Berbuka?

0
Untuk Musafir, Tetap Berpuasa atau Berbuka?
Untuk Musafir, Tetap Berpuasa atau Berbuka?

Allah telah memberi keringanan bagi musafir atau orang yang berada dalam perjalanan untuk tidak berpuasa. Maka saat ia di perjalanan yang memenuhi syarat untuk memperoleh keringanan, meski tidak menemui kendala yang berat untuk berpuasa sebab transportasi zaman sekarang lebih mudah dari zaman Nabi semisal, ia boleh untuk tidak berpuasa. Meski begitu, mana yang lebih utama, tetap berpuasa atau berbuka?

Namun manakah yang lebih utama untuknya? Tetap berpuasa sebab pada dasarnya tidak berpuasa baginya hanyalah keringanan yang tak tepat dilakukan kecuali dalam keadaan terdesak, ataukah berbuka sebab memandang sudah sepantasnya kita memanfaatkan keringanan dari Allah untuk menambah semangat dalam melakukan ibadah selain puasa? Berikut penjelasan ulama’.

Baca juga: Empat Makna Kata Khasyah dalam Al-Quran menurut Mufasir

Tidak Berpuasa Bagi Musafir Adalah Rukhsah (Keringanan)

Allah memberi keringanan bagi musafir untuk tidak berpuasa salah satunya lewat ayat yang berbunyi:

.اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ

 (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah [2] :184).

Imam Ar-Razi di dalam tafsirnya menyatakan, lewat ayat ini Allah menyampaikan bahwa kewajiban berpuasa di hari-hari yang sudah ditentukan, diperuntukkan bagi orang yang tidak dalam perjalanan serta dalam keadaan sehat. Sedang bagi musafir serta orang yang sakit, mereka berdua dapat untuk tidak berpuasa atau mengakhirkan puasa di selain hari yang sudah ditentukan. Usai memaparkan hal ini, Imam Ar-Razi mengutip pernyataan Imam Al-Qaffal tentang kemurahan Allah dalam memberi keringan pada hambanya terkait permasalahan puasa.

Imam Ar-Razi juga menjelaskan, sebenarnya ada perbedaan pendapat mengenai keringanan buka puasa bagi musafir. Ada beberapa yang menyatakan bahwa keringanan tersebut bersifat wajib untuk dilakukan. Dalam artian seorang musafir mau tidak mau harus membatalkan puasanya kalau sedang bepergian. Bahkan apabila ia memaksakan diri, maka ia tetap harus mengqadha’ puasanya.

Baca juga: Empat Makna Kata Khasyah dalam Al-Quran menurut Mufasir

Namun mayoritas ahli fikih berpendapat bahwa buka puasa bagi musafir hukumnya tidaklah wajib, tapi sebatas boleh untuk dilakukan. Dan mereka berbeda pendapat dalam permasalahan ini mengenai manakah yang lebih utama dilakukan, tetap berpuasa atau berbuka? Ada yang menyatakan puasa lebih utama, ada yang menyatakan berbuka lebih utama, dan ada yang menyatakan bahwa yang lebih utama adalah yang paling mudah ia lakukan. (Tafsir Mafaatiihul Ghaib/3/87).

Imam An-Nawawi menyatakan, Mazhab Syafiiyah berserta para pembesarnya berpendapat bahwa apabila puasa memberatkan dirinya, maka yang lebih utama adalah berbuka. Apabila tidak memberatkan, maka yang lebih utama adalah berpuasa. Imam An-Nawawi juga menjelaskan bahwa permasalahan puasa bagi musafir tidaklah bisa disamakan dengan salat qasar, mengingat qasar bagi musafir lebh utama daripada menyempurnakan salat. Meski keduanya sama-sama keringanan, tapi keduanya memiliki perbedaan. Salah satunya adalah, bahwa dalam puasa si musafir masih harus tetap qadha dan dalam qasar ia tidak memiliki kewajiban semacam qadha lagi (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/6/261).

Pendapat yang diyakini Mazhab Syafiiyah ini juga diyakini oleh Anas ibn Malik, ‘Utsman ibn Abil ‘Ash, Mazhab Malikiyah dan Hanafiyah. Sedang Imam Al-Auza’i, Ishaq dan Mazhab Hambaliyah menyatakan bahwa yang lebih utama adalah berbuka. Pendapat serupa juga diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar (Al-Bayan/3/469).

Berdasar uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa meski berbuka bagi musafir merupakan keringanan, tapi hal itu tidak menjadikan tindakan berbuka menjadi pilihan yang dipandang sebelah mata, sehingga seorang musafir harus dipaksa berpuasa sampai benar-benar tidak kuat berpuasa. Beberapa ulama’ menyatakan bahwa berbuka menjadi pilihan lebih utama meski si musafir tidak merasa keberatan untuk berpuasa. Wallahu a’lam bishshowab.

Tafsir Surah Yusuf ayat 9-15

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 9-15 rencana tercela saudara-saudara Nabi Yusuf bermula. Semua saudara Nabi Yusuf mengira bahwa kasih sayang Nabi Yakub kepada mereka berkurang disebabkan adanya Yusuf. Sehingga merekapun menyusun rencana untuk meniadakan Yusuf agar memperoleh kasih sayang penuh Nabi Yakub.

Dalam Tafsir Surah Yusuf ayat 9-15 ini diceritakan bagaimana beratnya Nabi Yakub mengizinkan Yusuf untuk pergi bersama saudaranya dan juga apa saja kesepakatan saudara-saudara Nabi Ysuuf tersebut? Selengkapnya baca Tafsir Surah Yusuf ayat 9-15 di bawah ini….


Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 9-10: Sifat Manusia dalam Rencana Saudara-Saudara Nabi Yusuf


Ayat 9

Dalam suatu musyawarah untuk menetapkan tindakan yang tepat dan tegas terhadap Yusuf, mereka mengusulkan agar dia dibunuh saja atau dibuang ke tempat yang jauh, sehingga ia tidak mungkin kembali atau binasa dan mati di tempat pembuangan itu. Dengan demikian, ayah mereka Yakub akan berputus asa dan tidak mempunyai harapan lagi untuk bertemu dengan anaknya yang paling disayanginya itu, dan lama kelamaan tentunya dia akan melupakannya.

Selama ini yang menjadi halangan baginya untuk memperhatikan mereka ialah Yusuf di sampingnya. Bila Yusuf sudah tiada atau tersingkir ke negeri yang jauh, tentulah ayah mereka akan kembali memperhatikan dan menyayangi mereka. Mereka menginsyafi bahwa tindakan ini adalah suatu tindakan yang kejam tidak berperikemanusiaan, suatu tindakan kriminal yang sangat besar dosanya. Akan tetapi, mereka telah jauh tersesat dari jalan yang benar dan terjerumus ke dalam perangkap setan, sehingga tidak nampak lagi oleh mereka akibat perbuatan itu bagi ayah dan diri mereka sendiri jika perbuatan itu dilakukan.

Mereka membujuk diri mereka sendiri dengan mengatakan, meskipun mereka telah berdosa, pintu tobat masih terbuka lebar. Mereka akan bertobat dengan tobat nasuha dan tidak akan berbuat seperti itu lagi, dan menjadi hamba Allah yang saleh. Tentu Allah akan menerima tobat, mengampuni segala dosa dan kesalahan hamba-Nya, dengan demikian ayah mereka akan merasa senang kepada mereka, dan Allah tidak akan menyiksa mereka.

Ayat 10

Rupanya masih ada di antara mereka yang tidak mau melaksanakan usul itu dan masih mengalir dalam tubuhnya rasa kasih sayang terhadap saudaranya dan tergambar dalam khayalnya, betapa ngerinya perbuatan itu. Dia mengusulkan agar Yusuf jangan dibunuh jika hanya ingin memisahkan dari ayahnya dan menarik perhatian ayah mereka kembali. Mengapa untuk mencapai tujuan itu kita harus melakukan pembunuhan, melakukan suatu dosa besar yang belum tentu akan diampuni Tuhan?

Dia mempunyai usul yang tidak begitu berat dosanya yaitu menjatuhkan Yusuf ke dalam sumur dan nanti dia akan ditemukan oleh para musafir dan akan dibawa mereka ke negeri yang jauh. Dengan demikian, Yusuf tidak akan mati dan mereka bebas dari dosa pembunuhan sedang maksud dan tujuan tercapai juga. Akhirnya usul ini mereka terima dengan baik, dan mereka sudah bertekad dalam hati untuk melaksanakannya.

Ayat 11

Pada ayat ini, terbayang dengan jelas betapa besar kecurigaan Nabi Yakub terhadap para saudara Yusuf dan kekhawatirannya apabila ia membiarkan Yusuf bergaul dengan mereka, apalagi setelah mendengar cerita Yusuf tentang mimpinya. Sikap ayah mereka itu sangat menjengkelkan hati dan menyinggung perasaan mereka. Dengan terus terang mereka berkata, “Wahai ayah kami, mengapa engkau selalu mencurigai kami terhadap Yusuf, padahal kami tetap mencintai dan menyayanginya, selalu berusaha agar dia senang dan gembira, dan tidak pernah terlintas dalam pikiran kami akan menyakiti hatinya apalagi menganiayanya. Mengapa engkau tidak membiarkan dia bergaul, bercengkerama dengan sewajarnya seakan-akan engkau menaruh curiga terhadap kami.”

Ayat 12

Saudara-saudara Yusuf kembali membujuk ayahnya dengan menyatakan, “Biarkanlah dia pergi berekreasi dengan kami besok ke tempat pengembalaan, berolah raga, dan berlomba. Kami akan membawa makanan yang enak-enak dan buah-buahan yang lezat, yang akan kami santap setelah selesai bermain-main. Kami akan selalu menjaga dan memeliharanya dari segala bahaya. Percayakanlah dia kepada kami. Insya Allah dia akan senang bersama kami dan kami pun menyenangi dia, dan dia akan kami bawa pulang dengan selamat dan tidak kurang suatu apa.”

Ayat 13

Yakub berkata kepada mereka, “Hai anak-anakku! Aku akan menjadi gelisah dan sedih jika kamu membawanya bermain-main berolah raga dan berlomba dan tinggal sendirian karena masih kecil, dan belum sanggup melayanimu bermain-main? Siapa tahu datang serigala lalu menerkamnya sedangkan kamu semua sedang asyik bermain-main.”

Ayat 14

Mereka menjawab, “Wahai ayah kami, sungguh tidak pada tempat-nya ayah curiga dan gelisah serupa itu dan janganlah ayah merasa khawatir atas keselamatan Yusuf. Kami ini sudah besar-besar dan dewasa, kami ini orang-orang kuat semuanya, dan kami telah berjanji akan menjaganya. Apa yang ayah khawatirkan itu tidak mungkin akan terjadi, dan kalau terjadi juga maka apalah arti hidup bagi kami, jika kami yang besar dan yang kuat ini tidak bisa menjamin keselamatan adik kami. Dengan demikian kami akan termasuk orang-orang yang merugi, orang yang tidak berharga sedikitpun.”

Akhirnya karena desakan yang sangat kuat dari saudara-saudara Yusuf dan mereka telah memberikan jaminan pula, maka dengan perasaan yang berat, terpaksalah Yakub memberi izin kepada mereka untuk membawa Yusuf bermain-main ke tempat gembala di padang pasir.

Ayat 15

Pada ayat 10 surah ini telah diterangkan bahwa saudara-saudara Yusuf telah sepakat akan memasukkan Yusuf ke dalam sumur dengan harapan ia akan ditemukan oleh kafilah yang ingin mengambil air dan di bawa ke negeri yang jauh agar ia tidak dapat ketemu lagi dengan ayahnya. Pada ayat ini diterangkan bahwa sesampainya mereka di suatu tempat yang ada sumurnya mereka melaksanakan permufakatan jahat mereka, dan memasukkan Yusuf ke dalam sumur. Dengan demikian, mereka merasa amat gembira karena momok yang selama ini menghantui jiwa mereka sudah tidak ada lagi.

Menurut anggapan mereka Yusuflah yang merebut kasih sayang ayahnya dan sekarang karena dia tidak ada lagi tentulah kasih sayang Yakub akan bertumpah kepada mereka. Bagaimana dengan Yusuf sendiri yang telah mendekam dalam sumur yang gelap itu?

Tentu dia sangat bersedih hati dan terbayanglah dalam pikirannya bahwa dia akan mati kedinginan dan kelaparan dan tidak akan bertemu lagi dengan ayah ibunya serta saudara-saudaranya. Pada saat yang amat kritis itulah, Allah mengilhamkan kepadanya agar dia jangan khawatir dan jangan bersedih hati. Allah akan memeliharanya dan melepaskannya dari bahaya yang menimpanya. Nanti dia akan mendapat pertolongan dari kafilah dan akhirnya ia akan mendapat kedudukan yang tinggi, sehingga ia dapat mengingatkan saudara-saudaranya atas pengkhianatan mereka, sedang mereka sendiri tidak sadar bahwa orang yang menceritakan itu adalah Yusuf sendiri.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 5

0
Tafsir Surah Ar Ra'd
Tafsir Surah Ar Ra'd

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 5 berbicara mengenai sikap orang-orang kafir yang ingkar kepada keesaan Allah. Misalnya ketika mereka mempertanyakan kebenaran hari kebangkitan. Sikap ini sebenarnya merupakan pengingkaran terhadap pencipataan mereka sendiri.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 4


Ayat 5

Ayat ini menjelaskan sikap orang kafir terhadap keesaan Allah, dimana Allah mengatakan kepada Nabi Muhammad bahwa jika beliau heran terhadap penyembahan mereka kepada berhala-berhala yang tidak memberi mudarat dan membawa manfaat setelah dikemukakan dalil-dalil keesaan Allah, maka yang lebih patut mengherankan adalah ucapan mereka yang mendustakan hari kebangkitan pada hari kiamat.

Mereka berkata, “Apabila kami telah menjadi tanah apakah kami benar-benar akan dikembalikan lagi menjadi makhluk yang baru?”

Mereka mengucapkan kata-kata pengingkaran itu padahal mereka tidak mengingkari kekuasaan Allah dalam menciptakan mereka sejak berada dalam kandungan ibunya.

Pertanyaan yang mengandung keingkaran itu berulang-ulang disebut dalam sebelas tempat di delapan surah dalam Al-Qur’an, yaitu Surah ar-Ra‘d/13: 5, al-Isra’/17: 49 dan 98, al-Mu’minµn/23: 35 dan 82, an-Nahl/16: 38, as-Sajdah/32: 10, as-Saffat/37: 16 dan 53, al-Waqi’ah/56: 47, dan an-Nazi’at/79: 11.

Semuanya mengandung keingkaran yang sangat keras sehingga mengesankan bahwa hari kebangkitan itu mustahil akan terjadi. Menurut mereka tidak mungkin orang yang sudah meninggal dunia dan menjadi tulang-belulang akan hidup kembali.

Kemudian Allah menegaskan bahwa orang yang ingkar pada hari kebangkitan itulah yang juga ingkar terhadap Tuhannya. Mengingkari kekuasaan Allah sama halnya dengan mengingkari Allah itu sendiri.

Mereka akan dipasangkan belenggu di lehernya sebagai akibat di dunia tidak meyakini kebenaran dan mengikuti petunjuk. Ada pula yang menafsirkan bahwa mereka itu pada hari kiamat ketika diadili dan dipasangkan beberapa belenggu di lehernya seperti seorang tawanan. Firman Allah:

اِذِ الْاَغْلٰلُ فِيْٓ اَعْنَاقِهِمْ وَالسَّلٰسِلُۗ يُسْحَبُوْنَۙ  ٧١

فِى الْحَمِيْمِ ەۙ ثُمَّ فِى النَّارِ يُسْجَرُوْنَۚ  ٧٢

Ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api. (al-Mu’min/40: 71-72)

Mereka adalah penghuni neraka yang kekal di dalamnya dan hidup dalam kehinaan sebagai akibat dari keingkaran dan kejahatannya selama hidup di dunia.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah


Allah swt dengan sifat kemahakuasaan-Nya, mampu menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang hidup dan bergerak, maupun yang mati, bahkan dari tidak ada menjadi ada. Oleh karena itu, Allah akan dengan mudah membangkitkan kembali manusia setelah mati. Firman Allah:

قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ ٧٨ قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗ ٧٩

… dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh? Katakanlah (Muhammad), ”Yang akan menghidupkan-nya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali…  (Yasin/36: 78-79)

Firman Allah:

اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَلَّنْ نَّجْمَعَ عِظَامَهٗ ۗ ٣بَلٰى قَادِرِيْنَ عَلٰٓى اَنْ نُّسَوِّيَ بَنَانَهٗ   ٤

Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? (Bahkan), Kami mampu menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna. (al-Qiyamah/75: 3-4)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 6-7


(Tafsir Kemenag)

Empat Makna Kata Khasyah dalam Al-Quran menurut Mufasir

0
Makna kata khasyah dalam Al-Quran
Makna kata khasyah dalam Al-Quran

Al-Khassyah (الخَشْيَة ) berasal dari kata خَشِيَ- يَخْشَى, yang tersusun dari tiga huruf kha, syin, dan ya (خشي ) yang memiliki makna khafa (خاف ). Arti khauf dalam kitab Lisan al-‘Arab yaitu takut. Seperti ungkapan khasiya al-rajul (خَشِيَ الرَّجُلُ ) yang artinya laki-laki itu takut. Kata ini juga memiliki arti Asyaddu Khaufan (اشد خوفا ) yang berarti sangat takut. Kata Khasyah memiliki makna takut secara berlebih-lebihan dan hanya diperuntukkan kepada Allah swt. Untuk itu, para nabi, rasul, dan ulama tidaklah mempunyai rasa khasyah kecuali hanya kepada Allah Swt. Sebagaimana yang terlukis dalam QS. Al-Ahzab ayat 39, bahwasanya ketakuan yang dialami nabi Muhammad saw. bukanlah menyangkut diri beliau, namun takut akan Allah.

Baca juga: Dua Dimensi Makna Puasa Menurut Sinta Nuriyah, Ragam Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183

Dalam kitab Mu’jam Mufradat, dijelaskan bahwa mana khassyah adalah rasa takut yang dilandasi dengan sikap mengagungkan. Kebanyakan penggunaan kata khassyah didasari oleh rasa takut, yang mana orang tersebut mengetahui apa yang ia takuti. Oleh karenanya kata khassyah tersebut dikhususkan hanya untuk Allah semata. Menurut Imam al-Zarkasyi, makna al-khassyah bukan berarti takut, namun memiliki arti al-ijlal (الأجلَل ) yaitu penghormatan dan al-ta’zim (التعظم ) yaitu pengagungan.

Kata Khasyah disebutkan sebanyak 48 kali dalam al-Quran. Dalam shighah masdar (kata benda jadian) disebut sebanyak 6 kali dalam al-Quran. Dalam penggunaan kata kerja lampau (khasyiya) sebanyak 13 kali, dalam bentuk fi’il mudhari’ (yakhsya atau takhsya) sebanyak 22 kali, dan dalam bentuk perintah kurang lebih sebanyak 5 kali.

Baca juga: Kajian Semantik Kata Surga dan Neraka dalam Al-Quran

Istilah al-Khassyah dalam berbagai derivasinya yang dipergunakan dalam al-Quran dengan makna keagungan (QS. Al-Hasyr: 21), ketaatan (QS. Qaf: 33), malu (QS. Al-Ahzab: 37),dan makna  ibadah (QS. At-Taubah: 18).

  1. Bermakna Keagungan

لَوْ أَنزَلْنَا هَذَا ٱلْقُرْءَانَ عَلَىَٰ جَبَلٍ ل رَأَيْتَهۥُ خَشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ ٱ للَّه وَتِلْكَ ٱلْأ مَثَٰلُ نَضْرِبُهَا لِلناسِ لَعَلهُمْ يَتَفَكرُون

“Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir(Q.S. Al-Hasyr [59]:21)

Prof. Wahbah Zuhaili dalam karyanya Tafsir al-Munir menguraikan, bahwa ayat ini adalah gambaran atau ilustrasi bagaimana seandainya gunung yang begitu kerasnya saja akan retak, tunduk, khidmat, terbelah-belah jika ia memahami isi al-Quran, karena bagitu takutnya kepada Allah swt. Kata خاشعاً disini memiliki makna tunduk dan patuh.

  1. Bermakna Ketaatan

مَنۡ خَشِىَ الرَّحۡمٰنَ بِالۡغَيۡبِ وَجَآءَ بِقَلۡبٍ مُّنِيۡبِ

 “(Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat”(Q.S. Qaaf [50] : 33)

Kata khasyah (خشى ) pada ayat di atas menggunakan kata kerja berbentuk lampau, yang memiliki arti telah takut, yakni takut yang lahir setelah menyadari dosa-dosa yang telah dilakukan. Kata man khasiya (من خشي ) mengandung dua makna, yaitu makna tunduk dengan mengikuti segala ucapan-Nya serta mengangkat kepala untuk bermohon kepada-Nya. Dengan kata lain, kata al-khasyah pada ayat ini memiliki makna takut, tunduk dan patuh atas segala apa yang telah Allah perintahkan.

  1. Bermakna Malu

وَاِذْ تَقُوْلُ لِلَّذِيْٓ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَاَنْعَمْتَ عَلَيْهِ اَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللّٰهَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَا اللّٰهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّاسَۚ وَاللّٰهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشٰىهُ ۗ فَلَمَّا قَضٰى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًاۗ زَوَّجْنٰكَهَا لِكَيْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْٓ اَزْوَاجِ اَدْعِيَاۤىِٕهِمْ اِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًاۗ وَكَانَ اَمْرُ اللّٰهِ مَفْعُوْلًا

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (Q.S. Al-Ahzab[33]: 37)

Baca juga: Pengertian Kata Tawaduk dan Konteksnya dalam Surah al-Furqan Ayat 63

Asbabun nuzul ayat di atas yakni berkenaan dengan perkawinan Rasulullah saw. dengan bekas istri Zaid bin Haritsah yakni Zainab binti Jahessy. Makna kata takhsya (تخشى ) memiliki makna malu, yakni malu meyampaikannya. Berbeda halnya dengan pandangan Ibnu Asyur yang memahami makna kata takhsya adalah tidak senang, yakni tidak senang mendengar ocehan kaum munafik jika perkawinan antara nabi saw. dan Zainab terjadi.

  1. Al-Khassyah yang bermakna Ibadah

اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ ۗفَعَسٰٓى اُولٰۤىِٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْن

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (Q.S. At-Taubah[9]: 18)

Dalam ayat di atas, makna kata (وَلَمْ يَخْشَ ألَّا الله ) wa lam yakhsya illa Allah menurut Imam Thabathaba’i dalam Tafsir fi Dzilalil Quran, adalah rasa takut yang kemudian melahirkan dorongan untuk beribadah.

Maksudnya adalah bukan takut yang bersumber dari naluri manusia melainkan takut hanya kepada Allah, yang tidak dapat dicapai kecuali oleh para nabi dan manusia-manusia istimewa yang dekat dengan Allah. Adapun pendapat Ibnu Asyur yang menguraikan, bahwa takut yang dimaksud ayat ini adalah ketika takut itu terjadi pada waktu bersamaan yang takut itu lebih dari dua atau lebih. Misal takut pada Allah dan bersamaan takut pada selain-Nya, maka ayat di atas menyatakan bahwa ketakutan itu hanya kepada Allah, dan ia tidak takut pada selain pada-Nya. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 4

0
Tafsir Surah Ar Ra'd
Tafsir Surah Ar Ra'd

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 4 berisi tentang keajaiban-keajaiban bumi. Hal ini merupakan salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah Swt yang terdapat di bumi. Misalnya ada sebagian tanah-tanah yang berdekatan tapi berlainan jenis dan lain sebagainya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 3


Ayat 4

Ungkapan ayat ini merupakan kelanjutan dari tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di bumi, yaitu bahwa di bumi terdapat bagian-bagian tanah yang berdekatan dan berdampingan tetapi berlainan kesuburannya.

Ada tanah yang sangat subur untuk ditanami tanaman apa saja, ada pula tanah yang hanya dapat ditanami pohon-pohon besar saja, tetapi tidak baik untuk ditanami tanaman palawija atau sebaliknya, ada pula tanah yang lunak dan ada pula yang keras yang sulit untuk digemburkan.

i bumi terdapat kebun-kebun anggur, tanaman palawija, dan pohon yang bercabang dan tidak bercabang. Semuanya itu disiram dengan air yang sama tetapi menghasilkan buah yang beraneka ragam rasanya, seperti pohon tebu yang rasanya manis, buah jeruk yang rasanya manis dan masam, serta buah paria yang rasanya pahit, dan lain sebagainya.

Allah melebihkan sebahagian tanaman-tanaman atas sebagian yang lain baik dari bentuknya, rasanya dan baunya. Semua tanda-tanda itu menunjukkan kekuasaan Allah dan menjadi dalil yang bisa menimbulkan keyakinan bagi orang-orang yang mau berpikir.

Menurut kajian saintis, perbedaan rasa dari buah-buahan atau tanaman, disebabkan perbedaan kandungan kimiawi yang ada di dalamnya. Zat atau molekul kimiawi ini, dalam bahasa ilmu biokimia dikenal dengan sebutan metabolit.

Perbedaan jenis maupun kuantitas metabolit inilah yang memberikan rasa yang berbeda-beda dari tanaman atau buah yang berbeda. Biji dari semua tanaman, hampir semuanya berbentuk sama atau dikenal sebagai mempunyai morfologi yang sama, atau hampir sama, yaitu morfologi-nya bulat atau sedikit lonjong.


Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 33-35: Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Swt di Muka Bumi


Semua biji ini, di dalamnya terkandung embrio tanaman (Encyclopedia Britannica, 1965,Vol.20, Seed, 273-275). Dalam embrio tanaman itu terkandung materi-materi genetik (atau yang sering disebut dengan DNA, Desoxyribo Nucleic Acid, atau Asam Desoksiribo Nukleat).

Dalam biji tanaman yang berbeda, kandungan embrioniknya berbeda, demikian pula kandungan materi DNA-nya juga berbeda. DNA suatu materi yang akan sangat menentukan proses pembentukan metabolit dalam semua makhluk hidup termasuk tanaman.

Maka Mahabesar Allah, apabila biji-biji yang berbeda itu ditanam dan disiram dengan air yang sama, biji-biji itu akan tumbuh menjadi berbagai tanaman yang berbeda rasanya, tergantung materi genetik yang dikandungnya; karena materi genetik inilah yang akan menentukan (membuat) metabolit-metabolit di dalam tanaman itu yang menentukan rasa buah atau tanaman itu..


Baca setelahnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 5


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yusuf ayat 16-22

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir surah Yusuf ayat 16-22 melanjutkan rencana saudara-saudara Yusuf yang ingin meniadakan Yusuf dari ayat sebelumnya. Dalam Tafsir Surah Yusuf ayat 16-22 ini dikisahkan saudara-saudara Yusuf meninggalkannya di sumur yang dalam dan pulang menemui Yakub sembari berbohong bahwa Yusuf telah tewas dimakan Serigala.

Selain itu Tafsir Surah Yusuf ayat 16-22 khususnya pada ayat 20-22 mengisahkan bahwa Yusuf ditemukan oleh mufasir dan oleh mereka Yusuf dijual kepada Al ‘Aziz, orang kaya atau menteri yang berada di Mesir.

Selengkapnya Tafsir Surah Yusuf ayat 16-22 di bawah ini….


Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 16-18: Cara Nabi Yakub Memverifikasi Berita


Ayat 16-17

Pada kedua ayat ini dikisahkan bahwa saudara-saudara Yusuf kembali menemui Yakub pada malam hari dengan muka yang pucat dan dengan air mata yang bercucuran seraya berkata, “Wahai ayah kami, apa yang ayah khawatirkan selama ini benar-benar telah terjadi tanpa kemauan kami. Kami pergi bermain-main, dan kami tinggalkan Yusuf untuk menjaga pakaian dan barang-barang kami. Rupanya tanpa kami sadari karena asyiknya kami bermain, kami sudah jauh terpisah dari dia. Setelah kami kembali, kami dapati Yusuf sudah diterkam dan dimakan oleh serigala. Kami tidak mendengar pekik dan teriaknya karena kami telah jauh meninggalkan tempatnya. Kami menyadari bahwa ayah tidak akan percaya kepada cerita kami ini, meskipun kami menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi karena ayah selalu menaruh curiga terhadap kami. Tetapi malang yang tak dapat ditolak inilah yang terjadi dan kamipun tidak berdaya untuk menolongnya.”

Ayat 18

Untuk memperkuat kebenaran cerita itu mereka membawa baju Yusuf yang telah berlumuran darah dan mereka berkata kepada ayahnya, “Inilah bukti kebenaran kami.” Padahal, darah yang melekat pada baju itu bukanlah darah Yusuf. Yakub melihat dan memperhatikan baju itu.

Didapatinya baju itu hanya berlumuran darah saja, tetapi masih utuh tak ada yang robek dan tak ada pula yang berlubang-lubang bekas cakaran dan gigitan serigala, pasti saudara-saudaranya inilah yang telah berbuat aniaya terhadapnya, lalu ia berkata kepada mereka, “Aku tidak percaya sama sekali akan ceritamu yang dibuat-buat itu dan aku yakin bahwa jiwamu yang jahat dan kotor, telah mempengaruhi dan mendorongmu untuk melakukan penganiayaan terhadap saudaramu sendiri.”

Tetapi apalah daya seorang ayah yang telah tua terhadap anak-anaknya yang sudah besar dan kuat. Dia tidak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali menahan rasa amarah dan menekan perasaan hatinya yang amat kecewa dan sedih itu. Kini anaknya yang paling dicintainya dan kepadanya dia selalu menggantungkan harapan sudah tak ada lagi di sampingnya karena tindakan anak-anaknya sendiri. Apakah dia akan menuntut balas ataukah dia akan menyelidiki sendiri ke mana anaknya itu sebenarnya, sedang dia tidak berdaya lagi.

Dalam keadaan seperti itu tidak ada yang lebih baik baginya kecuali bersabar dan tawakal sepenuhnya kepada Allah. Jalan inilah yang dipilih Yakub meskipun ia tetap sedih dan tetap menangis atas kehilangan jantung hatinya. Ia tidak percaya sama sekali akan cerita anak-anaknya. Oleh karena itu, ia berserah diri kepada Allah dan selalu memohon pertolongan-Nya agar anaknya Yusuf diselamatkan dari segala marabahaya.

Ayat 19

Tidak lama sesudah Yusuf berada di dalam sumur, datanglah kafilah dari Madyan hendak berangkat ke Mesir. Kebetulan persediaan air mereka sudah habis dan pergilah mereka ke sumur itu lalu menjatuhkan timba ke dalamnya untuk mengambil air. Melihat timba diulurkan ke dalam sumur, hati Yusuf gembira dan timbul harapan di dalam hatinya bahwa dia akan dapat keluar dari bahaya yang sedang dihadapinya.

Dengan cepat dia pegang tali timba itu kuat-kuat, sehingga orang yang menimba heran mengapa air sumur ini amat berat. Tetapi mereka tetap menarik tali itu bersama-sama, dan ternyata bukan air yang terangkat, tetapi seorang anak kecil yang manis dan elok rupanya. Alangkah gembiranya pemimpin kafilah itu melihat anak yang sehat dan segar bugar itu. Terbayanglah dalam pikirannya ia akan mendapat keuntungan yang besar dengan menjualnya kepada orang kaya di Mesir nanti. Dengan cepat ia memerintahkan agar Yusuf disembunyikan supaya jangan kelihatan oleh orang lain karena mungkin orang-orang di daerah itu akan mengakui bahwa anak itu adalah anak penduduk kampung itu sendiri. Tetapi Allah Maha Mengetahui niat pemimpin kafilah itu sebagaimana Dia mengetahui apa maksud dan tujuan saudara-saudara Yusuf memasukkannya ke dalam sumur.

Ayat 20

Akhirnya sampailah kafilah itu ke Mesir dan di sana mereka jual Yusuf dengan harga yang murah sekali dibanding dengan mahalnya harga budak di negeri itu, apalagi Yusuf adalah seorang anak yang tampan dan segar bugar.

Para mufasir mengatakan tentang “beberapa dirham yang dihitung” bahwa yang pasti harganya kurang dari 40 dirham karena menurut adat kebiasaan di sana bila uang itu jumlahnya 40 dirham atau lebih, maka uang itu tidak dihitung lagi tetapi ditimbang. Mereka menjual Yusuf dengan harga yang begitu murah karena mereka khawatir kalau-kalau ada orang yang tahu bahwa Yusuf bukan budak, mengapa ia diperjualbelikan sedang dia adalah anak yang merdeka, anak orang baik. Karena kekhawatiran itulah mereka ingin cepat-cepat berlepas diri dari dia, asal mereka diberi uang berapa pun jumlahnya cukuplah bagi mereka. Rupanya sudah ditakdirkan Allah mereka menjual Yusuf kepada seorang penguasa yang amat berpengaruh di Mesir yaitu menteri yang kaya yang disebut al-’Aziz agar dia mendapatkan kesempatan untuk menaiki kekuasaan dan kemuliaan.

Ayat 21

Menteri yang mengambil Yusuf sangat gembira dan berbesar hati karena dapat membeli seorang anak yang elok rupanya, segar dan sehat badannya ditambah lagi karena terdapat padanya tanda-tanda yang baik yang menunjukkan bahwa dia akan mempunyai masa depan yang gemilang sama seperti firasat ayahnya Yakub terhadapnya.

Diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin Mas’ud pernah berkata tentang hal ini, katanya, “Orang-orang yang paling tepat firasatnya adalah tiga orang, pertama, al-’Aziz ketika ia memerintahkan kepada istrinya agar Yusuf diberikan tempat dan kedudukan yang baik di istananya; kedua, puteri syekh dari Madyan yang meminta kepada ayahnya agar Nabi Musa a.s. diserahi tugas memelihara dombanya sebagai orang gajian; dan ketiga, Abu Bakar ketika dia mengangkat Umar bin Khaththab sebagai penggantinya.

Oleh karena gembiranya, menteri itu memerintahkan kepada istrinya, “Berikanlah kepadanya tempat yang baik di istana ini. Perlakukanlah dia sebagai salah seorang keluarga bukan sebagai hamba atau pelayan, karena dia akan menjadi seorang yang berjasa kepada kita dan negara atau kita angkat dia sebagai anak yang kita cintai dan sayangi yang akan menjadi pewaris kita kelak kemudian hari.”

Demikianlah Allah mengatur dan mentakdirkan dengan membentangkan jalan bagi Yusuf dan memberi kesempatan kepadanya agar ia mengembang-kan bakat dan kepandaiannya sehingga dia mendapat kedudukan yang tinggi di Mesir. Di samping itu, Allah mengajarkan pula kepadanya ilmu menafsirkan mimpi dan dengan ilmu itu kelak ia dapat berhubungan dengan raja dengan cara menafsirkan mimpi raja sehingga ia dikeluarkan dari penjara dan mendapat kepercayaan yang besar sekali dan akhirnya diserahkan kepadanya urusan perbendaharaan dan kekayaan negara. Demikianlah Allah melaksanakan kehendak-Nya itu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Ayat 22

Di kala Yusuf mulai dewasa, Allah memberikan pula kepadanya kecerdasan dan kebijaksanaan sehingga ia mampu memberikan pendapat dan pikirannya dalam berbagai macam masalah yang dihadapi. Allah juga memberikan kepadanya ilmu, meskipun ia tidak belajar. Ilmu yang didapat tanpa belajar ini dinamai ilmu ladunni karena ia semata-mata ilham dan karunia dari Allah.

Demikianlah Allah memberi balasan kepada Yusuf yang tidak pernah mengotori dirinya dengan perbuatan keji dan jahat, selalu menjaga kebersihan hati nuraninya, selalu bersifat sabar dan tawakal atas musibah dan bahaya yang menimpanya. Demikianlah Allah membalas setiap insan yang berbuat baik.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 23-29

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 174-177

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembahasan sebelumnya Allah menegaskan tentang perumpamaan orang kafir dan kaum mukmin untuk makan dari yang halal. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 174-177 ini kembali menegaskan orang yang menyembunyikan kebenaran dari Allah dan hanya mengikuti hawa nafsu seperti kaum Yahudi dan Nasrani.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 171-173


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 174-177 Allah lebih menekankan bahwa perintah untuk tidak menyembunyikan kebenaran tidak hanya untuk Yahudi dan Nasrani tapi semua yang menganut agama di bumi termasuk Islam. Agar melakukan kebajikan dan beriman kepada Allah dengan sesungguhnya.

Ayat 174

Orang yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya disebabkan memperturutkan keinginan dan hawa nafsunya, serta takut akan kehilangan pengaruh dan kedudukan dan khawatir tidak akan mendapat kekayaan dan harta benda lagi, mereka itu orang yang telah menjual agamanya dengan harga yang amat murah.

Apalah arti kesenangan hidup di dunia ini yang bersifat sementara saja kalau dibandingkan dengan kenikmatan hidup di akhirat yang kekal abadi.

Barang-barang yang mereka dapatkan di dunia ini dengan jalan yang sesat, di akhirat nanti akan menjadi api yang menyala-nyala yang selalu mereka telan dan masuk ke dalam perut mereka sehingga mereka amat tersiksa.

Di samping itu Allah sangat murka kepada mereka, sehingga apa pun yang mereka keluhkan dan dengan cara bagaimanapun mereka memohon ampunan agar dikasihani, Allah tidak akan mendengarkan keluhan dan permintaan mereka.

Allah tidak akan mau berbicara dengan orang yang selalu menyembunyikan apa yang diturunkan-Nya dan selalu durhaka kepada-Nya. Allah tidak akan menghapus dosa mereka dan tidak pula akan membersihkan mereka dari kesalahan serta kesesatan di dunia, bahkan bagi mereka telah disediakan azab yang sangat pedih.

Ayat 175

Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk yang diturunkan Allah kepada rasul-rasul-Nya. Bahkan sebenarnya mereka telah membeli siksaan dengan ampunan.

Sesungguhnya yang mereka lakukan ini adalah jual-beli yang amat merugikan yang tidak akan dilakukan oleh orang yang waras pikirannya serta dapat mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk. Tetapi meskipun mereka telah diberi akal pikiran, mereka tidak mempergunakannya karena telah dipengaruhi hawa nafsu dan disilaukan pangkat dan kedudukan.

Mereka giat dan gigih mengerjakan perbuatan yang akan membawa dan memasukkan mereka ke dalam neraka kelak di akhirat.

Ayat 176

Allah telah menurunkan Al-Qur′an dan kitab-kitab yang sebelum-nya yang membawa kebenaran. Sedangkan mereka menyembunyikan dan menafsirkannya menurut hawa nafsunya sehingga hal ini menimbulkan perselisihan yang tajam di antara mereka sendiri.

Orang yang mempertengkarkan kebenaran yang dibawa oleh kitab itu sudah jauh menyimpang dan terperosok ke dalam jurang kesesatan. Mereka akan mendapat siksaan yang pedih dari Allah.

Ayat 177

Ayat ini bukan saja ditujukan kepada umat Yahudi dan Nasrani, tetapi mencakup juga semua umat yang menganut agama-agama yang diturunkan dari langit, termasuk umat Islam.

Pada ayat 177 ini Allah menjelaskan kepada semua umat manusia, bahwa kebajikan itu bukanlah sekadar menghadapkan muka kepada suatu arah yang tertentu, baik ke arah timur maupun ke arah barat, tetapi kebajikan yang sebenarnya ialah beriman kepada Allah dengan sesungguhnya, iman yang bersemayam di lubuk hati yang dapat menenteramkan jiwa, yang dapat menunjukkan kebenaran dan mencegah diri dari segala macam dorongan hawa nafsu dan kejahatan. Beriman kepada hari akhirat sebagai tujuan terakhir dari kehidupan dunia yang serba kurang dan fana.


Baca juga: Kitab al-Tafsir al-Maqashidi Karya Abdul Mustaqim: Hifz Al-Din dalam Kehidupan Keberagamaan yang Multikultural


Beriman kepada malaikat yang di antara tugasnya menjadi perantara dan pembawa wahyu dari Allah kepada para nabi dan rasul.

Beriman kepada semua kitab-kitab yang diturunkan Allah, baik Taurat, Injil maupun Alquran dan lain-lainnya, jangan seperti Ahli Kitab yang percaya pada sebagian kitab yang diturunkan Allah, tetapi tidak percaya kepada sebagian lainnya, atau percaya kepada sebagian ayat-ayat yang mereka sukai, tetapi tidak percaya kepada ayat-ayat yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Beriman kepada semua nabi tanpa membedakan antara seorang nabi dengan nabi yang lain. Iman tersebut harus disertai dan ditandai dengan amal perbuatan yang nyata, sebagaimana yang diuraikan dalam ayat ini, yaitu:

Satu, (a.) memberikan harta yang dicintai kepada karib kerabat yang membutuhkannya. Anggota keluarga yang mampu hendaklah lebih mengutamakan memberi nafkah kepada keluarga yang lebih dekat.

(b.) memberikan bantuan harta kepada anak-anak yatim dan orang-orang yang tidak berdaya. Mereka membutuhkan pertolongan dan bantuan untuk menyambung hidup dan meneruskan pendidikannya, sehingga mereka bisa hidup tenteram sebagai manusia yang bermanfaat dalam lingkungan masyarakatnya.

(c.) memberikan harta kepada musafir yang membutuhkan, sehingga mereka tidak terlantar dalam perjalanan dan terhindar dari pelbagai kesulitan.

(d.) memberikan harta kepada orang yang terpaksa meminta minta karena tidak ada jalan lain baginya untuk menutupi kebutuhannya.

(e.) memberikan harta untuk menghapus perbudakan, sehingga ia dapat memperoleh kemerdekaan dan kebebasan dirinya yang sudah hilang.

Dua, Mendirikan salat, artinya melaksanakannya pada waktunya dengan khusyuk lengkap dengan rukun-rukun dan syarat-syaratnya.

Tiga, Menunaikan zakat kepada yang berhak menerimanya sebagaimana yang tersebut dalam surah at-Taubah ayat 60. Di dalam Al-Qur′an apabila disebutkan perintah: “mendirikan salat”, selalu pula diiringi dengan perintah: “menunaikan zakat”, karena antara salat dan zakat terjalin hubungan yang sangat erat dalam melaksanakan ibadah dan kebajikan. Sebab salat pembersih jiwa sedang zakat pembersih harta.

Mengeluarkan zakat bagi manusia memang sukar, karena zakat suatu pengeluaran harta sendiri yang sangat disayangi. Oleh karena itu apabila ada perintah salat, selalu diiringi dengan perintah zakat, karena kebajikan itu tidak cukup dengan jiwa saja tetapi harus pula disertai dengan harta. Oleh karena itulah, sesudah Nabi Muhammad saw wafat, para sahabat sepakat tentang wajib memerangi orang yang tidak mau menunaikan zakat hartanya.

Empat, Menepati janji bagi mereka yang telah mengadakan perjanjian. Segala macam janji yang telah dijanjikan wajib ditepati, baik janji kepada Allah seperti sumpah dan nazar dan sebagiannya, maupun janji kepada manusia, terkecuali janji yang bertentangan dengan hukum Allah (syariat Islam) seperti janji berbuat maksiat, maka tidak boleh (haram) dilakukan, hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw:

اٰيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

(رواه مسلم عن أبي هريرة)

Tanda munafik ada tiga: yaitu apabila ia berkata, maka ia selalu berbohong, apabila ia berjanji, maka ia selalu tidak menepati janjinya, apabila ia dipercayai, maka ia selalu berkhianat. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah r.a.)

Lima, Sabar dalam arti tabah, menahan diri dan berjuang dalam mengatasi kesempitan, yakni kesulitan hidup seperti krisis ekonomi; penderitaan, seperti penyakit atau cobaan ; dan dalam peperangan, yaitu ketika perang sedang berkecamuk.

Mereka itulah orang-orang yang benar dalam arti sesuai dengan sikap, ucapan dan perbuatannya dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 178-179


(Tafsir kemenag)