Beranda blog Halaman 335

Tafsir Surah Yusuf ayat 30-34

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 30-34 melanjutkan kisah Yusuf dan istri al-‘Aziz. Demi memperbaiki nama baiknya istri al-‘Aziz ini mengundang semua perempuan Mesir untuk melihat ketampanan Yusuf yang membuat istri al-‘Aziz tergoda.

Selengkapnya baca kisah Yusuf dan istri al-‘Aziz dalam Tafsir Surah Yusuf ayat 30-34 di bawah ini….


Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim


Ayat 30

Dalam ayat ini diterangkan bahwa kejadian yang dirahasiakan itu, akhirnya tersebar juga. Bagaimana usaha menteri beserta segenap keluarga istana menutup-nutupi rahasia rumah tangganya, usahanya itu sia-sia saja. Berita itu telah menjadi buah bibir perempuan dalam kota. Lebih-lebih di kalangan istri pembesar-pembesar dan pemimpin kerajaan itu. Mereka membicarakannya, bahwa istri menteri menggoda bujangnya. Bukan hanya sekadar mengatakan bahwa istri menteri telah jatuh cinta kepada bujangnya itu, dan tidak memperdulikan lagi akibat-akibat buruk yang akan terjadi, seperti nama suaminya menjadi tercemar. Selanjutnya mereka mengatakan, “Sungguh kami melihat istri menteri itu sudah menempuh jalan sesat yang akan membawa kepada kehinaan.”

Ayat 31

Pergunjingan perempuan-perempuan itu sampai juga ke telinga istri menteri yang menyebabkan ia merasa marah bercampur malu. Dia tidak mengira bahwa berita mengenai dirinya akan tersebar luas seperti itu, sebab sudah cukup usahanya untuk menutupi rahasia itu. Dia mencari akal, bagaimana caranya menutup malu yang sudah tersebar luas itu. Maka diundangnyalah perempuan-perempuan terkemuka itu datang ke rumahnya menghadiri suatu jamuan. Untuk pesta itu, sudah diatur tempat sebaik-baiknya, makanan yang enak-enak, dan minuman dari berbagai macam sudah disiapkan. Tidak ketinggalan buah-buahan yang segar dan manis yang bermacam jenis dan ragamnya sudah disediakan di meja makan. Kursi-kursi yang bagus sudah disusun untuk dapat duduk bersantai, menikmati makanan dan buah-buahan yang lezat cita rasanya.

Undangan ini mendapat sambutan yang hangat, lebih-lebih dari perempuan-perempuan yang ingin mengetahui kejadian yang sudah menjadi buah bibir selama ini, terutama ingin melihat anak muda yang bernama Yusuf itu. Meriah sekali pesta itu. Gelak tawa bersahut-sahutan, omong dan kelakar menjadi-jadi. Bermacam makanan dihidangkan tidak putus-putusnya. Begitu juga minuman. Terakhir sekali dihidangkan buah-buahan. Kepada masing-masing yang hadir diberikan sebuah pisau untuk mengupas buah-buahan. Di saat itu, istri menteri yang menjadi nyonya rumah, memerintahkan kepada Yusuf untuk ke luar ke tengah-tengah para tamu yang sedang duduk bersantai memotong buah-buahan untuk memperkenalkan dirinya.

Maka keluarlah Yusuf dan berdiri di hadapan tamu-tamu itu. Baru saja perempuan-perempuan itu melihat wajah Yusuf yang sangat elok seperti bulan purnama, kagumlah mereka melihatnya, bahkan lupa akan diri mereka masing-masing karena terpesona oleh kegagahan dan ketampanan Yusuf. Dengan tidak sadar, pisau yang ada di tangan mereka, mereka potongkan ke tangan dan jari mereka sendiri, bukan untuk memotong buah-buahan dan mereka tidak merasakan sakit perihnya.

Dari mulut mereka keluar kata-kata, “Mahasempurna Allah, dia bukanlah manusia, tetapi adalah malaikat yang mulia.” Begitu kagum dan tercengang mereka melihat Yusuf yang sangat menawan dan menggetarkan jantung mereka, inilah sosok orang yang mereka bicarakan sehari-hari dengan mempersalahkan dan mengejek istri menteri.

Ayat 32

Ayat ini menerangkan bahwa perempuan-perempuan yang diundang itu kagum dan terpesona melihat Yusuf. Melihat reaksi mereka, istri menteri itu gembira, lalu berkata, “Inilah dia Yusuf yang selalu kamu guncingkan dan selalu kamu mencela sikap saya terhadap Yusuf dan kejadian antara saya dengan dia baru-baru ini. Sekarang kamu semua terpesona memandanginya. Baru sepintas lalu kamu memandangnya, kamu sudah lupa diri. Lihatlah kamu sudah memotong jarimu karena terpesona memandang Yusuf.”

Istri al-’Aziz berkata, “Saya akui terus terang, memang sayalah yang telah jatuh cinta kepadanya dan sayalah yang menggodanya dan mengajaknya berlaku serong. Tetapi dia tetap enggan dan berlindung diri kepada Tuhannya. Dia berpaling dan menjauhkan dirinya daripadaku. Aku terus menggodanya dan merayunya sampai dia mau mengikuti keinginan hawa nafsuku. Seandainya dia juga tidak mau, aku akan katakan kepada suamiku, supaya dia dimasukkan ke dalam penjara dan tentunya dia akan menjadi orang yang hina. Suamiku tidak berani menolak usulku itu dan suamiku akan menghukum dia sesuai dengan keinginanku.”

Sengaja kata-kata itu dilontarkannya di hadapan tamu-tamu dalam jamuan yang meriah itu, supaya didengar oleh Yusuf sendiri dan supaya para tamu dapat melunakkan hati Yusuf. Lebih baik mematuhi apa saja kehendak istri al-’Aziz daripada mendapat kemarahan yang akhirnya akan dipenjara-kan, hidup bersama-sama dengan orang-orang jahat dan hina-dina. Bila Yusuf mau mengikuti kehendaknya, tentu Yusuf akan beruntung seluruh kekayaan dan kemewahan isi istana itu dapat pula dikuasai Yusuf. Pendek-nya, semua yang hadir pada waktu itu telah berpihak kepada istri al-’Aziz, tidak lagi menyalahkan dan mengejeknya. Semua membenarkan, sudah sepantasnya istri menteri tergoda dan tergila-gila oleh Yusuf yang tinggal di rumahnya. Maka semua perempuan itu, turut membujuk Yusuf agar mematuhi kehendak istri menteri itu, tanpa malu-malu dan takut-takut.

Ayat 33

Ayat ini menerangkan bagaimana keteguhan hati dan kekuatan iman Yusuf yang tidak mempan segala bujukan dan rayuan, begitu juga semua kata-kata untuk melunakkan hati Yusuf yang keluar dari mulut perempuan-perempuan itu. Tidak mencemaskan hati Yusuf gertakan dan ancaman yang mengatakan bahwa Yusuf akan dipenjarakan dan dihukum, kalau dia tidak mau tunduk mengikuti ajakan untuk berbuat serong itu. Mendengar semua itu, Yusuf hanya berlindung diri kepada Allah, menundukkan kepala sambil berdoa agar dijauhkan Tuhan dari godaan perempuan-perempuan itu seraya berkata,

“Ya Tuhanku, penjara yang gelap lagi sempit itu lebih baik bagiku daripada dalam istana, menghadapi perempuan-perempuan yang cantik yang selalu menggoda dan mengajakku untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya. Aku khawatir ya Allah, bila aku masih tinggal dalam istana ini, selalu berhadapan dengan perempuan-perempuan yang menggodaku, kalau-kalau semangatku melemah, imanku luntur, sehingga aku terperosok jatuh ke lembah kehinaan bersama mereka. Ya Allah, hindarkanlah aku dari godaan-godaan mereka. Tidak ada daya dan kekuatan bagiku untuk lepas dari bahaya itu selain dengan pertolongan dan petunjuk-Mu. Ya Allah, kalau bukan karena pertolongan dan petunjuk-Mu, aku akan jadi orang yang bodoh, sesat jalan dan mudah terpedaya akhirnya terjerumus ke dalam lembah kehinaan dan maksiat.”

Ayat 34

Ayat ini menerangkan bahwa akhirnya Yusuf dimasukkan ke dalam penjara. Doa Yusuf diperkenankan Tuhannya, agar Yusuf tetap dipelihara dari godaan dan tipu-daya perempuan-perempuan itu. Maka menteri memasukkan Yusuf ke dalam penjara sekadar memenuhi permintaan istrinya, oleh karena istrinya meminta kepada suaminya supaya jangan membocorkan peristiwa itu dan berusaha menenteramkan suasana rumah tangganya. Maksud Allah mengabulkan doa Yusuf untuk masuk penjara berlainan dengan maksud pembesar itu (al-’Aziz).

Maksud Allah ialah supaya Yusuf tetap bersih, terpelihara dari segala godaan yang mengotori jiwanya. Juga supaya Yusuf menjadi orang yang sabar dan tahan menderita dalam penjara, bergaul dengan orang-orang yang sudah lama meringkuk dalam penjara dengan bermacam-macam karakter, tingkah laku, dan perangainya. Sebab Yusuf akan diangkat Allah menjadi nabi untuk kaumnya. Penjara adalah tempat mendewasakannya dan tempat pertama kali Allah menurunkan wahyu kepadanya. Oleh karena itu, Allah selalu menjaganya dan Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui segala doa yang dipanjatkan dan segala perbuatan yang dikerjakan hamba-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 35-40


Sejarah Awal Kewajiban Puasa dan Turunnya Surah al-Baqarah Ayat 187

0
Surah al-Baqarah Ayat 187
Surah al-Baqarah Ayat 187

Kewajiban berpuasa tercantum secara jelas dalam Q.S. al-Baqarah Ayat 183. Kemudian ayat-ayat berikutnya menjelaskan hukum puasa bagi saudara kita yang sedang sakit atau dalam perjalanan, serta kapan puasa dilaksanakan. Secara umum, hal ini tidak ada yang berbeda dengan apa yang kita ketahui selama ini. Yakni mereka yang sedang sakit atau dalam bepergian bisa menggantinya di waktu lain dan puasa dilaksanakan selama bulan Ramadan setelah  posisi hilal diketahui dengan pasti.

Namun, tahukan kita bahwa ada perbedaan antara puasa yang kita kenal saat ini dengan puasa yang pernah ada pada masa Nabi Muhammad? Informasi seputar puasa yang kita ketahui sekarang ini tidak ada yang berbeda sedikitpun dari informasi yang juga dikenal pada masa Nabi. Hanya saja pernah ada sedikit perbedaan sebelum model puasa yang kita kenal ini dilegalkan oleh Allah.

Dahulu, sebelum turun Surah al-Baqarah Ayat 187, ketentuan puasa yang ada tidaklah sepenuhnya sama dengan ketentuan puasa kita. Mengenai larangan makan, minum, dan berhubungan badan masih tetap sama. Mengingat di situlah letak inti berpuasa.

Dalam hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Sahabat Abu Hurairah, Allah berfirman “Puasa adalah untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan memberikan pahalanya (kelak). Dia meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku. Ada dua kebahagiaan bagi orang berpuasa; kebahagiaan saat berbuka dan saat berjumpa dengan Tuhannya” (HR. Muslim). Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Malik ada redaksi “… meninggalkan syahwa, makanan, dan minumannya.” (HR. Malik)

Menurut informasi hadis yang menjadi sebab nuzul Surah al-Baqarah Ayat 187 ini, berbuka puasa hanya bisa dilakukan dalam rentang waktu antara maghrib dan isya saja. Selebihnya sudah berlaku kembali ketentuan puasa (tidak boleh makan, minum, dan berhubungan badan).

Sahabat Barrā` bercerita bahwasanya “dahulu, jika salah satu sahabat Nabi berpuasa, lalu waktu berbuka tiba ia tertidur sebelum berbuka, maka ia tidak diperbolehkan lagi makan sepanjang malam itu dan siang hari berikutnya sampai tiba waktu sore (yakni waktu berbuka untuk hari esoknya)”. Hal ini tentu terasa berat bagi sebagian sahabat Nabi yang siang harinya sudah memeras keringat mencari rejeki.

Belum lagi cuaca tanah Arab yang terkenal ekstrem, hal itu tentunya membuat sahabat merasa lebih berat lagi dalam menjalani puasa di hari esoknya. Suatu ketika – tutur sahabat Barrā` bin ‘Āzib – Shirmah bin Qais al-Anshārī berpuasa. Begitu waktu puasa tiba, ia menghampiri istrinya dan bertanya ‘Apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan)?’ ‘Tidak, tapi aku akan keluar mencarikan makanan untukmu’ jawab sang istri.

Sebagai orang yang bekerja di siang hari, Qais pun merasa letih dan tertidur. Tidak lama istrinya datang. Mengetahui suaminya tertidur, istrinya berucap ‘kasihan sekali dirimu, suamiku!’.

Keesokan harinya, ketika tengah hari tiba, Qais pingsan. Tragedi yang mengenaskan ini dilaporkan kepada Nabi lalu turunlah ayat “dihalalkan bagimu menggauli istrimu pada malam puasa” Para sahabatpun sangat senang luar biasa. Selain itu, turun pula “makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang merah” (HR. Bukhari, Ahmad, al-Darimi, Abu Dawud, dan al-Turmudzi).

Demikian awal mula kisah dibebaskannya makan dan minum pada malam hari selama bulan puasa. Hadis tadi bisa ditemukan juga misalnya dalam kitab al-Muharrar fī Asbāb Nuzūl al-Qur’an min Khilāl al-Kutub al-Tis’ah. Jika makan dan minum sudah mendapatkan lampu hijau, lantas bagaimana dengan kebutuhan yang satunya? Dalam kitab yang ditulis oleh Khalid bin Sulaiman al-Mazīnī ini ada hadis riwayat Imam Ahmad yang menjadi satu rangkaian hadis-hadis sebab turunnya Surah al-Baqarah Ayat 187.

Hadis ini menceritakan kejadian yang dialami sahabat Umar bersama istrinya. Pada bulan Ramadan – dalam hadis tersebut – ketika seseorang berpuasa kemudian tertidur menjelang waktu berbuka, haram baginya makanan, minuman, dan menggauli istri hingga tiba waktu berbuka puasa keesokan harinya.

Suatu malam, sahabat Umar pulang dari kediaman Nabi setelah terjaga bersamanya dan menjumpai istrinya tertidur. Sahabat Umar ingin menggaulinya namun istrinya mengaku bahwa dirinya telah tertidur (sehingga tidak bisa memenuhi keinginan suaminya itu). Sahabat Umarpun berkata ‘engkau tidak tidur’ dan terjadilah apa yang diinginkannya dari istrinya itu.

Keesokan harinya, sahabat Umar menghadap Nabi dan melapor perihal kejadian semalam. Lalu turunlah ayat “Allah tahu bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, Allah pun menerima taubatmu dan memaafkanmu” (HR. Ahmad). Setelah ayat ini turun, sempurna sudah kenikmatan yang dirasakan para sahabat kala itu. Mereka tidak lagi tersiksa oleh keterbatasan waktu yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan biologis semisal makan, minum, dan lainnya.

Mengenai dua hadis ini, Ibn Katsīr dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhīm-nya (2/196) berkomentar “Demikianlah yang diriwayatkan dari Mujāhid, ‘Athā`, ‘Ikrimah, Qatādah, dan yang lain terkait sebab turunnya ayat ini. Ia menjadi jawaban atas kasus yang menimpa Umar bin Khattāb, Shirmah bin Qais, dan siapapun yang senasib dengan mereka. Kemudian Allah memperbolehkan berhubungan badan, makan, dan minum sepanjang malam-malam puasa sebagai bentuk kasih sayang dan keringanan”.

Kini, jika demikian kenyataannya, rasanya tidak layak bagi kita untuk mengeluhkan rasa lapar dan dahaga yang dirasakan saat berpuasa. Sebab kondisi ini hanya sampai waktu magrib saja. Pada malam harinya kita bisa menikmati aneka makanan yang dihidangkan di hadapan kita. Para sahabat – dengan kondisi wilayah yang jauh leih panas dari Indonesia – telah merasakan hal yang lebih berat dari itu. sebelum ayat ini turun, mereka hanya bisa menikmati kelezatan dunia antara waktu maghrib dan isya saja. wallāhu a’lam

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 11 (Bagian 1)

0
Tafsir Surah Ar Ra'd
Tafsir Surah Ar Ra'd

Tafsir Surah Ar Ra’d ayat 11 bagian pertama ini berbicara mengenai para malaikat yang ditugaskan untuk menjaga manusia. Para malaikat itu mengawasi manusia dari berbagai waktu dan sudut, baik siang dan malam, kanan dan kiri, dan depan dan belakang.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Ar Ra’d ayat 8-10


Ayat 11 (1)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah swt menugaskan kepada beberapa malaikat untuk selalu mengikuti manusia secara bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah.

Ada malaikat yang bertugas menjaga manusia di malam hari, dan ada yang di siang hari, menjaga dari pelbagai bahaya dan kemudaratan. Ada pula malaikat yang mencatat semua amal perbuatan manusia, yang baik atau yang buruk, yaitu malaikat yang berada di sebelah kanan dan kiri.

Malaikat yang berada di sebelah kanan mencatat segala kebaikan, dan yang di sebelah kiri mencatat amal keburukan, dan dua malaikat lainnya, yang satu di depan dan satu lagi di belakang. Setiap orang memiliki empat malaikat empat pada siang hari dan empat pada malam hari. Mereka datang secara bergiliran, sebagaimana diterangkan dalam hadis yang sahih:

يَتَعَاقَبُوْنَ فِيْكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُوْنَ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ فَيَصْعَدُ إِلَيْهِ الَّذِيْنَ بَاتُوْا فِيْكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ أَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ وَتَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ.

(رواه البخاري عن أبي هريرة)

Ada beberapa malaikat yang menjaga kamu secara bergiliran di malam hari dan di siang hari. Mereka bertemu (untuk mengadakan serah terima) pada waktu salat Subuh dan salat A¡ar, lalu naiklah malaikat-malaikat yang menjaga di malam hari kepada Allah Ta’ala. Dia bertanya, sedangkan Ia sudah mengetahui apa yang akan ditanyakannya itu, “Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku ketika kamu meninggalkan mereka (di dunia)?” Malaikat menjawab, “Kami datang kepada mereka ketika salat dan kami meninggalkan mereka, dan mereka pun sedang salat.” (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Apabila manusia mengetahui bahwa di sisinya ada malaikat-malaikat yang mencatat semua amal perbuatan dan mengawasinya, maka dia harus selalu menjaga diri dari perbuatan maksiat karena setiap aktivitasnya akan dilihat oleh malaikat-malaikat itu.

Pengawasan malaikat terhadap perbuatan manusia dapat diyakini kebenarannya setelah ilmu pengetahuan menciptakan alat-alat modern yang dapat mencatat semua kejadian yang terjadi pada diri manusia.

Sebagai contoh, alat pengukur pemakaian aliran listrik dan air minum di tiap-tiap kota dan desa telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat diketahui berapa jumlah yang telah dipergunakan dan berapa yang harus dibayar oleh si pemakai.

Demikian pula alat-alat yang dipasang di kendaraan bermotor yang dapat mencatat kecepatannya dan mengukur berapa jarak yang telah ditempuh.


Baca juga: Urgensi Salat dan Beda Pendapat tentang Makna Salat Wustha


Perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat mengungkapkan bermacam-macam perkara gaib, sebagai bukti yang dapat memberi keyakinan kepada kita tentang benarnya teori ketentuan agama.

Hal itu juga menjadi sebab untuk meyakinkan orang-orang yang dikuasai oleh doktrin kebendaan, sehingga mereka mengakui adanya hal-hal gaib yang tidak dapat dirasakan dan diketahui hanya dengan panca indera.

Oleh karena itu, sungguh tepat orang yang mengatakan bahwa kedudukan agama dan pengetahuan dalam Islam laksana dua anak kembar yang tidak dapat dipisahkan, atau seperti dua orang kawan yang selalu bersama seiring sejalan dan tidak saling berbantahan.

Malaikat-malaikat itu menjaga manusia atas perintah Allah dan seizin-Nya. Mereka menjalankan tugas dengan sempurna.

Sebagaimana dalam alam kebendaan ada hubungan erat antara sebab dan akibat, sesuai dengan hikmahnya, seperti adanya pelupuk mata yang dapat melindungi mata dari benda yang mungkin masuk dan bisa merusaknya, demikian pula dalam kerohanian, Allah telah menugaskan beberapa malaikat untuk menjaga manusia dari berbagai kemudaratan dan godaan hawa nafsu dan setan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 11 (Bagian 2)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 180-183

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembahasan sebelunya telah diberikan penjelasan tentang hikmah hukuman qisas, yaitu untuk mencapai keamanan dan ketenteraman. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 180-183 ini dijelaskan wajibnya berwasiat bagi orang yang beriman Ketika ajalnya sudah dekat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 178-179


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 180-183 Allah memperingatkan dengan tegas agar wasiat yang telah dibuat untuk tidak dirubah dan Allah mewajibkan kepada kaum Mukminin untuk berpuasa.

Ayat 180

Secara umum menurut bunyi ayat 180 ini, Allah mewajibkan berwasiat bagi orang yang beriman yang merasa bahwa ajalnya sudah dekat, dengan datangnya tanda-tanda bahwa dia akan mati.

Kewajiban berwasiat, bagi orang-orang yang mempunyai harta, agar sesudah mati dapat disisihkan sebagian harta yang akan diberikan kepada ibu-bapak dan karib kerabatnya dengan baik (adil dan wajar).

Para ulama mujtahid, dalam menetapkan suatu hukum wasiat yang positif dari ayat 180 ini, memerlukan pembahasan dan penelitian terhadap ayat-ayat lain dalam Al-Qur′an dan terhadap hadis-hadis Nabi yang ada hubungannya dengan persoalan ini, sehingga mereka menghasilkan pendapat antara lain:

  1. Jumhur ulama memberikan pendapat bahwa ayat wasiat 180 ini telah dinasakhkan (dihapus hukumnya) oleh ayat-ayat harta waris yang diturunkan dengan terperinci pada surah an Nisa’ ayat 11 dan 12 dengan alasan antara lain sebagai berikut:
  2. Sabda Rasulullah saw:

إِنَّ الله َقَدْ اَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ أَلاَ لاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

(رواه أحمد والبيهقي عن أبو أمامة الباهلي)

Sesungguhnya Allah swt telah memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris (Riwayat Ahmad dan al-Baihaqi dari Abu Umamah al Bahili).

Hadis ini walaupun tidak mutawatir, namun telah diterima baik oleh para ulama Islam semenjak dahulu.

  1. Para ulama sependapat bahwa ayat-ayat harta waris tersebut diturunkan sesudah ayat wasiat ini.
  2. Para ulama yang berpendapat bahwa ayat wasiat ini dinasakh oleh ayat-ayat harta waris, terbagi pula kepada 2 golongan: golongan pertama mengatakan, tidak ada wasiat yang wajib, baik kepada kerabat yang ahli waris maupun kerabat yang bukan ahli waris. Golongan kedua berpendapat bahwa yang dinasakhkan hanya wasiat kepada kerabat ahli waris saja, sesuai dengan ayat-ayat mawaris itu tetapi untuk karib kerabat yang tidak termasuk ahli waris, wasiat itu tetap wajib hukumnya sesuai dengan ayat wasiat ini.
  3. Menurut Abu Muslim al-Isfahani (seorang ulama yang tidak mengakui adanya nasakh dalam ayat-ayat Alquran) dan Ibnu Jarir at-Tabari, bahwa ayat wasiat 180 ini, tidak dinasakhkan oleh ayat-ayat mawaris dengan alasan antara lain:
  4. Tidak ada pertentangan antara ayat wasiat ini dengan ayat-ayat mawaris, karena wasiat ini sifatnya pemberian dari Tuhan. Oleh karena itu, seorang ahli waris bisa mendapat bagian dari wasiat sesuai dengan ayat 180 ini, dan dari warisan sesuai dengan ketentuan ayat-ayat harta waris.
  5. Andaikata ada pertentangan antara ayat wasiat ini dengan ayat-ayat harta waris, maka dapat dikompromikan yaitu ayat-ayat wasiat ini sifatnya umum, artinya wajib wasiat kepada setiap kerabat, baik ahli waris maupun bukan, sedang ayat-ayat mawaris sifatnya khusus. Jadi kewajiban berwasiat itu seperti dalam ayat 180 tetap berlaku, sehingga tidak bertentangan dengan ayat-ayat harta waris.

Pada ayat 180 ini diterangkan lagi bahwa wasiat itu diberlakukan kalau harta yang akan ditinggalkan oleh yang berwasiat itu banyak. Para ulama yang memberi pendapat tentang berapa banyak jumlah harta yang mengharuskan adanya wasiat. Perincian pendapat para ulama ini dapat diketahui dalam kitab fikih.

Tetapi bagaimanapun banyaknya dalil yang dikemukakan, pikiran yang sehat dapat mengambil kesimpulan bahwa harta yang ditinggalkan itu tentulah tidak sedikit sebab wasiat tidak boleh melebihi sepertiga dari jumlah seluruh harta yang ditinggalkan, setelah dikeluarkan lebih dahulu apa yang wajib dikeluarkan, seperti utang-utang dan ongkos seperlunya untuk kepentingan penyelenggaraan jenazah.

Kalau wasiat itu lebih dari sepertiga, maka harus mendapat persetujuan dari ahli waris.Kalau ada yang tidak setuju, maka wasiat hanya berlaku sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan, sesuai dengan sabda nabi Muhammad saw:

إِنَّ الله َ أَعْطَاكُمْ ثُلُثَ أَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ زِيَادَةً لَكُمْ فِي أَعْمَالِكُمْ

(رواه الدارقطني عن معاذ بن جبل)

Sesungguhnya Allah telah membolehkan memberikan sepertiga dari harta kamu sewaktu dekat dengan kematian (ajal) untuk menambah kebajikan kamu. (Riwayat ad-Daraqutni dari Mu’az bin Jabal)

Jadi kalau harta itu sedikit, wasiat tidak pantas dan tidak wajar dikeluarkan.

Sesudah itu ayat ini menekankan, bahwa apa yang diwasiatkan itu diberikan dan dibagi secara makruf, artinya secara baik, adil dan wajar. Jangan ada yang menerima sedikit, sedang yang lain menerima banyak, kecuali dalam hal-hal yang cukup wajar, yaitu orang yang menerima lebih banyak, karena sangat banyak kebutuhannya dibandingkan dengan yang lain.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Bagi Orang Gila dan Epilepsi


Ayat 181

Ayat 181 ini memperingatkan dengan tegas agar wasiat yang telah dibuat, jangan diubah oleh siapa pun juga. Barang siapa yang mengubah atau menggantinya dan ia telah mengetahui isi yang sebenarnya dari wasiat itu, maka dialah yang akan memikul segala dosa yang tidak dapat dielakkannya, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar.

Ayat 182

Ayat ini memberikan penjelasan, yaitu kalau seseorang merasa khawatir bahwa orang yang berwasiat itu tidak berlaku adil dalam memberikan wasiatnya, maka tidak ada dosa baginya untuk menyuruh yang berwasiat agar berlaku adil dalam memberikan wasiatnya.

Apabila seseorang mengetahui bahwa wasiat yang telah dibuat itu ternyata tidak adil kemudian ia berusaha mendamaikan antara orang-orang yang menerima wasiat itu, sehingga terjadi perubahan-perubahan, maka hal itu tidaklah dianggap perubahan yang mengakibatkan dosa, tetapi perubahan dari yang tidak adil kepada yang adil, yang disetujui oleh pihak yang menerima bagian dari wasiat itu.

Ayat 183

Para ulama banyak memberikan uraian tentang hikmah berpuasa, misalnya: untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan lain sebagainya.

Uraian seperti di atas tentu ada benarnya, walaupun tidak mudah dirasakan oleh setiap orang. Karena, lapar, haus dan lain-lain akibat berpuasa tidak selalu mengingatkan kepada penderitaan orang lain, malah bisa mendorongnya untuk mencari dan mempersiapkan bermacam-macam makanan pada siang hari untuk melepaskan lapar dan dahaganya di kala berbuka pada malam harinya.

Begitu juga tidak akan mudah dirasakan oleh setiap orang berpuasa, bahwa puasa itu membantu kesehatan, walaupun para dokter telah memberikan penjelasan secara ilmiah, bahwa berpuasa memang benar-benar dapat menyembuhkan sebagian penyakit, tetapi ada pula penyakit yang tidak membolehkan berpuasa. Kalau diperhatikan perintah berpuasa bulan Ramadan ini, maka pada permulaan ayat 183 secara langsung Allah menunjukkan perintah wajib itu kepada orang yang beriman.

Orang yang beriman akan patuh melaksanakan perintah berpuasa dengan sepenuh hati, karena ia merasa kebutuhan jasmaniah dan rohaniah adalah dua unsur yang pokok bagi kehidupan manusia yang harus dikembangkan dengan bermacam-macam latihan, agar dapat dimanfaatkan untuk ketenteraman hidup yang bahagia di dunia dan akhirat.

Pada ayat 183 ini Allah mewajibkan puasa kepada semua manusia yang beriman, sebagaimana diwajibkan kepada umat-umat sebelum mereka agar mereka menjadi orang yang bertakwa.

Jadi, puasa sungguh penting bagi kehidupan orang yang beriman. Kalau kita selidiki macam-macam agama dan kepercayaan pada masa sekarang ini, dijumpai bahwa puasa salah satu ajaran yang umum untuk menahan hawa nafsu dan lain sebagainya.

Perintah berpuasa diturunkan pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijri, ketika Nabi Muhammad saw mulai membangun pemerintahan yang berwibawa dan mengatur masyarakat baru, maka dapat dirasakan, bahwa puasa itu sangat penting artinya dalam membentuk manusia yang dapat menerima dan melaksanakan tugas-tugas besar dan suci.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 184-185


(Tafsir kemenag)

Mengenal Mushaf Al-Qur’an Blawong Gogodalem yang Dianggap Mistis (Part 1)

0
Mengenal Mushaf Al-Qur'an Blawong Gogodalem
Mengenal Mushaf Al-Qur'an Blawong Gogodalem

Memang benar dikatakan jika Indonesia menyimpan begitu banyak khazanah naskah kuno. Kendati telah dilakukan berbagai upaya katalogisasi, jumlah yang belum tercatat kemungkinan lebih banyak katimbang yang sudah tercatat. Apa yang hendak penulis ulas kali ini mungkin diantara naskah-naskah yang belum banyak tereksplor publik. Koleksi milik warga Gogodalem, Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang yaitu mushaf al-qur’an blawong Gogodalem.

Desa Gogodalem terletak di Kecamatan Bringin, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Jaraknya yang cukup jauh dari pusat kabupaten, sekitar 36 km ke arah tenggara, serta letaknya yang agak tinggi membuat Gogodalem menjadi desa yang asri dengan potensi wisata yang cukup beragam. Didukung dengan kemudahan akses jalan dan keindahan view alam di sepanjang perjalanan.

Secara geografis, letak Desa Gogodalem tidak jauh dengan daerah Ngaliyan, Kota Semarang. Sehingga jika ditempuh dari arah kota, perjalanan memakan waktu sekitar 1,5 jam dengan sepeda motor. Namun sayangnya, naskah ini masih jarag diketahui oleh pengkaji naskah dan para akademisi lainnya. 

Penulis Mushaf Al-Qur’an Blawong Gogodalem

Adalah naskah mushaf kuno. Masyarakat Desa Gogodalem biasa menyebutnya dengan Mushaf Blawong atau Qur’an Blawong. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, naskah yang saat ini tersimpan di Masjid At-Taqwa Gogodalem ini merupakan tulisan tangan asli Mbah Jamaluddin, salah satu awliya’ yang menjadi cikal-bakal Desa Gogodalem selain Mbah Nitinegoro dan Mbah Marto Ngasono.

Baca juga: Perbedaan Fungsi Mushaf dan Tafsir dalam Internal Umat Islam

Menurut informasi yang diberikan oleh Kiai Ahsin, juru kunci mushaf yang juga dzuriyah Mbah Nitinegoro ke-14, Mbah Jamaluddin hidup sebelum masa Mbah Nitinegoro dan Mbah Marto Ngasono. Makamnya dapat diziarahi di sekitar komplek Makam Sentono Gogodalem. Mbah Jamaluddin juga diriwayatkan memiliki tiga saudara, yakni Mbah Basyaruddin, Mbah Sirojuddin dan Mbah Tholabuddin. Dan konon, salah satunya -yaitu Mbah Basyaruddin- juga memiliki Mushaf Blawong yang berada di Desa Pringapus, Kabupaten Semarang.

Tiga Makna Kata Blawong

Ada beberapa riwayat yang penulis terima berkaitan dengan maksud dari kata blawong. Dari penuturan Amin Musthofa, putra Kiai Ahsin, ada setidaknya tiga makna dari kata blawong. Pertama, kata blawong berasal dari bentuk mblawur dalam Bahasa Jawa yang berarti kabur, tidak jelas. Makna ini merujuk pada bentuk dan model penulisan tangan Mushaf Blawong yang kadang menyulitkan mereka yang hendak membacanya, sehingga dibutuhkan kemampuan dan keterampilan khusus.

Kedua, ia berarti sebuah mushaf yang dikeramatkan karena lahir dari buah tulisan tangan asli. Dan ketiga, kata blawong merujuk pada konten-konten mistis yang ada dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang lantas diresepsi sebagai ‘kitab dukun’. Arti kedua dan ketiga ini lebih dipandang sebagai asal kata secara mistis.

Baca juga: Ilmu Rasm dalam Filologi Mushaf Al-Quran Kuno dan Upaya Kritik Teks

Selain riwayat dari Amin ini, penulis mendapati sebuah kajian yang telah dilakukan Pipit Mugi Handayani tahun 2008 di Pringapus menyebutkan bahwa kata blawong memiliki dua versi arti sesuai asal gabungan katanya. Pertama, mbelani wong atau secara literal berarti membela seseorang. Dan kedua, mbelaheni wong atau berarti mencelakakan seseorang. Dua arti ini merujuk pada fungsi Mushaf Blawong yang dulu dijadikan sebagai media bersumpah. Sehingga ia akan memberikan kemanfaatan atau kemudaratan tergantung pada perbuatan pelaku sumpahnya.

Amin Mustofa menceritakan bahwa dahulu Mushaf Blawong ini berjumlah lima buah. Empat naskah yang tersisa saat ini ditambah satu lagi naskah yang hilang. Menurutnya, naskah yang hilang adalah justru naskah terindah dari kelima naskah yang ada, dengan penggunaan tinta berwarna emas. Hilangnya naskah ini setelah sebelumnya sempat dibawa ke Istana untuk mendapatkan penghargaan dari Presiden yang kala itu masih dijabat oleh Soeharto.

Baca juga: Benarkah Mencium Mushaf Al-Quran Itu Bid’ah?

Sementara empat naskah yang masih tersisa kini telah terdaftar dengan masing-masing berkode BRI 82, BRI 83, BRI 84 dan BRI 85. Deskripsi singkat keempatnya akan penulis sajikan pada tulisan di part berikutnya, insyaAllah.

Tafsir Surah Yusuf ayat 23-29

0
Tafsir Surah Yusuf
Tafsir Surah Yusuf

Tafsir Surah Yusuf ayat 23-29 mengisahkan Nabi Yusuf dan istrinya al-‘Aziz. Karena ketampanan dan akhlak Yusuf yang terpuji istri al-‘Aziz terhasut godaan setan dan mengajak Yusuf untuk berselingkuh. Selengkapnya baca Tafsir Surah Yusuf ayat 23-29 di bawah ini..


Baca Juga: Belajar dari Sikap Nabi Yusuf As. dalam Menyikapi Hoaks, Perhatikan Surah Yusuf Ayat 26 dan 29


Ayat 23

Istri al-’Aziz adalah seorang perempuan cantik, sangat dimuliakan oleh seluruh penghuni istana, karena di samping dia istri al-’Aziz, dia juga berbudi tinggi, berakhlak mulia, bersih dari sifat-sifat congkak dan sombong, menjauhi segala hal yang akan menjatuhkan derajatnya. Tetapi setelah Yusuf tinggal di istana sebagai salah seorang keluarganya, istri al-’Aziz mulai tertarik kepadanya karena akhlak dan ketampanannya. Suatu ketika, setelah mengunci semua pintu rumah, istri al-’Aziz merayu Yusuf untuk berselingkuh.

Yusuf sebagai seorang yang jujur dan berakhlak mulia sangat terkejut mendengar rayuan dan ajakan itu, apalagi yang mengajaknya itu adalah istri majikannya sendiri yang telah memberinya tempat berteduh dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri. Selain dari itu, bila ia mematuhi ajakan demikian, berarti ia telah melakukan maksiat yang sangat dimurkai Allah. Karena itu dengan spontan ia menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar aku jangan terjerumus ke dalam perbuatan keji dan mungkar. Suamimu itu adalah tuanku, majikanku yang telah berbuat baik kepadaku, apakah kebaikannya aku balas dengan kekejian? Ini adalah suatu kezaliman dan aku tidak akan melakukannya karena tidak ada orang yang zalim yang sukses dan bahagia hidupnya.”

Ayat 24

Istri al-’Aziz tidak mau berhenti, karena ia menganggap Yusuf sebagai budak yang harus melaksanakan keinginan dan perintahnya. Bila Yusuf menolak, istri al-’Aziz akan mencelakakannya. Tetapi dari pihak Yusuf, ia telah bertekad pula untuk menolaknya karena perbuatan itu melanggar agama, mengkhianati tuannya yang telah berjasa dan berbuat baik kepadanya dan merusak kehormatannya dan kehormatan tuannya. Yusuf dan istri al-’Aziz masing-masing telah mempunyai tekad yang bertolak belakang antara satu sama lainnya.

Ayat 25

Dalam keadaan yang bertambah gawat itu, yang seorang tetap mendesak dan yang lain tetap menolak, Yusuf memutuskan akan lari dari hadapan istri majikannya dan dengan cepat ia melompat ke pintu tetapi istri al-’Aziz menangkap bajunya dari belakang hingga robek. Dalam keadaan tarik-menarik itu, muncullah al-’Aziz di muka pintu. Dengan serta merta berteriaklah istri al-’Aziz mengatakan bahwa Yusuf mencoba memperkosa-nya dengan kekerasan. Dia meminta kepada suaminya agar Yusuf diberi ganjaran yang setimpal. Balasan yang tepat bagi orang yang melakukan kejahatan terhadap keluarganya ialah penjara atau siksa yang pedih.

Ayat 26

Ayat ini menerangkan tentang bersihnya Yusuf dari berbuat serong, Yusuf adalah seorang pemuda yang takut kepada Tuhannya, yang tidak goyah imannya oleh bujuk rayu seorang wanita. Dengan tegas dia berkata kepada menteri, suami dari perempuan itu, “Dalam peristiwa yang terjadi ini, sebenarnya perempuan itulah yang menggoda saya dan mengajak saya untuk memenuhi kehendak nafsunya, sampai saya melompat lari seperti yang tuan dapati sekarang ini.”

Dalam peristiwa Yusuf ini, banyak sekali tindakan yang bisa diambil oleh menteri untuk mencari bukti-bukti yang membenar-kan bahwa Yusuf adalah seorang yang bersih, karena Yusuf adalah budak yang biasanya tidak berani berbuat serong terhadap istri majikannya. Yusuf didapati oleh al-’Aziz sedang melompat hendak keluar dari dalam rumah. Ini menunjukkan bahwa al-’Aziz melihat istrinya dalam keadaan bersalah dengan mengenakan pakaian yang bagus sekali, dengan bedak dan wangi-wangian yang semerbak baunya, sedang tidak terdapat di muka Yusuf bekas-bekasnya. Sebagai bukti yang lain yang kuat sekali, bahwa suaminya tidak pernah melihat akhlak Yusuf yang buruk, semenjak Yusuf tinggal di rumahnya.

Ayat 27

Dengan pengetahuan dan pengalamannya terhadap Yusuf, sebenar-nya al-’Aziz telah mempercayai bahwa Yusuf tidak bersalah. Kemudian keyakinannya ini dikuatkan lagi oleh saksi yang lain, yang menyatakan, bahwa Yusuf tidak bersalah. Saksi itu ialah anak paman isteri al-’Aziz, menurut sebagian mufassir namanya adalah Zulaikha, seorang cerdik cendekiawan lagi bijaksana.

Saksi itu berkata, “Kami mendengar suatu keributan, tarik-tarikan dalam rumah, sampai kami mendengar bunyi kain sobek. Kalau baju Yusuf yang sobek di muka, maka perempuan itulah yang benar dan Yusuf pendusta. Kalau bajunya sobek di bagian belakang, benarlah Yusuf dan perempuan itu pendusta.” Menurut sebagian riwayat, yang menjadi saksi peristiwa ini, ialah seorang bayi yang ditakdirkan Allah dapat berbicara untuk sekedar menjadi saksi. Tetapi riwayat ini adalah lemah. Pendapat yang kuat yang menyatakan bahwa saksi dalam peristiwa ini, ialah anak paman istri al-’Aziz itu sendiri.

Ayat 28

Setelah diadakan penyelidikan dan pertukaran pikiran antara menteri dengan keluarga istrinya tentang peristiwa yang terjadi ini, maka diperiksalah baju Yusuf yang sobek itu. Ternyata baju Yusuf bagian belakang yang robek. Jelaslah dalam peristiwa ini, Yusuf yang benar tidak dapat dibantah dan diragukan lagi. Maka tuduhan perempuan itu terhadap Yusuf adalah palsu.

Tapi bagaimanapun pandainya orang bersalah mengemukakan alasan-alasannya, namun yang bersalah akan diketahui juga, sesuai dengan pepatah: “Sepandai-pandainya membungkus yang busuk, akhirnya akan berbau juga.” Setelah jelas duduk perkara peristiwa ini, maka menteri berkata kepada istrinya, “Sekarang jelas, engkau telah membujuk dan merayu Yusuf. Ketahuilah, bujuk rayu yang seperti itu besar bahayanya. Untung Yusuf seorang pemuda yang kuat imannya, tidak terpengaruh oleh godaan seperti yang engkau lakukan itu.”

Ayat 29

Selanjutnya dalam ayat ini, menteri itu berkata, “Wahai Yusuf, peliharalah dirimu, tutup mulutmu, jangan sampai kejadian ini engkau ceritakan kepada orang lain. Kejadian ini adalah rahasia kami, kalau diketahui orang, kami akan mendapat malu. Engkau jangan merasa takut dalam persoalan ini, percayalah bahwa kami tetap menjaga namamu, sebab engkau benar-benar orang yang berakhlak mulia dan beriman kuat. Engkau hai istriku, bertakwalah kepada Tuhanmu, minta ampunlah atas dosamu, karena engkau termasuk orang yang bersalah dan berdosa. Kesalahanmu sangat besar yaitu mengkhianati suamimu, dan kesalahan menuduh orang lain yang bersih dan suci.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Yusuf ayat 30


Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 8-10

0
Tafsir Surah Ar Ra'd
Tafsir Surah Ar Ra'd

Tafsir Surah Ar Ra’d ayat 8-10 berbicara mengenai hal gaib. Mengenai hal itu hanya Allah Swt yang mengetahuinya secara pasti. Misalnya kandungan seorang Ibu. Apakah putranya berjenis laki-laki atau perempuan. Itu adalah salah satu tanda kekuasaan Allah Swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 6-7


Ayat 8

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan dalam rahimnya, baik isi kandungan itu berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan, satu atau kembar, dan akan panjang usianya atau pendek, seperti tersebut dalam firman-Nya:

هُوَ اَعْلَمُ بِكُمْ اِذْ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاِذْ اَنْتُمْ اَجِنَّةٌ فِيْ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْۗ

Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu.  (an-Najm/53: 32)

Allah mengetahui kandungan rahim yang kurang sempurna, dimana bayinya memiliki cacat tubuh. Allah mengetahui kandungan rahim yang kembar dua, tiga, empat, atau lebih, dan yang masa kandungannya sempurna sembilan bulan, kurang dari itu, ataupun lebih.

Menurut penelitian beberapa rumah sakit di London, janin tidak dapat hidup dalam kandungan ibunya lebih dari 305 hari, sedangkan menurut penelitian rumah sakit di Berlin tidak lebih dari 308 hari. Bagi tiap-tiap sesuatu telah ada ukurannya di sisi Allah swt, tidak ada kekurangan atau tambahannya, seperti tersebut dalam firman-Nya:

اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ

Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (al-Qamar/54: 49)

Ayat di atas memberikan pernyataan mengenai proses embriologi yang terjadi dalam kandungan. Ayat selengkapnya mengenai perubahan yang terjadi dalam proses embriologi manusia dapat dilihat pada Surah Al-Mu’minµn/23: 12-16 yang penggalannya sebagai berikut: Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).…

Dua ayat lain yang membicarakan secara umum mengenai tahapan-tahapan dalam perkembangan manusia.  Pertama  adalah Surah Nµh/71: 13-14 berikut: Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian).

Ayat kedua adalah Surah Fatir/35: 11 yang penggalannya sebagai berikut: Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan).


Baca juga: Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (1)


Ayat 9

Ayat ini menjelaskan bahwa Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib, yang tampak, dan yang tidak bisa diketahui oleh pancaindra manusia. Ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa ada makhluk yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, karena kecil sekali.

Ia baru dapat dilihat dengan mikroskop dan teleskop, seperti bakteri dan virus yang dapat menularkan bermacam-macam penyakit yang sulit sekali untuk diberantas, atau sampai sekarang belum ditemukan obat pembasminya. Bakteri dan virus itu termasuk tentara Allah, yang tidak dapat diketahui berapa jumlahnya melainkan oleh Allah sendiri, seperti diterangkan dalam firman-Nya:

وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ اِلَّا هُوَۗ ࣖ

Dan tidak ada yang mengetahui bala tentara Tuhanmu kecuali Dia sendiri. (al-Muddassir/74: 31)

Ayat 10

Selanjutnya ayat ini menerangkan sifat Maha Mengetahui Allah terhadap seseorang yang merahasiakan ucapannya dan menyimpan dalam hatinya, atau yang berterus terang mengucapkannya. Semua itu sama di hadapan Allah. Tidak ada yang samar atau terselubung bagi-Nya. seperti Firman Allah:

وَاِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَاِنَّهٗ يَعْلَمُ السِّرَّ وَاَخْفٰى

Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. (Taha/20: 7)

Begitu pula Allah mengetahui siapa yang bersembunyi di malam hari dan berjalan menampakkan diri di siang hari. Semua itu tetap berada dalam ruang lingkup pengetahuan-Nya karena Allah Maha Mengetahui segalanya. Firman Allah:

وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَّرَقَةٍ اِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمٰتِ الْاَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَابِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfµz). (al-An’am/6: 59);


Baca setelahnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 11


(Tafsir Kemenag)

Masa Kelahiran Tafsir Al-Quran di Tanah Madura

0
Masa Kelahiran Tafsir Al-Quran di Tanah Madura
Masa Kelahiran Tafsir Al-Quran di Tanah Madura

Hingga detik ini, kajian tentang sejarah dan dinamika tafsir Al-Quran di Tanah Madura masih menjadi bidang garapan yang belum banyak tersentuh. Kita masih tergolong minim dan kekurangan informasi tentang beberapa tafsir al-Quran di tanah Madura atau yang ditulis oleh orang Madura. Kajian terbaru tentang topik ini adalah tulisan Hasanah,Tafsir Al-Qu’ran di Madura: Periodisasi, Metodologi, dan Ideologi, yang mencoba memberikan pemetaan sejarah dan dinamika penulisan tafsir Al-Quran di Madura. Namun sayangnya, dalam kajian itu, Hasanah tidak melengkapi data-data penting seperti yang pernah diungkap oleh Baidan (2003). Itulah salah satu tujuan mengapa artikel sederhana ini saya tulis.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Untuk Musafir, Tetap Berpuasa atau Berbuka?

Periode Tafsir Lisan (The Oral Interpretation)

Bagi umat muslim Madura, belajar Al-Quran adalah bagian pokok dalam kehidupan yang tak boleh ditinggalkan. Tradisi mengaji Al-Quran di Tanah Madura sudah ditanamkan sejak masih kecil. Pembelajaran Al-Quran biasanya digelar di langger (mushalla) milik tokoh agama setempat. Di sana, anak-anak ditempa keterampilan dasar membaca Al-Quran, tajwid, dan kefasihan. Tradisi ngajih e langgher (belajar ngaji di mushalla) sampai saat ini masih terus dilestarikan (lihat Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940).

Hal semacam itu, tercermin jelas dalam ritual keagamaan masyarakat Madura yang tidak melepas peran dan fungsi Al-Quran. Muncul dan berkembangnya pembelajaran Al-Quran di Madura juga memperlihatkan kuatnya pengaruh Islam yang menjadi bagian dari identitas masyarakat Madura, bahwa Islam tumbuh di wilayah agraris ini bukan sekadar di permukaan saja (lihat Suryandari, Identitas Kultural Masyarakat Madura: Tinjauan Komunikasi antar Budaya).

Sejak pertama kali Islam menapaki belahan bumi Madura, di saat yang sama Al-Quran mulai diajarkan. Proses penyebaran Islam ini meniscayakan adanya penafsiran Al-Quran, walaupun masih dalam kadar yang sederhana dan berbentuk oral (penafsiran secara lisan). Di masa ini, proses dialog dengan Al-Quran bukanlah sebuah penafsiran atau terjemahan yang tersaji dalam lembaran-lembaran selayaknya buku utuh, melainkan berbentuk fragmentasi dari kumpulan ayat yang dipilih berdasarkan topik pembicaraan untuk bahan dakwah sekaligus untuk diajarkan kepada masyarakat sesuai dengan kebutuhan mereka.

Baca juga: Empat Makna Kata Khasyah dalam Al-Quran menurut Mufasir

Pada periode ini, praktik dialog dengan Al-Quran bukan semata menafsirkan Al-Quran. Hal yang jauh lebih penting adalah menyampaikan pesan-pesan Al-Quran untuk menyeru masyarakat memeluk Islam dan mengaplikasikannya di setiap lini kehidupan. Sehingga, tafsiran-tafsirannya tidak perlu runtut tetapi terpencar-pencar sesuai topik dan keperluan dakwah. Proses penafsiran seperti ini menggunakan model lisan ke lisan atau bisa kita istilahkan dengan the oral interpretation (lihat Kamil & Ramdhani, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Madura: Kajian atas Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda Karya Mudhar Tamim).

Sama seperti di wilayah lainnya, tradisi penafsiran secara oral ini masih terus berlangsung sampai sekarang. Secara umum yang melakukannya adalah para pemuka agama melalui berbagai acara seperti pengajian dan tausiah. Keberlangsungan tafsir oral semacam ini dilakukan baik dengan berpijak pada pendapat pribadi sang tokoh, atau dengan mengutip keterangan dalam tafsir-tafsir yang pernah dipelajarinya.

Sejarah Awal Penulisan Tafsir Al-Quran di Madura

Tidak diketahui secara pasti kapan, di mana dan siapa yang pertama kali melakukan kajian terhadap Al-Quran ke dalam bahasa Madura, entah dalam bentuk terjemahan ataupun tafsir. Awal mula lahirnya kajian Al-Quran di tanah Madura adalah sesuatu yang masih menyisakan misteri. Tidak diketahui secara pasti tanggal, bulan, dan tahun berapa permulaan dilakukannyan penafsiran di wilayah yang dikenal dengan pulau garam ini.

Satu hal yang jelas dan tidak dapat dibantah adalah bahwa tradisi penafsiran—atau boleh memakai istilah praktik dialog dengan Al-Quran—berlangsung seiring dengan kedatangan dan penyebaran Islam di wilayah Madura. Ini merupakan suatu keniscayaan mutlak karena masyarakat tidak mungkin memahami ajaran Islam tanpa ada proses dialog dengan kitab sucinya (lihat Kamil & Ramdhani, Tafsir Al-Qur’an Bahasa Madura: Kajian atas Tafsir Alqur’anul Karim Nurul Huda Karya Mudhar Tamim).

Baca juga: Ragam Penafsiran atas Frasa La’allakum Tattaqun dalam Surah al-Baqarah Ayat 183

Akan tetapi, melalui penelusuran yang dilakukan Baidan, ditemukan satu naskah terjemahan surah Al Ma’arij ayat 1-10 dalam bahasa Jawa-Madura. Naskah ini berasal dari Sumenep dan sekarang menjadi koleksi Museum Istiqlal Jakarta dengan No. Katalog MD2124. Nama penulis dan tahun penulisan naskah tersebut hingga sekarang masih misteri. Dilihat dari bahan yang digunakan, yakni kertas kulit kayu, Baidan menyimpulkan bahwa karya ini ditulis antara abad ke-16 sampai dengan abad ke-18. Pada waktu itu, masyarakat Madura memang telah terbiasa dengan tulisan (aksara) Arab berkat ajaran dari para Walisongo, lebih kurang seabad sebelumnya.

Baidan juga menyebutkan sebuah naskah tafsir surah al-Baqarah ayat 1-7 yang di dalamnya terdapat terjemahan berbahasa Jawa-Madura. Penulisan terjemahan ditempatkan tepat di bawah ayat. Naskah tersebut ditulis menggunakan serat kayu dan kini tersimpan dalam koleksi Bayt Al-Quran dan Museum Istiqlal Jakarta. Masih belum diketahui siapa penulis naskah ini. Menurut pembacaan Baidan, naskah tersebut kemungkinan ditulis pada abad ke-18 (lihat Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia).

Pada akhir abad ke-19 ditemukan tafsir antar baris yang ditulis oleh Syaikhana Khalil Bangkalan pada tahun 1320 H atau kira-kira tahun 1900 M. Tafsir ini mulanya adalah mushaf Al-Quran yang ditulis oleh Syekh Abdul Karim, kakek buyut Syaikhana Khalil, yang kemudian diberi makna per-kata dengan huruf pegon bahasa Jawa. Dilihat dari uraian-uraian yang sangat kental dengan kaidah bahasa Arab atau i’rab, tafsir ini tampak lebih cenderung bernuansa lughawi (kebahasaan). Sedangkan metode yang digunakan adalah penafsiran secara ijmali (global) dengan penjelasan yang terfokus pada makna perkata tanpa ada panjelasan lanjutan (lihat Hasanah, Tafsir Al-Qur’an di Madura: Periodisasi, Metodologi dan Ideologi).

Baca juga: Kalimat Istirja’ di Akhir Surah Al-Baqarah Ayat 156, Kita Semua Milik Allah

Dengan demikian, titik sejarah awal penulisan tafsir Al-Quran di Madura bisa kita tandai pada rentang waktu sekitar abad ke-16. Dimulai dari akhir abad ke-19 sampai sekarang, tradisi penulisan tafsir Al-Quran di Madura terus berkembang berjalan seiring dengan tradisi penafsiran secara lisan (the oral interpretation) yang juga masih tetap eksis melalui peran pada juru dakwah atau tokoh agama.

Wallahu a’lam []

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 178-179

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya Allah memerintahkan untuk semua orang agar beriman kepada Allah dengan iman yang sesugguhnya. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 178-179 ini membahas tentang ketetapan hukuman qisas.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 174-177


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 178-179 ini diberikan penjelasan tentang hikmah hukuman qisas, yaitu untuk mencapai keamanan dan ketenteraman. Juga umat manusia tidak akan sewenang-wenang melakukan pembunuhan dengan menuruti hawa nafsu.

Ayat 178

Ayat ini menetapkan suatu hukuman kisas yang wajib dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan:

  1. Apabila orang merdeka membunuh orang merdeka, maka kisas berlaku bagi pembunuh yang merdeka tersebut.
  2. Apabila seorang budak membunuh budak (hamba sahaya), maka kisas berlaku bagi budak pembunuh.
  3. Apabila yang membunuh seorang perempuan, maka yang terkena hukuman mati adalah perempuan tersebut.

Demikianlah menurut bunyi ayat ini, tetapi bagaimana hukumannya kalau terjadi hal-hal seperti berikut:

  1. Apabila orang merdeka membunuh seorang hamba sahaya.
  2. Apabila seorang Muslim membunuh seorang kafir zimmi (kafir yang menjadi warga negara Islam).
  3. Apabila orang banyak bersama-sama membunuh seorang manusia
  4. Apabila seorang laki-laki membunuh seorang perempuan.
  5. Apabila seorang ayah membunuh anaknya.

Para ulama memberikan hasil ijtihadnya masing-masing sebagai berikut: Menurut mazhab Hanafi, pada masalah no. 1 dan no. 2 hukumnya ialah bahwa si pembunuh itu harus dihukum mati, walaupun derajat yang dibunuh dianggap lebih rendah dari yang membunuhnya, dengan alasan antara lain:

1) Dari permulaan ayat 178 ini sampai kepada kata-kata al-qatl sudah dianggap satu kalimat yang sempurna. Jadi, tidak dibedakan antara derajat manusia yang membunuh dan yang dibunuh.

Sedang kata-kata berikutnya yaitu orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan, hanyalah sekadar memperkuat hukum, agar jangan berbuat seperti pada masa jahiliah.

2) Ayat ini dinasakhkan (tidak berlaku lagi hukumannya) dengan ayat 45 surah al Ma′idah/5 yang tidak membedakan derajat dan agama manusia. ; Menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, pada masalah No. 1 dan No. 2 ini, pembunuh tidak dibunuh, karena persamaan itu adalah menjadi syarat bagi mereka dengan alasan bahwa:

1)  Kalimat dalam ayat tersebut belum dianggap sempurna kalau belum sampai kepada kata-kata:

وَاْلأُنْـثٰى بِاْلأُنْـثٰى

(perempuan dengan perempuan). Jadi merdeka dengan yang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan. Persamaan itu menjadi syarat, sedang ayat 45 al Māaidah sifatnya umum ditakhsiskan dengan ayat ini.

2)  Sabda Rasulullah saw:

لاَ يُقْتَلُ الْمُؤْمِنُ بِكَافِرٍ

(رواه البخاري عن علي بن أبي طالب)

Tidak dibunuh orang mukmin karena membunuh orang kafir. (Riwayat al-Bukhari dari Ali bin Abi Talib)

Masalah no. 3: menurut jumhur ulama, semua dihukum mati karena masing-masing telah mengambil bagian dalam pembunuhan. Masalah no. 4 hukumnya sesuai dengan ijmak sahabat, yaitu pembunuh wajib dihukum mati, karena dianggap tidak ada perbedaan yang pokok antara laki-laki dengan perempuan. Masalah no. 5 hukumnya tidak dihukum mati karena membunuh anaknya, sesuai dengan sabda Rasulullah saw:

لاَ يُقْتَلُ وَالِدٌ بِوَلَدِهِ

(رواه البخاري عن عمر)

Ayah tidak dibunuh karena membunuh anaknya (Riwayat al-Bukhari dari Umar)

Pada masalah yang terakhir ini dan masalah-masalah sebelumnya ditetapkan hukumnya bahwa si pembunuh bebas dari hukuman kisas, tetapi dijatuhkan kepadanya hukuman lain, seperti diat, denda, dan sebagainya, sebagaimana diterangkan secara terinci di dalam kitab-kitab fikih.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Berciuman Dengan Istri di Bulan Ramadhan


Selanjutnya Allah swt menerangkan adanya kemungkinan lain yang lebih ringan dari kisas, yaitu Barang siapa mendapat suatu pemaafan dari saudara yang terbunuh, maka hendaklah orang yang diberi maaf itu membayar diat kepada saudara (ahli waris) yang memberi maaf dengan cara yang baik. Artinya gugurlah hukuman wajib kisas dan diganti dengan hukuman diat yang wajib dibayar dengan baik oleh yang membunuh.

Kemudian dalam penutup ayat ini Allah memperingatkan kepada ahli waris yang telah memberi maaf, agar jangan berbuat yang tidak wajar kepada pihak yang telah diberi maaf, karena apabila ia berbuat hal-hal yang tidak wajar, maka artinya perbuatan itu melampaui batas dan akan mendapat azab yang pedih di hari kiamat.

Ayat 179

Pada ayat tersebut diberikan penjelasan tentang hikmah hukuman kisas, yaitu untuk mencapai keamanan dan ketenteraman. Karena dengan pelaksanaan hukum kisas, umat manusia tidak akan sewenang-wenang melakukan pembunuhan dengan memperturutkan hawa nafsunya saja, dan mendasarkan pembunuhan itu kepada perasaan bahwa dirinya lebih kuat, lebih kaya, lebih berkuasa dan sebagainya.

Tafsir al-Manar telah memberikan uraian panjang lebar tentang kebaikan hukuman kisas dan hukuman diat yang dibawa oleh Alquran; dengan memberikan bermacam-macam perbandingan tentang perundang-undangan, serta tingkah laku umat manusia, baik di timur maupun di barat, dan memberikan analisis beberapa pendapat para sarjana hukum.

Tafsir al-Manar mengatakan: apabila kita memperhatikan syariat umat yang terdahulu, dan yang sekarang tentang hukuman yang ditetapkan dalam pembunuhan, maka kita melihat bahwa Alquran benar-benar berada digaris tengah yang sangat wajar.

Karena hukuman yang diberikan kepada pembunuh pada periode jahiliah adalah selalu berdasarkan kepada kuat dan lemahnya suku. Seorang yang terbunuh dari suku yang kuat, sebagai balasan biasanya membunuh 10 orang dari pihak suku pembunuh yang lemah.

Tafsir al-Manar menambahkan, “…. Sebagian manusia (penjahat-penjahat), kalau hukuman pembunuh hanya ditetapkan sekadar masuk penjara beberapa tahun, mereka tidak akan jera, bahkan ada yang ingin masuk penjara untuk mendapatkan perlindungan dan penghidupan dengan cuma-cuma.

Bagi orang seperti ini, tentulah yang paling baik hukumannya ialah kisas, dibunuh apabila ia membunuh orang lain. Tetapi kalau ahli waris yang terbunuh memberikan maaf, maka gugurlah hukuman kisas diganti dengan hukuman lain yaitu membayar diat (denda).” Demikian beberapa uraian ringkasan dari Tafsir al-Manar.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 180-183


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 6-7

0
Tafsir Surah Ar Ra'd
Tafsir Surah Ar Ra'd

Tafsir Surah Ar Ra’d ayat 6-7 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai prilaku orang kafir yang melewati batas dengan meminta azab segera diturunkan. Kedua mengenai tantangan lebih keras dari mereka mengenai kemukjizatan Nabi Muhammad Saw.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Ar Ra’d ayat 5


Ayat 6

Setelah mendustakan Rasul dan mengingkari azab hari kiamat, mereka mengingkari pula azab di dunia yang telah diancamkan oleh Rasulullah kepada mereka. Mereka meminta kepadanya agar siksa yang telah diancamkan kepada mereka disegerakan datangnya.

Semestinya mereka memohon kebaikan dan keselamatan dari turunnya azab dan mengharapkan pahala yang dijanjikan oleh Rasulullah di akhirat. Padahal bermacam-macam azab telah ditimpakan Allah kepada umat-umat yang mendustakan para rasul sebelumnya.

Di antara mereka ada yang diubah rupa dan sifatnya menjadi seperti kera, ada pula yang dihancurkan dengan gempa bumi, dan sebagainya. Tentang keadaan mereka yang lebih suka menantang turunnya azab daripada meminta kebaikan disebutkan pula dalam firman Allah:

وَاِذْ قَالُوا اللهم  اِنْ كَانَ هٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَاَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ اَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ

Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, “Ya Allah, jika (Al-Qur’an) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih. (al-Anfal/8: 32)

Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai ampunan yang luas terhadap dosa-dosa hamba-Nya yang bertobat dan menutupi kesalahan-kesalahannya pada hari kiamat. Seandainya tidak bersifat Maha Penyantun, tentu Allah akan menyiksa manusia karena kezalimannya. Firman Allah:

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوْا مَا تَرَكَ عَلٰى ظَهْرِهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ

Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini. (Fatir/35: 45)

Sesungguhnya siksaan Allah sangat pedih terhadap orang yang mengerja-kan kejahatan dan terus bergelimang dalam kesesatan dan dosa.

Ada sebagian azab yang disegerakan turunnya di dunia sebagai akibat dari berbagai dosa, seperti terganggunya kesehatan orang-orang yang biasa minum minuman keras, bangkrutnya orang-orang yang suka berjudi padahal sebelumnya kaya, dan seseorang koruptor yang dicopot dari kedudukannya yang tinggi karena terlibat soal korupsi dan manipulasi.

Sering sekali ampunan dari Allah itu disebut berdampingan dengan siksaan agar seorang hamba Allah selalu berada di posisi tengah antara khaµf dan raja‘ (ketakutan terhadap azab Allah dan harapan memperoleh ampunan-Nya) seperti dalam firman Allah:

اِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيْعُ الْعِقَابِۖ وَاِنَّهٗ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang. (al-A’raf/7: 167)


Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah


Ayat 7

Dalam ayat ini dijelaskan bagaimana orang-orang kafir berkata kepada Nabi Muhammad dengan nada menantang mengapa tidak diturunkan kepadanya tanda kebesaran dari Tuhannya seperti tongkat sebagai mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa dan unta kepada Nabi Saleh, serta mengapa Muhammad tidak bisa menjadikan bukit Safa menjadi emas atau mengubah bukit-bukit ini  menjadi lembah dengan sungai yang mengalir.

Mereka menuntut yang demikian itu karena menyangka bahwa Al-Qur’an bukan merupakan mukjizat. Allah swt telah menolak tuntutan mereka itu dengan firman-Nya:

وَمَا مَنَعَنَآ اَنْ نُّرْسِلَ بِالْاٰيٰتِ اِلَّآ اَنْ كَذَّبَ بِهَا الْاَوَّلُوْنَۗ

Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena (tanda-tanda) itu telah didustakan oleh orang terdahulu. (al-Isra’/17: 59)

Sunatullah yang berlaku adalah jika tanda-tanda kekuasaan Allah telah diminta, dan setelah tanda-tanda itu diturunkan, namun mereka yang menuntutnya tetap membangkang dan tidak percaya, pasti mereka akan dimusnahkan dengan azab Allah.

Allah tidak menghendaki yang demikian itu sehingga tidak menurunkan tanda-tanda mukjizat seperti yang mereka tuntut. Nabi Muhammad saw telah diberi mukjizat yang lain untuk menunjukkan kebenaran risalahnya.

Tugas pokok Nabi Muhammad saw hanya sekedar menyampaikan risalahnya seperti tugas nabi-nabi sebelum-nya, bukan memenuhi usul dan permintaan kaumnya agar mereka dapat petunjuk. Urusan memberi petunjuk ke dalam hati seseorang hanya di tangan Allah dan tidak menjadi wewenang Nabi Muhammad, seperti diterangkan dalam firman Allah:

لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗ

Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. (al-Baqarah/2: 272)

Sesungguhnya Nabi Muhammad hanyalah seorang pemberi peringatan.

Bagi tiap-tiap umat ada pemimpin yang memberi petunjuk kepada kebaikan. Mereka itu adalah para nabi dan jika mereka telah tiada, maka ahli hikmah, ulama, dan mujtahidin yang melanjutkan tugas nabi untuk menggali dan menjelaskan syariat secara lebih terperinci yang mengandung unsur-unsur akhlak yang baik dan pedoman hidup bagi umat manusia. Firman Allah:

وَاِنْ مِّنْ اُمَّةٍ اِلَّا خَلَا فِيْهَا نَذِيْرٌ

Dan tidak ada satu pun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan. (Fatir/35: 24)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Ar Ra’d Ayat 8-10


(Tafsir Kemenag)