Beranda blog Halaman 343

Tafsir Surah Al A’raf ayat 177-178

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 177-178 Allah menegaskan perumpamaan bagi mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah adalah seperti anjing, karena kesamaan dalam kesesatan dan kebiasaan anjing yang tidak memiliki cita-cita kecuali keinginan untuk mendapat makanan dan kepuasan saja.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 176


Ayat 177

Pada ayat ini Allah menegaskan lagi betapa buruknya perumpamaan bagi mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka disamakan dengan anjing baik karena kesamaan kelemahan keduanya yakni mereka tetap dalam kesesatan diberi peringatan atau tidak diberi peringatan, atau karena kesamaan kebiasaan keduanya. Anjing itu tidak mempunyai cita-cita kecuali keinginan mendapat makanan dan kepuasan. Siapa saja yang meninggalkan ilmu dan iman lalu menjurus kepada hawa nafsu, maka dia serupa dengan anjing. Orang yang demikian tidak siap lagi berfikir dan merenungkan tentang kebenaran. Orang yang demikian itu sebenarnya menganiaya dirinya sendiri.

Ayat 178

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang mendapat hidayat dari Allah ialah orang yang diberi bimbingan oleh-Nya dalam mempergunakan akal pikirannya, indranya, dan tenaganya sesuai dengan fitrahnya dan tuntunan agama sendiri. Dia syukuri nikmat Allah, dia tunaikan kewajiban-kewajiban agama, maka berbahagialah dia di dunia dan di akhirat. Sebaliknya yang merugi di dunia dan di akhirat ialah mereka yang dijauhkan dari pedoman yang ditetapkan Allah dalam mempergunakan akal pikirannya, indranya, dan tenaganya, dia ikuti hawa nafsunya, tidak mau memahami ayat-ayat Allah dan tidak mau mensyukuri nikmat yang diberikan Allah kepadanya.

Sesungguhnya jalan kepada petunjuk Allah itu hanyalah satu, yaitu beribadah kepada-Nya dengan amal kebajikan yang lahir karena iman itu. Sedangkan jalan yang menuju kepada kesesatan banyak ragamnya, karena manusia berpecah-belah, satu sama lain saling bermusuhan, dan menimbulkan pada bermacam-macam kejahatan.

Firman Allah:

وَاَنَّ هٰذَا صِرَاطِيْ مُسْتَقِيْمًا فَاتَّبِعُوْهُ ۚوَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيْلِهٖ ۗ

Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. (al-An’am/6: 153)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 179


 

Tafsir Surah Hud Ayat 82-84

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 82-84 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai berlangsungnya azab yang menimpa kaum Nabi Lut a.s. Kedua berbicara mengenai Nabi Syu’aib yang diutus kepada kaum Madyan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 77-81


Ayat 82

Ketika putusan Allah telah datang untuk mengazab kaum Lut, Allah menjadikan negeri mereka terjungkir balik, yang di atas jatuh ke bawah dan yang di bawah naik ke atas, dan Allah menghujani mereka dengan batu-batu yang berasal dari tanah yang terbakar hangus yang jatuh kepada mereka secara bertubi-tubi.

Tentang ambruknya tanah menurut ahli pengetahuan adalah disebabkan karena adanya uap atau gas-gas yang keluar dari dasarnya kemudian karena adanya kekosongan di bawah lapisan bumi itu, maka tanah-tanah yang ada di atasnya menjadi runtuh dan ambruk ke bawah.

Ayat 83

Allah menurunkan batu-batu sijjil sebelum bumi dijungkirbalikkan. Menurut firman Allah dalam surah az-Zariyat batu-batu itu adalah tanah liat yang terbakar sehingga menjadi batu yang diberi tanda oleh Allah dengan nama orang-orang yang akan ditimpakannya.

Batu-batu itu dijatuhkan di tempat yang sering dilalui orang musyrik Quraisy ketika mereka berdagang ke negeri Syam supaya menjadi peringatan bagi mereka agar jangan memusuhi Muhammad, supaya jangan ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nabi Lut a.s. yang ingkar kepada nabinya.

Tempat itu sering dilalui oleh mereka bila mereka berdagang di musim panas di negeri Syam seperti diterangkan dalam firman Allah:

وَاِنَّكُمْ لَتَمُرُّوْنَ عَلَيْهِمْ مُّصْبِحِيْنَۙ  ١٣٧

Dan sesungguhnya kamu (penduduk Mekah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka pada waktu pagi, (as-Saffat/37: 137)


Baca juga:  Epidemiologi Al-Qur’an (2): Virus Sampar Dalam Kisah Nabi Shalih dan Kaum Tsamud


Ayat 84

Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah swt mengutus Syu’aib sebagai rasul-Nya kepada penduduk Madyan. Syu’aib dipilih dari kaumnya sendiri. Syu’aib adalah seorang putera keturunan dari Madyan bin Ibrahim a.s.

Madyan membangun suatu daerah untuk kaumnya yang terletak di Hajar dekat negeri Syam, dan dinamakan sesuai dengan namanya, sehingga daerah itu beserta penduduknya dan kabilahnya dikatakan Madyan.

Syu’aib a.s. sebagai rasul Allah memulai tugas dakwahnya dengan mengajak kaumnya supaya menyembah Allah dan melarang mempersekutukan-Nya dengan berhala-berhala, patung-patung, dan sebagainya, karena tiada Tuhan yang patut disembah selain Allah Yang Maha Esa yang menciptakan seluruh alam semesta.

Kemudian Syu’aib a.s. melarang kaumnya mengurangi takaran dan timbangan, sebagaimana yang mereka lakukan dalam segala macam perdagangan dan jual-beli, sebab perbuatan itu sama dengan mengambil hak orang dengan kecurangan yang sangat jahat dan keji. Larangan serupa ini diterangkan pula dalam firman Allah:

وَيْلٌ لِّلْ#مُطَفِّفِيْنَۙ  ١

الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ  ٢

وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ  ٣

Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dicukupkan, dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka mengurangi. (al-Mutaffifin/83: 1- 3)

Syu’aib a.s. menjelaskan kepada kaumnya, bahwa ia melihat mereka hidup berkecukupan dan kaya raya, mereka tidak perlu melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan. Sebab, perbuatan itu selain mengambil hak orang lain dengan cara yang licik dan keji juga berarti mengingkari nikmat Allah yang telah memberi kekayaan yang banyak kepada mereka.

Semestinya mereka bersyukur kepada-Nya, bukan sebalik-nya mereka menambah harta kekayaan dengan kecurangan-kecurangan dan kelicikan-kelicikan yang sangat dimurkai Allah. Nabi Syu’aib a.s. mem-peringatkan kaumnya, bahwa apabila mereka masih tetap membangkang dalam kekafiran dan terus melakukan pekerjaan tercela itu, maka ia khawatir mereka akan ditimpa azab yang membinasakan mereka.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 85-86


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Bagi Orang Gila dan Epilepsi

0
Hukum Mengqadha Puasa Bagi Orang Gila dan Epilepsi
Hukum Mengqadha Puasa Bagi Orang Gila dan Epilepsi

Orang gila dan orang yang mengalami epilepsi adalah termasuk orang yang tidak berkewajiban puasa Ramadhan. Hal ini dikarenakan keduanya tatkala mengalami gila atau epilepsi, keduanya kehilangan akal yang menyebabkan gugurnya taklif (tuntutan syariat) dari keduanya. Meski begitu, dalam permasalahan mengqadha puasa, keduanya memiliki hukum yang berbeda.

Sebagian ulama’ menyatakan, meski gila dan epilepsi memiliki kesamaan dalam hal jenis gangguan akal, tapi memiliki perbedaan secara prinsip yang memunculkan hukum yang berbeda pula. Orang gila tidak wajib qadha’ puasa. Sedang orang epilepsi wajib mengqadha puasa. Bagaimana bisa keduanya memiliki hukum yang berbeda? Berikut penjelasan para ulama’.

Baca juga: Kata al-Mahabbah (Cinta) dan Persaudaraan Universal dalam Al-Quran

Apakah Gila Dan Epilepsi Termasuk Sakit?

Perbicangan para ulama’ mengenai kewajiban mengqadha puasa bagi orang gila dan epilepsi bersumber di sekitar redaksi syahida (menyaksikan bulan Ramadhan) dan redaksi maridha (sakit) pada firman Allah yang berbunyi:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain (QS. Al-Baqarah [2] :185).

Imam Al-Jashshash dalam kitabnya berjudul Ahkamul Qur’an menyatakan, orang gila dan epilepsi sama-sama tidak berkewajiban puasa sebab tidak terkena khitab (tuntutan syariat). Hal ini dikarenakan adanya hadis yang menyatakan bahwa taklif dihilangkan dari tiga jenis orang: orang tidur sampai bangun; orang gila sampai sadar; dan anak kecil sampai mencapai usia baligh.

Baca juga: Gebyar Milad tafsiralquran.id: Lomba Esai dan Video Murottal

Namun orang epilepsi tetap dikenai kewajiban mengqadha puasa disebabkan ayat di atas menyatakan, bahwa orang yang sakit dan meninggalkan puasa, maka hendaknya ia mengqadha atau menggantikan puasa yang ia tinggalkan di hari yang lain. Epilepsi sendiri dalam perbendaharaan Bahasa Arab tergolong sebagai penyakit. Lalu bagaimana dengan gila? Gila tidak termasuk dari penyakit. Oleh karena itu, orang yang meninggalkan puasa sebab gila maka tidak wajib mengqadhai puasanya (Ahkamul Qur’an Lil Jashshash/1/458)

Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ menerangkan hal serupa. Ia menyatakan bahwa ulama’ telah sepakat bahwa orang gila dan epilepsi sama-sama tidak berkewajiban puasa. Namun soal mengqadha, ulama’ berbeda pendapat. Sebagian pendapat menyatakan keduanya berbeda. Orang gila tidak wajib mengqadha puasa, sedang epilepsi wajib mengqadha. Hal ini dikarenakan epilepsi termasuk dari mardh (sakit), sedang gila adalah naqsh (cacat). Pendapat lain menyatakan bahwa gila termasuk penyakit, sehingga orang yang mengalaminya berkewajiban mengqadha puasa (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdab/6/254).

Menyaksikan Bulan Puasa

Silang pendapat antar ulama’ tentang kewajiban mengqadha puasa bagi orang gila dan epilepsy tidak hanya sekitar status gila dan epilepsi sebagai penyakit, tapi juga apakah keduanya ikut menyaksikan bulan puasa ataukah tidak. Imam Abu Hanifah, Abi Yusuf, Muhammad, Zufar dan Ats-Tsauri menyatakan, bila orang mengalami gila pada satu bulan penuh bulan Ramadhan, maka ia tidak wajib mengqadha puasa. Namun bila gilanya hilang pada salah satu bagian dari bulan Ramadhan, maka ia wajib mengqadha puasa satu bulan penuh (Ahkamul Qur’an Lil Jashshash/1/458).

Hal ini dikarenakan dalam ayat di atas dinyatakan bahwa “Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir pada bulan itu, berpuasalah”. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban qadha bergantung apakah orang tersebut sempat menyaksikan atau sadar dari gila di bulan Ramadhan atau tidak? Bila tidak sempat sama sekali, maka tidak wajib qadha. Bila sempat, maka wajib mengqadha (Tafsir Ath-Thabari/3/454)

Baca juga: Mengenal Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura): Tafsir Ilmi Pertama di Madura

Kitab Al-Mausu’a Al-Fiqhiyah mencoba memetakan silang pendapat mengenai kewajban qadha puasa bagi orang yang gila dan epilepsi. Menurut Hanafiyah, Syafiiyah Dan Hanabilah, orang yang gila di bulan Ramadhan dalam satu bulan penuh, maka ia tidak wajib mengqadha puasa.

Malikiyah berpendapat sebaliknya sebab memandang gila adalah penyakit. Sedang apabila gilanya tidak satu bulan penuh, Hanafiyah berpendapat wajib mengqadha puasa. Syafiiyah dan Habilah berpendapat sebaliknya. Sedang orang yang epilepsi, keempat mazhab menyatakan ia wajib mengqadha puasa. Wallahu a’lam bishshowab (Mausu’ah Fiqhiyah/2/3871).

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 107-111

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 107-111 berbicara tentang orang yang berkhianat. Dan Allah melarang Rasul serta orang Mukmin untuk membela mereka, sebab memihak mereka sama seperti berpihak pada kemaksiatan, kecuali jika mereka sungguh-sungguh ingin bertaubat maka Allah akan mengampuni kesalahan tersebut.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 105-106


Ayat 107

Nabi Muhammad saw dilarang membela orang-orang yang mengkhianati dirinya sendiri, seperti Tsu’mah dengan kaum kerabatnya yang berusaha menutupi kesalahannya.

Mereka dikatakan mengkhianati diri sendiri sedang yang dikhianati sebenarnya adalah orang lain karena akibat pengkhianatan itu akan menimpa diri mereka sendiri.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang khianat, berdosa dan mengotori jiwanya dengan perbuatan-perbuatan jahat seperti Tsu’mah yang ternyata setelah kedok kejahatannya terbuka dia murtad dan melarikan diri ke Mekah bergabung dengan orang-orang musyrik.

Ayat 108

Orang yang berkhianat itu bersembunyi dari manusia sewaktu melakukan kejahatan, mungkin karena malu atau takut terhadap pembalasan. Tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah dan tidak pula malu kepada-Nya dengan mengerjakan perbuatan jahat itu.

Seandainya mereka memiliki iman yang kuat tentulah mereka tidak akan mengerjakannya. Orang yang beriman tidak akan jatuh ke dalam pengkhianatan kecuali karena dia lupa atau tidak sadar.

Orang yang menyadari bahwa Allah selalu melihatnya di manapun dia berada, pastilah dia tidak berbuat dosa dan tidak berbuat curang, karena malu kepada Tuhan dan takut terhadap-Nya. Allah menyaksikan sewaktu Bani Ubairik bermusyawarah di malam hari dan menetapkan keputusan rahasia, yaitu melemparkan kejahatan yang mereka perbuat kepada orang lain yang tidak berdosa.

Allah akan menjatuhkan hukuman atas mereka, karena Dia mengetahui segala perbuatan mereka. Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi tersembunyi bagi Allah betapa pun kecilnya.


Baca Juga : Kisah Pengkhianatan Samiri dalam Al-Quran


Ayat 109

Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang hendak membela mereka yang curang yakni Bani ashfar dan berusaha membersihkan diri mereka dari segala tuduhan mencuri. Andaikata pembelaan mereka itu berhasil, maka siapakah yang sanggup membela mereka di hadapan Allah di hari kiamat?

Bukankah waktu itu yang menjadi hakim untuk mengadili segala sengketa adalah Allah yang Maha Mengetahui segala amal perbuatan manusia? Tak seorang pun yang dapat menjadi pembela orang-orang yang bersalah di dunia dan menjadi pelindungnya pada hari kiamat.

يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِّنَفْسٍ شَيْـًٔا ۗوَالْاَمْرُ يَوْمَىِٕذٍ لِّلّٰهِ

(Yaitu) hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya (menolong) orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (al-Infithar/82:19).

Umat Islam haruslah menyadari bahwa keberuntungan yang diperolehnya secara curang lewat pengadilan di dunia ini akan menjadi siksaan baginya di akhirat.

Ayat 110

Ayat ini memberikan dorongan kepada mereka yang berbuat salah untuk menyadari dirinya dan kembali ke jalan yang benar, bertobat kepada Allah. Perbuatan mereka menzalimi diri sendiri dengan jalan berbuat maksiat, seperti sumpah palsu akan diampuni Allah jika mereka benar-benar minta ampun kepada-Nya.

Dalam ayat ini diterangkan bagaimana jalan keluar dari dosa sesudah terperosok ke dalamnya dan sesudah diturunkan peringatan kepada musuh-musuh kebenaran, yaitu dengan tobat dan minta ampun.

Orang yang minta ampun akan mendapati Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Dia akan merasakan hasil pengampunan Allah pada dirinya yaitu rasa benci kepada kemaksiatan dan penyebab-penyebabnya.

Dia juga akan merasakan kasih sayang Allah kepadanya dengan tumbuhnya hasrat dalam hatinya hendak berbuat kebajikan.

Ayat 111

Kemudian ayat ini memperingatkan bencana perbuatan dosa, yaitu barang siapa mengerjakan dosa lalu mengira pekerjaan itu akan bermanfaat bagi dirinya niscaya dia mengalami hal yang sebaliknya.

Pekerjaannya itu akan mengakibatkan bencana dan penderitaan bagi dirinya, sedikitpun tidak ada manfaatnya. Perbuatan yang busuk lambat atau cepat tercium oleh masyarakat. Pengadilan akan membuka kejelekannya di muka umum dan menjatuhkan hukuman atas dirinya. Inilah penghinaan atas dirinya dan penderitaan di dunia. Di akhirat dia akan mengalami lagi hukuman Allah.

Allah dengan ilmu-Nya yang Mahaluas telah menetapkan perbuatan mana yang terlarang, dan dengan kebijaksanaan-Nya ditetapkan hukuman bagi pelanggaran atas perbuatan itu. Manusialah yang merusak dirinya sendiri bila ia melanggar batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 112


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 105-106

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 105-106 menerangkan bahwa bagi mereka yang ingin bertaubat, hendaklah dengan sungguh-sungguh, tidak hanya meminta ampun semata, namun diiringi dengan segala amal kebajikan baik secara ritual ibadah ataupun kebajikan lain yang bermanfaat untuk dirinya ataupun orang lain.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 103-104


Selain golongan diatas yang bisa diterima taubat mereka dengan amal kebajikan, maka Tafsir Surah At Taubah Ayat 105-106 juga menjelaskan golongan yang ditangguhkan taubaht mereka, sebab kesalahan mereka yang cukup besar, dan Allah ingin melihat keseriusan mereka dalam pertaubatan tersebut.

Ayat 105

Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar beliau mengatakan kepada kaum Muslimin yang mau bertobat dan membersihkan diri dari dosa-dosa dengan cara bersedekah dan mengeluar-kan zakat dan melakukan amal saleh sebanyak mungkin.

Di samping itu, Allah juga memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menyampaikan kepada umatnya, bahwa apabila mereka telah melakukan amal-amal saleh tersebut maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin lainnya akan melihat dan menilai amal-amal tersebut.

Akhirnya mereka akan dikembalikan-Nya ke alam akhirat, akan diberikannya kepada mereka ganjaran atas amal-amal yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia.

Kepada mereka dianjurkan agar tidak hanya merasa cukup dengan melakukan tobat, zakat, sedekah dan salat semata-mata, melainkan haruslah mereka mengerjakan semua apa yang diperintahkan kepada mereka.

Allah akan melihat amal-amal yang mereka lakukan itu, sehingga mereka semakin dekat kepada-Nya. Rasulullah dan kaum Muslimin akan melihat amal-amal kebajikan itu, sehingga merekapun akan mengikuti dan mencontohnya pula. Sedangkan Allah memberikan pahala yang berlipat ganda bagi mereka yang menjadi panutan, tanpa mengurangi pahala mereka yang mencontoh.

Sebagaimana diketahui, kaum Muslimin akan menjadi saksi di hadapan Allah pada Hari Kiamat mengenai iman dan amalan dari sesama kaum Muslimin. Persaksian yang didasarkan atas penglihatan mata kepala sendiri adalah lebih kuat dan lebih dapat dipercaya.

Oleh sebab itu, kaum Muslimin yang melihat amal kebajikan yang dilakukan oleh mereka yang insaf dan bertobat kepada Allah, tentulah akan menjadi saksi yang kuat di Hari Kiamat, tentang benarnya iman, tobat dan amal saleh mereka itu.

Ayat inipun berisi peringatan keras terhadap orang-orang yang menyalahi perintah agama, bahwa amal mereka itupun nantinya akan diperlihatkan kepada Rasul dan kaum Muslimin lainnya kelak di Hari Kiamat.

Dengan demikian akan tersingkaplah aib mereka, karena akan terbukti bahwa amal-amal kebajikan mereka adalah amat sedikit, dan sebaliknya dosa dari kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan lebih banyak. Bahkan di dunia inipun akan diperlihatkan pula kurangnya amal saleh mereka dan banyaknya kejahatan yang mereka lakukan.

Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa amalan orang-orang yang hidup, diperlihatkan kepada orang-orang yang telah mati, yaitu dari kalangan kaum keluarga dan sanak famili yang ada di alam barzakh.

Dengan wafatnya seseorang maka ia dikembalikan ke alam akhirat. Di sana Allah akan memberitahukan kepada setiap orang tentang hasil dari perbuatan-perbuatan yang telah dilakukannya selagi ia di dunia dengan cara memberikan balasan terhadap amal mereka. Kebaikan dibalas dengan kebaikan, dan kejahatan dibalas dengan azab dan siksa.


Baca Juga : Tuntunan Al-Quran dalam Melaksanakan Tahapan Taubat dari Dosa-Dosa


Ayat 106

Tiga orang yang tidak ikut ke medan perang bersama Rasulullah saw, yaitu Murarah bin Rabi, Ka’ab bin Malik dan Hilal bin Umayyah, padahal dalam hati mereka ada keinginan untuk menggabungkan diri, akan tetapi hal itu tidak dapat mereka lakukan, dan ketidakikutsertaan mereka itu bukan karena kemunafikan.

Setelah Rasulullah saw kembali dari medan perang, mereka berkata kepadanya, “Kami tidak mempunyai halangan apa-apa, kemangkiran kami adalah merupakan kesalahan semata.” Dan mereka tidak menyatakan permintaan maaf atas kesalahan itu. Mereka tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Abu Lubabah dan kawan-kawannya.

 Karena adanya penegasan Allah dalam ayat ini bahwa tobat mereka itu ditangguhkan, maka Rasulullah saw melarang kaum Muslimin lainnya untuk bergaul dan duduk bersama mereka.

Rasulullah saw juga memerintahkan kepada mereka bertiga untuk menjauhi isteri-isteri mereka, dan menyuruh isteri-isteri tersebut kembali kepada keluarga mereka, sampai turunnya firman Allah yang menegaskan diterimanya tobat mereka, seperti tersebut di atas.

Penangguhan tersebut mengandung dua kemungkinan, apakah Allah akan mengazab mereka ataukah Dia akan menerima tobat mereka, bila mereka bertobat. Dengan demikian, baik mereka ataupun orang-orang lain tidak mengetahui apa yang akan terjadi pada diri mereka.

Apakah tobat mereka ada gunanya, sehingga Allah sudi menerima tobat mereka sebagaimana yang terjadi pada kawan-kawan mereka yang telah bertobat dan mengakui kesalahan mereka. Ataukah Allah akan menimpakan azab kepada mereka di dunia dan di akhirat kelak sebagaimana yang ditetapkan-Nya terhadap orang-orang yang tidak ikut berperang karena kemunafikan mereka.

Penangguhan ini mengandung hikmah, supaya dalam hati mereka timbul rasa gelisah dan sedih, kemudian mereka bertobat dengan sungguh-sungguh.

Di samping itu, Rasulullah saw dan kaum Muslimin lainnya diperintahkan untuk menjauhi dan mengasingkan mereka, sebagai pelajaran terhadap mereka bahwa setiap orang yang hanya mementingkan kesenangan diri sendiri dan tidak memperdulikan kepentingan umum, serta ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya patut mendapat pelajaran.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang dapat memperbaiki keadaan hamba-Nya, Dia mendidik hamba-Nya cara membersihkan diri dari segala keburukan, baik secara perorangan maupun berkelompok.

Allah Mahabijaksana dalam menetapkan hukum-hukum-Nya yang jelas dan bermanfaat bagi mereka dalam perbaikan dan peningkatan diri, apabila mereka benar-benar menaati peraturan dan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya. Salah satu dari kebijaksanaan Allah ialah penangguhan adanya ketegasan diterima atau tidaknya tobat mereka.

Hal tersebut bila dibaca atau didengar berulang kali oleh orang-orang mukmin lainnya niscaya akan menimbulkan ketakutan dalam hati mereka untuk berbuat semacam itu. Sudah barang tentu, hal ini merupakan semacam pendidikan dan pelajaran yang baik bagi umat seluruhnya, lebih-lebih bagi mereka yang melakukan kesalahan yang sama.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 107-111


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 103-104

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 103-104 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan Nabi untuk mengambil zakat mereka yang hendak bertaubat, sebab zakat tersebut dapat membersihkan dosa-dosa mereka. Dan Allah menjanjikan ampunan bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin bertaubat kepada-Nya


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 101-102


Ayat 103

Perintah Allah pada permulaan ayat ini ditujukan kepada Rasul-Nya, agar Rasulullah sebagai pemimpin mengambil sebagian dari harta benda mereka sebagai sedekah atau zakat.

Ini untuk menjadi bukti kebenaran tobat mereka, karena sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka dari dosa yang timbul karena mangkirnya mereka dari peperangan dan untuk mensucikan diri mereka dari sifat “cinta harta” yang mendorong mereka untuk mangkir dari peperangan itu.

Selain itu sedekah atau zakat tersebut akan membersihkan diri mereka pula dari semua sifat-sifat jelek yang timbul karena harta benda, seperti kikir, tamak, dan sebagainya. Oleh karena itu, Rasul mengutus para sahabat untuk menarik zakat dari kaum Muslimin.

Di samping itu, dapat dikatakan bahwa penunaian zakat berarti membersihkan harta benda yang tinggal, sebab pada harta benda seseorang terdapat hak orang lain, yaitu orang-orang yang oleh agama Islam telah ditentukan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat.

Selama zakat itu belum dibayarkan oleh pemilik harta tersebut, maka selama itu pula harta bendanya tetap bercampur dengan hak orang lain, yang haram untuk dimakannya.

Akan tetapi, bila ia mengeluarkan zakat dari hartanya itu, maka harta tersebut menjadi bersih dari hak orang lain. Orang yang mengeluarkan zakat terbebas dari sifat kikir dan tamak.

Menunaikan zakat akan menyebab-kan keberkahan pada sisa harta yang masih tinggal, sehingga ia tumbuh dan berkembang biak. Sebaliknya bila zakat itu tidak dikeluarkan, maka harta benda seseorang tidak akan memperoleh keberkahan.

Perlu diketahui, walaupun perintah Allah dalam ayat ini pada lahirnya ditujukan kepada Rasul-Nya, dan turunnya ayat ini berkenaan dengan peristiwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya namun hukumnya juga berlaku terhadap semua pemimpin atau penguasa dalam setiap masyarakat muslim.

Dimana mereka diharuskan untuk melaksanakan perintah Allah dalam masalah zakat ini, yaitu memungut zakat tersebut dari orang-orang Islam yang wajib berzakat, dan kemudian membagi-bagikan zakat itu kepada yang berhak menerima-nya.

Dengan demikian, maka zakat akan dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana yang efektif untuk membina kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, dan juga kepada setiap pemimpin dan penguasa dalam masyarakat, agar setelah melakukan pemungutan dan pembagian zakat, mereka berdoa kepada Allah bagi keselamatan dan kebahagiaan pembayar zakat.

Doa tersebut akan menenangkan jiwa mereka, dan akan menenteramkan hati mereka, serta menimbulkan kepercayaan dalam hati mereka bahwa Allah benar-benar telah menerima tobat mereka.

اٰجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ لَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ

Semoga Allah memberi pahala terhadap apa-apa yang kamu berikan, dan memberkahi apa yang kamu tinggalkan.

Pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah Maha Mendengar setiap ucapan hamba-Nya yang bertobat, Allah Maha Mengetahui semua yang tersimpan dalam hati sanubari hamba-Nya, seperti rasa penyesalan dan kegelisahan yang timbul karena kesadaran atas kesalahan yang telah diperbuat.


Baca Juga : Fadhilah Taubat dalam Al-Quran: Menghapus Dosa dan Membuka Pintu Rezeki


Ayat 104

Dengan ayat ini Allah memberikan dorongan kepada hamba-Nya yang telah menyadari kesalahannya untuk bertobat dan bersedekah, guna menghapus dosa-dosa mereka. Selain itu ayat ini juga menegaskan, bahwa siapapun yang bertobat kepada Allah maka Dia akan menerima tobatnya; dan siapa yang bersedekah dengan ikhlas maka Allah akan menerima sedekah itu sebagai amal salehnya, dan akan memberinya ganjaran pahala.

Meskipun ayat ini berbentuk suatu kalimat pertanyaan, tetapi bangsa Arab telah biasa mengemukakan kalimat yang berbentuk pertanyaan itu untuk menetapkan dan memberikan tekanan untuk suatu pengertian, yaitu kepastian bahwa Allah benar-benar akan menerima tobat orang-orang yang insaf, juga akan menerima sedekah yang mereka berikan karena mengharapkan rida Allah semata-mata, untuk menghapuskan dosa-dosa yang sudah terlanjur mereka perbuat.

Ayat ini juga merupakan celaan keras terhadap orang-orang yang bersalah, tetapi tidak mengakui kesalahan mereka, tidak mau bertobat, dan tidak mau berbuat kebajikan dan amal saleh untuk menghapus dosa-dosa yang telah mereka perbuat.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Maha Penerima tobat dan Maha Pengasih terhadap hamba-Nya.

Oleh sebab itu, Allah senantiasa akan menerima tobat hamba-Nya, karena sifat tersebut merupakan sifat yang tetap bagi-Nya, dan menjadi Sunnah yang berlaku selama-lamanya.

Dia senantiasa mengasihi hamba-Nya sehingga Dia akan mengampuni dosa-dosanya, dan menerima amal saleh yang mereka kerjakan, serta memberi balasan yang setimpal.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 105-106


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 101-102

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 101-102 setidaknya berbicara terkait dengan dua pembahasan. Hal pertama yang dibahas adalah terkait perilaku orang-orang munafik, baik munafik Badui maupun perkotaan, keduanya tidak jauh berbeda bahwa sikap buruk seperti; dusta, iri, dengki, dan sebagainya sangat melekat dalam diri mereka.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 99-100


Adapun hal kedua yang diulas oleh Tafsir Surah At Taubah Ayat 101-102 adalah terkait sikap orang fasiq, mereka adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, namun karena iman masih lemah mereka tidaklah luput dari kesalahan. Dan mereka masih tergolong orang-orang yang diampuni oleh Allah jika mereka bertaubat.

Ayat 101

Setelah menyebutkan hal ihwal ketiga macam golongan orang-orang yang betul-betul beriman, yakni sahabat-sahabat Rasulullah saw, maka pada ayat ini Allah menyebutkan hal ihwal orang-orang munafik, baik dari kalangan Badui, maupun dari kalangan mereka yang bertempat tinggal di kota Medinah, sehingga nampaklah dua hal yang sangat berlawanan.

Seakan-akan Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguh-nya sebagian dari orang-orang Badui yang berdiam di sekitar Medinah adalah orang-orang yang sangat munafik. Kemunafikan dan kejahatan mereka amat keterlaluan. Bahkan, sebagian dari penduduk kota Medinah pun ada pula yang munafik. Sebab itu berhati-hatilah kamu terhadap mereka.”

Menurut keterangan al-Bagawi, yang dimaksud dengan “kaum munafik Badui yang tinggal di sekitar kota Medinah” ialah mereka yang berasal dari Bani Muzainah, Bani Juhainah, Bani Asyja’, Bani Aslam dan Bani Gifar.

Sedangkan yang dimaksud dengan “kaum munafik dari kalangan penduduk kota Medinah sendiri” ialah orang-orang munafik yang berasal dari Bani Aus dan Khazraj. Mereka ini sangat keterlaluan, dan sangat pandai menyembunyikan kemunafikannya, sehingga sulit untuk diketahui oleh Rasulullah dan kaum Muslimin umumnya.

Mereka ini tidak dapat diharapkan untuk kembali kepada keimanan yang sesungguhnya. Namun demikian, Allah senantiasa mengetahui kemunafikan mereka, dan Dia akan menimpakan azab kepada mereka dua kali yaitu: di dunia berupa kesengsaraan dan penderitaan batin serta pedihnya kematian.

Di akhirat mereka akan dilemparkan ke dalam azab yang dahsyat, dalam neraka Jahannam yang paling bawah.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa kaum munafik terbagi dalam dua kelompok. Pertama, orang-orang yang dapat diketahui kemunafikan mereka dari sikap, perbuatan, dan ucapan-ucapan mereka. Kedua, mereka yang sangat pandai dalam menyembunyikan kemunafikan, sehingga sukar untuk diketahui.


Baca Juga : Siapa Saja Mufasir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Mas’ud


Ayat 102

Dalam ayat ini dijelaskan golongan keempat, yaitu orang-orang yang tidak termasuk golongan munafik, ataupun as-Sabiqunal Awwalun, dan tidak pula termasuk golongan “orang-orang yang mengikuti dengan baik jejak as-Sabiqunal Awwalun”.

Mereka ini adalah orang-orang mukmin yang berdosa, dan mereka mengakui dengan jujur dosa-dosa mereka. Mereka ini telah mencampuradukkan antara perbuatan yang baik dengan perbuatan yang buruk, sehingga perbuatan mereka itu tidak seluruhnya baik dan tidak pula seluruhnya buruk.

Dengan demikian mereka bukan merupakan orang-orang yang benar-benar saleh, dan bukan pula termasuk golongan yang fasik atau munafik, karena dalam kenyataannya mereka suka berbuat yang baik tetapi sering pula berbuat jelek.

Di antara keburukan mereka ialah tidak ikut Perang Tabuk bersama kaum Muslimin lainnya, padahal mereka tidak mempunyai uzur atau alasan yang dibenarkan, karena mereka bukanlah orang-orang yang lemah, atau sakit; dan mereka tidak pula mengemukakan alasan-alasan bohong seperti yang dilakukan oleh kaum munafik; dan tidak pula minta izin seperti yang dilakukan orang-orang yang ragu-ragu.

Namun demikian, mereka menyadari kesalahan itu pada saat mereka tidak ikut perang dan hati mereka takut kepada Allah. Dengan demikian, di satu pihak mereka tidak mau melakukan kewajiban, dan di pihak lain mereka menyadari kesalahannya karena merasa takut kepada Allah.

Selanjutnya dalam ayat ini diterangkan bahwa golongan ini masih mempunyai harapan bahwa tobat mereka akan diterima Allah.

Tobat mereka adalah kunci untuk memperoleh keampunan dan rahmat-Nya. Tobat yang benar hanya dapat dicapai bila seseorang telah mengetahui keburukan dosa serta akibatnya, sehingga timbul rasa takut ketika mengingat kemurkaan Allah serta siksaan-Nya.

Kemudian timbul keinginan untuk membersihkan diri dari segala hal yang menimbulkan dosa, di samping niat dan tekad yang kuat untuk tidak melakukan kembali perbuatan itu, dan berusaha keras melakukan berbagai kebajikan untuk menghapuskan dosa-dosa dari perbuatan yang dilarang agama yang telah dilakukan, dan berakibat buruk bagi masyarakat dan diri sendiri.

Pada akhir ayat ini dijelaskan alasan masih adanya harapan bagi orang-orang yang berdosa bahwa tobat mereka akan diterima Allah, karena sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun kepada hamba-Nya yang mau bertobat dengan sebenar-benarnya; dan Allah adalah Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang mau berbuat kebajikan.

Menurut satu riwayat, ayat ini diturunkan sehubungan dengan peristiwa yang terjadi pada enam orang Muslimin yang sengaja mangkir dari Perang Tabuk.

Mereka itu adalah Abu Lubabah, Aus bin Tsa’labah, Wadi’ah bin Ha©©am, Ka’ab bin Malik, Murarah bin Rabi’, dan Hilal bin Umayyah.

Setelah menyadari kesalahan karena tidak ikut berperang, maka tiga orang di antaranya, yaitu Abu Lubabah, Aus dan Tsa’labah, datang ke mesjid membawa harta benda mereka, lalu mereka mengikatkan diri pada tiang-tiang mesjid, serta bertekad bahwa hanya Rasulullah yang akan melepaskan mereka dari ikatan itu.

Sedang harta benda tersebut mereka maksudkan untuk diserahkan kepada Rasulullah untuk beliau bagikan kepada yang berhak menerimanya sebagai sedekah untuk menebus kesalahan mereka.

Setelah hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda, “Saya tidak akan melepaskan mereka dari ikatan itu, sampai datangnya ketentuan dari Allah.  Maka turunlah ayat ini. Rasulullah lalu membuka tali pengikat yang mengikat mereka di tiang itu.

Ibnu Katsir berpendapat, “Walaupun ayat ini turun mengenai orang-orang tertentu namun isinya tetap berlaku untuk umum, mencakup semua orang yang berdosa yang mencampuradukkan antara perbuatan yang baik dan yang buruk kemudian menyadari kesalahan mereka, lalu mereka bertobat kepada Allah dengan cara yang sebaik-baiknya.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 103-104


Tafsir Surah Hud Ayat 77-81

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 77-81 berbicara mengenai azab yang akan menimpa kaum Nabi Lut a.s. Para malaikat malih rupa menjadi lelaki tampan yang menarik perhatian kaum Nabi Lut a.s. Di sisi lain Nabi Lut a.s sangat sedih dengan prilaku kaumnya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 73-76


Ayat 77

Tatkala malaikat-malaikat Allah datang kepada Lut, dalam bentuk pemuda yang rupawan, ia merasa susah karena kedatangan tamu-tamu itu. Ia sudah khawatir bahwa kaumnya pasti akan mengganggu mereka itu karena pemuda-pemuda itu menarik perhatian mereka, karena mereka suka kepada lelaki, bukan kepada wanita.

Nabi Lut a.s. merasa sesak dadanya karena kedatangan tamu-tamu itu, sehingga ia berkata, “Inilah hari yang paling menyulitkan dan paling berbahaya.”

Ayat 78

Datanglah kaum Lut kepadanya dengan bergegas-gegas seperti orang-orang yang didorong oleh hawa nafsu yang jahat. Mereka sejak dahulu mengerjakan perbuatan-perbuatan yang keji dan sangat dicela oleh tabi’at manusia yang wajar, lebih-lebih oleh syariat agama.

Mereka suka melakukan homoseksual, melakukan hubungan kelamin dengan sesama lelaki tidak dengan wanita, dan mereka secara terang-terangan melakukan berbagai kemungkaran di balai pertemuannya. Firman Allah:

اَىِٕنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُوْنَ السَّبِيْلَ ەۙ وَتَأْتُوْنَ فِيْ نَادِيْكُمُ الْمُنْكَرَ ۗ#

Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” (al-Ankabµt/29: 29)

Nabi Lut a.s. berkata, “Wahai kaumku inilah puteri-puteriku, dan puteri-puteri kaumku, silahkan kamu kawin dengan mereka. Mereka lebih suci bagimu dan kamu dapat bergaul secara halal dan baik dengan mereka dari pada memuaskan seleramu dengan melakukan homoseksual yang sangat keji dan merusak moral dan kesehatan.

Bertakwalah kepada Allah dan hindarilah azab Allah, dan janganlah kamu mencemarkan namaku dengan memperkosa tamu-tamuku ini, sebab menghinakan tamu sama dengan menghinakan tuan rumahnya. Tidakkah ada di antara kamu seorang yang mempunyai akal yang sehat dan kebijaksanaan yang dapat mencegahmu dari perbuatan keji?”

Ayat 79

Mereka menjawab, “Sesungguhnya kamu sejak dahulu sudah tahu bahwa kami sama sekali tidak mempunyai hasrat untuk mengawini anak-anak perempuanmu itu dan anak-anak perempuan kaummu.

Oleh karena itu, janganlah kamu mencoba untuk memalingkan perhatian kami dari pemuda-pemuda itu dengan menyodorkan anak-anak perempuanmu, karena kamu tentu telah mengetahui apa yang sebenarnya kami inginkan.”

Ayat 80

Nabi Lut a.s. berkata ketika kaumnya tetap ingin melaksanakan kejahatan homoseksual terhadap tamu-tamunya, sehingga ia putus harapan untuk menghentikan mereka dari perbuatan yang keji itu, “Seandainya aku mempunyai kekuatan dan daya kemampuan untuk menghalangi kamu atau seandainya aku dapat menjumpai sekumpulan orang-orang yang kuat yang dapat menolong aku dari kejahatan-kejahatan kamu tentulah akan aku lakukan.”


Baca juga: Kisah perilaku Homoseksual Kaum Nabi Luth


Ayat 81

Setelah para malaikat yang menjadi tamu Nabi Lut a.s. itu menyaksikan adanya kekhawatiran pada diri Nabi Lut a.s., mereka berkata, “Hai Lut, sesungguhnya kami adalah utusan Tuhanmu yang sengaja diutus untuk membinasakan mereka dan menyelamatkan kamu dari kejahatan-kejahatan mereka.

Mereka sekali-kali tidak akan dapat mengganggu kamu, maka tenangkanlah hatimu. Ternyata penglihatan kaum Nabi Lut a.s. itu dijadikan gelap oleh Allah sehingga mereka tidak dapat melihat kepada Nabi Lut a.s. dan kepada tamu-tamunya seperti diterangkan dalam firman Allah:

وَلَقَدْ رَاوَدُوْهُ عَنْ ضَيْفِهٖ فَطَمَسْنَآ اَعْيُنَهُمْ فَذُوْقُوْا عَذَابِيْ وَنُذُرِ   ٣٧#

Dan sungguh, mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan peringatan-Ku! (al-Qamar/54: 37)

Akhirnya mereka kembali ke rumahnya masing-masing dalam keadaan buta, tidak mengetahui jalan menuju ke rumahnya, mereka berteriak-teriak minta tolong dan mengatakan bahwa kami disihir oleh tamu-tamu yang berada di rumah Lut a.s.

Malaikat itu berkata kepada Nabi Lut a.s., “Keluarlah dari kampung ini, beserta keluarga dan kaummu yang beriman di akhir malam ini dan janganlah ada seorang pun di antara kamu yang ketinggalan atau menoleh ke belakang kecuali istrimu. Sesungguhnya azab yang akan menimpa mereka itu akan menimpa istrimu pula karena ia adalah seorang perempuan yang tidak beriman bahkan telah khianat kepada suaminya.”

Adapun sebabnya mereka tidak menoleh ke belakang, karena akibat menyaksikan azab itu, ia akan panik sehingga kakinya tidak akan dapat melangkah lagi dan akhirnya ditimpa oleh azab yang menyusul di belakangnya. Saat datangnya azab kepada mereka adalah waktu subuh seperti diterangkan dalam firman Allah:

فَاَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُشْرِقِيْنَۙ  ٧٣

Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. (al-Hijr/15: 73)

Kemudian malaikat itu menegaskan kepastian turunnya azab dengan sebuah pertanyaan, “Bukankah subuh itu sudah dekat? Maka segeralah kamu bersiap-siap untuk mencari keselamatan.”


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 82-84


(Tafsir Kemenag)

Menjawab Kritik Ignaz Goldziher atas Relasi Qira’ah dan Rasm

0
Kritik atas Ignaz Goldziher
Kritik atas Ignaz Goldziher

Salah seorang orientalis, Ignaz Goldziher dalam sebuah karyanya berjudul Madzahib al-Tafsir al-Islamiy, menyampaikan kritiknya terhadap Al-Qur’an. Menurutnya, sebagai sebuah kitab panduan syari’at yang diperoleh melalui proses pewahyuan, sudah semestinya tidak ditemukan ‘cacat’ ketidakserasian dan ketidakseragaman (idlthirab wa ‘adam al-tatsabbut) dalam narasi-narasinya.

Dalam ulasan panjangnya, kritik ini ia sampaikan seiring dengan adanya varian dialek (huruf), bacaan (qira’ah) dan cara penulisan (rasm) dalam Al-Qur’an. Ia lantas menyimpulkan bahwa akar permasalahannya terletak pada model dan pola penulisan Arab yang diikuti Al-Qur’an ternyata tidak disertai dengan titik dan harakat (al-naqth wa al-dlabth).

Menanggapi kritik ini, ‘Abd al-Fattah Isma‘il Syalabiy dalam Rasm al-Mushaf al-‘Utsmaniy mengungkapkan bahwa kritik Ignaz Goldziher ini merupakan kritik ahistoris terhadap Al-Qur’an. Dalam pengantar ulasannya, Syalabiy menekankan pentingnya mengetahui akar tradisi qira’ah Al-Qur’an, yaitu sunnah muttaba‘ah, untuk memahami konteks masalah yang tengah dikaji Goldziher.

Baca juga: Al-Quran dalam Pandangan Orientalis dan 3 Ajaran Islam yang Diadopsi dari Yahudi menurut Geiger

Sehingga menurutnya, qira’ah bukan sesuatu yang bisa dianalogikan satu dengan yang lainnya. Melainkan mengacu pada bagaimana Rasulullah Saw. memberikan pengajaran. Ketiadaan analogi dalam pembacaan ini juga memberikan pengertian bahwa teks Al-Qur’an yang tertulis bukan menjadi pondasi utama, tetapi sekali lagi, sunnah muttaba‘ah.

Mungkin pembaca menjadi bertanya-tanya. Jika demikian, mengapa dalam sebuah qira’ah shahihah terdapat syarat persesuaian terhadap rasm? Jawaban pertanyaan ini akan memberikan gambaran relasi antara qira’ah dan rasm Al-Qur’an sekaligus menjelaskan mengapa kritik yang disampaikan Ignaz Goldziher adalah ahistoris sebagaiman counter Syalabiy.

Sejarah Terbentuknya Relasi Qira’ah dan Rasm

Selisih pendapat umat Islam di Azerbaijan mengharuskan Khalifah ‘Utsman mengambil tindakan. Perpecahan yang pernah menimpa umat terdahulu tidak boleh terjadi pada umat Muhammad ini. Dibentuklah lajnah kodifikasi Al-Qur’an edisi kedua dengan Zaid bin Tsabit masih sebagai ketuanya.

Dalam melakukan tugasnya, lajnah anyar ini mempunyai panduan tersendiri. Diantaranya menyebutkan bahwa kodifikasi yang nantinya akan dilakukan ditulis berdasarkan rasm yang telah ditetapkan (taqrir) oleh Rasulullah Saw., dengan langkah tertentu yang mampu mengakumulasi semua model bacaan yang sah kewarid darinya. Dan menghilangkan segala atribut yang menempel pada huruf, seperti titik dan harakat, adalah salah satu ekspresi pengejawantahannya.

Namun demikian, hal ini belum cukup menghindarkan dari varian produk mushaf yang dihasilkan tim lajnah. Karena nyatanya tidak semua model bacaan mampu terakumulasi dalam satu bentuk penulisan. Paling tidak sejarah mencatat bahwa ada sedikitnya 4 hingga 6 mushaf yang akhirnya tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam kala itu. Dan masing-masing mushaf, dikirim beserta satu sahabat qari’ sebagai agent of sunnah muttaba‘ah.

Baca juga: Robert of Ketton dan Dinamika Penerjemahan Al-Quran, Menjawab Kesimpulan Keliru Soal Kontribusi Orientalis dalam Studi Al-Quran

Dari delegasi dan mushaf ‘Utsmaniy ini lah kajian mengenai qira’ah dan rasm menjadi trending. Muncul pakar dan ahli dari berbagai wilayah yang menjadi pusat peradaban Islam kala itu, di Madinah ada Mu‘adz Al-Qari’ dan Ibn Syihab al-Zuhri; di Mekah ada ‘Ubaid bin ‘Umair dan ‘Atha’; di Kufah ada Abu ‘Abd al-Rahman al-Sulamiy dan Zir bin Hubaisy; di Syam ada Al-Mughirah bin Abi Syihab al-Makhzumiy, dan tokoh laih di berbagai wilayah lainnya.

Di tengah meningkatnya jumlah kajian qira’ah dan rasm, konsistensi dan kualitas kajian harus dihadapkan pada masalah luasnya wilayah ekspansi Islam. Kemurnian lughat Arab mulai terkontaminasi dengan banyaknya penduduk non-Arab yang masuk Islam. Sebagai dampak nyata dari ini, dilakukan lah upaya pemberian titik dan harakat dalam Al-Qur’an (ulasannya dapat dibaca pada Sejarah Harakat dalam Mushaf Al-Qur’an Bagian 1 dan Bagian 2).

Entah bagaimana kemudian muncul varian qira’ah yang tidak sesuai dengan rasm mushaf ‘Utsmaniy. Para pakar dan ahli kemudian mencoba melakukan identifikasi terhadap masalah yang ada dan menyepakati bahwa qira’ah dianggap sah apabila sesuai dengan rasm mushaf ‘Utsmaniy.

Kualifikasi ini ditetapkan mengingat penulisan yang dilakukan ‘Utsman dulu berisi klausul atas kompilasi terhadap seluruh qira’ah shahihah dari Rasulullah Saw. Sehingga ketika kini terjadi chaos terhadap orisinalitas qira’ah, giliran rasm mushaf ‘Utsmaniy yang menjadi validator atas ragam qira’ah shahihah.

Baca juga: Teori ‘Horizon of Expectation’ Hans Robert Jauss dan Resepsi Terhadap Al-Quran

Dan dari kualifikasi yang ada, hanya tujuh qira’ah saja yang dianggap sesuai. Ketujuh qira’ah ini adalah Abu ‘Amr al-Bashriy (w. 154 H.), Ibn Katsir al-Makky (w. 120 H.), Nafi’ al-Madiniy (w. 169 H.), Ibn ‘Amir al-Syamiy (w. 118 H.), serta Al-Kufiyyun: ‘Ashim (w. 128 H.), Hamzah (w. 156 H.) dan ‘Ali al-Kisa’iy (w. 189 H.).

Melihat ulasan yang ada, dapat dimengerti bahwa kritik Goldziher tidak berdasar pada sejarah tradisi Al-Qur’an, bahwa sunnah muttaba‘ah adalah inti dalam proses transmisi Al-Qur’an. Kritik yang disampaikannya justru menyajikan logika pemikirannya yang terbalik dalam memahami kemunculan teks tertulis Al-Qur’an, yang itu menjadi kesalahannya yang teramat fatal. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Tafsir Surah Hud Ayat 73-76

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 73-76 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai kegembiraan Nabi Ibrahim a.s atas anugerah yang akan datang. Kedua berbicara mengenai azab yang akan menimpa kaum Nabi Lut a.s.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 68-72


Ayat 73

Akhirnya para malaikat itu berkata, “Apakah patut kamu merasa heran terhadap sesuatu yang telah ditetapkan Allah?” Allah Yang Mahakuasa lagi Mahaperkasa tidak akan sulit baginya bila Dia menghendaki akan menganugerahkan anak kepada siapa saja meskipun hal itu menurut adat dan kebiasaan tidak mungkin terjadi.

Hal itu sungguh amat mudah bagi Allah sesuai dengan firman-Nya:

اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ   ٨٢

Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, ”Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu. (YasIn/36: 82)

Selanjutnya malaikat mengatakan, “Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat kepada kamu, hai keluarga Ibrahim a.s. Dia-lah yang berhak disanjung dan dipuji.”

Mendengar ucapan para malaikat itu mengertilah Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya Sarah, bahwa mereka telah terlanjur dan terlalu lancang mengucapkan kata-kata padahal yang membawa berita gembira itu adalah para malaikat utusan Allah.

Tidaklah dapat dilukiskan bagaimana gembira dan bahagianya Nabi Ibrahim a.s. apalagi istrinya yang lain yang bernama Hajar telah melahirkan seorang putera bernama Ismail. Mereka mengucapkan syukur dan puji kepada Allah, yang telah memberi mereka karunia yang sudah lama mereka idam-idamkan dan hampir berputus-asa dalam hal ini karena mereka sudah tua.

Ayat 74

Setelah Nabi Ibrahim a.s. mengetahui bahwa yang datang kepadanya adalah malaikat utusan Allah, maka dia merasa lega dan hilanglah segala syakwasangka di dalam hatinya.

Alangkah bahagianya keluarga Nabi Ibrahim a.s. di kala itu, tidak ada kegembiraan dan kebahagiaan yang melebihinya karena apa yang telah lama diingini dan diidam-idamkan, tiba-tiba dengan karunia dan rahmat Allah dia akan memperoleh seorang anak yang sekaligus telah diberi nama Ishak.

Tetapi Nabi Ibrahim a.s. sebagai seorang penyantun dan pengasih dan penyayang terhadap umat manusia, di saat diliputi kegembiraan, ia tidak lupa bahkan ingat kembali akan ucapan para malaikat itu, bahwa mereka diutus Allah untuk membinasakan kaum Lut.

Terlukislah di dalam ingatannya bagaimana buruknya nasib kaum Lut itu, dan bagaimana dahsyatnya malapetaka yang akan menimpa mereka. Rasa bahagia dan gembira dengan sekejap telah berganti dengan rasa cemas dan putus asa.

Ia memberanikan dirinya untuk berdebat dengan para malaikat itu, dengan harapan rencana pembinasaan kaum Lu¯ itu dapat dibatalkan. Hal itu tersebut dalam firman Allah:

وَلَمَّا جَاۤءَتْ رُسُلُنَآ اِبْرٰهِيْمَ بِالْبُشْرٰىۙ قَالُوْٓا اِنَّا مُهْلِكُوْٓا اَهْلِ هٰذِهِ الْقَرْيَةِ ۚاِنَّ اَهْلَهَا كَانُوْا ظٰلِمِيْنَ ۚ  ٣١

Dan ketika utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengatakan, ”Sungguh, kami akan membinasakan penduduk kota (Sodom) ini karena penduduknya sungguh orang-orang zalim.” (al-Ankabut/29: 31)


Baca juga: Meneladani Rasa Cinta Tanah Air dari Nabi Muhammad SAW. dan Nabi Ibrahim AS.


Ayat 75

Demikianlah rasa santun dan kasih sayang seorang nabi terhadap umat manusia, terutama Nabi Ibrahim a.s. yang dalam keadaan gembira dan bahagia ia akan memperoleh keinginan dan idaman hatinya yang telah lama dicita-citakannya, yaitu seorang anak laki-laki bernama Ishak dari istri pertama.

Di dalam keadaan demikian, biasanya orang lupa akan segala-galanya, tetapi ia tidak melupakan nasib kaum Lut yang didengarnya bahwa mereka akan dibinasakan dan ia mohon kepada Tuhannya agar mereka diselamatkan dengan mengemukakan alasan dan harapan agar permohonannya itu dikabulkan.

Sesungguhnya Nabi Ibrahim memang benar seorang yang penyantun dan menaruh iba (kasihan) terhadap orang yang ditimpa kemalangan dan selalu berserah diri kepada Tuhannya.

Ayat 76

Akhirnya para malaikat dengan tegas mengatakan kepada Ibrahim sambil menolak permintaannya yang dikemukakan dengan sungguh-sungguh. Janganlah ia membicarakan nasib kaum Lut itu dan serahkanlah urusan mereka kepada keputusan Tuhannya.

Allah telah memberi keputusan terhadap mereka bahwa mereka akan ditimpa azab yang tidak dapat ditolak, karena mereka adalah kaum yang ingkar akan perintah-Nya dan telah melakukan dosa dan maksiat yang sangat jahat dan menjijikkan.

Dosa mereka tidak dapat diampuni lagi, mereka telah diberi kesempatan untuk bertobat dan kembali kepada jalan yang lurus, tetapi semua dakwah dan seruan yang baik selalu mereka tolak, malah mereka sambut dengan cemoohan dan ejekan. Itulah keputusan Tuhanmu yang Maha Adil. Mereka dan negeri mereka akan dimusnahkan dengan menenggelamkannya ke dalam tanah.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 77-81


(Tafsir Kemenag)