Beranda blog Halaman 344

Gebyar Milad tafsiralquran.id: Lomba Esai dan Video Murottal

0
Gebyar Milad
Gebyar Milad tafsiralquran.id

Tentang Lomba

Rangkaian acara Gebyar Milad Tafsiralquran.id diawali dengan dua perlombaan, yaitu lomba essay dan video murattal al-Qur’an. Kedua perlombaan serta acara webinar tersebut tidak dipungut biaya registrasi atau gratis.

Lomba Esai

Lomba ini mengusung empat tema pilihan bagi peserta, yakni tokoh tafsir nusantara,  tafsir tematik moderasi beragama, tafsir feminis dan tafsir ekologi. Sedangkan syarat dan ketentuan bagi setiap peserta yang ingin mengikuti lomba ini meliputi:

  • Untuk umum; tidak terbatas umur maupun profesi
  • Bersifat individu
  • Menggunakan bahasa Indonesia sesuai EBI
  • Maksimal 1000 kata
  • Belum pernah dipublikasi
  • Bahasan belum pernah ditulis di tafsiralquran.id
  • Batas pengiriman 25 April 2021, 20:00 WIB

Hadiah yang disediakan oleh tafsiralquran.id berupa:

  • Juara 1: 250.000 + buku Tafsir Kebangsaan
  • Juara 2: 150.000 + buku Tafsir Kebangsaan
  • Juara 3: 100.000 + buku Tafsir Kebangsaan
  • Sertifikat bagi setiap peserta

Lomba Video Murottal al-Quran

  • Peserta adalah perorangan
  • Peserta mengirim video rekaman berdurasi maksimal 3 menit
  • Batas pengiriman 13 Ramadhan 1442 H, 20:00 WIB
  • Peserta mengunggah video rekaman di akun youtube peserta atau GoogleDrive

Tiga kriteria yang menjadi penilaian dari juri meliputi:

  • Kefasihan
  • Lagu
  • Konten (busana, latar)

Hadiah yang disediakan oleh tafsiralquran.id berupa:

  • Juara 1: 250.000 + buku Tafsir Kebangsaan
  • Juara 2: 150.000 + buku Tafsir Kebangsaan
  • Juara 3: 100.000 + buku Tafsir Kebangsaan
  • Sertifikat bagi setiap peserta

Lomba ini terbatas hanya untuk 30 peserta, dan diumumkan pada tanggal 17 Ramadhan 1442 H, saat acara webinar berlangsung, sehingga wajib bagi setiap peserta untuk ikut serta dalam acara webinar tersebut.

Juri Lomba Esai

Fadhli Lukman
Fadhli Lukman, S.Th.I., M.Hum., Ph.D (Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

 

Limmatus Sauda’
Limmatus Sauda’, M. Hum (Pemimpin Redaksi tafsiralquran.id)

Juri Lomba Video Murottal

Ustd. Husni Mubarak, M.Ag
Ustd. Husni Mubarak, M.Ag (Duta Indonesia MHQ Internasional 2015 di Turki)

 

Elviyatur Rosyidah
Ustdzh. Elviyatur Rosyidah, M.E (Juara 2 Qira’at Sab’ah Dewasa Putri di ajang MTQ Nasional di Padang, Sumatra Barat, 2020)

Untuk Registrasi Lomba

Klik Disini

Kata al-Mahabbah (Cinta) dan Persaudaraan Universal dalam Al-Quran

0
kata al-‎mahabbah
kata al-‎mahabbah

Di dalam al-Qur’an, ungkapan yang sering digunakan untuk kata cinta ‎adalah ‘al-hubb’ dengan beragam derivasinya. Kata ‘cinta’ dalam bahasa arab, ‎selain menggunakan kata ‘al-hubb’, juga sering disebut dengan kata al-‎mahabbah. ‎

Al-Raghib al-Asfahani mendefinisikan kata al-‎mahabbah dengan iradatu ma ‎tarahu aw tazhunnuhu khairan (menghendaki apa yang dipandang atau ‎dianggap baik). ‎

Baca Juga: Surat Maryam Ayat 96: Rasa Cinta Adalah Buah dari Iman dan Amal Saleh

Lebih lanjut al-Asfahani menjelaskan bahwa kata al-‎mahabbah dapat ‎dipetakan menjadi tiga macam: Pertama, mahabbah li ladzdzah, yaitu cinta ‎untuk sebuah kenikmatan, seperti cinta seorang laki-laki kepada seorang ‎perempuan; kedua, mahabbah li al-naf‘, cinta untuk mendapat manfaat, ‎seperti cinta terhadap sesuatu yang menghadirkan manfaat; ketiga, mahabbah li al-fadhl , yaitu cinta untuk mendapatkan keutamaan, seperti ‎cintanya ahl al-‘ilm kepada ahl al-‘ilm lainnya untuk mendapatkan ‎keutamaan ilmu.‎

Kata “hubb” dengan beragam derivasinya disebut sebanyak 83 kali di ‎dalam al-Qur’an. Adapun lawan kata “hubb” adalah “bughd”, yang berarti ‎benci. Kata “bughd” disebut sebanyak 5 kali di dalam al-Qur’an.‎

Dalam konteks relasi interpersonal, kata “al-hubb” atau kata al-‎mahabbah , ‎yaitu “mencintai” merupakan kunci keharmonisan hubungan antarsesama. ‎Makna cinta di sini adalah mengasihi, menyayangi, empati, peduli serta ‎perhatian terhadap sesama. Cinta yang dimaksud adalah sebuah cinta yang ‎lahir dari ketulusan hati serta keikhlasan jiwa. Dari sikap saling mencintai ‎inilah kebahagiaan bermula.‎

Cinta antarsesama merupakan wujud cinta kepada Allah Swt. ‎Rasulullah Saw. menjelaskan firman Allah Swt. dalam sebuah hadis Qudsi, ‎‎“Pasti akan mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang saling mencintai karena ‎Aku. Pasti mendapatkan cinta-Ku orang-orang yang saling menyambung ‎hubungan silaturahim karena Aku. Pasti mendapatkan cinta-Ku orang-orang ‎yang saling mengunjungi karena Aku. Pasti mendapatkan cinta-Ku orang-‎orang yang saling memberi karena Aku.” (HR. Ahmad)‎

Dalam hadis qudsi tersebut dijelaskan bahwa saling menasihati, saling ‎bersilaturahim, saling mengunjungi, dan saling memberi menunjukkan adanya ‎saling mencintai. Kalau saja tidak ada cinta di antara keduanya, tentu mereka ‎tidak akan saling menyambung silaturhim, saling menasihati, saling ‎mengunjungi, dan saling memberi. Keistimewaan cerita Allah dalam hadis ini ‎adalah pertemuan kedua orang yang saling mencintai untuk berkomitmen ‎menjalankan perintah Allah.‎

Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menyatakan tentang ‎persaudaraan universal antarsesama manusia. Persaudaraan yang dimaksud ‎adalah persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah bashariyyah). Beberapa ayat ‎berikut menunjukkan hal tersebut:‎

Q.S. Al-Hujurat : 13, Allah Swt. berfirman:

 ‎يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

‎“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang ‎laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – ‎bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. ‎Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah ‎orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha ‎mengetahui lagi Maha Mengenal.”‎

Q.S. Al-Hujurat : 10‎

‎ إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu ‎damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan ‎bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” ‎

Dua ayat tersebut menegaskan tentang persaudaraan antarsesama. ‎Muhammad Al-Shadiqi al-Thahrani dalam karyanya Al-Tafsir al-Mawdu‘i li al-‎Qur’an al-Karim, ketika menafsirkan ayat ke-10 dari Surat al-Hujurat di atas ‎menegaskan bahwa meskipun ada adat al-hashr (kata pembatas), yaitu lafaz ‎‎”innama” pada ayat tersebut, bukan berarti persaudaraan itu terbatas pada ‎persaudaraan berdasarkan keyakinan atau keimanan semata, tetapi juga ‎dimaksudkan sebagai persaudaraan universal dengan seluruh umat manusia.‎

Baca Juga: Tafsir At-Taubah 128; Potret Cinta Nabi Muhammad Saw pada Umatnya

Senada dengan Al-Shadiqi, Muhammad Sa‘id Ramadhan al-Buthi ‎dalam karya fenomenalnya Al-Hubb fi al-Qur’an wa Dawr al-Hubb fi Hayat al-‎Insan menyatakan bahwa adat al-hashr (kata pembatas) pada ayat tersebut ‎tidak dimaknai sebagai pembatas persaudaraan hanya untuk mereka yang ‎seiman saja. Persaudaraan yang dimaksud pada ayat tersebut adalah ‎persaudaraan universal antarsesama umat manusia, baik karena satu ‎keyakinan maupun beda keyakinan.‎

Dasar utama persaudaraan universal itu adalah rasa cinta ‎antarsesama. Rasa cinta yang lahir dari dasar lubuk hati manusia yang paling ‎dalam, yang dianugerahkan oleh Sang Mahacinta, yakni Allah Swt.‎ Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 130-132

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembahasan sebelumnya Nabi Ibrahim berdo’a memohonkan untuk keturunannya agar diberi taufik dan hidayah, sehingga dapat melaksanakan dan mengembangkan agama Allah. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 130-132 ini Allah memerintahkan kepada Ibrahim untuk berserah diri dan mengakui keesaan Allah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 127-129


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 130-132 Ibrahim dan Yakub berwasiat kepada putra-putranya agar menganut agama itu selama-lamanya. Agama yang dimaksud adalah agama Islam.

Ayat 130

Ayat ini tidak menerangkan agama Ibrahim itu. Ayat yang lain menerangkan dasar-dasar kepercayaan agama Ibrahim. Allah berfirman:

قُلْ صَدَقَ اللّٰهُ ۗ فَاتَّبِعُوْا مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

“Katakanlah (Muhammad), ”Benarlah (segala yang difirmankan) Allah.” Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia tidaklah termasuk orang musyrik.” (²li ‘Imr±n/3: 95).;Pada ayat yang lain dijelaskan bahwa agama Ibrahim atau agama Islam ialah agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. Allah berfirman:

ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang musyrik.  (an-Na¥l/16: 123) )

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ  لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ   ٣٠

۞ مُنِيْبِيْنَ اِلَيْهِ وَاتَّقُوْهُ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ  ٣١

 “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta laksanakanlah salat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah” (ar Rum/30: 30-31)

Orang-orang Yahudi, Nasrani dan musyrik Mekah, termasuk anak cucu Ibrahim a.s. Mereka membangga-banggakan diri dengannya, tetapi mereka tidak mengikuti agama Ibrahim, agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, Nabi yang didoakan Ibrahim agar diutus Allah di kemudian hari. Mereka mengetahui yang demikian tetapi mereka bersikap seolah-olah tidak mengetahuinya.

Bahkan kebanyakan mereka mengikuti agama yang diciptakan hawa nafsu mereka, yaitu menyembah berhala, menyerikatkan Allah, mengatakan bahwa Allah mempunyai anak dan sebagainya. Ayat ini merupakan berita gembira bagi Ibrahim a.s. bahwa ia telah dipilih Allah di dunia di antara hamba-hamba-Nya dan di akhirat termasuk di dalam golongan orang-orang yang saleh.

Ayat 131

Kepada Ibrahim diperintahkan agar berserah diri, mengakui keesaan Allah dan memurnikan ketaatan hanya kepada-Nya saja. Yang dimaksud dengan  berserah diri  di sini ialah tunduk dan patuh kepada agama Allah, agama yang sesuai dengan akal pikiran yang disertai dengan dalil-dalil atau bukti-bukti yang nyata. Agama tersebut akan dilanjutkan penyampaiannya oleh rasul-rasul yang datang kemudian, termasuk Nabi Muhammad saw.

Karena itu Ibrahim a.s. langsung menjawab perintah Allah tanpa menanyakan sesuatu pun, “Aku tunduk dan patuh kepada Tuhan seluruh alam”. Maksudnya ialah, “Aku murnikan ketaatan dan ketundukan hanya kepada Allah saja. Aku hadapkan wajahku kepada-Nya. Ibadahku, hidupku dan matiku untuk Tuhan seluruh alam.”

اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ

Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang musyrik. (al An’am/6: 79)


Baca juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 68-69: Fakta Menarik di Balik Pembakaran Nabi Ibrahim


Ayat 132

Ibrahim dan Yakub berwasiat kepada putra-putranya, demikian juga yang dilakukan oleh cucunya Yakub kepada putra-putranya bahwa Allah telah memilihkan agama yang paling baik bagi mereka dan mengingatkan mereka agar menganut agama itu selama-lamanya, dan jangan sampai mati kecuali dalam keadaan Muslim.

Agama yang dimaksud adalah agama Islam. Allah menegaskan bahwa agama yang hak di sisi-Nya ialah agama Islam. Allah berfirman:

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya. (Ali ‘Imran/3: 19)

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi. (Ali ‘Imran/3: 85)

Agama yang dibawa Ibrahim itu terdapat pula di dalam kitab Musa (Taurat). Allah swt berfirman:

اِنَّ هٰذَا لَفِى الصُّحُفِ الْاُوْلٰىۙ   ١٨  صُحُفِ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى ࣖ   ١٩

Sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa. (al A’la/87: 18,19)

قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَمَآ اُوْتِيَ النَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْ

Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. …” (al Baqarah/2: 136)

Allah tidak membeda-bedakan para nabi dan rasul yang diutus-Nya. Allah berfirman:

لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

“…Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.” (al Baqarah/2: 136)

Karena itu, Allah memerintahkan Nabi Muhammad dan kaum Muslimin beriman kepada para nabi dan rasul-Nya. Iman kepada para nabi dan rasul serta apa yang dibawanya termasuk rukun iman.

Dari perkataan “Ibrahim telah mewasiatkan …” dapat dipahami:

  1. Bahwa yang diwariskan itu adalah suatu hal yang sangat penting. Berbahaya bagi kehidupan bila wasiat itu tidak dilaksanakan. Karena itu di dalam ayat digunakan perkataan:
  2. “Wasiat” bukan “memerintahkan”. Perkataan “wasiat” menunjukkan bahwa sesuatu itu sangat penting.
  3. “Anak-anaknya”, bukan “orang lain”. Menurut kebiasaan, berwasiat kepada “anak-anak sendiri” itu diharapkan lebih mungkin terlaksana dibandingkan dengan wasiat kepada orang lain.
  4. Di dalam ayat ini disebut bahwa yang berwasiat itu ialah Ibrahim a.s. dan Yakub a.s. seakan perkataan itu dipisahkan. Hal ini memberi pengertian bahwa yang disuruh melaksanakan wasiat itu bukan hanya keturunan Ibrahim a.s. dan cucunya Yakub a.s. (Bani Israil) saja, tetapi wasiat itu mencakup seluruh anak cucu Ibrahim dan seluruh kaum Muslimin, termasuk di dalamnya keturunan Ismail a.s.

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 133-138


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surah Al A’raf ayat 173-176

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 173-176 ini menerangkan bahwa Allah menegaskan ketidakbenaran orang musyrik yang berkata pada hari kiamat nenek moyang merekalah yang pertama kali menciptakan kemusyrikan.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 173


Ayat 173

Kemudian dalam ayat ini, Allah menegaskan lagi bahwa tidaklah benar orang kafir itu berkata pada hari Kiamat sebagai alasan bahwa nenek-moyang merekalah yang pertama kali menciptakan kemusyrikan kemudian meneruskan kebiasaan syirik itu kepada mereka. Sebagai keturunan dari mereka, mereka mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui kesalahan-kesalahan yang dilakukan leluhur mereka sehingga tidak mengetahui jalan menuju tauhid. Apakah kami harus binasa dan disiksa akibat kesalahan dan perbuatan nenek moyang kami.

Taklid kepada leluhur tidaklah dapat dijadikan alasan untuk mengingkari keesaan Allah, karena bukti keesaan Allah sangat jelas di hadapan mereka, dan mereka mampu menarik kesimpulan dari bukti-bukti itu sehingga mereka sampai kepada tauhid.

Ayat 174

Kemudian Allah menyatakan bahwa segala yang telah disebutkan di atas yaitu tentang diciptakannya manusia atas dasar fitrah yang cenderung kepada agama tauhid, dan kelemahan alasan-alasan mereka dalam menolak ajaran tauhid, adalah sebagai peringatan Allah kepada manusia, tentang ayat-ayatnya, agar mereka mempergunakan akal dan pikiran mereka dan kembali ke jalan tauhid, kembali kepada fitrahnya dan menjauhkan diri dari taklid kepada nenek-moyang mereka dan dari kealpaan dan kejahilan.

Ayat 175

Allah dalam ayat ini menyuruh Rasul-Nya agar membacakan kepada orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin, sebuah riwayat kehidupan seorang laki-laki yang telah diberi Allah ilmu pengetahuan tentang isi Al-Kitab dan ke-Tuhan-an dan dia memahami dalil-dalil keesaan Allah sehingga dia menjadi seorang yang alim.

Tentang siapa orang dimaksud dalam ayat ini, beberapa mufasir berbeda pendapat. Ada beberapa orang terkemuka pada masa Nabi yang sudah membaca kitab-kitab suci dan mengetahui bahwa Allah akan mengutus seorang rasul pada waktu itu. Mereka yang berambisi berharap-harap sekiranya dialah yang akan diutus menjadi nabi, seperti Umayyah, penyair dari suku Saqif yang terkenal, ada yang mengatakan orang itu adalah Abu `Ämir ar-Rahib, yang lain berkata ayat tidak ditujukan kepada pribadi, melainkan kepada golongan, mereka adalah orang-orang Quraisy dengan ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi, tetapi mereka menolak. Pendapat mengatakan bahwa yang dituju adalah kaum munafik Ahli Kitab yang sudah mengenal Rasulullah seperti mengenal sanak keluarga mereka sendiri, tetapi mereka juga menolak.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah seseorang di zaman Nabi Musa, pendapat lain mengatakan ditujukan kepada Firaun dan golongannya yang menolak seruan Musa. Beberapa mufasir cenderung menerima pernyataan Qatādah, Ikrimah dan Abu Muslim dari kalangan salaf, bahwa tujuan ayat ini adalah umum sebagai suatu pelajaran rohani yang amat agung, bukan ditujukan kepada pribadi atau golongan tertentu, seperti dikemukakan oleh beberapa mufassir yang kemudian. Macam manusia yang dimaksud di sini ialah orang yang memahami risalah ilahi, tetapi ia menolak menerima kebenaran itu, ia sudah dikuasai oleh kehidupan dunia materi seperti diisyaratkan dalam ayat berikutnya, “dan ia cenderung pada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah.”

Ayat 176

Dalam ayat ini Allah menjelaskan sekiranya Allah berkehendak mengangkat laki-laki itu dengan ilmu yang telah diberikan kepadanya ke martabat yang lebih tinggi, tentulah Dia berkuasa berbuat demikian. Tetapi laki-laki itu telah menentukan pilihannya ke jalan yang sesat. Dia menempuh jalan yang berlawanan dengan fitrahnya, berpaling dari ilmunya sendiri, karena didorong oleh keingkaran pribadi, yakni kemewahan hidup duniawi. Dia mengikuti hawa nafsunya dan tergoda oleh setan. Segala petunjuk dari Allah dilupakannya, suara hati nuraninya tidak didengarnya lagi.

Firman Allah:

اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَرْضِ زِيْنَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ اَيُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya.” (al-Kahf/18: 7)

Semestinya, orang yang diberi ilmu dan kecakapan itu, meningkatkan kejiwaanya, menempatkan dirinya ke tingkat kesempurnaan, mengisi ilmu dan imannya dengan perbuatan-perbuatan yang luhur disertai niat yang ikhlas dan i’tikad yang benar. Tetapi laki-laki itu setelah diberi nikmat oleh Allah berupa ilmu pengetahuan tentang keesaan Allah, ia keluar “seperti ular yang keluar dari lapisan kulit luarnya dan menanggalkannya untuk selamanya.”

Dalam ayat ini dipakai kata insalakha, انسلخ “keluar dari kulit, selubung atau selongsong,” yakni menanggalkan ilmu yang diberikan Allah kepadanya, dan tetap kafir seperti halnya dia tidak diberi apa-apa. Karena itu dalam ayat berikutnya Allah mengumpamakannya seperti anjing yang keadaannya sama saja diberi beban atau dibiarkan, dia tetap menjulurkan lidahnya. Laki-laki yang memiliki sifat seperti anjing ini, tergolong manusia yang paling buruk.

Hal demikian menggambarkan kerakusan terhadap harta benda duniawi. Dia selalu menyibukkan jiwa dan raganya untuk memburu benda duniawi, sehingga tampak sebagai seorang yang sedang lapar dan haus tak mengenal puas. Keadaannya seperti anjing yang menjulurkan lidahnya, tampaknya selalu haus dan lapar tidak mengenal puas menginginkan air dan makanan.

Demikian pula perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah. Mereka menentangnya, baik disebabkan kebodohan ataupun karena fanatisme mereka terhadap dunia yang menyebabkan mereka menutup mata terhadap kebenaran dan meninggalkannya. Mereka menyadari kebenaran yang dibawa Muhammad, dan mengakui kesesatan dan kesalahan nenek-moyang mereka setelah mereka merenungkan bukti kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah.

Tetapi kesadaran dan pengakuan demikian itu lenyap dari jiwa mereka sebab hawa nafsu mereka yang hanya mengejar kenikmatan duniawi, misalnya ingin kekuasaan dan kekayaan. Kaum Yahudi dan kaum musyrikin Arab menolak ayat-ayat Allah karena mereka ingin mempertahankan kekuasaan dan kepentingan mereka. Mereka takut kehilangan kenikmatan dan kemewahan hidup. Setan telah menggoda mereka agar tergelincir dari fitrah kejadian mereka yakni kecenderungan kepada agama tauhid.

Cerita laki-laki yang mempunyai banyak persamaan dengan kaum penentang ayat-ayat Allah itu, patut mendapat perhatian agar mereka mau merenungkan dan memikirkan ayat-ayat Allah dengan jujur dan obyektif lepas dari rasa permusuhan dan kepentingan pribadi.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 177


 

Surah at-Taubah Ayat 60: Delapan Golongan yang Berhak Menerima Zakat

0
orang yang berhak menerima zakat
orang yang berhak menerima zakat

Zakat merupakan salah satu ibadah wajib yang telah diatur oleh agama Islam melalui Al-Qur’an dan sunah. Oleh karena itu, hukum membayar zakat adalah kewajiban bagi setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat zakat. Zakat ini diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat sesuai ketentuan syariat (mustahiq zakat).

Secara etimologi zakat memiliki beragam makna sesuai konteksnya, antara lain: tathhir (penyuci), shalah (perbaikan), nama’ (berkembang), afdhal (lebih utama), dan aliq (yang paling patut). Menurut Imam ath-Thabari (w. 350 H), zakat disebut dengan istilah “zakat” karena adanya unsur keberkahan yang nampak dalam harta setelah seseorang menunaikan zakat (nama’ atau berkembang).

Imam Syafi’i mendefinisikan zakat sebagai:

اسم لما يخرج عن مال وبدن على وجه مخصوص

Artinya: “Suatu istilah yang menunjuk pengertian harta yang dikeluarkan karena arah hartanya dan karena badan menurut tata aturan yang telah ditentukan” (al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu [3]: 1789). 

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Memberikan Zakat Kepada Orang Tua dan Kerabat Dekat

Posisi zakat sangat sentral dalam ajaran Islam, kedua setelah ibadah shalat. Ia merupakan ibadah hartawi yang berfungsi sebagai sarana penyuci (tathahhur), pembersih (nadhafah), pengembang (nama’), dan penambah (ziyadah). Zakat dilakukan dengan mengeluarkan sebagian dari kelebihan harta yang dimiliki kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat).

Orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat) ada delapan golongan sebagaimana difirmankan Allah swt dalam surah at-Taubah [9] ayat 60 yang berbunyi:

۞ اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ٦٠

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha bijaksana.”

Meskipun pada surah at-Taubah [9] ayat 60 digunakan istilah sadaqat, namun menurut Quraish Shihab ayat ini berbicara mengenai zakat, tepatnya tentang orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat), yakni: orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengelola zakat (amil zakat), para mualaf, hamba sahaya, orang yang berhutang, orang yang berjuang di jalan Allah dan ibnu sabil.

Al-Sa’adi menuturkan dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah at-Taubah [9] ayat 60 merupakan penegasan dari Allah swt mengenai orang-orang yang berhak menerima zakat wajib. Menurutnya, berdasarkan ayat ini zakat hanya terbatas pada delapan golongan yang telah disebutkan dan tidak boleh diberikan kepada selain mereka.

Pandangan serupa disampaikan oleh Imam al-Syaukani dalam Fath al-Qadir. Ia menyebutkan bahwa sadaqat yang dimaksud pada surah at-Taubah [9] ayat 60 adalah zakat, bukan sedekah secara umum. Artinya, zakat wajib hanya diberikan kepada delapan golongan tersebut, bukan selain mereka. Adapun sedekah secara umum bisa diberikan kepada siapa pun.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 43: Dalil Kewajiban Zakat

Kendati mayoritas ulama sepakat bahwa zakat wajib harus diberikan kepada delapan golongan orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat), namun mereka berbeda pendapat mengenai definisi masing-masing golongan dan bagaimana alokasi zakat terhadap mereka, apakah zakat boleh diberikan kepada salah satu golongan saja atau harus diberikan kesemua golongan, tanpa terkecuali (Fath al-Qadir [2]: 424).

Misalnya, Imam Malik berpendapat bahwa zakat boleh diberikan hanya kepada salah satu golongan, sebab makna huruf lam pada lil fuqara sekedar menjelaskan orang-orang yang berhak menerima zakat dan bukan selain mereka. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat lam tersebut bermakna kepemilikan sehingga setiap golongan wajib menerimanya. Hal ini dikuatkan pula dengan penyebutan kata innama yang mengandung makna pengkhususan (Tafsir al-Misbah [5]: 630).

Terlepas dari dua perbedaan pandangan mengenai cara pengalokasian zakat kepada mustahiq zakat, kita harus menyadari bahwa zakat hanya diberikan kepada kedelapan golongan tersebut, bukan selain mereka. Kemudian, apakah harus dibagi kesemua golongan atau salah satunya saja, penulis rasa hal ini harus disesuaikan dengan konteks dan kepentingan. Sebagai contoh, fakir atau miskin tentu lebih berhak dibandingkan mualaf yang kaya.

Berikut secara rinci pengertian masing-masing golongan atau orang yang berhak menerima zakat:

Menurut Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya, Syarah Kasyifah as-Saja fi Syarhi Safinah an-Naja, fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan guna mencukupi kebutuhannya. Sedangkan orang miskin adalah mereka yang memiliki harta atau pekerjaan, namun itu semua tidak mampu menutupi kebutuhan hidupnya. Keduanya sama-sama membutuhkan santunan guna memenuhi kebutuhan.

Kemudian, amil zakat atau para pengelola zakat seperti BAZNAS. Mereka ini adalah orang yang melakukan pengelolaan zakat, mulai dari mengumpulkan, menentukan siapa yang berhak menerima zakat, mencari mustahiq zakat, maupun membagi dan mengantarkan zakat kepada mustahiq zakat. Dalam konteks ini, amil zakat berfungsi sebagai wakil dari penerima zakat.

Penerima zakat selanjutnya adalah mualaf atau orang yang baru masuk Islam. Hal itu dikarenakan seorang mualaf keimanannya masih rapuh, belum kuat, dan Islam sebagai agama yang penuh rahmat menghargai keimanannya. Dengan memberikan zakat kepada mualaf, maka kita juga memberikan kemuliaan kepada mereka seakan-akan mengucapkan selamat datang di dalam agama persaudaraan, agama yang penuh rahmat, dan kasih sayang (Tafsir al-Misbah [5]: 631).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Syarat, Rukun Puasa Ramadan, dan Alasan Niat di Malam Hari

Selanjutnya, al-riqab atau hamba sahaya. Al-riqab aalah bentuk jamak dari raqabah yang pada mulanya bermakna “leher”. Makna ini berkembang menjadi “hamba sahaya atau budak” karena sering kali mereka berasal dari tawanan perang yang tangannya terbelenggu dan lehernya terikat. Pemberian zakat kepada budak diperlukan dalam rangka pengupayaan kemerdekaan mereka.

Penerima zakat berikutnya adalah al-garimin atau orang-orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayarnya, walaupun yang bersangkutan memiliki kecukupan untuk kebutuhan hidup dan keluarganya. Jika ia tidak memiliki, maka ia termasuk kelompok fakir miskin. Pemberian zakat kepada mereka diharapkan dapat memberi keringanan atas beban yang dihadapi (Tafsir al-Misbah [5]: 632).

Kata fi sabilillah dipahami mayoritas ulama dalam arti pejuang yang berjihad di jalan Allah swt, baik secara langsung ataupun tidak. Dalam konteks modern, fi sabilillah juga dapat dikaitkan dengan kegiatan sosial, baik yang dikelola individu maupun organisasi, yang bertujuan untuk merealisasikan kemaslahatan masyarakat.

Penerima zakat yang terakhir adalah ibnu sabil atau secara harfiah dimaknai anak jalan. Para ulama memahaminya dalam arti siapa pun yang kehabisan bekal, dan dia sedang berada dalam perjalanan walaupun ia kaya di negeri asalnya. Artinya, siapa saja yang berada dalam perjalanan berhak mendapatkan zakat atau bantuan jika ia kehabisan bekal. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al A’raf ayat 168-172

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 168-172 ini diterangkan tentang siksaan dan penderitaan terhadap orang-orang yang tenggelam dalam kekafiran.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 164-167


Ayat 168

Dalam Tafsir Surah Al A’raf ayat 168-172 khususnya pada ayat ini Allah menguraikan siksaan dan penderitaan mereka yakni mereka diceraiberaikan di atas bumi ini satu golongan berada di suatu daerah sedang golongan yang lain berada di daerah lain.

Sebagian mereka ada yang menjadi orang-orang yang selalu mengadakan perbaikan dan beriman kepada Nabi-nabi, tetapi ada pula yang benar-benar tenggelam dalam kekafiran dan kefasikan hingga membunuh Nabi-nabi, memutar balikkan isi Kitab Taurat dan memusuhi Nabi Muhammad.

Untuk membuat mereka sadar, mereka diuji dengan kesenangan dan penderitaan silih berganti, tetapi tidak membuat mereka jera. Mereka yang baik diberi anugerah kebaikan dan kebahagiaan. Mereka yang durhaka diturunkan bencana kesengsaraan. Semuanya itu cobaan bagi mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Ayat 169

Dalam ayat ini Allah menerangkan satu generasi dari Yahudi yang menggantikan golongan bangsa Yahudi tersebut di atas. Mereka adalah bangsa Yahudi yang hidup di zaman Nabi Muhammad yang mewarisi Taurat dari nenek-moyang mereka dan menerima begitu saja segala apa yang tercantum di dalamnya. Hukum halal dan haram, perintah dan larangan dalam kitab itu mereka ketahui, tetapi mereka tidak mengamalkannya. Mereka mengutamakan kepentingan duniawi dengan segala kemegahan yang akan lenyap.

Mereka mencari harta benda dengan usaha-usaha yang lepas dari hukum moral dan agama, mengembangkan riba, makan suap, pilih kasih dalam hukum dan lain sebagainya, karena mereka berpendapat bahwa Allah kelak akan mengampuni dosa mereka. Orang-orang Yahudi itu menganggap dirinya kekasih Allah dan bangsa pilihan. Anggapan demikian hanyalah menyesatkan pikiran mereka. Oleh karena itu setiap ada kesempatan untuk memperoleh keuntungan duniawi seperti uang suap, riba dan sebagainya, tidaklah mereka sia-siakan.

Allah menegaskan kesalahan pendapat dan anggapan mereka yang berkepanjangan dalam kesesatan dan tenggelam dalam nafsu kebendaan. Allah mengungkapkan adanya ikatan perjanjian antara mereka dengan Allah yang tercantum dalam Taurat, bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali kebenaran. Tetapi mereka memutarbalikkan isi Taurat, karena didorong oleh keinginan untuk memperoleh keuntungan duniawi, padahal mereka telah memahami dengan baik isi Taurat itu dan sadar akan kesalahan perbuatan itu. Seharusnya mereka lebih mengutamakan kepentingan ukhrawi dengan berbuat sesuai dengan petunjuk Allah dan Taurat daripada keuntungan duniawi. Bagi orang yang takwa, kebahagiaan akhirat lebih baik daripada kebahagiaan duniawi yang terbatas itu. Mengapa mereka tidak merenungkan hal yang demikian?

Ayat ini menjelaskan bahwa kecenderungan kepada materi dan hidup kebendaan, merupakan faktor yang menyebabkan kecurangan orang Yahudi sebagai suatu bangsa yang punya negara. Karena kecintaan yang besar kepada kehidupan duniawi, mereka kehilangan petunjuk agama serta kering dalam kehidupan kerohanian.

Apa yang menimpa orang Yahudi zaman dahulu mungkin pula menimpa orang-orang Islam zaman sekarang, karena mereka lebih banyak mengutamakan kehidupan materiil dan menyampingkan kehidupan spirituil kerohanian sehingga sepak terjang mereka sangat jauh dari ajaran Al-Qur’an.

Ayat 170

Ayat ini menyebutkan sebagian orang Yahudi yang patut mendapat anugerah penghargaan karena sikap mereka yang teguh berpegang kepada isi Taurat. Mereka menaati segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Orang Yahudi tersebut sewaktu mendengar seruan Nabi Muhammad segera beriman kepadanya sesuai dengan petunjuk Taurat, seperti Abdullah Ibnu Salam dan kawan-kawannya. Mereka mendirikan salat yang menjadi tiang agama dan pembeda antara orang yang mukmin dengan orang yang kafir. Allah tidak akan menyia-nyiakan segala amal kebaikan yang telah mereka lakukan. Tentulah Dia akan memberikan ganjaran kepada mereka, karena mereka telah melakukan perbaikan atas perbuatan mereka.    

Allah swt berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اِنَّا لَا نُضِيْعُ اَجْرَ مَنْ اَحْسَنَ عَمَلًاۚ

“Sungguh,  mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang mengerjakan perbuatan yang  baik itu.” (al-Kahf/18: 30)

Ayat 171

Kemudian Allah mengakhiri kisah tentang orang Yahudi dengan memperingatkan kembali peristiwa ketika mereka pertama kali menerima Taurat. Sewaktu Bukit Sinai diangkat ke atas kepala mereka sehingga gunung itu bagaikan gumpalan awan yang gelap, mereka melihat gunung yang terapung di udara itu akan jatuh menimpa mereka. Sadarlah mereka terhadap ancaman Allah bahwa jika mereka menentang perintah agama, tentulah mereka akan binasa.

Saat itu Allah berseru kepada mereka agar mereka menerima dan menaati hukum-hukum agama yang tercantum dalam Taurat dengan sungguh-sungguh. Dan mereka hendaklah mengingat perintah dan larangan-Nya dalam Taurat, mengamalkannya dan tidak mengabaikannya, walaupun mereka mengalami kesulitan dan penderitaan. Ketaatan mereka kepada hukum-hukum agama serta perintah dan larangannya dengan sebenarnya, membawa mereka kepada pembinaan pribadi dan takwa.

Ayat 172

Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang janji yang dibuat pada waktu manusia dilahirkan dari rahim orang tua (ibu) mereka, secara turun temurun, yakni Allah menciptakan manusia atas dasar fitrah. Allah menyuruh roh mereka untuk menyaksikan susunan kejadian diri mereka yang membuktikan keesaan-Nya, keajaiban proses penciptaan dari setetes air mani hingga menjadi manusia bertubuh sempurna, dan mempunyai daya tanggap indra, dengan urat nadi dan sistem urat syaraf yang mengagumkan, dan sebagainya.

Berkata Allah kepada roh manusia “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Maka menjawablah roh manusia, “Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami telah menyaksikan.” Jawaban ini merupakan pengakuan roh pribadi manusia sejak awal kejadiannya akan adanya Allah Yang Maha Esa, yang tiada Tuhan lain yang patut disembah kecuali Dia.

Dengan ayat ini Allah bermaksud untuk menjelaskan kepada manusia, bahwa hakikat kejadian manusia itu didasari atas kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa. Sejak manusia itu dilahirkan dari rahim orang tua mereka, ia sudah menyaksikan tanda-tanda keesaan Allah pada kejadian mereka sendiri, Allah berfirman pada ayat lain:

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ  لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah  itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan  Allah.  (ar-Rum/30: 30); Fitrah Allah maksudnya ialah tauhid. Rasulullah bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ اِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ  يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَانِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تَلِدُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةَ جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا جَذْعَاءَ (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

“Tak seorang pun yang dilahirkan kecuali menurut fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana halnya hewan melahirkan anaknya yang sempurna telinganya, adakah kamu ketahui ada cacat pada anak hewan itu?” (Riwayat al-Bukhari  Muslim, dari Abu Hurairah); Rasulullah dalam hadis Qudsi:

َقالَ الله ُتَعَالَى إِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِيْ حُنَفَاءَ فَجَاءَتْهُمُ الشَّيَاطِيْنُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَّمَتْ مَا اَحْلَلْتُ لَهُمْ (رواه البخاري عن عياض بن حمار)

Berfirman Allah Ta’ālā, “Sesungguhnya Aku ciptakan hamba-Ku cenderung (ke agama tauhid). Kemudian datang kepada mereka setan-setan dan memalingkan mereka dari agama (tauhid) mereka, maka haramlah atas mereka segala sesuatu yang telah Kuhalalkan bagi mereka.” (Riwayat al-Bukhari dari Iya« bin ¦imar);Penolakan terhadap ajaran Tauhid yang dibawa Nabi itu sebenarnya perbuatan yang berlawanan dengan fitrah manusia dan dengan suara hati nurani mereka. Karena itu tidaklah benar manusia pada hari Kiamat nanti mengajukan alasan bahwa mereka alpa, tak pernah diingatkan untuk mengesakan Allah. Fitrah mereka sendiri dan ajaran Nabi-nabi senantiasa mengingatkan mereka untuk mengesakan Allah dan menaati seruan Rasul serta menjauhkan diri dari syirik.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 173


 

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 127-129

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembalasan sebelumnya mengenai keberkahan do’a Nabi Ibrahim untuk orang mukmin ataupun kafir. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 127-129 ini masih berbicara mengenai do’a Nabi Ibrahim untuk keturunan-keturunannya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 126


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 127-129 ini Nabi Ibrahim berdo’a memohonkan untuk keturunannya agar diberi taufik dan hidayah, sehingga dapat melaksanakan dan mengembangkan agama Allah.

Ayat 127, 128, dan 129

Orang-orang Arab diingatkan bahwa yang membangun Baitullah itu adalah nenek moyang mereka yang bernama Ibrahim dan putranya Ismail. Ibrahim adalah nenek moyang orang-orang Arab melalui putranya Ismail. Sedangkan orang Israil melalui putranya Ishak. Seluruh orang Arab mengikuti agama Ibrahim.

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa yang membangun Baitullah ialah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail.

Tujuannya adalah untuk beribadah kepada Allah bukan untuk yang lain, sebagai peringatan bagi dirinya, yang akan diingat-ingat oleh anak cucunya di kemudian hari. Bahan-bahan untuk membangun Ka’bah itu adalah benda-benda biasa sama dengan benda-benda yang lain, dan bukan benda yang sengaja diturunkan Allah dari langit.

Semua riwayat yang menerangkan Ka’bah secara berlebih-lebihan, adalah riwayat yang tidak benar, diduga berasal dari Isra′i1iyat. Mengenai al-¦ajar al-Aswad ’Umar bin al-Khattab r.a. berkata pada waktu ia telah menciumnya:

وَعَنْ عُمَرَ رَضِيَ الله ُعَنْهُ أَنَّهُ قَبَّلَ الْحَجَرَ اْلأَسْوَدَ وَقَالَ: إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (متفق عليه)

 Dari Umar semoga Allah meridainya, bahwa dia telah mencium Hajarul Aswad dan berkata:  Sesungguhnya aku telah mengetahui bahwa engkau batu yang tidak dapat memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat. Kalau aku tidak melihat Rasulullah saw mencium engkau, tentu aku tidak akan mencium engkau.  (Muttafaq ‘Alaih)

Menurut riwayat ad-Daraqutni, Rasulullah saw pernah menyatakan sebelum mencium Hajar Aswad bahwa itu adalah batu biasa. Demikian pula halnya Abu Bakar r.a., dan sahabat-sahabat yang lain.

Dari riwayat-riwayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Hajar Aswad adalah batu biasa saja. Perintah menciumnya berhubungan dengan ibadah, seperti perintah salat menghadap ke Ka’bah, perintah melempar jamrah di waktu melaksanakan ibadah haji dan sebagainya. Semuanya dilaksanakan semata-mata melaksanakan perintah Allah.

Setelah Ibrahim dan Ismail selesai meletakkan fondasi Ka’bah, mereka berdua berdoa:  Terimalah dari kami , (maksudnya ialah terimalah amal kami sebagai amal yang saleh, ridailah dan berilah pahala …)  Allah Maha Mendengar  (maksudnya: Allah Maha Mendengar doa kami), dan  Allah Maha Mengetahui  (maksudnya: Allah Maha Mengetahui niat-niat dan maksud kami membangun dan mendirikan Ka’bah ini).

Dari ayat di atas dapat diambil hukum bahwa sunah hukumnya berdoa dan menyerahkan semua amal kita kepada Allah apabila telah selesai mengerjakannya. Dengan penyerahan itu berarti tugas seorang hamba ialah mengerjakan amal-amal yang saleh karena Allah, dan Allah-lah yang berhak menilai amal itu dan memberinya pahala sesuai dengan penilaian-Nya.

Dari ayat di atas juga dapat dimengerti bahwa Ibrahim a.s. dan putranya, Ismail a.s., berdoa kepada Allah setelah selesai mengerjakan amal yang saleh dengan niat dan maksud perbuatan itu semata-mata dilakukan dan dikerjakan karena Allah.

Karena sifat dan bentuk perbuatan yang dikerjakannya itu diyakini sesuai dengan perintah Allah, maka ayah dan anak itu yakin pula bahwa amalnya itu pasti diterima Allah.

Hal ini berarti bahwa segala macam doa yang dipanjatkan kepada Allah yang sifat, bentuk dan tujuannya sama dengan yang dilakukan oleh Ibrahim a.s. dengan putranya, pasti diterima Allah pula dan pasti diberi pahala yang baik dari sisi-Nya.

Pada ayat berikutnya (128) Ibrahim a.s. melanjutkan doanya, agar keturunannya menjadi umat yang tunduk dan patuh kepada Allah. Di dalam perkataan  Muslim  (tunduk patuh) terkandung pengertian bahwa umat yang dimaksud Ibrahim a.s. itu mempunyai sifat-sifat:

  1. Memurnikan kepercayaan hanya kepada Allah. Hati seorang Muslim hanya mempercayai bahwa yang berhak disembah dan dimohonkan pertolongan hanya Allah Yang Maha Esa. Kepercayaan ini bertolak dari kesadaran Muslim bahwa dirinya berada di bawah pengawasan dan kekuasaan Allah. Allah saja yang dapat memberi keputusan atas dirinya.
  2. Semua perbuatan, kepatuhan dan ketundukan, dilakukan hanya karena dan kepada Allah saja, bukan karena menurut hawa nafsu, bukan karena ingin dipuji dan dipandang baik oleh orang, bukan karena pangkat dan jabatan, dan bukan pula karena keuntungan duniawi.

Baca juga: Meneladani Rasa Cinta Tanah Air dari Nabi Muhammad SAW. dan Nabi Ibrahim AS.


Bila kepercayaan dan ketundukan itu tidak murni kepada Allah, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung bagi mereka. Allah berfirman:

اَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُۗ اَفَاَنْتَ تَكُوْنُ عَلَيْهِ وَكِيْلًا ۙ

Sudahkah engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya? (al Furqan/25:43)

Allah membiarkan sesat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan mengunci mati hatinya, karena Allah mengetahui bahwa mereka tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya. Allah berfirman:

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةً

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? …. (al-Jasiyah/45:23)

Pada ayat 124 yang lalu, Ibrahim a.s. berdoa agar keturunannya dijadi-kan imam, Allah menjawab, “Keturunan Ibrahim yang zalim tidak termasuk di dalam doa itu.” Karena itu pada ayat 128 ini Ibrahim a.s. mendoakan agar sebagian keluarganya dijadikan orang yang tunduk patuh kepada Allah.

Dalam hubungan ayat di atas terdapat petunjuk bahwa yang dimaksud dengan keturunannya itu ialah Ismail a.s. dan keturunannya yang akan ditinggalkan di Mekah, sedang ia sendiri kembali ke Syam. Keturunan Ismail a.s. inilah yang menghuni Mekah dan sekitarnya, termasuk Nabi Muhammad saw. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah.

مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَۗ هُوَ سَمّٰىكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ ەۙ مِنْ قَبْلُ وَفِيْ هٰذَا

…. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang Muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur′an) ini… (al-Hajj/22:78)

Ibrahim dan Ismail memohon kepada Allah agar ditunjukkan cara-cara mengerjakan segala macam ibadah dalam rangka menunaikan ibadah, tempat wuqµf, tawaf, sa’i, dan sebagainya, sehingga dia dan anak cucunya dapat melaksanakan ibadah sesuai dengan yang diperintahkan Allah.

Di dalam ayat ini, Ibrahim a.s. memohon kepada Allah agar diterima tobatnya, padahal Ibrahim adalah seorang nabi dan rasul, demikian pula putranya. Semua nabi dan rasul dipelihara Allah dari segala macam dosa (ma’sum). Karena itu maksud dari doa Ibrahim dan putranya ialah:

  1. Ibrahim a.s. dan putranya Ismail a.s. memohon kepada Allah agar diampuni segala kesalahan yang tidak disengaja, yang tidak diketahui dan yang dilakukannya tanpa kehendaknya sendiri.
  2. Sebagai petunjuk bagi keturunan dan pengikutnya di kemudian hari, agar selalu menyucikan diri dari segala macam dosa dengan bertobat kepada Allah, dan menjaga kesucian tempat mengerjakan ibadah haji.

“Allah Maha Penerima tobat” ialah Allah sendirilah yang menerima tobat hamba-hamba-Nya, tidak ada yang lain. Dia selalu menerima tobat hamba-hamba-Nya yang benar-benar bertobat serta memberi taufik agar selalu mengerjakan amal-amal yang saleh.  Allah Maha Penyayang  ialah Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang bertobat dengan menghapus dosa dan azab dari mereka.

Selanjutnya Ibrahim a.s. berdoa agar Allah mengangkat seorang rasul dari keturunannya yang memurnikan ketaatan kepada-Nya, untuk memberi berita gembira, memberi petunjuk dan memberi peringatan. Allah swt mengabulkan doa Nabi Ibrahim dengan mengangkat dari keturunannya nabi-nabi dan rasul termasuk Nabi Muhammad saw, nabi yang terakhir. Rasulullah saw bersabda:

اَنَا دَعْوَةُ إِبْرَاهِيْمَ وَبُشْرَى عِيْسَى

(رواه أحمد)

Aku adalah doa Ibrahim dan yang diberitakan sebagai berita gembira oleh Isa. (Riwayat Ahmad)

Sifat dari rasul-rasul yang didoakan Ibrahim a.s. ialah:

  1. Membacakan ayat-ayat Allah yang telah diturunkan kepada mereka, agar ayat-ayat itu menjadi pelajaran dan petunjuk bagi umat mereka. Ayat-ayat itu mengandung ajaran tentang keesaan Allah, adanya hari kebangkitan dan hari pembalasan, adanya pahala bagi orang yang beramal saleh dan siksaan bagi orang yang ingkar, petunjuk ke jalan yang baik, dan sebagainya.
  2. Mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Al-Kitab ialah Al-Qur′an. Al-Hikmah ialah mengetahui rahasia-rahasia, faedah-faedah, hukum-hukum syariat, serta maksud dan tujuan diutusnya para rasul, yaitu agar menjadi contoh yang baik bagi mereka sehingga mereka dapat menempuh jalan yang lurus.
  3. “Menyucikan mereka” ialah menyucikan diri dan jiwa mereka dari segala macam kesyirikan, kekufuran, kejahatan, budi pekerti yang tidak baik, sifat suka merusak masyarakat dan sebagainya.

Ibrahim a.s. menutup doanya dengan memuji Tuhannya, yaitu dengan menyebut sifat-sifat-Nya, Yang Mahaperkasa, dan Yang Mahabijaksana. “Mahaperkasa” ialah yang tidak seorang pun dapat membantah perkataan-Nya, dan tidak seorang pun dapat mencegah perbuatan-Nya. “Maha-bijaksana” ialah Yang Maha Menciptakan segala sesuatu dan penggunaan-nya sesuai dengan sifat, guna dan faedahnya.

Dari doa Nabi Ibrahim ini dapat dipahami bahwa ia memohonkan agar keturunannya diberi taufik dan hidayah, sehingga dapat melaksanakan dan mengembangkan agama Allah, membina peradaban umat manusia dan mengembangkan ilmu pengetahuan menurut yang diridai Allah.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 130-132


(Tafsir kemenag)

Dua Dimensi Makna Puasa Menurut Sinta Nuriyah, Ragam Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183

0
puasa menurut Sinta Nuriyah
puasa menurut Sinta Nuriyah

Jika Az-Zarqani dalam Manahil Al-Irfan fi Ulumil Quran mengatakan bahwa tafsir adalah upaya untuk mendapatkan petunjuk tentang maksud Allah dalam ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan kadar kemampuan seseorang, maka pembacaan Nyai Hj. Sinta Nuriyah tentang makna puasa yang coba diulas kali ini bisa diselipkan ke dalam riuhnya penafsiran surah Al-Baqarah ayat 183. Makna puasa menurut Sinta Nuriyah meliputi dua dimensi, dimensi peribadatan spiritual dan dimensi sosial.

Mengenal Nyai Sinta Nuriyah

Perempuan kelahiran Jombang 70 tahun lalu ini merupakan sosok pejuang kemanusiaan yang tidak kenal lelah. Di usia yang tidak lagi muda beliau masih aktif di beberapa kegiatan kemanusiaan, khususnya di yayasan yang dipimpinnya, Yayasan Puan Amal Hayati, sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang advokasi dan konseling terhadap perempuan dan anak korban kekerasan.

Darah pesantren mengalir dalam dirinya, ia lahir dan besar di lingkungan pesantren. Menikah pun juga dengan orang pesantren, suaminya, KH. Abdurrahman Wahid adalah putra dari pengasuh pesantren Tebuireng, Jombang, sekaligsu cucu dari ulama besar, pendiri jamiyah besar, Nahdlatul Ulama, KH. Hasyim Asyari. Sebelum pindah ke Jakarta, kehidupan rumah tangga di masa-masa awal ia lalui di Pesantren Manba’ul Maarif, Denanyar Jombang.

Baca Juga: Menelusuri Sejarah Kewajiban Puasa Menurut Para Mufasir

Alumni Madrasah Muallimat Tambak Beras, Jombang ini mengawali pendabdiannya dengan mengajar di Pesantren Denanyar, Pesantren Tebuireng, dan Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Jombang. Tidak hanya di pesantren dengan tradisi keagamaanya yang sangat kental, Sinta Nuriyah juga bisa dengan cepat beradaptasi dengan bisingnya suasana ibu kota. Tahun 1980 ia sekeluarga pindah ke Jakarta dan di situ ia memulai karirnya yang tentu amat berbeda dengan sebelumnya.

Jurusan Qodlo’, Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga yang menjadi latar belakang pendidikannya tidak menghalangi perempuan yang sangat aktif ini untuk berkarir di dunia jurnalistik. Ia pernah menjadi seorang wartawan di majalah keluarga, “Zaman”, dan kemudian majalah pria “Matra”. Sedang untuk urusan perempuan, ibu empat orang anak ini pernah mewakili organisasi muslimat di KNKWI (Komisi Nasional Kedudukan Wanita Indonesia), juga KOWANI (Kongres Wanita Indonesia).

Keterlibatannya dalam organisasi perempuan, membuat Sinta Nuriyah tertantang untuk meyeriusi kajian tentang peran agama dalam kehidupan perempuan. Untuk itu, ia memutuskan untuk mengikuti kuliah tentang Kajian Wanita dan Gender di Universitas Indonesia. Perjuangan berat harus ditempuh nyai Sinta Nuriyah dalam menyelesaikan kuliahnya kali ini, karena di awal semester ia mengalami kecelakaan mobil yang kemudian berakibat tidak baik pada fisik beliau.

Pengalaman lain yang tidak bisa dilewatkan dari perjalanan hidup seorang Nyai Sinta Nuriyah adalah ketika ia menjadi Ibu Negara mendampingi suaminya, Gus Dur menjadi Presiden Republik Indonesia ke-4. Jika sebelumnya ia pernah memimpin pesantren dan beberapa organisasi perempuan yang terdiri dari komunitas yang masih terbatas, kali ini tidak lagi. Ia menjadi ibu dari semua rakyat Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama dan budaya.

Pengalaman-pengalaman Nyai Sinta Nuriyah, mulai dari pesantren, organisasi perempuan, dunia jurnalistik, hingga menjadi Ibu Negara ini yang kemudian memberi warna dalam spektrum pola pikir beliau, sebagaimana beliau utarakan ketika menyampaikan pidato pengukuhan pemberian gelar Doktor Honoris Causa oleh UIN Sunan Kalijaga, Desember 2019 lalu. Pola pikir tersebut yang ia bawa ketika memaknai puasa dalam surah Al-Baqarah ayat 183.

Nyai Sinta Nuriyah  juga mempunyai beberapa karya yang telah diterbitkan, antara lain Wajah Baru Relasi Suami Istri, Telaah Kitab Uqudul Lujayn, Kembang Setaman Perkawinan, Analisis Kritis Kitab Uqudul Lujayn dan lainnya.

Baca Juga: Mengulik Makna Puasa Ramadhan: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183

Makna Puasa menurut Sinta Nuriyah

Ulasan tentang makna puasa ini ia sampaikan dalam pidato ilmiah penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa oleh UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Desember 2019 silam dengan judul Inklusi dalam Solidaritas Kemanusiaan, Pengalaman Spiritualitas Perempuan dalam Kebhinnekaan.

Ayat tentang puasa dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

Dalam memaknai puasa pada ayat ini, Nyai Sinta Nuriyah tampak sekali menekankan pada awal dan akhir ayat, yaitu tentang puasa dan hubungannya dengan takwa. Menurutnya, puasa bukan hanya sebagai seremonial ibadah tahunan belaka, tapi ibadah puasa adalah media atau jalan untuk berproses menjadi manusia yang bertakwa, sebagaimana petunjuk yang tertera pada ayat.

Terinspirasi dari penjelasan Hasan Al-Bashri tentang takwa, Nyai Sinta Nuriyah meyakini bahwa ukuran takwa itu tidak hanya di hati, ketakwaan seseorang dapat dilihat dari perilakunya, yaitu ketika ia melakukan interaksi sosial dengan sesamanya. Lebih jelas lagi, ia mengatakan bahwa ketakwaan bukan hanya urusan akhirat, tetapi sangat berkaitan dengan fakta kehidupan sehari-hari, yaitu ketika berinteraksi sosial dengan sesamanya.

Dengan demikian, puasa bagi Nyai Sinta Nuriyah bukan hanya ibadah yang melibatkan Allah saja, tetapi juga erat hubungannya dengan manusia yang lain. Tidak heran kemudian jika ia memahami puasa sebagai ibadah yang mempunyai dua dimensi makna.

Puasa menurut Sinta Nuriyah mempunyai dua dimensi makna, dimensi spiritual dan dimensi sosial. Memiliki dimensi spiritual karena puasa adalah perintah dari Allah, dan seseorang yang menjalankan perintah Allah berarti ia taat dan patuh kepadaNya.

Baca Juga: Puasa, Seks dan Pakaian dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183-187

Sedangkan dimensi sosialnya adalah, puasa dapat meningkatkan empati dan solidaritas sosial terhadap sesama manusia, meningkatkan kepekaan terhadap penderitaan orang lain, menghargai kemanusiaan, dan berakhlak. makna dimensi sosial puasa ini dapat diperjelas dalam poin-poin berikut:

  1. Puasa sebagai sarana pengendalian diri, karena pada saat berpuasa seseorang harus mampu menguasai dirinya dari dorongan-dorongan yang bersifat kesenangan atau materi, karena menahan diri untuk tidak makan-minum, juga tidak berhubungan seksual, padahal sebenarnya mampu untuk melakukan semua itu.
  2. Puasa meningkatkan empati dan solidaritas sosial terhadap sesama manusia. Rasa lapar dan haus ketika berpuasa memberi kesempatan tubuh seseorang untuk ikut merasakan penderitaan orang lain yang tidak makan-minum berhari-hari.
  3. Puasa mengajarkan tentang persaudaraan sejati. Dengan melatih diri ikut merasakan penderitaan orang lain, maka mulai muncul kepedulian terhadap orang lain tersebut, tanpa memperhitungkan latar belakang agama, suku, budaya, status sosial dan seterusnya. Inilah yang sebelumnya di sebut dengan menghargai kemanusiaan, satu bentuk perilaku takwa.

Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2000, Sinta Nuriyah menyelenggarakan kegiatan sahur keliling bersama kaum dhuafa, kaum marjinal, tukang becak, pengamen, pemulung, dan semacamnya. Sangat dimungkinkan berawal dari pengalaman inilah makna dimensi sosial dari puasa diproduksi oleh seorang Sinta Nuriyah, atau kemungkinan lainnya adalah karena mengetahui dimensi sosial dari puasa maka kegiatan-kegiatan sosial bernilai kemanusiaan semakin ia semarakkan.

Memaknai puasa dengan pengendalian diri bukan hal yang baru, namun melihat puasa sebagai ajaran tentang persaudaraan sejati, memanusiakan manusia, terlebih lagi dikonkritkan dengan kegiatan sahur keliling, membuat pemaknaan puasa Nyai Sinta Nuriyah melampaui tafsir dari para mufasir dan ulama sebelumnya.

Semoga Nyai Sinta Nuriyah dan keluarga senantiasa diberi kesehatan, dan kita bisa meneladani apa yang dicontohkan beliau. Amin

Selamat Berpuasa!

Tafsir Surah Al A’raf ayat 164-167

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 164-167 khususnya pada ayat 166 dikisahkan bahwa Bani Israil yang zalim dan ingkar kepada Allah diazab menjadi kera yang hina.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 161-163


Ayat 164 

Sikap segolongan nenek-moyang Bani Israil yang mencela segolongan Bani Israil yang lain, yaitu memperingatkan Bani Israil yang telah mengingkari perintah Allah dan tidak menghentikan larangan-Nya. Dalam ayat ini dipahami pula bahwa tidak semua nenek-moyang Bani Israil mengabaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya pada hari Sabat itu, ada di antara mereka yang melaksanakannya.

Dari ayat ini juga dapat diketahui bahwa dalam menyikapi perintah dan larangan Allah mereka terbagi kepada tiga kelompok, yaitu:

  1. Kelompok yang mengabaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya pada hari Sabat.
  2. Kelompok yang memberi nasihat pada kelompok yang mengabaikan perintah Allah dan melanggar larangan-Nya.
  3. Kelompok yang membantah tindakan kelompok yang memberi nasihat itu.

Kelompok kedua mengatakan kepada kelompok ketiga: “Kami memberi pelajaran kepada mereka itu, adalah untuk membebaskan diri dari perbuatan dosa dan untuk melaksanakan tugas kami, yaitu mencegah perbuatan yang mungkar. Kami berharap agar orang-orang yang durhaka itu sadar dan kembali ke jalan yang benar dan lurus”.

Ketika Bani Israil tetap membangkang dan tidak mau kembali ke jalan Allah, dan tetap mengabaikan nasihat-nasihat yang telah diberikan, maka Allah menimpakan azab yang berat kepada mereka dan menyelamatkan orang-orang yang memberi nasihat tersebut.

Sebagian ulama berpendapat bahwa azab Allah tidak menimpa golongan ketiga, sedang sebagian ulama lagi berpendapat bahwa azab itu juga menimpa golongan ketiga, karena yang taat itu hanyalah golongan kedua saja, sedangkan golongan ketiga tidak melarang dari mengerjakan perbuatan yang mungkar, bahkan membantah dan menyalahkan orang yang melarang mengerjakan perbuatan yang mungkar.

Ayat 165

Orang yang melanggar ketentuan-ketentuan Allah pada hari Sabat itu disebut “Orang-orang yang melupakan peringatan”. Maksudnya ialah orang-orang yang tidak menghiraukan ancaman-ancaman Allah yang ditujukan kepada orang-orang yang ingkar kepada-Nya, tidak mengindahkan nasihat dan peringatan-Nya, dan tidak melaksanakan ajaran-ajaran-Nya. Bahkan telah berpaling dari ajaran itu. Seolah-olah mereka telah melupakannya dan tidak ada bekas sedikit pun dalam diri mereka tentang peringatan yang telah diberikan itu.

Karena itu, Allah menegaskan bagi mereka berlaku Sunnatullah, yaitu Allah menyelamatkan orang-orang yang taat kepada-Nya, dan mengazab orang-orang yang fasik dan durhaka, Allah menerangkan bahwa Bani Israil itu diazab bukanlah semata-mata karena kefasikan mereka yang melanggar ketentuan-ketentuan Allah pada hari Sabtu itu, tetapi juga perbuatan-perbuatan fasik yang selalu mereka kerjakan. Menurut Sunnatullah pula bahwa Dia mengazab orang-orang yang durhaka secara langsung di dunia, karena perbuatan dosa yang telah mereka lakukan, sebagaimana firman Allah swt:

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِظُلْمِهِمْ مَّا تَرَكَ عَلَيْهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ

Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata sekalipun…. (an-Nahl/16: 61);

Dan Allah memaafkan sebagian besar kesalahan-kesalahan hamba-hamba-Nya seperti dalam firman-Nya:

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ

Dan apa saja musibah apa pun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu). (asy-Syura/42: 30);

Dalam ayat ini Allah akan langsung mengazab satu umat atau bangsa di dunia sebelum mereka menerima azab di akhirat, jika kezaliman umat atau bangsa itu besar pengaruhnya dan sukar menghilangkannya pada kehidupan manusia dan kemanusiaan, sebagaimana dinyatakan Allah dalam firman-Nya:

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ 

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya  menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat  keras siksa-Nya.” (al-Anfal/8: 25);

Azab yang dimaksud telah ditimpakan kepada umat-umat yang terdahulu yang mengingkari seruan Nabi-nabi yang diutus kepada mereka.

Ayat 166

Ketika Bani Israil bertambah kezalimannya tidak mengindahkan nasihat-nasihat, maka Allah mengazab mereka dengan menjadikan mereka sebagai kera yang hina. Menurut para mufassirin merupakan tafsiran dari perkataan “azab yang sangat pedih” yang terdapat pada ayat di atas. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa hal ini merupakan azab yang lain yang ditimpakan Allah di samping azab yang pedih itu.

Para mufassir berbeda pendapatnya tentang: Apakah Bani Israil itu dijadikan kera yang sebenarnya atau hanya sifat dan watak mereka saja yang seperti kera, sedang badan mereka seperti badan manusia biasa. Jumhur ulama berpendapat bahwa mereka benar-benar menjadi kera, seperti kera yang sebenar-benarnya. Akan tetapi tidak beranak, tidak makan, tidak minum dan tidak hidup lebih dari tiga hari.

Menurut Mujahid yang diriwayatkan dari Ibnu Jarir dan pendapat al-Manar: Rupa mereka tidak ditukar menjadi kera, tetapi hati, jiwa dan sifat merekalah yang diubah menjadi kera. (uraian lengkapnya lihat Tafsir Surah al-Baqarah/2: 65).

Ayat 167

Nabi Muhammad dalam ayat ini diingatkan oleh Allah tentang pemberitahuan-Nya kepada orang-orang Yahudi, bahwa Dia akan mengirimkan manusia lain yang lebih perkasa dari mereka untuk menjajah dan menyiksa mereka. Mereka selalu akan hidup dalam kehinaan dan penderitaan sampai akhir zaman, disebabkan tindakan mereka yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam sejarah telah terbukti dengan jelas ancaman Allah tersebut. Sesudah zaman Nabi Sulaiman, bangsa Yahudi diperangi oleh bangsa Babilonia di bawah raja Nebukadnezar, mereka hancur, laki-laki banyak yang dibunuh dan wanita-wanitanya banyak yang dijadikan hamba sahaya. Banyak pula di antara mereka yang di bawa ke Babilonia sebagai tawanan, sesudah itu mereka dijajah berganti-ganti oleh bermacam-macam kerajaan, karena itu mereka mengalami penderitaan berabad-abad lamanya akibat peperangan yang tak henti-hentinya. Akhirnya mereka jatuh ke tangan bangsa Romawi sampai zaman Nabi Isa.

Zaman Romawi Kristen mereka tidak mempunyai kekuasaan lagi, bahkan mereka diusir dari negeri mereka dan terpencar-pencar di beberapa negeri. Sebagian mereka melarikan diri ke Jazirah Arab. Tinggallah mereka di daerah ini dengan aman. Tetapi kemudian sesudah agama Islam datang, mereka memusuhi Nabi Muhammad. Padahal beliau telah memberikan kebebasan kepada mereka hidup di daerah Islam berdasarkan perjanjian dengan mereka. Karena sikap permusuhan dan pengkhianatan mereka, terpaksa kaum Muslimin mengusir mereka dari daerah Islam. Ada pula di antara mereka yang dibunuh atau terbunuh karena berpihak kepada kaum musyirikin waktu peperangan (Perang Ahzāb).

Pada abad ke 20, mereka mengalami penderitaan yang tak terperikan. Dalam perang dunia kedua yang lalu, banyak orang Yahudi menjadi korban kekuasaan Nazi Jerman. Di Amerika, di Eropa dan di Rusia, dewasa ini mereka masih banyak mengalami penghinaan. Meskipun orang Yahudi sekarang sudah mempunyai tanah air (Negara Israel) namun mereka tetap dalam penderitaan, karena sikap mereka juga, disebabkan umat manusia di dunia ini, terutama umat Islam memusuhi mereka.

Negara Israel itu dibentuk dengan mengusir rakyat Palestina yang menjadi penduduk asli negara tersebut. Demikianlah nasib bangsa Yahudi itu. Sesungguhnya hukum Allah berlaku terhadap umat yang mendurhakai perintah-perintah-Nya dan membuat onar. Tetapi pengampunan dan kasih sayang Allah sangatlah besar dan luas bagi mereka yang taubat dari dosanya, kembali ke jalan Allah dengan penuh kesadaran, dan dengan jalan mengadakan perbaikan. Allah pasti menghapus penderitaan mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 168-172


 

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 99-100

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Adapun Tafsir Surah At Taubah Ayat 99-100 menjelaskan tentang orang Arab Badui bahwa di antara orang-orang Arab Badui itu ada yang beriman kepada Allah dan hari kemudian dengan selalu berusaha memelihara keimananan itu, merek berinfak sebagai sarana untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah. Merekalah orang-orang yang bertaubat dan Allah Maha Rahmat lagi Pengampun bagi hambanya yang demikian.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 96-98


Tafsir Surah At Taubah Ayat 99-100 mengaktegorikan orang Arab Badui sebagai sekelompok hamba yang imannya lemah, sedangkan kelompok lain yang lebih kuat imannya dikenal dengan sebutan Assabiqunal Awwalun, mereka adalah yang terdahulu beriman kepada nabi, dan lebih dulu juga dalam melaksanakan amal-amal kebajikan. Dan Allah telah menyiapkan balasan yang lebih besar kepada mereka, berupa syurga dengan pelayanan yang istimewa.

Ayat 99

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tidak semua orang Arab Badui mempunyai sifat-sifat kekufuran dan kemunafikan seperti tersebut di atas. Bahkan sebagian dari mereka itu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dengan keimanan yang teguh.

Mereka yakin tentang kemahakuasaan Allah atas semua makhluk-Nya, dan yakin pula tentang adanya hari akhir, di mana setiap orang akan menerima balasan atas semua perbuatan yang telah dilakukannya selama hidup di dunia.

Di samping keimanan kepada Allah dan hari akhir, mereka juga menginfakkan harta  mereka di jalan Allah.

Apa yang mereka infakkan itu mereka pandang sebagai suatu jalan atau cara untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan doa Rasulullah saw, karena Rasulullah senantiasa mendoakan kebaikan untuk orang-orang yang suka bersedekah dan menginfakkan harta bendanya di jalan Allah. Rasulullah saw juga selalu memohonkan ampun kepada Allah untuk mereka.

Doa kepada Allah adalah suatu perbuatan baik yang dapat dilakukan oleh seseorang untuk memintakan  manfaat kepada Allah bagi orang lain. Misalnya doa dari anak yang saleh untuk ibu bapaknya. Menurut keterangan Mujahid, orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah Bani Muqrin dari kabilah Muzayyanah.

Selanjutnya ayat ini menjelaskan bahwa keimanan dan keikhlasan mereka serta infak yang mereka berikan dengan niat yang suci diterima Allah sebagai amal saleh yang bisa mendekatkan diri mereka kepada-Nya.

Allah akan memberikan pahala kepada mereka, yaitu dengan mengaruniakan kepada mereka rahmat yang khusus diberikannya kepada orang-orang yang diridai-Nya, berupa petunjuk ke jalan yang lurus yang harus mereka tempuh agar mereka bisa masuk surga Jannatun-na’im. Di sini mereka akan hidup bahagia dalam naungan rahmat dan kasih sayang-Nya.

Adanya orang-orang Arab Badui yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya karena menggunakan pikiran dan hati nurani, menunjukkan betapa rendahnya kedudukan orang-orang kafir dan orang-orang munafik yang berdiam di kota-kota yang selalu hidup bergaul dengan orang-orang pandai dan mendengar pelajaran-pelajaran yang baik, namun hati mereka tetap tertutup tidak mau beriman.

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa rahmat Allah dan ampunan-Nya amat luas untuk orang-orang yang ikhlas dalam beramal. Allah akan mengampuni mereka dari dosa-dosa dan kelalaian yang telah mereka perbuat. Allah akan menunjukkan mereka kepada perbuatan yang baik dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.


Baca Juga : Tips Agar Ikhlas dalam Berbuat Baik: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 77


Ayat 100

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang yang pertama-tama masuk Islam, baik dari kalangan Muhajirun yang berhijrah dari Mekah ke Medinah, maupun dari kalangan Anshar, yaitu penduduk kota Medinah yang menyambut dengan baik kedatangan Rasulullah dan Muhajirun, dan begitu pula para sahabat yang lain yang mengikuti perintah Rasulullah dengan sebaik-baiknya.

Ketiga golongan ini merupakan orang-orang mukmin yang paling tinggi martabatnya di sisi Allah, disebabkan keimanan mereka yang teguh, serta amal perbuatan mereka yang baik dan ikhlas, sesuai dengan tuntutan Rasulullah saw.

Allah senang dan rida kepada mereka, sebaliknya mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan pahala yang amat mulia bagi mereka, yaitu surga Jannatun-na’im yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, di sana mereka akan memperoleh kenikmatan yang tidak terhingga. Mereka akan kekal di sana selama-lamanya. Itulah kemenangan terbesar yang akan mereka peroleh.

Yang dimaksud dengan as-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin ialah mereka yang telah berhijrah dari Mekah ke Medinah sebelum terjadinya “Perjanjian Hudaibiyah, karena sebelum perjanjian tersebut, kaum musyrikin senantiasa mengusir kaum Muslimin dari kampung halaman mereka, dan membunuh sebagian dari mereka, serta menghalang-halangi siapa saja yang ingin berhijrah.

Tidak ada cara lain bagi seorang mukmin untuk menyelamatkan diri dari kejahatan kaum musyrikin, kecuali menjauhkan diri dari mereka, atau menyerah kepada kehendak dan kemauan mereka.

Orang-orang yang memilih cara yang pertama, yaitu meninggalkan kota Mekah dan hijrah ke Medinah adalah orang-orang yang benar-benar beriman, tidak ada seorang munafikpun di antara mereka. Mereka meninggalkan kampung halaman karena keimanan yang murni, keikhlasan, dan perjuangan untuk menegakkan agama Islam.

Dikenal juga sebagai as-Sabiqµnal Awwalµn yaitu orang-orang yang pertama masuk Islam dan menyatakan imannya kepada Nabi Muhammad saw, dari kalangan keluarga adalah Siti Khadijah, ‘Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah. Sedang dari kalangan luar ialah Abu Bakar Ash- Shiddiq, orang yang menemani Rasulullah saw waktu hijrah ke Medinah.

Di samping itu, terdapat pula para sahabat yang dikelompokkan dalam as-S±biqµnal Awwalµn yang oleh Rasulullah saw telah dinyatakan sebagai orang-orang yang pasti masuk surga. Di antara mereka adalah Utsman bin Affan, Hamzah, dan lainnya.

Yang dimaksud dengan golongan pertama, as-Sabiqµnal Awwalun dari kalangan An¡ar ialah penduduk kota Medinah yang telah menyatakan ikrar kesetiaan mereka kepada kerasulan Muhammad saw di Aqabah, suatu tempat di Mina, pada tahun ke-11 dari kerasulan Muhammad saw.

Ketika itu mereka berjumlah tujuh orang. Kemudian pada periode berikutnya, yaitu pada tahun ke-12, terjadi pula ikrar kesetiaan di tempat yang sama, yaitu Aqabah, kali ini diikuti tujuh puluh orang lelaki dan dua orang perempuan.

Jejak mereka diikuti oleh yang lainnya setelah mereka didatangi oleh utusan Rasulullah yang bernama Abu Zurarah Mush’ab bin ‘Umar bin Hasyim yang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan mengajarkan pengetahuan agama kepada mereka.

Demikian pula, termasuk kelompok as-Sabiqµnal Awwalun ialah mereka yang telah beriman pada saat tibanya Rasulullah di Medinah.

Kekuatan dan persatuan Islam tumbuh dan berkembang sesudah Rasulullah hijrah ke Medinah. Pada saat itulah muncul kaum munafik yang berpura-pura menyokong agama Islam. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah yang turun mengenai hal ikhwal Perang Badar yang terjadi pada tahun kedua Hijri. Firman Allah:

اِذْ يَقُوْلُ الْمُنٰفِقُوْنَ وَالَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ غَرَّ هٰٓؤُلَاۤءِ دِيْنُهُمْۗ

 (Ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata, “Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu agamanya.   (al-Anfal/8: 49)

Dalam kelompok orang-orang munafik yang disebutkan dalam ayat ini, tidak terdapat seorangpun dari kalangan kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang mendapat gelar as-Sabiqun al-Awwalun seperti yang tersebut di atas, walaupun kaum An¡ar itu semuanya berasal dari Bani ‘Aus dan Khazraj.

Yang dimaksud dengan golongan kedua, الذين اتبعوهم باحسان “allazinat tabu’uhum bi ihsan (orang-orang  yang telah mengikuti kaum as-Sabiqµnal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar dengan baik) ialah mereka yang ikut berhijrah ke Medinah dan berjuang menegakkan agama Islam.

Atau mereka yang membuktikan satunya perbuatan dan perkataan setelah mendapatkan bimbingan dan pelajaran dari kaum as-Sabiqunal Awwalµn dari kalangan Muhajirun dan Anshar, yang merupakan pemimpin-pemimpin yang layak diikuti, dan dijadikan suri teladan dalam tingkah laku, perbuatan, ucapan, dan perjuangan menegakkan agama Allah.

Singkatnya mereka adalah orang-orang yang mengikuti as-Sabiqunal Awwalun dalam ketaatan dan ketakwaan sampai Hari Kiamat.

Adapun golongan ketiga, yaitu orang-orang yang munafik hanya mengikuti jejak as-sabiqunal Awwalun secara lahiriyah semata, tidak dengan niat yang tulus atau hanya mengikutinya dalam beberapa hal saja, sedang dalam hal-hal lainnya mereka mengingkarinya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 101-102