Beranda blog Halaman 345

Tafsir Surah Al A’raf ayat 161-163

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 161-163 ini masih mengisahkan tentang Bani Israil. Sedangkan ayat 163 pada Tafsir Surah Al A’raf ayat 161-163 diturunkan di Makkah.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 158-160


Ayat 161-162

Tafsir Surah Al A’raf ayat 161-162 pada Ayat 161 dan 162 Surah al-A‘rāf ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari ayat 58 dan 59 Surah al-Baqarah bahkan merupakan kelengkapan dan penjelasan dari ayat tersebut. Pada ayat 58 dan 59 Surah al-Baqarah Allah memerintahkan agar Bani Israil memasuki Baitul Maqdis dengan menundukkan diri sebagai tanda ketaatan dan tanda bersyukur kepada Allah, karena mereka telah selamat dari pengejaran musuh, dan selamat pula dalam perjalanan yang amat berat dan sulit itu, dan selanjutnya memohonkan ampunan kepada Allah dari segala dosa yang telah mereka perbuat. Jika mereka lakukan semua perintah itu. Allah akan mengampuni segala dosa dan kesalahan mereka dan akan memberikan tambahan karunia dan pahala kepada mereka.

Pada ayat 161 dan 162 Surah al-A‘rāf ini dipahami bahwa Bani Israil telah memasuki Baitul maqdis sebagaimana yang diperintahkan Allah itu. Juga mereka diperintahkan Allah agar berdiam dan menetap di negeri itu. Akan tetapi orang-orang zalim di antara mereka tidak melaksanakan perintah-perintah Allah dengan sempurna, bahkan mereka telah melakukan perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perintah itu, walaupun perintah itu datangnya dari penolong yang membebaskan mereka dari kesengsaraan dan kesulitan.

Mereka dengan mudah memutarbalikkan perintah-perintah itu. Mereka memasuki Baitul Maqdis tidak dengan merendahkan diri, dan mereka tidak memohon agar dibebaskan dari dosa. Akibat keingkaran dan pembangkangan mereka itu, mereka ditimpa azab yang berat. Menurut sebagian ahli tafsir, azab yang ditimpakan kepada mereka itu ialah berupa wabah penyakit kolera yang berjangkit dan menular sebagian mereka.

Ayat 163

Ayat ini diturunkan di Mekah, pada saat agama Islam mulai disiarkan dan disampaikan Nabi Muhammad saw, yang  waktu itu beliau belum pernah berhubungan langsung dengan ulama-ulama Yahudi, dan beliau adalah seorang yang tidak tahu menulis dan membaca, sebagaimana firman Allah swt :

وَمَا كُنْتَ تَتْلُوْا مِنْ قَبْلِهٖ مِنْ كِتٰبٍ وَّلَا تَخُطُّهٗ بِيَمِيْنِكَ اِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُوْنَ 

“Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Qur’an) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkari.” (al-‘Ankabut/29: 48)

Ayat ini menunjukkan kemukjizatan Al-Qur’an yang menerangkan berita, peristiwa, atau kejadian yang telah terjadi pada masa yang lalu, tanpa seorang pun yang memberikan beritanya, selain dari Tuhan Yang Mahatahu.

Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad agar beliau menerangkan kepada orang Yahudi di Madinah pada waktu itu, tentang tindakan yang telah dilakukan oleh nenek-moyang mereka, yang selalu mengingkari seruan para Nabi, walau bukti-bukti apa pun yang telah dikemukakan kepada mereka. Yang menceritakan  tentang tindakan dan sikap nenek-moyang mereka itu adalah Nabi Muhammad seorang Nabi yang buta huruf, belum pernah berhubungan dengan orang-orang Yahudi pada waktu menerima ayat ini. Apakah hal ini tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa Muhammad benar-benar utusan Allah?

Qaryah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sebagai berikut: ada yang menyebut Ailah, ada juga yang menyebutkan Tobaiah dan ada juga yang menyebut kota lain.Pada masa dahulu nenek-moyang Bani Israil yang berdiam di Ailah, suatu kota di pantai Laut Merah antara kota Madyan dan Sinai yang bermata pencaharian menangkap ikan, pernah diuji dan dicoba oleh Allah, untuk menguji keimanan dan ketaatan mereka.

Mereka diperintahkan melakukan ibadah pada tiap Sabtu, dan dilarang menangkap ikan pada hari itu. Ketika ikan banyak bermunculan di permukaan air (laut) pada hari Sabtu yang nampak jinak dan mudah ditangkap, mereka melanggar larangan Allah pada hari tersebut untuk menangkap ikan dan tidak melakukan ibadah sebagaimana yang diperintahkan Allah pada hari itu.

Demikianlah Allah memberi ujian dan cobaan kepada Bani Israil. Mereka tidak tahan dan tidak tabah menghadapinya, bahkan mereka melanggar larangan Allah dan tidak melaksanakan perintah-Nya. Karena sikap dan tindakan mereka, maka bagi mereka berlaku Sunnatullah (ketentuan Allah), yaitu barang siapa yang menaati perintah Allah dan menghentikan larangan-Nya akan dianugerahi kenikmatan hidup di dunia dan di akhirat. Sebaliknya barang siapa yang ingkar kepada-Nya akan sengsara hidupnya di dunia, sedangkan di akhirat mereka mendapat azab yang pedih. Tentu Sunnatullah ini berlaku pula terhadap orang-orang yang fasik dan orang-orang Yahudi yang berada di Medinah, seperti yang berlaku pada nenek-moyang mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 164-167


 

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 96-98

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 96-98 kembali menegaskan sikap kaum munafik, bahwa mereka akan selalu mengucapkan sumpah palsu untuk meyakinkan Nabi, dan mereka tidak malu menggunakan nama Allah dalam sumpah mereka. Padahal Allah mengetahui apa yang mereka lakukan, dan mengecam tindakan mereka tersebut.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 93-95


Hal lain yang diulas dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 96-98 adalah perbedaan antara munafik Badui dan munafik Perkotaan. Meski mereka sama-sama golongan muanfik, namun kaum munafik Badui masih mau bergaul dan mengambil pelajaran ditempat mereka singgah. Namun, sikap baik mereka hanyalah untuk riya saja, dan mereka pun selalu berharap kehancuran bagi kaum Mukminin.

Ayat 96

Ayat ini menegaskan sekali lagi bahwa kaum munafik itu akan bersumpah dengan nama Allah untuk meminta maaf kepada Rasulullah dan kaum Muslimin agar beliau dan  kaum Muslimin rida (senang) kepada mereka serta  memaafkan  segala  kesalahan  mereka.

Sesudah itu Allah menegaskan, bahwa tidak sepatutnya Rasulullah dan kaum Muslimin senang dan rida kepada kaum munafik, karena Allah sendiri tidak senang kepada kaum yang fasik.

Kemurkaan Allah kepada kaum munafik adalah disebabkan karena keingkaran dan sifat-sifat jelek mereka. Andaikata ada di antara orang-orang mukmin itu orang yang bersimpati, kepada kaum munafik maka orang itu pun akan ditimpa kemurkaan Allah.

Akan tetapi, bila kaum munafik itu  bertobat dan memohon ampun kepada Allah serta meninggalkan kemunafikan dan sifat-sifat jelek mereka sebelum ajal mereka tiba, maka Allah akan menerima  tobat mereka dan memberikan ampunan atas dosa-dosa yang telah mereka perbuat.;

Ayat 97

Dalam  ayat  ini  dijelaskan   bahwa  kekafiran  dan  kemunafikan  orang-orang Arab Badui, lebih hebat dari pada kekafiran dan kemunafikan orang-orang Arab yang telah berbudaya yang hidup menetap di kota-kota dan di desa-desa.

Orang Arab Badui itu hidup di padang pasir, selalu   berpindah-pindah, dalam lingkungan alam yang tandus, jauh dari sebab-sebab kemajuan, dan jauh dari bimbingan para ulama, sehingga mereka jarang mendapatkan pelajaran mengenai Al-Qur′an dan Hadis. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila mereka tidak mengetahui hukum-hukum yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya.

Dalam penjelasan ayat ini terdapat suatu sindiran bagi orang-orang yang hidup di kota, bahwa mereka itu seharusnya lebih berpengetahuan dan lebih maju dari orang-orang Badui.

Sebab mereka itu dapat bergaul dan menimba pelajaran dari kaum cendekiawan, apabila tidak demikian halnya maka  mereka ini sama dengan orang-orang Badui yang hidupnya mengembara dan jauh dari bimbingan para ulama.

Ibnu Ka£ir mengatakan bahwa orang-orang Arab Badui bersifat kasar dan keras, maka Allah tidak mengutus seorang Rasul pun dari kalangan mereka. Dalam hal ini Allah telah berfirman:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ مِّنْ اَهْلِ الْقُرٰىۗ

Dan Kami tidak mengutus sebelummu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. (Yusuf/12: 109)

Pada akhir ayat ini ditegaskan bahwa Allah Mahatahu hal ihwal hamba-Nya, beriman atau kafir, jujur maupun munafik, dan Dia amat bijaksana dalam menetapkan syari’at dan hukum-hukum-Nya, dan dalam memberikan balasan kepada hamba-hamba-Nya, baik berupa surga Jannatun-na’im ataupun azab neraka yang amat pedih.


Baca Juga : Al-Quran dan Faktor Kemunculan Ilmu Nahwu


Ayat 98

Dalam ayat ini diterangkan contoh lain dari sifat orang Badui yang munafik, yaitu mereka yang menyumbangkan sebagian dari harta benda mereka untuk berjihad di jalan Allah, akan tetapi dengan jalan riya.

Mereka menganggap harta benda yang mereka berikan, baik karena ketaatan mereka maupun karena terpaksa demi menjaga keselamatan diri dan kaum mereka dari hal-hal yang tidak mereka inginkan.

Mereka memandang bahwa infak tersebut sama sekali tidak mendatangkan kemanfaatan apapun bagi mereka di akhirat kelak, karena mereka tidak beriman pada adanya hari kebangkitan, di mana setiap orang akan menerima balasan atas segala perbuatan yang telah dilakukannya di dunia ini. Menurut keterangan Ibnu Zaid, orang-orang yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah Bani Asad dan Bani Gathafan.

Selain sifat-sifat jelek di atas, orang-orang munafik tersebut selalu mengharapkan dan menanti-nanti datangnya malapetaka yang menimpa kaum Muslimin sehingga kekuatan mereka menjadi lemah. Bila hal itu terjadi, maka orang-orang munafik itu tidak perlu lagi menyumbangkan harta benda mereka untuk kepentingan jihad.

Dalam kenyataannya, mereka selalu menunggu-nunggu agar kaum musyrik dan Yahudi dapat mengalahkan kaum Muslimin. Akan tetapi, setelah tipu daya mereka tidak membawa hasil, maka mereka menunggu wafatnya Rasulullah saw, karena mereka menganggap bahwa dengan wafatnya Rasulullah agama Islampun akan sirna dan lenyap dari muka bumi.

Karena sikap dan pandangan mereka yang semacam itu, maka dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa merekalah yang akan ditimpa malapeka itu, sedang kaum Muslimin tidak akan mengalami malapetaka bahkan mereka akan memperoleh pertolongan dari Allah.

Di samping itu, musuh-musuh Islam akan menemui kegagalan serta ditimpa azab di dunia ini sebelum mendapat azab yang lebih hebat di akhirat kelak.

Pada akhir ayat ini kembali ditegaskan bahwa Allah Maha Mendengar segala ucapan hamba-Nya, yang mengekpresikan perasaan hatinya dan mengetahui rahasia yang terkandung dalam hati mereka, apakah itu berbentuk keimanan atau kekafiran, keikhlasan atau kemunafikan. Allah akan memberikan balasan kepada mereka akibat ucapan dan perbuatan mereka itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 99-100


 

Urgensi Salat dan Beda Pendapat tentang Makna Salat Wustha

0
Urgensi salat dan makna salat wustha
Urgensi salat dan makna salat wustha

Islam agama yang dibangun dengan lima pondasi penting; mengucapkan dua kalimat syahādat, mengerjakan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menunaikan haji ke Baitullah. Tidak sedikit ayat-ayat Al-Quran maupun sunnah yang telah menjelaskan tentang ini. Begitu juga dengan salat. Salat merupakan pembahasan yang tidak akan pernah terlepas dari Al-Quran dan Sunnah. Bahkan, terdapat satu salat fardu yang dianggap paling utama, yang disebut dengan salat wustha dalam Al-Quran.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Ke Manakah Kita Mengarahkan Pandangan Mata saat Salat?

Al-Quran mengajarkan pola hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam di sekitarnya. Jika hubungan dengan sesama manusia merupakan hubungan horizontal, maka salat adalah hubungan manusia dengan Allah secara vertikal dan ini merupakan titik sentral dan sebagai pondasi utama atau tiang dalam beragama Islam. Kedudukan salat bagi orang mukallaf hukumnya wajib.  Karena pentingnya melaksanakan dan  memelihara salat ini orang-orang muslim tidak boleh meninggalkannya meski dalam keadaan bagaimanapun, dalam suasana kehawatiran terhadap jiwa, harta, atau kedudukan. Dalam keadaan udzur salat dapat dilakukan menurut cara yang mungkin dilakukan, baik dalam keadaan berjalan kaki, berkendaraan, atau sakit, jelas Hasbi As-Shaddiqi dalam bukunya “Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran”. Allah Swt telah berfirman dalam QS. Al-‘Ankabut[29]: 45,

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ

Dan irikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.

Dalam ayat di atas menjadi landasan bahwa salat merupakan prioritas. Bisa dicermati bahwa dalam lafazh aqim     merupakan sighat amr yang mengandung makna perintah, dan amr pada asalnya mengandung hukum wajib/ (اَلْأَصْلُ فِي الْأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ). Rasulullah Saw juga menjelaskan betapa pentingnya salat, sehingga salat adalah amal yang pertama kali di-hisab pada hari kiamat. Dijelaskan dalam Kitab Riyādhus Shālihīn, Kitāb al-Fadhāil, Bab 193 tentang perintah menjaga salat wajib dan larangan serta ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah Saw bersabda:

إنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ العَبْدُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلاَتُهُ ، فَإنْ صَلُحَتْ ، فَقَدْ أفْلَحَ وأَنْجَحَ ، وَإنْ فَسَدَتْ ، فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، فَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ ، قَالَ الرَّبُ – عَزَّ وَجَلَّ – : اُنْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ ، فَيُكَمَّلُ مِنْهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الفَرِيضَةِ ؟ ثُمَّ تَكُونُ سَائِرُ أعْمَالِهِ عَلَى هَذَا.

“Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi. Jika berkurang sedikit dari shalat wajibnya, maka Allah Ta’ala berfirman, “Lihatlah apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah”. Maka disempurnakanlah apa yang kurang dari shalat wajibnya. Kemudian begitu pula dengan seluruh amalnya” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan hadits tersebut hasan.) [HR. Tirmidzi, no. 413 dan An-Nasa’i, no. 466. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.]

Begitu juga Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah[2]: 238,

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthā. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.

Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan dalam tafsirnya Marah Labid (Juz I hlm 236) bahwa memelihara semua shalat di dalam ayat tersebut adalah shalat lima waktu dengan menunaikannya secara tepat waktu memenuhi semua rukun dan persyaratannya. Pada lafazh “hafidzu” di sana merupakan shigat fi’il amr dari tsulātsi mazhīd 1 huruf dengan bina li al-musyārakah (saling), artinya ketika dikatakan kepada hamba “Peliharalah salat agar Tuhan yang memerintahkanmu untuk salat memeliharamu.” Selain itu, adakalanya diartikan dengan hal yang berkaitan antara hamba yang bersangkutan dan salatnya, misalnya dikatakan kepadanya, “Peliharalah salat agar salat memeliharamu.” Ini memberikan kepada kita sebuah refleksi tentang esensi dari prioritas menjaga dan memelihara salat tersebut.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Hukum Salat Malam bagi Nabi Muhammad Saw

Lalu dalam ayat berikutnya, Syekh Nawawi al-Bantani menjelaskan (Dan periharalah salat wustha) yakni salat yang mempunyai kelebihan. Ini menjadi sebuah pertanyaan besar, “ada apa dengan salat wustha?”. Menurut pendapat ‘Ali Ra, Umar Ra, Ibn ‘Abbas, Jabir, dan Abu Umamah al-Bahili yang berasal dari kalangan para sahabat; Tawus, ‘Ata’ ‘Ikrimah, dan Mujahid yang berasal dari kalangan tabi’īn; dan Imam Syafi’i, salat yang dimaksud adalah salat Shubuh. Mereka berasumsi bahwa ini disebabkan karna permulaan waktunya jatuh ketika cuaca masih gelap sehingga menyerupai salat malam hari, sedangkan pengujung waktunya jatuh ketika hari sudah terang, sehingga menyerupai salat siang hari. Selain itu, disebabkan salat shubuh terpisah, tidak bergandengan dengan waktu salat lainnya dan salat shubuh disaksikan karena ditunaikan dihadapan malaikat malam hari dan malaikat siang hari.

Akan tetapi menurut pendapat lain, salat yang dimaksud di sini yakni salat Ashar sebagaimana dikatakan di dalam riwayat dari ‘Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan Abu Hurairah. Ini disebabkan bahwa salat itu terletak di antara salat yang mempunyai rakaat genap dan salat yang mempunyai rakaat yang ganjil. Selain itu waktu Ashar merupakan waktu salat yang paling samar, masuk waktunya tidak begitu jelas, kecuali dengan pandangan yang teliti dan memerlukan pemikiran untuk memutuskan masuk waktunya melalui keadaan bayangan sinar matahari. Karena untuk mengetahui waktunya diperlukan energi yang lebih atau agak berat, sehingga keutamaan yang dimilikinya lebih banyak.

Baca juga: Menelusuri Sejarah Kewajiban Puasa Menurut Para Mufasir

Ini juga erat kaitannya dengan penjelasan dalam QS. Al-‘Ashr [103]:1 bahwa waktu ashar di mana pada waktu sangat banyak sekali keajaiban. Menurut Wahbah az-Zuhaily dalam tafsirnya al-Munir (Juz 15 hlm 662) menjelaskan bahwa maksud ‘ashr di dalam ayat ini adalah salat Ashar atau waktunya, demi mengagungkan dan karena kemuliaan dan keutamaan waktu Ashar tersebut. Oleh karena itu, ash-shalat al-wusthā ditafsiri dengan ayat tersebut menurut kebanyakan ulama. Dalam ayat ini juga terdapat isyarat bahwa, sisa umur dunia adalah antara Ashar sampai Maghrib.

Sebagian ulama fiqih mengatakan bahwa Ashar memang pertengahan, tetapi yang disebutkan di dalam Al-Quran bukanlah salat Ashar. Terlepas dari itu semua, segolongan ulama memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan salat wushtā adalah salah satu dari salat yang lima waktu itu, tetapi tidak ditentukan.

Ini memberikan indikasi kepada kita semua bahwa Allah dengan sengaja menyamarkan untuk memberikan semangat kepada para hamba agar memelihara semua salat sebagaimana Dia menyembunyikan lailatulkadar pada bulan Ramadhān, menyembunyikan saat doa diijabah pada hari Jum’at, dan menyembunyikan Ism al-A’zam-Nya di dalam semua asma agar mereka memelihara semuanya. Selain itu, Dia menyembunyikan waktu kematian pada semua waktu agar orang mukallaf merasakan takut sehingga terus-menerus melakukan amal shalih dan taat kepada-Nya.

Wallahu ‘alam bisshawwab.

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 93-95

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Adapun Tafsir Surah At Taubah Ayat 93-95 berbicara tentang kecaman Allah kepada mereka yang mampu baik secara fisik dan materi untuk ikut andil dalam berjihad, namun mereka justru meminta izin agar tidak ikut berperang, hal yang demikian tidak dapat dibenarkan. Termasuk orang-orang munafik yang selalu berasalan, dan rela berdusta agar tidak ikut berperang bersama Nabi dan lainnya, golongan yang demikian akan mendapat azab dari Allah swt.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 91-92


Ayat 93

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang kaya yang mampu, yang datang menghadap Rasulullah untuk meminta izin tidak akan ikut berperang, tidak dibenarkan meninggalkan kewajiban berperang. Mereka itu dianggap orang-orang yang bersalah dan patut mendapat hukuman karena kesalahannya itu.

Berbeda dengan orang-orang yang disebutkan dalam ayat-ayat di atas, yaitu orang-orang yang mempunyai alasan yang dibenarkan syara’ dan dikemukakannya dengan ikhlas dan jujur untuk tidak ikut berperang, maka mereka tidak dapat disalahkan sama sekali.

Orang-orang yang kaya yang sanggup berperang karena mereka mampu menyediakan perbekalan dan kendaraan, tidak mempunyai alasan untuk minta izin tidak ikut berperang. Itulah sebabnya maka mereka dikatakan orang-orang yang bersalah dan sudah sepantasnya kalau Allah menutup mati hati mereka, karena mereka tidak mau menerima kebenaran sedikit pun juga.

Akhirnya mereka bergelimang dalam kesusahan dan dosa, sedang mereka tidak mengetahui akibat dari perbuatan yang mereka lakukan.

Ayat 94

Dalam ayat ini disebutkan hal-hal yang akan dihadapi Nabi dan kaum Muslimin  setelah  kembali dari Perang Tabuk, yaitu bahwa orang-orang munafik yang tidak ikut dalam peperangan  tanpa alasan  pasti akan datang menemui Rasulullah dan kaum Muslimin untuk meminta maaf atas ketidakhadiran mereka di medan perang.

Maka Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar beliau mengatakan kepada orang-orang munafik itu bahwa mereka tidak perlu meminta maaf, karena Rasulullah dan kaum Muslimin tidak akan mempercayai alasan-alasan palsu yang mereka kemukakan, sebab Allah telah memberitahukan kepada Rasul-Nya dan kaum Muslimin semua hal ikhwal dan sifat-sifat jelek kaum munafik itu.

Allah dan Rasul-Nya hanya memperhatikan sikap dan tingkah laku mereka selanjutnya, apakah mereka benar-benar sudah insyaf dan meninggalkan kekufuran mereka serta kembali kepada iman dan taat kepada Allah, ataukah mereka akan tetap dalam kekufuran itu.

Kemudian mereka akan dikembalikan kepada  Zat Yang Maha Mengetahui semua hal-hal yang gaib dan yang nyata, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka segala apa yang telah mereka perbuat sewaktu hidup di dunia.

Dengan perkataan lain, tidak ada gunanya lagi bagi mereka mengemuka-kan bermacam-macam alasan atas ketidakhadiran mereka di medan perang, sebab semua rahasia yang tersimpan dalam hati mereka sudah cukup diketahui oleh Rasulullah dan kaum Muslimin melalui wahyu Allah.

Selanjutnya terserah kepada mereka sendiri. Jika benar-benar mereka telah menyadari kesalahan, lalu bertobat dan memohon ampun kepada Allah, maka Allah akan menerima tobat mereka, maka Rasulullah pun akan memberi maaf  kepada mereka.


Baca Juga : Makna Wahyu dalam Penafsiran Muqatil bin Sulayman


Ayat 95

Dalam ayat ini Allah menjelaskan kepada Rasul-Nya, bahwa apabila beliau dan kaum Muslimin telah kembali nanti dari peperangan itu, maka kaum munafik akan datang kepada beliau seraya bersumpah dengan nama Allah (menguatkan apa yang mereka ucapkan), agar Rasulullah berpaling dari mereka dengan tidak menghiraukan perbuatan mereka yang tidak ikut berperang.

 Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar beliau betul-betul memalingkan muka dari kaum munafik sebagai penghinaan kepada mereka. Berikutnya, Allah menjelaskan alasan mengapa Rasulullah harus memalingkan muka dari kaum munafik karena mereka itu najis.

Artinya sikap dan perbuatan mereka itu  kotor, sehingga mereka harus dijauhi, seperti menjauhkan kain yang bersih dari sesuatu yang najis. Hal ini sejalan dengan apa yang terdapat dalam firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis (kotor jiwa). (at-Taubah/9: 28)

Akhirnya Allah menyatakan, bahwa tempat kembali  kaum munafik di akhirat  kelak adalah  neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka lakukan selama di dunia, yaitu kekufuran yang telah mengotori diri mereka; dan kekotoran itu semakin bertambah akibat berpalingnya mereka dari ayat-ayat Allah. Keterangan semacam ini akan didapat nanti pada firman Allah:

وَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا اِلٰى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كٰفِرُوْنَ  

Dan adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, maka (dengan surah itu) akan menambah kekafiran mereka yang telah ada dan mereka akan mati dalam keadaan kafir. (at-Taubah/9: 125)

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 96-98


 

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 126

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya telah dijelaskan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah. Pembahasan Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 126 ini masih berbicara tentang Nabi Ibrahim.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 125


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 126 ini dijelaskan bahwa  Allah memberikan nikmat untuk semua orang baik mukmin maupun kafir karena keberkahan dari do’a Nabi Ibrahim. Namun kenikmatan yang diberikan Allah berbeda.

Doa-doa Nabi Ibrahim telah dikabulkan oleh Allah. Juga ditegaskan tentang sifat doa Ibrahim a.s., yaitu keamanan bagi tanah Haram dan sifat-sifat orang yang berhak mewarisi, ialah orang-orang yang baik dan mulia.

Yang dimaksud dengan  negeri ini  ialah tanah suci Mekah, sesuai dengan firman Allah:

رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ

Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, … (Ibrahim/14:37)

Tanah suci Mekah didoakan agar dijamin keamanannya dari segala macam bencana, seperti bencana-bencana serangan musuh, pertumpahan darah, kehancuran sebagaimana yang telah dialami umat-umat terdahulu disebabkan keingkaran mereka kepada Allah. Juga didoakan agar diberikan rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya.

Doa Nabi Ibrahim diperkenankan Allah dengan firman-Nya:

اَوَلَمْ نُمَكِّنْ لَّهُمْ حَرَمًا اٰمِنًا يُّجْبٰٓى اِلَيْهِ ثَمَرٰتُ كُلِّ شَيْءٍ رِّزْقًا مِّنْ لَّدُنَّا وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

…Bukankah Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam tanah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuh-tumbuhan) sebagai rezeki (bagimu) dari sisi Kami? Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (al-Qasas/28:57)

Terkabulnya doa Ibrahim a.s. itu terbukti dengan datangnya ke tanah Arab segala macam buah-buahan yang dibawa orang dari segala penjuru dunia. Ibrahim a.s. mengkhususkan doanya kepada orang-orang yang beriman, tetapi rahmat Allah itu amat banyak dan tak terhingga, diberikan-Nya kepada orang-orang yang beriman dan orang-orang yang kafir. Allah berfirman:

كُلًّا نُّمِدُّ هٰٓؤُلَاۤءِ وَهٰٓؤُلَاۤءِ مِنْ عَطَاۤءِ رَبِّكَ ۗوَمَا كَانَ عَطَاۤءُ رَبِّكَ مَحْظُوْرًا

Kepada masing-masing (golongan), baik (golongan) ini (yang menginginkan dunia) maupun (golongan) itu (yang menginginkan akhirat), Kami berikan bantuan dari kemurahan Tuhanmu. Dan kemurahan Tuhanmu tidak dapat dihalangi. (a1-Isra′/17:20)


Baca juga: Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang Hakikat Tuhan


Yang dimaksud dengan  golongan ini , ialah orang-orang kafir yang lebih mengutamakan duniawi dan  golongan itu  ialah orang-orang Mukmin yang lebih mengutamakan kehidupan ukhrawi dibanding dengan kehidupan duniawi, sebagaimana yang tersebut pada ayat-ayat sebelumnya.

Selanjutnya dijelaskan perbedaan kesenangan yang diberikan kepada orang-orang mukmin dan kesenangan yang diberikan kepada orang-orang kafir. Kesenangan yang diberikan kepada orang-orang kafir adalah kesenangan yang sementara, rezeki yang sedikit yang mereka terima dan rasakan selama hidup di dunia, kemudian di akhirat nanti mereka masuk neraka.

Manusia diberi pahala dan azab adalah karena perbuatan mereka sendiri. Maksudnya ialah manusia menjadi kafir dan fasik adalah atas kehendak dan kemauan sendiri. Karena siksa yang ditimpakan kepada mereka itu adalah berdasarkan perbuatan yang mereka lakukan atas kehendak dan kemauan mereka sendiri. Kekafiran mereka kepada Allah itu menyebabkan mereka diazab sesuai dengan sunatullah.

Berdasarkan sunatullah ini maka segala macam ilmu pengetahuan dan perbuatan manusia, baik perbuatan yang didorong oleh hawa nafsu atau didorong oleh kehendak jasmani dan rohani mereka, secara langsung pasti akan memberi bekas kebahagiaan atau kesengsaraan, banyak atau sedikit, baik manusia itu rela menerimanya atau tidak.

Inilah yang dimaksud dengan ungkapan: Allah telah menjadikan jiwa yang kotor dan perbuatan yang tercela sebagai sasaran kemurkaan-Nya dan sasaran azab-Nya di akhirat nanti, sebagaimana Allah menjadikan tubuh yang kotor dan tidak terpelihara sebagai sasaran dari tempat penyakit yang diadakan-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 127-129


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 91-92

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 91-92 menjelaskan Asbabun Nuzul terkait siapa saja golongan yang diperbolehkan untuk tidak ikut berperang. Golongan tersebut adalah orang mukmin yang dengan kondisi tertentu tidak memungkinkan untuk berpatisipasi, padahal mereka sangat ingin untuk berjihad bersama Rasul dan sahabat yang lain. Maka turunlah dua ayat ini untuk menghibur kesedihan mereka.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 87-90


Ayat 91

Sabab Nuzul: Ada beberapa riwayat yang menerangkan sebab turunnya ayat ini. Di antaranya riwayat yang diterangkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Zaid bin Tsabit dia mengatakan, “Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah.

Ketika aku menulis surah Bara’ah, kemudian pena kuletakkan di atas telingaku, maka turunlah wahyu yang memerintah-kan kami berperang. Ketika Rasulullah memperhatikan wahyu yang diturun-kan kepadanya, tiba-tiba datang seorang buta, seraya berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana caranya agar saya ikut berperang, sedang saya orang buta,  maka turunlah ayat ini.”

Dalam ayat ini diterangkan, orang-orang yang dibolehkan tidak ikut berperang yakni bebas dari kewajiban ikut berperang. Mereka ini tidak termasuk orang yang bersalah dan tidak berdosa karena meninggalkan kewajiban berperang bilamana mereka benar-benar mempunyai alasan yang dapat dibenarkan, dan alasan itu dikemukakannya dengan jujur dan ikhlas, yaitu:

  1. Orang lemah, yaitu orang yang lemah fisiknya yang tidak memungkinkan dia ikut berperang, seperti orang lanjut usia, perempuan dan anak-anak, begitu juga orang cacat, seperti buta, pekak, lumpuh, patah, dan sebagainya.
  2. Orang sakit yang tidak mungkin ikut berperang. Tetapi kalau sudah sembuh mereka wajib ikut berperang.
  3. Orang miskin yang tidak mempunyai sarana dan bekal untuk perang.

Ketiga golongan ini bebas dari kewajiban berperang. Namun demikian karena kejujuran dan keikhlasannya kepada Allah dan Rasul.

Dia masih merasa berkewajiban untuk mengerjakan tugas-tugas yang lain seperti menjaga rumah dan kampung, mengawasi kalau ada mata-mata dan pengkhianat, memelihara rahasia, menyuruh orang agar tetap tenang, berbuat kebajikan dan berdoa, agar orang mukmin yang pergi berperang dilindungi oleh Allah dan mendapat kemenangan yang gilang-gemilang.

Ketiga macam orang-orang yang mempunyai alasan yang dibenarkan syara’ ini, betul-betul mereka ikhlas, beriman kepada Allah dan taat kepada Rasul, mereka tergolong orang-orang yang berbuat kebajikan.

Mereka ini tidak termasuk orang-orang yang bersalah, berdosa dan disiksa. Pada akhir ayat ini dijelaskan, bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Artinya Allah banyak ampunan-Nya dan luas rahmat-Nya, terhadap hamba-hamba-Nya yang lemah dalam menunaikan kewajibannya, selama mereka jujur dan ikhlas kepada Allah dan kepada Rasul-Nya.


Baca Juga : Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 10: Intisari Doa Kasih Sayang dan Pengampunan


Ayat 92

Sabab Nuzul: Di dalam sebuah riwayat yang diterangkan oleh Ibnu Jarir ath -Thabari dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata, “Rasulullah memerintahkan agar orang-orang mukmin bersiap untuk pergi berperang.

Maka segolongan dari para sahabatnya yang bernama ‘Abdullah bin Saffal al-Muzani berkata, “Ya Rasulullah, sediakanlah untuk kami kendaraan (kami miskin tidak mempunyai kendaraan).”

Rasulullah menjawab, “Demi Allah, aku tidak sanggup menyediakan kendaraan yang akan membawa saudara-saudara ke medan perang.” Maka turunlah ayat ini, lalu mereka semuanya menangis, karena tidak dapat ikut berperang, karena kendaraan dan alat perlengkapan perang sangat penting apabila medan perang letaknya sangat jauh.

Kendaraan itu merupakan perlengkapan perang yang sangat penting untuk setiap masa. Apabila pada masa dahulu kendaraan yang diperlukan hanya unta, keledai dan kuda, maka pada masa-masa berikutnya manusia menciptakan kendaraan yang berkecepatan tinggi yang dapat dipergunakan untuk lalu lintas darat, laut dan udara.

Dengan turunnya ayat ini terhiburlah hati mereka yang datang menghadap Rasulullah itu, tetapi air mata mereka bercucuran menangis karena tidak dapat ikut berperang bersama Rasulullah karena mereka dalam keadaan miskin, tidak mempunyai kendaraan.

Kalau tempat berperang tidak begitu jauh maulah rasanya mereka berjalan kaki saja, karena keinginan mereka berjihad dan mencari keridaan Allah.

Begitulah semangat dan ruh Islam yang berkobar dalam dada setiap muslim yang tidak akan padam buat selama-lamanya. Dengan semangat seperti itulah Islam bisa tegak dan maju dan kalimah Allah akan menjulang tinggi di bumi ini.

Dalam ayat ini diterangkan alasan yang lain yang dibenarkan syara’ bagi seseorang yang tidak ikut berperang. Alasan tersebut ialah karena mereka tidak mempunyai kendaraan yang dapat mengangkut mereka ke medan perang, apalagi kalau tempat yang dituju itu jauh letaknya, yang tidak bisa dicapai dengan jalan kaki, seperti halnya Perang Tabuk yang sangat jauh yang dapat ditempuh hanya dengan mengarungi padang pasir, berhari-hari dan berminggu-minggu, baru sampai di tempat yang dituju.

Maka kepada mereka yang tidak mempunyai kendaraan, dibolehkan tidak ikut, mereka ini terhitung tidak besalah dan tidak berdosa bila tinggal di rumahnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 93-95


Tafsir Ahkam: Hukum Berciuman Dengan Istri di Bulan Ramadhan

0
Tafsir Ahkam: Hukum Berciuman Dengan Istri di Bulan Ramadhan
Tafsir Ahkam: Hukum Berciuman Dengan Istri di Bulan Ramadhan

Berdasarkan kesepakatan ulama’, Allah telah menetapkan larangan bersanggama salah satunya lewat surat Al-Baqarah ayat 187, berikut penjelasannya ada pada artikel ini. Namun larangan ini menyisakan sedikit pertanyaan yang kemudian menimbulkan pro dan kontra di antara para ulama’. Yaitu apakah hal-hal lain yang mengarah ke sanggama juga dilarang? Apakah tindakan berciuman dengan istri pada saat puasa ramadhan, hukumnya sama dengan sanggama? Berikut penjelasan para ulama’.

Baca juga: Surah al-Baqarah Ayat 216, Cinta dan Benci sebagai Sifat Manusia

Pro Kontra Makna Basyiruhunna

Para ulama’ telah bersepakat bahwa sanggama bagi orang yang berpuasa diharamkan dan membatalkan puasa yag dijalaninya. Hal ini merujuk pada firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ

Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. (QS. Al-Baqarah [2] :187).

Namun mereka berbeda pendapat mengenai hukum hal-hal yang mendekatkan ke sanggama. Sebagaimana melakukan ciuman. Hal ini salah satunya mengacu kepada sebatas manakah cakupan redaksi basyiruhunna (campurilah) di dalam ayat di atas? Apakah sebatas sanggama sehingga tidak menyinggung hal lain sebagaimana prilaku yang mendorong ke sanggama. Ataukah juga mencakup hal tersebut?

Baca juga: Keistimewaan Madu Sebagai Obat dalam Tafsir Surah AN-Nahl Ayat 68-69

Imam Ar-Razi di dalam tafsirnya menyatakan bahwa ada dua pendapat mengenai makna dari “bersentuhan” yang dimaksud dalam redaksi “basyiruhunna” di ayat di atas. Pendapat pertama, yang juga pendapat mayoritas ulama’, maknanya adalah sanggama. Pendapat kedua, yang merupakan pendapat Al-Asham, menyatakan maknanya adalah sanggama dan hal-hal lebih ringan yang mengarah pada sanggama (Tafsir Mafatihul Ghaib/3/122).

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya menyatakan, di dalam ayat di atas Allah menjelaskan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh orang yang berpuasa; yaitu makan, minum dan sanggama. Dan Allah tidak menyinggung perihal bersentuhan kulit semacam berciuman dengan lawan jenis serta selainnya. Maka hal itu menunjukkan sahnya puasa orang yang bersentuhan kulit tanpa sanggama, sebagaimana berciuman. Andai berciuman juga dilarang, maka sudah seharusnya ada dalil lain yang menjadi dasar akan hal itu.

Fakta ini menurut Imam Al-Qurthubi telah memancing perbedaan di antara para ulama’. Kalangan Malikiyah menyatakan bahwa hal-hal yang mengarah ke sanggama sebagaimana berciuman, hukumnya makruh bagi orang yang tidak bisa menjaga serta menguasai dirinya. Hal ini agar tidak kemudian mendorong tindakan yang menyebabkan batalnya puasa. Diantara sahabat yang menghukumi makruh tindakan berciuman bagi orang yang berpuasa adalah ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah Ibn Mas’ud, Dan ‘Urwah Ibn Zubair (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/2/324).

Baca juga: Surah Maryam [19] Ayat 26: Kisah Maryam Berpuasa Bicara

Imam As-Syaukani di dalam Nailul Authar tatkala menjelaskan hadis yang berkaitan seorang pemuda dan manula yang berciuman saat puasa, memaparkan banyaknya silang pendapat antar ulama’ mengenai hukum berciuman saat puasa. Ada yang menyatakan boleh, ada yang menyatakan makruh, dan ada yang menyatakan haram. Namun Imam Al-Mawardi menyatakan, ulama’ sepakat mengenai batalnya puasa orang yang berciuman sehingga sampai keluar sperma (Nailul Authar/4/289).

Pendapat para ulama tentang berciuman di bulan ramadhan

Uraian di atas adalah keterangan para ulama’ yang masih campur aduk antara hukum berciuman dan apakah memiliki konsekwensi membatalkan puasa atau tidak. Juga masih bercampur aduk antara manakah pendapat yang bisa dijadikan pegangan ataukah tidak. Untuk itu, agar lebih mudah memahami hukum berciuman bagi orang yang berpuasa, kami akan memaparkan kesimpulan para ulama’ yang termuat dalam kitab Al-Mausu’a Al-Fiqhiyah (Mausu’ah Fiqhiyah/2/4652).

Menurut Mazhab Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah, hukum mencium istri adalah makruh. Hal ini dengan syarat ia tidak bisa menjaga dirinya dari hal yang membatalkan puasa seperti keluarnya sperma dan sanggama. Apabila bisa menjaga diri, menurut mayorritas ulama’ hukumnya boleh-boleh saja. Hukum makruh ini ada apabila tujuan dari berciuman adalah mencari kesenangan semata, atau bukan karena sebab menunjukkan sekedar rasa sayang atau saat berpisah.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Bersanggama di Bulan Ramadan

Sedang menurut Mazhab Malikiyah, hukumnya makruh berciuman bila bisa menjaga diri dari keluarnya sperma atau cairan madzi. Apabila tidak, maka hukumnya haram.

Mengenai soal batalnya puasa, ulama’ sepakat bahwa berciuman dengan istri meski dengan tujuan kesenangan semata, tidak membatalkan puasa bila tidak sampai membuat sperma keluar. Apabila sebaliknya, maka ulama’ sepakat puasanya batal. Wallahu a’lam bishshowab.

Tafsir Surah Al A’raf ayat 158-160

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 158-160 Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyeru kepada umat manusia dimanapun berada agar mengikuti agama yang dibawanya. Khususnya pada ayat 160 dalam Tafsir Surah Al A’raf ayat 158-160 ini dijelaskan pula bahwa Allah membagi kaum Bani Israil menjadi 12 suku.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 157


Ayat 158

Allah memerintahkan kepada Muhammad, agar ia menyeru seluruh umat manusia mengikuti agama yang dibawanya, di mana saja mereka berada, dan bangsa apa pun dia, agar dia menerangkan bahwa dia adalah Rasul Allah yang diutus kepada mereka semua. Keumuman risalah Muhammad saw dinyatakan lagi oleh firman Allah:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا كَاۤفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan… (Saba’/34: 28)

Dan firman Allah juga:

وَاُوْحِيَ اِلَيَّ هٰذَا الْقُرْاٰنُ لِاُنْذِرَكُمْ بِهٖ وَمَنْۢ بَلَغَ ۗ

…Al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku agar dengannya itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang sampai (Al-Qur’an kepadanya)… (al-An’am/6: 19)

Demikian pula hadis Nabi yang menerangkan keumuman risalahnya sebagai berikut:

َ أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ قَبْلِي: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِيْ أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لأَِحَدٍ قَبْلِيْ وَأُعْطِيْتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً (رواه البخاري ومسلم)

“Telah diberikan kepadaku lima hal, yang belum pernah diberikan kepada seorang Nabi pun sebelumku. Aku ditolong dengan memasukkan rasa takut kepada musuhku dalam jarak perjalanan sebulan, dan dijadikan bagiku bumi sebagai masjid (tempat salat) dan alat bersuci. Maka siapa saja dari umatku yang telah datang padanya waktu salat maka hendaklah ia salat (dimana pun ia berada), dan dihalalkan bagiku harta rampasan yang tidak dihalalkan kepada orang sebelumku, diberikan kepadaku syafa’at, dan Nabi lain diutus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada semua umat manusia“. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Allah menerangkan keesaan-Nya, yaitu tidak ada tuhan selain Dia, hanyalah Dia yang berhak disembah, karena Dialah yang mengurus langit dan bumi, mengatur alam seluruhnya. Dia menghidupkan segala yang hidup dan mematikan segala yang mati. Dalam ayat ini diterangkan bahwa ada tiga kekuasaan Tuhan yang utama: yaitu pemilik yang ada di langit dan bumi, satu-satunya Tuhan yang dapat disembah, Tuhan yang menghidupkan dan mematikan.

Kemudian Allah memerintahkan seluruh manusia agar beriman kepada Allah dan beriman kepada Nabi yang ummi, beriman kepada wahyunya yaitu kitab-kitab terdahulu dan memerintahkan manusia agar mengikuti nabi tersebut.

Rasul yang ummi itu memurnikan pengabdian kepada Allah, beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan kepada para Nabi yang terdahulu. Setelah perintah beriman, Allah mengiringi dengan perintah agar manusia melaksanakan semua syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Ayat 160

Allah membagi kaum Musa (Bani Israil), baik yang beriman kepada Allah maupun yang ingkar kepada-Nya menjadi dua belas suku yang dinamakan “Sibth”. Pada suatu perjalanan di tengah padang pasir, kaumnya menderita kehausan, maka Allah mewahyukan kepada Musa agar ia memukulkan tongkatnya kesebuah batu. Setelah Musa memukulkannya, maka terpancarlah dari batu itu dua belas mata air, sesuai dengan banyaknya suku-suku Bani Israil (al-Baqarah/2: 60).

Untuk masing-masing suku disediakan satu mata air dan mereka telah mengetahui tempat minum mereka; untuk menjaga ketertiban dan menghindarkan berdesak-desakan.

Kejadian ini merupakan mukjizat bagi Nabi Musa untuk membuktikan kerasulannya, dan untuk memperlihatkan kekuasaan Allah. Kalau dahulu dia memukulkan tongkatnya ke laut sehingga terbentanglah jalan yang akan dilalui Bani Israil untuk menyelamatkan diri dari pengejaran Fir’aun dan tentaranya, maka pada kejadian ini Musa memukulkan tongkatnya ke batu, sehingga keluarlah air dari batu itu untuk melepaskan haus kaumnya. Kejadian ini di samping merupakan mukjizat bagi Nabi Musa juga menunjukkan besarnya karunia Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada Bani Israil.

Di samping karunia itu Allah menyebutkan karunia lain yang telah diberikan-Nya kepada Bani Israil, yaitu:

  1. Allah melindungi mereka dengan awan pada waktu mereka berjalan di tengah padang pasir dan pada waktu panas terik matahari yang membakar itu. Jika tidak awan yang melindungi, tentulah mereka terbakar oleh panasnya matahari. Hal ini terjadi ketika mereka meninggalkan negeri Mesir dan setelah menyeberangi Laut Merah. Mereka sampai di gurun pasir di Semenanjung Sinai dan ditimpa panas yang terik. Karena itu mereka minta agar Musa berdoa kepada Tuhan agar memberikan pertolongan-Nya. Maka Allah menolong mereka dengan mendatangkan awan yang dapat melindungi mereka dari panas terik matahari.
  2. Di samping itu Allah mengaruniakan pula kepada mereka makanan yang disebut al-manna”, semacam makanan yang manis seperti madu, yang turun terus-menerus dari langit, sejak fajar menyingsing sampai matahari terbit. Di samping itu dianugerahkan Allah pula kepada mereka bahan makanan sejenis burung puyuh yang disebut “Tsalwa”.
  3. Allah memerintahkan kepada mereka agar makan makanan yang halal, yang baik, berfaedah bagi jasmani dan rohani, akal dan pikiran.;Allah telah melimpahkan karunia-Nya yang amat besar kepada Bani Israil, tetapi mereka tidak mau bersyukur, bahkan mereka mengerjakan perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah, ingkar kepada-Nya dan kepada Rasul-rasul-Nya, yang berakibat mereka mendapat azab dan siksaan-Nya. Mereka disiksa itu semata-mata karena perbuatan mereka sendiri, bukanlah karena Allah hendak menganiaya mereka. Tersebut dalam sebuah hadis Qudsi:

َيا عِبَادِيْ ِانِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تُظَالِمُوْا، يَا عِبَادِيْ اِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضُرُّوْنِيْ وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِي (رواه مسلم)

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan (mengerjakan), kezaliman atas diri-Ku, dan Aku menjadikan perbuatan zalim itu (sebagai suatu perbuatan) yang diharamkan di antaramu, maka janganlah kamu saling berbuat zalim (di antara sesamamu). Wahai hamba-hamba-Ku, kamu sekali-kali tidak akan dapat menimbulkan kemudaratan kepada-Ku, sehingga Aku memperoleh kemudaratan karenanya, dan kamu sekalian tidak dapat memberi manfaat kepada-Ku, sehingga Aku memperoleh manfaat karenanya”. (Hadis Qudsi ialah firman Allah yang diucapkan atau disampaikan oleh Nabi Muhammad, tetapi dia bukan merupakan ayat Al-Qur’an. Riwayat Muslim)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 161-163


 

Tafsir Surah Hud Ayat 68-72

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 68-72 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai kedahsyatan azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Saleh a.s. Kedua berbicara mengenai malaikat yang bertamu kepada Nabi Ibrahim yang bermaksud mengazab kaun Nabi Lut a.s.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 62-67


Ayat 68

Sungguh dahsyat malapetaka yang ditimpakan kepada mereka, sehingga dalam sesaat saja mereka sudah musnah semuanya, seakan-akan mereka tidak pernah ada di muka bumi, seakan-akan kampung halaman mereka tidak pernah didiami oleh manusia, hilang lenyap dan musnah ditelan bencana.

Semua ini akibat kedurhakaan mereka terhadap Allah dan keingkaran mereka terhadap mukjizat dan bukti-bukti yang diturunkan-Nya. Sepantasnyalah mereka mendapat kutukan dan siksaan yang dahsyat.

Ayat 69

Beberapa malaikat datang mengunjungi Nabi Ibrahim a.s. di rumah-nya untuk menyampaikan berita gembira kepadanya. Diriwayatkan dari Ata’ bahwa malaikat-malaikat itu terdiri dari Jibril, Mikail, dan Israfil a.s. Ada pula riwayat yang mengatakan mereka terdiri dari Jibril bersama tujuh malaikat lainnya.

Mereka disambut oleh Nabi Ibrahim a.s. dengan sambutan yang baik sekali karena dia yakin bahwa tamunya yang penuh sopan-santun dan mengucapkan salam sebelum memasuki rumahnya adalah tamu-tamu terhormat dari kalangan orang-orang yang baik.

Sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang Arab Badui bila kedatangan tamu, mereka harus disuguhi hidangan yang istimewa, sesuai dengan kesanggupan tuan rumah. Nabi Ibrahim a.s. pun menghidangkan untuk tamu-tamunya itu makanan yang lezat yaitu seekor domba yang dibakar di atas batu yang dipanaskan dan mempersilahkan mereka menikmati makanan yang istimewa itu.

Tetapi tamu-tamu itu tidak mau menyentuh makanan itu, karena mereka adalah malaikat yang menyamar seperti manusia, sedang malaikat tidak membutuhkan makanan dan minuman.

Ayat 70

Karena para tamu tidak mau menyentuh makanan lezat yang dihidangkan itu, maka Nabi Ibrahim a.s. merasa curiga atas niat baik mereka. Di kalangan orang Arab bila tamu tidak makan makanan yang dihidangkan itu adalah suatu tanda tamunya bermaksud jahat terhadapnya.

Berbagai macam perasaan seperti curiga, takut, dan lain sebagainya timbul dari hati Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya, melihat sikap tamu-tamunya itu. Hal ini jelas tampak pada air mukanya yang tadinya berseri-seri, lantas berubah menjadi pucat pasi.

Akhirnya para malaikat itu menjelaskan bahwa mereka adalah malaikat yang diutus Allah kepada kaum Lut untuk membinasakan mereka karena mereka adalah kaum yang terkutuk yang tidak mengindahkan peringatan Allah supaya mereka meninggalkan perbuatan maksiat dan terkutuk dan beriman kepada Allah swt serta kepada risalah yang dibawa Nabi Lut a.s.


Baca juga: Epidemiologi Al-Qur’an (2): Virus Sampar Dalam Kisah Nabi Shalih dan Kaum Tsamud


Ayat 71

Istri Nabi Ibrahim a.s. yang bernama Sarah menjadi gembira dan tersenyum karena yang datang itu bukanlah orang jahat, tetapi adalah malaikat-malaikat utusan Allah, dan tentu saja mereka tidak mau makan dan minum.

Selanjutnya mereka berkata kepada Sarah bahwa Allah telah menyampaikan suatu berita gembira untuknya bahwa dia akan melahirkan seorang anak bernama Ishak dan Ishak pun akan mempunyai keturunan pula di antaranya Yakub.

Ayat 72

Alangkah terkejutnya Sarah ketika mendengar ucapan malaikat itu seakan-akan ia tidak percaya bahwa yang dihadapinya itu ialah malaikat-malaikat yang tidak pernah berbohong dan tidak akan berdusta selama-lamanya.

Karena itu dengan spontan ia menjawab, “Sungguh mengherankan! Bagaimana aku akan melahirkan seorang anak, padahal aku ini sudah tua dan suamiku sudah tua renta pula!”

Diriwayatkan bahwa umur Nabi Ibrahim di waktu itu 100 tahun dan istrinya 90 tahun. Menurut kebiasaan seorang perempuan bila telah berumur 50 tahun tidak haid lagi dan karena itu ia tidak ada harapan lagi untuk beranak. Apalagi Sarah adalah seorang perempuan mandul pula seperti tersebut dalam firman Allah:

فَاَقْبَلَتِ امْرَاَتُهٗ فِيْ صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوْزٌ عَقِيْمٌ   ٢٩

Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk wajahnya sendiri seraya berkata, ”(Aku ini) seorang perempuan tua yang mandul.” (az-Zariyat/51: 29)

Nabi Ibrahim a.s. tidak kurang terkejutnya mendengar berita itu seperti tersebut dalam firman Allah:

قَالَ اَبَشَّرْتُمُوْنِيْ عَلٰٓى اَنْ مَّسَّنِيَ الْكِبَرُ فَبِمَ تُبَشِّرُوْنَ   ٥٤

Dia (Ibrahim) berkata, ”Benarkah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, lalu (dengan cara) bagaimana kamu memberi (kabar gembira) tersebut?” (al-Hijr/15: 54);Keduanya (Nabi Ibrahim a.s. dan istrinya Sarah) sama-sama ragu akan berita gembira itu, karena biasanya hal itu tidak mungkin terjadi.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 73-76


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 87-90

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 87-90 membicarakan dua model sikap yang berbeda dari orang munafik dan orang mukmin. Orang munafik jika diajak kepada kebaikan (jihad) mereka akan lebih senang untuk tidak ikut dan tidak merasa malu sama sekali. Itulah pertanda Iman mereka yang lemah, dan sebab itu pula Allah mematikan hati mereka.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 83-86


Hal kedua yang diulas Tafsir Surah At Taubah Ayat 87-90 adalah perihal orang Mukmin, dimana Allah memuji keimanan dan ketaatan mereka, sehingga balasannya adalah syurga yang keindahan dan kenikmatannya sudah disiapkan oleh Allah Swt untuk orang-orang beriman.

Ayat 87

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang munafik itu merasa senang tidak ikut berjihad fisabilillah. Mereka lebih senang tinggal bersama orang-orang lemah yang tidak kuat ikut berperang, yaitu perempuan-perempuan yang menjaga rumah tangga.

Mereka tidak sedikit pun merasa malu tinggal bersama orang-orang perempuan yang tidak ikut berperang itu. Padahal mereka adalah orang-orang yang kuat, sehat, dan mampu untuk turut berperang. Walaupun banyak yang mengejek dan mentertawakan, namun ejekan itu bagi mereka tidak ada artinya, karena perasaan malu bagi mereka tidak ada lagi.

Yang demikian itu adalah pertanda bahwa iman mereka sangat lemah dan hati mereka sudah dipengaruhi kebendaan. Oleh karena itu Allah menutup mati hati mereka, mereka tidak mau menerima kebenaran, pelajaran dan nasihat dari siapapun juga.

Penyakit kemunafikan itu telah membalut seluruh hati mereka, sehingga mereka tidak dapat mempergunakan pikiran yang sehat untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang menguntungkan dan mana yang merugikan, bahwa ikut berjihad dan berperang itu adalah suatu keuntungan dan tinggal di rumah adalah merugikan dan memalukan.

Ayat 88-89

Dalam ayat ini Allah menerangkan perbedaan yang sangat jauh antara sifat-sifat Rasul dan orang-orang yang beriman di satu pihak dengan sifat dan tingkah laku orang-orang munafik di pihak lain.

Rasul dan orang-orang mukmin, senang dan gembira berjihad dan berperang dengan harta dan dirinya untuk membela dan meninggikan kalimah Allah untuk menyiarkan agama-Nya di permukaan bumi ini.

Mereka lebih mencintai Allah daripada mencintai harta kekayaan dan diri mereka. Keyakinan mereka kalau hidup hendaknya hidup mulia dan terhormat dan kalau mati, hendaknya mati syahid di medan perang.

Di dalam hati orang-orang mukmin tidak akan ditemui sifat malas, enggan berperang dan bakhil memberikan harta kekayaan dalam berjihad fisabilillah.

Mereka percaya bahwa berjihad fisabilillah itu akan mendatangkan kebaikan yang banyak kepada mereka dan umat Islam.

Kebaikan-kebaikan yang banyak itu adalah berupa kemenangan, tingginya kalimah Allah, tegaknya keadilan dan kebenaran, di samping mendapatkan harta rampasan, dan luasnya kekuasaan Islam di permukaan bumi. Juga mereka percaya, bahwa mereka akan mendapat kabahagiaan di dunia dan di akhirat.

Di dunia menjadi orang yang mulia dan terhormat, sedang di akhirat mendapat balasan surga Jannatunna’im, yang penuh dengan kesenangan dan kenikmatan yang abadi. Di dalamnya mengalir sungai-sungai yang menyejukkan. Kesenangan dan kebahagiaan yang berlimpah-limpah itu diberikan Allah kepada orang-orang mukmin.


Baca Juga : Surah Al-Anam Ayat 153, Menyusuri Jalan Menuju Kebahagiaan


Ayat 90

Ayat-ayat ini menerangkan bagaimana pula keadaan orang-orang munafik yang tinggal di luar kota Medinah yang tinggal di kampung-kampung penduduk padang pasir yang biasa dipanggil orang dengan Arab Badui.

Mereka sengaja datang menghadap Rasulullah untuk mengemukakan alasan agar Rasulullah berkenan memberi izin untuk tidak ikut berperang.

Kejadian ini diterangkan dalam suatu riwayat yang diceritakan oleh seseorang yang bernama ad-Dhahhak, yaitu: “Ada suatu kelompok Badui dari golongan Amir bin Thufail datang menghadap Rasulullah seraya berkata, “Ya Nabi Allah, kami tidak turut berperang bersama engkau, kami merasa khawatir, kalau-kalau perempuan kami, anak-anak kami, dan binatang-binatang ternak kami habis dirusak dan dirampok oleh penjahat-penjahat.

Maka Rasulullah menjawab, “Allah sudah memberitahukan kepadaku tentang keadaanmu; semoga Allah akan memaafkan dan menyelamatkanmu.  Bermacam-macam alasan yang mereka kemukakan kepada Rasulullah, ada alasan yang dibuat-buat dan ada alasan yang sebenarnya agar mereka diberi izin untuk tidak turut berperang.

Mereka yang datang menghadap Rasulullah dengan mengemukakan alasan yang sebenarnya itu adalah kalangan orang-orang mukmin, dan mereka yang datang dengan alasan yang dibuat-buat adalah dari golongan orang-orang munafik.

Ada segolongan lagi, yaitu orang-orang yang tidak datang menghadap Rasulullah untuk minta izin. Mereka itu sengaja duduk dan tinggal di rumahnya, tidak mau turut berjihad dan berperang. Mereka ini jelas termasuk orang-orang yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya.

Merekalah orang-orang munafik yang sudah parah dan sangat berbahaya. Menurut pendapat Umar bin Ala’, baik mereka yang minta izin dengan mengemukakan alasan yang dibuat-buat, maupun yang duduk tinggal di rumah, tidak mau ikut berjihad dan berperang, kedua golongan itu sama-sama jeleknya dan sama-sama berbahaya.

Kedua golongan itu sudah termasuk golongan orang kafir yang akan mendapat siksa yang pedih dari Allah, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 91- 94