Beranda blog Halaman 346

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 83-86

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 83-86 masih menerangkan perihal orang munafik, di antaranya yaitu Allah melarang mereka untuk ikut berpatisipasi dalam perang, Allah juga melarang kaum Mukmin untuk menyolati dan mendoakan jenazah kaum munafik yang meninggal dunia, hal itu sebagai hukuman pada mereka.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 81-82


Hukuman lain yang diulas dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 83-86 adalah kekayaan dan keluarga yang dimiliki kaum munafik, tidaklah menjadi penyejuk dalam kehidupan mereka. Allah akan menjadikan keduanya sebagai azab yang menyengsarakan mereka di dunia, anak dan istri akan menyusahkan mereka, dan harta yang mereka miliki tidak lagi dirasa sebagai sebuah kenikmatan.

Ayat 83

Dalam ayat ini Allah swt memberikan peringatan kepada Rasulullah agar berhati-hati terhadap orang munafik bila telah kembali dari Perang Tabuk. Orang-orang munafik itu akan merencanakan minta maaf kepada Rasulullah saw dan menyatakan penyesalan mereka karena tidak dapat turut berperang bersama Nabi ke Tabuk.

Padahal mereka merasa beruntung tidak ikut perang ke Tabuk itu dan terhindar dari bahaya. Tetapi setelah Rasulullah saw bersama kaum Muslimin kembali dari medan perang dengan selamat, mereka merasa malu dan terhina, dan berjanji dalam hati mereka akan turut berperang bersama Rasulullah.

Maka Allah swt mengingatkan Nabi agar orang-orang munafik itu jangan diberi izin turut serta berperang karena mereka tetap tidak akan jujur dalam peperangan. Mereka pasti akan melakukan berbagai tindakan untuk merongrong Rasulullah dan kaum Muslimin.

Oleh karena itu Rasulullah saw diperintahkan untuk menyatakan dengan tegas bahwa mereka tidak dibenarkan turut berperang bersama Rasulullah saw untuk selama-lamanya.

Mereka tidak akan sanggup memerangi musuh bersama Rasulullah seperti halnya kaum Muslimin yang dengan rela mengorbankan harta dan jiwanya untuk berperang fisabilillah.

Sikap mereka sewaktu menghadapi Perang Tabuk menunjukkan bahwa mereka lebih senang tidak turut berperang dan tetap tinggal di Madinah bersama orang-orang yang uzur, seperti anak-anak, wanita-wanita, dan orang-orang tua yang sudah lemah.

Ayat 84

Dalam ayat ini Allah swt melarang menyalati jenazah orang-orang munafik. Juga melarang berdoa di atas kuburannya sesudah dikuburkan, seperti yang biasa dilakukan Rasulullah terhadap orang-orang mukmin yang sudah dikubur sebagaimana tersebut dalam hadis berikut:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ عَلَيْهِ فَقَالَ: اِسْتَغْفِرُوْا ِلأَخِيْكُمْ وَسَلَوْا لَهُ التَّثْبِيْتَ فَإِنَّهُ اْلاٰنَ يُسْأَلُ (رواه أبو داود والبزار عن عثمان)

Adalah Nabi apabila sesudah menguburkan seorang mayat, beliau berdiri di kubur itu seraya berkata, “Mintakanlah ampunan bagi saudaramu ini doakanlah agar dia tetap (dalam keimanan) sebab sekarang dia sedang ditanya.” (Riwayat Abu Dawud dan al-Bazzar dari Utsman)

Peristiwa yang terjadi pada Abdullah bin Ubay ini cukup menggentarkan orang-orang munafik lainnya, suatu penghinaan yang cukup berat dijatuhkan atas diri mereka.

Tetapi mereka masih tetap dalam kemunafikannya. Ini merupakan hukuman bagi mereka di dunia, sebab mereka selalu ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka tergolong orang-orang yang fasik, terlampau berani mempermainkan perintah dan larangan Allah.


Baca Juga : Tafsir Ahkam: Kebolehan Memakan Makanan Haram dalam Situasi Darurat


Ayat 85

Ayat ini hampir bersamaan bunyinya dengan ayat 55 dalam surah ini. Maka pada ayat ini Allah swt mengulangi lagi, agar kaum Muslimin jangan sampai terpengaruh oleh kekayaan dan harta benda orang-orang munafik itu. Begitu pula jangan sampai terpengaruh oleh anak-anak mereka.

Kalau ada di antaranya mereka yang kaya, banyak harta, banyak anak dan keturunannya, semua itu tidaklah akan membahagiakan mereka dan tidak akan menyelamatkan mereka dari siksa Allah.

Semuanya itu akan menyusahkan mereka, menjadikan mereka teraniaya dan sengsara karenanya. Bagaimana mereka bersusah payah dalam mencari harta dan kekayaan itu, begitu pula mereka dibikin susah olehnya.

Ada-ada saja peristiwa yang terjadi karena harta dan kekayaannya, dan anak-anak mereka cukup membuat mereka seolah-olah mendapat azab dunia. Maka harta dan kekayaan serta anak-anak mereka itu, bukan lagi menjadi nikmat, tetapi menjadi azab bagi mereka.

Mereka tidak akan mendapat pertolongan sedikitpun dari harta dan anak-anaknya. Tidak ada manfaatnya sama sekali, dan akhirnya mereka mati dalam kekafiran.

Ayat 86

Ayat ini menerangkan bagaimana lemahnya iman orang-orang munafik dan bagaimana pengecutnya mereka. Bukan saja terdapat pada orang-orang biasa, tetapi juga pada orang-orang kaya.

Kalau ada surah turun yang ayat-ayatnya memerintahkan agar beriman dan berjihad bersama Rasulullah, orang-orang kaya dari mereka buru-buru datang menghadap Rasulullah, meminta izin agar tidak ikut berjihad dan berperang.

Mereka tidak malu membuat alasan yang dibuat-buat untuk menguatkan permohonan mereka kepada Rasulullah saw, padahal mereka mampu dan kuat untuk berjihad dari segi kesehatan dan kemampuan.

Dengan enteng, mereka mengatakan biarlah kami tinggal di rumah bersama orang-orang lemah yang tidak ikut berperang.

Cara-cara yang demikian itu menunjukkan bahwa mereka lebih mencintai kesenangan dan harta benda mereka daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya. Hal yang serupa ini dijelaskan pula oleh Allah swt dalam firman-Nya:

وَيَقُوْلُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَوْلَا نُزِّلَتْ سُوْرَةٌ ۚفَاِذَآ اُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ مُّحْكَمَةٌ وَّذُكِرَ فِيْهَا الْقِتَالُ ۙرَاَيْتَ الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ يَّنْظُرُوْنَ اِلَيْكَ نَظَرَ الْمَغْشِيِّ عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِۗ فَاَوْلٰى لَهُمْۚ 

Dan orang-orang yang beriman berkata, ”Mengapa tidak ada suatu surah (tentang perintah jihad) yang diturunkan?” Maka apabila ada suatu surah diturunkan yang jelas maksudnya dan di dalamnya tersebut (perintah) perang, engkau melihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit akan memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati. Tetapi itu lebih pantas bagi mereka.” (Muhammad/47: 20)

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 87-90


 

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 81-82

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 81-82 menjelaskan kembali sifat buruk kaum Munafik yang lain yaitu tidak turut berperang karena alasan yang dibuat-buat sehingga Nabi mengizinkan untuk tidak ikut perang atau beliau sengaja, karena tidak ingin mereka ikut dalam Perang Tabuk tersebut. Alih-alih sedih tidak ikut berperang, mereka justru gembira akan hal itu, sikap inilah yang dikecam oleh Allah kepada mereka, dan menyiapkan balasan atas kedurhakaan mereka.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 79-80


Ayat 81

Ayat ini menerangkan keadaan orang-orang munafik yang tidak diikutkan oleh Nabi untuk berperang. Peristiwa ini terjadi pada Perang Tabuk, yaitu perang yang terjadi sesudah penaklukan kota Mekah. Perang ini adalah perang yang terakhir dilakukan Rasulullah saw.

Ada orang yang menyampaikan berita kepada Rasulullah bahwa kerajaan Romawi telah menyiapkan angkatan perangnya untuk menyerang kaum Muslimin di perbatasan utara tanah Arab.

Pada waktu itu sedang musim panas yang sangat terik, jarak perjalanan dari Medinah ke tempat perbatasan itu sangat jauh. Kesulitan dan kesukaran dalam perjalanan sangat banyak.

Sedang waktu itu kaum Muslimin berada dalam situasi serba kekurangan. Rasulullah mulai menyiapkan tentara untuk pergi menghadapi angkatan perang kerajaan Romawi itu. Kepada orang-orang kaya Rasulullah saw meminta bantuan untuk bekal dalam peperangan.

Maka berdatanganlah bantuan berupa uang dan benda dari hartawan dan dermawan secara ikhlas, karena hendak meninggikan kalimah Allah di atas permukaan bumi. Segenap kabilah yang telah memeluk Islam telah menyatakan ketaatannya untuk turut berperang bersama Rasulullah saw. Mereka telah menyediakan dirinya dan hartanya untuk berperang.

Mereka tidak takut panas teriknya matahari, tidak takut lapar dan dahaga dalam perjalanan mengarungi padang pasir yang sangat jauh, untuk menggempur musuh yang angkara murka.

Akhirnya Rasulullah dapat mengumpulkan angkatan perangnya dengan sempurna sebanyak 30.000 orang, di antaranya ada kira-kira 10.000 barisan berkuda.

Rasulullah saw mengetahui bahwa dalam angkatan itu turut pula ‘Abdullah bin Ubay, pimpinan orang munafik, bersama-sama dengan pengikut-pengikutnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw meragukan itikad baik orang-orang munafik itu, takut kalau-kalau di tengah perjalanan mereka akan mengacau, maka Rasulullah saw menyuruh mereka tinggal saja di Medinah dan tidak usah ikut berperang.

Mereka itulah yang dimaksudkan dalam ayat ini, bahwa mereka merasa gembira dan beruntung tidak diikutsertakan oleh Rasulullah berperang di Tabuk. Sebenarnya hati mereka tidak mau berperang, baik dengan harta ataupun dengan diri mereka untuk menegakkan agama Allah. Tidak tergores sedikitpun dalam hati mereka, bahwa turut berperang itu adalah keuntungan besar.

Tetapi mereka berbuat sebaliknya; mereka mengacau dan melemahkan semangat berperang kaum Muslimin. Mereka mengatakan kepada kawan-kawan mereka, tidak usah ikut berperang.

Segala kesukaran seperti panas dan terik, jauhnya perjalanan, kurangnya perbekalan dan lain-lainnya, selalu mereka jadikan alat propaganda untuk menghalang-halangi kaum Muslimin berperang dan untuk memadamkan semangat perjuangan.

Tetapi semuanya itu tidak melemahkan semangat kaum Muslimin malahan menambah semangat dan kekuatan, sehingga akhirnya kaum Muslimin kembali dari perang Tabuk itu dengan selamat.

Setelah musuh mundur dengan penuh ketakutan, Rasulullah disuruh menyampaikan kepada orang-orang munafik, bahwa api neraka Jahannam yang akan mereka derita nanti lebih panas jika mereka mau mengerti.


Baca Juga : Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Ayat 82

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang munafik itu sepantasnya lebih banyak menangis daripada tertawa memikirkan nasib dan dosa mereka di dunia dan di akhirat karena mereka akan menerima azab yang pedih, sesuai dengan perbuatan mereka di dunia.

Di dunia mereka mendapat kehinaan dan kerugian karena perbuatan mereka sendiri, yaitu menghina dan mengejek orang-orang mukmin, membuat propaganda busuk untuk menghalang-halangi orang Islam dan mematahkan semangat perjuangan.

Sedang di akhirat nanti membawa dosa yang banyak dan tidak dapat ampunan dari Allah swt. Hal ini sesuai pula dengan sabda Rasulullah yang ditujukan kepada orang-orang mukmin.

Telah bersabda Rasullah saw:

لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا: يَظْهَرُ النِّفَاقُ وَتَرْتَفِعُ اْلأَمَانَةُ وَتُقْبَضُ الرَّحْمَةُ وَيُتَّهَمُ اْلأَمِيْنُ وَيُؤْتَمَنُ غَيْرُ اْلأَمِيْنِ أَنَاخَ بِكُمُ الشُّرُفَ الْجُوْنُ الْفِتَنُ كَأَمْثَالِ اللَّيْلِ المُظْلِمْ (رواه الحاكم عن أبي هريرة)

Jika kamu ketahui apa-apa yang aku ketahui, niscaya kamu akan sedikit tertawa dan banyak menangis, meluaskan kemunafikan dan lenyapnya amanat, dicabutnya rahmat, orang yang jujur dituduh dan orang yang curang dipercayai. Huru-hara mencekam kamu, fitnahpun mencekam keadaan menjadi gelap seperti malam yang gelap gulita. (Riwayat al-Hakim dari Abu Hurairah)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 83-86


Tafsir Surah Al A’raf ayat 157

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 157 mengulas tentang beberapa sifat Muhammad sebagai Rasulullah. Diantaranya dalam Tafsir Surah Al A’raf ayat 157 ini ialah Rasulullah merupakan Nabi yang Ummi, memerintahkan perbuatan ma’ruf dan melarang perbuatan mungkar, menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk. Selengkapnya baca Tafsir Surah Al A’raf ayat 157 di bawah ini.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 156


Ayat 157

Sifat-sifat Muhammad sebagai Rasul ialah:

  1. Nabi yang ummi (buta huruf)

Dalam ayat ini diterangkan bahwa salah satu sifat Muhammad saw ialah tidak pandai menulis dan membaca. Sifat ini memberi pengertian bahwa orang yang ummi tidak mungkin membaca Taurat dan Injil yang ada pada orang-orang Yahudi dan Nasrani, demikian pula cerita-cerita kuno yang berhubungan dengan umat-umat dahulu. Hal ini membuktikan bahwa risalah yang di bawa oleh Muhammad saw itu benar-benar berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Mustahil seseorang yang tidak tahu tulis baca dapat membuat dan membaca Al-Qur’an dan hadis yang memuat hukum-hukum, ketentuan-ketentuan ilmu pengetahuan yang demikian tinggi nilainya. Seandainya    Al-Qur’an itu buatan Muhammad, bukan berasal dari Tuhan Semesta Alam tentulah manusia dapat membuat atau menirunya, tetapi sampai saat ini belum ada seorang manusia pun yang sanggup menandinginya.

وَمَا كُنْتَ تَتْلُوْا مِنْ قَبْلِهٖ مِنْ كِتٰبٍ وَّلَا تَخُطُّهٗ بِيَمِيْنِكَ اِذًا لَّارْتَابَ الْمُبْطِلُوْنَ 

“Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Qur’an) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; sekiranya (engkau pernah membaca dan menulis), niscaya ragu orang-orang yang mengingkarinya.” (al-‘Ankabut/29: 48);2.

2. Kedatangan Nabi Muhammad telah diberitakan dalam Taurat dan Injil

Kedatangan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul penutup diisyaratkan di dalam Taurat (Kejadian xxi. 13,18; Ulangan xviii. 15) dan Injil (Yohanes xiv. 16), di dalam Al-Qur’an disebutkan dengan jelas bahwa mereka pun sudah mengenal pribadi Muhammad dan akhlaknya :

اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَعْرِفُوْنَهٗ كَمَا يَعْرِفُوْنَ اَبْنَاۤءَهُمْ ۗ وَاِنَّ فَرِيْقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُوْنَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ 

Orang-orang yang telah Kami beri Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.  Sesungguhnya sebagian mereka pasti menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui(nya). (al-Baqarah/2: 146);

Yahudi dan Nasrani telah menyembunyikan pemberitaan tentang akan diutusnya Muhammad saw dengan menghapus pemberitaan ini dan menggantinya dengan yang lain di dalam Taurat dan Injil. Banyak ayat     Al-Qur’an yang menerangkan tindakan-tindakan orang-orang Yahudi dan Nasrani mengubah isi Taurat.

Sekalipun demikian masih terdapat ayat-ayat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengisyaratkan akan kedatangan Muhammad itu. Dalam kitab Kejadian xi:13 diterangkan bahwa akan datang seorang Nabi  akhir zaman nanti dari keturunan Ismail.

Dari Taurat ada beberapa isyarat yang dapat dijadikan dalil untuk menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang nabi di antara nabi-nabi. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dinobatkan oleh Tuhan itu akan timbul dari saudara-saudara Bani Israil, tetapi bukan dari Bani Israil itu sendiri.

Adapun saudara-saudara Bani Israil itu ialah Bani Ismail (ras Arab), sebab Ismail adalah saudaranya yang lebih tua dari Ishak bapak Nabi Ya’qub. Dan Nabi Muhammad saw sudah jelas adalah keturunan Bani Ismail.

Kemudian dalam kitab Kalnest terdapat kata, “Yang seperti engkau” yang memberikan arti bahwa nabi yang akan datang haruslah seperti Nabi Musa, Nabi yang membawa syariat baru (agama Islam) yang juga berlaku untuk bangsa Israil, kemudian diterangkan lagi bahwa nabi itu tidak sombong, sejak sebelum menjadi nabi. Sebelum menjadi Nabi beliau sudah disenangi orang, terbukti dengan pemberian gelar oleh orang Arab kepadanya “Al-Amin”; yang artinya, “Orang yang dipercaya”. Jika beliau orang yang sombong, tentu beliau tidak akan diberi gelar yang amat terpuji itu. Setelah menjadi Nabi beliau lebih ramah dan rendah hati.

Umat Nasrani menyesuaikan Nubuat itu kepada Nabi Isa di samping mereka mengakui bahwa Isa mati terbunuh (disalib). Hal ini jelas bertentangan dengan ayat Nubuat itu sendiri. Sebab Nabi itu haruslah tidak mati terbunuh. Disebutkan pula bahwa Tuhan telah datang dari Bukit Sinai, maksudnya memberikan wahyu kepada Musa dan telah terbit bagi mereka di Seir (Ulangan ii. 1-8)”, maksudnya menurunkan kepada Nabi Isa wahyu, serta gemerlapan cahayanya dari gunung Paran, maksudnya menurunkan wahyu kepada Muhammad saw. Paran (Faron) adalah nama salah satu bukit di Mekah.

Dalam Yohanes xiv.16, xv.26 dan xvi.7 disebutkan Nubuat Nabi Muhammad saw sebagai berikut: “Maka ada pun apabila telah datang Periclytos, yang Aku telah mengutusnya kepadamu dari bapak, roh yang benar yang berasal dari bapak, maka dia menjadi saksi bagiku, sedangkan kamu menjadi saksi sejak semula. Perkataan “Periclytos” adalah bahasa Yunani, yang artinya sama dengan “Ahmad” dalam bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:

وَاِذْ قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ يٰبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ مُّصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرٰىةِ وَمُبَشِّرًاۢ بِرَسُوْلٍ يَّأْتِيْ مِنْۢ بَعْدِى اسْمُهٗٓ اَحْمَدُۗ

“Dan (ingatlah) ketika Isa putera Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” (ash-Tsaff/61: 6)

Demikianlah sekali pun ada bagian Taurat dan Injil yang diubah, ditambah, dan dihilangkan, juga masih terdapat isyarat-isyarat tentang kenabian dan kerasulan Muhammad saw. Itu pulalah sebabnya sebagian ulama Yahudi dan Ibrani yang mengakui kebenaran berita itu segera beriman kepada Muhammad dan risalah yang dibawanya, seperti Abdullah bin Salam dari kalangan Yahudi, Tamim ad-Dari dari kalangan Nasrani.

  1. Nabi menyuruh berbuat ma’ruf dan melarang berbuat mungkar

Perbuatan yang ma’ruf ialah perbuatan yang baik, yang sesuai dengan akal sehat, bermanfaat bagi diri mereka sendiri, manusia dan kemanusiaan serta sesuai dengan ajaran agama. Sedangkan perbuatan yang mungkar ialah perbuatan yang buruk, yang tidak sesuai dengan akal yang sehat, dan dapat menimbulkan mudarat bagi diri sendiri, bagi manusia dan kemanusiaan. Perbuatan ma’ruf yang paling tinggi nilainya ialah mengakui keesaan Allah, dan menunjukkan ketaatan kepada-Nya, sedang perbuatan mungkar yang paling buruk ialah menyekutukan Allah swt.

  1. Menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk

Yang dimaksud dengan yang baik ialah yang halal lagi baik, tidak merusak akal, pikiran, jasmani dan rohani. Sedangkan yang dimaksud dengan buruk ialah yang haram, yang merusak akal, pikiran, jasmani dan rohani.

  1. Menghilangkan berbagai beban dan belenggu yang memberatkan

Maksudnya ialah bahwa syariat yang dibawa Nabi Muhammad saw tidak ada lagi beban yang berat seperti yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya mensyariatkan membunuh diri atau membunuh nafsu untuk sahnya tobat, mewajibkan qishash pada pembunuhan, baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja, tanpa membolehkan membayar diat, memotong bagian badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang terkena najis, dan sebagainya. Sesuai dengan firman Allah swt:

مَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ 

“Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur”. (al-Ma’idah/5: 6)

Demikian juga Rasululllah saw bersabda :

َبشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا، يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَتَطَاوَعُوْا وَلاَ تَخْتَلِفُوْا (رواه البخاري

“Berilah kabar gembira dan janganlah memberikan kabar yang menakut-nakuti, mudahkanlah dan jangan mempersukar, bersatulah dan jangan berselisih.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Sesungguhnya kepada Bani Israil telah diisyaratkan hukum-hukum yang berat, baik hukum ibadah, maupun hukum muamalat. Kemudian kepada Nabi Isa as diisyari’atkan hukum ibadah yang berat. Sedang syariat Nabi Muhammad saw, sifatnya tidak memberatkan, tetapi melapangkan dan memperingan tanggungan, baik yang berhubungan dengan hukum-hukum ibadah maupun yang berhubungan dengan hukum-hukum muamalat.

Allah menerangkan cara-cara mengikuti Rasul yang telah disebutkan ciri-cirinya, agar bahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti, ialah beriman kepadanya dan kepada risalah yang dibawanya, menolongnya dengan rasa penuh hormat, menegakkan dan meninggikan agama yang dibawanya, mengikuti Al-Qur’an yang dibawanya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 158-160


Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 125

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembahasan sebelumnya Allah memperingatkan kepada Bani Israil untuk mengikuti agama Allah dan orang beriman untuk melaksanakan perintah Allah. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 125 masih berbicara tentang ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 122-124


Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 125 secara tidak langsung Allah memerintahkan orang beriman untuk menirukan ketaatan Nabi Ibrahim. Seperti Allah memerintahkan agar Maqam Ibrahim dijadikan sebagai tempat salat.

Ayat 125

Diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw, dan kaum Muslimin agar mengingat ketika Allah menjadikan Ka’bah sebagai tempat berkumpul manusia, tempat yang aman, dan menjadikan Maqam Ibrahim sebagai tempat salat. Maqam Ibrahim ialah tempat berpijak bagi Ibrahim ketika membangun Ka’bah.

Perintah Allah kepada Ibrahim dan Ismail itu untuk menenteramkan hati Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin dalam menghadapi keingkaran orang kafir dan untuk menerangkan kepada orang musyrik, Yahudi dan Nasrani bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad itu seasas dengan agama yang dibawa Nabi Ibrahim, agama nenek moyang mereka.

Ada dua faedah yang dapat diambil dari ayat di atas sehubungan dengan didirikannya Ka’bah: Pertama, tempat berkumpul bagi manusia untuk ibadah. Sejak zaman dahulu sebelum Nabi Muhammad saw diutus sampai saat ini Ka’bah atau Mekah telah menjadi tempat berkumpul manusia dari segala penjuru, dari segala macam bangsa dalam rangka menghormati dan melaksanakan ibadah haji.

Hati mereka merasa tenteram tinggal di sekitar Ka’bah. Setelah mereka kembali ke tanah air, hati dan jiwa mereka senantiasa tertarik kepadanya dan selalu bercita-cita ingin kembali lagi bila ada kesempatan.

Kedua, Allah swt menjadikannya sebagai tempat yang aman. Maksudnya, Allah menjadikan tanah yang berada di sekitar Masjidil haram sebagai tanah dan tempat yang aman bagi orang-orang yang berada di sana. Sejak dahulu sampai saat ini orang-orang Arab mengagungkan dan menyucikannya.

Orang-orang Arab terkenal dengan sifat suka menuntut bela atas orang atau kabilah yang membunuh atau menyakiti atau menghina keluarganya. Di mana saja mereka temui orang atau kabilah itu, penuntutan balas akan mereka laksanakan. Kecuali bila mereka menemuinya di Tanah Haram, mereka tidak mengganggu sedikit pun.

Dalam pada itu sejak zaman dahulu banyak usaha dari orang-orang Arab sendiri atau dari bangsa-bangsa yang lain untuk menguasai Tanah Haram atau untuk merusak Ka’bah, tetapi selalu digagalkan Allah, seperti usaha Abrahah Raja Najasyi dengan tentaranya untuk menguasai Tanah Haram dan Ka’bah. Mereka dihancurkan.

Allah berfirman:

اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ  ١

اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ  ٢

وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ  ٣

تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ  ٤

فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ ࣖ   ٥

Tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (al Fil/105:1-5)

اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّا جَعَلْنَا حَرَمًا اٰمِنًا وَّيُتَخَطَّفُ النَّاسُ مِنْ حَوْلِهِمْۗ اَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُوْنَ وَبِنِعْمَةِ اللّٰهِ يَكْفُرُوْنَ

Tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, padahal manusia di sekitarnya saling merampok. Mengapa (setelah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang batil dan ingkar kepada nikmat Allah? (al-‘Ankabut/29:67)

Allah memerintahkan agar Maqam Ibrahim dijadikan sebagai tempat salat. Faedah perintah itu ialah untuk menghadirkan perintah itu di dalam pikiran atau agar manusia mengikuti apa yang diperintahkan itu, seolah-olah perintah itu dihadapkan kepada mereka sehingga perintah itu tertanam di dalam hati mereka dan mereka merasa bahwa diri mereka termasuk orang yang diperintah.


Baca juga: Al-Baqarah Ayat 286: Allah Swt Tidak Akan Membebani Seseorang Melebihi Kemampuannya


Dengan demikian, maksud ayat ialah: Orang-orang dahulu yang beriman kepada Ibrahim a.s. diperintahkan agar menjadikan sebagian Maqam Ibrahim sebagai tempat salat.

Perintah itu ditujukan pula kepada orang-orang yang datang kemudian, yang mengakui Ibrahim a.s., sebagai nabi dan rasul Allah dan mengakui Nabi Muhammad saw, salah seorang dari anak cucu Ibrahim a.s. sebagai nabi yang terakhir.

Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk membersihkannya dalam arti yang sebenarnya dan dalam arti kiasan. Membersihkan dalam arti yang sebenarnya ialah membersihkan dari segala macam benda yang dihukumkan najis, seperti segala macam kotoran dan sebagainya.

Membersihkan dalam arti kiasan ialah membersihkannya dari segala macam perbuatan yang mengandung unsur-unsur syirik, perbuatan menyembah berhala, perbuatan-perbuatan yang terlarang, bertengkar dan sebagainya.

Perintah membersihkan Ka’bah ini sekalipun ditujukan kepada Nabi Ibrahim dan Ismail, tetapi termasuk juga orang-orang yang datang sesudahnya. Allah menamakan Ka’bah yang didirikan itu dengan  Rumah Allah  (Baitullah).

Penamaan itu bukan berarti Allah tinggal di dalam atau di sekitar Ka’bah. Tetapi maksudnya ialah bahwa Allah menjadikan rumah itu tempat beribadah kepada-Nya dan dalam beribadah menghadap ke arah Ka’bah.

Hikmah menjadikan Ka’bah sebagai  rumah Allah  dan menjadikan sebagai arah menghadap di dalam beribadah kepada Allah Pencipta dan Penguasa seluruh makhluk agar manusia merasa dirinya dapat langsung menyampaikan pujian, pernyataan syukur, permohonan pertolongan dan permohonan doa kepada Allah.

Manusia kurang dapat menyatakan pikirannya dalam beribadah kepada Allah bila tidak dilakukan di tempat tertentu dan menghadap ke arah tertentu.

Dengan adanya tempat tertentu dan arah tertentu, manusia dapat menambah imannya setiap saat, memperdalam pengetahuannya, dan mempertinggi nilai-nilai rohani dalam dirinya. Karena dengan demikian dia merasakan seolah-olah Allah ada di hadapannya demikian dekat, sehingga tidak ada yang membatasi antaranya dengan Allah.

Pada ayat yang lain ditegaskan bahwa ke mana saja manusia menghadap dalam beribadah, berdoa akan menemui wajah Allah, dan sampai kepada-Nya, karena Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa penamaan Ka’bah sebagai rumah Allah hanyalah untuk mempermudah manusia dalam membulatkan pikirannya dalam beribadah. Pada asasnya Allah Mahabesar, Maha Mengetahui lagi Mahaluas.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 126


(Tafsir kemenag)

Peran Sayyidah Khadijah Saat Nabi Menerima Wahyu Pertama di Bulan Ramadan

0
Sayyidah Khadijah Saat Nabi Menerima Wahyu Pertama
Sayyidah Khadijah Saat Nabi Menerima Wahyu Pertama

Ramadan merupakan bulan istimewa bagi seluruh umat muslim di berbagai penjuru dunia. Di bulan penuh berkah ini, ada beberapa peristiwa bersejarah yang kaya akan hikmah dan pelajaran berharga. Salah satu yang amat berkesan tetapi seringkali terlewatkan adalah kisah heroik Sayyidah Khadijah Radiallahu ‘Anha, istri pertama Nabi Saw. yang berperan penting ketika beliau pertama kali menerima wahyu. Sosok Khadijah dikenang oleh penduduk Makkah sebagai seorang perempuan berkepribadian luhur dan bergelar al-Thahirah (perempuan suci).

Muhammad Saw adalah utusan Allah Swt

Melansir keterangan Zakky Mubarak dalam artikelnya Sejarah Nabi Muhammad (2): Wahyu Pertama yang Menggetarkan, peristiwa turunnya wahyu pertama terjadi ketika Jibril as mendatangi Nabi Saw. dan berkata, “Bacalah!” Nabi menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Jibril as menarik dan memeluk Nabi erat-erat hingga beliau kepayahan. Lalu Jibril as melepaskan Nabi dan sekali lagi berkata, “Bacalah!” Hal ini berulang sampai tiga kali. Setelah itu, Jibril as melepaskan Nabi sembari melafalkan QS. Al Alaq [96]: 1-5:

ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ  ١ خَلَقَ ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ  ٢ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ  ٣ ٱلَّذِي عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ  ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ  ٥

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Peristiwa mengenai wahyu pertama yang diterima Nabi Saw. ini terjadi pada suatu malam di bulan Ramadan tahun 610 M di sudut sebuah gua yang dikenal dengan Gua Hira. Menurut sebagian besar kalangan ulama, QS. Al Alaq [96]: 1-5 ini merupakan awal pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang rasul melalui perantara Jibril as. Sebelumnya, Nabi Muhammad Saw. telah diangkat menjadi seorang nabi melalui al-rukyah al-Shadiqah (mimpi yang benar) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah.

Baca juga: Surah al-Baqarah Ayat 216, Cinta dan Benci sebagai Sifat Manusia

Pendapat ini dipegangi oleh al-Syaukani dalam kitabnya Fath al-Qadir. Al-Baihaqi menambahkan, bahwa pengangkatan Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang nabi terjadi tepatnya pada Rabiul Awal, atau sekitar enam bulan sebelum peristiwa Gua Hira. Menurut Ibnu Hajar al-Ashqalani, komunikasi ilahi melalui rukyah al-Shadiqah tersebut bertujuan menyiapkan mental Nabi Saw. untuk menerima wahyu berikutnya.

Mengenang Peran Sayyidah Khadijah

Khadijah bukanlah perempuan biasa. Beliau banyak mempelajari tanda-tanda kenabian dari kitab-kitab samawi sebelumnya. Allah Swt. telah memberi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa pemuda bernama Muhammad bin Abdullah berbeda dengan pemuda Makkah lainnya. Mulai dari peristiwa pembedahan dada yang disaksikan oleh teman-teman sebaya Nabi Saw, batu yang mengucapkan salam, suara panggilan dari langit, serta awan yang selalu memayungi kemanapun Nabi Saw. melangkahkah kaki dan sebagainya. Ditambah kemuliaan akhlak Baginda yang begitu agung hingga beliau dikenal sebagai al-Amin.

Setelah menyampaikan wahyu pertama QS. Al Alaq [96]: 1-5 dan Nabi selesai membacakannya, Jibril as pun pergi meninggalkan Nabi. Namun, wahyu pertama ini terpateri kuat dalam sanubari Nabi Saw. Dalam keadaan masih gemetar, beliau kembali ke rumah menemui Khadijah dan memintanya untuk menyelimuti beliau hingga hilanglah semua ketakutan itu. Nabi lalu menceritakan semua apa yang beliau alami dan berkata, “Sungguh aku mencemaskan diriku.”

Baca juga: Surah Maryam [19] Ayat 26: Kisah Maryam Berpuasa Bicara

Dengan penuh kasih, Khadijah mencoba menenangkan Nabi seraya berucap, “Sama sekali tidak. Demi Allah, Allah selamanya tidak akan menghinakan engkau. Sesungguhnya engkau selalu menyambung tali persaudaraan, selalu menanggung orang yang kesusahan, selalu mengupayakan apa yang diperlukan, selalu menghormati tamu dan membantu derita orang yang membela kebenaran.” Khadijah pun berharap Nabi Saw. menjadi seorang utusan penghujung zaman yang akan memandu umat manusia (Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah).

Khadijah tidak tinggal diam melihat kegelisahan yang merundung Baginda Nabi Saw. Tak berselang lama, beliau mengajak Nabi menemui Waraqah bin Naufal, seorang pemeluk Nasrani yang alim kitab Injil. Kedatangan Khadijah menemui anak pamannya itu untuk lebih memastikan kejadian-kejadian yang dialami oleh Nabi adalah tanda-tanda kenabian dan kerasulan. Khadijah juga berharap, perjumpaannya itu bisa melepas kegundahan yang melanda hati Nabi Saw.

Khadijah berkata kepada Waraqah, “Wahai anak pamanku, dengarkanlah cerita anak saudaramu ini.” Waraqah segera bertanya kepada Nabi, “Wahai anak saudaraku, apakah yang kau lihat?” Lalu Nabi menceritakan apa yang beliau lihat dan alami di Gua Hira. Setelah mendengar semuanya, Waraqah berkata lagi kepada Nabi, “Itulah Namus (Jibril as) yang pernah diutus Allah kepada Musa. Mudah-mudahan aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu.”

Mendengar itu, Nabi Saw. pun bertanya, “Apakah mereka akan mengusirku?” Waraqah menjawab, “Ya, karena setiap utusan yang membawa seperti apa yang engkau bawa pasti akan dimusuhi. Kelak, engkau akan mengalami masa-masa seperti itu. Dan jika aku masih hidup, aku pasti akan menolongmu sekuat tenaga.” Tidak lama dari perjumpaan itu, Waraqah bin Naufal tutup usia.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Bersanggama di Bulan Ramadan

Walhasil, kisah ini mengandung hikmah yang luar bisa. Begitu tepatnya Allah Swt. memilih Khadijah, sosok perempuan tangguh dan tegar yang selalu ada di sisi Nabi Saw. ketika beliau dipikulkan risalah agung. Tidak hanya berperan penting menenangkan Nabi Saw. di saat ketakutan dan kebingungan melanda hati beliau, Khadijah pun berusaha mencarikan jalan keluar dengan membicarakannya kepada Waraqah bin Naufal. Setelah peristiwa penerimaan wahyu pertama itu, Khadijah adalah pendamping hidup yang setia menemani setiap perjuangan Nabi. Beliau selalu membela Nabi Saw. ketika kaum Makkah justru mendustakan dan menentangnya.

Begitulah sekelumit kisah Khadijah yang berhasil memerankan dirinya sebagai istri shalihah. Meskipun konteks kisah ini tentang peran Khadijah ketika penerimaan wahyu, namun pesannya dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Inilah salah satu kunci utama suksesnya sebuah kehidupan rumah tangga; istri mampu menjadi tempat kembali dan memberikan ketenangan bagi sang suami, dan suami berkeluh kesah kepada istri, bukan perempuan lain.

Wallahu a’lam []

Tafsir Surah Hud Ayat 62-67

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 62-67 berbicara mengenai proses dakwah Nabi Saleh a.s kepada kaum Samud. Sebagaimana Nabi Hud a.s, Nabi Saleh juga diingkari oleh sebagian besar kaumnya. Akibat dari keingkaran itu azab pun menimpa mereka.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 58-61


 Ayat 62

Seruan Nabi Saleh yang demikian baiknya dan disertai dengan alasan-alasan yang dapat diterima serta dikuatkan dengan janji, bahwa mereka akan mendapat ampunan dari Allah Yang Maha Pemurah, ditolak mentah-mentah oleh kaumnya.

Mereka menjawab: “Hai Saleh, engkau adalah tumpuan harapan kami, karena engkau adalah orang yang terpandang, orang yang arif bijaksana, keturunan orang-orang mulia di antara kami dan kami percaya bahwa engkau akan dapat memimpin kami ke jalan yang benar.

Tetapi semua harapan kami itu telah engkau kecewakan dengan seruanmu. Kami merasa heran, mengapa kamu melarang kami menyembah tuhan-tuhan kami yang telah menjadi sembahan kami dan nenek moyang kami sejak dahulu kala?

Ayat 63

Nabi Saleh a.s. menjawab tuduhan dan tantangan kaumnya itu dengan menyatakan bahwa seruannya itu adalah seruan yang benar untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka sendiri, jika mereka mau memikirkan dan mempertimbangkannya.

Nabi Saleh meminta mereka mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya, jika ternyata ia yang benar dan dapat mengemuka-kan bukti-bukti dari Tuhan atas kebenaran seruan itu. Apakah mungkin ia mendurhakai-Nya dan enggan menyampaikan seruan ini kepada kaumnya.

Siapakah yang dapat menolong jika Allah membinasakannya karena kedurhakaan itu? Ia harus menyampaikan kebenaran ini dan menjelaskan kepada mereka bahwa sembahan-sembahan dan berhala-berhala itu, tidak dapat menolong mereka sedikit pun.

Oleh karena itu, sembahlah Allah yang menciptakan mereka dan memberi nikmat dan karunia kepada mereka sehingga mereka dapat hidup senang di muka bumi ini.

Ayat 64

Nabi Saleh a.s. mengatakan kepada kaumnya yang ingkar, bahwa kalau mereka tidak percaya akan seruanya ini, maka Allah telah mengirimkan seekor unta yang istimewa sebagai bukti atas kebenaran seruannya.

Unta ini jauh berbeda sifat dan tingkah lakunya dari unta biasa, baik mengenai makan-minumnya, maupun tabiat dan sifatnya. Mereka dilarang mengganggunya dan membiarkan unta itu makan dan minum di tempat yang disukainya. Jika mereka berani mengganggu atau menganiayanya pasti mereka akan ditimpa siksaan dari Allah.


Baca juga:  Isyarat Pelestarian Alam Dibalik Kisah Nabi Shalih, Unta dan Kaum Tsamud


Ayat 65

Tetapi kaum Samµd tetap tidak mempercayainya dan tetap menentang serta memperolok-olokkannya bahkan membunuh unta yang dikirimkan Allah sebagai mukjizat itu. Nabi Saleh a.s. sangat bersedih hati atas tindakan kaumnya, sebab dia yakin mereka akan dibinasakan Allah karena perbuatan mereka membunuh unta itu.

Lalu Nabi Saleh berkata, “Kamu diberi kesempatan oleh Allah bersenang-senang hidup di negeri ini selama tiga hari, dan sesudah itu kamu akan dibinasakan karena keingkaran dan kedurhakaan kamu. Ini adalah janji dari Allah, yang pasti terlaksana dan kamu akan melihat sendiri.”

Ayat 66

Tatkala datang malapetaka yang diancamkan Allah kepada kaum Samµd, sebagai siksaan dan balasan atas kedurhakaan mereka, Allah swt menyelamatkan Nabi Saleh a.s. dan orang-orang yang beriman bersamanya, dengan karunia dan rahmat-Nya, dari azab dan siksaan itu.

Pada hari tersebut, mereka yang durhaka dimusnahkan semuanya. Mereka mendapat nama buruk dalam sejarah manusia, yang tentu saja akan dianggap sebagai lembaran hitam yang menodai kemurnian dan ketinggian martabat manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Sungguh amat berat siksaan yang ditimpakan Allah kepada mereka, tetapi tindakan itu adalah adil dan sesuai dengan dosa dan kesalahan yang mereka lakukan. Allah-lah yang berhak melakukannya dan Dia-lah yang dapat melaksanakannya karena Dia adalah Maha Perkasa dan Maha Kuasa.

Ayat 67

Kaum Samµd dibinasakan Allah dengan suara keras yang mengguntur, menggoncangkan hati setiap pendengarnya dan menimbulkan gempa yang amat dahsyat, sehingga orang yang berdosa dan durhaka itu jatuh tersungkur tidak sadarkan diri lalu ditelan oleh bumi yang telah merekah dan pecah-belah. Tidak seorang pun di antara mereka yang dapat menyelamatkan diri dari malapetaka itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 68-72


(Tafsir Kemenag)

Surah al-Baqarah Ayat 216, Cinta dan Benci sebagai Sifat Manusia

0
Cinta dan Benci
Cinta dan Benci

Pada artikel ini akan dibahas mengenai rasa cinta dan benci yang dimiliki manusia. Kedua sifat tersebut dapat dijadikan acuan bagaimana seorang manusia terutama orang yang beriman bersikap atas segala sesuatu. Allah Swt dalam Surah al-Baqarah ayat 216 berfirman:

 وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ …

‎“… dan boleh Jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, ‎dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk ‎bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. Al-‎Baqarah: 216)‎

Cinta dan benci adalah suatu hal yang lumrah dalam hidup ini. Kita ‎semua mencintai sesuatu yang menghadirkan kesenangan, kenyamanan dan ‎kebahagiaan. Kita semua membenci sesuatu yang menimbulkan kesedihan, ‎kekecewaan dan penderitaan.‎

Baca Juga: Bismillāhirrahmānirrahīm, Belajar Cinta dan Kasih dari Basmalah

Cinta dan benci adalah sesuatu yang manusiawi dan wajar belaka. ‎Menjadi tidak manusiawi dan tidak wajar, ketika kecintaan kita terhadap ‎sesuatu itu berlebihan dan melampaui batas-batas kemanusiaan dan ‎kewajaran. Pun demikian halnya dengan benci. Kebencian kita kepada sesuatu ‎menjadi tidak manusiawi dan tidak wajar, ketika kebencian itu sudah ‎berlebihan, bahkan melampaui batas-batas kemanusiaan dan kewajaran.‎

Kita semua benci kegagalan. Kita semua pasti kecewa ketika cita-cita ‎dan harapan kita tidak terwujud. Tidak jarang, kekecewaan kita berujung pada ‎sikap frustrasi, bahkan mempertanyakan keadilan Tuhan. Pertanyaannya ‎kemudian, ketika kegagalan menghampiri kita, pernahkah kita berpikir tentang ‎rencana Allah di balik kegagalan tersebut?‎

Jika kita telisik lebih jauh makna dari ayat di atas, maka akan kita ‎temukan sebuah pelajaran penting yang sangat berharga, yaitu boleh jadi kita ‎membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kita menurut Allah. Allah pasti ‎Mahatahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Sesungguhnya, di balik ‎kegagalan yang kita alami, Allah sudah menyiapkan rencana lain yang jauh ‎lebih baik dari rencana kita.‎

Pun demikian halnya, boleh jadi kita mencintai sesuatu, padahal ia ‎amat buruk bagi kita dalam pandangan Allah. Allah Mahatahu yang ‎tersembunyi di balik setiap peristiwa. Sesungguhnya, dibalik kecintaan kita ‎terhadap sesuatu, tersimpan keburukan yang akan menyengsarakan kita di ‎kemudian hari.‎

Penulis pernah mengalami dua hal di atas, yakni kecewa dan sedih ‎dengan kegagalan sebuah rencana, tetapi akhirnya berganti dengan ‎kebahagiaan. Di saat yang lain, penulis pernah terlalu mencintai sesuatu, ‎tetapi akhirnya berujung dengan penyesalan.‎

Mungkin pembaca juga pernah mengalami hal yang sama. Ya, inilah ‎kehidupan. Banyak hal yang tampak buruk di hadapan kita, tetapi ternyata ‎menyimpan sebuah keindahan dan kenikmatan tak terhingga di kemudian ‎hari. Tidak sedikit hal yang tampak indah dan menyenangkan di depan mata ‎kita, tetapi sesungguhnya di dalamnya tersimpan keburukan yang akan ‎menyengsarakan kita.‎

Ironisnya, banyak di antara kita yang seringkali larut dalam kesedihan ‎dan kekecewaan, ketika rencana yang sudah kita susun dengan baik, kita ‎persiapkan dengan matang, tetapi berakhir dengan kegagalan. Tidak sedikit di ‎antara kita yang sedih berkepanjangan, sampai pada puncak kesedihan dan ‎kekecewaannya hingga mempertanyakan keadilan Tuhan.‎

Di sisi lain, seringkali kita lalai dan terlena dengan kesenangan yang ‎kita alami dan rasakan. Kita abai bahwa bisa jadi kesenangan kita justru awal ‎dari petaka dan kesengsaraan di masa yang akan datang.

Baca Juga: Meneladani Rasa Cinta Tanah Air dari Nabi Muhammad SAW. dan Nabi Ibrahim AS.

Kita seringkali larut ‎dan terbuai dengan segala kemudahan dan kenikmatan hidup yang kita jalani. ‎Padahal, tidak menutup kemungkinan bahwa di balik kenikmatan itu tersimpan ‎penyesalan berkepanjangan.‎

Rencana Allah pasti yang terbaik. Inilah prinsip yang harus selalu kita ‎pegang teguh. Ketika kegagalan, musibah, atau apa pun yang kita anggap ‎buruk menimpa kita, yakinlah di balik peristiwa itu pasti ada hikmah ‎tersembunyi yang kelak akan kita petik. Ketika kesenangan, kemudahan ‎ataupun hal lainnya yang kita anggap baik menghampiri kita, tetaplah ‎memohon petunjuk kepada Allah, agar kita terhindar dari hal buruk yang ‎mungkin menimpa kita tanpa kita duga sebelumnya.‎ Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al A’raf ayat 156

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 156 mengulas tentang Nabi Musa yang berdoa kepada Allah memohon pengampunan dan juga kebaikan di dunia.


Baca Sebelumnya :Tafsir Surah Al A’raf ayat 152-155


Ayat 156

Dalam Tafsir Surah Al A’raf ayat 156 ini Nabi Musa berdoa, “Berilah kami kebajikan di dunia, yaitu sehat jasmani dan rohani, diberi keturunan penyambung hidup dan penerus cita-cita, diberi kehidupan dalam keluarga yang diliputi rasa kasih sayang, dianugerahi rezeki yang halal, serta taufik dan hidayah, sehingga bahagia pula hidup di akhirat. Sesungguhnya kami berdoa dan bertobat kepada Engkau, kami berjanji tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan terlarang dan kami kembali kepada iman yang sebenar-benarnya, serta mengamalkan amal yang saleh yang Engkau ridai.”

Allah berfirman, “rahmat-Ku lebih cepat datangnya kepada hamba-hamba-Ku daripada amarah-Ku, dan azab-Ku khusus Aku limpahkan kepada hamba-hamba-Ku yang Aku kehendaki, yaitu orang-orang yang berbuat kejahatan, ingkar dan durhaka.” Tentang rahmat, nikmat dan keutamaan-Ku, semuanya itu meliputi alam semesta, tidak satu pun dari hamba-Ku yang tidak memperoleh-Nya, termasuk orang-orang kafir, orang-orang yang durhaka, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Muslim, penyembah patung anak sapi dan sebagainya. Sesungguhnya jika bukanlah karena rahmat, nikmat, dan keutamaan-Ku, niscaya telah aku binasakan seluruh alam ini, karena kebanyakan orang kafir, durhaka, yang selalu mengerjakan kemaksiatan.

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوْا مَا تَرَكَ عَلٰى ظَهْرِهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّلٰكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۚ

“Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satupun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)-nya, sampai waktu yang sudah ditentukan.” (Fathir/35: 45)

Allah menegaskan bahwa rahmat, nikmat Allah yang diberikannya kepada orang-orang kafir, sifatnya sementara, tidak abadi, dan tidak sempurna, sedangkan rahmat yang sempurna dan abadi akan dianugerahkan-Nya kepada orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang menunaikan zakat.

Dalam ayat ini disebut zakat, tidak disebut amal lain yang tidak kalah nilainya dari zakat. Hal ini ada hubungannya dengan banyaknya orang yang enggan mengeluarkan zakat dibanding banyaknya orang yang enggan mengerjakan amal lain yang diperintahkan Allah. Juga merupakan isyarat kepada sifat orang Yahudi yang sangat cinta kepada harta dan enggan menyerahkan sebagian hartanya di jalan Allah.

Penetapan rahmat, nikmat dan keutamaan secara istimewa kepada orang-orang yang takwa dan menunaikan zakat itu adalah seperti ketetapan Allah secara istimewa kepada orang-orang yang membenarkan ayat-ayat-Nya, dan mengakui keesaan Allah dan kebenaran rasul-rasul-Nya yang telah diutus-Nya dengan pengakuan yang didasarkan atas pengetahuan dan keyakinan, bukan berdasarkan taklid dan pengaruh adat kebiasaan nenek-moyang mereka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 157


 

Tafsir Surah Al A’raf ayat 150-151

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 150-151 menjelaskan sikap Nabi Musa terhadap kaumnya yang telah menyembah anak sapi. Selain itu Tafsir Surah Al A’raf ayat 150-151 ini juga mengisahkan dialog Nabi Musa dan Nabi Harun, dua Nabi yang masih bersaudara namun sangat berbeda wataknya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 147-149


Ayat 150

Ayat ini menjelaskan Sikap Nabi Musa terhadap perbuatan kaumnya yang telah menyembah anak sapi. Ia sedih karena merasa segala usaha dan perjuangannya yang berat selama ini tidak memperoleh hasil yang diinginkannya. Ia sangat marah kepada saudaranya Harun yang telah dijadikan sebagai wakilnya untuk memimpin kaumnya sepeninggal ia pergi menemui panggilan Tuhannya ke bukit Sinai, seakan-akan Harun tidak melaksanakan tugasnya, dan membiarkan kaumnya sesat, tidak menegur dan mengambil tindakan sedikit pun terhadap mereka yang ingkar. Musa pun merasa takut kepada Allah dan merasa khawatir akan menerima kemurkaan Allah kepadanya dan kaumnya yang telah menjadi musyrik.

Dalam keadaan sedih, putus asa yang bercampur marah terlontarlah perkataan yang keras yang ditujukan kepada saudaranya Harun dan kaumnya, yang menyatakan tugas dan amanat yang diberikannya kepada Harun telah sia-sia, tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dengan susah payah ia telah mengajar dan mendidik kaumnya, sehingga mereka telah beriman kepada Allah dan hanya menyembah kepada-Nya saja.

Ia baru saja menerima wahyu Allah yang berisi petunjuk dan syariat yang akan diajarkan kepada kaumnya. Apa yang terjadi pada kaumnya ketika ia kembali sangat berlawanan dengan yang dikehendakinya. Yang diinginkannya ialah agar kaumnya tetap menyembah Allah Yang Maha Esa sepeninggalnya, kemudian ketundukan dan kepatuhan itu akan bertambah, setelah ia dapat mengajarkan wahyu yang baru diterimanya dari Allah itu. Sedang yang terjadi adalah pekerjaan yang paling buruk dan yang paling besar dosanya yaitu memperserikatkan Tuhan.

Selanjutnya Musa berkata kepada kaumnya. Mengapa kamu sekalian tidak sabar menanti kedatanganku kembali sesudah bermunajat kepada  Tuhan, sampai kamu membuat patung dan menyembahnya seperti menyembah Allah, padahal aku hanya terlambat sepuluh malam. Apakah kamu mempunyai prasangka lain terhadapku karena keterlambatanku itu.

Menurut suatu riwayat, bahwa Samiri pernah berkata kepada Bani Israil sewaktu ia memperlihatkan patung anak sapi yang baru dibuatnya kepada mereka: Ini adalah tuhanmu dan tuhan Musa, sesungguhnya Musa tidak akan kembali dan sesungguhnya ia telah mati.

Dalam kemarahannya Nabi Musa melemparkan lauh-lauh yang ada di tangannya, tetapi bukan bermaksud hendak merusaknya, seperti disebutkan dalam Perjanjian Lama,  maka bangkitlah amarah Musa; dilemparkannyalah kedua lauh itu dari tangannya dan dipecahkannya pada kaki gunung itu.  (Keluaran 32:19).

Nyatanya dalam 7:154 benda-benda itu masih utuh, berisi ajaran Allah.  Rasanya kurang hormat (kalau tidak akan dikatakan menghina Tuhan) bila menduga bahwa Utusan Allah telah menghancurkan lauh-lauh yang berisi ajaran-ajaran Allah dalam kemarahannya yang tak terkendalikan itu. lalu memegang ubun-ubun Harun, karena ia mengira bahwa Harun tidak berusaha sungguh-sungguh mencegah perbuatan kaumnya menyembah patung anak sapi itu, dan tindakan-tindakan yang telah dilakukan selama ia pergi ke Bukit Sinai, atau melaporkan perbuatan kaumnya yang telah sesat itu. Sangkaan Musa kepada Harun ini dilukiskan dalam firman Allah sebagai berikut:

قَالَ يٰهٰرُوْنُ مَا مَنَعَكَ اِذْ رَاَيْتَهُمْ ضَلُّوْٓا ۙ  ٩٢  اَلَّا تَتَّبِعَنِۗ اَفَعَصَيْتَ اَمْرِيْ   ٩٣ 

“Dia (Musa) berkata, “Wahai Harun! apa yang menghalangimu ketika engkau melihat mereka telah sesat, (sehingga) engaku tidak mengikuti aku?” Apakah engkau telah (sengaja) melanggar perintahku?” (Taha/20: 92-93)

Perkataan Musa dijawab oleh Harun, “Wahai anak ibuku, janganlah engkau tergesa-gesa mencela aku, dan jangan pula tergesa-gesa memarahi aku, karena menyangka aku tidak bersungguh-sungguh melaksanakan perintahmu dan tidak menghalangi mereka. Sebenarnya aku telah berusaha menghalangi mereka dari mengerjakan perbuatan sesat itu dan memberi nasihat kepada mereka.

Tetapi mereka memandangku orang yang lemah, bahkan mereka hampir saja membunuhku. Janganlah engkau bertindak terhadapku dengan tindakan yang menyenangkan musuh; mereka gembira dan tertawa lantaran bencana yang menimpa diriku, janganlah engkau masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang suka mengerjakan perbuatan yang berakibat kerugian bagi diriku sendiri, yaitu golongan yang menyembah patung anak sapi, aku sendiri bukanlah termasuk golongan itu.”

Sikap Musa dan Harun yang berbeda terhadap perbuatan kaumnya itu menunjukkan pula perbedaan watak kedua orang Nabi Allah ini. Musa adalah orang yang keras dan tegas menghadapi suatu perbuatan sesat yang dilarang Allah, sedang Harun adalah orang yang lemah lembut dan tidak mau menggunakan kekerasan dalam menghadapi perbuatan sesat.

Ayat 151

Mendengar jawaban Harun itu, lembutlah hati Musa, dan beliau pun berkata sambil berdoa, “Wahai Tuhanku, ampunilah aku terhadap perbuatanku yang terlalu kasar terhadap saudaraku, baik berupa perkataan maupun perbuatan, dan ampunilah segala kelemahan saudaraku sebagai wakil dan penggantiku dalam bertindak terhadap orang-orang yang sesat itu. Wahai Tuhanku masukkanlah kami ke dalam rahmat-Mu yang luas dan Engkaulah Tuhan Yang Maha Pengasih.”

Dengan doa Nabi Musa itu hilanglah harapan-harapan orang yang menginginkan terjadinya perpecahan antara Musa dan Harun, dan orang-orang yang menginginkan agar Musa bertindak keras terhadap saudaranya Harun itu.

Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa Harun tidak terlibat sedikit pun dalam perbuatan kaumnya yang menyembah anak sapi, sesuai dengan pernyataannya kepada saudaranya Musa itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 152-155


 

Keistimewaan Madu Sebagai Obat dalam Tafsir Surah AN-Nahl Ayat 68-69

0
Keistimewaan madu sebagai obat
Keistimewaan madu sebagai obat

Ada banyak cara mengelola kesehatan badan dari zaman bahela sampai sekarang. Kreatifitas manusia tak henti berinovasi mencari hal-hal baru dalam mengembangkan gerakan healthy life.

Salah satu cara menjaga kesehatan badan adalah dengan mengonsumsi makanan atau minuman yang baik dan halal serta menjauhi segala yang diharamkan Allah dalam al-kitab maupun as-sunnah. Nah, di antara minuman yang paling disukai Nabi adalah madu. Madu sendiri berasal dari nektar yang dihasilkan oleh lebah. Keistimewaan lebah telah dijelaskan dalam Al-Qur’an bersamaan dengan keistimewaan madu sebagai obat.

Dalam surat An-Nahl [16] ayat 68-69 Allah berfirman:

وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ (68) ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (69)

(68) Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia; (69) kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir. (QS. An-Nahl [16]:68-69).

Sirajuddin Umar dalam kitabnya membagi dua jenis lebah. Pertama, lebah yang tinggal di gunung dan hutan, lebah ini tidak dapat dipelihara oleh satupun manusia. Kedua, lebah yang hidup di pohon dan rumah manusia, tentu lebah jenis inilah yang dapat diternak manusia. (Al-Lubab fi Ulum al-Kitab/12/111)

Baca Juga: Tafsir Ayat Syifa: Inilah Khasiat Madu bagi Kesehatan Manusia

Keistimewaan madu sebagai obat

Keistimewaan madu sebagai obat dituturkan oleh Az-Zuhaili dalam tafsirnya. Di situ ia menuturkan bahwa minuman yang keluar dari perut lebah adalah madu. Warnanya bervariasi meliputi putih, kuning dan merah. Di dalamnya mengandung obat dan sangat bermanfaat untuk menyembuhkan berbagai penyakit manusia, madu masih termasuk dalam kategori jamu dan obat-obatan (farmasi). Allah swt menyifati madu dengan tiga hal;

1) Madu sebagai minuman. Dapat diminum langsung atau dicampur dengan minuman lainnya seperti air putih, teh, susu dan sebagainya.

2) Madu memiliki banyak warna mulai merah, putih, kuning dan lainnya. Tergantung usia dan jenis kelamin lebah.

3) Madu sebagai obat yang dapat menyembuhkan penyakit-penyakit manusia. (At-Tafsir Al-Munir/14/172)

Al-Mawardi dalam An-Nukat wa al-‘Uyun menjelaskan makna dari lafaz “شِفَاءٌ لِلنَّاسِ” ada tiga pendapat:

1) Lafaz tersebut berarti al-Qur’an. Karena al-Qur’an adalah pedoman bagi manusia (bayan li an-nas). Ini merupakan pendapat Mujahid.

2) Lafaz tersebut berarti pelajaran. Yakni sebagai petunjuk bagi manusia (hudan li an-nas). Pendapat ini dikemukakan oleh Ad-Dlahhak.

3) Lafaz tersebut berarti madu. Karena di dalam madu terdapat obat bagi manusia (syifa’an li an-nas). Pendapat ini dari Ibnu Mas’ud dan Qatadah. (An-Nukat wa al-‘Uyun/3/199-200).

Baca Juga: Al-Quran Sebagai Obat, Bagaimana Memahaminya?

Masih dari Ibnu Mas’ud yang dikutip Ar-Razi dalam tafsirnya, “Madu adalah obat dari segala penyakit manusia, sedangkan al-Qur’an adalah obat bagi hati manusia”(Mafatih al-Ghaib/20/239). Pendapat Ibnu Mas’ud berdasarkan riwayat hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam sunan-nya,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” عَلَيْكُمْ بِالشِّفَاءَيْنِ: الْعَسَلِ، وَالْقُرْآنِ “

Hendaklah kalian menggunakan dua obat, yaitu madu dan al-Qur’an (HR. Ibnu Majah). (Sunan Ibn Majah/2/1142)

Madu sering dikonsumsi oleh Nabi selama hidupnya, Nabi sendiri bertitah bahwa madu merupakan obat yang sangat manjur. Dijelaskan oleh Imam Bukhari dalam sahih-nya bab kitab at-thib bahwa ada seorang laki-laki mendatangi Nabi bermaksud meminta saran karena saudara laki-laki tersebut perutnya sakit, kemudian Nabi menyuruh agar saudaranya diberi minuman yang dicampur dengan madu.

Berikut teks lengkapnya,

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ: أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَخِي يَشْتَكِي بَطْنَهُ، فَقَالَ: «اسْقِهِ عَسَلًا» ثُمَّ أَتَى الثَّانِيَةَ، فَقَالَ: «اسْقِهِ عَسَلًا» ثُمَّ أَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَقَالَ: «اسْقِهِ عَسَلًا» ثُمَّ أَتَاهُ فَقَالَ: قَدْ فَعَلْتُ؟ فَقَالَ: «صَدَقَ اللَّهُ، وَكَذَبَ بَطْنُ أَخِيكَ، اسْقِهِ عَسَلًا» فَسَقَاهُ فَبَرَأَ

Bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw, seraya berkata: “Sesungguhnya saudaraku perutnya mulas”, maka Rasulullah saw bersabda: “Minumkanlah ia madu”, kemudian orang itu kembali mendatangi Rasulullah saw kedua kalinya, lalu Rasulullah saw bersabda: “Minumkan lagi ia madu”, kemudian orang itu kembali mendatangi Rasulullah saw ketiga kalinya, seraya berkata: “Saya telah melakukannya”, kemudian Rasulullah saw bersabda: “Allah berkata benar, dan perut saudaramu berdusta, maka berilah saudaramu itu madu”. Lalu orang itu memberi si sakit itu madu, kemudian si sakit sembuh” (HR. Bukhari-Muslim). (Sahih al-Bukhari/7/123)

Baca Juga: Kisah Raja Najasyi dan Obat Sakit Kepala dari Terjemah Ayat Al-Quran

Cara hidup sehat Nabi juga diamini oleh sahabat sekaligus menantunya, Ali bin Abi Thalib. Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip pernyataan Ali bin Abi Thalib tentang kehinaan dunia yang menyatakan, “Sebaik-baik pakaian manusia adalah yang berasal dari liurnya ulat (sutera) dan sebaik-baik minuman manusia yakni liurnya lebah (madu)” (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an /10/135).

Keistimewaan madu sebagai obat tidak hanya bermanfaat bagi orang yang sudah telanjur sakit saja, orang yang sehat pun bisa mendapatkan manfaat darinya. Oleh karena itu, madu selain untuk penyembuh sakit juga sebagai obat pencegah sakit.

Cairan kental tersebut dapat dikonsumsi bagi semua jenis usia, mulai dari anak kecil, orang dewasa hingga lansia. Dalam kamus kesehatan, familiar adagium “lebih baik mencegah dari pada mengobati”. Sedangkan dalam kamus fikih, istilahnya yaitu ad-daf’u aula min ar-raf’i yang artinya mencegah lebih baik dari pada menghilangkan.

Wallahu a’lam.