Beranda blog Halaman 347

Tafsir Surah Hud Ayat 58-61

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 58-61 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai azab yang turun kepada kaum Nabi Hud a.s yang ingkar. Kedua berbicara mengenai utusan Allah yang lainnya, yaitu Nabi Saleh a.s. Ia diutus kepada kaum Samud.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 55-57


Ayat 58

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa sewaktu datang azab Allah kepada kaum Hud a.s. sebagai akibat dari pembangkangan mereka, Nabi Hud a.s. beserta pengikut-pengikutnya yang beriman telah diselamat-kan Allah dari azab dunia yang sangat dahsyat itu sebagai rahmat dan karunia Allah kepada mereka dan akan menyelamatkan mereka dari azab Allah yang lebih berat di akhirat nanti.

Sedang kaum Hud a.s. yang tetap menentang dan membangkang itu, musnah semuanya dan akan mendapat azab yang lebih berat di akhirat nanti.

Adapun azab Allah yang ditimpakan kepada kaum Hud a.s. yaitu berupa angin yang sangat dingin lagi kencang, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

وَاَمَّا عَادٌ فَاُهْلِكُوْا بِرِيْحٍ صَرْصَرٍ عَاتِيَةٍۙ  ٦

سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَّثَمٰنِيَةَ اَيَّامٍۙ حُسُوْمًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيْهَا صَرْعٰىۙ  كَاَنَّهُمْ اَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍۚ  ٧

فَهَلْ تَرٰى لَهُمْ مِّنْۢ بَاقِيَةٍ   ٨

Sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang sangat dingin, Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus; maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk). Maka adakah kamu melihat seorang pun yang masih tersisa di antara mereka? (al-Haqqah/69: 6-8)

Ayat 59

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa itulah kisah kaum ‘Ad yang telah mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah dan mendurhakai rasul-Nya yang diutus untuk memberikan petunjuk kepada mereka menuju jalan yang benar, yaitu mengesakan-Nya dan mematuhi perintah-Nya.

Tetapi mereka hanya mau mematuhi perintah penguasa yang sewenang-wenang yang tidak mau mengikuti kebenaran walaupun dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang cukup meyakinkan.

Pada ayat ini diterangkan bahwa bangsa ‘Ad (kaum Hud a.s.) itu mendurhakai rasul-rasul Allah. Apakah memang demikian? Atau hanya mereka durhakai seorang rasul Allah saja yaitu Hud a.s.?

Para mufasir menjelaskan bahwa yang mereka dustakan itu adalah Hud a.s., tetapi mendustakan atau mendurhakai seorang rasul Allah berarti mendustakan atau mendurhakai semua rasul-Nya. Sebab, semua rasul mengemban tugas yang sama, yaitu mengajak supaya bertauhid kepada Allah dan mematuhi perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.


Baca juga: Epidemiologi Al-Qur’an (2): Virus Sampar Dalam Kisah Nabi Shalih dan Kaum Tsamud


Ayat 60

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa kaum ‘Ad yang terus-menerus membangkang dalam kekafiran itu, telah ditimpa kutukan Allah di dunia ini, sehingga mereka musnah semuanya ditiup angin keras yang sangat dahsyat dan kelak disusul dengan azab yang lebih pedih dan lebih dahsyat lagi pada hari Kiamat.

Selanjutnya Allah memperingatkan kepada semua hamba-Nya agar menyadari bahwa demikian itulah balasan terhadap kaum ‘Ad yang kafir, yang mengingkari keesaan Allah Yang Mahakuasa, yang telah menciptakan mereka. Mereka juga mendustakan rasul-rasul-Nya dengan angkuh dan keras kepala, hanya karena mengejar keberuntungan duniawi yang tidak kekal.

Kemudian pada akhir ayat ini, Allah menyatakan dengan jelas bahwa kebinasaanlah bagi kaum ‘Ad yang telah jauh dari rahmat Allah, mereka adalah kaum Hud a.s. yang tidak percaya kepada Hud a.s. dan kepada dakwah yang dibawanya, sehingga mereka mendapat kutukan di dunia dan di akhirat.

Ayat 61

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Dia telah mengutus seorang utusan kepada kaum Samµd, namanya Saleh. Ia menyeru mereka supaya menyembah Allah dan meninggalkan sembahan-sembahan yang telah membawa mereka kepada jalan yang salah dan menyesatkan.

Allah-lah yang menciptakan mereka dari tanah. Dari tanah itulah diciptakan-Nya Adam a.s. dan dari tanah itu pulalah asal semua manusia. Setelah manusia berkembang biak di atas bumi mereka diserahi tugas memakmurkannya, sebagai anugerah dan karunia dari Allah.

Dengan karunia itu kaum Samµd telah hidup senang bahkan mereka telah dapat pula membuat rumah tempat berlindung seperti tersebut dalam firman Allah:

وَكَانُوْا يَنْحِتُوْنَ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا اٰمِنِيْنَ   ٨٢

Dan mereka memahat rumah-rumah dari gunung batu, (yang didiami) dengan rasa aman. (al-Hijr/15: 82)

Demikian besarnya karunia dan nikmat Allah yang diberikan kepada mereka. Maka mereka wajib mensyukuri nikmat itu dengan mengagungkan dan memuliakan-Nya dan tidak menyembah selain-Nya.

Dan seharusnyalah mereka bertobat kepada-Nya, karena keterlanjuran mereka berbuat kesesatan, menyembah sembahan-sembahan selain Dia.

Bila mereka menyadari hal itu dan dengan sungguh-sungguh bertobat kepada-Nya tentulah Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penerima tobat akan mengampuni mereka dan memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang saleh. Inilah yang diserukan dan dianjurkan Nabi Saleh a.s. kepada kaumnya itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 62-67


(Tafsir Kemenag)

Rahasia Makna Adanya Perintah Allah dalam Al-Qur’an

0
Makna Adanya Perintah Allah dalam Al-Qur’an
Makna Adanya Perintah Allah dalam Al-Qur’an

Perintah Allah dalam al-Qur’an merupakan titah yang harus dilakukan oleh makhluk yang diberikan baban untuk melaksanakannya. Makhluk tersebut mencakup manusia dan jin, yang sudah jelas dalam al-Qur’an diperintahkan untuk beribah. Perintah-perintah tersebut baik berupa langsung menggunakan fi’il amr atau selainnya yang bermakna perintah.

Di balik banyaknya ‘bentuk’ perintah dalam al-Quran, dalam kajian ushul fiqh makna perintah tersebut tidak harus menghasilkan hukum wajib; namun, dapat dijadikan sebagai tanda pada hukum mubah (boleh), bahkan sebagai tahqir (merendahkan pada lawan).

Disamping itu, al-Qur’an sekaligus menegaskan bahwa di dalamnya terdapat tuntunan dan ajaran untuk umat manusia. Sebut saja, ketika al-Qur’an memerintahkan kepada manusia supaya melaksanakan ibadah haji, maka dalam waktu yang sama haji menjadi ajaran yang terdapat dalam al-Quran (Islam). Dalam masalah keyakinan, ayat-ayat yang bernada perintah “berimanlah” merupakan beban yang harus ditanggung oleh manusia, artinya harus dilaksanakan.

Baca juga: Surah Maryam [19] Ayat 26: Kisah Maryam Berpuasa Bicara

Akan tetapi, manusia terkadang tidak menyadari lebih mendalam apa rahasia dibalik adanya perintah Allah dalam al-Quran. Memang, sikap tersebut tidak sepenuhnya salah, karena yang terpenting adanya perintah -ketika yang wajib- harus dilaksanakan. Dampaknya, mereka kurang menyadari hikmah dan manfaat dari adanya perintah tersebut. Bahkan pada level lebih jauh, mereka berani meninggalkan perintah-perintah Allah swt.

Lantas apa saja rahasia adanya perintah yang terdapat dalam al-Qur’an? dan bagaimana kita menyikapi perintah tersebut?

Pertama, mengagungkan Allah Swt

Rahasia yang pertama ialah mengagungkan Allah. Adanya kekuatan dan kekuasaan ditandai dengan mampu menguasai dan mengatur semua hal. Hal demikianlah bukti Allah itu qudrat dan iradat; mampu sekaligus menghendaki terhadap semua hal yang ada di alam raya ini, walaupun dalam pandangan hukum adat tidak mungkin.

Gambaran demikian dapat dilihat dari kekuatan Allah dalam memerintahkan semua makhluk, khususnya manusia dan jin. Apabila kita analisis antara hubungan perintah dan kekuasaan maka pemahaman kita, perintah dan menjalankannya merupakan bentuk mengagungkan Allah.

Sebagai contoh, ketika seorang ‘bos’ memberi perintah kepada ‘karyawannya’, kemudian ‘karyawan’ tersebut melaksanakan perintah tersebut; maka ada nilai dalam kejadian tersebut: 1) mengukuhkan ‘bos’ sebagai orang yang berkuasa; 2) sebagai bentuk pernghormatan terhadap ‘bos’.

Dalam al-Quran, Allah memerintahkan salat supaya mereka mengagungkan dan menghormati Allah swt. Tidak berhenti hanya pada sekedar mengugurkan kewajiban saja, tetapi dalam pelaksanaannya harus disertai dengan pengagungan dan penghormatan kepada Allah sebagai ‘yang memerintahkan’.

وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱرۡكَعُواْ مَعَ ٱلرَّٰكِعِينَ

Artinya: ‘Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’. Q.S Al-Baqarah [2]: 43.

Dalam ayat tersebut terdapat tiga perintah, semuanya menggunakan fi’il amr, yakni وَأَقِيمُواْ, وَءَاتُواْ, وَٱرۡكَعُواْ. Semua perintah tersebut menyimpan rahasia, yakni mengagungkan Allah. Zakat sebagai ritual keagamaan yang memiliki tujuan membersihkan diri dan harta sendiri; bahkan dalam perintah zakat tersebut sebagai ekspresi seseorang untuk mensyukuri nikmat dan harta yang telah didapatkan.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Bersanggama di Bulan Ramadan

Kemudian dalam perintah ketiga, ruku’lah menyimpan makna ketundukkan dan kepatuhan, sehingga dengan perintah tersebut secara otomatis melarang memiliki sikap takabbur dan sombong. Artinya, secara sederhana dalam perintah tersebut menyimpan rahasian mengagungkan Allah dan memiliki rasa tidak mampu ketika dihadapkan dengan Tuhan.

Sebagaimana Al-Razi menafsirkan lafaz tersebut, bahwa perintah ‘ruku’lah’ merupakan larangan takabur yang dicela dan perintah untuk merendahkan diri (Mafatih al-Ghaib 3:487). Sebagaimana dalam Q.S al-Maidah [5]: 54.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٖۚ ذَٰلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ  ٥٤

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui Q.S al-Maidah [5]: 54.

Kedua, simpati terhadap sesama

Tidak dibenarkan seseorang yang hubungan dengan Allah baik, tapi hubungan dengan sesama tidak baik. Karena amal shaleh itu hubungan dengan Allah dan manusia baik. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Hal demikian merupakan repsentasi dari perintah Allah dalam al-Quran.

Adanya perintah puasa Ramadhan bukan sekedar ibadah privat kita dengan Tuhan, tetapi di dalamnya terdapat rahasia yang mengharuskan kita untuk mengasihi sesama, simpati, dan memerhatikan sesama. Menahan lapar dan dahaga diharapkan sebagai pelajar bahwa di luar sana masih banyak orang yang merasakan kelaparan, bukan di bulan Ramadhan saja, tetapi selain Ramadhan.

Baca juga: Menelusuri Sejarah Kewajiban Puasa Menurut Para Mufasir

Merasakan apa yang mereka rasakan (yaitu kelaparan) adalah pelajar yang efektif sekaligus dapat memupuk rasa simpatik kita terhadap mereka yang kurang mampu.

Oleh karena itu, sama hal nya perintah jihad dalam al-Quran yang praktekan dengan menyakiti dan membunuh sesama; bahkan menimbulkan teror serta tidak ada rasa simpatik dan kasih sayang maka praktek demikian tidak dibenarkan dalam agama, karena menyalahi hakikat adanya perintah dalam al-Quran.

Perintah zakat dan shadaqah merupakan perintah yang memang mengharuskan kita untuk berbagi dengan sesama yang dimana al-Quran telah menentukan orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq zakat). Berbagi dan memerhatikan merupakan rahasia yang terdapat dalam perintah zakat, sekaligus rahasia di dalamnya.

Alhasil, semua perintah Allah dalam al-Quran tidak terlepas dari dua poin di atas, yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan perintah tersebut. Dengan demikian, apa pun bentuk perintah-Nya menyimpan rahasia dan semangat mengagungkan Allah dan simpatik kepada sesama.

Wallahu ‘Alam

Tafsir Surah Hud Ayat 55-57

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 55-57 masih berbicara mengenai tantangan-tantangan Nabi Hud a.s dalam menghadapi kaumnya yang ingkar. Nabi Hud dengan sabar menjawab segala pertanyaan yang diajukan kepadanya. Bahkan Nabi Hud menantang balik kaumnya itu.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 52-54


Ayat 55

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan kelanjutan dari jawaban Nabi Hud a.s. kepada kaumnya dengan yang lebih keras dan dijiwai oleh keberanian yang penuh untuk mempertanggungjawabkan kebenaran dakwahnya.

Dengan nada menantang Hud a.s. menyuruh kaumnya yang sangat membangkang itu, supaya bersatu semuanya bersama dengan tuhan-tuhan mereka dalam melaksanakan segala macam tipu daya untuk membinasakan-nya seketika itu juga, tanpa memberikan kesempatan kepadanya, untuk mempersiapkan lebih dahulu guna membela diri.

Jawaban ini cukup jelas menunjukkan bahwa Hud a.s. tidak takut sama sekali kepada kaumnya yang kafir itu, apalagi kepada tuhan-tuhan mereka yang tidak dapat berbuat apa-apa. Perkataan serupa ini pernah diucapkan Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya, sebagaimana yang diterangkan dalam firman Allah:

فَاَجْمِعُوْٓا اَمْرَكُمْ وَشُرَكَاۤءَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُنْ اَمْرُكُمْ عَلَيْكُمْ غُمَّةً ثُمَّ اقْضُوْٓا اِلَيَّ وَلَا تُنْظِرُوْنِ   ٧١

Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku), dan janganlah keputusanmu itu dirahasiakan. Kemudian bertindaklah terhadap diriku, dan janganlah kamu tunda lagi. (Yunus/10: 71)

Ayat 56

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan perkataan Hud a.s. dalam menjawab tantangan kaumnya, yaitu setelah ia menyuruh mereka bergabung semuanya bersama dengan tuhan-tuhan mereka dalam melaksanakan segala macam tipu daya untuk membinasakannya, lalu dinyatakannya bahwa ia sudah bertawakkal sepenuhnya kepada Allah Tuhannya, dan juga Tuhan mereka yang telah menciptakan alam semesta ini.

Tidak ada binatang satu pun yang melata di atas jagat raya ini yang tidak dikuasai-Nya, dan Allah Mahaadil membimbing hamba-Nya di atas jalan yang lurus, menolong orang-orang yang benar, dan menindas orang-orang yang zalim.

Dengan demikian, jawaban Hud a.s. kepada kaumnya yang bernada menantang dengan berani itu, bukanlah didorong oleh rasa sombong, takabur dan sebagainya, tetapi didorong oleh keimanan yang telah membaja dalam lubuk hatinya untuk mempertanggungjawabkan kebenaran dakwahnya yang disampaikan kepada kaumnya.

Hud a.s. yakin bahwa orang-orang kafir dari kaumnya itu tidak akan dapat berbuat sesuatu apa pun di luar ketentuan dan kehendak Allah. Maka timbullah tawakalnya sesuai dengan anjuran Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (Ali  ‘Imran/3: 159)


Baca juga: Epidemiologi Al-Qur’an (2): Virus Sampar Dalam Kisah Nabi Shalih dan Kaum Tsamud


 Ayat 57

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan rangkaian penutup dari perkataan Hud a.s. kepada kaumnya dengan memperingatkan bahwa jika mereka berpaling dari apa yang telah disampaikannya itu, dan tetap mendustakannya sebagai rasul Allah, maka ia tidak dapat lagi berbuat lebih dari itu, karena ia telah melaksanakan dakwah yang diamanatkan Allah kepadanya.

Amanat itu telah dilaksanakan dengan ikhlas, dan tugasnya hanya sekadar menyampaikan. Oleh karena itu, jika mereka masih tetap menantang dan membangkang, maka azab Allah akan ditimpakan kepada mereka dan mereka diganti Allah dengan kaum yang lain.

Selanjutnya Hud a.s. menegaskan bahwa mereka sedikitpun tidak akan dapat membuat mudarat terhadap Allah, disebabkan berpaling dari keimanan atau dengan sebab-sebab lainnya.

Sesungguhnya Allah Maha Pemelihara segala sesuatu dengan cermat, sesuai dengan sunnah-Nya yang ditentukan oleh iradah-Nya, antara lain menolong rasul-rasul-Nya dan menimpa azab kepada musuh-musuh mereka.

Penegasan Hud a.s. kepada kaumnya bahwa mereka tidak akan dapat membuat mudarat kepada Allah, disebabkan berpalingnya mereka dari beriman dan tetap dalam kekafiran, bukanlah sekadar peringatan untuk menakut-nakuti mereka, tetapi memang demikianlah hakikat dan kenyataannya, dan ini sesuai dengan firman Allah:

اِنْ تَكْفُرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ ۗوَلَا يَرْضٰى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَۚ وَاِنْ تَشْكُرُوْا يَرْضَهُ لَكُمْۗ

Jika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur, Dia meridai kesyukuranmu itu. (az-Zumar/39:7);Dan firman Allah:

فَاعْبُدُوْا مَا شِئْتُمْ مِّنْ دُوْنِهٖۗ قُلْ اِنَّ الْخٰسِرِيْنَ الَّذِيْنَ خَسِرُوْٓا اَنْفُسَهُمْ وَاَهْلِيْهِمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِۗ

Maka sembahlah selain Dia sesukamu! (wahai orang-orang musyrik). Katakanlah, ”Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari Kiamat.” (az-Zumar/39:15)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 58-61


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 122-124

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya telah dibahas mengenai pengingkaran Ahli Kitab kepada Nabi Muhammad. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 122-124 masih berhubungan dengan sebelumnya, peringatan kepada Bani Israil untuk mengikuti agama Allah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 119-121


Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 122-124 ini memperingatkan orang-orang yang beriman agar selalu melaksanakan semua perintah dan menghentikan larangan Allah. Seperti Nabi Ibrahim yang mengalami banyak ujian dan cobaan namun tetap taat akan perintah Allah.

Ayat 122

Ayat ini mengingatkan lagi kepada Bani Israil akan nikmat yang pernah diberikan Allah kepada nenek moyang mereka. Allah telah melebihkan mereka dari bangsa-bangsa lain yang semasa dengan mereka.

Nikmat yang diberikan Allah itu adalah karena mereka selain berpegang kepada ajaran Allah, kepada keadilan dan kebenaran, mereka mempunyai sifat-sifat dan cita-cita yang mulia dan menjauhi sifat yang buruk dan mengekang keinginan dan hawa nafsu.

Ayat 123

Bani Israil diperingatkan agar selalu mengikuti agama Allah. Hendaklah mereka ingat akan kedatangan suatu hari, yang pada hari itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menolong kecuali Allah.

Pada hari itu seseorang tidak dapat menolong orang lain menghindari diri dari azab Allah, tiap-tiap orang bertanggung jawab atas segala perbuatan yang pernah dilakukannya. Seseorang tidak dapat menebus dosanya dengan harta apa pun, dan seseorang tidak dapat menggantikan orang lain memikul azab.

Ayat ini memperingatkan orang-orang yang beriman agar selalu menjaga diri dari azab hari Kiamat dengan melaksanakan semua perintah dan menghentikan larangan Allah.

Ayat 124

Ibrahim a.s. diuji Tuhan dengan beberapa kalimat dengan menugaskan perintah dan larangan, seperti membangun Ka’bah, membersihkannya dari segala macam kemusyrikan, mengorbankan anaknya Ismail a.s., menghadapi raja Namrud, dan sebagainya.

Menurut Mahmud Zahram, Ibrahim a.s. telah diberi oleh Allah ber-macam-macam pengalaman ujian dan cobaan. Dia diperintahkan Allah menyembelih anaknya, perjalanan pulang pergi antara Syam dengan Hijaz untuk melihat anak dan istrinya yang berada di kedua tempat itu, dan sebagainya.

Allah tidak menerangkan macam-macam kalimat yang telah ditugaskan kepada Nabi Ibrahim. Hal ini memberi petunjuk bahwa tugas yang telah diberikan Allah itu adalah besar, berat dan banyak. Sekalipun demikian Ibrahim a.s. telah melaksanakan tugas dan beban itu dengan sebaik-baiknya yang membawanya ke tempat kedudukan yang sempurna.

وَاِبْرٰهِيْمَ الَّذِيْ وَفّٰىٓ ۙ

Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (an Najm/53:37)

Perkataan,  Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu imam bagi seluruh manusia,  tidak ada hubungannya dengan kalimat yang sebelumnya, karena tidak ada kata penghubung (atf) pada permulaan kalimat tersebut.

Menurut Muhammad Abduh, kalimat tersebut adalah kalimat yang berdiri sendiri, tidak ada hubungannya dengan kalimat yang sebelumnya.

Maksudnya ialah bahwa pangkat imam (nabi dan rasul) adalah semata-mata pangkat yang dianugerahkan oleh Allah dan hanya Dia sendiri yang menetapkan kepada siapa pangkat itu akan diberikan-Nya.

Tidak semua manusia dapat mencapainya sekalipun dia telah melaksanakan segala perintah dan menghentikan segala larangan Allah.

Dengan perkataan lain, pangkat imam yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Ibrahim itu ditetapkan atas kehendak-Nya, bukan ditetapkan karena Nabi Ibrahim telah menyelesaikan dan menyempurnakan tugas yang diberikan kepadanya, agar dia menyadari bahwa pangkat yang diberikan Allah itu sesuai baginya, dan agar dia merasa dirinya mampu melaksanakan tugas dan memikul beban yang telah diberikan.


Baca juga: Hikmah Dibalik Ayat-Ayat Waris dan Derajat Perempuan di Masa Jahiliah


Setelah dianugerahi pangkat  imam  itu, Nabi Ibrahim a.s. berdoa kepada Allah agar pangkat  imam  dianugerahkan pula kepada keturunannya di kemudian hari. Doa Nabi Ibrahim ini doa yang sesuai dengan sunatullah.

Menurut sunatullah, anak dan keturunan sambungan hidup bagi seseorang. Suatu cita-cita yang tidak sanggup dicapai semasa hidup di dunia diharapkan agar anak dan keturunan dapat menyampaikannya.

Tugas imam merupakan tugas yang suci dan mulia karena pemberian tugas itu bertujuan hendak mencapai cita-cita yang suci dan mulia pula. Ibrahim a.s. merasa dirinya tidak sanggup mencapai semua cita-citanya yang terkandung di dalam tugasnya selama hidup di dunia.

Karena itu dia berdoa kepada Allah agar anak cucunya dianugerahi pula pangkat imam itu, sehingga cita-cita yang belum dapat dicapai semasa hidupnya dapat dilanjutkan dan dicapai oleh anak cucu dan keturunannya.

Dari ayat di atas dapat dipahami pula bahwa cara Nabi Ibrahim berdoa sesuai dengan sunatullah sehingga merupakan cara berdoa yang benar dan termasuk doa yang dikabulkan Allah. Terbukti, di kemudian hari bahwa semua rasul yang diutus Allah sesudahnya berasal dari keturunannya.

Dari firman Allah, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim” dapat dipahami bahwa di antara keturunan Nabi Ibrahim itu ada orang-orang zalim. Pada ayat lain Allah menerangkan bahwa keturunan Ibrahim itu ada yang zalim dan ada yang berbuat baik. Allah berfirman:

وَبٰرَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلٰٓى اِسْحٰقَۗ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَّظَالِمٌ لِّنَفْسِهٖ مُبِيْنٌ ࣖ

Dan Kami limpahkan keberkahan kepadanya dan kepada Ishak. Dan di antara keturunan keduanya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang terang-terangan berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (as-Saffat/37:113)

Allah berfirman:

وَجَعَلَهَا كَلِمَةً ۢ بَاقِيَةً فِيْ عَقِبِهٖ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَۗ

Dan (Ibrahim) menjadikan (kalimat tauhid) itu kalimat yang kekal pada keturunannya agar mereka kembali (kepada kalimat tauhid itu). (az-Zukhruf/43:28)

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa Nabi Ibrahim menjadikan kalimat tauhid sebagai pegangan bagi keturunannya. Jika di antara mereka ada yang mempersekutukan Allah, mereka diminta kembali kepada kalimat tauhid.

 Zalim  (aniaya) itu bermacam-macam. Zalim terhadap diri sendiri ialah tidak melaksanakan perintah dan tidak meninggalkan larangan Allah sehingga mendapat kemurkaan dan azab Allah yang membawa bencana kepada diri sendiri. Zalim terhadap makhluk-makhluk Allah, seperti berbuat kerusakan di bumi, memutuskan silaturahmi, zalim terhadap manusia dan sebagainya.

Dari perkataan “zalim” dapat dimengerti bahwa bagi seorang imam tidak boleh ada sifat zalim. Mustahil pangkat itu diberikan kepada orang yang kotor jiwanya, orang-orang yang tidak melaksanakan perintah-perintah Allah dan tidak menghentikan larangan-larangan-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 125


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surah Al A’raf ayat 152-155

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 152-155 menjelaskan bahwa Samiri serta pengikutnya yang menyembah patung anak Sapi dan tidak mau bertaubat akan mendapat murkanya Allah. Oleh sebab itu Tafsir Surah Al A’raf ayat 152-155 khususnya pada ayat 153 diterangkan kembali bahwa sebesar apapun dosa yang telah kita lakukan Allah akan memaafkan asalkan kita bertaubat.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 150-151


Ayat 152 

Semua orang Bani Israil yang telah menyembah patung anak sapi, seperti Samiri dan pengikut-pengikutnya, dan yang tidak mau bertobat kepada Allah kelak akan mendapat kemarahan Allah dan tobat mereka tidak akan diterima lagi, kecuali dengan membunuh nafsu mereka, sebab akan hidup terhina di dunia ini. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Baqarah/2: 54 :

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ يٰقَوْمِ اِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ اَنْفُسَكُمْ بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوْبُوْٓا اِلٰى بَارِىِٕكُمْ فَاقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِنْدَ بَارِىِٕكُمْۗ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۗ اِنَّهٗ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ  

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Kamu benar-benar telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sesembahan), karena itu bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu. Itu lebih baik bagimu di sisi Penciptamu. Dia akan menerima tobatmu. Sungguh, Dialah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (al-Baqarah/2: 54)

Menurut sebagian ahli tafsir bahwa kalimat, “Demikian kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat kebohongan” dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, sebagai peringatan bagi orang-orang Yahudi yang berada di sekitar Medinah waktu itu. Akibat sikap dan tindak-tanduk mereka (kaum Yahudi) kepada Nabi Musa dahulu. Seandainya orang Yahudi di sekitar Medinah tetap bersikap demikian, tidak mau mengikuti Rasulullah saw, dengan seruannya, maka mereka akan mendapat kebinasaan dan kehinaan di dunia dan di akhirat tentu saja mereka akan mendapat azab yang pedih.

Menganut salah satu dari kedua pendapat ini, tidaklah menyalahi isi kandungan ayat, karena salah satu tujuan pendapat ini adalah untuk menyebutkan kisah umat-umat yang dahulu sebagai tamsil dan ibarat bagi generasi yang akan datang kemudian. Semoga kesalahan yang pernah dilakukan oleh orang-orang dahulu itu tidak terulang oleh generasi yang akan datang.

Ayat ini juga memperingatkan bahwa seperti pembalasan yang tersebut dalam ayat ini, Allah memberikan pembalasan kepada mereka yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah. Diriwayatkan dari Abi Qatadah, ia berkata, “Ayat ini tidak hanya ditujukan kepada Bani Israil pada waktu Nabi Musa saja, tetapi ditujukan kepada semua orang yang mengadakan kedustaan terhadap Allah.”

Ayat 153

Orang yang mengerjakan kejahatan dan kemaksiatan, kemudian ia bertobat setelah mengerjakan kejahatan itu dengan bertobat yang sebenar-benarnya, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi, serta berusaha mengerjakan amal saleh sebanyak-banyaknya, maka tobat mereka akan diterima Allah, dan Allah akan memberikan ampunan kepada orang-orang yang benar-benar bertobat dengan hati yang ikhlas.

Dalam ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa berapa pun besar dosa yang telah dikerjakan oleh seseorang, pasti akan diampuni Allah, asal saja ia mau bertobat dengan sebenarnya, dan mau melaksanakan semua syarat-syarat tobat agar diterima Allah. Sesungguhnya Allah tidak langsung mengazab hamba-Nya yang bersalah, tetapi selalu memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan menyesali kejahatan yang telah dikerjakannya itu dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik yang diridai oleh Allah.

Ayat 154

Setelah Musa tenang kembali dan hilang amarahnya, akibat salah sangka kepada saudaranya Harun, dan setelah memohon rahmat dan ampunan dari Tuhannya, maka ia mengumpulkan kembali lauh-lauh yang dilemparkannya itu, dan dari padanya disalin Taurat yang mengandung petunjuk dan rahmat bagi kaumnya.

Ayat 155

Musa memilih tujuh puluh orang pilihan dari kaumnya untuk pergi bersama-sama ke suatu tempat di Bukit Sinai untuk bermunajat kepada Tuhannya. Menurut para mufassir, siapa orang yang dipilih dan di mana tempatnya yang ditentukan itu telah diwahyukan Allah sebelumnya kepada Musa.

Para mufassir berbeda pendapat; apakah Musa diperintahkan oleh Allah pergi ke Bukit Sinai bersama tujuh puluh orang pilihan Bani Israil itu setelah mereka menyembah patung anak sapi dengan maksud menyatakan tobat kepada Allah atau bersamaan waktunya dengan waktu memohon kepada Allah agar Dia memperlihatkan diri-Nya dengan jelas. Jika dilihat susunan ayat dan urutan kisah Musa dalam Surah al-A’raf ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kepergian Musa bersama tujuh puluh orang pilihan ini setelah Bani Israil menyembah patung anak sapi, yakni sesudah kepulangan Musa menemui Tuhannya ke Bukit Sinai selama empat puluh hari dan empat puluh malam.

Musa berangkat bersama tujuh puluh orang pilihan menuju tempat yang telah ditentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi yang disebabkan petir yang amat dahsyat, Musa pun berdoa kepada Tuhannya, “Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau membinasakan mereka, maka aku berharap agar Engkau membinasakan mereka sebelum mereka pergi bersamaku ke tempat ini, dan agar Engkau membinasakan aku pula, sehingga aku tidak menghadapi kesulitan yang seperti ini, yang memberi kesempatan bagi mereka untuk mencela dan menuduhku, bahwa aku telah membawa orang-orang pilihan ke tempat ini untuk dibinasakan.

Oleh karena Engkau tidak membinasakan mereka sebelum mereka aku bawa bersamaku ke sini, maka janganlah mereka Engkau binasakan sekarang, sesudah aku bawa kemari.”

Dalam ayat ini diterangkan mengapa pemuka Bani Israil pilihan itu diazab Allah dengan petir yang dahsyat. Pada firman Allah yang dijelaskan sebab-sebabnya mereka disambar petir dan akibat yang mereka alami. Sebagaimana firman-Nya:

وَاِذْ قُلْتُمْ يٰمُوْسٰى لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى نَرَى اللّٰهَ جَهْرَةً فَاَخَذَتْكُمُ الصّٰعِقَةُ وَاَنْتُمْ تَنْظُرُوْنَ  ٥٥  ثُمَّ بَعَثْنٰكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ  ٥٦ 

“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas,” maka halilintar menyambarmu, sedang kamu menyaksikannya. Kemudian, Kami bangkitkan kamu setelah kamu mati, agar kamu bersyukur.” (al-Baqarah/2: 55-56)

Tetapi dalam Perjanjian Lama diterangkan bahwa Bani Israil yang menyembah berhala (di dalam Al-Qur’an patung anak sapi) itu ialah Bani Israil tujuh puluh orang pilihan bersama-sama dengan Harun. Perbuatan menyembah berhala itu mereka lakukan sewaktu berada di Bukit Sinai, pada waktu Nabi Musa sendiri menghadap Tuhan (baca perjanjian Lama 31:2-35).

Dalam Kitab Bilangan xvi:20-25, disebutkan tentang keingkaran dan kedurhakaan Bani Israil terhadap Musa, lalu mereka diazab Allah. Sedangkan Bani Israil yang sempat lari dibakar oleh sambaran petir.

Selanjutnya Musa memohon kepada Allah, “Janganlah Engkau Ya Tuhan, membinasakan kami disebabkan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang akal yang meminta agar dapat melihat Engkau.”

Semua itu merupakan cobaan dari Allah terhadap mereka. Tetapi mereka tidak tahan dan tidak kuat menghadapi cobaan itu sehingga mereka tetap mendesak Musa agar Tuhan memperlihatkan zat-Nya kepada mereka. Karena tindakan mereka itulah mereka diazab dengan petir (halilintar) sehingga mereka mati semua. Kemudian Allah menghidupkan mereka kembali agar mereka bertobat dan bersyukur terhadap nikmat Allah yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka. Cobaan itu merupakan ujian Tuhan kepada hamba-hamba-Nya, dengan cobaan itu akan sesat orang-orang yang tidak kuat imannya, dan dengan cobaan itu pula Dia memberi petunjuk kepada hamba-Nya yang kuat imannya.

Selanjutnya Musa berdoa, “Wahai Tuhan kami, Engkaulah yang mengurus segala urusan kami, mengawasi segala apa yang kami kerjakan, maka ampunilah kami terhadap segala perbuatan dan tindakan kami yang mengakibatkan azab bagi kami. Beri rahmatlah kami, karena Engkaulah sebaik-baik Pemberi rahmat dan Pemberi ampun. Hanya Engkaulah yang mengampuni segala dosa dan memaafkan segala kesalahan kami. Mengampuni dan memaafkan itu bukanlah karena sesuatu maksud tertentu, tetapi semata-mata karena sifat-Mu yang Maha Pengampun dan Maha Pemaaf.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 156


 

Surah Maryam [19] Ayat 26: Kisah Maryam Berpuasa Bicara

0
Maryam Berpuasa Bicara
Maryam As

Dalam Al-Qur’an, puasa disebutkan dengan dua istilah, yakni shiyam dan shaum. Meskipun keduanya berasal dari akar kata yang sama, namun terdapat perbedaan. Istilah pertama merujuk pada menahan diri dari makan, minum, dan hubungan seks demi karena Allah sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Sedangkan shaum bermakna menahan diri tidak  mengucapkan sesuatu sebagaimana Maryam berpuasa bicara.

Kisah Maryam berpuasa bicara Allah Swt ceritakan dalam surah Maryam [19] ayat 26 yang berbunyi:

فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًا ۚفَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّا ۚ ٢٦

Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS. Maryam [19] ayat 26).

Baca Juga: Masa Mengandung Hingga Persalinan Siti Maryam dalam Al-Quran Surat Maryam Ayat 22-25

Secara umum, surah Maryam [19] ayat 26 berbicara mengenai khitab Allah swt kepada Maryam agar ia makan, minum dan berbahagia di tengah carut-marut persoalan kehamilannya yang dipertanyakan oleh bangsa Israil. Ia diperintahkan untuk tidak berbicara sepatah kata apa pun terkait permasalahan tersebut dan dengan sabar menanti datangnya kebenaran (Tafsir al-Sa’adi).

Kehebohan bani Israil berkenaan kehamilan Maryam adalah hal yang wajar. Sebab ia dikenal sebagai sosok yang mulia dan tidak pernah disentuh laki-laki mana pun. Ibnu Katsir menuturkan dalam Qashash al-Anbiya’, Maryam memusatkan seluruh perhatiannya untuk beribadah di Masjid. Ia hanya akan keluar ketika masa haid atau ada keperluan mendesak seperti mengambil air atau mendapatkan makanan.

Kebingungan tersebut juga dialami oleh orang-orang terdekat Maryam. Misalnya, Yusuf bin Ya’kub – sepupu Maryam dan orang pertama yang menyadari kehamilannya – terkejut ketika melihat tanda-tanda kehamilan Maryam. Ia merasa bingung dengan kejadian yang dilihatnya, sebab ia yakin bahwa Maryam adalah perempuan mulia dan jauh dari berbagai perbuatan dosa.

Untuk menghilangkan kebingungannya tersebut, Yusuf kemudian mendatangi Maryam dan bertanya kepadanya, “Wahai Maryam, mungkinkah ada tumbuhan tanpa adanya biji?” (sebuah kiasan mengenai kehamilan Maryam). Maryam lalu menjawab, “Ya. Allah swt telah menciptakan Adam tanpa adanya laki-laki dan perempuan.” (Qashash al-Anbiya’: 421)

Yusuf berkata, “Kalau begitu ceritakanlah tentang kondisimu kepadaku.” Maryam lantas menceritakan kondisinya yang sesungguhnya, bahwa ia telah mengandung seorang anak yang Allah swt anugerahkan tidak melalui perkawinan antara laki-laki secara biologis, tetapi ditiupkan langsung ke dalam rahimnya atas izin-Nya. Ia juga diberitahu bahwa anak itu kelak akan menjadi seorang nabi dan rasul Allah swt.

Jawaban Maryam ini diceritakan Allah swt dalam surah Ali Imran [3] ayat 45-46 yang bermakna:

“(Ingatlah), ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia (sewaktu) dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan dia termasuk di antara orang-orang saleh.”

Kendati Yusuf percaya dengan apa yang disampaikan Maryam, namun tidak mayoritas bani Israil tidak mempercayainya. Sebagian orang – dikatakan bahwa mereka adalah orang-orang zindik – bahkan menuduhnya telah berbuat zina dengan Yusuf yang sering beribadah di Masjid. Tuduhan semacam ini masif dilancarkan kepada Maryam di masa kehamilannya.

Di tengah-tengah kehamilannya, Maryam kemudian menyisihkan diri dari hiruk-pikuk keramaian dan pergi ke tempat yang jauh. Meskipun ia merasakan tekanan mental yang cukup tinggi karena tuduhan bani Israil terhadapnya terkait kehamilannya, namun ia menjalani semua itu dengan penuh kesabaran dan keyakinan terhadap Allah swt (Qashash al-Anbiya’: 422).

Tatkala waktu melahirkan sudah dekat, rasa sakit menjelang melahirkan membuat Maryam menuju ke bawah pohon kurma dan ia bersandar di bawahnya. Rasa sakit itu teramat mendalam, Maryam bahkan dikisahkan berkata, “Wahai betapa baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.”

Ketika itu, “Maka dia Jibril berseru kepadanya dari tempat yang rendah. Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” Jibril menyampaikan pesan dari Allah swt agar Maryam jangan bersedih hati bersusah pikiran, karena Allah telah menyediakan air yaitu sebuah anak sungai yang kecil dan airnya jernih.

Setelah melahirkan nabi Isa as (pasca nifas), Maryam kemudian kembali kepada kaumnya. Namun sebelum itu, Allah telah mengilhamkan kepadanya agar berpuasa bicara dan tidak berbicara kepada seorang manusia pun. Menurut Qatadah dan as-Suddi, puasa berbicara ini merupakan salah satu syariat puasa zaman itu dan sudah lumrah bagi kalangan bani Israil.

Ketika kaum Israil ingin bertanya mengenai kondisinya dan anaknya, Maryam memberikan isyarat tangan bahwa ia sedang berpuasa bicara sehingga tidak mungkin menjawab segala pertanyaan dan tuduhan yang dilancarkan kepadanya. Ia juga menunjuk ke arah nabi Isa yang berada dalam pelukan sebagai isyarat “jika ingin bertanya silakan tanyakan padanya secara langsung.” (Tafsir al-Suddi al-Kabir)

Baca Juga: Bayi Menangis? Bacalah Do’a Ibu Maryam ini dalam Al-Quran

Melihat isyarat Maryam yang berpuasa bicara, sebagian masyarakat Israil menjadi marah, sebab hal itu seakan-akan menghina mereka. Salah seorang di antara mereka berkata, “bagaimana mungkin kami akan berbicara kepada anak kecil yang masih dalam ayunan?” Saat itu juga, atas izin Allah swt, sang bayi (nabi Isa) menjawab dan menjelaskan siapa dirinya sekaligus membersihkan nama Maryam dari berbagai tuduhan keji.

Demikian kisah singkat mengenai Maryam berpuasa bicara pasca melahirkan nabi Isa. Puasa ini Allah swt jadikan baginya sebagai jalan menghadapi tuduhan bani Israil. Dari kisah ini ada satu pelajaran penting yang bisa kita ambil, yakni dalih atau klarifikasi apa pun tidak bermakna jika disampaikan kepada orang-orang yang tidak percaya. Mereka hanya akan mengakui kebenaran ketika bukti yang nyata datang kepada mereka. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al A’raf ayat 147-149

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 147-149 mengulas tentang pertemuan Allah dengan orang-orang yang mendustakan Allah di hari akhir nanti. Selain itu Tafsir Surah Al A’raf ayat 147-149 khususnya pada ayat 148 juga mengisahkan tentang Samiri yang membuat patung anak sapi dan disembah oleh Bani Israil selama kepergian Musa ke Bukit Sinai.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 146


Ayat 147

Orang yang mendustakan ayat-ayat Allah yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya, tidak mempercayai akan adanya pertemuan dengan Allah pada hari akhir nanti, tidak percaya akan adanya pembalasan yang akan diberikan pada hari itu. Maka segala amal baik yang telah mereka kerjakan di dunia tidak akan diberi pahala oleh Allah, karena perbuatan itu tidak dilandasi oleh keinginan mencari keridaan Allah, dan Allah tidak menganiaya sedikit pun, mereka akan disiksa sesuai dengan perbuatan dosa yang telah mereka kerjakan.

Ayat 148

Bani Israil telah menyembah patung anak sapi selama kepergian Musa ke Bukit Sinai menerima wahyu dari Allah. Patung anak sapi itu dibuat oleh Samiri (20: 85,87).

Samiri membuat patung itu atas anjuran para pemuka Bani Israil, padahal ia manusia yang patuh dan taat serta mempunyai kedudukan  yang terhormat dalam masyarakat.

Nama Samiri disebutkan dalam Firman Allah swt:

قَالَ فَاِنَّا قَدْ فَتَنَّا قَوْمَكَ مِنْۢ بَعْدِكَ وَاَضَلَّهُمُ السَّامِرِيُّ

Dia (Allah) berfirman, “sungguh, Kami telah menguji kaummu setelah engkau tinggalkan, dan mereka telah disesatkan oleh Samiri.” (Taha/20: 85)

Patung anak sapi itu dibuat dari emas, yang berasal dari emas perhiasan wanita-wanita Mesir yang dipinjam oleh wanita-wanita Bani Israil yang dibawanya waktu mereka meninggalkan negeri Mesir itu. Emas perhiasan itu dilebur dan dibentuk oleh Samiri menjadi patung anak sapi. Menurut  ath-Tabari emas-emas itu dipinjam dari gelang emas tanda perbudakan Bani Israil oleh penduduk asli Mesir. (Tafsir selengkapnya lihat surah Taha/20: 85)

Keinginan Bani Israil menyembah patung anak sapi sebagai tuhan selain Allah ini adalah pengaruh dari kebiasaan mereka di Mesir dahulu. Sebetulnya nenek-moyang mereka adalah orang-orang muwahhidin (ahli tauhid) karena mereka adalah keturunan Nabi Ya’qub. Akan tetapi setelah bergaul dengan orang Mesir, maka gejala-gejala wasaniyah (menyembah selain Allah) itu menular kepada mereka. Ibadah wasaniyah ini telah mendarah daging dalam diri mereka selalu timbul keinginan mereka hendak melakukan kebiasaan tersebut.

Patung anak sapi yang disembah sebagai tuhan oleh Bani Israil itu, berupa patung anak sapi yang dibentuk sedemikian rupa, sehingga jika ditiupkan angin ke dalamnya ia akan dapat bersuara.

Suara dari patung anak sapi itu keluar adalah karena masuknya angin ke dalam rongga mulut dan keluar dari lubang yang lain, sehingga menimbulkan suara. Hal ini dapat dibuat dengan memasukkan alat semacam pipa yang dapat berbunyi dalam rongga patung anak sapi itu. Jika pipa itu dihembus angin, maka berbunyilah patung anak sapi itu seperti bunyi anak sapi sebenarnya. Karena hal seperti itu dipandang aneh oleh Bani Israil, maka dengan mudah timbul kepercayaan pada diri mereka bahwa patung anak sapi itu berhak disembah, sebagaimana halnya menyembah Allah.

Allah mencela perbuatan Bani Israil yang lemah iman itu, yang tidak dapat membedakan antara Tuhan yang berhak disembah dengan sesuatu yang ganjil yang baru pertama kali mereka lihat dan ketahui. Mereka tidak dapat membedakan antara Tuhan yang menurunkan wahyu kepada para Rasul dan makhluk Tuhan yang hanya dapat bersuara. Jika mereka mau berpikir kemampuan diri mereka sendiri mungkin lebih baik, dan lebih mampu berbicara dari patung anak sapi itu.

Bani Israil berbuat demikian itu bukanlah berdasar sesuatu dalil yang kuat, mereka berbuat demikian hanyalah karena pengaruh adat kebiasaan nenek-moyang mereka yang ada di Mesir dahulu yang menyembah anak sapi. Padahal kepada mereka telah diturunkan bukti-bukti yang nyata, seperti membelah laut, tongkat menjadi ular dan sebagainya. Karena mereka tidak mau memperhatikan bukti-bukti dan dalil-dalil, mereka mengingkari Allah, yang berakibat buruk pada diri mereka sendiri. (lihat surah Tāhā ayat 85-87)

Ayat 149

Akhirnya Bani Israil menyadari bahwa perbuatan mereka menyembah patung anak sapi adalah perbuatan yang sesat karena mempersekutukan Allah. Karena itu mereka pun menyesali perbuatan itu dan berkata: “Sesungguhnya dosa kami sangat besar dan demikian pula kedurhakaan dan keingkaran kami, tidak akan dapat melepaskan dari dosa perbuatan ini, kecuali rahmat Allah dan ampunan-Nya. Seandainya Tuhan tidak mengasihi kami dengan menerima tobat kami pastilah kami menjadi orang yang merugi di dunia dan di akhirat mendapat azab yang pedih”.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 150-151


 

Tafsir Surah Hud Ayat 52-54

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 52-54 berbicara mengenai lika-liku dakwah Nabi Hud a.s kepada kaum ‘Ad. Ia banyak mengalami tantang dari kaumnya. Tidak hanya penolakan atas dakwahnya saja, namun ia juga menerima ejekan dari kaum ‘Ad.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 49-51


 

Ayat 52

Ayat ini menerangkan bahwa Hud a.s., setelah mengajak kaumnya menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan melarang mereka menyekutukan-Nya dengan beribadah kepada berhala-berhala, menyuruh mereka meminta ampun kepada Allah yang kemudian bertobat dengan penuh keikhlasan.

Selanjutnya Hud a.s. menjelaskan, apabila mereka berbuat seperti yang telah dinasihatkan itu, niscaya Allah akan menurunkan hujan lebat, yang sangat besar manfaatnya bagi mereka sebagai bangsa yang banyak mempunyai tanam-tanaman dan kebun-kebun. Allah juga akan menambah kekuatan dan kemuliaan yang mereka impikan, di samping yang sudah mereka miliki.

Oleh karena itu, Nabi Hud a.s. memperingatkan kaumnya, supaya tidak berpaling dari kebenaran yang telah dinasihatkan kepada mereka dan tidak meneruskan kesalahan-kesalahan besar yang sudah biasa mereka lakukan yaitu menyembah berhala-berhala, patung-patung dan terjerumus pada perbuatan jahat lainnya.

Kaum Hud a.s. itu, yang disebut bangsa ‘Ad atau kabilah ‘Ad atau kaum ‘Ad, di samping terkenal sebagai bangsa yang kaya raya di bidang pertanian, mereka terkenal pula sebagai orang-orang kuat yang bertubuh kekar, yang menyebabkan mereka bertambah sombong dan takabur, sebagaimana yang diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya:

فَاَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوْا فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوْا مَنْ اَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۗ اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ الَّذِيْ خَلَقَهُمْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۗ وَكَانُوْا بِاٰيٰتِنَا يَجْحَدُوْنَ  ١٥  فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيْحًا صَرْصَرًا فِيْٓ اَيَّامٍ نَّحِسَاتٍ لِّنُذِيْقَهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَلَعَذَابُ الْاٰخِرَةِ اَخْزٰى وَهُمْ لَا يُنْصَرُوْنَ  ١٦ 

Maka adapun kaum ‘²d, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, ”Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Maka Kami tiupkan angin yang sangat bergemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang nahas, karena Kami ingin agar mereka itu merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan di dunia. Sedangkan azab akhirat pasti lebih menghinakan dan mereka tidak diberi pertolongan.  (Fussilat/41: 15-16)

Ayat 53

Pada ayat ini Allah swt menerangkan tantangan kaum Hud a.s. terhadap dakwah yang disampaikan Hud a.s. dengan cara membangkang dan mengatakan, bahwa Hud a.s. tidak memberikan bukti yang nyata sedikit pun yang menunjukkan kebenarannya sebagai rasul Allah, yang ditugaskan untuk menyampaikan dakwah kepada mereka.

Sebab itu mereka tidak akan meninggalkan penyembahan berhala-berhala dan patung-patung hanya karena mendengar ucapannya yang tidak beralasan, dan menyatakan bahwa mereka tidak akan percaya kepadanya.

Tantangan kaum Hud yang keras ini, pada mulanya didasarkan kepada tidak-adanya bukti yang nyata yang disampaikan oleh Nabi Hud a.s. kepada mereka tentang kebenarannya sebagai rasul Allah. Akan tetapi bila diperhatikan dari cara, gaya, dan isi dari tantangan kaumnya itu, maka dapat disimpulkan bahwa mereka hakikatnya hanya membangkang, bukan karena tidak adanya bukti atau dalil yang nyata. Dengan adanya tantangan itu mereka tidak bisa diharapkan lagi untuk beriman.


Baca juga: Bagaimana Menyikapi Kesalahan Orang lain Menurut Al-Qur’an?


Ayat 54

Pada ayat ini diterangkan kelanjutan dari tantangan kaum Hud a.s., yaitu dengan mengatakan kepadanya, bahwa ucapan Hud itu mirip seperti ucapan orang yang kemasukan setan.

Ucapan itu sama sekali tidak dapat mereka terima, lebih-lebih ucapan yang meremehkan dan menghalang-halangi mereka untuk beribadah kepada berhala. Tantangan ini ternyata diikuti dengan tantangan yang lebih keras dari yang sebelumnya.

Mereka menuduh Hud a.s. menderita penyakit gila, jadi tidak perlu didengar perkataannya apalagi dipercayai. Penyakit gila itu, menurut anggapan mereka, disebabkan karena Hud a.s. durhaka kepada sesembahan-sesembahan mereka.

Itulah sebabnya Nabi Hud a.s. mengambil kesimpulan bahwa dakwahnya tidak akan berguna lagi bagi mereka, sehingga ia menjawab tantangan mereka itu dengan mengatakan bahwa ia bersaksi kepada Allah dan menyuruh mereka supaya menyaksikannya, bahwa sesungguhnya ia terlepas dari apa yang mereka persekutukan itu.

Jawaban Hud a.s. ini menunjukkan suatu sikap yang tegas, penuh dengan keimanan dalam mempertanggungjawabkan kebenaran dakwahnya, yang disampaikan kepada kaumnya tanpa memperdulikan segala macam bentuk rintangan dan tantangan yang dihadapinya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 55-57


(Tafsir Kemenag)

 

 

Delapan Tema Pokok Al-Quran menurut Fazlur Rahman (2)

0
Pokok-pokok Al-Quran menurut Fazlur Rahman
Pokok-pokok Al-Quran menurut Fazlur Rahman

Masih meneruskan topik sebelumnya, tulisan ringkas ini akan mencoba menyajikan delapan tema pokok Al-Quran menurut Fazlur Rahman yang ia tuangkan dalam bukunya Major Themes of The Qur’an. Secara berurutan, tema-tema pokok Al-Quran tersebut adalah 1) Tuhan, 2) Manusia sebagai Individu, 3) Manusia dalam Masyarakat, 4) Alam Semesta, 5) Kenabian dan Wahyu, 6) Eskatologi, 7) Setan dan Kejahatan, dan 8) Kelahiran Masyarakat Islam.

Pertama: Tuhan

Kata ‘Allah’—nama sejati untuk menyebut Tuhan, disebutkan lebih dari 2.500 kali dalam Al-Quran. Tema pokok Al-Quran ini belum termasuk kata Rabb dan al-Rahman, dua nama yang tidak hanya menunjukkan aspek sifat, tetapi juga dzat. Kesan kuat yang akan segera dirasakan ketika membaca Al-Quran adalah adanya keagungan dan kepengasihan Tuhan yang tak terbatas. Kehadiran Tuhan dapat diresapi oleh mereka yang telah melakukan perenungan, yaitu “orang yang takut kepada Yang Maha Pengasih dalam keadaan gaib dan menghadap dengan hati yang  bertaubat.” (QS. Qaaf [50]: 33). Kasih sayang Tuhan tidak saja ditunjukkan dalam pengampunan-Nya atas dosa manusia, tetapi juga melalui apa yang dikaruniakan-Nya kepada kita berupa bumi dengan segala isinya.

Baca juga: Delapan Tema Pokok Al-Quran Menurut Fazlur Rahman (1)

Kedua: Manusia sebagai Individu

Manusia adalah ciptaan Tuhan seperti makhluk ciptaan lainnya. Tetapi, letak kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lain adalah karena Tuhan ‘meniupkan ruh-Nya kepadanya’ (QS. Al Hijr [15]: 29, QS. Shad [38] :72 dan QS. Al Sajdah [32] :9). Di kehidupan dunia, manusia diperintahkan untuk melakukan perjuangan moral tanpa henti. Dalam perjuangan ini Tuhan akan menyertai manusia, dengan syarat; manusia—sebagai wakil Tuhan dengan pilihan bebasnya—mau melakukan apapun yang diperlukan demi terciptanya suatu sistem moral sosial di belantara bumi.

Ketiga: Manusia dalam Masyarakat

Tidak diragukan lagi bahwa tujuan utama Al-Quran adalah melestarikan sebuah tatanan sosial yang dapat berlangsung terus-menerus di atas bumi dengan berpijak pada prinsip etika dan keadilan. Tidak pernah ada dalam sejarah manusia, individu tanpa masyarakat. Dalam perspektif ini, konsep perbuatan manusia—khususnya menyangkut taqwa—hanya akan berarti jika memiliki sumbangsih pada konteks sosial. Tujuan Al-Quran tentang sebuah tatanan egalitarian, beretika dan adil diumumkan bersamaan dengan penolakan keras terhadap ketimpangan ekonomi  dan ketidakadilan sosial yang dulu pernah terjadi dalam kekelaman masyarakat komersial Makkah.

Keempat: Alam Semesta

Pembicaraan tentang kosmogoni tidak terlalu banyak disebutkan dalam Al-Quran. Berbeda dengan manusia yang diberikan kebebasan memilih, alam semesta hanya punya satu pilihan, yaitu tunduk kepada Tuhan melaui hukum-hukum yang telah ditetapkan. Itulah mengapa alam semesta dikatakan muslim, karena ketaatan dan ketundukannya kepada ‘kemauan’ Tuhan. Alam semesta dengan segala keteraturannya diciptakan untuk kepentingan manusia. Namun, tujuan manusia sendiri tidak lain selain untuk mengabdi kepada Tuhan, berterima kasih kepada-Nya, dan hanya semata-mata menyembah-Nya.

Baca juga: Mengenal Sejarah Ilmu Semantik Al-Quran dari Klasik hingga Kontemporer

Berterima kasih dan menyembah Tuhan tentu bukan untuk kepentingan Tuhan, melainkan sepenuhnya untuk kepentingan manusia itu sendiri. Yang tidak kalah pentingnya, Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan yang serius, bukan untuk untuk permainan; “Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptkan kamu main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami (untuk dimintai pertanggung jawaban)?” (QS. Al Mu’minun [23]: 115).

Kelima: Kenabian dan Wahyu

Tuhan telah menugaskan para rasul di berbagai belahan dunia, baik yang disebut atau yang tidak disebut dalam Al-Quran (QS. Ghafir [40]: 78; QS. An Nisa’ [4]: 164). Sebagian rasul itu terbatas untuk lingkungan kaumnya saja. Meski begitu, risalah dan pesan yang disampaikan itu tidak bersifat lokal, tetapi punya makna universal yang mesti dipercayai dan diikuti oleh seluruh manusia. Inilah yang dimaksud dengan konsep kesatuan kenabian.

Melalui pesan dan risalah kenabian, kesadaran manusia akan melambung tinggi sehingga mereka mampu melihat secara jelas ‘Tuhan sebagai Tuhan’ dan ‘setan sebagai setan’. Dari sederet daftar pada nabi dan rasul itu, Nabi Muhammad Saw. adalah nabi penutup dan tidak akan muncul lagi nabi sesudahnya, serta Al-Quran sebagai wahyu terakhir. Ini menjadi tanggung jawab berat bagi siapapun yang mengaku muslim untuk meneruskan risalah kenabian itu demi kemaslahatan manusia.

Keenam: Eskatologi

Perbincangan seputar ‘hidup sesudah mati’ merupakan tema yang berulang disebutkan dalam Al-Quran. Kitab Suci ini berbicara tentang hari ‘pengadilan’ sebagai al-akhirah. Itulah momen kebenaran di mana semua tindak tanduk manusia selama hidup di dunia akan dimintai pertanggungjawaban. Semua bentuk kerahasiaan akan diungkap dan diperlihatkan. Al-Quran menggambarkan kebenaran momen itu dengan, “Sesungguhnya engkau dalam keadaan lalai yang dalam tentang ini (Momen kesadaran diri), tetapi sekarang Kami bukakan darimu tutup yang (menutupi matamu), maka penglihatnmu hari ini  tajam” (QS. Qaaf [50]: 22). Semua sengketa dan konflik tentang kepercayaan manusia dan yang lainnya akan diselesaikan. Di sinilah letak tujuan dari ‘pengadilan’ Hari Akhir.

Ketujuh: Setan dan Kejahatan

Kejahatan (syarr) sebagai lawan kebaikan (khair) masuk dalam materi diskusi tentang perbuatan manusia secara individu dan kolektif. Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa setan adalah kekuatan anti-manusia. Prinsip kejahatan yang oleh Al-Quran dipersonifikasi sebagai iblis atau setan, sekalipun personifikasi kedua lebih lemah dari yang pertama. Al-Quran—terutama pada surah-surah Makiyah, berkali-kali menyebutkan setan dalam bentuk jamak (syayathin), yang terkadang secara metaforis juga merujuk kepada manusia. Al-Quran menjamin bahwa godaan setan iblis tidak akan mempan atas orang yang beriman dan berserah diri kepada Tuhan: “Sesungguhnya dia (setan) tidak punya kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan mereka yang berserah diri kepada Tuhannya.” (QS. An Nahl [16]: 99).

Baca juga: I’Jaz Al-Qur’an Menurut Abdul Qahir Al-Jurjani, Ulama Penggubah Ilmu Balaghah

Delapan: Bangkitnya Komunitas Muslim

Pada beberapa bagian Al-Quran telah dijelaskan sejarah dan pembentukan bangunan umat muslim. Sejarah ini meliputi penerimaan semua utusan terdahulu yang menyampaikan pesan yang sama, tetapi mengakui Islam sebagai agama terakhir yang sempurna. Umat Yahudi dan Kristen disebut sebagai Ahl al-Kitab, namun dipandang sebagai umat yang tidak sempurna dalam doktrin monoteismenya. Walau demikian, Al-Quran mengakui keberadaan orang-orang baik di kalangan komunitas Yahudi, Kristen, dan Shabi’in, sepertihalnya mengakui orang-orang yang beriman dalam Islam; “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah, Hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah [2]: 62; QS. Al Maidah [5]: 69).

Wallahu a’lam []

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 119-121

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya telah dibahas terkait pencipataan Allah dan pengingkaran orang musyrik kepada Nabi Muhammad. Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 119-121 tidak jauh dari pembahasan sebelumnya menjelaskan pengutusan Nabi Muhammad sebagai Rasul dan pengingkaran Ahli Kitab.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 117-118


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 119-121 ini Ahli Kitab melakukan tindakan-tindakan terhadap orang-orang yang beribadah di masjid Allah, merobohkan masjid, menyekutukan Allah, dan mengingkari seruan Nabi Muhammad saw.

Ayat 119

Allah mengutus Muhammad dengan kebenaran. Kebenaran itu ialah sesuatu yang kukuh dan pasti, tidak menyesatkan orang-orang yang menganutnya bahkan membahagiakannya dan tidak sedikit pun mempunyai unsur keragu-raguan, apalagi kebatilan.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa di dalam kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu terkandung itikad, hukum, tata cara, kebiasaan yang baik dan segala hal yang dapat membahagiakan hidup manusia di dunia dan di akhirat.

Ayat ini menerangkan bahwa di antara tugas Nabi Muhammad ialah:

  1. Memberi kabar gembira dari Allah yang menjanjikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi orang yang mengikuti agama yang dibawa oleh Muhammad. Perkataan basy³ran juga memberi pengertian: isyarat, tanda yang memberi kabar gembira, seperti adanya mendung sebagai tanda hari akan hujan.
  2. Memberi peringatan bahwa ada nestapa bagi orang yang tidak mengikuti perintah-perintah Allah serta menghentikan larangan-larangan-Nya dan bagi orang yang menghalangi seruan Nabi Muhammad saw.

Orang yang tidak mengindahkan peringatan itu akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Ungkapan semacam ini menunjukkan kerasnya azab yang akan diderita oleh mereka yang mendurhakai Nabi.

Ayat tersebut menerangkan tentang tugas Nabi Muhammad saw, yaitu menyampaikan agama kepada manusia. Sedang yang memberi penilaian terhadap sikap manusia kepada seruan Muhammad adalah Allah sendiri. Hanya Allah yang memberi pahala dan memberi hukuman. Allah berfirman:

۞ لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ

Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. … (al Baqarah/2:272)

Ayat 120

Ayat ini menyatakan keinginan Ahli Kitab yang sebenarnya sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan terhadap orang-orang yang beribadah di masjid Allah, merobohkan masjid, menyekutukan Allah, dan mengingkari seruan Nabi Muhammad saw, Nabi terakhir.

Mereka tidak akan berhenti melakukan tindakan itu sebelum Nabi Muhammad saw dan pengikutnya menganut agama yang mereka anut, yaitu agama yang berasal dari agama-agama yang dibawa para nabi yang terdahulu, tetapi ajaran-ajarannya sudah banyak diubah-ubah oleh mereka.

Karena itu hendaklah kaum Muslimin waspada terhadap sikap Ahli Kitab, janganlah ragu-ragu mengikuti petunjuk Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi-Nya, bukan petunjuk yang berasal dari keinginan dan hawa nafsu manusia, terutama keinginan dan hawa nafsu orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Orang Yahudi dan Nasrani melakukan tindakan-tindakan itu setelah pengetahuan datang pada mereka tentang agama yang diridai Allah dan ajaran-ajaran agama Islam.

Secara lahiriah, ayat ini langsung ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, berupa peringatan yang keras seandainya Nabi saw, mengikuti kemauan mereka padahal Nabi telah dijamin terpelihara dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah.

Di dalam Alquran banyak terdapat ayat yang seperti itu yang lahirnya ditujukan kepada Nabi, tetapi yang dimaksud ialah umat Muhammad saw. Allah memperingatkan dengan ayat ini agar kaum Muslimin berhati-hati terhadap sikap Ahli Kitab kepada Agama Islam dan kaum Muslimin.


Baca juga: Mengulik Makna Shiyam Istilah Puasa Ramadhan dalam al-Quran


Ayat 121

Di antara Ahli Kitab ada orang Yahudi yang mengikuti Taurat, orang Nasrani mengikuti Injil. Mereka benar-benar membaca kitab yang diturunkan kepada mereka dengan bacaan yang benar tidak diikuti oleh keinginan dan hawa nafsu mereka.

Mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya dengan me-mahaminya sepenuh hati, tidak mentakwilkan atau menafsirkannya menurut keinginan sendiri, tidak menambah, mengurangi atau mengubahnya.

Menurut Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas, membaca dengan bacaan yang sebenarnya ialah menghalalkan yang dihalalkanya, mengharamkan yang diharamkannya, membacanya seperti yang diturunkan Allah, tidak mengubah-ubah atau memalingkan perkataan dari tempat yang semestinya dan tidak menakwilkan sesuatu dari kitab itu dengan takwil yang bukan semestinya.

Dalam firman-Nya yang lain dijelaskan bacaan yang dimaksud, yakni:

اِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهٖٓ اِذَا يُتْلٰى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلْاَذْقَانِ سُجَّدًاۙ

“… Sesungguhnya orang yang telah diberi pengetahuan sebelumnya, apabila (Alquran) dibacakan kepada mereka, mereka menyungkurkan wajah, bersujud.” (a1 Isra′/17:107)

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِ

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Alquran)…(Yusuf/12:111)

Dari ayat-ayat di atas dipahami bahwa semua kitab (wahyu) Allah yang diturunkan kepada hamba-hamba-Nya merupakan pengajaran bagi mereka, yang tujuannya untuk mengarahkan dan memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Karena itu, para hamba Allah wajib membaca dengan sebenar-benarnya, berulang-ulang, dan berusaha memahami petunjuk Allah yang terdapat di dalamnya. Allah berfirman:

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا

Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Alquran? Sekiranya (Alquran) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya. (an-Nisa′/4:82)

Firman Allah:

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا

Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur′an ataukah hati mereka sudah terkunci? (Muhammad/47:24)

Dari ayat-ayat di atas dipahami bahwa membaca Alquran dengan tidak memperhatikan maksud dan maknanya, menafsirkannya dengan sekehendak hati adalah sama dengan membaca Kitab oleh Yahudi dan Nasrani.

Dari ayat di atas dipahami bahwa membaca kitab-kitab Allah dengan bacaan yang sebenarnya wajib dilakukan oleh manusia. Membaca Kitab tidak dengan bacaan yang sebenarnya tidak mengamalkan apa yang dibaca, itu berarti memperolok-olokkan kitab-kitab Allah dan menantang Allah.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 122-124


(Tafsir kemenag)