Beranda blog Halaman 348

Surah-surah Pendek yang Sunnah Dibaca pada Tiap Rakaat Salat Witir

0
surah-surah pendek yang sunnah dibaca pada salat witir
surah-surah pendek yang sunnah dibaca pada salat witir

Salat Witir menjadi salah satu ritual yang sering dilakukan umat Islam selepas Salat Tarawih di Bulan Ramadan. Biasanya, salat Witir di Bulan Ramadan, dilakukan secara berjamaah sebanyak 3 rakaat. Di Tiap rakaat itu, orang yang salat Witir juga dianjurkan untuk membaca surah-surah pendek tertentu, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tulisan ini.

Salat Witir

Salat Witir merupakan salat sunnah muakkad (sangat dianjurkan). Mengutip ‘Ianah at-Thalibin karya Sayyid al-Bakri, di antara hadis yang menjadi dalil kesunnahan Salat Witir ialah hadis sahih yang ditakhrij oleh Abu Daud:

الوترُ حقٌ على كلِ مسلمٍ فمن أحبَ أن يُوتِرَ بخمسٍ فليفعلْ أو بثلاثً فليفعل أو بواحدةٍ فليفعل

“Salat Witir sunnah muakkad bagi tiap muslim. Barangsiapa senang menunaikan 5 rakaat Witir maka lakukanlah! Atau 3 rakaan, maka lakukanlah! Atau satu rakaat, maka lakukanlah!”

Baca Juga: Sejarah Puasa dan Rahasia Dipilihnya Bulan Ramadhan Menurut Para Tokoh Tafsir

Sementara itu, ada pula pendapat yang mewajibkan Salat Witir. Pendapat ini datang dari Imam Abu Hanifah. Ia berlandaskan pada hadis Nabi:

أوتروا فإن الله وترٌ يحِبُ الوترَ

“Salat Witirlah! Karena sesungguhnya Allah itu ganjil. Ia menyukai Witir”

Meski demikian, tampaknya, pendapat kesunnahan Witir lebih unggul, karena dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 238 terdapat diksi salatil wustha (salat yang tengah), yang merupakan istilah untuk salat paling utama. Meski terdapat banyak pendapat soal salat apa yang dimaksud salat wustha, apakah salat ‘Ashar, Subuh, Maghrib, atau sengaja disamarkan, sebagaimana penjelasan Al-Baghawi dalam Ma’alimut Tanzil, tidak ada satu pun yang mengarah pada Salat Witir.

Ditambah pendapat sementara Fuqaha, bila Salat Witir wajib, maka tidak ada salat wustha, dan saat Nabi mendelegasikan Muadz bin Jabal ke Yaman, ia menegaskan bahwa Allah mewajibkan salat lima waktu dalam sehari semalam, tidak enam waktu.

Tetapi, untuk menghormati perbedaan itu dan berdasar hadis Nabi di atas, Salat Witir sangat dianjurkan (Sunnah Muakkad), bahkan menjadi salat sunnah paling utama dibanding Salat Rawatib. (Sayyid Bakri, ‘Ianatut Thalibin, 249)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat tentang Salat Fardu yang Paling Utama

Seperti namanya, Salat Witir memiliki rakaat ganjil. Mulai dari satu rakaat, sampai 11 rakaat. Sedangkan, batas minimum sempurnanya salat witir ialah sejumlah 3 rekaat. Ketentuan ini bukan berarti menimbulkan konsekuensi hukum makruh bagi yang menunaikan Witir satu rakaat. Menurut Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nihayatuz Zayn, yang demikian itu sebatas kurang utama saja, atau dalam istilah fikih disebut  khilaful awla.

Pada dasarnya, salat sunnah ini tidak sekedar dianjurkan ketika Ramadan tiba, melainkan setiap hari, seusai menunaikan salat Isya. Seperti yang disampaikan oleh Syekh Nawawi al-Bantani, salat ini tidak dianjurkan untuk dilakukan berjamaah, kecuali saat Ramadan.

Surah-surah yang sunnah dibaca

Menurut Fuqaha, pada Salat Witir 1 rakaat, disunnahkan untuk membaca Surah Al-Ikhas dan Al-Muawwidzatayn. Sedangkan, pada salat Witir 3 rakaat, terdapat lima surah yang sunnah dibaca. Lima surah-surah pendek itu ialah Al-A’la; Al-Kafirun; Al-Ikhlash; Al-Falaq, dan An-Nas (Al-Mu’awidzatayn. Menurut Imam Nawawi ad-Dimashqi dalam Al-Adzkar, pada rakaat pertama, disunnahkan membaca Al-A’la, disusul rakaat kedua sunnah membaca Al-Kafirun, dan yang terakhir membaca surah Al-Ikhlash dan Al-Mu’awidzatayn.

Pendapat Imam Nawawi senada dengan Sayyid Bakri. Pendapat ini didukung oleh hadis dalam Sunan An-Nasa’i dan Ibnu Majah:

سئِلتْ عائشةُ رضي الله عنها بأي شيءٍ كان يوتِر رسولُ الله صلى الله عليه وسلم قالت كان يقرَأُ في الأولى بسبح اسم ربك الأعلى وفي الثانيةِ بقل يا أيها الكافرون وفي الثانية بقل هو الله أحد والمعوذتَينِ

‘Aisyah ra. ditanyai perihal surah apa yang dibaca Nabi saw. tatkala menunaikan Salat Witir. ‘Aisyah ra. menjawab: “ Nabi saw. membaca sabbihisma rabbikal a’la (surah Al-A’la) pada rakaat pertama, qul ya ayyuhal kafirun (Surah Al-Kafirun) pada rakaat kedua, dan qul huwa Allahu ahad serta al-mu’awwidzatayn (Surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas) pada rakaat ketiga”

Baca Juga: Alasan Mengapa Surat Al-Ikhlas Sebanding Sepertiga Al-Quran Menurut Imam Ghazali

Bila Salat Witir dilakukan melebihi 3 rakaat, maka pada selain 3 rakaat terakhir, disunnahkan untuk membaca Surah Al-Qadr pada rakaat ganjil dan Surah Al-Kafirun. Adapun, tiga rakaat terakhir disunnahkan membaca 5 surah-surah pendek sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. (Syeikh Nawawi al-Bantani, Nihayatuz Zayn, 102).

Kesunnahan lain dalam pelaksanaan Salat Witir ialah dengan menjadikannya pemungkas salat-salat sunnah, terlebih bila seseorang terbiasa bangun malam. Namun demikian, tidak ada ketentuan yang memperbolehkan melaksanakan Salat Witir 2 kali. Jika kita sudah menunaikan Witir, lalu bangun dan salat Tahajjud atau salat sunnah lain, kita tidak sah untuk mengulang Salat Witir kembali. Hal ini berdasarkan hadis yang disitir Imam Nawawi dalam Nihayatuz Zayn, “laa witraani fi laylatin” (tidak ada dua witir dalam satu malam).

Wallahu a’lam

Tafsir Surah Al A’raf ayat 146

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 146 menjelaskan bahwa Allah akan memalingkan hati orang-orang yang sombong. Orang-orang yang tidak mempercayai kekuasaan dan juga kebesaran Allah.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 145


Ayat 146

Tafsir Surah Al A’raf ayat 146 ini menjelaskan bahwa Allah akan memalingkan hati orang-orang yang takabur, menyombongkan diri untuk memahami bukti-bukti dan dalil-dalil yang dibawa para rasul, terutama yang berhubungan dengan kekuasaan dan kebesaran Allah, dan memalingkan pula hati mereka untuk melaksanakan agama Allah dan mengikuti petunjuk ke jalan yang benar. Hal ini sesuai pula dengan firman Allah:

فَلَمَّا زَاغُوْٓا اَزَاغَ اللّٰهُ قُلُوْبَهُمْۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ

“Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.”(Ash-Tsaff/61: 5)

Takabur menurut bahasa berarti, “menganggap dirinya besar”, atau “merasa agung”. Yang dimaksud oleh ayat ini ialah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Perangai dan sifat seorang yang takabur itu memandang enteng orang lain, seakan-akan dia sajalah yang pandai, yang berkuasa, yang menentukan terjadinya segala sesuatu dan sebagainya. Karena itu dalam tindak-tanduknya ia mudah melakukan perbuatan yang melampaui batas, berbuat sewenang-wenang dan suka berbuat kerusakan.

Dalam ayat ini sifat takabur itu digandengkan dengan perkataan “bigairil ¥aq” tanpa alasan yang benar. Hal ini menunjukkan sikap dan tindakan orang yang takabur itu dilakukan tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan yang semata-mata dilakukan untuk memuaskan hawa-nafsu sendiri, sekali pun merugikan orang lain.

Takabur adalah penyakit jiwa yang diakibatkan oleh kesalahan dalam menilai dan menerima sesuatu. Kadang-kadang keberhasilan seseorang yang terus menerus dalam usahanya dapat juga menimbulkan sifat takabur, sehingga timbul keyakinan yang berlebihan pada dirinya sendiri, bahwa apa saja yang dicita-citakannya dan direncanakannya pasti tercapai dan berhasil. Merasa yakin akan kemampuan diri sendiri, ini akhirnya menimbulkan keyakinan bahwa dirinya tidak tergantung kepada siapa pun, juga tidak tergantung kepada Allah.

Dalam ayat ini diterangkan sifat-sifat orang yang takabur itu, yaitu:

  1. Jika mereka melihat bukti-bukti kekuasaan dan kebesaran Allah, atau membaca ayat-ayat Allah, mereka tidak mempercayainya dan tidak mau mengambil iktibar serta pelajaran dari padanya. Dalil-dalil, bukti-bukti kekuasaan dan keesaan Allah serta ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung kebenaran mereka tolak. Dalil-dalil dan bukti-bukti itu tidak berfaedah bagi orang yang ragu-ragu dan tidak menginginkan kebenaran, karena ia merasa bahwa kebenaran itu sendiri akan membatasi dan menghalangi mereka dari perbuatan sewenang-wenang, sehingga cita-cita dan keinginan mereka tidak terkabul. Ayat ini merupakan isyarat bagi Nabi Muhammad saw, bahwa orang-orang musyrik dan kafir yang memperolok-olokkannya serta mendustakan Al-Qur’an dan mengadakan kekacauan dengan mencari-cari kesalahan dan kelemahan ayat-ayat Al-Qur’an dan memutarbalikkan isinya dan kebenaran Al-Qur’an. Seandainya Nabi Muhammad mau mengikuti tuntutan mereka yang merupakan syarat beriman mereka kepadanya, mereka tetap tidak akan beriman sekali pun tuntutan mereka telah dipenuhi.
  2. Jika melihat petunjuk dan jalan yang benar, mereka tidak mau mengikutinya, bahkan mereka menghindar dan menjauh padahal jalan itulah yang paling baik dan satu-satunya jalan yang dapat membawa mereka ke tempat yang penuh kebahagiaan.
  3. Jika melihat jalan yang menuju kepada kesengsaraan, mereka mengikutinya, karena jalan itu telah dijadikan oleh setan dalam pikirannya sebagai yang paling baik dan indah. Mereka merasa dengan menempuh jalan itu segala keinginan dan hawa-nafsu mereka pasti akan terpenuhi. Menurut keyakinan mereka itulah surga yang dicita-citakan.;Pada akhir ayat ini diterangkan apa sebab hati mereka dipalingkan Allah, sehingga mereka tidak mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat Allah, karena mereka telah mendustakan ayat-ayat Allah.

Telah menjadi hukum Allah, bahwa sering mengerjakan suatu pekerjaan, menyebabkan pekerjaan itu semakin mudah dikerjakan bahkan akhirnya antara pekerjaan dengan orang-orang yang mengerjakannya menjadi satu, seakan-akan tidak dapat dipisahkan lagi. Demikian pula halnya antara perbuatan jahat dengan orang yang selalu mengerjakannya, tidak ada perbedaannya, sehingga akhirnya antara orang itu dengan perbuatan yang jahat yang dikerjakannya telah menjadi satu dan telah bersenyawa dengannya.

Karena itu pada hakikatnya bukanlah Allah yang memalingkan dan mengunci hati seseorang yang sesat itu, tetapi orang-orang yang sesat itu sendiri. Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan manusia sejak lahir menjadi orang yang beriman atau menjadi orang yang kafir dan Dia tidak pula memaksa hambanya menjadi kafir atau beriman, tetapi seseorang menjadi beriman atau menjadi kafir atas usahanya sendiri. Mereka sendirilah yang memilih dan berusaha menjadi orang yang beriman dengan mengikuti petunjuk dan ajaran agama dengan melaksanakan perintah Allah dan menjauhkan larangan-Nya. Ia selalu memperhatikan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah sehingga iman mereka bertambah lama bertambah kuat.

Sebaliknya manusia itu sendirilah yang berusaha dan memilih jalan yang sesat atau menjadi orang yang kafir dengan mendustakan ayat-ayat Allah, meremehkan dan mengacuhkan ayat-ayat Allah, agar mereka dapat memuaskan keinginan dan hawa nafsu. Oleh karena perbuatan dosa itu selalu mereka kerjakan, maka perbuatan itu telah bersatu dengan dirinya, sehingga kebenaran apa pun yang datang selalu ditolak, seolah-olah hati mereka telah terkunci mati, telah berpaling dari kebenaran. Contoh ini disebutkan dalam firman Allah swt:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ  لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ  ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan  lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (al-A‘raf/7: 179)

Perilaku orang seperti diterangkan ayat di atas banyak terdapat dalam masyarakat sepanjang sejarah hidup manusia. Mereka adalah orang yang sangat terpengaruh oleh kehidupan duniawi, seperti pangkat, kekuasaan, harta, kesenangan, dan sebagainya, mereka selalu memperturutkan hawa nafsunya. Mereka lupa dan sengaja melupakan ajaran-ajaran agama, baik yang berhubungan dengan pelaksanaan perintah-perintah Allah maupun larangan-larangan-Nya. Jika disampaikan kepada mereka ajaran Allah, maka mereka melaksanakannya sekadar mencari simpati, sehingga dengan demikian nafsu dan keinginan mereka lebih mudah terpenuhi.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 147-149


Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 117-118

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya telah dibahas mengenai arah kiblat dalam perjalanan dan persekutuan orang Yahudi dan Nasrani pada Allah. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 117-118 berbicara bahwa Allah sang Maha Pencipta segalanya. Allah yang berkuasa atas segalanya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 115-116


Menurut Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 117-118 Allah menciptakan sesuatu dengan perkataan  kun  (jadilah). Dan dijelaskan mengenai keingkaran kaum musyrik Mekah terhadap seruan dari Nabi Muhammad Saw.

Ayat 117

Allah adalah Maha pencipta. Dia menciptakan sesuatu dengan tidak mencontoh kepada apa yang telah ada, tidak menggunakan suatu bahan atau alat yang telah ada. Allah menciptakan dari yang tidak ada. Demikianlah Allah menciptakan langit dan bumi, dari yang semula tidak ada menjadi ada.

Menurut bunyi ayat, Allah menciptakan sesuatu dengan perkataan  kun  (jadilah), ungkapan ini adalah simplikasi atau penyederhanaan tentang Mahabesarnya kekuasaan Allah, apa saja yang dikehendaki untuk ditetapkan semua terjadi dengan mudah.

Sedang yang dimaksud dengan menciptakan hanyalah sekadar misal saja, agar mudah dipahami oleh hamba-hamba-Nya. Tentang cara Allah mengadakan sesuatu dan bagaimana proses terjadinya sesuatu, hanya Allah Yang Mahatahu.

Firman Allah dalam ayat sebelumnya menjelaskan bahwa “apa-apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah dan semuanya itu tunduk dan patuh kepada Nya” merupakan pernyataan atas kekuasaan dan keperkasaan Nya. Dia yang menciptakan, Dia yang mengatur dan berkuasa atas segalanya.

Kata “fa yakun”, yang berarti “maka jadilah” di sini tidak mesti diartikan bahwa sesuatu itu terjadi seketika itu juga, melainkan melalui tahapan proses yang memerlukan waktu. Setiap tahapan proses yang berlangsung dalam alam ini pasti akan berlaku hukum alam yakni ketentuan-ketentuan Allah atau sunatullah.

Proses rekayasa konstruktif dari bentuk ketersediaan bahan baku mentah menjadi bentuk barang jadi akan membutuhkan proses yang terkadang panjang dan perlu waktu. Proses terjadinya minyak bumi ataupun mineral-mineral berharga menelan waktu yang sangat lama menurut hitungan manusia.

Dalam proses penciptaan alam jagat ini, perhatikan firman Allah dalam Surah al Anbiya’/21: 30, yang artinya:

…Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (al Anbiya’/21: 30)

Ayat di atas menjelaskan, bahwa dahulunya langit dan bumi itu suatu yang padu kemudian Allah pisahkan keduanya menjadi yang satu langit dan yang satu lagi adalah bumi. Tetapi proses pemisahan ini tidak terjadi secara seketika. Proses ini berlangsung dalam jutaan tahun. Pembentukan yang satu padu tersebut pun mungkin memerlukan proses dan waktu, tidak seketika.

Begitu pula dalam penciptaan manusia pertama, Adam as, Siti Hawa, Isa as dan kita serta mahluk-mahluk lain yang ada dalam alam jagat raya ini semuanya akan berlangsung dalam tahapan proses sesuai yang telah ditetapkan Nya, walaupun sesungguhnya Allah mampu merubah ketentuan-ketentuan Nya yang sudah ada menjadi ketentuan lain sesuai dengan kehendakNya.


Baca juga:Masail Al-Qur’an: Buku yang Menjawab Problem Umat Terkait Al-Qur’an


Ayat 118

Yang dimaksud dengan ungkapan “Mereka yang tidak mengetahui” dalam ayat ini ialah orang musyrik Mekah. Mereka dikatakan tidak mengetahui karena kepercayaan mereka tidak berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah kepada nabi-nabi-Nya dan tidak mengikuti nabi-nabi yang telah diutus-Nya.

Hal ini ditegaskan ayat selanjutnya yang langsung mengarahkan pembicaraan kepada Nabi Muhammad saw, tentang sikap orang-orang musyrik itu dan persamaan perkataan mereka dengan perkataan orang-orang sebelum Nabi Muhammad diutus.

Orang-orang musyrik mengatakan, “Mengapa Allah tidak langsung berbicara dengan mereka yang menerangkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan Al-Qur′an diturunkan dari Allah, atau datang kepada mereka malaikat untuk menjelaskannya, atau datang dalil-dalil yang menerangkan dan membuktikan kenabian Muhammad?“

Ayat ini menerangkan bahwa perkataan mereka sama dengan perkataan orang-orang sebelum mereka, yang mereka ucapkan kepada nabi-nabi yang diutus kepada mereka.

Juga Allah menerangkan bahwa apa yang mereka katakan itu sebabnya sama, yaitu karena keingkaran dan kedengkian mereka kepada Muhammad, bukan karena tidak adanya dalil atau bukti-bukti yang telah didatangkan Allah.

Telah banyak dalil yang didatangkan Allah, tetapi hati mereka tertutup menerima dalil-dalil itu, karena kesombongan dan keangkuhan mereka. Apa pun dalil dan bukti yang didatangkan, mereka tetap tidak akan beriman.

Perkataan orang terdahulu yang sama dengan perkataan orang musyrik itu tersebut di dalam Alquran, seperti perkataan orang-orang Yahudi, sebagaimana yang diberitakan dalam Alquran

وَاِذْ قُلْتُمْ يٰمُوْسٰى لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى نَرَى اللّٰهَ جَهْرَةً

Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, ”Wahai Musa! Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan jelas.” …

(al Baqarah/2:55. Lihat juga an Nisa′/4:153)

Firman Allah:

وَاِذْ قُلْتُمْ يٰمُوْسٰى لَنْ نَّصْبِرَ عَلٰى طَعَامٍ وَّاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ مِنْۢ بَقْلِهَا وَقِثَّاۤىِٕهَا وَفُوْمِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, ”Wahai Musa! Kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan saja, maka mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti: sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah.” …(al Baqarah/2:61)

Orang-orang Nasrani berkata kepada Nabi Isa a.s. sebagaimana tersebut dalam firman Allah swt:

اِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّوْنَ يٰعِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيْعُ رَبُّكَ اَنْ يُّنَزِّلَ عَلَيْنَا مَاۤىِٕدَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ

 (Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata, ”Wahai Isa putra Maryam! Bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” … (al Ma′idah/5:112)

Selanjutnya ditegaskan bahwa orang kafir tidak akan beriman walau keterangan atau bukti apa pun diturunkan kepada mereka. Allah berfirman:

وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتٰبًا فِيْ قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوْهُ بِاَيْدِيْهِمْ لَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ هٰذَآ اِلَّا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ

Dan sekiranya Kami turunkan kepadamu (Muhammad) tulisan di atas kertas, sehingga mereka dapat memegangnya dengan tangan mereka sendiri, niscaya orang-orang kafir itu akan berkata, ”Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata.” (al-An’am/6:7)

Pada akhir ayat diterangkan bahwa Allah selalu menurunkan bukti-bukti dan dalil-dalil bagi segala sesuatu, Dia menerangkannya dengan sejelas-jelasnya. Orang-orang yang bersih jiwa dan hatinya akan segera menerima dalil-dalil dan bukti itu dan mereka segera meyakininya. Orang-orang yang tidak menerimanya ialah mereka yang dalam hatinya ada rasa dengki dan penyakit, hatinya kasar dan tertutup. Allah berfirman:

اَتَوَاصَوْا بِهٖۚ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُوْنَۚ

Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas. (az-Zariyat/51:53)

Ayat di atas merupakan penawar duka bagi Nabi Muhammad saw yang sedang menghadapi keingkaran kaum musyrik Mekah terhadap seruannya.

Seolah-olah ayat di atas menerangkan bahwa sikap kaum musyrik itu adalah sikap yang sama dengan sikap orang-orang dahulu terhadap nabi-nabi yang diutus kepada mereka. Karena itu janganlah dihiraukan sikap mereka dan janganlah bersedih hati.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 119-121


(Tafsir kemenag)

Tafsir Ahkam: Hukum Bersanggama di Bulan Ramadan

0
Hukum bersanggama di Bulan Ramadan
Hukum bersanggama di Bulan Ramadan

Ibadah puasa tidak hanya mengharuskan seorang muslim untuk menahan makan dan minum, tapi juga melampiaskan nafsu seksualnya. Orang yang sedang berpuasa dilarang untuk bersanggama meski dengan istrinya selama ia berpuasa. Hukum bersanggama ini adalah pengetahuan umum yang hampir setiap muslim mengetahuinya.

Namun, yang kadang masih menjadi tanda tanya adalah, bagaimanakah praktik sanggama yang diharamkan dan membatalkan puasa? Apakah harus sampai keluar sperma ataukah tidak? Apakah sanggama lewat dubur juga memiliki hukum yang sama? Lalu, kapankah waktu diperbolehkan berhubungan badan dengan istri di bulan puasa? Mengingat berhubungan badan di bulan puasa pernah hanya diperbolehkan setelah masuk magrib sampai waktu isya’ atau hendak tidur alias tidak sampai masuknya waktu subuh. Berikut penjelasan ulama.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Syarat, Rukun Puasa Ramadan, dan Alasan Niat di Malam Hari

Bersanggama di Bulan Ramadan

Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzab menjelaskan, para ulama bersepakat tentang haramnya bersanggama bagi orang yang berpuasa. Selain itu, sanggama yang dilakukannya juga membatalkan puasa yang dijalani pelakunya. Dasar Hukum yang dipakai adalah ayat Al-Qur’an, hadis sahih serta qiyas terhadap makan dan minum. Mengenai dasar ayat Al-Qur’an yang dipakai adalah firman Allah yang berbunyi (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/6/321):

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ

Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar (QS. Al-Baqarah [2] :187).

 Baca juga:Tafsir Ahkam: Larangan atas Kekerasan Seksual dalam Surah An-Nur Ayat 33

Imam Ibn Katsir tatkala menafsiri ayat di atas menyatakan, bahwa lewat ayat tersebut Allah telah memberi keringan kepada hambanya. Hal ini berkaitan dengan syariat Islam sebelum turunnya ayat ini, yang memperbolehkan sanggama bagi orang yang berpuasa mulai masuknya waktu maghrib sampai masuknya waktu isya’ atau sampai pelaku puasa tersebut tidur. Hukum ini juga berlaku pada tindakan makan dan minum.

Maka saat masuk waktu isya, atau si pelaku puasa tertidur sebelum waktu isya, maka ia tidak diperbolehkan makan, minum serta sanggama sampai waktu maghrib di keesokan harinya. Hukum ini tentunya memberatkan umat muslim pada masa itu. Hukum ini kemudian dinusakh dengan bolehnya makan, minum serta sanggama mulai masuknya waktu maghrib sampai masuknya waktu subuh (Tafsir Ibn Katsir/1/510).

Praktik Sanggama yang Diharamkan

Imam An-Nawawi dari kalangan Mazhab Syafiiyah di dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzab menjelaskan, hukum bersanggama adalah haram dan membatalkan puasa entah itu sampai mengeluarkan sperma ataukah tidak. Dan entah itu dilakukan lewat lubang vagina atau dubur. Hukum yang sama juga berlaku pada tindakan sodomi pada sesama jenis, anak kecil atau pada hewan (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/6/321).

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Ibn Qudamah dari Mazhab Hanbaliyah. Ibn Qudamah menyatakan, larangan sanggama itu mencakup lewat vagina serta dubur, dan baik itu milik laki-laki ataupun perempuan. Semuanya membuat puasa menjadi batal (Al-Mughni/3/61).

Baca juga: Puasa, Seks dan Pakaian dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183-187

Kesimpulan

Dari berbagai uraian di atas, setidaknya kita bisa mengambil beberapa kesimpulan tentang hukum bersanggama. Pertama, keharaman sanggama di bulan puasa berlaku hanya pada waktu puasa atau mulai masuk waktu subuh sampai masuk waktu maghrib. Kedua, sanggama dapat membatalkan puasa tidak harus sampai mengeluarkan sperma. Andai sperma tidak sampai keluar, maka puasanya tetap batal. Ketiga, sanggama yang diharamkan tidaklah melulu hubungan intim antara laki-laki dan perempuan lewat vagina saja. Namun juga mencakup dubur. Dan entah apakah yang diajak sanggama itu lawan jenis, sesama jenis, bahkan hewan sekalipun. Wallahu a’lam bishshawab.

Tafsir Surah Hud Ayat 47-48

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 47-48 berbicara mengenai permohonan taubat dari Nabi Nuh a.s karena telah ditegur oleh Allah akibat doa’nya untuk keselamatan anaknya. Selain itu juga berbicara mengenai perintah ketika banjir sudah surut.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 43-46


Ayat 47

Pada ayat ini diterangkan anggapan Nabi Nuh a.s. terhadap teguran Allah yang berisi penolakan atas permohonannya, agar anaknya Kan’an diselamatkan dari topan.

Demikianlah, setelah Nabi Nuh a.s. mengetahui dari Allah hakikat anaknya itu, maka ia memohon ampun kepada-Nya tentang kekhilafan dan kesalahannya dalam memohonkan sesuatu yang tidak pada tempatnya.

Ia berlindung kepada Allah supaya dapat menjaga dirinya agar tidak menyampaikan permohonan yang sifatnya serupa dengan kesalahannya itu. Pada akhir permohonan ampun itu, dengan sungguh-sungguh dan ikhlas, ia menyatakan penyesalannya kepada Allah.

Jika kesalahannya tidak diampuni Tuhan, niscaya ia termasuk golongan orang yang merugi, sebab kesalahannya itu hanya didorong oleh perasaan kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya dan ingin supaya anaknya mendapat rahmat Allah.


Baca juga: Tafsir Surat al-Mulk Ayat 25-27: Balasan Bagi yang Ingkar Terhadap Ancaman Allah


Ayat 48

Ayat ini menerangkan bahwa setelah kapal itu berlabuh di atas bukit Jµdiy beberapa waktu yang tidak diterangkan lamanya —menurut sebagian mufasir, lamanya satu bulan—dan air bah sudah surut, Allah memerintahkan kepada Nuh a.s. supaya turun dari kapal itu bersama-sama dengan para pengikutnya untuk membangun kehidupan baru dalam rangka meneruskan generasi umat manusia yang bertauhid dan bertakwa, setelah orang-orang kafir dari kaumnya itu musnah tenggelam dalam azab topan.

Allah memerintahkan agar Nuh a.s. dan para pengikutnya turun dari kapal itu disertai ucapan selamat sejahtera dan penuh keberkatan dari-Nya. Mereka akan diberi berkah, sesuai dengan janji Allah, dalam menempuh kehidupan dunia dan akhirat.

Setelah mereka turun ke daratan, maka mereka mendapat keluasan dalam rezeki dan keperluan hidup yang mereka butuhkan untuk kepentingan mereka dan generasi selanjutnya.

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa tidak semua dari generasi mereka yang akan berkembang biak di kemudian hari sama dengan mereka.

Akan tetapi, ada di antara generasi yang berkembang biak itu menjadi umat-umat yang hanya dapat menikmati rezeki dan kesenangan dunia, namun di akhirat mereka akan menerima azab yang sangat pedih.

Mereka disesatkan oleh setan sehingga menjadi musyrik dan bergelimang dalam kezaliman dan kejahatan-kejahatan lainnya, sehingga mereka tidak bisa memelihara keamanan dan kesejahteraan, bahkan sebagian menindas sebagian yang lain.

Mereka bercerai-berai dan berselisih serta menyimpang dari petunjuk agama yang dibawa oleh para rasul Allah.

Menurut keterangan Taqiyuddin al-Maqrizi, semua pengikut Nabi Nuh tidak ada yang mempunyai keturunan kecuali tiga anaknya (Syam, Ham, dan Yafis). Pendapat ini berdasarkan firman Allah:

وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهٗ هُمُ الْبٰقِيْنَ  ٧٧

Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan. (as-Saffat/37: 77)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 49-51


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Hud Ayat 43-46

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 43-46 berbicara mengenai terjadinya topan dan banjir bandang. Air menyemburat dari mana-mana. Sebelum terjadinya bencana itu, Nabi Nuh a.s masih ingin mengajak Kan’an ikut dengannya. Namun anaknya menolak ajakannya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 40-42


Ayat 43

Pada ayat ini, Allah menyebutkan jawaban Kan’an terhadap seruan dan ajakan ayahnya Nuh a.s. supaya masuk ke dalam kapal. Ia menolak tidak mau turut masuk dengan alasan bahwa ia bisa berlindung ke atas gunung untuk memelihara dirinya dari bahaya air bah (topan) yang mengancam itu.

Mendengar itu Nabi Nuh a.s. menjelaskan kepada anaknya yang membangkang, bahwa pada hari itu tidak ada yang bisa melindungi dirinya dari topan itu selain Allah dan tidak ada yang selamat kecuali orang-orang yang dikasihi-Nya, yaitu orang-orang yang masuk ke dalam kapal itu.

Demikianlah, iradah Tuhan sudah menetapkan segala sesuatu berjalan menurut proses yang telah digariskan-Nya.

Gelombang yang menggulung tinggi demikian dahsyatnya telah menghalangi antara Nuh a.s. dengan anaknya yang membangkang dan durhaka, sehingga terputuslah pembicara-an antara keduanya, dan sang anak pun turut tenggelam bersama orang-orang kafir lainnya.

Ayat 44

Pada ayat ini diterangkan bahwa air bah (topan) melanda permukaan bumi yang memancarkan mata air yang meluap-luap, ditambah dengan curahan air hujan yang berlimpah-limpah, dan kapal Nuh a.s.

itu berlayar mengarungi lautan yang bergejolak dengan dahsyatnya dan belum diketahui kapan hal itu akan berakhir.

Kemudian tibalah saatnya, Allah memerintah-kan bumi supaya menyerap air yang dipancarkannya dan memerintahkan langit supaya menghentikan curahan hujannya, sehingga air pun surut dan perintah Allah diselesaikan dengan sempurna, dan orang-orang kafir dari kaum Nuh a.s. itu tenggelam semuanya. Kemudian kapal itupun berlabuh di atas bukit Jµdiy.

Kemudian pada akhir ayat ini, Allah mengutuk orang-orang kafir dengan firman-Nya, “Binasalah orang-orang yang zalim.” Maksudnya: Peristiwa topan itu adalah untuk membinasakan orang-orang zalim (kafir) yang jauh dari rahmat Allah, karena kezaliman mereka dan tidak mau bertobat serta kembali ke jalan yang benar.

Peristiwa banjir besar zaman Nabi Nuh ini tentu tidak menenggelamkan seluruh permukaan bumi, tetapi terjadi di suatu daerah yang sangat luas di Laut Mati dan sekitarnya yang memang lebih rendah dari permukaan air laut.


Baca juga: Perbuatan yang Menyebabkan Istri Menjadi Durhaka: Tafsir Surat At-Tahrim Ayat 10


Ayat 45

Pada ayat ini diterangkan bahwa Nabi Nuh a.s. memohon kepada Tuhan agar anaknya yang bernama Kan’an atau Yam diselamatkan dari topan itu, karena anaknya itu adalah termasuk keluarganya dan Allah telah menjanjikan bahwa keluarganya akan diselamatkan dari topan, dan janji Allah adalah benar, tidak berubah, dan Ia adalah Hakim Yang Paling Bijaksana dari segala hakim.

Doa Nabi Nuh a.s. ini terjadi sebelum anaknya tenggelam, sesudah ia memanggil dan mengajaknya supaya turut masuk ke dalam kapal itu.

Meskipun Nabi Nuh a.s. tidak mengetahui bahwa ia, setelah diperintahkan Allah membuat kapal, masih diperkenankan memohon doa bagi orang-orang kafir, sedang anaknya sudah nyata-nyata membangkang tidak mau diajak masuk ke dalam kapal, tetapi ia belum yakin bahwa anaknya itu termasuk orang-orang kafir yang harus turut ditenggelamkan, apalagi ia didorong oleh perasaan kasih sayang seorang ayah terhadap anaknya.

Ayat 46

Pada ayat ini diterangkan, bahwa Allah menolak permohonan Nuh a.s. agar anaknya Kan’an bisa lepas dari azab topan itu. Allah menerangkan bahwa Kan’an yang enggan masuk kapal itu tidak termasuk keluarganya yang dijanjikan oleh Allah swt akan diselamatkan dari topan karena anak itu telah melakukan perbuatan yang tidak baik.

Dia tidak mau turut masuk ke dalam kapal dan tidak mau menerima petunjuk yang benar, walaupun petunjuk itu datangnya dari ayahnya sendiri, yang telah menjadi rasul Allah. Ia tetap keras kepala dan membangkang bersama dengan orang-orang kafir lainnya dan harus ditenggelamkan di waktu topan itu.

Allah tidak membeda-bedakan sesama manusia melainkan dengan takwanya, tanpa memandang warna kulit, bangsa, dan keturunan.

Allah melarang Nuh a.s. memohon kepada-Nya tentang sesuatu yang belum diketahuinya dengan yakin bahwa permohonan itu sudah wajar dikemukakan atau tidak. Selanjutnya Allah memperingatkan Nuh a.s. supaya ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang jahil yang memohon sesuatu kepada-Nya menurut keinginan nafsunya atau untuk keuntungan keluarga dan kekasihnya tanpa mengetahui apa yang boleh dan patut diminta.

Ayat ini mengandung beberapa hukum dan petunjuk antara lain:

  1. Tidak boleh memohon kepada Allah tentang sesuatu yang tidak wajar yang bertentangan dengan sunnah Allah atau yang belum diketahui bahwa permohonan itu wajar atau tidak.
  2. Setiap orang yang menentang kebenaran yang ditunjuki oleh Allah dan rasul-Nya akan mendapat balasan siksa.

Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 47-48


(Tafsir Kemenag)

Menelusuri Sejarah Kewajiban Puasa Menurut Para Mufasir

0
Kewajiban Puasa
Kewajiban Puasa

Tradisi atau ibadah puasa bukanlah hal baru dalam sejarah manusia. Tradisi ini dapat ditemukan pada sebagian besar ajaran agama-agama dunia atau setidaknya pada agama-agama abrahamik. Maka tak heran Al-Qur’an menyebutkan kewajiban puasa tidak hanya diperuntukkan bagi umat Islam, yakni umat nabi Muhammad saw, melainkan juga umat-umat nabi terdahulu (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 183)

Inti dari ibadah puasa adalah menahan diri, mengendalikan syahwat hewani seperti makan, minum, dan kebutuhan seks serta menjauhi segala perbuatan dosa. Hal ini penting dilakukan, sebab nafsu hewani sering kali memperdaya manusia sehingga mereka dikuasai nafsu tersebut. Dalam konteks ini, puasa dapat membekali seseorang untuk mengendalikan nafsunya.

Imam Al-Bushiri dalam Burdah-nya menerangkan bahwa nafsu itu harus dikendalikan, sebab ia seperti anak kecil yang selalu meminta susu kepada ibunya sampai disapih. Artinya, nafsu akan senantiasa menuntut manusia untuk memenuhi keinginannya yang tak terbatas, selalu ingin lebih dan baru berhenti ketika manusia menyapihnya – salah satunya – dengan ibadah puasa.

Kendati puasa telah dikenal oleh hampir seluruh umat beragama sebelum Islam seperti Kristen, Yahudi, dan Majusi, bahkan masyarakat Arab – khususnya Quraisy – yang sering melaksanakan puasa pada hari-hari tertentu, namun perintah kewajiban puasa dalam Islam baru ditegaskan pada tahun kedua Hijriyah di Madinah, tepatnya pada tanggal 10 Sya’ban (Tarikh Tasyri al-Islami).

Baca Juga: Mengulik Makna Shiyam Istilah Puasa Ramadhan dalam al-Quran

Menurut Waryono Abdul Ghafur, penulis buku Persaudaraan Agama-Agama Millah Ibrahim, kewajiban puasa ditetapkan pada tahun kedua Hijriyah bertujuan sebagai persiapan pembangunan masyarakat madani. Baginya, puasa adalah modal utama nabi Muhammad saw dalam mewujudkan kehidupan masyarakat Madinah yang bermoral dan memiliki solidaritas tinggi.

Tradisi atau ibadah puasa dalam Islam – menurut penulis – dapat dibagi ke dalam tiga periodisasi, yakni: Pertama, puasa sebagai tradisi atau kebiasaan. Kedua, perintah puasa dan kebolehan memilih penggantinya bagi yang merasa berat. Ketiga, munculnya kewajiban puasa secara mutlak. Ketiga periodisasi merupakan gaya Islam dalam mewajibkan sesuatu, yakni dengan berangsur-angsur agar mudah diterima masyarakat.

Sedangkan menurut Ibnu Katsir, periodisasi ibadah puasa terbagi kepada 3 tahap: Pertama, kaum muslimin melaksanakan puasa selama 3 hari dalam sebulan sebagaimana yang pernah dipraktikkan nabi. Kedua, puasa hanya dilakukan selama bulan Ramdhan dengan ketentuan yang ketat di mana pada malam hari kaum muslimin tidak boleh makan, minum dan jimak jika telah tidur. Ketiga, selama bulan Ramdhan dengan ketentuan sebagaimana saat ini.

Pada awal kedatangan Islam, tidak ada kewajiban puasa bagi umat Islam, yang ada hanya kebiasaan berpuasa masyarakat Arab, termasuk kebiasaan baginda muhammad saw. Hal ini telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang sanadnya bersambung kepada Aisyah. Di sana dijelaskan bahwa masyarakat Quraisy pada masa jahiliah biasa melaksanakan puasa pada hari Asyura atau 10 Muharram (Sahih al-Bukhari).

Imam al-Thabari dalam kitabnya, Jami’ al-Bayan, menerangkan bahwa nabi Muhammad saw memiliki kebiasaan berpuasa pada hari Asyura dan tiga hari setiap bulannya. Di samping itu, beliau juga sering berkhalwat selama sebulan dari setahun guna mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal ini merupakan hal wajar dalam tradisi kesalehan bagi masyarakat Arab sebagai bagian tradisi ’irano semitic.

Tradisi puasa semacam ini berlangsung cukup lama, tepatnya dari sebelum kenabian hingga tahun kedua Hijriah di mana puasa diwajibkan. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pada periode pertama belum ada kewajiban puasa dan puasa merupakan sebuah kebiasaan yang sudah mengakar di masyarakat Arab. Dengan kata lain, kala itu tidak ada tuntutan bagi umat untuk berpuasa (Nurul Yaqin: 28).

Kemudian, pada tahun kedua Hijriah turun surah al-Baqarah [2] ayat 183 dan 184 yang menjadi tanda mulai adanya kewajiban puasa:

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,  (Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2] ayat 183 dan 184).

Surah al-Baqarah [2] ayat 183 dan 184 adalah penanda awal datangnya kewajiban puasa. Hanya saja, kewajiban puasa periode kedua ini boleh tidak dilaksanakan bagi mereka yang berat melakukan puasa. Hal ini disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim, “orang bermukim yang sehat namun kesulitan melaksanakan puasa boleh menggantinya dengan fidyah. Jika ia ingin berpuasa maka berpuasa, jika tidak, maka tidak mengapa.”

Fidyah yang dimaksud di sini ialah memberi makan fakir miskin banyak hari puasa yang ditinggalkan. Sebagai contoh untuk memudahkan, kalau seseorang tidak puasa selama 7 hari, berarti ia harus memberi makan fakir miskin sebanyak 7 kali. Pandangan ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Imam Mujahid, Thawus, Muqatil bin Hayyan dan sebagian ulama salaf.

Kewajiban puasa secara mutlak baru dilaksanakan ketika surah al-Baqarah [2] ayat 185 turun:

Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”

Menurut al-Suddi, kalimat “Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah” menandakan bahwa kewajiban puasa diperuntukkan secara mutlak bagi seluruh umat Islam. Pada periode ketiga ini pengecualian atau kemudahan pelaksanaan puasa hanya diberikan kepada mereka yang memiliki kesulitan seperti orang sakit dan musafir atau bisa juga orang tua ibu hamil jika dikiaskan.

Pelaksanaan puasa pada mulanya juga terhitung cukup berat. Sebab, pada malam hari puasa para sahabat hanya boleh makan, minum dan berhubungan intim sebelum tidur. Apabila mereka telah tidur, baik sengaja ataupun tidak, maka kesemuanya itu tidak boleh lagi dilakukan sampai waktu berbuka pada keesokan harinya. Dengan demikian, waktu puasa lebih lama dan pelaksanaannya lebih berat dibandingkan saat ini.

Ada kisah perjuangan sahabat berkenaan pelaksanaan puasa pada periode ini, yakni kisah Qais bin Shirmah yang pingsan akibat berpuasa. Dikisahkan bahwa suatu hari ia sedang berpuasa dan pada siang itu ia sibuk mengurus pohon kurma. Ketika waktu berbuka telah sampai, ia lantas mendatangi istrinya guna menanyakan apakah ada makanan yang disiapkan untuk berbuka hari itu.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Wajibkah Qadha Puasa Bagi Mualaf Semasa Ia Non Muslim?

Mendengar pertanyaan Qais, istrinya menjawab, “belum ada makanan dan aku akan segera mencarinya.” Ketika menunggu istrinya mencari makanan, rupanya Qais tertidur karena kelelahan. Akibat dari tindakannya ini ialah ia tidak bisa makan lagi hingga waktu berbuka esok hari. Namun naas, di tengah hari berikutnya Qais pingsan karena tidak kuat menahan lapar (Tafsir Al-Qurthubi).

Kisah ini kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad saw dan rupanya banyak peristiwa serupa yang terjadi di kalangan sahabat di mana mereka tertidur sebelum makan, minum atau menggauli istri. Sebagian sahabat ada yang tetap taat dengan melaksanakan kewajiban puasa sebisa mungkin sebagaimana Qais dan ada pula yang melanggar pantangan puasa di malam hari seperti Umar bin Khattab.

Karena peristiwa tersebut, lalu turunlah surah al-Baqarah [2] ayat 187 yang menjelaskan tentang kebolehan menggauli para istri di malam puasa, sebab mereka adalah pakaian bagi para suami, begitu pula sebaliknya. Pada ayat ini juga ditegaskan bahwa puasa hanya dilakukan sejak fajar, yakni imsak, hingga tenggelamnya matahari. Itulah waktu puasa yang sebenarnya dan itulah pula yang dilakukan umat Islam hingga saat ini. Wallahu a’am.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 115-116

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembahasan sebelumnya dipaparkan mengenai Tindakan orang zalim seperti menghalangi menyebut nama Allah dan merobohkan masjid-masjid. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 115-116 membahas tentang arah kiblat ketika dalam perjalanan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 114


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 115-116 juga menjelaskan persekutuan orang Yahudi dan Nasrani kepada Allah yang mengatakaan bahwa Allah mempunyai anak.

Ayat 115

Sebab turunnya ayat ini ialah seperti diriwayatkan oleh Jabir sebagai berikut:  Kami telah diutus oleh Rasulullah saw dalam suatu peperangan dan aku termasuk dalam pasukan itu.

Ketika kami berada di tengah perjalanan, kegelapan mencekam kami, sehingga kami tidak mengetahui arah kiblat.  Segolongan di antara kami berkata,  Kami telah mengetahui arah kiblat, yaitu ke sana, ke arah utara. Maka mereka salat dan membuat garis di tanah.

Sebagian kami berkata,  Arah kiblat ke sana ke arah selatan.  Dan mereka membuat garis di tanah. Tatkala hari subuh dan matahari pun terbit, garis itu mengarah ke arah yang bukan arah kiblat.

Tatkala kami kembali dari perjalanan dan kami tanyakan kepada Rasulullah saw tentang peristiwa itu, maka Nabi saw diam dan turunlah ayat ini.

Allah swt menegaskan pemilikan-Nya terhadap seluruh alam ini. Dia sendiri yang mengaturnya, mengetahui apa saja yang terjadi di dalamnya, baik kecil maupun besar. Firman Allah:

وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌۗ

…Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (al Hadid/57:4)

Firman Allah yang lain:

مَا يَكُوْنُ مِنْ نَّجْوٰى ثَلٰثَةٍ اِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ اِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَآ اَدْنٰى مِنْ ذٰلِكَ وَلَآ اَكْثَرَ اِلَّا هُوَ مَعَهُمْ اَيْنَ مَا كَانُوْا

…Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada… (al Mujadilah/58:7)

رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَّعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِيْنَ تَابُوْا وَاتَّبَعُوْا سَبِيْلَكَ

… (Mereka berkata),   Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan (agama)-Mu …  (al Mu′min/40: 7)

Karena itu pada dasarnya, ke mana saja manusia menghadapkan mukanya dalam berdoa atau beribadah, ke timur, barat, utara, selatan, ke bawah, ke atas, dan sebagainya, pasti doa dan ibadahnya itu didengar Allah dan sampai kepada-Nya.

Ayat ini membantah kepercayaan bahwa Allah mempunyai tempat, bahwa doa atau ibadah akan didengar dan sampai kepada Allah bila hamba yang berdoa dan beribadah itu menghadap ke arah tertentu saja atau suatu tempat yang dianggap lebih mulia dari tempat yang lain dan sebagainya. Kata wajh banyak sekali artinya. Dalam ayat ini berarti  kehadiran .

Berdasarkan ayat di atas dan sebab turunnya, dapat ditetapkan hukum sebagai berikut:

  1. Kiblat itu pada dasarnya ialah seluruh arah. Kemana saja hamba menghadap pasti menemui wajah Allah. Untuk memelihara kesatuan dan persatuan kaum Muslimin ditetapkanlah Ka’bah sebagai arah kiblat.
  2. Apabila hari sangat gelap dan arah kiblat tidak diketahui, maka boleh salat menghadap ke arah yang diyakini sebagai kiblat. Jika ternyata kemudian arah itu bukan arah kiblat maka salatnya tetap sah.
  3. Bagi orang yang berada di atas kendaraan yang sedang berjalan, ia boleh berkiblat ke arah yang dia sukai. Sebagian ulama menganjurkan berkiblat ke arah depan dari kendaraan itu.

Baca juga: Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran dan Pahala Memandangnya


Ayat 116

Pengakuan lisan dan hati orang-orang Yahudi dan Nasrani bahwa Allah mempunyai anak. Orang Yahudi mengatakan Uzair putra Allah, sedang orang Nasrani mengatakan bahwa Almasih putra Allah.

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ِۨابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْ

Dan orang-orang Yahudi berkata, ”Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, ”Almasih putra Allah.” Itulah ucapan yang keluar dari mulut mereka. (at Taubah/9: 30)

Kedua kepercayaan itu pada dasarnya adalah sama, yaitu menyatakan bahwa Allah mempunyai anak dan berarti mereka mempersekutukan Allah, menyatakan bahwa Allah memerlukan pembantu dalam mengurus alam ini, menyatakan bahwa Allah mempunyai suatu cita-cita dan cita-cita itu akan dilanjutkan oleh putra-Nya seandainya Dia tidak ada lagi.

Kepercayaan dan ucapan orang-orang kafir itu tidak benar, mengherankan dan terlalu berani, Mahasuci Allah dari perkataan-perkataan yang demikian itu. Allah tidak memerlukan sesuatu pun, tidak memerlukan penolong dan pembantu dalam melaksanakan semua urusan-urusan-Nya, tidak memerlukan sesuatu pun untuk melanjutkan kehendak-Nya, karena Dia adalah kekal tidak berkesudahan.

Dari perkataan  Mahasuci Allah  dipahami bahwa pengakuan orang-orang Yahudi dan Nasrani tentang Allah mempunyai anak adalah pengakuan yang dinilai sebagai dosa besar. Karena itu hamba-hamba yang terlanjur menyatakan pengakuan itu hendaklah bertobat kepada Allah. Hanya dengan bertobat, dosa besar seseorang hamba dapat diampuni oleh Allah.

Akhir ayat ini memberi pengertian bahwa Allah hendak membersihkan diri-Nya dari perkataan orang-orang kafir. Allah menyatakan yang demikian semata-mata untuk menjaga hak hamba-hamba-Nya, membersihkan kepercayaan hamba-hamba-Nya yang dapat merugikan mereka di dunia dan di akhirat nanti.

Bahkan Allah menegaskan bahwa seluruh alam ini adalah milik-Nya, berada di bawah kekuasaan-Nya. Tidak satu pun yang dapat mengurangi kehendak-Nya dan merugikan-Nya. Semua patuh dan tunduk kepada-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 117-118


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surah Al A’raf ayat 145

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 145 ini menerangkan bahwa Allah telah menurunkan kepada Nabi Musa beberapa petunjuk berupa akidah, budi pekerti dan juga hukum.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 143-144


Ayat 145

Dalam Tafsir Surah Al A’raf ayat 145 ini Allah menerangkan dalam ayat ini bahwa Dia telah menurunkan kepada Nabi Musa as, beberapa keping lauh yang berisi petunjuk-petunjuk dan pengajaran-pengajaran, janji dan ancaman pokok-pokok agama, berupa pokok-pokok akidah, budi pekerti dan hukum-hukum.

 Pendapat para ahli berbeda-beda tentang yang dimaksud dengan lauh itu termasuk bagian Kitab Taurat, dan ada yang berpendapat bahwa lauh diturunkan sebelum Kitab Taurat diturunkan. Dari berbagai pendapat itu yang kuat ialah pendapat yang mengatakan bahwa lauh itu adalah wahyu yang pertama diturunkan kepada Musa as, karena itu ia memuat hukum-hukum, akidah, dan keterangan-keterangan yang bersifat umum dan global. Kemudian diturunkan wahyu lain untuk menjelaskan secara berangsur-angsur sesuai dengan keperluan, keadaan masa, dan tempat.

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang jumlah lauh yang diturunkan kepada Nabi Musa as. Ada yang mengatakan sepuluh dan sebagainya. Tidak ada nash yang tegas menerangkan jumlah lauh yang diturunkan itu.

Allah memerintahkan agar Musa berpegang teguh dengan pokok-pokok agama yang telah diturunkan kepadanya, melaksanakan segala petunjuk-petunjuk dan hukum-hukumnya, agar berbahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti. Dan Allah memerintahkan agar Musa dan kaumnya berpegang teguh kepada ajaran-ajaran, petunjuk-petunjuk, dan hukum-hukum yang ada di dalam lauh itu. Sehingga Bani Israil akan baik budi-pekertinya, baik ibadahnya, dan tertutuplah pintu-pintu syirik. Jika kamu dan kaummu tidak mengambil dan memegang teguh apa yang telah Kami turunkan dengan sesungguhnya, maka kamu akan menjadi fasik, seperti yang telah dialami oleh kaum ‘Ad, Tsamud, dan kaum Fir’aun dan sebagainya, atau Kami akan memperlihatkan kelak apa yang dialami orang-orang yang tidak mau taat kepada-Ku.

Dari ayat-ayat di atas dapat diambil beberapa iktibar (pelajaran) sebagai berikut:

  1. Wajib menyampaikan ajaran rasul dengan sungguh-sungguh, sesuai dengan risalah yang dibawa Rasul, agar dengan demikian tercapailah pembentukan umat yang baru, penuh kedamaian di bawah lindungan Tuhan Yang Maha Pengampun. Hal ini dapat dilihat pada perbuatan Rasulullah saw, sendiri. Beliau merupakan suri teladan bagi umatnya dalam mengamalkan perintah-perintah Allah. Hal ini dapat dilihat pada perkataan, perbuatan dan tindakannya. Karena itu orang Arab tertarik kepada agama yang dibawanya, sehingga dalam waktu yang sangat pendek, penduduk Jazirah Arab telah menganut agama Islam. Cara-cara yang dilakukan oleh Rasulullah ini telah dilakukan pula oleh para sahabat dan beberapa khalifah yang terkenal dalam sejarah, maka mereka pun telah berhasil sebagaimana Rasulullah telah berhasil. Dalam pada itu ada pula di antara kaum Muslimin yang telah berbuat kesalahan.
  2. Kita lihat dalam sejarah bahwa Bani Israil menjadi bangsa yang besar dan berkuasa di saat mereka melaksanakan dengan baik agama Allah, dan mereka menjadi bangsa terjajah, hidup sengsara di saat mereka memandang enteng dan mengingkari agama Allah.
  3. Demikianlah halnya kaum Muslimin, menjadi kuat dan besar di saat mereka melaksanakan dengan baik agama Allah, di saat timbul persaudaraan yang kuat sesama kaum Muslimin, dan mereka menjadi lemah di saat mereka tidak mengacuhkan lagi agama Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 146


Mengenal Makna Al-Zhann dalam Al-Quran

0
makna al-zhann dalam Al-Quran
makna al-zhann dalam Al-Quran

Istilah Husn Al-zhann dan Su’ Al-zhann adalah dua istilah yang bertolak belakang, yang satu merupakan bagian dari akhlak muila, sementara satu yang lain adalah sebaliknya. Meskipun demikian, dua-duanya sangat dekat dengan keseharian kita. Sebagai pedoman hidup manusia, Al-Quran sendiri menyinggung keduanya meski hanya dengan menggunakan kata Al-zhann. Dari situ kemudian ada yang memahami zhann dengan husn al-zhann ada pula yang su’ al-zhann. Bagaimana sebenarnya makna Al-zhann tersebut? Berikut penjelasannya

Al-zhann yaitu pengetahuan yang tidak meyakinkan tentang sesuatu. Hal ini dikaitkan dengan sebuah pengetahuan atau berita yang belum dapat dipercaya kebenarannya. Kata ini juga dikaitkan dengan sebuah pengetahuan yang meyakinkan yang diperoleh melalui pengamatan (tadabbur), bukan melalui pancaindera.

Baca Juga: Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12

Tiga makna al-zhann dalam Al-Quran

Menurut Ibn al-Jauzy, pada dasarnya makna al-zhann itu ialah keyakinan terhadap salah satu dari dua hal yang berlawanan di dalam diri manusia. Lawannya adalah al-syakk, yang berarti keraguan. Keraguan yaitu ketidakyakinan terhadap dua hal berlawanan di dalam jiwa.

Al-zhann di dalam Al-Qur’an mengandung 3 makna, yaitu

  1. Al-zhann berarti al-Syakk. Makna al-Zhann yang pertama yaitu ragu-ragu atau keraguan, yang terkandung di dalam QS. Al-Jatsiyah [45]: 24.

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

“Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”

Kata al-zhann dalam ayat digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang diragukan atau sesuatu yang diduga-duga kebenarannya. Sebab, manusia tidak memiliki penetahuan yang pasti tentang apa yang akan terjadi di dunia ini. Mereka hanya menduga-duga belaka.

  1. Al-zhann berarti al-Yaqīn. Makna al-Zhann yang kedua adalah keyakinan, seperti yang terdapat di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 46, Berikut terjemahan ayatnya,

 “(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

Kata al-zhann yang digunakan di dalam ayat ini menujukkan suatu kepastian. Orang-orang yang berima memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka pasti akan bertemu dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka pasti akan kembali kepada-Nya.

  1. Al-zhann berarti al-Kadzib, Makna al-Zhann yangketiga yaitu kedustaan, yang terdapat di dalam QS. Al-Najm [53]: 28, Berikut terjemahan ayatnya,

Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan. Dan sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.

Kata al-zhann dalam ayat ini menunjukkan makna persangkaan. Manusia tidak memiliki pengetahuan sedikit pun tentang kepastian sesuatu yang akan terjadi pada mereka. Mereka hanya mengikuti sangkaan mereka belaka.

Baca Juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran

Perbedaan makna al-zhann di dalam ayat-ayat di atas hanya disebabkan karena perbedaan konteks yang dibicarakan dalam setiap kalimat. Semua kata ini menunjukkan makna yang positif. Lalu kata ini disandarkan dengan kata yang lain, su’u dan husn, sehingga artinya menjadi berbeda. Su’u al-zhann berarti buruk sangka dan husnu al-zhann berarti baik sangka.

Dua makna Al-Zhann menurut Imam Al-Zarkasy

Imam al-Zarkasy, yang dikutip oleh Mahmud al-Mishri, menyatakan bahwa al-zhann mengandung dua makna, yaitu al-yaqin yang bermakna keyakinan, dan al-syakk yang berarti keraguan. Penggunaan kedua makna itu dapat dilihat dari cirinya, yaitu sebagai berikut:

  1. Al-zhann bermakna yakin apabila sifatnya terpuji, dan dalam hal ini pelaku mendapat pahala, dan al-zhann bermakna ragu apabila sifatnya tidak terpuji, dan palakunya mendapat dosa.
  2. Apabila kata zhann beriringan dengan kata أن yang tidak bertasydid, maka makna adalah al-syakk (keraguan), seperti di dalam QS. Al-Fath [48]: 12. Apabila zhann beriringan dengan أن yang bertasydid, maka maknanya adalah yakin.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata الظن mengandung tiga makna, yaitu al-syakk (ragu, keraguan), al-yaqiin (yakin, keyakinan), dan al-kadzib (dusat, kedusataan). Ketiga makna itu dapat dipastikan dilihat dari konteks penggunaannya. Kita dapat memastikan perbedaan makna di dalam penggunaan kata al-zhann itu apabila dihubungkan dengan dua kata yang berbeda, yaitu su‘ (سوء) sehingga menjadi سوء الظن yang berarti “berburuk sangka,” dan husn (حسن) sehingga menjadi حسن الظن yang berarti “berbaik sangka”.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 12: Larangan Berprasangka Buruk

Jenis dan hukuman prasangka

Mahmud al-Mishri membagi prasangka itu atas 5 macam dan diakitkan dengan hukumnya masing-masing, yaitu:

  1. Prasangka yang diharamkan, yaitu prasangka buruk terhadap Allah. Prasangka beuruk terhadap Allah, misalnya, karena Allah menetapkan sebuah kewajiban yang terasa sangat berat dilakukan oleh manusia. Termasuk prasangka buruk terhadap Allah, kalau Allah memberikan ujian, cobaan kepada manusia.
  2. Prasangka yang diharamkan, yaitu prasangka buruk terhadap kaum muslimin, seperti prasangka terhadap sesuatu yang dilakukan oleh kaum muslimin. Mislanya, ia melihat seorang muslim, yang kaya raya, lalu dalam pikirannya dia berkata, bahwa kekayaannya itu adalah diperoleh dengan jalan yang haram. Padahal orang itu mendapatkannya dengan jalan yang halal.
  3. Prasangka yang diperbolehkan, yaitu prasangka yang terlintas di dalam hati seorang muslim kepada saudaranya karena ada hal yang mencurikan. Boleh berprasangka kepada seseorang yang ingin melakukan perbuatan yang tidak baik terhadap diri kita agar kita berjaga-jaga dan waspada dari hal itu.
  4. Prasangka yang dianjurkan adalah prasangka baik terhadap sesama muslim. Misalnya, ada seseorang yang melakukan suatu pekerjaan yang baik, lalu kita menganggap bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang baik. Berprasangka baik terhadap sesuatu yang kurang baik yang dilakukan oleh seseorang kepada diri kita. Lalu kita berkata, bahwa dia sebenarnya tidak memiliki tujuan yang tidak baik terhadap kita.
  5. Prasangka yang diperintahkan adalah prasangka dalam ibadah dan hukum yang belum ada nashnya. Prasangka itu adalah prasangka yang berkaitan dengan upaya untuk mengeluarkan suatu hukum yang belum ada nashnya di dalam Al-Qur’an dan al-Hadis. Ijtihad yang dilakukan oleh ulama terhadap suatu yang hukum yang belum ada nashnya di dalam Al-Qur’an maupun hadis adalah prasangka yang diperintahkan.

Penjelasan tentang makna al-zhann di atas menginformasikan bahwa makna al-zhann itu tidak satu, tetapi banyak, bahkan ada yang sampai kontradiktif, sesuai konteks ayatnya. Wallahu a’lam