Beranda blog Halaman 349

Mengenal Makna Al-Zhann dalam Al-Quran

0
makna al-zhann dalam Al-Quran
makna al-zhann dalam Al-Quran

Istilah Husn Al-zhann dan Su’ Al-zhann adalah dua istilah yang bertolak belakang, yang satu merupakan bagian dari akhlak muila, sementara satu yang lain adalah sebaliknya. Meskipun demikian, dua-duanya sangat dekat dengan keseharian kita. Sebagai pedoman hidup manusia, Al-Quran sendiri menyinggung keduanya meski hanya dengan menggunakan kata Al-zhann. Dari situ kemudian ada yang memahami zhann dengan husn al-zhann ada pula yang su’ al-zhann. Bagaimana sebenarnya makna Al-zhann tersebut? Berikut penjelasannya

Al-zhann yaitu pengetahuan yang tidak meyakinkan tentang sesuatu. Hal ini dikaitkan dengan sebuah pengetahuan atau berita yang belum dapat dipercaya kebenarannya. Kata ini juga dikaitkan dengan sebuah pengetahuan yang meyakinkan yang diperoleh melalui pengamatan (tadabbur), bukan melalui pancaindera.

Baca Juga: Jangan Berprasangka Buruk! Renungkanlah Pesan Surat Al-Hujurat Ayat 12

Tiga makna al-zhann dalam Al-Quran

Menurut Ibn al-Jauzy, pada dasarnya makna al-zhann itu ialah keyakinan terhadap salah satu dari dua hal yang berlawanan di dalam diri manusia. Lawannya adalah al-syakk, yang berarti keraguan. Keraguan yaitu ketidakyakinan terhadap dua hal berlawanan di dalam jiwa.

Al-zhann di dalam Al-Qur’an mengandung 3 makna, yaitu

  1. Al-zhann berarti al-Syakk. Makna al-Zhann yang pertama yaitu ragu-ragu atau keraguan, yang terkandung di dalam QS. Al-Jatsiyah [45]: 24.

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ

“Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”

Kata al-zhann dalam ayat digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang diragukan atau sesuatu yang diduga-duga kebenarannya. Sebab, manusia tidak memiliki penetahuan yang pasti tentang apa yang akan terjadi di dunia ini. Mereka hanya menduga-duga belaka.

  1. Al-zhann berarti al-Yaqīn. Makna al-Zhann yang kedua adalah keyakinan, seperti yang terdapat di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 46, Berikut terjemahan ayatnya,

 “(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.”

Kata al-zhann yang digunakan di dalam ayat ini menujukkan suatu kepastian. Orang-orang yang berima memiliki keyakinan yang kuat bahwa mereka pasti akan bertemu dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka pasti akan kembali kepada-Nya.

  1. Al-zhann berarti al-Kadzib, Makna al-Zhann yangketiga yaitu kedustaan, yang terdapat di dalam QS. Al-Najm [53]: 28, Berikut terjemahan ayatnya,

Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan. Dan sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.

Kata al-zhann dalam ayat ini menunjukkan makna persangkaan. Manusia tidak memiliki pengetahuan sedikit pun tentang kepastian sesuatu yang akan terjadi pada mereka. Mereka hanya mengikuti sangkaan mereka belaka.

Baca Juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran

Perbedaan makna al-zhann di dalam ayat-ayat di atas hanya disebabkan karena perbedaan konteks yang dibicarakan dalam setiap kalimat. Semua kata ini menunjukkan makna yang positif. Lalu kata ini disandarkan dengan kata yang lain, su’u dan husn, sehingga artinya menjadi berbeda. Su’u al-zhann berarti buruk sangka dan husnu al-zhann berarti baik sangka.

Dua makna Al-Zhann menurut Imam Al-Zarkasy

Imam al-Zarkasy, yang dikutip oleh Mahmud al-Mishri, menyatakan bahwa al-zhann mengandung dua makna, yaitu al-yaqin yang bermakna keyakinan, dan al-syakk yang berarti keraguan. Penggunaan kedua makna itu dapat dilihat dari cirinya, yaitu sebagai berikut:

  1. Al-zhann bermakna yakin apabila sifatnya terpuji, dan dalam hal ini pelaku mendapat pahala, dan al-zhann bermakna ragu apabila sifatnya tidak terpuji, dan palakunya mendapat dosa.
  2. Apabila kata zhann beriringan dengan kata أن yang tidak bertasydid, maka makna adalah al-syakk (keraguan), seperti di dalam QS. Al-Fath [48]: 12. Apabila zhann beriringan dengan أن yang bertasydid, maka maknanya adalah yakin.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata الظن mengandung tiga makna, yaitu al-syakk (ragu, keraguan), al-yaqiin (yakin, keyakinan), dan al-kadzib (dusat, kedusataan). Ketiga makna itu dapat dipastikan dilihat dari konteks penggunaannya. Kita dapat memastikan perbedaan makna di dalam penggunaan kata al-zhann itu apabila dihubungkan dengan dua kata yang berbeda, yaitu su‘ (سوء) sehingga menjadi سوء الظن yang berarti “berburuk sangka,” dan husn (حسن) sehingga menjadi حسن الظن yang berarti “berbaik sangka”.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 12: Larangan Berprasangka Buruk

Jenis dan hukuman prasangka

Mahmud al-Mishri membagi prasangka itu atas 5 macam dan diakitkan dengan hukumnya masing-masing, yaitu:

  1. Prasangka yang diharamkan, yaitu prasangka buruk terhadap Allah. Prasangka beuruk terhadap Allah, misalnya, karena Allah menetapkan sebuah kewajiban yang terasa sangat berat dilakukan oleh manusia. Termasuk prasangka buruk terhadap Allah, kalau Allah memberikan ujian, cobaan kepada manusia.
  2. Prasangka yang diharamkan, yaitu prasangka buruk terhadap kaum muslimin, seperti prasangka terhadap sesuatu yang dilakukan oleh kaum muslimin. Mislanya, ia melihat seorang muslim, yang kaya raya, lalu dalam pikirannya dia berkata, bahwa kekayaannya itu adalah diperoleh dengan jalan yang haram. Padahal orang itu mendapatkannya dengan jalan yang halal.
  3. Prasangka yang diperbolehkan, yaitu prasangka yang terlintas di dalam hati seorang muslim kepada saudaranya karena ada hal yang mencurikan. Boleh berprasangka kepada seseorang yang ingin melakukan perbuatan yang tidak baik terhadap diri kita agar kita berjaga-jaga dan waspada dari hal itu.
  4. Prasangka yang dianjurkan adalah prasangka baik terhadap sesama muslim. Misalnya, ada seseorang yang melakukan suatu pekerjaan yang baik, lalu kita menganggap bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang baik. Berprasangka baik terhadap sesuatu yang kurang baik yang dilakukan oleh seseorang kepada diri kita. Lalu kita berkata, bahwa dia sebenarnya tidak memiliki tujuan yang tidak baik terhadap kita.
  5. Prasangka yang diperintahkan adalah prasangka dalam ibadah dan hukum yang belum ada nashnya. Prasangka itu adalah prasangka yang berkaitan dengan upaya untuk mengeluarkan suatu hukum yang belum ada nashnya di dalam Al-Qur’an dan al-Hadis. Ijtihad yang dilakukan oleh ulama terhadap suatu yang hukum yang belum ada nashnya di dalam Al-Qur’an maupun hadis adalah prasangka yang diperintahkan.

Penjelasan tentang makna al-zhann di atas menginformasikan bahwa makna al-zhann itu tidak satu, tetapi banyak, bahkan ada yang sampai kontradiktif, sesuai konteks ayatnya. Wallahu a’lam

Mengulik Makna Shiyam Istilah Puasa Ramadhan dalam al-Quran

0
Puasa Ramadhan dalam al-Quran
Puasa Ramadhan dalam al-Quran

Ada dua istilah yang berkembang tentang puasa ramadhan, yaitu shaum dan shiyam. Istilah shaum telah disinggung pada pembahasan terdahulu, yakni pada link di sini. Maka pada pembahasan kali ini kita akan mengulas makna shiyam. Kata shiyam sendiri memiliki tujuan yang beranekara ragam, di antaranya kewajiban membayar fidyah, diyat, atau kafarat maupun makna puasa ramadhan itu sendiri.

Pengertian Shiyam

Secara bahasa, baik kata shiyam maupun shaum berasal dari صام – يصوم, artinya imsak (menahan), shamt (diam tidak berbicara), rukud (diam tidak bergerak), dan wuquf (berhenti) sebagaimana disampaikan Khalil bin Ahmad al-Farahidi dalam Kamus al-‘Ain. Jadi, kedua istilah tersebut secara literal bermakna meninggalkan makan dan minum, tidak berbicara dan tidak mengerjakan apapun.

Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah Mesir dalam al-Mu’jam al-Wasith menyampaikan makna harfiah ini kemudian menjadi makna pakem yang melekat pada istilah shaum dan shiyam sampai saat ini. Sebaran kata shiyam ini juga disebutkan beberapa kali dalam Al-Quran. Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Quran al-Karim menjelaskan bahwa kata shiyam diulang sebanyak 8 kali, yaitu Q.S. al-Baqarah [2]: 184, 187, 196 (dua kali), Q.S. al-Nisa [4]: 92, Q.S. al-Maidah [5]: 89 dan 95 serta Q.S. al-Mujadilah [58]: 4.

Makna shiyam pun beragam, pada Q.S. al-Baqarah [2]: 184 dan 187 misalnya menyebutkan kewajiban puasa ramadhan, sedangkan ayat 187 menyampaikan teknis akftifitas puasa. Lantas, yang menjadi pertanyaan mengapa Al-Quran sering menyebut kata shiyam bahkan untuk menunjukkan makna kewajiban puasa ramadhan ketimbang shaum, padahal secara literal makna keduanya tidak jauh berbeda?

Dalam ilmu gramatikal Arab, sharaf dan nahwu, ada satu kaidah, yaitu ziyadah al-ma’na tadullu ‘ala ziyadah al-ma’na (bentuk kata itu menunjukkan karakter makna). Shaum (صوم) misalnya terdiri dari 3 kata (shad, wawu, mim). Sementara, shiyam (صيام) terdiri dari 4 huruf (shad, ya’, alif, mim). Karenanya, makna shiyam mempunyai makna yang lebih mendalam dibanding shaum. Bahkan sebagian ulama membedakan substansi makna keduanya.

Al-Tabari misalnya, dalam Jami’ al-Bayan, ia menuturkan

والصيام مصدر من قول القائل: صمت عن كذا وكذا، يعنـي كففت عنه، أصوم عنه صوماً وصياماً، ومعنى الصيام: الكفّ عما أمر الله بـالكف عنه

Shiyam merupakan kata masdar (asli) dari perkataan, “shumtu ‘an kadza wa kadza (diamlah dari ini dan itu). Artinya mencukupkan dari suatu perkataan maupun perbuatan. Makna shiyam adalah mencukupkan diri atas perintah Allah swt secukup-cukupnya dan setulus-tulusnya”.

Baca juga: Mengulik Makna Shaum, Istilah Puasa Ramadan dalam Al-Quran

Penafsiran berikutnya datang dari al-Syaukani dalam Fathul Qadir-nya,

والصيام أصله في اللغة الإمساك، وترك التنقل من حال إلى حال، ويقال للصمت صوم لأنه إمساك، عن الكلام. وهو في الشرع الإمساك عن المفطرات مع اقتران النية به من طلوع الفجر إلى غروب الشمس

Shiyam secara lughawi (bahasa) artinya imsak (menahan), yaitu meninggalkan sesuatu (diam) dari sesuatu ke sesuatu yang lain. Dikatakan orang yang berpuasa itu tidak berbicata sekalipun (imsak ‘an al-kalam). Secara istilah (syara’), shiyam bermakna menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari dengan disertai niat”.

Hal senada juga disampaikan Fairuz Abadi dalam tafsirnya, bahwa shiyam adalah meninggalkan makan, minum dan jima’ (bersetubuh) mulai waktu isya’ yang akhir (terbitnya fajar) hingga terbenamnya matahari. Adapun al-Suyuthi dalam al-Dur al-Mantsur, ia juga menyampaikan definisi shiyam dengan mengutip riwayat ‘Abd bin Hamid dari Sa’id bin Jabir bahwa shiyam yaitu apabila kalian tidak memakan sesuatu sebelum dihalalkann-Nya dan tidak menyentuh (jima’) seorang wanita (istri) hingga menyebabkan berhasrat selama siang hari kecuali setelah diperbolehkan-Nya. Dan Sungguh di dalam kewajiban puasa terdapat rukhsah (keringanan).

Baca juga: Puasa, Seks dan Pakaian dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183-187

Menyikapi Perbedaan Istilah Shiyam atau Shaum

Dari penjelasan para ulama di atas, dapat kita lihat bahwa makna shiyam lebih cenderung kepada aktifitas untuk tidak makan dan minum, dan segala hal yang dapat membatalkan puasa maupun menghilangkan pahalanya. Adapun shaum lebih merujuk kepada makna puasa untuk tidak berbicara atau tidak beraktifitas. Tentu membedakan keduanya secara berlebihan amatlah tidak elok.

Puasa ramadhan misalnya jika menggunkan term shaum maka kita tidak berbicara bahkan tidak beraktifitas sekalipun juga tidak benar, atau jika menggunakan kata shiyam saja hanya meninggalkan makan minum, jima’ (bersetubuh) lalu tidak menjaga perkataan ataupun perbuatanya yang dapat menghilangkan pahala puasa juga kurang etis. Maka membatasi kata shaum maupun shiyam dengan hanya satu term saja juga kurang tepat.

Ragam interpretasi dan kebuntuan pemaknaan ini sejatinya dapat diurai benang kusutnya dengan melihat kata dasar maupun konteks ayat tersebut. Shaum misalnya, lebih bersifat umum sebab apapun puasa dapat disebut shaum, misalnya shaum ‘asyura (puasa asyura), shaum rajab (puasa rajab), dan seterusnya. Sementara kata shiyam lebih spesifik mengandung dimensi esoteris (ruh atau batiniyah) di dalamnya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Wajibkah Qadha Puasa Bagi Mualaf Semasa Ia Non Muslim?

Meskipun ulama fuqaha tatkala mendefinisikan puasa ramadhan tidak terlalu mempermasalahkan kedua istilah tersebut. Namun bagi ulama tasawuf kedua istilah tersebut secara prinsipil mengandung aspek yang berbeda, meski tidak terlalu jauh. Mengarifi hal ini, ada baiknya jika puasa ramadhan kita gabungkan makna keduanya, yaitu tidak hanya sekadar meninggalkan makan, minum, jima’ dan hasrat keduniawian serta materialisme semata, namun juga menjaga lisan, tangan dan kaki kita untuk tidak menganggu orang lain, tidak menggunjing, tidak memfitnah, tidak menebar hoax dan permusuhan sehingga momentum puasa ramadhan ini benar-benar mampu menghantarkan kita menuju pribadi yang muttaqin. Aamiin. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 114

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya menjelaskan tentang ahli kitab yang menganggap bahwa hanya golongan mereka yang akan masuk surga. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 114 ini membahas tentang tindakan orang zalim.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 111-113


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 114 dipaparkan mengenai Tindakan orang zalim seperti menghalangi menyebut nama Allah dan merobohkan masjid-masjid. Allah mengancam orang yang melakukan tindakan-tindakan di atas dengan kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat.

Ayat 114

Di antara tindakan orang yang paling zalim ialah:

  1. Menghalang-halangi orang menyebut nama Allah di dalam masjid-masjid-Nya. Termasuk di dalamnya menghalang-halangi segala perbuatan yang berhubungan dengan urusan agama, seperti mempelajari dan mengamalkan agama, i’tikaf, salat, zikir dan sebagainya.
  2. Merobohkan masjid-masjid Allah (tempat ibadah). Termasuk di dalamnya perbuatan, usaha, atau tindakan yang bertujuan untuk merusak, merobohkan, serta menghalang-halangi pendirian masjid dan sebagainya.

Kedua macam perbuatan itu merupakan perbuatan zalim, karena mengakibatkan hilangnya syiar agama Allah. Para mufasir sependapat bahwa ayat di atas mengisyaratkan  tindakan yang umum  dan  tindakan yang khusus .

“Tindakan yang umum” ialah segala macam tindakan yang berhubungan dengan menghalang-halangi manusia beribadah di dalam masjid dan tindakan merobohkan masjid-masjid Allah (tempat ibadah).

“Tindakan yang khusus” ialah bahwa ayat di atas diturunkan untuk menjelaskan atau mengisyaratkan bahwa telah terjadi suatu peristiwa dalam sejarah yang sifatnya sama dengan sifat-sifat tindakan atau perbuatan yang disebut di dalam ayat. Para mufasir berbeda pendapat tentang peristiwa yang dimaksud oleh ayat ini.

Pendapat pertama: Ayat di atas mengisyaratkan tindakan orang-orang musyrik Mekah yang menghalang-halangi keinginan Rasulullah saw beserta para sahabatnya yang hendak mengerjakan ibadah umrah pada bulan Zulhijah tahun ke 6 Hijri (bulan Maret 628 M). Sikap kaum Musyrik itu akhirnya melahirkan Perjanjian Hudaibiah.

Timbulnya keinginan itu kembali karena dalam Perjanjian Hudaibiah Nabi Muhammad saw dan para sahabat dibolehkan memasuki kota Mekah pada tahun setelah perjanjian itu ditanda-tangani. Tindakan mereka inilah yang dimaksud Allah dengan menghalang-halangi manusia menyebut nama Allah di dalam Masjidilharam dan usaha merobohkan masjid.

Pendapat golongan pertama ini selanjutnya menegaskan bahwa pada lanjutan ayat terdapat perkataan:

;اُولٰۤىِٕكَ مَا كَانَ لَهُمْ اَنْ يَّدْخُلُوْهَآ اِلَّا خَاۤىِٕفِيْنَ ەۗ

…Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). …(al Baqarah/2:114)

Ayat ini menggambarkan bahwa akan tiba saatnya kaum Muslimin memasuki kota Mekah dengan aman dan tenteram dan orang musyrik Mekah akan memasuki Masjidilharam dengan penuh rasa takut. Hal ini terbukti di kemudian hari dengan terjadinya pembebasan kota Mekah oleh kaum Muslimin dan orang musyrik Mekah meninggalkan agama mereka dan masuk agama Islam.

Pendapat kedua: Ayat di atas mengisyaratkan tindakan raja Titus (70 M) dari bangsa Romawi, anak dari kaisar Vespacianus, yang menghancurkan Haikal Sulaiman dan tempat-tempat ibadah orang-orang Yahudi dan Nasrani di Yerusalem.

Tindakan orang musyrik Mekah menghalang-halangi Rasulullah saw dan kaum Muslimin memasuki kota Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah dan tindakan raja Titus menghancurkan Baitulmakdis, termasuk di dalam  tindakan yang umum .

Sedang yang dimaksud  tindakan khusus  yang sesuai dengan ayat ini ialah pendapat kedua karena adanya perkataan  merobohkan masjid  Allah di dalam ayat.

Kaum musyrik Mekah tidak pernah merobohkan Masjid Allah dalam arti yang sebenarnya; mereka hanya mengotori Baitullah dan menghalangi kaum Muslim beribadah. Sedang Titus dan tentaranya benar-benar telah merobohkan Baitullah di Yerusalem dan membunuh orang-orang yang beribadah kepada Allah.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Bagaimana Merespon Bantuan Non-Muslim dalam Proses Pembangunan Masjid?


Lanjutan ayat menerangkan sifat-sifat yang harus dilakukan oleh manusia ketika memasuki masjid Allah, dengan tunduk, patuh dan memurnikan ketaatannya hanya kepada Allah semata.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa manusia dilarang memasuki masjid Allah dengan sikap-angkuh dan ria. Dilarang memasuki masjid orang yang bermaksud menghalangi manusia beribadah di dalamnya, dan orang-orang yang bermaksud merusak atau merobohkannya.

Pada akhir ayat, Allah mengancam orang yang melakukan tindakan-tindakan di atas dengan kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat.

Kehinaan di dunia mungkin berupa malapetaka, kehancuran dan segala macam kehinaan baik yang langsung atau tidak langsung dirasakan oleh manusia. Bentuk azab di akhirat hanya Allah yang lebih mengetahuinya.

Allah melarang manusia melakukan segala macam tindakan yang berhubungan dengan menghalang-halangi manusia berdoa, salat, iktikaf, mempelajari agama, beribadah dan perbuatan-perbuatan yang lain dalam menegakkan syiar agama Allah di dalam masjid-masjid-Nya serta usaha merusak dan merobohkannya.

Perbuatan itu zalim dalam pandangan Allah, karena langsung atau tidak langsung berakibat lenyapnya agama Allah di bumi. Perbuatan itu demikian zalimnya sehingga Allah mengancam para pelakunya dengan kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat.

Yang diperintahkan Allah ialah agar manusia memakmurkan masjid-masjid Allah, mendirikan dan memeliharanya dengan baik, masuk ke dalamnya dengan rasa tunduk dan berserah diri kepada Allah.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 115-116


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surah Al Araf ayat 143-144

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al Araf ayat 143-144 menerangkan tentang Nabi Musa yang menerima wahyu dari Allah secara langsung tanpa perantara.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 139-142


Ayat 143

Ayat ini menerangkan, manakala Musa as sampai ke tempat dan waktu yang dijanjikan Allah untuk menerima wahyu, Allah telah menyampaikan wahyu-Nya secara langsung tanpa perantara, maka timbul pada diri Musa keinginan untuk memperoleh kemuliaan lain di samping kemuliaan berkata-kata langsung dengan Allah yang baru saja diterimannya. Keinginan itu ialah mendapat kemuliaan melihat Allah dengan jelas, lalu Musa berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah zat Engkau yang suci dan berilah aku kekuatan untuk dapat melihat Engkau dengan jelas, karena aku tidak sanggup melihat dan mengetahui Engkau dengan sempurna. Allah menjawab, “Hai Musa kamu tidak akan dapat melihat-Ku.” Dalam hadis Nabi saw, disebutkan:

عَنْ أَبِيْ مُوْسَى قَالَ: قَالَ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حِجَابُهُ نُوْرٌ، لَوْ كَشَفَهُ َلأَحْرَقَتْ سَبْحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهٰى بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ (رواه مسلم)

“Dari Abu Musa, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Hijab (pembatas) Allah ialah nur (cahaya). Sekiranya nur itu disingkapkan niscaya keagungan sinar wajahnya akan membakar seluruh makhluk yang sampai pandangan Tuhan kepadanya.”  (Riwayat Muslim)

Selanjutnya Allah berkata kepada Musa, “Melihatlah ke bukit, jika bukit itu tetap kokoh dan kuat seperti sediakala setelah melihat-Ku, tentulah kamu dapat pula melihat-Ku, karena kamu dan gunung itu adalah sama-sama makhluk ciptaan-Ku. Tetapi jika bukit yang kokoh dan kuat itu tidak tahan dan hancur setelah melihat-Ku bagaimana pula kamu dapat melihat-Ku. Karena seluruh makhluk yang aku ciptakan tidak mampu dan tidak sanggup untuk melihat-Ku.”

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Ketika Musa as memohon kepada Tuhannya, “Perlihatkanlah zat Engkau kepadaku” Allah menjawab: “Kamu sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku.” Kemudian Allah menegaskan lagi, “Kamu tidak akan dapat melihat-Ku untuk selama-lamanya hai Musa.” Tidak seorang pun yang sanggup melihat-Ku, lalu sesudah itu ia tetap hidup.” Akhirnya Allah berkata, “Melihatlah ke bukit yang tinggi lagi besar itu, jika bukit itu tetap di tempatnya, tidak bergoncang dan hancur, tentulah ia melihat kebesaran-Ku, mudah-mudahan kamu dapat melihatnya pula, sedangkan kamu benar-benar lemah dan rendah. Sesungguhnya gunung itu berguncang dan hancur bagaimana pun juga kuat dan dahsyatnya, sedang kamu lebih lemah dan rendah.”

Ada beberapa pendapat mufassir tentang yang dimaksud dengan ayat: “Ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung-gunung itu” sebagian mufassir mengatakan bahwa yang nampak bagai gunung itu ialah zat Allah. Bagaimana pun juga pendapat para mufassir, namun nampaknya Allah itu bukanlah seperti nampaknya makhluk. Namun penampakan Tuhan tidak sama dengan penampakan manusia sesuai dengan sifat-sifat Allah yang tidak dapat diukur dengan ukuran manusia.

Setelah Musa as, sadar dari pingsannya, dan sadar pula bahwa ia telah meminta kepada Allah sesuatu yang dapat membahayakan dirinya, ia merasa telah berbuat dosa, karena itu ia memohon dan berdoa kepada Allah, Maha Suci Engkau, “Ya Tuhanku, aku berdosa karena meminta sesuatu kepada Engkau yang di luar batas kemampuanku menerimanya, karena itu aku bertaubat kepada Engkau dan tidak akan mengulangi kesalahan seperti yang telah lalu itu, dan aku termasuk orang-orang yang pertama beriman kepada-Mu.”

Mujahid berkata, “Tubtu ilaika” (Aku bertaubat kepada Engkau), maksudnya ialah: Aku bertaubat kepada Engkau, karena aku telah memohon kepada Engkau agar dapat melihat zat Engkau, “wa ana awwalul mu’minin”, (Aku orang yang pertama beriman kepada Engkau) maksudnya aku adalah orang Bani Israil yang pertama beriman kepada Engkau. Sedang dalam suatu riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas, ialah orang yang pertama-tama beriman dan tidak seorang pun yang dapat melihat Engkau (di dunia).

Ayat 144

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa Dia telah memilih Musa di antara manusia yang ada di zaman-Nya dengan memberikan karunia yang tidak diberikannya kepada manusia lainnya, yaitu mengangkat Musa sebagai Nabi dan Rasul, memberinya kesempatan langsung berbicara dengan Allah, sekali pun dibatasi oleh suatu yang membatasinya antara Allah dan Musa.

Di dalam Al-Qur’an disebutkan cara Allah menyampaikan wahyu kepada para Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah:

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحْيًا اَوْ مِنْ وَّرَاۤئِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِاِذْنِهٖ مَا يَشَاۤءُ ۗاِنَّهٗ عَلِيٌّ حَكِيْمٌ

Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantara wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha tinggi, Mahabijaksana.  (Asy-Syura/42: 51)

Jadi menurut ayat ini ada tiga macam cara Allah menyampaikan wahyu kepada para Rasul-Nya yaitu:

  1. Dengan mewahyukan kepada Rasul yang bersangkutan, yaitu dengan menanamkan suatu pengertian ke dalam hati seseorang yang diturunkan wahyu kepadanya.
  2. Berbicara langsung dengan memakai pembatas yang membatasi antara Allah dan hamba yang diajak berbicara. Cara yang kedua inilah yang dialami oleh Musa dalam menerima wahyu, sehingga ia dikenal dengan kalimullah.
  3. Dengan perantaraan malaikat Jibril as. Al-Qur’an disampaikan melalui cara ini.;Mengenai persoalan dapatkah manusia melihat Allah dengan nyata, maka jika dipahami ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
  4. Mustahil manusia melihat Allah selama mereka hidup di dunia, sebagaimana ditegaskan Allah kepada Nabi Musa as.
  5. Orang-orang yang beriman dapat melihat Allah di akhirat nanti, sesuai dengan :
  6. Firman Allah :

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ  ٢٢  اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۚ  ٢٣

“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang  Tuhannya.” (Al-Qiyamah/75:22-23);

Dari ayat ini dipahami bahwa “melihat Tuhan” pada hari Kiamat itu termasuk nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman, karena itu mereka selalu mengharap-harapkannya.

Sabda Rasulullah saw :

أَنَّ نَاسًا قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ قَالَ: هَلْ تُضَارُّوْنَ فِيْ رُؤْيَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ؟ قَالُوْا: لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: فَإِنَّكُمْ تَرَوْنَ كَذٰلِكَ (رواه البخاري ومسلم)

Sesungguhnya manusia berkata (kepada Rasulullah saw), “Ya Rasulullah adakah kita melihat Tuhan kita pada hari Kiamat nanti?” Rasulullah menjawab, “Adakah yang menghalangi kalian melihat bulan pada bulan purnama?” Mereka berkata, “Tidak, ya Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Maka sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti melihat bulan purnama itu.“  (Riwayat al-Bukhari dan Muslim);

Semua yang wujudnya dapat dilihat. Hanyalah yang tidak ada wujudnya yang tidak dapat dilihat. Tuhan adalah wajibul wujud, karena itu Tuhan dapat dilihat jika ia menghendaki-Nya. Dalam pada itu Tuhan melihat segala yang ada, termasuk melihat diri-Nya sendiri. Kalau Tuhan dapat melihat diri-Nya tentu Dia berkuasa pula menjadikan manusia melihat diri-Nya jika Dia menghendaki.

Pada potongan ayat berikutnya Nabi Musa dan kaumnya diperintahkan untuk menerima kitab suci yang Allah turunkan, dan syariat yang harus dijalankan untuk dijadikan pegangan hidup dan diamalkan di dunia. Hanya dengan cara inilah mereka baru bisa dianggap sebagai orang yang bersyukur dan menghargai pemberian nikmat Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 145


Tafsir Surah Hud Ayat 40-42

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 40-42 berbicara mengenai cobaan yang di alami Nabi Nuh a.s dan pengikutnya ketika masa pembuatan kapal. Setelah pembuatan kapal selesai Nabi Nuh a.s menyuruh para pengikutnya naik dan berdo’a. Kapal mengarungi lautan banjir bandang.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 38-39


Ayat 40

Pada ayat ini Allah swt menerangkan, bahwa Nabi Nuh a.s. dalam melaksanakan pembuatan kapal itu dengan segala macam persiapannya sangat bersungguh-sungguh dan banyak menerima ejekan dan cemoohan dari kaumnya.

Ketika datang ketetapan Allah untuk membinasakan kaum yang kafir itu, bumi pun memancarkan air yang meluap-luap seperti meluapnya air yang mendidih dari kuali di dapur tempat memasak, sehingga menenggelamkan segala apa yang ada di permukaannya. Sementara ulama memahami bahwa banjir tersebut tidak bersifat universal melainkan lokal.

Maka Allah memerintahkan kepada Nuh a.s. agar membawa ke dalam kapal itu sepasang (jantan dan betina) dari tiap jenis binatang, agar keturunannya dapat berkembang biak sesudah air bah yang dinamakan topan itu reda. Selain itu, Allah memerintahkan Nuh a.s. membawa ke dalam kapal itu semua keluarganya yang laki-laki dan perempuan kecuali yang tidak beriman.

Begitu juga Allah memerintahkan Nuh a.s. membawa ke dalam kapal itu semua orang-orang yang beriman yang jumlahnya sedikit. Sebagian mufasir ada yang mengatakan bahwa yang dibawa oleh Nuh ke dalam kapal itu dari keluarganya ialah seorang istrinya yang beriman dan tiga putranya dari istri yang beriman itu, yaitu Syam, Ham, dan Yafis.

Adapun jumlah orang yang beriman, yang dibawa Nuh a.s. ke dalam kapal itu tidak terdapat keterangannya dalam Al-Qur’an atau pun dalam hadis. Dalam ayat ini hanya diterangkan bahwa jumlah mereka sedikit. Pada permulaan ayat ini dan permulaan ayat 42 yang akan datang dilukiskan sebagian dari kisah topan itu, dan pada ayat-ayat lain dilukiskan lebih banyak seperti dalam firman Allah:

فَفَتَحْنَآ اَبْوَابَ السَّمَاۤءِ بِمَاۤءٍ مُّنْهَمِرٍۖ    ١١  وَّفَجَّرْنَا الْاَرْضَ عُيُوْنًا فَالْتَقَى الْمَاۤءُ عَلٰٓى اَمْرٍ قَدْ قُدِرَ ۚ  ١٢  وَحَمَلْنٰهُ عَلٰى ذَاتِ اَلْوَاحٍ وَّدُسُرٍۙ    ١٣  تَجْرِيْ بِاَعْيُنِنَاۚ جَزَاۤءً لِّمَنْ كَانَ كُفِرَ   ١٤

Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan. Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas (kapal) yang terbuat dari papan dan pasak, yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan) Kami sebagai balasan bagi orang yang telah diingkari (kaumnya). (al-Qamar/54: 11-14)


Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 41-42: Ketika Manusia Terselamatkan dari Banjir Bandang


Ayat 41

Pada ayat ini diterangkan bahwa Nuh a.s. menyuruh orang yang beriman pada risalahnya supaya naik ke dalam kapal itu dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuh, sebab segala kekuasaan ada di tangan-Nya.

Dia dapat berbuat sekehendak-Nya, mengatur sunnah-Nya sesuai dengan Iradah-Nya; sedang keselamatan mereka pada saat yang sangat penting itu hanya berada di bawah kekuasaan-Nya, di dalam lindungan-Nya.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَانٌ ِلأُمَّتِيْ مِنَ الْغَرَقِ إِذَا رَكِبُوا الْفُلْكَ أَنْ يَقُوْلُوْا  بِاسْمِ اللهِ الْمَلِكِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ، بِاسْمِ اللهِ مَجْرٰـهَا وَمُرْسَاهَا إِنَّهُ لَغَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

(رواه الطبراني عن علي)

Berkata Rasulullah saw, “Umatku akan selamat (tidak tenggelam) apabila mereka menaiki kapal, supaya membaca: Bismillahi malikirrahmanirrahim, bismillahi majreha wa mursaha innahµ lagafµrurrahim.” (Riwayat At-Tabrani dari Ali)

Selanjutnya pada ayat ini diterangkan bahwa Nuh a.s. menyatakan, “Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ucapan ini selain mengandung syukur, menunjukkan bahwa ia beserta pengikut-pengikutnya yang beriman selamat dari bahaya topan berkat rahmat Allah yang sangat luas.

Ayat 42

Ayat ini menerangkan bahwa kapal itu berlayar membawa Nuh a.s. beserta para pengikutnya, yang beriman, mengarungi lautan yang amat luas dan melalui gelombang-gelombang ombak yang dahsyat, bergulung-gulung menjulang tinggi laksana gunung.

Setelah Nabi Nuh dan para pengikutnya masuk ke dalam kapal, dia melihat anaknya yang bernama Kan’an pergi ke arah gunung, menjauhkan diri. Nabi Nuh memanggil-manggil anaknya seraya mengajak turut masuk ke dalam kapal, tetapi anaknya menolak, sehingga Nabi Nuh merasa sedih dan risau.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah Nabi Nuh a.s. sebelum peristiwa itu tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya dari anaknya itu. Ada yang berpendapat bahwa Nuh a.s. memang tidak tahu, karena sebelum peristiwa itu anaknya bersikap munafik kepadanya.

Pendapat lain mengata-kan bahwa ia tahu kekafiran anaknya, tetapi setelah anaknya itu menyaksi-kan sendiri bahwa topan sudah mulai datang, maka Nuh mengharap kesadaran anaknya, sehingga ia mengajaknya supaya masuk ke dalam kapal itu, namun usahanya sia-sia karena anaknya tetap menolak.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 43-46


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Wajibkah Qadha Puasa Bagi Mualaf Semasa Ia Non Muslim?

0
qadha puasa bagi mualaf
qadha puasa bagi mualaf

Seorang muslim yang meninggalkan ibadah puasa Ramadhan haruslah menggantinya dengan puasa juga. Hal ini berlaku bagi orang yang masih mampu berpuasa. Bahkan seorang perempuan yang mengalami haid atau nifas, yang ia tidak perlu mengqadha salatnya, ia masih memiliki kewajiban mengqadha puasa. Lalu bagaimana dengan seorang yang baru masuk Islam atau mualaf? Apakah dengan keislamannya ia lantas wajib mengqadha puasa yang ia tinggalkan semasa belum masuk Islam? Bagaimana hukum qadha puasa bagi mualaf tersebut?

Hal ini mungkin menjadi pertanyaan di benak seorang mualaf atau seorang muslim yang mendapati orang disekitarnya baru masuk Islam. Berikut penjelasan ulama terkait jawaban pertanyaan tersebut.

Baca Juga: Pelaksanaan Puasa Bagi Musafir, Orang Yang Sakit, Orang Tua, dan Ibu Hamil

Puasa yang Ditinggalkan Semasa Non Muslim

Para ulama’ Mazhab Syafi’iyah di dalam kitab-kitab fikih Mazhab Syafi’i menentukan hukum puasa orang yang baru masuk Islam merujuk pada firman Allah yang berbunyi:

قُلْ لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ يَّنْتَهُوْا يُغْفَرْ لَهُمْ مَّا قَدْ سَلَفَۚ وَاِنْ يَّعُوْدُوْا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّتُ الْاَوَّلِيْنَ

Katakanlah (Nabi Muhammad) kepada orang-orang yang kufur itu, “Jika mereka berhenti (dari kekufurannya dan masuk Islam), niscaya akan diampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu. Jika mereka kembali lagi (memerangi Nabi), sungguh berlaku (kepada mereka) sunah (aturan Allah untuk menjatuhkan sanksi atas) orang-orang terdahulu.” (QS. Al-Anfal [8] :38)

Imam Ibn Katsir tatkala menafsiri ayat di atas menyatakan, di dalam ayat tersebut Allah meminta Nabi Muhammad berkata kepada orang-orang kafir, bahwa apabila mereka menghentikan apa yang mereka lakukan maka mereka akan memperoleh ampunan atas yang mereka lakukan. Maksud dari apa yang mereka lakukan adalah prilaku mengkufuri, memusuhi dan mengingkari. Sedang yang memperoleh ampunan adalah prilaku kufur mereka, dosa-dosa dan kesalahan mereka (Tafsir Ibn Katsir/1/461).

Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzab menjelaskan bahwa orang yang baru masuk Islam, terkait permasalahan ibadah wajib yang ditinggalkannya, terdiri dari dua macam. Pertama, orang yang sebelumnya belum pernah masuk Islam kemudian masuk Islam; kedua, orang sudah pernah masuk Islam kemudian murtad dan masuk Islam kembali.

Dalam permasalahan puasa, orang yang belum pernah masuk Islam dan kemudian masuk Islam, maka puasa yang ia tinggalkan semasa sebelum masuk Islam tidak wajib ia ganti atau qadhai. Dasar yang dipakai dalam permasalahan ini salah satunya adalah Surat Al-Anfal ayat 38. Dasar selainnya adalah, beberapa hadis yang menunjukkan bahwa keislaman seseorang menjadi pembeda antara masa sebelum keislamannya dan setelah keislamannya. Selain itu, membebankan qadha puasa padanya dapat membuat ia menjauh dari Islam (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/6/252).

Sedang orang yang sudah pernah masuk Islam lalu murtad, maka apabila ia kembali masuk Islam, menurut Mazhab Syafiiyah ia diwajibkan mengqadhai puasa yang ia tinggalkan semasa murtad. Pendapat ini berbeda dengan yang disampaikan Mazhab Malikiyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah. Ketiga mazhab tersebut menyamakan orang murtad dengan yang tidak murtad. Sehingga mereka menjadikan Surat Al-Anfal ayat 38 untuk dasar penetapan hukum puasa bagi keduanya (Mausu’ah Fiqhiyah/3/3875).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Syarat, Rukun Puasa Ramadan, dan Alasan Niat di Malam Hari

Hikmah Gugurnya Kewajiban Qadha Puasa Bagi Mualaf

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya mengutip pernyataan Ibn ‘Arabi, bahwa hukum gugurnya kewajiban qadha ibadah bagi orang yang baru masuk Islam, merupakan bentuk kelembutan sikap Allah kepada makhluknya. Sebab andai non muslim yang bergelimang dosa serta hukuman akibat prilaku mereka, harus menanggung dosa serta hukuman tatkala mereka masuk Islam, maka tentu mereka akan menjauh dari taubat dan mereka tidak akan memperoleh ampunan (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/7/402).

Lewat Surat Al-Anfal ayat 38, Allah menyatakan bahwa taubat mereka diterima saat berhenti melakukan hal buruk dan mereka memperoleh ampunan hanya dengan masuk Islam. Allah menghapus dosa serta hukuman prilaku mereka semasa sebelum masuk Islam, agar lebih mendekatkan mereka terhadap Islam dan mendorong mereka menerima ajaran Islam.

Wallahu a’lam bishshowab.

Tafsir Surah Al A’raf ayat 139-142

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 139-142 merupakan ayat penawar bagi Rasulullah dan umat Islam yang sedang menghadapi ejekan dan penganiayaan dari kaum musyrik. Selain itu Tafsir Surah Al A’raf ayat 139-142 ini juga menegaskan bahwa Allah menurunkan kitab Taurat kepada Nabi Musa dan Allah akan membinasakan orang-orang yang menyembah selain kepada-Nya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 138


Ayat 139

Ayat ini menegaskan bahwa orang-orang yang taat dan tekun menyembah sembahan selain Allah akan dihancurkan dan dibinasakan Allah, dan berhala-berhala yang mereka sembah itu tidak sanggup memberi manfaat dan tidak pula memberi mudarat kepada siapapun. Perbuatan mereka menyembah berhala itu tidak diberi pahala sedikit pun bahkan mereka diberi siksaan yang besar. Ayat ini merupakan obat penawar bagi Nabi Muhammad dan kaum Muslimin yang sedang menghadapi ejekan dan penganiayaan dari kaum musyrik Mekah, karena ayat ini mengisyaratkan kemenangan Nabi Muhammad dan kaum Muslimin dalam waktu dekat dan lenyapnya kepercayaan syirik di jazirah Arab.

Ayat 140

Permintaan Bani Israil agar dibuatkan sembahan selain Allah, dijawab oleh Musa as: “Apakah aku akan membuatkan tuhan selain Allah yang akan kamu sembah, padahal Allah Pencipta alam semesta yang telah menjadikan kamu semua sebagai umat yang utama di masamu dan menjadikan Islam sebagai agama bagimu, yaitu agama tauhid, agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim agama para Nabi dan Rasul yang telah diutus Allah. Kenapa kamu masih mencari agama yang lain?” Ayat ini menyatakan bahwa permintaan Bani Israil adalah permintaan yang aneh dan mengherankan, karena mereka telah diberi sesuatu yang baik, yaitu agama tauhid, kemudian mereka hendak menukarnya dengan yang jelek, yaitu agama syirik.

Ayat 141

Pada ayat ini Allah mengingatkan kepada Bani Israil yang ingin dibuatkan tuhan selain Allah itu, bahwa mereka telah diberi nikmat yang berlimpah berupa diutusnya Nabi Musa kepada mereka, untuk melepaskan mereka dari belenggu penindasan dan perbudakan Fir’aun yang telah membunuh setiap anak lelaki mereka yang lahir, dan membiarkan hidup anak perempuan mereka dengan maksud agar Bani Israil tetap dalam keadaan lemah dan tetap dalam perbudakan untuk ditindas selama-lamanya. Hendaknya segala macam cobaan dan pengalaman-pengalaman yang pahit itu dapat dijadikan pelajaran dengan mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa dan berusaha setiap waktu agar pengalaman-pengalaman itu tidak terulang lagi.

Ayat 142

Ayat ini menerangkan peristiwa turunnya Kitab Taurat kepada Nabi Musa. Allah telah menetapkan janji-Nya kepada Nabi Musa bahwa Dia akan menurunkan wahyu kepadanya yang berisikan pokok-pokok agama dan pokok-pokok hukum yang menjadi pedoman bagi Bani Israil dalam usaha mereka mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Waktu penurunan wahyu yang dijanjikan itu selama tiga puluh malam di gunung Sinai, kemudian ditambah sepuluh malam lagi sehingga menjadi empat puluh malam.

Mengenai turunnya Kitab Taurat kepada Nabi Musa diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas, waktu menafsirkan ayat ini, bahwa Musa berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya Tuhanku (Allah) menjanjikan kepadaku tiga puluh malam. Aku akan menemui-Nya dan aku jadikan Harun untuk mengurusimu.” Maka setelah Musa sampai ke tempat yang dijanjikan, yaitu pada bulan ¨ulkaidah dan sepuluh malam bulan Dzulhijjah, lalu Musa menetap dan menunggu di atas bukit Sinai selama empat puluh malam, dan Allah menurunkan kepadanya Taurat dalam bentuk kepingan-kepingan bertulis, Allah mendekatkan Musa kepada-Nya untuk diajak bicara. Sesudah itu berbicaralah Allah, dan Musa pun mendengar bunyi getaran pena.

Dari kedua riwayat ini dapat diambil kesimpulan, bahwa Musa a.s pergi ke bukit Sinai sendirian, tak ada yang menemani, dalam arti kata ia memisahkan diri dari kaumnya Bani Israil. Sepeninggal Musa a.s. Bani Israil terpengaruh oleh ajakan Samiri, sehingga mereka ikut menyembah patung anak sapi.

Sebelum Musa a.s. berangkat ke tempat yang telah ditentukan Allah untuk menerima Taurat, ia menyerahkan pimpinan kaumnya kepada saudaranya Harun a.s, dan menyatakan Harun sebagai wakilnya, mengurus kepentingan-kepentingan Bani Israil selama ia pergi, Musa memperingatkan agar Harun jangan mengikuti kemauan dan pendapat orang yang sesat dan suka berbuat kerusakan.

Harun adalah saudara tua Musa a.s. dan diangkat oleh Allah sebagai Rasul dan Nabi. Pada ayat yang lain disebutkan bahwa Musa sebelum menghadapi Fir‘aun berdoa kepada Allah agar Harun diangkat sebagai wazirnya, karena lidahnya lebih petah (fasih) dibanding dengan lidah Musa.

Allah berfirman:

وَاجْعَلْ لِّيْ وَزِيْرًا مِّنْ اَهْلِيْ ۙ  ٢٩  هٰرُوْنَ اَخِى ۙ  ٣٠  اشْدُدْ بِهٖٓ اَزْرِيْ ۙ  ٣١  وَاَشْرِكْهُ فِيْٓ اَمْرِيْ ۙ  ٣٢

Dan jadikankanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah kekuatanku dengan (adanya) dia, dan jadikanlah dia teman dalam urusanku.  (Taha/20: 29-30-31-32)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al A’raf ayat 143


Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 111-113

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Sebelumnya menjelaskan orang Yahudi tidak berpegang pada perintah Allah dengan alasan ingin mencari hukum yang lain. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 111-113 ini masih berbicara tentang ahli kitab yang menganggap bahwa hanya golongan mereka yang akan masuk surga.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 107-110


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 111-113 Allah menolak anggapan ahli kitab dengan memberikan pernyataan bahwa siapapun yang beriman kepada Allah dan membuktikan imannya itu dengan amal yang ikhlas, maka dia akan memperoleh surga.

Ayat 111

Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, masing-masing menganggap bahwa tidak akan masuk surga kecuali golongan mereka sendiri. Orang-orang Yahudi beranggapan bahwa yang akan masuk surga hanyalah orang-orang Yahudi, demikian juga orang-orang Nasrani beranggapan bahwa yang akan masuk surga hanyalah orang-orang Nasrani.

Untuk menolak dan membatalkan anggapan mereka itu Allah memberikan penegasan bahwa anggapan mereka itu hanyalah angan-angan yang timbul dari khayalan mereka.

Angan-angan mereka, meskipun disebutkan secara global, namun maknanya mencakup arti yang luas, yaitu angan-angan mereka agar terhindar dari siksa serta anggapan bahwa yang bukan golongan mereka akan terjerumus ke dalam siksa, dan tidak memperoleh nikmat sedikit pun.

Itulah sebabnya maka dalam ayat itu angan-angan mereka dinyatakan dalam bentuk jamak. Dalam ayat ini terdapat isyarat bahwa suatu pendapat yang tidak didasarkan pada bukti-bukti yang benar tidak boleh diterima.

Ayat 112

Anggapan masing-masing golongan dari Ahli Kitab tidak benar, karena masuk surga tidak hanya dimonopoli oleh suatu bangsa atau suatu golongan, tetapi akan didapat oleh siapa saja yang berusaha mendapatkannya dengan ketentuan harus beriman dan beramal saleh.

Sebagai ketegasan, Allah memberikan pernyataan bahwa barang siapa beriman kepada Allah dan membuktikan imannya itu dengan amal yang ikhlas, maka dia akan memperoleh pahala. Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baik seorang hamba.

Ayat ini juga menunjukkan bahwa iman yang tidak direalisasikan dalam amal saleh, tidak menjamin tercapainya kebahagiaan seseorang. Dalam Alquran banyak didapati kata-kata iman senantiasa diiringi dengan amal saleh:

وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا

Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun. (an Nisa′/4:124)

فَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَا كُفْرَانَ لِسَعْيِهٖۚ

Barang siapa mengerjakan kebajikan, dan dia beriman, maka usahanya tidak akan diingkari (disia-siakan), …( al Anbiya′/21:94)

Apabila mereka telah berserah diri kepada Allah dan beramal saleh, maka mereka tidak perlu khawatir dan bersedih. Di antara tabiat orang-orang mukmin ialah apabila mereka ditimpa sesuatu yang tidak menyenangkan, mereka akan menyelidiki sebab-sebab terjadinya dan berusaha keras untuk mengatasinya.

Kalau masih juga belum teratasi, mereka menyerahkan persoalan itu kepada kekuasaan Allah: niat mereka sedikit pun tidak melemah dan hati mereka pun menyadari bahwa untuk mengatasi semua kesulitan itu dia menyerahkan diri kepada kekuatan yang hakiki, yaitu Allah.


Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 26-27: Pesan Damai Selalu Menyelimuti Hati Orang-orang yang Tulus


Ayat 113

Orang Yahudi beranggapan bahwa orang-orang Nasrani tidak mempunyai pegangan sedikit pun. Orang Yahudi mengingkari Almasih, padahal mereka telah membaca Kitab Taurat yang di dalamnya terdapat berita tentang kedatangan Nabi Isa. Orang Yahudi memberikan sebutan pada Almasih dengan sebutan yang tidak sepantasnya.

Orang Nasrani beranggapan pula bahwa orang Yahudi tidak mempunyai pegangan agama yang benar, karena orang Yahudi telah mengingkari kenabian Almasih, yang bertindak sebagai penyempurna agama mereka. Padahal mereka telah membaca Kitab, yang semestinya tidak akan terjadi tuduh-menuduh itu.

Kalau demikian, mereka mengatakan sesuatu yang tidak tercantum dalam Kitab mereka, karena Taurat memuat berita gembira tentang kedatangan Almasih yang menyempurnakan peraturan-peraturan agama yang dibawa oleh Musa a.s. bukan untuk membatalkan. Tetapi mengapa sampai terjadi orang Nasrani membatalkan sama sekali agama orang Yahudi?

Secara singkat dapat dikatakan bahwa agama mereka sebenarnya satu. Hanya saja karena ada bagian-bagian yang dibuang dari isi Kitab itu, terjadilah tuduh-menuduh itu. Dengan demikian Kitab yang mereka baca itu menjadi bukti kedustaan mereka.

Kata-kata yang mereka ucapkan bukanlah persoalan baru, bahkan bangsa sebelum mereka mengatakan sesuatu tanpa didasari bukti-bukti yang kuat. Seperti penganut wasaniah, paganisme (penyembah berhala) juga mengatakan pada agama lain, bahwa agama yang dianut orang itu tidak mempunyai pegangan apa-apa. Kalau manusia dapat mengetahui yang sebenarnya, tentulah tidak akan terjadi pertentangan yang bersifat prinsip.

Kemudian Allah memberikan penegasan bahwa Allah adalah Yang Maha Mengetahui segala kebenaran dan kebatilan yang mereka perselisihkan. Allah pula yang membenarkan mana yang benar dan menempatkan orang-orang yang mencintai kebenaran itu dalam surga, juga yang membatalkan mana yang batil, serta mengekalkan para pencinta dan pendukung kebatilan itu dalam neraka.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 114


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Hud Ayat 38-39

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 38-39 masih berbicara mengenai persiapan akan datagnya bencana besar. Nabi Nuh a.s membuta kapal untuk melindungi para pengikutnya dari bencana tersebut. di lain pihak kaumnya mengejek apa yang dilakukan Nabi Nuh a.s.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 36-37


Ayat 38

Pada ayat ini diterangkan bahwa Nuh a.s. membuat kapal penyelamat itu sesuai dengan perintah dan petunjuk-petunjuk yang diwahyukan oleh Allah kepadanya.

Banyak riwayat atau pendapat yang dinukil oleh para mufasir tentang hal-hal yang bertalian dengan kapal itu, seperti terbuat dari kayu apa, dibuat dimana, bentuknya bagaimana, panjang dan lebarnya berapa, dan perincian-perincian lainnya yang sebagian telah diterangkan, sewaktu menerangkan ayat 37 sebelum ini.

Pendapat yang terbaik dalam soal ini dari segi kepercayaan ialah seperti yang diterangkan oleh Syihabuddin Mahmud Al-Alµsi dalam tafsirnya, Rµhul Ma’aniy, sebagai berikut:

“Orang yang cermat dalam hal ini, tidak akan condong kepada perincian yang berlebih-lebihan, hanya percaya bahwa Nuh a.s. telah membuat kapal itu sebagaimana yang dikisahkan Allah dalam kitab-Nya, dan tidak mencari tahu tentang panjang lebar dan tingginya, dibuat dari kayu apa, berapa lama dibuatnya, dan lain-lain sebagainya yang tidak diterangkan oleh kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya yang sahih.”

Selanjutnya pada ayat ini diterangkan bahwa setiap kali kaum Nuh lewat dan melihatnya sedang membuat kapal, mereka mengejeknya dengan bermacam-macam pertanyaan yang bernada cemooh. Ejekan dan cemoohan itu timbul karena mereka semua belum mengenal kapal dan cara memakainya termasuk Nabi Nuh a.s. sendiri.

Sikap Nuh a.s. dalam membalas ejekan dan cemoohan kaumnya dinyatakan dalam jawabannya, “Kalau kamu mengejek kami membuat kapal ini karena kami mematuhi perintah Allah dalam rangka usaha untuk menyelamatkan kami dan umat kami, maka kami pun akan mengejek kamu.”

Sebagian mufasir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ejekan balasan dari Nuh a.s. itu, ialah azab dunia yang akan menimpa kaumnya sehingga ia tidak akan memperdulikan mereka lagi. Jadi Nuh sendiri tidak membalas ejekan, karena dianggap kurang wajar bagi seorang nabi. Sebagian lainnya berpendapat bahwa tidak ada salahnya jika ejekan balasan itu benar-benar datang dari Nuh a.s. sesuai dengan firman Allah:

فَمَنِ اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدٰى عَلَيْكُمْ

Barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu. (al-Baqarah/2: 194);Dan firman Allah:

وَاِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوْا بِمِثْلِ مَا عُوْقِبْتُمْ بِهٖۗ

Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. (an-Nahl/16: 126); Dan firman Allah:

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal. (asy-Syµra/42: 40);Al-Alµsi berpendapat bahwa kedua ejekan itu (ejekan kaum Nuh dan ejekan Nabi Nuh a.s. sebagai balasan) memang terjadi.


Baca juga: Energi Terbarukan dan Ayat-ayat tentangnya dalam Al-Quran


Ayat 39

Pada ayat ini diterangkan lanjutan perkataan Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya yang mengejek dengan mengatakan apabila mereka belum tahu apa gunanya kapal yang sedang dibuatnya itu, maka pasti mereka akan mengetahuinya kelak setelah kapal itu selesai dibuat, dan mereka ditenggelamkan.

Sebenarnya perkataan Nabi Nuh a.s. itu bukanlah sekadar jawaban atas ejekan mereka, akan tetapi sebagai ancaman akan datangnya azab kepada mereka. Sebab apabila mereka sadar, niscaya mereka akan dapat merasakan bahwa perkataan Nabi Nuh a.s. tidak lagi sebagai kata-kata biasa yang selalu mereka anggap sekadar menakut-nakuti yang tidak akan ada kenyataannya.

Tetapi kali ini sudah dalam tahap persiapan untuk menyelamatkan orang-orang yang beriman dari bahaya azab yang akan memusnahkan orang-orang yang sangat durhaka kepada Allah dan rasul-Nya itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 40-42


(Tafsir Kemenag)

Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Tabi’in (2)

0
kajian tafsir di kawasan Yaman
kajian tafsir di kawasan Yaman

Secara umum, Mahmud al-Nuqrasyi dalam karyanya Manahij al-Mufassirin min al-’Ashr al-Awwal ila al-’Ashr al-Hadits menjelaskan bahwa kajian tafsir pada masa tabi’in ini masih berpegang erat pada riwayat-riwayat hadis Nabi dan atsar para sahabat. Para tabi’in umumnya hanya menjelaskan dan menafsirkan apa-apa yang belum ditafsirkan oleh para sahabat, ataupun hal-hal yang perlu ada penjelasan lebih dalam dari hasil kajian para sahabat Nabi sebelumnya.

Dari segi kawasan, kajian tafsir masa tabi’in berkembang dan berpusat di tiga kawasan, yaitu madrasah Makkah pimpinan Abdullah ibn Abbas, madrasah Madinah dipimpin oleh Ubay ibn Ka’ab, dan madrasah Kufah yang dikembangkan oleh Abdullah ibn Mas’ud. Banyak para tabi’in dari berbagai kawasan jazirah Arab, khususnya dari Yaman, yang belajar di tiga madrasah tersebut. Sekembalinya ke Yaman, para tabi’in tersebut kemudian mengembangkan kajian tafsir di kawasan Yaman dengan mengajarkanya kepada murid-muridnya.

Baca Juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Nabi dan Sahabat (1)

Dalam kitab al-Tafsir fi al-Yaman: ‘Ardlun wa Dirasah karya Ali ibn Hassan, dijelaskan bahwa terdapat beberapa nama tabi’in yang menjadi pionir dalam perkembagan kajian tafsir di kawasan Yaman. Nama-nama tersebut antara lain adalah:

Thawus ibn Kaisan al-Hamdani

Nama asli dari Thawus adalah Dzakwan ibn Kaisan al-Hamdani. Sedangkan nama Thawus merupakan nama laqab-nya, dan ia lebih dikenal dengan laqab tersebut. Tidak diketahui secara pasti mengenai tanggal kelahiran Thawus. Namun, menurut Ibrahim Thaha dalam tesisnya yang berjudul Fiqh Thawus ibn Kaisan Dirasah wa Ta’shil, dijelaskan bahwa ia diperkirakan lahir pada tahun 26 H atau setelahnya. Dalam pendapat lain, al-Dzahabi menyampaikan bahwa ia dilahirkan pada masa kekhilafahan Utsman ibn Affan. Selain itu, ada juga qaul yang mengatakan jika ia dilahirkan pada tahun 33 H.

Thawus telah melakukan talaqqi kepada banyak sahabat Nabi, terutama para sahabat yang dikenal sebagai mu’allim al-qur’an. Kurang lebih terdapat 50 nama sahabat yang telah ia dengar ilmu-ilmu dan kalam-kalamnya. Bahkan, dalam pendapat lain disebutkan bahwa ia berguru kepada 70 sahabat Nabi, diantaranya adalah Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, Zaid ibn Tsabit, Abdullah ibn Umar, Abdullah ibn Abbas, Aisyah, Jabir ibn Abdillah, Zaid ibn Arqam, dan masih banyak lainya.

Dari banyaknya guru tersebut, salah satu guru yang paling mempengaruhi perjalanan intelektualitas Thawus adalah seorang pakar Al-Qur’an pada masa awal Islam yaitu Abdullah ibn Abbas atau yang lebih sering dikenal sebagai turjuman al-qur’an. Selain sibuk menimbah ilmu, ketika mencapai kematangan intelektual, Thawus juga mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang ia peroleh dari para gurunya.

Beberapa nama dari murid-murid Thawus yaitu Abdullah ibn Thawus, Umar ibn Dinar al-Shan’ani, Umar ibn Muslim al-Janadi, Nu’man ibn Abi Syaibah Abid al-Shan’ani, Ibrahim ibn Abi Bakr al-Akhnas, dan Usamah ibn Zaid al-Laitsi. Thawus wafat pada tahun 106 H sebelum hari tarwiyah di Makkah, pada saat itu usianya telah mencapai 90 tahun.

Baca Juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Madinah

Wahab ibn Munabbih al-Yamani

Tabi’in yang memiliki kunyah (nama panggilan) Abu Abdillah ini dilahirkan pada masa kekhilafahan Utsman ibn Affan, tepatnya pada tahun 34 H. Wahab ibn Munabbih masih sempat bertemu dan belajar kepada para pembesar sahabat Nabi, semisal Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Umar, Abu Musa al-Asy’ari, Anas ibn Malik, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Nu’man ibn Basyir.

Wahab ibn Munabbih ini termasuk tabi’in yang banyak meriwayatkan cerita-cerita isra’iliyat yang juga menjadi rujukan para mufasir dalam menjelaskan kisah isra’iliyat dalam karya-karya tafsir mereka. Hal ini dikarenakan intensitas literasinya terhadap kitab-kitab samawi terdahulu yang sangat banyak, sebagaimana ucapanya sendiri dalam kutipan berikut:

لَقَدْ قَرَأْتُ اِثْنَيْنِ وَتِسْعِيْنَ كِتَابًا كُلُّهَا نَزَلَتْ فِيْ السَّمَاءِ، اِثْنَانِ وَسَبْعُوْنَ مِنْهَا فِيْ الْكَنَائِسِ، وَعِشْرُوْنَ فِيْ أَيْدِ النَّاسِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا الْقَلِيْلُ

“Sungguh aku telah membaca sebanyak 92 kitab yang setiap kitab tersebut turun dari langit (kutub samawiyah). Sebanyak 72 kitab berasal dari gereja, dan 20 kitab sisanya berada di tangan beberapa orang yang tidak ada yang tahu akan keberadaan kitab tersebut kecuali segelintir orang saja”

Selama hidupnya, Wahab ibn Munabbih menulis beberapa karangan kitab, seperti al-Tijan fi Muluk Himyar, al-Isra’iliyat, dan kitab Qashash al-Anbiya’ yang masih dalam bentuk manuskrip dengan kode no. 1249 B yang mana tersimpan di Perpustakaan Iskandariyah. Dalam segi kajian tafsir, Wahab ibn Munabbih berkontribusi dalam memberikan riwayat-riwayat tentang isra’iliyat. Wahab ibn Munabbih wafat pada tahun 110 H. Jasadnya dikebumikan di pemakaman bagian selatan dari kota San’a.

Baca Juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Kufah

Ka’ab al-Ahbar al-Himyari

Tabi’in yang memiliki nama lengkap Ka’ab ibn Mati’ ibn Dzi Hajn al-Himyari ini merupakan seorang yang dahulunya menjadi pembesar ulama Yahudi di Yaman. Hingga akhirnya kemudian masuk Islam pada masa kekhilafahan Abu Bakar al-Shiddiq. Kemudian, pada masa kekhilafahan Umar ibn al-Khattab, ia menetap di Madinah dan menimbah ilmu kepada para sahabat Nabi seperti Umar ibn al-Khattab, Aisyah, Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Abbas.

Keseriusanya dalam mencari ilmu kepada para sahabat Nabi tersebut menyebabkan ia dijuluki sebagai Ka’ab al-Ahbar. Tidak diketahui secara pasti apakah selama hidupnya Ka’ab al-Ahbar juga memiliki karangan kitab sebagaimana Wahab ibn Munabbih. Namun, yang pasti Ka’ab al-Ahbar ini juga ikut berkontribusi terhadap kajian isra’iliyat dalam penafsiran Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan ia memiliki beberapa pengetahuan tentang kitab-kitab samawi sebelumnya, ketika masih beragama Yahudi.

Selain tiga nama tabi’in yang telah disebutkan tersebut, masih banyak tabi’in lain yang juga berkontribusi dalam perkembangan kajian tafsir di kawasan Yaman. Misalnya, ada Hujr ibn Qais al-Hamdani, Abu Khalifah al-Qari’, Umar ibn Maimun al-Audi, Abu Muslim al-Khaulani, Abu al-Asy’ats al-Shan’ani, Hansy ibn Abdillah, dan al-Mughirah ibn Hakim al-Shan’ani.

Pada periode kedua ini, Ali ibn Hassan menilai bahwa kajian tafsir di kawasan Yaman tidak semeriah kajian tafsir di kawasan Islam lainya, semisal kawasan Hijaz, Syam, dan Irak. Hal ini terjadi akibat dari beberapa sebab, yaitu: pertama, banyak dari para tabi’in asal Yaman yang keluar ke kawasan-kawasan Islam lainya guna belajar dan kemudian menetap disana untuk mengembangkan keilmuanya di tempat tersebut.

Kedua, karena para tabi’in Yaman banyak disibukkan dengan perang, jihad, dan futuhat di beberapa kawasan jazirah Arab. Hal ini dibuktikan dengan adanya surat perintah yang ditulis oleh Abu Bakar al-Shiddiq kepada masyarakat Yaman agar ikut berperang melawan pasukan Romawi di Syam.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pada masa periode kedua ini, kajian tafsir di kawasan Yaman sudah mulai berkembang, namun tidak sepesat perkembangan di tiga kawasan madrasah tafsir yang masyhur tersebut. Walaupun demikian, kawasan Yaman turut serta dalam mengembangkan kajian tafsir masa tabi’in dengan munculnya riwayat-riwayat isra’iliyat dari para tabi’in Yaman yang digunakan sebagai salah satu sumber penafsiran Al-Qur’an masa tabi’in, bahkan hingga saat ini. Wallahu A’lam