Beranda blog Halaman 350

Tafsir Surah Hud Ayat 36-37

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 36-37 berbicara mengenai persiapan akan datangnya bencana besar. Bencana ini akibat ulah kaumnya Nabi Nuh sendiri yang meminta agar azab segera didatangkan. Lalu Nabi Nuh berdo’a dan membuat kapal bagi para pengikutnya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 32-35


Ayat 36

Pada ayat ini, Allah mengisahkan bahwa Ia telah mewahyukan kepada Nabi Nuh untuk menjelaskan hal-hal berikut:

  1. Setelah kaum Nuh meminta supaya Nuh a.s. segera mendatangkan azab Allah sebagai bukti atas kebenaran dakwahnya dan Nabi Nuh a.s. pun telah mendoakan mereka supaya dimusnahkan Allah, maka tidak ada lagi yang beriman di antara mereka kecuali hanya sedikit saja yaitu hanya orang-orang yang sudah menyatakan beriman kepadanya sebelum itu.
  2. Sekalipun sudah ratusan tahun lamanya Nabi Nuh a.s. hidup bersama kaumnya menyampaikan dakwah kepada mereka, namun mereka masih tetap membangkang. Hal itu tidaklah membuatnya berduka cita dan bersedih karena memikirkan sikap dan tingkah laku mereka yang tetap tidak beriman itu, sebab azab pembalasan Allah kepada mereka di dunia ini sudah dekat saatnya, dan mereka tidak akan dapat mengelak dan mencegahnya.

Baca juga:Tafsir Surah Yasin Ayat 43-44: Kuasa Allah Swt dan Bahtera Nabi Nuh As


Ayat 37

Menurut riwayat Ibnu Abbas, panjang kapal itu seribu dua ratus hasta. Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah memerintahkan kepada Nuh a.s. supaya membuat kapal yang akan dipergunakan untuk menyelamatkan Nabi Nuh dan pengikutnya yang beriman dari topan (air bah) yang akan melanda dan menenggelamkan permukaan bumi sebagai azab di dunia ini kepada orang-orang kafir dari kaumnya yang selalu membangkang dan durhaka.

Nabi Nuh diperintahkan membuat kapal penyelamat itu dengan petunjuk-petunjuk dan pengawasan dari Allah.

Selanjutnya pada ayat ini Allah memperingatkan Nuh a.s. agar tidak lagi berbicara dengan kaumnya yang zalim (kafir) dan tidak lagi memohon supaya dosa mereka diampuni atau dihindarkan dari azab-Nya, karena sudah menjadi ketetapan Allah bahwa mereka akan ditenggelamkan.

Larangan serupa ini telah diberikan pula kepada Nabi Ibrahim a.s. sewaktu dia memohonkan kepada Allah agar azab-Nya tidak ditimpakan kepada kaum Lut, sebagaimana disebut dalam firman-Nya:

يٰٓاِبْرٰهِيْمُ اَعْرِضْ عَنْ هٰذَا ۚاِنَّهٗ قَدْ جَاۤءَ اَمْرُ رَبِّكَۚ وَاِنَّهُمْ اٰتِيْهِمْ عَذَابٌ غَيْرُ مَرْدُوْدٍ  ٧٦

Wahai Ibrahim! Tinggalkanlah (perbincangan) ini, sungguh, ketetapan Tuhanmu telah datang, dan mereka itu akan ditimpa azab yang tidak dapat ditolak. (Hµd/11: 76)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 38-39


(Tafsir Kemenag)

Puasa, Seks dan Pakaian dalam Surah Al-Baqarah Ayat 183-187

0
Al-Baqarah ayat 183-187
Al-Baqarah ayat 183-187

Jika kita merujuk pada Al-Qur’an mushafi, kita akan menemukan pembahasan puasa bersambung dengan pembahasan pakaian yang keduanya dipertemukan oleh pembahasan seks. Tiga pembahasan tersebut terangkai dalam Surah Al-Baqarah ayat 183-187.

Tentu tulisan singkat ini tidak akan cukup memaparkan analisis secara mendetail mengenai kandungan Al-Baqarah ayat 183-187. Karena itu, saya hanya akan mengambil yang saya nilai sebagai intisari setiap ayat tersebut dalam kerangka menarik benang merah hubungan puasa, seks dan pakaian.

Tujuan tulisan ini ada pada dua sisi: (1) sisi kesatuan Al-Qur’an itu sendiri dalam pembahasannya, dan (2) sisi manusiawi yang diperintahkannya berpuasa. Adapun redaksi QS. Al-Baqarah [2]: Ayat 183-187 adalah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عَاكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

Rangkaian Pemahaman Ringkas QS. Al-Baqarah [2] Ayat 183-187

Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183, diisyaratkan bahwa berpuasa sebenarnya tidak hanya menjadi kewajiban umat yang beriman kepada Allah SWT pengikut Nabi Muhammad SAW, tetapi juga pengikut nabi-nabi sebelumnya. Ini sebagaimana merujuk kepada terjemahan ayat “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu”.

Dalam berbagai kitab tafsir, seperti kitab Tafsir Jalalain, memahami perintah berpuasa sebagai upaya mengontrol dan menjaga diri dari maksiat. Dalam hal ini, berpuasa dapat membendung syahwat, yang merupakan pangkal sumber kemaksiatan. Pendapat ini disepakati sekaligus diperkuat oleh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya. Ibn Katsir bahkan mengutip hadis berikut:

يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu memberi nafkah, maka kawinlah; dan barang siapa yang tidak mampu (memberi nafkah), hendaklah ia berpuasa, kaena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya.

Tetapi, adakalanya berpuasa itu memberatkan manusia. Ini tersirat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 184. Karena itu, seseorang boleh tidak berpuasa jika memiliki alasan yang kuat, seperti perjalanan, sakit, perempuan hamil, dan seterusnya, yang semuanya memberatkan manusia untuk berpuasa. Dengan catatan, ia mengganti puasa tersebut di bulan lainnya atau membayar fidyah. Meski demikian, berpuasa lebih baik karena besarnya manfaat berpuasa bagi manusia, terlebih lagi dilakukan pada bulan mulia, bulan Ramadhan.

Kemuliaan bulan Ramadhan dijelaskan pada QS. Al-Baqarah [2]: 185. Di sana, ayat tersebut dapat dipahami bahwa di antara kemuliaan (terbesar) dari bulan Ramadhan adalah diturunkannya Al-Qur’an, yang merupakan pedoman hidup umat Islam dan umat manusia sekaligus. Berkaitan dengan Al-Qur’an, umat Islam bahkan mengadakan perayaan turunnya Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, yang dikenal Nuzulul Qur’an.

Selain itu, Ramadhan juga menjadi salah satu waktu yang mustajab diterimanya do’a bagi orang-orang yang berdoa’a, terutama menjelang waktu berbuka puasa, sebagaimana tersirat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 186. Pandangan seperti ini dijelaskan oleh Labib dalam bukunya Risalah Do’a-Do’a Mustajabah (2012), yang juga banyak diyakini oleh umat Islam. Tidak heran jika banyak kegiatan do’a bersama di kalangan umat Islam ketika menjelang berbuka puasa.

Setelah berbuka puasa, manusia dapat melakukan hal-hal yang terlarang dilakukan selama berpuasa, termasuk melakukan hubungan seks suami-istri, dan seterusnya, sebagaimana merujuk pada pemahaman QS. Al-Baqarah [2]: 187. Ayat ini secara khusus menghalalkan hubungan suami-istri karena dinilai keduanya adalah pakaian (libas) dari satu sama lain.

Paparan di atas mengemukakan pemahaman yang berupaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat lainnya secara urutan mushaf. Terlihat bahwa dari QS. Al-Baqarah [2]: 183 hingga 187 dapat dirangkai dengan satu kesatuan pemahaman. Kesatuan pemahaman tersebut dapat dilihat dari isu tentang puasa, seks, pakaian, yang ketiganya dapat berlangsung pada bulan Ramadhan.

Membaca Kaitan Puasa, Seks dan Pakaian

Rangkaian pemahaman Surah Al-Baqarah ayat 183-187 di atas memperlihatkan isu tentang puasa, seks dan pakaian. Hal ini terlihat dari salah satu alasan diperintahkannya berpuasa adalah untuk mengendalikan hawa nafsu (syahwat), sebagaimana dikatakan dalam Tafsir Jalalain dan Tafsir Ibnu Katsir pada QS. Al-Baqara [2]: 183.

Pada ayat-ayat selanjutnya, khususnya ayat 184-186, mengandung pemahaman bahwa bulan Ramadhan menjadi waktu diwajibkannya berpuasa bagi umat Islam selama satu bulan penuh. Selama sebulan tersebut, diberikan aturan tentang mereka yang terpaksa tidak berpuasa, dan tentang mustajabnya berdo’a di dalamnya.

Lebih jauh, QS. Al-Baqarah [2]: 184-186 di atas dapat ditempatkan sebagai seputar puasa pada siang hari hingga menjelang berbuka puasa. Dalam artian, pada siang hari seseorang diwajibkan berpuasa (bagi mereka yang sanggup), yang karenanya akan memperoleh berbagai manfaat karena berpuasa, dan karena kemuliaan bulan Ramadhan.

Penjelasan seputar puasa pada malam hari dapat dirujuk ke QS. Al-Baqarah [2]: 187 yang menghalalkan segala yang dilarang pada siang hari. Upaya menahan keinginan berhubungan suami-istri (seks) dihalalkan setelah berbuka puasa. Halalnya perbuatan tersebut bagi mereka yang sudah berstatus suami-istri, yang dalam ayat ini disebut sebagai pakaian satu sama lain. Karena ia disebut pakaian, maka suami-istri bersifat menjaga dan menghiasi satu sama lain.

Sampai di sini, paparan di atas menunjukkan bahwa posisi puasa, seks, dan pakaian yang berdekatan bahkan terangkai dalam Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah) memperlihatkan satu tarik nafas pemahaman yang jelas. Sehingga, ini dapat menjadi argumentasi tentang kesatuan Al-Qur’an, yang dapat dijelaskan secara nalar (bukan hanya berbasis teologis) tentang kegunaan puasa, terutama dalam konteks suami-istri. [] Wallahu A’lam.

Mengulik Makna Shaum, Istilah Puasa Ramadan dalam Al-Quran

0
Istilah Puasa Ramadan dalam Al-Quran
Istilah Puasa Ramadan dalam Al-Quran

Di balik segudang keutamaannya, puasa Ramadan juga menyimpan istilah yang menarik untuk diperbincangkan. Istilah itu adalah shiyam dan shaum. Kedua istilah ini sangat populer dan disitir beberapa kali dalam Al-Quran. Karenanya, artikel ini fokus untuk menguak makna literal dan istilah keduanya serta implikasinya dalam ibadah puasa Ramadan. Pada kesempatan ini yang hendak dibahas terlebih dahulu adalah makna shaum.

Pengertian Shaum

Secara literal, shaum berasal dari kata صام يصوم صوم artinya imsak (menahan, mengekang). Secara istilah, kata shaum para ulama berbeda pandangan. Sebelum menapaki ikhtilaf ulama, patut kita telisik sejauh mana penyebutan kata shaum dalam Al-Quran. Muhammad Fuad Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Quran al-Karim menuturkan bahwa kata shaum disebutkan satu kali dalam Al-Quran, yaitu Q.S. Maryam [19]: 26. Hal ini juga diamini oleh beberapa ulama mufassir, seperti al-Qurtuby, al-Razi, al-Baidhawi, al-Zamakhsyari, dan Izzuddin Abdussalam. Berikut ayatnya,

اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّا

“Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini”” (Q.S. Maryam [19]: 26)

Secara istilah, para mufasir era klasik sepakat bahwa definisi puasa pada umumnya. Al-Qurtuby misalnya, yang dimaksud shaum ialah إمساك عن الكلام (menahan bicara). Definisi ini kemudian diperjelas lagi olehnya dengan سكوتاً عن الكلام (diam). Maka, puasa menurut al-Qurtuby adalah berhentinya angin (nafas) karena terkekangnya hembusan angin (rukud al-riihu wahuwa imsakuha ‘an al-hububi). Maksudnya, berhentinya lisan manusia untuk tidak berkalam yang dilarangnya, seperti menggunjing, menyebar konten hoaks, dan seterusnya.

Baca juga: Memaknai Istilah-istilah Manusia dalam Al-Qur’an Perspektif Bintu Syathi

Tidak jauh berbeda, sebut saja al-Razi dalam Tafsir al-Kabir-nya, ia memaknai shaum (puasa) dengan,

الإِمْسَاكُ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ عَنِ الْمُفْطِرَاتِ حَالِ الْعِلْمِ بِكَوْنِهِ صَائِمًاً مَعَ اقْتِرَانِ النِّيَّةِ

“Menahan dari segala hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenammya matahari dengan didasari ilmu serta niat”

Hampir senada dengan al-Razi, al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, menyampaikan definisi shaum (puasa) sebagai berikut,

وَالصَّوْمُ فِي اللُغَةِ: اْلإِمْسَاكُ عَمَّا تَنَازَعَ إِلَيْهِ النَّفْسِ، وَفِي الشَّرْعِ: الْإِمْسَاكُ عَنِ الْمُفْطِرَاتِ بَيَاضِ النَّهَارِ، فَإنَّهَا مُعَظَّمٌ مَا تَشْتَهِيْهِ النَّفْسِ

“Puasa secara bahasa ialah menahan terjadinya perpecahan jiwa. Sementara secara istilah (syara’) adalah menahan dari segala perkara yang membatalkan puasa selama siang hari, karena itu merupakan sesuatu yang sangat agung, yang didamba-dambakan oleh jiwa manusia”

Baca juga: Analisis Semantik Makna Kata Huda dan Derivasinya dalam Al-Quran

Pengertian shaum berikutnya datang dari sastrawan Arab era klasik, Raghib al-Asfahani. Dalam karya monumentalnya, Mu’jam Mufradat Alfadz Al-Quran, ia memaknai puasa secara bahasa dengan menahan diri dari aktifitas memakan, perkataan, maupun langkah kedua kakinya (al-imsaku ‘an al-fi’li math’aman kana au kalaman au masyan). Ia juga menambahkan, menahan diri dari perkataan (al-imsaku ‘an a-kalam). Sedangkan secara istilah, puasa adalah

إمْسَاكُ الْمُكَلًّفُ بِالنِّيَّةِ مِنَ الْخَيْطِ الْأَبْيَضِ إلَى الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ عَنْ تَنَاوُلِ الْأَطْيِبِيْنَ وَالْإسْتِمْنَاءِ وَالْإسْتِقَاءِ

“Perbuatan seorang mukallaf yang menahan dirinya untuk tidak berhubungan intim maupun mengeluarkan sperma dengan dibarengi niat mulai dari benang putih (terbitnya fajar) hingga benang hitam (terbenamnya matahari)”

Dari paparan pendapat ulama di atas, sebenarnya kata shaum di atas bermakna netral. Tidak sekadar menahan diri untuk tidak berbicara alias diam, maupun tidak makan dan minum. Lebih dari itu, jika dikontekstualisasikan makna shaum saat ini adalah umat Islam hendaknya menahan diri dari segala pembicaraan maupun perbuatan yang unfaedah, misalnya menggunjing, memfitnah, menebar konten hoax, mengujar kebencian (hate speech) dan sejenisnya.

Baca juga: Kitab Maqashid al-Shaum: Inilah Tujuh Keutamaan Puasa Ramadhan

Bahkan dalam sabda-sabdanya, Rasululla saw tak jarang menggunakan kedua istilah (shaum dan shiyam) secara beriringan guna merujuk makna puasa Ramadan sebagaimana yang kita kenal saat ini. Berikut sabda Nabi saw,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ. رواه بخارى ومسلم

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِه. رواه بخارى

“Setiap amal perbuatan manusia untuk dirinya sendiri kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.”

Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 138

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surat Al A’raf ayat 138 ini mengulas tentang pertolongan Allah terhadap Bani Israil yang melarikan diri dari Fir’aun.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surat Al A’raf ayat 136-137


Ayat 138

Tafsir Surat Al A’raf Ayat ini menerangkan bahwa dengan inayah (pertolongan) dan kekuasaan Allah, Bani Israil telah diselamatkan sampai ke seberang Laut Qulzum (laut merah) sehingga mereka terlepas dari penindasan Fir’aun dan kaumnya. Dari ayat ini dipahami, bahwa Musa dan Bani Israil dengan mudah mengarungi laut merah karena pertolongan Allah, bukan karena hal-hal yang lain seperti karena air laut waktu sedang surut dan sebagainya. Peristiwa ini merupakan mukjizat bagi Nabi Musa.

Pada ayat yang lain diterangkan bahwa setelah penindasan Fir’aun dan kaumnya kepada Bani Israil mencapai puncaknya, maka Allah memerintahkan Musa pergi pada suatu malam meninggalkan Mesir dengan membawa Bani Israil untuk melepaskan diri dari penindasan Fir’aun. Maka Musa pun melaksanakan semua perintah Tuhan. Setelah mendengar kepergian Musa dan kaumnya, Fir’aun pun marah, dan dalam waktu yang singkat bala tentaranya dikumpulkan dan langsung mengejar Musa dan Bani Israil malam itu juga. Pada pagi harinya, di kala matahari mulai memancarkan sinarnya, Fir’aun pun dapat menyusul dari belakang, kedua belah pihak telah saling melihat, sedang Musa dan Bani Israil waktu itu sudah berada di pinggir laut. Mereka dihadapkan pada situasi yang sulit jika terus lari terhalang oleh laut, akan kembali, pedang musuh telah terhunus menanti.

Pada saat itulah Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya dengan memerintahkan Musa agar memukulkan tongkatnya ke laut. Musa pun memukulkannya, air laut pun terbelah, dan di antara belahan air itu terdapat jalan membentang sampai ke seberang. Maka Musa dan Bani Israil segera melaluinya, dan dari belakang Fir’aun dan bala tentaranya terus mengikuti mereka. Akhirnya Musa dan Bani Israil selamat sampai di seberang, sedangkan Fir’aun dan bala tentaranya yang mencoba meniti jalan yang dilalui Musa dan kaumnya disergap air laut yang tiba-tiba kembali bersatu, jalan yang membentangpun lenyap, sehingga Fir’aun dan kaumnya mati tenggelam ke dasar laut.

Peristiwa tenggelamnya Fir’aun dan tentaranya ini, diterangkan pula oleh ayat-ayat yang lain. Allah berfirman:

وَلَقَدْ اَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنْ اَسْرِ بِعِبَادِيْ فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيْقًا فِى الْبَحْرِ يَبَسًاۙ  لَّا تَخٰفُ دَرَكًا وَّلَا تَخْشٰى   ٧٧  فَاَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُوْدِهٖ فَغَشِيَهُمْ مِّنَ الْيَمِّ مَا غَشِيَهُمْ ۗ  ٧٨

“Dan sungguh, telah Kami wahyukan kepada Musa, “Pergilah bersama hamba-hamba-Ku (Bani Israil) pada malam hari, dan pukullah  (buatlah) untuk mereka jalan yang kering di laut itu, (engkau) tidak perlu takut akan tersusul dan tidak perlu khawatir (akan tenggelam).”  Kemudian  Fir’aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, tetapi mereka digulung ombak  laut yang menenggelamkan mereka.” (Taha/20: 77-78)

Kisah tenggelamnya Fir’aun dan bala tentaranya di laut Qulzum disebutkan pula dalam Perjanjian Lama, Kitab Keluaran XIV: 15-31.

Setelah Musa dan Bani Israil selamat sampai ke seberang laut Qulzum, yaitu daerah sekitar tanah Arab yang terletak di ujung benua Asia di bagian Barat Daya, mereka pun meneruskan perjalanannya. Maka sampailah mereka ke suatu negeri yang penduduknya taat menyembah berhala. Melihat keadaan yang demikian, ingatan mereka kembali kepada adat kebiasaan dan kepercayaan nenek-moyang mereka, yang biasa mereka kerjakan bersama-sama dengan Fir’aun, seperti menyembah sembahan selain Allah, baik yang berupa binatang, patung, batu, dan sebagainya. Karena itu dengan spontan mereka meminta kepada Nabi Musa, “Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah berhala, sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan ……..”.

Dari permintaan Bani Israil kepada Musa a.s, ini dipahami bahwa sekalipun Musa a.s, telah menyampaikan risalahnya dengan sebaik mungkin kepada Bani Israil, namun Bani Israil belum memahami dan menghayati betul agama tauhid yang disampaikan Musa. Adat istiadat dan kepercayaan nenek-moyang mereka, seperti menyembah berhala, masih sangat besar pengaruhnya pada diri mereka, sehingga kepercayaan tauhid yang baru ditanamkan Musa dengan mudah dapat digoyahkan.

Telah diketahui bahwa orang-orang Bani Israil di zaman Fir’aun termasuk golongan yang rendah dan kurang pengetahuannya. Hampir tidak ada cerdik-cendekiawan berasal dari mereka, semua cendekiawan berasal dari penduduk Mesir asli, turunan bangsawan. Kebanyakan Bani Israil pada waktu itu hidup sebagai rakyat biasa, pekerja-pekerja kasar, bahkan banyak hidup sebagai budak yang dipaksa membangun piramida dan kuburan raja-raja.

Karena keadaan mereka yang demikian, timbul sifat apatis di antara mereka, tidak ada cita-cita untuk membebaskan diri dari perbudakan Fir’aun, tidak ada keinginan yang kuat untuk merdeka. Tidak ada sikap yang tegas dan cita-cita yang kuat itu pada diri mereka, hal ini terlihat pada reaksi, tindak-tanduk dan sikap mereka dalam menerima ajakan Musa, sedikit saja halangan dan kesulitan yang mereka hadapi, dengan spontan mereka menyatakan rasa putus asa kepada Musa, bahkan menyatakan lebih suka hidup diperbudak dan penindasan Fir’aun.

Sikap Bani Israil terhadap ajakan Musa a.s, untuk hidup sebagai bangsa yang merdeka tidak berbeda dengan sikap mereka terhadap ajakan Musa a.s, untuk mengikuti agama yang benar. Sekalipun Nabi Musa telah menerangkan dengan baik dan jelas agama tersebut, sehingga mereka memahami dan mengikutinya, namun begitu mereka melihat patung-patung, orang yang menyembah berhala, orang yang memuja dewa-dewa dan segala macam bentuk kemusyrikan, ingatan mereka kembali kepada kepercayaan mereka terdahulu, karena itu mereka dengan spontan meminta kepada Musa, agar dibuatkan berhala untuk sembahan mereka. Mereka lebih merasa mantap menyembah sesuatu yang dapat dilihat dan diraba, dihiasi dan sebagainya daripada menyembah sesuatu yang gaib, tidak nampak oleh mata dan tidak dapat diraba dengan tangan.

Berbeda dengan pesihir yang beriman kepada Musa, setelah kepandaian ilmu sihirnya dikalahkan oleh mukjizat Musa. Mereka termasuk orang-orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan cerdik-cendekiawan pada waktu itu. Karena itu mereka bisa membedakan sesuatu yang salah dengan yang benar dengan pengetahuan mereka itu, sehingga dapat mengetahui mana tanda-tanda kekuasaan Allah dan mana yang bukan, mana yang dapat dicapai oleh panca indera dan mana yang tak dapat dicapai, dan sebagainya.

Karena itu setelah mereka beriman kepada Allah dan Nabi Musa, mereka pun beriman dengan sepenuh hati, tidak dapat digoyahkan oleh keadaan apa pun dan oleh ancaman apa pun, termasuk ancaman Fir‘aun kepada mereka. Iman mereka telah mempunyai landasan yang kokoh, sehingga merupakan keyakinan yang kuat sebagai hasil dari pengetahuan, perasaan, pengalaman, dan apa yang ada pada mereka.

Bani Israil seperti yang diterangkan di atas adalah orang-orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Tuhan, tidak mengetahui keharusan menyembah hanya kepada Allah semata dengan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun tidak mengetahui akan keharusan beribadah langsung ditujukan kepada Allah tanpa mengambil perantara dengan sesuatu pun, seperti patung-patung, bangunan-bangunan, kuburan-kuburan, atau benda-benda yang lain yang mereka jadikan sebagai perantara dalam menyembah Allah. Mereka harus percaya bahwa hanya Allah Yang Maha Esa.

Jenis iman seperti iman Bani Israil yang disebabkan kebodohan dan pengaruh kepercayaan nenek-moyang itu, terdapat juga pada manusia umumnya, dan kaum Muslimin khususnya, serta dijumpai pula pada tiap-tiap periode dalam sejarah, sejak masa Nabi Muhammad sampai kepada zaman mutakhir ini, sebagaimana yang diisyaratkan hadis Nabi saw:

عَنْ أَبِيْ وَاقِدٍ اَللَّيْثِيْ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ حُنَيْنٍ فَمَرَرْنَا بِسِدْرَةٍ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ اجْعَلْ لَنَا هٰذِهِ ذَاتَ أَنْوَاطٍ كَمَا لِلْكُفَّارِ ذَاتُ أَنْوَاطٍ. فَقَالَ:  الله ُأَكْبَرُ  هٰذَا كَمَا قَالَتْ بَنُوْا إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى  اِجْعَلْ لَنَا إِلٰهًا كَمَا لَهُمْ أَِلٰهَةٌ  إِنَّكُمْ تَرْكَبُوْنَ سُنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيْ

Ahmad dan An-Nasa’i meriwayatkan dari Abi Waqid Al-Laisy, ia berkata:

“Kami keluar dari Medinah bersama Rasulullah saw menuju perang Hunain, maka kami melalui sebatang pohon sidrah, aku berkata: “Ya Rasulullah jadikanlah bagi kami pohon “§atu anwa¯” (pohon yang bisa menjadi gantungan) sebagaimana orang kafir mempunyai “§atu anwa¯”. Rasulullah menjawab: “(Allah Maha Besar). Permintaanmu ini adalah seperti permintaan Bani Israil kepada Musa: (Jadikanlah bagi kami sebuah sembahan, sebagaimana mereka mempunyai sembahan), sesungguhnya kamu mengikuti kepercayaan orang sebelum kamu.” (Riwayat Ahmad dan an-Nasa’i)

Kenyataan adanya kepercayaan itu diisyaratkan hadis di atas pada masa dahulu dan masa sekarang hendaknya merupakan peringatan bagi kaum Muslimin agar berusaha sekuat tenaga untuk memberi pengertian dan penerangan, sehingga seluruh kaum Muslimin mempunyai akidah dan kepercayaan sesuai dengan yang diajarkan agama Islam. Masih banyak di antara kaum Muslimin yang masih memuja kuburan, mempercayai adanya kekuatan gaib pada batu-batu, pohon-pohon, gua-gua, dan sebagainya. Karena itu mereka memuja dan menyembahnya dengan ketundukan dan kekhusyukan, yang kadang-kadang melebihi ketundukan dan kekhusyukan kepada Allah.

Banyak juga di antara kaum Muslimin yang menggunakan perantara washilah dalam beribadah, seakan-akan mereka tidak percaya bahwa Allah Maha dekat kepada hamba-Nya dan bahwa ibadah yang ditujukan kepada-Nya itu akan sampai tanpa perantara. Kepercayaan seperti ini tidak berbeda dengan kepercayaan syirik yang dianut oleh orang-orang Arab Jahiliyah dahulu, kemungkinan yang berbeda hanyalah namanya saja. Kepercayaan seperti ini bertentangan dengan ayat:

وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ

“… dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qaf/50:16); Dan pengakuan Ibrahim as yang tersebut dalam firman-Nya:

اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ

“Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musrik.” (al-An’am/6: 79); Bahkan Allah menegaskan dalam firman-Nya lagi:

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdo’a kepada-Ku.  Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.” (al-Baqarah/2: 186)

Orang yang menyembah suatu sembahan di samping Allah adalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri, seperti firman Allah:

وَمَنْ يَّرْغَبُ عَنْ مِّلَّةِ اِبْرٰهٖمَ اِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهٗ ۗ

Dan orang yang membenci agama Ibrahim, hanyalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri… (al-Baqarah/2: 130)

Permintaan Bani Israil itu dijawab oleh Nabi Musa: “Sesungguhnya kamu hai Bani Israil tidak mengetahui sifat-sifat Allah, apa yang wajib bagi-Nya dan apa yang mustahil bagi-Nya. Dia adalah Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. ”

Agama yang dibawa para rasul Allah sejak zaman dahulu sampai sekarang, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, sebagai nabi dan rasul penutup adalah agama yang mengakui keesaan Allah dengan sebenar-benarnya, tidak ada di dalamnya unsur syirik sedikit pun juga. Hal ini adalah karena ibadah atau menyembah itu merupakan suatu perasaan yang timbul dari hati sanubari. Perasaan itu menimbulkan ketundukan hati dan jiwa kepada Yang Maha Agung, menumbuhkan keyakinan bahwa dia sajalah yang berhak disembah; sedangkan yang lain adalah makhluk ciptaan-Nya yang sama kedudukannya dengan ciptaan-Nya yang lain. Karena itu menyembah sembahan selain Allah akan merusak ketauhidan yang timbul dari perasaan yang ada dalam diri seorang, dan menunjukkan ketergantungan seseorang kepada sembahan, di samping tergantung kepada Allah. Karena itu Nabi Musa menolak dengan tegas permintaan kaumnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surat Al A’raf Ayat 139


Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 107-110

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembahasan sebelumnya orang Yahudi menyalahi isi kitab Taurat, hanya menuruti hawa nafsu dan kemauan mereka, sehingga mereka jatuh dalam kesesatan. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 107-110 ini menjelasakan orang Yahudi tidak berpegang pada perintah Allah dengan alasan ingin mencari hukum yang lain.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 103-106


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 107-110 Allah memberi peringatan kepada orang-orang Islam agar waspada terhadap tipu muslihat yang dilakukan Ahli Kitab. Allah menyuruh kaum Muslimin agar terus-menerus menempuh jalan yang sebaik-baiknya, melakukan salat dan mengeluarkan zakat.

Ayat 107

Allah swt menjelaskan bahwa Dia mempunyai kerajaan langit dan bumi. Dengan kata lain, bahwa langit dan bumi serta seluruh isinya tunduk di bawah kekuasaan-Nya, di bawah perintah dan larangan-Nya.

Oleh sebab itu, Allah berkuasa pula untuk menasakh hukum dan menetapkan hukum yang lain menurut kehendak-Nya, apabila menurut pertimbangan-Nya ada manfaat bagi seluruh manusia, karena hukum yang lama sudah dipandang tidak sesuai lagi.

Maka Allah memberikan penegasan kepada orang-orang Islam bahwa Allah-lah yang memberikan pertolongan dan bantuan kepada mereka. Oleh sebab itu, orang-orang mukmin dilarang mempedulikan orang-orang Yahudi yang mengingkari perubahan hukum itu, bahkan menghina.

Sikap orang-orang Yahudi yang demikian itu sedikit pun tidak akan memberikan mudarat kepada orang mukmin.

Ayat 108

Allah mencela sikap orang Yahudi yang menghina orang-orang Islam, karena adanya penasakhan hukum karena perintah Allah.

Dalam hal ini Allah menyindir mereka, apakah mereka ingin mengulang perbuatan nenek moyang mereka, yaitu mengemukakan persoalan kepada Rasul, sebagaimana nenek moyang mereka menanyakan sesuatu kepada Nabi Musa ataukah mereka itu ingin meminta kepada Nabi Muhammad saw, agar ia mendatangkan hukum yang lain dari hukum yang telah ditetapkan, seperti halnya nenek moyang mereka itu mengajukan yang tidak semestinya kepada Nabi Musa. Firman Allah swt:

يَسْـَٔلُكَ اَهْلُ الْكِتٰبِ اَنْ تُنَزِّلَ عَلَيْهِمْ كِتٰبًا مِّنَ السَّمَاۤءِ فَقَدْ سَاَلُوْا مُوْسٰٓى اَكْبَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَقَالُوْٓا اَرِنَا اللّٰهَ جَهْرَةً

(Orang-orang) Ahli Kitab meminta kepadamu (Muhammad) agar engkau menurunkan sebuah kitab dari langit kepada mereka. Sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata, ”Perlihatkanlah Allah kepada kami secara nyata.” … (an-Nisa′/4:153)

Kemudian Allah mengingatkan orang Yahudi bahwa orang yang tidak berpegang pada perintah Allah dengan alasan ingin mencari hukum yang lain, yang menurut pertimbangannya lebih baik, berarti dia telah mengganti imannya dengan kekafiran, lebih mencintai kesesatan daripada hidayah, serta dia telah jauh dari kebenaran. Barang siapa melampaui hukum-hukum Allah, berarti dia telah jatuh ke dalam lembah kesesatan.

Dalam ayat ini terdapat petunjuk bagi orang-orang Islam, yaitu agar mereka mengerjakan apa yang diperintahkan Rasul saw dan menjauhi segala larangannya. Juga terdapat larangan meminta sesuatu di luar ketentuan hukum yang sudah ada.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Ke Manakah Kita Mengarahkan Pandangan Mata saat Salat?


Ayat 109

Allah swt menjelaskan bahwa sebagian besar Ahli Al-Kitab selalu berangan-angan agar dapat membelokkan kaum Muslimin dari agama Tauhid menjadi kafir seperti mereka, setelah mereka mengetahui dengan nyata bahwa apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw itu benar dan sesuai dengan prinsip yang terkandung dalam Kitab Taurat.

Ayat ini mengandung peringatan kepada orang-orang Islam agar mereka waspada terhadap tipu muslihat yang dilakukan Ahli Kitab itu. Adakalanya dengan jalan mengeruhkan ajaran Islam, dan adakalanya dengan jalan menumbuhkan keragu-raguan di kalangan umat Islam sendiri.

Mereka melakukan tipu muslihat karena kedengkian semata, tidak timbul dari pandangan yang bersih. Kedengkian mereka bukanlah karena keragu-raguan terhadap kandungan isi Alquran atau bukan karena didorong oleh kebenaran yang terdapat dalam Kitab Taurat, tetapi karena dorongan hawa nafsu, kemerosotan mental dan kedongkolan hati mereka. Itulah sebabnya mereka terjerumus dalam lembah kesesatan dan kebatilan.

Sesudah itu Allah memberikan tuntunan pada umat Islam bagaimana caranya menghadapi tindak-tanduk mereka. Allah menyuruh umat Islam menghadapi mereka dengan sopan santun serta suka memaafkan segala kesalahan mereka, juga melarang agar jangan mencela mereka hingga tiba saatnya Allah memberikan perintah.

Karena Allah-lah yang akan memberikan bantuan kepada umat Islam, hingga umat Islam dapat menentukan sikap dalam menghadapi tantangan mereka, apakah mereka itu harus diperangi atau diusir.

Peristiwa ini telah terjadi, umat Islam memerangi Bani Quraizah dan Bani Nadir dari Medinah setelah mereka merobek-robek perjanjian. Mereka memberi bantuan kepada orang-orang musyrikin, setelah mereka diberi maaf berulang kali.

Kemudian Allah memberikan ketegasan atau janji bahwa Dia akan memberikan bantuan kepada kaum Muslimin, dengan menyatakan bahwa Dia berkuasa untuk memberikan kekuatan lain.

Dia berkuasa pula untuk memberikan ketetapan hati agar umat Islam tetap berpegang pada kebenaran. Sehingga mereka dapat mengalahkan orang-orang yang memusuhi umat Islam secara terang-terangan serta menyombongkan kekuatan.

Ayat 110

Allah menyuruh kaum Muslimin agar terus-menerus menempuh jalan yang sebaik-baiknya, melakukan salat dan mengeluarkan zakat. Perintah ini dikaitkan dengan janji Allah berupa pertolongan mendapat kemenangan. Karena dalam salat terdapat hikmah yang banyak, seperti memperkuat jalinan iman, mempertinggi cita-cita serta mempertinggi daya tahan mental.

Karena di dalam salat itu terdapat doa kepada Allah yang diucapkan seorang hamba sebagai pernyataan kehendak yang serius, serta memperkuat jalinan hati di antara orang-orang mukmin, dengan jalan melakukan salat berjamaah dan pergaulan mereka di dalam masjid.

Dengan jalan inilah iman itu dapat berkembang dan kukuh, dapat juga memelihara kebersihan jiwa, dapat mencegah diri untuk melakukan perbuatan yang keji, serta dapat mempertinggi daya juang untuk melaksanakan kebenaran. Apabila kaum Muslimin menempuh cara-cara yang demikian, niscaya mereka akan mendapat pertolongan dari Allah.

Hikmah yang terdapat dalam mengeluarkan zakat ialah mempererat hubungan antara Muslimin yang kaya dengan yang miskin, sehingga dengan kuatnya hubungan itu akan tercipta kesatuan dan persatuan umat yang kukuh dan bulat.

Sesudah itu Allah menegaskan bahwa salat dan zakat itu sebagai jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh kemenangan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Hal ini dapat diketahui dari pernyataan Allah bahwa kebaikan apa pun yang dilakukan oleh kaum Muslimin, niscaya akan mendapat balasan dari sisi Allah pada hari pembalasan dengan seadil-adilnya.

Allah menyuruh orang-orang Islam agar berbuat baik karena Allah benar-benar Maha Mengetahui segala amalan, baik amal yang banyak maupun amal yang sedikit. Tak ada amal yang disia-siakan baik amal yang saleh maupun amal yang jelek, semua akan mendapat balasan yang setimpal.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 111-113


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surat Al Araf ayat 136-137

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surat Al Araf ayat 136-137 masih seputar kisah Fir’aun. Dalam Tafsir Surah Al Araf ayat 136-137 khususnya dalam ayat 136 menceritakan saat-saat kebinasaan bagi Fir’aun dan pengikutnya. Sedangkan dalam ayat 137 menceritakan akan nikmat Allah terhadap Bani Israil setelah ditindas oleh Fir’aun.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surat Al A’raf ayat 131-135


Ayat 136

Pada ayat ini Allah menceritakan tentang datangnya saat kebinasaan bagi Fir’aun dan kaumnya, setelah berbagai azab yang ditimpakan kepada mereka sebelumnya ternyata tidak mengubah sikap dan perbuatan mereka, lantaran kekufuran dan kezaliman mereka.

Fir’aun dan kaumnya telah mengingkari janji untuk membiarkan Bani Israil meninggalkan negeri Mesir bersama Nabi Musa. Oleh sebab itu, ketika Nabi Musa membawa kaumnya meninggalkan negeri itu menuju Palestina melalui Laut Merah, Fir’aun dan kaumnya mengejar mereka. Musa dan kaumnya selamat menyeberangi Laut Merah, tetapi Fir’aun dan kaumnya tenggelam ketika berada di tengah-tengah laut itu, maka mereka binasa.

Pada akhir ayat ini Allah menjelaskan bahwa hukuman tersebut dijatuhkan lantaran mereka senantiasa mendustakan ayat-ayat-Nya, dan tidak mau menyadari akibat yang menimpa mereka lantaran kekufuran dan kezaliman mereka, baik malapetaka di dunia ini, maupun azab sengsara di akhirat kelak. Sebagian dari kaum Fir’aun telah binasa bersamanya, karena mengikuti kesesatan dan kekufurannya. Sedang sebagiannya lagi binasa karena kekejaman dan kezaliman Fir’aun terhadap mereka.

Ayat 137

Dalam ayat ini dijelaskan nikmat Allah yang terbesar kepada Bani Israil setelah ditindas dan diperbudak oleh Fir’aun dan kaumnya. Nikmat tersebut adalah mewarisi kawasan barat dan timur yang subur dan diberkahi Allah. Dengan demikian janji Allah terhadap Bani Israil  telah terlaksana dengan sempurna, kenikmatan ini merupakan imbalan dari kesabaran mereka mengikuti ajaran Nabi Musa dan agama Allah yang benar. Sebaliknya Allah memberi ganjaran yang setimpal kepada Fir’aun dan kaumnya berupa kebinasaan mereka  dan semua apa yang pernah dibangun oleh Fir’aun, sebagai lambang kesombongannya.

Diantara penderitaan yang pernah dialami Bani Israil adalah dengan membunuh setiap anak lelaki mereka yang lahir, dan membiarkan hidup anak-anak perempuannya. Mereka diwajibkan mengabdi kepada kepentingan Fir’aun dan kaumnya yang menindas dan memperbudak mereka, dengan memungut pajak-pajak yang sangat tinggi, menjadikan mereka sebagai pekerja-pekerja paksa dan berat, dan berbagai bentuk penindasan dan perbudakan yang lain.

Oleh karena itu, Allah mengutus Nabi Musa untuk membebaskan mereka dari perbudakan Fir’aun, dan mengeluarkannya dari negeri Mesir. Pada ayat ini diterangkan bahwa setelah pembebasan itu Allah menganugerahkan kepada Bani Israil negeri bagian timur dan bagian baratnya yang telah diberi berkah oleh Allah. Ayat ini adalah sebagai pelaksanaan dari janji Allah dalam firman-Nya:

وَنُرِيْدُ اَنْ نَّمُنَّ عَلَى الَّذِيْنَ اسْتُضْعِفُوْا فِى الْاَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ اَىِٕمَّةً وَّنَجْعَلَهُمُ الْوٰرِثِيْنَ ۙ  ٥  وَنُمَكِّنَ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَنُرِيَ فِرْعَوْنَ وَهَامٰنَ وَجُنُوْدَهُمَا مِنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَحْذَرُوْنَ   ٦

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan Kami perlihatkan kepada Fir‘aun dan Haman beserta bala tentaranya apa yang selalu mereka takutkan dari mereka. (al-Qashash/28: 5-6)

Adapun yang dimaksud dengan negeri-negeri bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi dalam firman Tuhan tersebut, ialah negeri Syam (Syria, Libanon, Palestina dan Yordania) bagian timur, dan Mesir bagian barat, serta negeri-negeri sekitar keduanya yang pernah dikuasai Fir‘aun dahulu. Negeri-negeri tersebut adalah negeri yang amat besar dan subur, banyak diberi berkah dan kebaikan, firman Allah:

وَنَجَّيْنٰهُ وَلُوْطًا اِلَى الْاَرْضِ الَّتِيْ بٰرَكْناَ فِيْهَا لِلْعٰلَمِيْنَ

“Dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Lut ke sebuah negeri yang telah Kami berkahi untuk seluruh alam.”  (al-Anbiya/21: 71)

Dan firman Allah:

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ

“Mahasuci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) kami.” (al-Isra/17: 1);Dengan selamatnya Bani Israil dan tenggelamnya Fir‘aun dan tentaranya, maka terpenuhilah janji Allah, untuk memberikan pertolongan dan nikmat kepada orang-orang yang menegakkan agama-Nya, menegakkan kebenaran, dan menghancurkan orang-orang yang meruntuhkan agama-Nya dan menghilangkan kebatilan. Dengan demikian sempurnalah janji Allah, yaitu berkuasanya Bani Israil di bagian timur yang subur dan penuh berkah itu. Ini adalah pemberian nikmat yang besar kepada Bani Israil.

Nikmat yang dilimpahkan itu, sesuai dengan keputusan dan ketetapan Allah, karena ketabahan dan kesabaran Bani Israil dalam menghadapi kekejaman dan penindasan Fir‘aun dan kaumnya. Allah telah menghancurkan semua yang dibangun Fir‘aun yang tujuannya untuk menyombongkan diri dan menghancurkan agama Allah, seperti kota-kota dan istana-istana yang indah, bangunan-bangunan yang besar untuk orang Mesir, taman-taman dan kebun-kebun yang permai, menara yang dibuat Haman untuk melihat Tuhan dan sebagainya.

Allah menghancurkan semua yang dibangun oleh Fir’aun dan kaumnya itu adalah, untuk:

  1. Memperkuat kenabian Musa a.s, dan membuktikan kebenaran yang pernah disampaikan Musa kepada Fir’aun dan kaumnya, seperti perkataan, “Allah akan mengazab setiap orang yang durhaka kepada-Nya. Karena itu Allah mengazab mereka dengan mengirimkan angin topan, hama belalang, dan sebagainya kepada mereka, yang membawa malapetaka dan kerusakan.”
  2. Membebaskan Bani Israil dari perbudakan Fir’aun dan kaumnya.
  3. Menghancurkan Fir’aun dan kaumnya, sehingga mereka tidak lagi menjajah negeri-negeri lain dan penduduknya. Sebelum Fir’aun dan tentaranya tenggelam di Laut Merah, mereka telah diberi peringatan oleh Musa as, tetapi mereka mengabaikan peringatan itu. Kezaliman mereka semakin bertambah, bahkan mereka bermaksud membunuh Musa as dan orang-orang yang beriman bersamanya. Maka Allah menghancurkan mereka karena kezaliman mereka, sesuai dengan firman Allah:

وَمَا ظَلَمَهُمُ اللّٰهُ وَلٰكِنْ اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ

Allah tidak mezalimi mereka, tetapi mereka yang menzalimi diri sendiri. (Ali ‘Imran/3: 117);Dari ayat ini dipahami, bahwa keimanan yang teguh pada diri Musa as dan Harun as serta wahyu yang diterimanya dari Allah mendorongnya untuk membebaskan Bani Israil dari penindasan Fir’aun dan kaumnya, dengan penuh ketabahan serta kesabaran Nabi Musa mengajak Bani Israil beriman kepada Allah. Ia percaya bahwa usahanya termasuk usaha menegaskan agama Allah dan menegakkan kebenaran akan mendapat pertolongan Allah. Setelah melalui perjuangan yang sangat berat dan waktu yang lama, maka Allah memberikan pertolongan dan kemenangan dengan hancurnya Fir’aun dan kaumnya.

Hal ini dapat dijadikan tamsil dan ibarat oleh kaum Muslimin, bahwa janji Allah kepada orang beriman adalah sama dengan janji Allah yang pernah dijanjikan-Nya kepada para Rasul dahulu, pada waktu berjuang menegakkan agama Allah yaitu menolong dan membela setiap usaha menegakkan agama Allah, dan menegakkan kebenaran, sebagaimana firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ تَنْصُرُوا اللّٰهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ اَقْدَامَكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. (Muhammad/47: 7);Dan firman Allah lagi:

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ رُسُلًا اِلٰى قَوْمِهِمْ فَجَاۤءُوْهُمْ بِالْبَيِّنٰتِ فَانْتَقَمْنَا مِنَ الَّذِيْنَ اَجْرَمُوْاۗ وَكَانَ حَقًّاۖ عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Dan sungguh, Kami telah mengutus sebelum engkau (Muhammad) beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan merupakan hak Kami untuk menolong orang-orang yang beriman.” (ar-Rum/30: 47)

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yunus 74-79


Tafsir Surah Hud Ayat 32-35

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 32-35 berbicara mengenai tantangan terhadap dakwah yang dilakukan Nabi Nuh a.s. Kaumnya menolak mentah-mentah ajakan yang dilakukan oleh Nabi Nuh a.s. Bahkan mereka berani meminta agar azab segera diturunkan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 30-31


Ayat 32

Ayat-ayat ini menerangkan tantangan kaum Nabi Nuh a.s. yang menolak kebenaran Nuh sebagai utusan Allah untuk memberi petunjuk bagi mereka kepada jalan yang benar, demi keselamatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat.

Ucapan-ucapan mereka yang bernada menentang itu pada hakekatnya pembangkangan, karena mereka sudah kehabisan alasan.

Mereka tidak dapat lagi memberikan bantahan-bantahan dengan alasan yang wajar yang dapat diterima oleh akal pikiran yang sehat, kecuali mengatakan, “Hai Nuh, kamu telah demikian banyaknya berdebat dengan kami, tidak ada suatu alasan dari kami yang tidak kamu bantah, sehingga kami merasa jemu dan bosan, dan tidak ada yang kami katakan lagi kecuali suatu hal, yaitu kalau memang benar apa yang kamu katakan itu semua, datangkanlah segera azab yang kamu peringatkan itu di dunia ini sebelum azab akhirat.”

Tantangan ini adalah sebagai jawaban mereka terhadap perkataan Nuh a.s. kepada mereka seperti yang telah diterangkan pada permulaan kisah ini yaitu:

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖٓ اِنِّيْ لَكُمْ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ ۙ  ٢٥

اَنْ لَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّا اللّٰهَ ۖاِنِّيْٓ اَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ اَلِيْمٍ  ٢٦

Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata), ”Sungguh, aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih.” (Hµd/11: 25-26)

Ayat 33

Pada ayat ini, Allah menerangkan jawaban Nabi Nuh a.s. terhadap tantangan kaumnya yang kafir itu, dengan memberikan penjelasan bahwa urusan mendatangkan azab itu tidak berada dalam kekuasaannya, melainkan dalam kekuasaan Allah Yang Mahakuasa, yang menciptakan alam semesta ini dan berbuat segala sesuatu menurut iradah-Nya.

Mereka semestinya tidak perlu tergesa-gesa, bahkan tidak wajar meminta dipercepat datangnya azab Allah itu, sebab apabila azab itu datang sebagaimana yang mereka minta, niscaya mereka tidak akan mampu menolak dan mencegahnya. Sebaliknya, permintaan yang wajar dari mereka ialah supaya azab Allah itu tidak datang.

Untuk itu, hendaklah mereka beriman kepada Allah dan mematuhi perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, sebagaimana yang disampaikan kepada mereka.


Baca juga: Hobi Nge-Prank? Perhatikan Rambu-Rambu Al-Quran Seputar Prank


Ayat 34

Pada ayat ini, Allah menerangkan lanjutan jawaban dan penjelasan Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya yang membangkang itu, bahwa apapun yang disampaikan kepada mereka yang berupa nasihat dalam rangka mengajak kepada jalan yang benar dan memperingatkan mereka supaya terhindar dari azab Allah di dunia dan di akhirat, tidak akan ada manfaatnya, jika mereka masih tetap disesatkan oleh bujukan hawa nafsu mereka.

Itulah yang menjadi sebab kebinasaan mereka di dunia dan azab yang abadi di akhirat. Selanjut-nya Nabi Nuh a.s. menjelaskan kepada mereka, bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhan mereka yang memiliki dan mengatur dunia ini, sehingga segala sesuatu terjadi menurut ketentuan, ukuran, dan kehendak-Nya. Semuanya akan kembali kepada-Nya di akhirat, untuk menerima balasan amalnya dengan balasan yang baik atau buruk, sesuai dengan amal perbuatannya di dunia.

Ayat 35

Menurut pendapat Ibnu Katsir, ayat ini merupakan kelanjutan dari kisah kaum Nuh a.s. yang menerangkan bahwa mereka menuduh Nuh a.s. memberikan nasihat-nasihat dan peringatan-peringatan yang tidak benar dan hanya dibuat-buat saja.

Maka Allah mengajari Nuh a.s. supaya mengatakan kepada mereka bahwa andaikata ia membuat-buat tentu dia sendirilah yang memikul dosanya, tuduhan itu sama sekali tidak benar.

Menurut pendapat sebagian mufasir lain, ayat ini bukanlah lanjutan dari kisah kaum Nuh a.s., tetapi kalimat sisipan (jumlah mu’taridah). Menurut mereka maksud ayat ini ialah bahwa setelah orang-orang kafir Mekah mendengar kisah kaum Nuh a.s. ini dari Muhammad saw, lalu mereka menuduhnya mengada-adakan kisah itu.

Oleh karena itu, Allah mengajari Nabi Muhammad saw. supaya mengatakan kepada mereka bahwa andaikata ia mengada-adakannya, dia sendiri yang akan memikul dosanya. Tetapi yang mereka tuduhkan itu sama sekali tidak benar, dan ia bebas dari perbuatan yang mereka tuduhkan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 36-37


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 103-106

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pembahasan sebelumnya mengenai orang Yahudi mengikuti bisikan setan yang mengajarkan sihir pada Nabi Sulaiman. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 103-106 Allah menjelaskan bahwa orang Yahudi percaya kepada Kitab tapi hanya bertaklid semata.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 102


Pada Tafsir Surat Al Baqarah ayat 103-106 ini orang-orang Yahudi menyalahi isi kitab Taurat, hanya menuruti hawa nafsu dan kemauan mereka, sehingga mereka jatuh dalam kesesatan. Mereka sedikit pun tidak mau mengakui bahwa Alquran kitab yang paling banyak mengandung kebaikan dan penuh hidayah.

Ayat 103

Allah swt menerangkan bahwa jika orang-orang Yahudi percaya kepada Kitab mereka dan bertakwa, tentulah mereka akan mendapat pahala yang besar.

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa mereka itu dalam setiap perbuatan dan kepercayaan tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan yang benar, karena kalau mereka mendasarkan kepercayaan dan perbuatannya itu pada ilmu pengetahuan, tentulah mereka percaya pada Nabi Muhammad saw, dan mengikutinya, dan tentulah mereka tergolong pada orang-orang yang berbahagia.

Tetapi kenyataannya mereka itu hanya mengikuti dugaan dan bertaklid semata. Sebenarnya di antara perbuatan mereka yang keterlaluan ialah mereka menyalahi isi kitab Taurat itu, dan mereka bergerak di bawah kekuasaan hawa nafsu dan kemauan mereka, sehingga mereka jatuh dalam kesesatan.

Ayat 104

Para sahabat Nabi dilarang mengucapkan kata-kata “raina” yang biasa mereka ucapkan kepada Nabi yang kemudian ditiru oleh orang Yahudi dengan mengubah bunyinya sehingga menimbulkan pengertian yang buruk, guna mengejek Nabi.

Raina, seperti diterangkan di atas, artinya perhatikanlah kami. Tetapi orang Yahudi mengubah ucapannya, sehingga yang mereka maksud ialah ra‘µnah yang artinya bodoh sekali, sebagai ejekan kepada Rasulullah.

Itulah sebabnya Allah menyuruh sahabat-sahabat menukar raina dengan unzurna yang sama artinya dengan raina. Allah mengajarkan kepada orang mukmin untuk mengatakan unzurna, yang mengandung maksud harapan kepada Rasulullah saw agar dapat memperhatikan keadaan para sahabat.

Allah juga memperhatikan orang-orang mukmin untuk mendengarkan sebaik-baiknya pelajaran agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw yang mengandung pula perintah untuk tunduk dan melaksanakan apa saja yang diperintahkan Nabi, serta menjauhi larangannya.

Kemudian Allah dalam ayat ini mengingatkan bahwa orang kafir, yang tidak mau memperhatikan ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad saw akan mendapatkan siksaan yang pedih.

Ayat 105

Para Ahli Kitab yang terdiri atas orang-orang Yahudi, Nasrani begitu pula orang-orang musyrik, tidak mau percaya kepada Nabi Muhammad karena mereka iri hati dikarenakan dia diberi wahyu oleh Allah yang lebih baik.

Mereka sedikit pun tidak mau mengakui bahwa Alquran kitab yang paling banyak mengandung kebaikan dan penuh hidayah.

Dengan Alquran itulah Allah menghimpun dan menyatukan umat serta melenyapkan penyakit syirik yang bersarang di hati mereka, juga memberikan beberapa prinsip peraturan hidup dan penghidupan mereka.

Demikian halnya orang-orang musyrik, setelah mereka melihat kenyataan bahwa makin lama Alquran makin tampak kebenarannya, dan menjadi pendorong yang kuat bagi perjuangan Muslimin, mereka pun berusaha sekuat tenaga untuk menguasai keadaan dan menghancurkan perjuangan umat Islam hingga lenyap sama sekali.

Meskipun demikian, mereka tidak akan dapat merealisasikan angan-angan mereka karena Allah telah menentukan kehendak-Nya, memilih orang yang dikehendaki semata-mata karena rahmat-Nya.

Dia pulalah yang melimpahkan keutamaan bagi orang yang dipilih untuk diberi kenabian. Dia pula yang melimpahkan kebaikan dan keutamaan, sehingga seluruh hamba-Nya bersenang-senang dalam kebahagiaan.

Maka tidak seharusnyalah apabila ada seorang hamba Allah yang merasa dengki kepada seseorang yang telah diberi kebaikan dan keutamaan, karena saluran kebaikan dan keutamaan itu datangnya dari Allah semata.


Baca juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Nabi dan Sahabat (1)


Ayat 106

Dijelaskan bahwa ayat mana pun yang dinasakh hukumnya, atau diganti dengan ayat yang lain, atau ayat yang ditinggalkan, akan diganti-Nya dengan ayat yang lebih baik dan lebih sesuai dengan kemaslahatan hamba-hamba-Nya, atau diganti-Nya dengan ayat yang sama nilainya dengan hukum yang lalu.

Adapun hikmah diadakannya pergantian atau perubahan ayat ialah karena nilai kemanfaatannya berbeda-beda menurut waktu dan tempat, kemudian dihapuskan, atau diganti dengan hukum yang lebih baik, atau dengan ayat yang sama nilainya, adalah karena ayat yang diubah atau diganti itu tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat, sehingga apabila diadakan perubahan atau pergantian termasuk suatu tindakan yang bijaksana.

Bagi yang berpendapat bahwa ayat ini ialah tanda kenabian (mukjizat) yang dijadikan penguat kenabian, maka ayat ini diartikan bahwa Allah tidak akan menghapuskan tanda kenabian yang digunakan untuk penguat kenabiannya, atau tidak akan mengubah tanda kenabian yang terdahulu dengan tanda kenabian yang datang kemudian, atau meninggalkan tanda-tanda kenabian itu, karena telah berselang beberapa abad lamanya.

Terkecuali Allah yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas memberikan tanda kenabian yang lebih baik, ditinjau dari segi kemantapannya maupun dari tetapnya kenabian itu. Karena kekuasaan-Nya yang tidak terbatas, maka hak untuk memberikan tanda kenabian kepada para nabi-Nya tidak dapat dihalang-halangi.

Penggantian ayat adakalanya terjadi dengan ayat yang lebih ringan hukumnya, seperti dihapusnya idah wanita yang ditinggal mati suaminya dari setahun menjadi 4 bulan 10 hari, atau dengan ayat yang sama hukumnya seperti perintah untuk menghadapkan muka ke Baitulmakdis pada waktu melaksanakan salat diubah menjadi menghadapkan muka ke Ka’bah.

Atau dengan hukum yang lebih berat, seperti perang yang tadinya tidak diwajibkan pada orang Islam, menjadi diwajibkan.

Ayat ini tidak hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad saw tetapi juga ditujukan kepada kaum Muslimin, yang merasa sakit hatinya mendengar cemoohan orang-orang Yahudi kepada Nabi Muhammad saw.

Orang-orang yang tipis imannya tentu mudah dipengaruhi, sehingga hatinya mudah menjadi ragu-ragu. Itulah sebabnya, Allah menegaskan bahwa Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, dan apabila berkehendak untuk menasakh hukum tidak dapat dicegah, karena masalah hukum itu termasuk dalam kekuasaan-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 107-110


(Tafsir kemenag)

Kitab Maqashid al-Shaum: Inilah Tujuh Keutamaan Puasa Ramadhan

0
Tujuh Keutamaan Puasa Ramadhan
Tujuh Keutamaan Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan menyimpan segudang faedah atau keutamaan. Berbagai keutamaan puasa ramadhan dapat kita jumpai salah satunya melalui Maqashid al-Shaum, karya Sulthan al-Ulama, Syekh Izzuddin Abdil Aziz bin Abdussalam (w. 660 H).

Di dalam kitabnya, persisnya pada bab kedua tentang keutamaan (fadhilah) puasa Ramadhan, Syekh Izzuddin menyatakan paling tidak ada tujuh keutamaan puasa ramadhan. Saya melihat ketujuh keutamaan itu sebagai bentuk penempaan jiwa sekaligus penyucian diri (tazkiyatun nafs) bagi seorang hamba. Berikut keterangannya,

Meninggikan Derajat (Raf’u Darajat)

Statemen beliau didasarkan pada sabda Nabi saw,

إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنَ

“Tatkala Ramadhan telah tiba, dibukakanlah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, dan setan pun dibelenggu”. (H.R. Muslim)

Dalam riwayat yang lain,

إِنَّ فِي الجَنَّة بَابًا يُدْعَى الرَّيَّانُ، يُدْعَى بِهِ الصَّائِمُوْنَ، مَنْ كَانَ مِنَ الصَّائِمِيْنَ دَخَلَهُ وَمَنْ دَخَلَهُ لَمْ يَظْمَأُ أَبَدًا

“Sesungguhnya di surga ada sebuah pintu yang disebut al-Rayyan, di mana disediakan untuk mereka yang berpuasa. Barang siapa yang termasuk orang yang berpuasa maka ia akan masuk darinya (pintu al-rayyan), serta siapa yang memasukinya, ia tidak akan haus selamanya” (H.R. Ahmad)

Baca juga: Masail Al-Qur’an: Buku yang Menjawab Problem Umat Terkait Al-Qur’an

Dari dua hadits Nabi saw, Syekh Izzuddin menyimpulkan bahwa kewajiban puasa ramadhan beserta segala keutamaannya mengisyaratkan bagi umat Islam untuk memperbanyak ketaatan (taktsir al-tha’at). Artinya, dengan dibukanya pintu surga merupakan bentuk targhib (motivasi atau dorongan) untuk memperbanyak ibadah, misalnya berdzikir, tadarusan, shalat tahajud, dan sebagainya.

Yang kedua, dengan ditutupnya pintu neraka (taghliq abwab al-nar) dan terbelenggunya setan, maka Syekh Izzuddin mempersepsikannya sebagai bentuk pengurangan maksiat (qillah al-ma’ashy). Sementara yang ketiga adalah terbelenggunya setan (tashfid al-syayathin). Isyarat ini oleh Syekh Izzuddin, ditafsiri sebagai tanda terputusnya kewaswasan (inqatha’a waswasathihim) bagi orang yang berpuasa.

Dalam artian, betapa tidak etisnya manusia jika sudah diberikan bulan mulia Ramadhan masih berbuat buruk dan enggan mengerjakan kebaikan serta memperbanyak ibadah. Na’udzubillah min dzalik.

Menghapus Kesalahan (Takfir al-Khathi’at)

Hal ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad saw,

رَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفَّرَاتٌ مَابَيْنَهُنَّ، إِذَا اجْتَنَبَتَ الْكَبَائِرَ

“Ramadhan satu ke ramadhan yang lain sebagai bentuk kafarat (dosa) di antara keduanya jika kamu menjauhkan diri dari dosa-dosa besar”. (H.R. Ahmad 2/400 dan H.R. Muslim No. 233 dalam Bab Thaharah).

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 77: Allah Berkuasa untuk Membangkikat Tulang yang Berserakan

Syekh Izzuddin memaknai kata “imanan” adalah biwujubihi (meyakini adanya kewajiban puasa dan berkewajiban menjalankannya). Sedangkan maksud ihtisaban, kata Izzuddin, bermaka merendahkan diri sembari berharap pahala dari Tuhannya (li ajrihi ‘inda rabbihi).

Mengendalikan Syahwat (Kasru al-Syahawat)

Keutamaan ketiga adalah umat Islam hendaknya mampu mengendalikan atau menaklukkan syahwat. Ia berdikari atas syahwatnya, bukan justru ditunggangi oleh syahwatnya. Sebagaimana sabda Nabi saw,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ, فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah lebih bisa menundukan pandangan dan lebih mudah menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, sesungguhnya puasa itu adalah benteng syahwatnya.” (HR Imam Ahmad dan Imam Bukhari)

Jadi, dengan berpuasa ramadhan, tidak makan dan minum itu dapat menjadi sarana untuk mampu mengalahkan syahwat. Beliau menuturkan,

فَإِنَّ الْجُوْعَ وَالظَّمَأَ يُكَسِّرَانِ شَهْوَةَ الْمَعَاصِي

“Sesungguhnya lapar dan haus dapat mengalahkan syahwat bermaksiat”

Dalam konteks ini, yang dimaksudkan dengan “lapar dan haus” adalah yang disertai niat karena ibadah kepada Allah swt. Dengan niat tersebut, maka lapar dan haus menjadi madrasah untuk menempa diri manusia, mengendalikan nafsu libidinal dan mampu kapan ia untuk mengegas dan mengerem.

Baca juga: Jihad Nir-Kekerasan Ala Kiai Sholeh Darat

Memperbanyak Sedekah (Taktsir al-Shadaqat)

 Sedekah, bagi Syekh Izzuddin, berimplikasi pada pembentukan karakter diri manusia. Beliau menuturkan,

لِأَنَّ الصَّائِمَ إِذَا جَاعَ تذَكّرَ مَا عِنْدَهُ مِنَ الْجُوْعِ فَحَثَّهُ ذَلِكَ عَلَي إِطْعَامِ اْلجَائِعَ

“Sesungguhnya orang berpuasa ketika dia merasakan lapar, lalu ia mengingat rasa lapar itu, maka hal itulah yang memberikan dorongan kepadanya untuk memberi makan pada orang yang lapar”.

Dengan demikin, puasa melatih rasa empati dan simpati manusia untuk peduli terhadap sesama dan makhluk Allah swt. Outcome-nya adalah manusia itu akan memanusiakan manusia, mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan meminimalisir keegoisan pribadi. Puasa menjadi ajang penempaan diri baginya.

Baca juga: Prinsip Dasar Penyusunan Tafsir Ilmi

Penyempurnaan Ketaatan (Taufir al-Tha’at)

Syekh Izzuddin menyampaikan,

لِأَنَّهُ تَذَكَّرَ جُوْعِ أَهْلُ النَّارِ وَالظَّمَأَهُمْ فَحَثَّهُ ذَلِكَ عَلَي تَكْثِيْرِ الطَّاعَاتِ لِيَنْجُوَ بِهَا مِنَ النَّارِ

“Sebab puasa mengingatkan akan rasa lapar dan hausnya ahli neraka. Karena itulah yang mendorong orang berpuasa untuk memperbanyak ketaatan kepada Allah swt agar selamat dari api neraka”.

Dari penyampaian Syekh Izzuddin, kita dapat memetik hikmah untuk lebih memperdalam ilmu. Analoginya, untuk mampu mengendarai sepeda dan mobil, seorang supir harus paham betul teori dan fungsi masing-masing bagiannya. Bagaimana mungkin ia menjalakan suatu kendaraan, sedangkan ia tidak paham akan teori dan praktiknya. Begitu pula, bagaimana mungkin puasa ramadhan beserta kemuliaannya dapat dijalankan dengan baik tanpa mengetahui ilmu tentang puasa. Dalam konteks ini, mencari ilmu adalah suatu keniscayaan bagi manusia.

Baca juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Nabi dan Sahabat (1)

Mensyukuri Kenikmatan yang Tidak Disadari (Syukr ‘Alim al-Khafiyyat)

Acapkali manusia lalai terhadap nikmat Allah swt. Sampai-sampai Nabi saw pernah menyinggungnya bahwa ada dua kenikmatan yang seringkali dilupakan manusia, yaitu nikmat kesehatan (shihhah) dan kesempatan (al-faragh).

 Senada dengan Baginda saw, Syekh Izzuddin juga menyampaikan,

إِذَا صَامَ عَرَفَ نِعْمَةَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الشِّبَعِ وَالرِّيِّ فَشُكْرِهَا لِذَلِكَ, فَإِنَّ النِّعَمَ لَا يُعْرَفُ مِقْدَارُهَا إلّا بِفَقْدِهَا

“Jika seseorang berpuasa maka ia menjadi tahu akan nikmat Allah swt yang diberikannya berupa rasa kenyang dan rasa segar, maka bersyukurlah atas nikmat itu. Karena nikmat tersebut baru mempunyai arti penting tatkala nikmat itu telah hilang”.

Untaian kata Syekh Izzuddin menjadi warning bagi kita semua untuk sedini mungkin sadar akan nikmat Allah swt dan mensyukurinya. Salah satu tanda syukur ialah kita mempergunakannya untuk mengerjakan ketaatan dengan high quality (kualitas tertinggi), bukan low quality (kualitas gadungan alias KW).

Mencegah Keinginan Untuk Bermaksiat dan Meminimalisir Perselisihan (Al-Inzijar ‘an Khawathir wa al-Mukhalafat)

Syekh Izzuddin berargumen bahwa orang yang kenyang – kenyang di sini dapat dikontekstualisasikan dengan comfort zone (kondisi nyaman) – mempunyai probabilitas tinggi untuk bermaksiat (thamahat ila al-ma’ashy). Hal ini jauh berbeda ketika manusia terasa lapar dan haus, maka ia akan mencari sesuatu yang mampu memenuhi keduanya sehingga berdampak pada pengurangan keinginan untuk berbuat buruk atau maksiat.

Sederhananya, puasa menjadi ajang preventif untuk menahan diri dari segala hawa nafsu, baik syahwat seks maupun hasrat materialisme sehingga diharapkan ia meraih derajat yang tinggi, yakni muttaqin (orang-orang yang bertakwa di sisi-Nya). Ini adalah tingkatan tertinggi dalam prestasi manusia. Memang tidak mudah, namun bukan berarti tidak mungkin. Selama manusia berupaya semaksimal mungkin, maka Allah swt telah menyediakan pahala yang setimpal. Kata Allah swt dalam hadits qudsi-Nya, “Aku sendiri yang memberikan pahala baginya”.

Demikian, tujuh faedah atau keutamaan puasa ramadhan menurut Syekh Izzuddin. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Hud Ayat 30-31

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 30-31 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai penolakan terhadap permintaan nyeleneh dari kaumnya yang ingkar. Kedua mengenai keingkaran kaumnya terhadap apa yang dibawa oleh Nabi Nuh a.s.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 27-29


Ayat 30

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan tentang ketegasan Nabi Nuh yang berseru kepada kaumnya yang menginginkan agar Nabi Nuh mengusir para pengikutnya yang beriman:

 “Wahai kaumku, tidak ada seorang pun yang dapat menolak siksaan Allah, jika aku mengusir mereka yang telah beriman dan mengikuti seruanku, karena hal itu termasuk suatu kezaliman yang berat sekali, yang pasti akan dibalas dengan azab yang berat pula. Apakah kamu tidak sadar dan mengambil pelajaran? Mereka itu mempunyai Tuhan yang pasti akan menolongnya, dan yang mengusir mereka pasti akan binasa.”

Permintaan pengusiran para pengikut yang telah beriman tidak hanya diterima atau dialami oleh Nabi Nuh, tetapi juga oleh nabi-nabi lain, tidak terkecuali Nabi Muhammad saw.


Baca juga: Pelaksanaan Puasa Bagi Musafir, Orang Yang Sakit, Orang Tua, dan Ibu Hamil


Ayat 31

Dalam ayat ini, dijelaskan jawaban Nuh kepada kaumnya atas ketidakpercayaan mereka kepada kenabian Nuh, walaupun ia mengaku menjadi nabi.

Ia juga tidak mengatakan kepada mereka bahwa ia mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari Allah, yang diperlukan oleh setiap hamba-Nya, yang bisa ia keluarkan untuk menutupi kebutuhan dirinya dan seluruh pengikutnya.

Ia sama saja seperti orang lain, memerlukan usaha yang wajar, karena soal jaminan rezeki itu tidak termasuk dalam urusan kenabian. Sekiranya urusan itu dijadikan bagian dari kerasulan tentu banyak orang-orang yang mengikuti nabi karena ingin jaminan rezeki dan harta saja.

Padahal gagasan yang pokok dari tugas kerasulan ialah menyucikan jiwa manusia dari pengaruh kebendaan dengan ibadah dan makrifat kepada Allah sebagai persiapan masuk surga dan memperoleh keridaan-Nya pada hari Kiamat.

Harta dan anak-anak tidak bermanfaat lagi, dan yang menghadap Allah hanya mereka yang berhati bersih.

Selanjutnya Nabi Nuh mengatakan bahwa ia tidak mengetahui yang gaib. Ia tidak melebihi orang lain dengan ilmu gaib, yang dapat mengungkapkan benda-benda yang tersembunyi untuk menambah kekayaan, atau mem-peroleh kemanfaatan dan menolak kemudaratan, yang dapat disampaikan kepada semua pengikut-pengikutnya, agar menjadi orang-orang yang kaya dan sebagainya.

Disebutkan pula dalam firman Allah:

قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۗوَلَوْ كُنْتُ اَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِۛ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْۤءُ ۛاِنْ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ وَّبَشِيْرٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ࣖ   ١٨٨

Katakanlah (Muhammad), ”Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al-A’raf/7: 188)

Nabi Nuh melanjutkan pernyataannya dengan mengatakan bahwa ia bukanlah malaikat yang diutus kepada mereka, melainkan seorang manusia seperti mereka yang ditugaskan untuk menyeru manusia kepada ketauhidan.

Dalam ucapan Nabi Nuh itu, ada bantahan terhadap anggapan orang-orang kafir yang mengatakan bahwa seorang rasul itu semestinya malaikat, tidak makan, tidak minum, tidak mondar-mandir ke luar masuk pasar, harus mengetahui semua yang gaib, dan mempunyai banyak kelebihan daripada manusia biasa.

Ia juga tidak mengatakan kepada orang yang beriman yang mereka hinakan itu, bahwa Allah tidak akan memberikan kebaikan kepada mereka di akhirat. Pandangan Allah berbeda sekali dengan pandangan manusia. Sebagaimana diterangkan dalam beberapa hadis sahih:

إِنّ َالله لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَجْسَامِكُمْ وَلٰكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ

(رواه مسلم عن ابى هريرة)

“Allah tidak memandang rupa atau tubuh kamu, akan tetapi Allah memandang kepada hati kamu.” (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Allah lebih mengetahui apa yang terkandung dalam hati mereka, bagaimana murninya keimanan mereka, dan bagaimana pula keikhlasan mereka dalam menjalankan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, tidak seperti pandangan mereka yang menuduh orang-orang mukmin mempunyai pandangan yang picik yang mempercayai apa saja.

Sesungguhnya, jika Nabi berbeda penilaian dengan mereka, adalah karena Nabi bukan memandang apa yang nampak dari luar saja, tetapi melihat kepada keimanan dan keikhlasan pengikutnya. Jika Nabi menilai seperti penilaian orang-orang kafir, niscaya ia termasuk orang-orang yang zalim.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 32-35


(Tafsir Kemenag)