Beranda blog Halaman 351

Tafsir Surah Yasin Ayat 77: Allah Berkuasa untuk Membangkikan Tulang yang Berserakan

0
Surah Yasin Ayat 77
Surah Yasin Ayat 77

Tafsir surah Yasin sebelumnya telah berbicara mengenai cara Allah mengobati kesedihan Nabi, kali ini akan kembali membahas tentang sikap kufur manusia. Mereka secara terang-terangan sangat memusuhi Allah dan Rasulnya dengan tidak mempercayai hari kebangkitan. Untuk lebih jelasnya mari simak penjelasan tafsir surah Yasin ayat 77 berikut:

اَوَلَمْ يَرَ الْاِنْسَانُ اَنَّا خَلَقْنٰهُ مِنْ نُّطْفَةٍ فَاِذَا هُوَ خَصِيْمٌ مُّبِيْنٌ

“Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata dia menjadi musuh yang nyata!”

Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir menyatakan bahwa kata a lam yarau sinonim dengan kata a lam ya’lam yang berarti apakah engkau tidak tahu. Sedangkan Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir mengatakan bahwa mengetahui di sini maknanya adalah tahu secara batin. Maksudnya apakah tidak terbesit sedikitpun dalam benak mereka (al-Insan) tentang penciptaannya dari setetes mani.

Baca Juga: Bismillāhirrahmānirrahīm, Belajar Cinta dan Kasih dari Basmalah

Tafsir al-Thabari sebagai salah satu rujukan tafsir tertua meriwayatkan tiga pendapat mengenai siapa mukhatab dari kata al-Insan pada ayat 77 dalam surah Yasin ini. Tiga pendapat yang termaktub dalam Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an adalah berkaitan dengan Ubay bin Khalaf, al-‘Ash bin wa’il, dan Abdullah bin Ubay. Sedangkan  al-Suyuti dalam al-Dur al-Mansur menambahkan satu lagi, yakni Abu Jahal.

Redaksi dari riwayat-riwayat tersebut, baik yang menganggap ayat tersebut merespons ulah Ubay bin Khalaf, al-‘Ash bin wa’il, Abu Jahal bin Hisyam, dan Abdullah bin Salam, semuanya memiliki kemiripan dari segi isinya. Misalnya adalah yang disampaikan oleh Wahbah Zuhaili dalam tafsirnya:

Suatu ketika al-‘Ash bin Wa’il datang menemui Rasulullah saw dengan membawa sebuah tulang. Lalu ia remukkan tulang itu. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, tulang ini telah lapuk berlumuran debu dan tanah.

Setelah itu al-‘Ash bin Wa’il berkata; Wahai muhammad, apakah tulang yang remuk ini kelak akan dibangkitkan? Nabi menjawab; Ya, Allah akan membangkitkannya, lalu membunuhmu,  membangkitkanmu, dan memasukkanmu ke neraka. Tak lama kemudian turunlah surah Yasin ayat 77. Hal ini sekaligus menjadi sebab nuzulnya.

Wahbah Zuhaili menuturkan bahwa surah Yasin ayat 77 ini berkenaan dengan al-‘Ash bin Wa’il dan Ubay bin Khalaf. Ia mengesampingkan dua orang yang telah disebutkan oleh al-Suyuti dan al-Thabari dalam tafsir keduanya, yaitu ‘Adullah bin Ubay, dan ‘Abu Jahal bin Hisyam. Untuk yang pertama, ada bantahan Ibnu Katsir dalam al-Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim.

Dalam tafsirnya itu, Ibnu Katsir  mengatakan bahwa kurang tepat jika ‘Abdullah bin Ubay merupakan orang yang direspons oleh ayat 77 tersebut. Pasalnya ada kontradiksi antara ayat 77 dengan ‘Adullah bin Ubay dari sisi historis. Ayat 77 tergolong katagori makiyah sedangkan ‘Adullah bin Ubay merupakan penginkar ketika Nabi telah di Madinah. Maka riwayat tersebut menurutnya memang tidak tepat.

Sedangkan untuk yang kedua, yaitu ‘Abu Jahal, riwayat ini sepertinya memang tidak begitu terkenal di kalangan para mufasir. Riwayat ini hanya ditemukan dalam tafsir karya al-Suyuti. Sedangkang dalam Tafsir Thabari, al-Tafsir al-Munir, Tafsir Ibnu ‘Asyur, Tafsir Ibnu Katsir, maupun Tafsir al-Zamakhsyari tidak ada riwayat yang menceritakan tentang keterkaitan Abu Jahal dalam surah Yasin ayat 77 ini.

Namun al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf memberikan penuturan yang menarik bahwa surah Yasin ayat 77 ini juga berkaitan dengan Abu Jahal. Ia mengatakan bahwa suatu ketika sekelompok orang-orang kafir Quraisy yang terdiri dari Ubay bin Khalaf, Abu Jahal, al-‘Ash bin Wa’il, dan Walid bin Mughirah, sedang berbicang-bincang mengenai dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengan hari kebangkitan. Mereka adalah para pembesar kafir Quraisy

Di tengah obrolan itu Ubay berkata; Apakah tidak kalian perhatikan ketika Muhammad berkata bahwa sesungguhnya Allah akan membangkitkan orang-orang mati?

Lalu Ubay  bersumpah; Demi Lata dan ‘Uzza, aku akan mendebat Muhammad mengenai hal itu. Lalu Ubay mengambil sebuah tulang yang sudah diremukkan dan mendatangi Nabi. Setelah itu terjadi dialog seperti yang sudah dipaparkan di atas.

Agaknya pendapat al-Zamakhsyari ini bisa menjadi jalan tengah di antara perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan para mufasir mengenai siapakah orang yang direspons oleh surah Yasin ayat 77. Hal ini juga diperkuat dengan pendapat Wahbah Zuhaili bahwa para Ulama Ushul Fiqh sepakat menggunakan teori al-‘ibrah bi umum al-lafz la bi khusus al-sabab.

Dengan kata lain, meskipun ayat 77 ini memiliki sebab yang khusus, namun bisa diterapkan kepada semua orang yang ingkar terhadap hari kebangkitan. Maka secara otomatis entah itu Ubay bin Khalaf, al-‘Ash bin wa’il, Abu Jahal dan Abdullah bin Ubay  termasuk di dalamnya. Mereka adalah sekawanan pembangkang dakwah Nabi garis keras.

Allah mengkritik orang-orang yang ingkar terhadap dakwah Nabi Muhammad Saw, khususnya terhadap hari kebangkitan, dengan mengemukakan analogi yang sangat tajam. Apakah tidak terbesit sedikitpun dalam benak mereka tentang penciptaanya. Dalam ayat itu secara eksplisit disebutkan bahwa merea diciptakan dari nutfah. Zuhaili mengaitkan dengan surat as-Sajdah ayat 8, yakni air yang hina.

Air itu dianggap hina karena merupakan sesuatu yang sangat lemah. Buya Hamka mengatakan bahwa air itu terkadang terbuang sia-sia tidak tentu tujuan, mengotori celana dan kain dan lama-lama membusuk. Lalu apa yang ingin disombongkan dari hal itu.

Hanya berkat RahmatNya air yang hina itu menjadi manusia. Sedikti demi sedikit tumbuh dalam rahim, lalu lahir, bertumbuh dan berkembang hingga memiliki akal dan kesadaran. Apakah hal itu tidak pernah terbesit dalam benak mereka yang ingkar itu?

Menurut al-Sabuni kalimat tanya dalam ayat 77 ini termasuk istifham ingkari atau bermakan sebaliknya. Maksudnya adalah memang tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang proses penciptaan awal mereka yang begitu hina itu. Dengan congkaknya mereka menyombongkan diri dan memusuhi Allah Swt.

Zuhaili mengatakan bahwa kata khasim mubin merupakan sighat mubalagha atau bermakna sangat. Maksudnya adalah mereka secara secara terang-terangan sangat memusuhi Allah Dzat yang memberinya kehidupan dan rizki.

Baca Juga: Wahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua

Pesan yang bisa kita ambil dari surah Yasin ayat 77 ini bisa kita simak pernyataan dari Wahbah Zuhaili. Ia mengatakan bahwa manusia dianjurkan untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. Allah yang menciptakan, menumbuhkan, memberi rizki, memberi akal dan kesadaran kepada manusia agar bisa dipergunakan sebaik-baiknya.

Jika Allah berkuasa untuk menciptakannya maka Allah pun berkuasa untuk menciptakan yang kedu kalinya. Maka dari itu bukan hal yang sukar bagi Allah untuk membangkitkan orang-orang yang sudah mati meskipun dengan tulang-tulang yang tercerai-berai dan hancur lebur.

Kiranya demikian tafsir surah Yasin ayat 77. Tunggu edisi tafsir surah Yasin selanjutnya. Wallahu A’lam.[]

Tafsir Surah Al A’raf ayat 131-135

0
Tafsir Surat Al A'raf
Tafsir Surat Al A'raf

Tafsir Surah Al A’raf ayat 131-135 mengulas tentang sifat dan tabiat Fir’aun serta pengikutnya. Selain itu Tafsir Surat Al A’raf ayat 131-135 mengisahkan adzab yang menimpa Fir’aun dan para pengikutnya yakni angin topan.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah Al Araf 128-130


Ayat 131

Dalam ayat ini Allah menerangkan sifat dan tabiat Fir’aun dan pengikutnya,  bahwa pada saat mereka mengalami kemakmuran hidup, mereka mengatakan bahwa hal itu sudah sewajarnya, karena negeri mereka subur dan mereka pun rajin bekerja. Tidak terbayang dalam hati mereka bahwa semuanya itu adalah rahmat dari Allah yang patut mereka syukuri.  Sebaliknya, apabila mereka mengalami bahaya kekeringan, kelaparan, penyakit, mereka lalu melemparkan kesalahan dan umpatan kepada Nabi Musa. Mereka katakan bahwa semua malapetaka itu disebabkan kesalahan Nabi Musa dan kaumnya.

Mereka lupa kepada kejahatan dan kezaliman yang mereka perbuat terhadap kaum Nabi Musa, karena mereka menganggap bahwa perbudakan dan perbuatan kejam yang mereka lakukan terhadap Bani Israil itu adalah wajar dan merupakan hak mereka sebagai bangsa yang berkuasa. Itu adalah gambaran yang paling jelas tentang sikap dan tabiat kaum imperialis sepanjang masa.

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa cobaan yang menimpa diri orang-orang kafir itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. Maksudnya ialah bahwa semua kebaikan yang mereka peroleh, dan segala cobaan yang mereka hadapi, semua itu sudah merupakan qa«a dan qadar yang telah ditetapkan Allah, sesuai dengan sunnah-Nya yang berlaku bagi semua makhluknya, yaitu sesuai dengan sebab dan akibat, sehingga apa-apa yang terjadi pada manusia adalah merupakan akibat belaka dari sikap, perbuatan dan tingkah lakunya. Akan tetapi, kebanyakan mereka tidak mau menginsafinya. Mereka tetap berada dalam kekufuran dan kezaliman.

Ayat 132

Pada ayat ini dijelaskan keingkaran mereka walaupun Nabi Musa telah memberikan berbagai keterangan dan bukti yang jelas tentang kerasulannya. Mereka berkata kepada Nabi Musa: “Bagaimana pun kamu telah mendatangkan berbagai keterangan itu, namun kami sekali-kali tidak akan beriman kepada kamu.”

Semua keterangan-keterangan yang telah dikemukakan Nabi Musa kepada mereka yang membuktikan kerasulannya, mereka anggap sebagai sihir untuk mempengaruhi mereka, agar meninggalkan agama nenek moyang mereka. Kemudian mereka menegaskan bahwa mereka sekali-kali tidak akan membenarkan semua keterangan dan bukti-bukti tersebut. Ini berarti bahwa mereka tidak akan menerima agama Allah yang disampaikan kepada Nabi Musa untuk mereka semuanya. Tetapi mereka tetap melakukan kezaliman terhadap Bani Israil dan Nabi Musa.

Ayat 133

Dalam ayat ini diceritakan bahwa sebagai akibat dari keingkaran, kekufuran dan kezaliman mereka, maka Allah menurunkan azab yang lebih dahsyat kepada mereka berupa topan yang melanda rumah dan pohon-pohonan, kebun dan sawah-sawah mereka, kemudian datang lagi hama belalang yang membinasakan tanaman-tanaman mereka, dan akhirnya muncul wabah lain yang menjadikan air minum mereka berubah rasa, berubah bau, dan berubah warnanya seperti darah yang tidak dapat mereka minum.

Meskipun lima macam azab yang ditimpakan Allah bertubi-tubi kepada Fir’aun dan kaumnya. Mereka tetap menyombongkan diri dan berbuat dosa, dan itu merupakan sifat mereka yang paling menonjol.

Ayat 134

Dalam ayat ini Allah menceritakan bagaimana keadaan Fir’aun dan kaumnya ketika mereka ditimpa lima macam azab itu. Mereka sudah tidak dapat berkutik, lalu meminta pertolongan Nabi Musa agar ia mendoakan kepada Allah untuk membebaskan mereka dari penderitaan akibat azab tersebut. Mereka berkata, “Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu dengan perantaraan kenabianmu, jika kamu dapat menghilangkan azab itu dari kami, sesungguhnya kami berjanji bahwa kami akan beriman kepadamu, dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu.”

Demikianlah setelah mereka tidak mampu menyelamatkan diri dari siksa itu maka mereka berpura-pura beriman dan berjanji akan membebaskan Bani Israil dan membiarkan mereka meninggalkan Mesir bersama Nabi Musa. Akan tetapi dapatkah dipercaya janji orang-orang kafir?

Ayat 135

Berkat doa Nabi Musa yang memohon kepada Allah agar melepaskan Fir’aun dan kaumnya dari azab  Allah yang menimpa mereka, akhirnya Fir’aun dan kaumnya terlepas dari azab tersebut, sebelum mereka ditenggelamkan Allah, namun terlepasnya mereka dari azab Allah, tidak membuat mereka beriman dan menepati janjinya untuk membebaskan Bani Israil keluar dari Mesir dan dari penindasan mereka. Bahkan mereka tetap bertekad menentang Allah dan tetap dalam kekufuran.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 74-75


Tafsir Surah Hud Ayat 27-29

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 27-29 berbicara mengenai dialog yang terjadi antara Nabi Nuh a.s dan kaumnya yang membangkang. Seruan Nabi Nuh a.s dingkari karena mereka menganggap Nabi Nuh a.s sebagai orang biasa yang tidak mempunya keistimewaan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 22-26


Ayat 27

Pertama, para pemimpinnya berkata, “Kami memandang kamu sebagai manusia biasa, sederajat saja dengan kami. Kamu tidak mempunyai kelebihan apa-apa daripada kami, sehingga kami tidak perlu mengikuti kamu, apalagi mengakui kamu sebagai seorang utusan Allah.”

Kedua, “Kami melihat pengikutmu adalah orang hina, rakyat biasa saja, seperti petani, kaum buruh, dan pekerja harian yang tidak mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Mereka lekas percaya dan terpengaruh begitu saja tanpa pertimbangan akal.”

Ketiga, “Kami tidak melihat kamu dan pengikut-pengikut kamu mempunyai kelebihan ilmu pengetahuan atau kekayaan yang dapat dibanggakan, yang mendorong kami untuk mengikuti seruanmu.”

Keempat: “Kami yakin bahwa pengakuanmu sebagai utusan Allah adalah semata-mata dusta.”

Ayat 28

Nabi Nuh a.s. bertanya:

“Hai kaumku, bagaimana pendapatmu jika aku mengemukakan hujjah yang nyata sekali kebenarannya dari Tuhanku, dan bukan sekali-kali dari diriku sendiri, dan bukan pula karena jasaku sendiri, sebagai seorang manusia yang istimewa, akan tetapi karena aku diberi rahmat oleh Tuhanku, yaitu kenabian, yang tidak dapat kamu melihatnya karena dihalangi oleh kejahilan, kesombongan, serta kesenangan kepada pangkat dan kedudukan duniawi, maka apakah aku akan memaksa kamu untuk menerimanya, sedangkan kamu sangat membencinya? Kami tidak dapat melakukan paksaan. Terserah kepada kalian untuk menerima atau menolaknya, karena aku hanya seorang utusan Allah yang bertugas menyampaikannya.”

Nabi Nuh a.s. menjelaskan apa yang tersirat dalam jawabannya yaitu walaupun mereka sama-sama manusia, namun jangan menyamaratakan semua manusia dalam segala hal ihwal keadaannya.

Semua orang tidak sama watak dan tabiatnya, kecerdasan dan kemampuannya, dan kesediaan untuk menerima petunjuk dan kebenaran, apalagi dalam bidang-bidang yang secara keseluruhan dikuasai oleh Allah swt, seperti membuka hati dan menerima rahmat, atau menerima pangkat kenabian yang semuanya itu sangat samar bahkan tertutup sama sekali bagi orang-orang kafir.

Nabi Nuh mengatakan, “Apa yang dapat aku kerjakan ialah menyampaikan perintah Allah. Sama sekali aku tidak mampu memaksa kamu untuk menerima kenyataan-kenyataan seperti itu. Sebagai utusan Allah, aku hanya mampu menyampaikan saja, terserah kepada kamu untuk menerima atau menolaknya, asal kamu betul-betul memahami semua akibatnya.”


Baca juga: Konsep Makna Uli An-Nuha dalam Tafsir Surah Thaha Ayat 49-55


Ayat 29

Nabi Nuh berkata, “Wahai kaumku, aku tidak meminta upah atau balasan apa pun atas nasihat dan seruan kepadamu itu. Aku mengajak kalian kepada ketauhidan dan ketakwaan kepada Allah, semata-mata ikhlas karena Allah, supaya kamu sekalian berbahagia di akhirat. Aku sama sekali tidak meminta atau mengharapkan pemberian upah harta benda dari kalian.

Aku tahu bahwa harta benda itu sangat kamu sayangi. Aku tahu bahwa penilaian kalian terhadap seseorang itu selalu dikaitkan dengan kekayaannya.

Oleh karena itu, untuk memurnikan seruanku dan untuk tidak menyinggung perasaan, aku tidak meminta apa-apa, cukuplah aku mengharapkan pahala dari Allah saja, karena Allah lah yang memberi tugas kepadaku dan aku hanya bertawakal kepada-Nya.”

Dan ucapan seperti itu diucapkan pula oleh rasul-rasul yang lain dalam rangka menyampaikan risalahnya kepada umat.

Kaum Nuh mengusulkan kepada Nuh, “Hai Nuh, jika kamu ingin supaya kami ikut beriman kepadamu, maka usirlah pengikutmu yang lemah dan hina itu, karena kami tidak pantas duduk bersama mereka dalam suatu majelis.”

Nabi Nuh a.s. menjawab, “Aku tidak akan mengusir mereka, karena mereka sungguh-sungguh akan bertemu dengan Tuhannya, dan mereka hanya akan ditanya tentang amalnya, bukan soal pangkat atau keturunannya, dan itulah yang tidak kamu ketahui.” Ucapan Nabi Nuh a.s. itu dijelaskan pula dalam ayat lain yaitu firman Allah swt:

قَالُوْٓا اَنُؤْمِنُ لَكَ وَاتَّبَعَكَ الْاَرْذَلُوْنَ ۗ   ١١١  قَالَ وَمَا عِلْمِيْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ۚ    ١١٢  اِنْ حِسَابُهُمْ اِلَّا عَلٰى رَبِّيْ لَوْ تَشْعُرُوْنَ ۚ    ١١٣  وَمَآ اَنَا۠ بِطَارِدِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۚ   ١١٤  اِنْ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ ۗ   ١١٥

Mereka berkata, ”Apakah kami harus beriman kepadamu, padahal pengikut-pengikutmu orang-orang yang hina?” Dia (Nuh) menjawab, ”Tidak ada pengetahuanku tentang apa yang mereka kerjakan. Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, jika kamu menyadari. Dan aku tidak akan mengusir orang-orang yang beriman. Aku (ini) hanyalah pemberi peringatan yang jelas.”  (asy-Syu’ar’/26: 111-115)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 30-31


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Hud Ayat 22-26

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 22-26 berbicara masih mengenai orang-orang yang merugikan dirinya sendiri. Mereka akan mendapatkan siksa di akhirat akibat dari perbuatannya. Berbanding terbalik dengan orang yang beriman dan beramal saleh.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 18-21


Dalam Tafsir Surah Hud Ayat 22-26 juga dijelaskan mengenai kisah Nabi Nuh a.s dan para pengikutnya yang menyembah berhala.

Ayat 22

yang paling rugi di akhirat, karena telah menukar kenikmatan surga dengan api neraka yang sangat panas, menukar minuman yang lezat dengan minuman yang membakar, dan meninggalkan hidup senang dan bahagia dengan hidup menderita dalam neraka, yang penuh dengan azab yang tidak ada putus-putusnya.

Ayat 23

Berlainan sekali dengan nasib orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Mereka selalu berserah diri kepada Allah dengan patuh dan taat kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, mengerjakan berbagai kebajikan di dunia, melaksanakan ketaatan pada Allah dengan tulus ikhlas dan meninggalkan segala yang mungkar.

Mereka itu adalah penghuni-penghuni surga yang tidak akan keluar lagi darinya, dan mereka tidak akan mati, bahkan kekal di dalamnya untuk selama-lamanya.

Ayat 24

Dalam ayat ini, Allah swt menjelaskan bahwa perumpamaan kedua golongan itu, yaitu golongan orang-orang kafir dan orang-orang mukmin, adalah seperti orang buta dan tuli dengan orang-orang yang melihat dan mendengar.

Orang tuli yang kehilangan indera pendengarannya tentu tidak dapat menangkap ilmu pengetahuan yang menjadi unsur pembeda antara manusia dengan hewan, dan orang yang buta karena kehilangan penglihatan tentu tidak dapat menyaksikan kebenaran yang dilihatnya.

Demikian pula orang yang kafir yang diserupakan dengan orang buta dan tuli itu, tentu saja tidak dapat disamakan dengan orang mukmin yang dapat mempergunakan kedua inderanya dengan sempurna.

Hal ini layak menjadi pelajaran yang berkesan mendalam dalam hati sanubari manusia sehingga setiap orang akan berusaha untuk dapat memanfaatkan penglihatan dan pendengarannya secara maksimal baik lahir maupun batin.


Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 11-14: Waspadai Firasat Buruk Orang Tua terhadap Anaknya!


Ayat 25

Pada ayat ini, Allah swt menerangkan bahwa Dia telah mengutus Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya yang ingkar dan durhaka kepada Tuhan dengan menyembah berhala. Nabi Nuh berkata kepada mereka, “Sesungguhnya aku memberi peringatan dari Allah, supaya kamu meninggalkan syirik dan beriman serta taat kepada-Nya.”

Nama Nabi Nuh a.s. sebenarnya adalah Abdul Gaff±r bin Lamak bin Mutausyilkh bin Idris a.s. dan diutus sebagai nabi setelah Nabi Idris a.s. Namanya yang terkenal adalah Nuh karena banyak merintih, yang menggambarkan banyaknya kesulitan yang dihadapi dalam melaksanakan dakwah pada kaumnya yang musyrik.

Menurut Ibnu Abbas r.a., Nabi Nuh diutus pada awal umur beliau 40 tahun dan terus-menerus melaksanakan dakwah kepada kaumnya selama 950 tahun. Nabi Nuh a.s. antara lain berkata kepada kaumnya, “Innī na©īrun mubīn” (Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu).

Maksudnya, Nabi Nuh memperingatkan kaumnya akan beratnya siksaan Allah yang akan menimpa mereka karena kekafiran mereka. Maka Nabi Nuh menyuruh kaumnya agar beriman dan taat kepada-Nya.

Ayat 26

Peringatan ini dijelaskan dengan kata-kata, “Supaya kamu sekalian jangan menyembah kecuali kepada Allah, dan jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, dan aku khawatir jika kamu melanggar dasar agama itu, kamu akan ditimpa azab yang pedih sekali.”

Pada ayat ini diungkapkan peringatan Nabi Nuh a.s. kepada kaumnya, ketika ia berkata, “Hendaklah kamu semua tidak beribadah kecuali kepada Allah, dan jangan kamu menyekutukan-Nya. Sungguh aku khawatir karena kamu semua banyak melakukan pelanggaran terhadap aturan agama, sehingga kamu akan ditimpa azab yang pedih.”

Kaum Nuh adalah umat yang pertama kali menyembah berhala dan mengadakan kemusyrikan. Nabi Nuh sendiri adalah rasul yang pertama menghadapi orang-orang musyrik, yang diutus Allah kepada kaumnya.

Peringatan Nabi Nuh itu didasarkan atas kekhawatirannya, jika kaumnya tidak bertauhid kepada Allah, dan tidak meninggalkan semua bentuk kemusyrikan, mereka akan ditimpa azab yang sangat pedih. Akan tetapi kaum Nabi Nuh menentang seruan nabinya dengan empat alasan yang dibuat-buat sebagaimana dikemukakan pada ayat berikutnya (ayat 27).


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 27-29


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al A’raf ayat 128-130

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 128-130 mengisahkan tentang ancaman Fir’aun terhadap Bani Isra’il yang berdian diri di Mesir. Pada ayat 129 dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 128-130 ini Bani Israil meminta pertolongan Nabi Musa, sedangkan pada ayat 130 dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 128-130 dijelaskan pula bentuk-bentuk cobaan yang menimpa Fir’aun.


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun


Ayat 128

Dapat dimengerti, mendengar ancaman Fir’aun ini Bani Israil yang berdiam di Mesir pada masa tersebut merasa takut dan amat gelisah, ancaman ini terbukti kemudian, mereka diperlakukan sebagai budak. Di samping itu, setiap anak lelaki yang mereka lahirkan dibunuh oleh kaki tangan Fir’aun. Oleh sebab itu Nabi Musa as berkata kepada mereka: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, diwariskan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan kesudahan yang baik adalah untuk orang-orang yang bertakwa”.

Nabi Musa menghibur dan menenteramkan kaumnya dengan mengingatkan kepada mereka kekuasaan Allah, bahwa Dialah yang memiliki dan menguasai bumi, dan segala apa yang terjadi di bumi ini adalah sesuai dengan Sunnah-Nya, yaitu setiap umat yang ingkar dan zalim pasti menemui kehancuran, dan setiap umat yang beriman dan bersabar tentu akan memperoleh pertolongan-Nya, sehingga memperoleh kemenangan dan kesudahan yang baik. Sebab itu hendaklah mereka memohon pertolongan kepada-Nya, disertai dengan kesabaran, keimanan, persatuan dan keberanian dalam membela kebenaran dan keadilan.

Ucapan Nabi Musa ini selain menimbulkan harapan tentang pertolongan Allah serta rahmat-Nya untuk membebaskan mereka dari kekejaman Fir’aun serta menjadikan Bani Israil sebagai penguasa di belakang hari di bagian bumi yang telah dijanjikan Tuhan kepada mereka, juga mengandung suatu peringatan yang sangat penting bagi kaumnya, yaitu apabila di belakang hari mereka menjadi penguasa, janganlah berbuat sewenang-wenang seperti Fir’aun dan para pembesarnya, karena Allah senantiasa mengawasi perbuatan dan tindak-tanduk dari setiap makhluk-Nya, oleh sebab itu, apabila mereka berkuasa dan melakukan kezaliman pula, pastilah Allah mendatangkan azab kepada mereka.

Ayat ini mengandung pelajaran yang sangat berharga, tentang sikap manusia pada waktu ia sedang menghadapi penderitaan tersebut, atau sebelum mereka memperoleh rahmat Allah, dan pada waktu setelah memperoleh rahmat tersebut. Sikap yang amat tercela ialah berkeluh kesah dan memohon pertolongan Allah pada waktu memperoleh kesusahan, dan kemudian mengingkari atau melupakan rahmat Allah setelah memperolehnya.

Sikap yang seharusnya dilakukan ialah sabar dan tawakal serta memohon pertolongan Allah pada waktu menghadapi kesukaran, dan mensyukuri rahmat Allah setelah memperoleh kebahagiaan. Mensyukuri rahmat Allah, tidak hanya dengan ucapan, melainkan yang terpenting ialah melaksanakan dengan perbuatan. Sebab itu, apabila seseorang memperoleh kekuasaan, kemudian kekuasaannya itu digunakan untuk berbuat kezaliman atau memperkaya diri sendiri atas kerugian orang lain, maka ini berarti bahwa ia tidak mensyukuri rahmat Allah yang diperolehnya, yaitu pangkat dan kekuasaan, dan karenanya telah sepatutnyalah bila Allah menimpakan azab kepadanya.

Ayat 129

Bani Israil mengeluh kepada Musa a.s, bahwa nasib mereka sama saja, baik sebelum kedatangan Musa a.s, untuk menyeru mereka kepada agama Allah dan melepaskan mereka dari perbudakan Fir’aun maupun sesudahnya. Mereka merasa tidak mendapat faedah dari kedatangan Nabi Musa as itu. Dahulu mereka diazab dan diperbudak oleh Fir’aun, anak-anak mereka dibunuh, mereka disuruh kerja paksa, sekarang pun demikian. Keluhan ini menunjukkan kekerdilan jiwa dan kelemahan daya juang dan tidak adanya kesabaran pada mereka.

Mendengar keluhan ini, maka Nabi Musa berkata, “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuh kamu dan menjadikan kamu khalifah di bumi, maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu,” maksudnya: meskipun yang terjadi demikian akan tetapi harapan bahwa Allah akan membinasakan musuh-musuhmu, dan menjadikan kamu berkuasa di bagian bumi yang telah dijanjikan Tuhanmu harus tetap ada.

Di dalam ucapan kepada kaumnya, Nabi Musa as memakai ungkapan “mudah-mudahan.” Ia memakai ungkapan tersebut untuk tidak memastikan datangnya pertolongan dan rahmat Allah kepada mereka. Sebab andaikata ia menggunakan ungkapan yang memastikan, boleh jadi umatnya akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang perlu mereka lakukan untuk memperoleh pertolongan Allah, karena pertolongan Allah kepada hamba-Nya tidaklah diberikan begitu saja, melainkan tergantung kepada usaha-usaha yang dilakukan umat yang bersangkutan, misalnya kesungguhan, disiplin, persatuan, dan sebagainya.

Ayat 130

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa cobaan yang ditimpakan kepada Fir’aun berupa musim kemarau yang panjang, yang mengakibatkan timbulnya kesulitan hidup bagi mereka, cobaan ini seharusnya menimbulkan keinsafan dalam hati mereka, bahwa kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki selama ini bukanlah merupakan kekuatan dan kekuasaan tertinggi, masih ada kekuatan dan kekuasan Allah Yang Kuasa mendatangkan azab yang tidak dapat mereka atasi. Jika ada kesadaran semacam itu dalam hati mereka tentu mereka akan mengubah sikap dan perbuatan mereka, terutama kepada Bani Israil. Di samping itu, mereka menerima seruan Nabi Musa serta meninggalkan keingkaran mereka terhadap Allah.

Azab yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya senantiasa mengandung pelajaran dan pendidikan. Sebab, pada saat manusia menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup, hatinya akan menjadi lembut, akan menghadapkan wajahnya kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk memohon pertolongan dan belas kasih-Nya. Di samping itu, ia juga akan berusaha memperbaiki tingkah lakunya dengan melakukan perbuatan yang diridai Allah. Akan tetapi, bila kesulitan dan kesukaran itu tidak mengubah sikap dan tingkah lakunya, dan tetap ingkar kepada Allah serta senantiasa berbuat kemaksiatan, maka mereka benar-benar orang yang merugi dan amat sesat karena kesulitan yang mereka hadapi tidak menimbulkan keinsafan dan kesadaran bagi mereka, bahkan sebaliknya menambah keingkaran dan kedurhakaan mereka terhadap Allah. Demikianlah keadaan Fir’aun dan para pengikutnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Surat Ar-Rum [30] Ayat 30: Mengesakan Allah SWT adalah Fitrah Manusia


Tafsir Surah Hud Ayat 18-21

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 18-21 berbicara mengenai orang-orang yang merugikan dirinya sendiri. Orang-orang seperti ini disebut dengan orang yang zalim terhadap dirinya sendiri. Misalnya dengan mendustakan hukum Allah dan menghalangi manusia dari jalan Allah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 15-17


Ayat 18

Allah swt menjelaskan bahwa orang-orang yang paling aniaya terhadap dirinya dan terhadap orang lain ialah mereka yang berbuat dusta kepada Allah dengan ucapan dan perbuatan yakni mereka yang mendustakan hukum Allah dan sifat-sifat-Nya atau yang mengangkat pemimpin-pemimpin mereka sebagai penolong-penolong yang dapat memberi syafaat di akhirat tanpa izin Allah.

Selain itu adalah mereka yang beranggapan bahwa Allah mempunyai anak seperti anggapan orang-orang Arab Jahiliyah bahwa malaikat-malaikat itu anak-anak perempuan Allah dan anggapan orang-orang Nasrani bahwa Nabi Isa a.s. itu anak Allah, atau mereka yang mendustakan rasul-rasul Allah dengan maksud menghalangi manusia beriman.

Pada hari Kiamat segala amal perbuatan mereka akan dihadapkan ke hadirat Allah untuk diadili. Ketika itu, para malaikat, para nabi, dan orang-orang mukmin yang saleh akan tampil sebagai saksi bahwa mereka adalah orang-orang yang membuat dusta terhadap Allah.

Dengan persaksian itu, akan terbongkarlah kepalsuan-kepalsuan mereka, dan mereka akan dikutuk oleh Allah sebagai balasan dari kezaliman mereka.

 Allah berfirman:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ الظّٰلِمِيْنَ مَعْذِرَتُهُمْ وَلَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوْۤءُ الدَّارِ   ٥٢

(Yaitu) hari ketika permintaan maaf tidak berguna bagi orang-orang zalim dan mereka mendapat laknat dan tempat tinggal yang buruk. (al-Mu’min/40: 52)

Ayat 19

Kemudian Allah swt menjelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang yang zalim itu ialah yang menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dan memalingkan mereka dari agama yang benar dan jalan yang lurus.

Mereka berusaha menyesatkan manusia dengan cara mengajak mereka kepada agama yang menyimpang agar mereka lari menjauhkan diri dari agama yang benar. Mereka sengaja berbuat demikian, karena pada dasarnya mereka tidak percaya pada hari akhirat.

Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَصَدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ زِدْنٰهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوْا يُفْسِدُوْنَ   ٨٨

Orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan demi siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan. (an-Nahl/16: 88)


Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 43-44: Kuasa Allah Swt dan Bahtera Nabi Nuh As


Ayat 20

Allah, tidak akan dapat melarikan diri dari siksa Allah, walaupun mereka lari ke penjuru bumi yang mana pun.

Bilamana azab itu datang menimpa mereka, mereka pasti berada dalam genggaman malaikat dan tidak ada seorang pun yang dapat menolong atau menyelamatkan mereka dari azab itu, bahkan azab Allah akan ditimpakan dua kali lipat; pertama karena kesesatannya dan kedua karena menyesatkan orang lain.

Dan juga karena mereka tidak mau mendengarkan seruan Al-Qur’an dan melihat kebenaran, karena dirinya telah diliputi oleh akidah yang sesat, kemusyrikan, dan kezaliman, bahkan mereka bersikap negatif terhadap seruan Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan Allah:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَا تَسْمَعُوْا لِهٰذَا الْقُرْاٰنِ وَالْغَوْا فِيْهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُوْنَ  ٢٦

Dan orang-orang yang kafir berkata, ”Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka).” (Fussilat/41: 26)

Ayat 21

Sesudah itu Allah swt menjelaskan bahwa mereka yang mempunyai sifat seperti itu adalah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri.

Mereka disingkirkan dari rahmat Allah, karena membuat-buat dusta, menukar petunjuk dengan kesesatan, dan menyembah berhala, yang sama sekali tidak dapat memberi mudarat atau manfaat, sehingga hilang lenyaplah dari mereka apa yang selalu mereka harap-harapkan.

Allah berfirman:

وَمَنْ يَّهْدِ اللّٰهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِۚ وَمَنْ يُّضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِهٖۗ وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ عَلٰى وُجُوْهِهِمْ عُمْيًا وَّبُكْمًا وَّصُمًّاۗ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُۗ  كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنٰهُمْ سَعِيْرًا  ٩٧

Dan barang siapa diberi petunjuk oleh Allah, dialah yang mendapat petunjuk, dan barang siapa Dia sesatkan, maka engkau tidak akan mendapatkan penolong-penolong bagi mereka selain Dia. Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari Kiamat dengan wajah tersungkur, dalam keadaan buta, bisu, dan tuli. Tempat kediaman mereka adalah neraka Jahanam. Setiap kali nyala api Jahanam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka. (al-Isrā’/17: 97)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 22-26


(Tafsir Kemenag)

Masail Al-Qur’an: Buku yang Menjawab Problem Umat Terkait Al-Qur’an

0
Masail Al-Qur’an: Buku yang Menjawab Problem Umat
Masail Al-Qur’an: Buku yang Menjawab Problem Umat

Sebagai kitab suci, Al-Qur’an selalu bersinggungan dengan kehidupan umat Muslim di berbagai belahan dunia. Persinggungan itu mencakup berbagai aspek, baik dalam hal penafsiran, cara membaca, cara menulis, hingga cara menjaga adab terhadapnya. Saking kompleksnya, acap kali umat muslim menemukan sikap yang problematik saat berinteraksi dengan Al-Qur’an. Untuk menjawab problem tersebut, nampaknya kita perlu membaca buku Masail Al-Qur’an yang diterbitkan oleh pesantren Lirboyo, Kediri Jawa Timur.

Buku Masail Al-Qur’an merupakan kumpulan 250 pertanyaan dan jawaban seputar Al-Qur’an dan hal apapun yang berkaitan dengannya. Buku ini ditulis oleh santri Lirboyo bernama M. Fathu Lillah yang diterbitkan pada tahun 2017. Buku dengan tebal 234 halaman ini juga mendapatkan kata pengantar dari KH. Abdullah Kafabih Mahrus Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo & Rektor Institut Agama Islam Tribakti Kediri, serta Kiai Nur Salim Habibi Pengasuh PP Hidayatul Mubtadiin Gelumbang Sumatera Selatan.

Sebelum mengulas konten buku ini, nampaknya kita patut mengulas sedikit tentang Pondok Pesantren Lirboyo. Dalam catatan di alif.id dengan judul Lirboyo, Literasi dan Genealogi Intelektual Pesantren, Sholihun Kasim mengulas bagaimana peran aktif Lirboyo dalam menggerakkan literasi. Para alumni yang menjadi tokoh ternama pun turut lahir dari tradisi ini, di antaranya yaitu KH A Mustofa Bisri, KH Husein Muhammad hingga KH Said Aqil Siradj. Disebut juga bahwa akar tradisi literasi di Lirboyo telah dimulai oleh pendahulunya yakni KH Abdul Karim, KH MArzuqi Dahlan dan KH Mahrus Aly. Seiring berjalannya waktu, buku terbitan Lirboyo dan alumninya menjadi semarak di ranah publik, salah satunya Masail Al-Qur’an ini.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Ke Manakah Kita Mengarahkan Pandangan Mata saat Salat?

Konten buku Masail Al-Qur’an

Buku ini secara jumlah mencakup 250 problem yang terbagi ke dalam 10 bab utama. Bab pertama membahas tentang ta’awudz dan basmalah yang terdiri dari 16 persoalan. Bab kedua berkaitan dengan membaca Al-Qur’an dengan 94 persoalan. Bab ketiga berjudul membawa dan menyentuh Al-Qur’an dengan 33 persoalan. Bab keempat berkaitan menulis atau tulisan Al-Qur’an dengan 28 persoalan. Bab kelima tentang belajar mengajar Al-Qur’an dengan 29 persoalan. Bab keenam terkait hafal atau menghafal Al-Qur’an dengan 11 persoalan.

Selanjutnya bab ketujuh berjudul Khataman Al-Qur’an dengan 5 persoalan. Bab kedelapan mengenai tafsir Al-Qur’an dengan 4 persoalan. Bab kesembilan berkaitan dengan hadis keutamaan orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an dengan 5 persoalan. Bab terakhir atau kesepuuh lebih umum dengan judul lain-lain yang mencakup 34 persoalan.

Dari persebaran bab dan subbab tersebut, buku ini jelas merekam interaksi ideal umat muslim terhadap kitab sucinya. Tentu, keidealan ini merujuk pada praktek tradisi dan keilmuan yang mu’tabar serta berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, buku ini berefrensi pada kitab-kitab yang sering kali digunakan dalam bahtsul masa’il (diskusi membahas berbagai problem keagamaan) di pesantren. Di antaranya yaitu Ianatut Thalibin karya Sayyid Abi Bakr Syatha’, Kasyful Qina’ ala Matn al-Iqna’ karya Manshur bin Yunus Al-Hambali, Hasyiyah al-Baijury karya Ibn Qasim al-Ghazy Al-Baijury, Nihayah az-Zain fi irsyad al-Mubtadiin anggitan Syekh Nawawi Al-Bantani, Al-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an karya an-Nawawy, dan lain sebagainya.

Baca juga: Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Nabi dan Sahabat (1)

Model penyajian buku ini pun khas ala kompilasi hasil bahtsul masa’il di pesantren-pesantren salaf. Setiap persoalan diberi judul dengan huruf kapital yang tebal, kemudian bawahnya dicantumkan pertanyaan serta jawabannya. Jawaban yang disampaikan pun singkat sesuai pertanyaan dengan tambahan kutipan dari kitab yang dijadikan rujukan. Kutipan itu ditampilkan dengan bahasa Arab dan terjemahannya. Saya kira ini yang menjadi keunikan dari buku ini. Dengan konten yang singkat dan padat, pembaca dapat mengetahui secara cepat jawaban dari persoalan yang ada. Tentu, penyajian seperti ini tidak membahas secara rinci bagaimana langkah per langkah hingga mendapatkan jawaban tersebut.

Contoh penyajian buku Masail Al-Qur’an

Pada bab membaca Al-Qur’an terdapat subbab “Maksud membaca tartil dalam ayat wa rattilil qurana tartila”. Jawaban dari persoalan ini yaitu, maksudnya ialah memperjelas huruf-hurufnya serta bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya.

أَيْ تَبْيِيْنُ حُرُوْفِهَا وَ الثَّانِيْ فِيْ أَدَائِهَا لِيَكُوْنَ اَدْعَى إِلَى فَهْمِ مَعَانِيْهَا

Disebut dalam keterangan bahwa ini kutipan ini merujuk pada kitab Fathul Baari karangan Ibnu hajar Al-Asqalani pada juz 9 halaman 89. Adapun terjemah dari kutipan tersebut yaitu memperjelas huruf-hurufnya dan bersungguh-sungguh dalam mengucapkannya supaya lebih bisa mendorong terhadap pemahaman makna-makna ayat yang sedang dibaca.

Di sini penulis buku tidak melakukan analisis terkait kutipan tersebut, seperti melakukan perbandingan dengan kitab lain atau analisis lainnya. Namun buku ini cukup menjadi solusi atas problem umat yang ada. Terlebih persoalan yang ditampilkan berdasarkan kejadian yang dekat dengan umat. Kita ambil contoh juga beberapa persoalan yang dijawab, seperti menulis undangan atau tas plastik yang terdapat tulisan ayat Al-Qur’an, memakai pakaian yang bermotif ayat Al-Qur’an, dan orang berhadats menyentuh kaligrafi Al-Qur’an hiasan. Ini merupakan kasus-kasus yang sering kali kita temui di tengah masyarakat.

Demikian ulasan singkat terkait buku masail Al-Qur’an. semoga bermanfaat. Wallahu a’lam[]

Pelaksanaan Puasa Bagi Musafir, Orang Yang Sakit, Orang Tua, dan Ibu Hamil

0
Orang yang sakit
Puasa bagi Orang yang sakit

Allah swt melalui Al-Qur’an telah memberitahukan kewajiban puasa bagi orang-orang yang beriman, baik umat nabi Muhammad saw maupun umat nabi terdahulu. Kewajiban puasa bahkan menempati posisi ketiga setelah syahadat dan shalat lima waktu. Kendati demikian, ada beberapa golongan yang diberi kemudahan pelaksanaan puasa, yakni orang yang sakit, musafir, orang tua, ibu hamil dan menyusui.

Padas dasarnya, kewajiban puasa berlaku atas seluruh umat Islam yang mukallaf, yakni muslim dewasa yang sehat akalnya (al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh). Hal ini telah disebutkan oleh Allah swt dalam surah al-Baqarah [2] ayat 183 yang bermakna, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Syarat, Rukun Puasa Ramadan, dan Alasan Niat di Malam Hari

Namun pada ayat setelahnya, yakni surah al-Baqarah [2] ayat 183, Allah swt memberikan kemudahan pelaksanaan puasa bagi orang yang sakit dan musafir dengan firman-Nya:

اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗ ۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ١٨٤

 “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Menurut Quraish Shihab, surah al-Baqarah [2] ayat 183 berisi tentang kemudahan pelaksanaan puasa bagi dua golongan, yakni orang yang sakit dengan sakitnya tersebut menjadi berat melaksanakan puasa atau orang yang khawatir (dengan keyakinan) kesehatannya akan terganggu jika ia berpuasa dan orang yang sedang dalam perjalanan (musafir).

Keduanya boleh tidak melaksanakan puasa selama berada pada kesulitannya tersebut dan wajib menggantinya di hari lain, baik berturut-turut maupun tidak, sebanyak hari yang ditinggalkan. Misalnya, jika seseorang sakit atau bepergian selama 7 hari tertentu dan ia tidak melaksanakan puasa kala itu, maka ia wajib mengganti puasa sebanyak 7 hari pula secara berturut turut ataupun tidak (Tafsir al-Misbah [1]: 402).

Pandangan serupa disampaikan oleh al-Sa’adi dalam tafsirnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan. Menurutnya, melalui ayat ini Allah swt ingin memberi kemudahan pelaksanaan puasa bagi orang yang sakit dan musafir dengan menggantinya di lain waktu, karena pada saat tersebut keduanya sedang mengalami kesulitan. Alasan inilah yang menjadi dasar diberikannya kemudahan atau rukhsah.

Kemudian, apabila seseorang mengalami kesulitan untuk berpuasa, baik karena usia lanjut maupun alasan lain seperti penyakit yang membuatnya tidak mampu berpuasa, maka ia boleh menggantikan puasanya dengan membayar fidyah, yakni memberi makan seorang miskin sebanyak satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkannya (al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhi).

Ada hal menarik terkait pembahasan ini di mana Quraish Shihab memasukkan kategori orang yang kesulitan dalam melaksanakan puasa akibat pekerjaan berat yang harus atau mesti dilakukan dan bila itu ditinggalkan akan menyulitkan keluarganya. Bagi Quraish Shihab, orang semacam ini boleh mengganti puasanya dengan fidyah (Tafsir al-Misbah [1]: 402).

Menurut Syekh Nawawi dalam kitabnya, Tafsir Marah Labid, bagian surah al-Baqarah [2] ayat 183 berkenaan fidyah bermakna, “dan orang-orang yang mampu melaksanakan puasa namun disertai kesulitan boleh membayar fidyah.” Ia juga menegaskan barang siapa membayar fidyah lebih dari kewajibannya atau puasa disertai fidyah, maka ia akan mendapatkan pahala yang lebih.

Berkenaan kewajiban puasa pada ayat ini, Imam al-Syaukani berpendapat bahwa kemudahan pelaksanaan puasa diberikan atas dasar al-masyaqat atau kesulitan. Karena hal itulah, ibu hamil dan menyusui juga dibolehkan untuk mengganti puasanya di lain hari atau membayar fidyah sebagai tebusan atas puasa yang ditinggalkan (Nail al-Authar [2]: 384).

Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis yang bermakna, “Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa.” (HR. Ahmad). Berdasarkan hadis ini pula para ulama berpendapat ibu hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa dan mereka wajib menggantinya di lain waktu atau membayar fidyah.

Baca Juga: Mengulik Makna Puasa Ramadhan: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183

Namun ulama berbeda pendapat berkenaan dengan apakah ibu hamil dan menyusui cukup membayar fidyah saja atau tetap mengganti puasa. Setidaknya ada tiga pendapat terkait masalah ini, yakni: pertama, keduanya wajib mengganti puasa tanpa harus membayar fidyah (al-Mabshut [3]: 99). Kedua, membayar fidyah tanpa mengganti puasa sebagaimana pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Ketiga, mengganti puasa dan membayar fidyah (al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab [6]: 275).

Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama, kewajiban puasa ditanggung oleh seluruh umat Islam. Namun ada beberapa golongan yang diberi kemudahan pelaksanaan puasa, yakni orang sakit, musafir, orang tua, ibu hamil dan menyusui. Keringanan ini ada dua bentuk: pertama, mengganti puasa di lain hari bila mampu. Kedua, jika tidak mampu berpuasa (diketahui dengan yakin), khususnya bagi orang tua, orang sakit dan ibu hamil, maka boleh diganti dengan fidyah. Wallahu a’lam.

Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Nabi dan Sahabat (1)

0
Peta kajian tafsir di Yaman
Peta kajian tafsir di Yaman

Pada masa pra-Islam, kawasan Yaman dipenuhi oleh komunitas masyarakat yang terpolarisasi ke dalam tiga kepercayaan, yaitu penyembah berhala (al-watsaniyah), Yahudi (al-yahudiyah), dan Nasrani (al-nashraniyah). Namun, kondisi tersebut berubah ketika Nabi Muhammad diutus ke Jazirah Arab. Tatkala kabar kedatangan Nabi dengan agama barunya tersebut terdengar di telinga masyarakat Yaman, mereka langsung menyambut kabar tersebut dengan sangat antusias. Momen itu sekaligus menjadi pembuka cakrawala kajian tafsir di masa Nabi, yang selanjutnya diteruskan oleh Para Sahabat.

Sementara itu, bentuk antusiasme masyarakat Yaman dalam menerima dakwah Islam tersebut sebelumnya telah diisyaratkan dalam QS. al-Ma’idah [5]: 54, sebagaimana kutipan riwayat yang disampaikan Ibnu Abi Hatim al-Razi dalam karyanya Tafsir Al-Quran al-al-‘Adzim:

عَنْ جابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ عَنْ قَوْلِهِ﴿ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهم ويُحِبُّونَهُ ﴾قالَ :هَؤُلاءِ قَوْمٌ مِنْ أهْلِ اليَمَنِ، ثُمَّ مِنْ كِنْدَةَ، ثُمَّ مِنَ السَّكُونِ، ثُمَّ مِنْ تُجِيْبَ.

“Dari Jabir ibn Abdillah, ia berkata: Rasulullah ditanya mengenai ayat (maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya). Beliau kemudian bersabda: mereka adalah sebuah kaum dari penduduk Yaman, kemudian dari penduduk daerah Kindah, al-Sukun, dan Tujib”

Dalam kitab al-Tafsir fi al-Yaman: ‘Ardlun wa Dirasah karya Ali ibn Hassan, dijelaskan bahwa wujud antusiasme tersebut dapat dibuktikan dari banyaknya utusan delegasi dari kabilah-kabilah di Yaman yang rela hijrah ke Madinah guna bertemu dan belajar kepada Nabi Muhammad secara langsung. Beberapa kabilah yang mengutus delegasi kepada Nabi antara lain adalah kabilah al-Asy’ariyyin, Hamdan, Kindah, Ma’afir, Himyar, Hadhramaut, Murad, Azad, Khaulan, Zabid, dan kabilah al-Abna’.

Baca juga: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir al-Qur’an Mekkah Masa Tabiin

Sesampainya di Madinah, para utusan delegasi kabilah tersebut mendengarkan dengan baik ilmu-ilmu yang disampaikan oleh Nabi kepada mereka. Hingga akhirnya tatkala mereka kembali ke Yaman, merekalah yang mengajarkan dasar-dasar keislaman kepada masyarakat Yaman sebagaimana yang telah mereka dapatkan dari Nabi. Tidak berhenti disitu, Nabi juga mengutus beberapa pembesar sahabat untuk berdakwah dan mengajarkan Al-Quran di Yaman. Diantara nama sahabat yang diutus Nabi tersebut antara lain adalah:

Ali ibn Abi Thalib

Nabi Muhammad mengutus keponakanya sendiri yaitu Ali ibn Abi Thalib ke daerah Yaman sebanyak tiga kali: pertama, Ali diutus oleh Nabi ke Yaman pada bulan Jumadil Ula tahun 9 H. Pada masa penugasan pertama tersebut, Ali ditugaskan menjadi juru dakwah (da’i) Islam di tanah Yaman. Sebelum berangkat ke Yaman, Ali terlebih dahulu ke Najran untuk mengambil sedekah dari Khalid ibn Walid. Setelah dari tempat tersebut, Ali kemudian melanjutkan perjalanan ke San’a untuk mendakwahkan Islam ke masyarakat kabilah Hamdan. Dalam proses dakwah tersebut Ali tidak sendirian, ia ditemani dua sahabat lainya, yaitu al-Barra’ ibn ‘Azib, dan Baridah al-Aslami.

Kedua, pada periode pengutusan kedua, Ali diutus oleh Nabi Muhammad ke Yaman pada bulan Ramadhan tahun 10 H. Berbeda dengan kunjungan pertama, pada kali kedua ini Ali diutus sebagai hakim (qadli). Karena memang sebagian masyarakat Yaman (khususnya kabilah Hamdan) telah masuk Islam pada masa kunjungan pertama. Sehingga memerlukan seorang tokoh sahabat guna mengatur kehidupan sosial masyarakat Yaman agar sesuai dengan panduan hukum yang berasal dari Al-Quran dan Hadis Nabi.

Baca juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Madinah

Ketiga, Ali diutus kembali ke Yaman pada masa pemerintahan khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Untuk kali ketiga ini, Ali diutus sebagai seorang pengajar (mu’allim) yang ditugaskan untuk mengajarkan Al-Quran dan ilmu-ilmu keislaman di beberapa tempat seperti Tihamah, al-Mashani’, Hadlur, Ardl ‘Ak, dan daerah Yaman lainya.

Mu’adz ibn Jabal

Nabi Muhammad mengutus Muadz ibn Jabal ke Yaman pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 9 H. Pada saat itu, Muadz ibn Jabal diutus oleh Nabi agar berdakwah kepada kerajaan Himyar dan masyarakat kabilah al-Sakasik. Bertepatan pada bulan Jumadil Akhir, Muadz ibn Jabal tiba di daerah Jennad, Yaman dan menyampaikan pesan Nabi kepada masyarakat bani al-Aswad yang sebelumnya telah memeluk Islam. Kemudian, pada awal hari jum’at bulan Rajab, Muadz ibn Jabal mengumpulkan masyarakat dan memberikan khutbah sholat jum’at.

Tepat pada tempat berkumpulnya masyarakat tersebut, Muadz ibn Jabal kemudian mendirikan masjid yang kemudian dikenal saat ini dengan nama Masjid Mu’adz, Jennad. Selama di Yaman, Muadz ibn Jabal merangkap sebagai hakim sekaligus guru agama secara bergantian. Salah satu yang menjadi titik fokus kajian yang diajarkan Mu’adz ibn Jabal kepada masyarakat Yaman adalah berkaitan dengan Al-Quran dan ragam ilmu keislaman lainya. Praktik yang demikian dilakukan oleh Mu’adz ibn Jabal di Yaman hingga masa kekhilafahan Abu Bakar al-Shiddiq.

Abu Musa al-Asy’ari

Dijelaskan oleh Abdul Hamid Mahmud Thahmaz dalam karyanya yang berjudul Abu Musa al-Asy’ari al-Shahabi al-’Alim al-Mujahid, bahwasanya Abu Musa al-Asy’ari diutus oleh Nabi ke Yaman pada waktu setelah perang Tabuk. Sedangkan dalam riwayat yang disampaikan Imam al-Bukhari, Abu Musa diutus pada waktu sebelum haji wada’. Proses pengutusan Abu Musa al-Asy’ari tersebut merupakan hasil permintaan dari dua orang kabilah al-Asy’ariyyin kepada Nabi Muhammad. Ada juga yang berpendapat bahwa yang meminta adanya pengutusan sahabat tersebut adalah delegasi kerajaan Himyar tatkala di Madinah.

Berbeda dengan dua pembesar sahabat sebelumnya, Abu Musa al-Asy’ari diutus oleh Nabi khusus untuk menyampaikan dan mengajarkan firman-firman Allah yang termaktub dalam Al-Quran kepada segenap masyarakat Yaman. Sebagaimana dalam riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad berikut:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م. بَعَثَ مُعَاذًا وَأَبَا مُوْسَى إِلَى الْيَمَنِ، فَأَمَرَهُمَا أَنْ يُّعَلِّمَا النَّاسَ القُرْآنَ

“Sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus Muadz dan Abu Musa ke Yaman, kemudian menyuruh mereka berdua untuk mengajarkan manusia (penduduk Yaman) tentang Al-Quran”

Selain tiga nama pembesar sahabat Nabi tersebut, terdapat juga para sahabat lain yang juga diutus Nabi dan ikut serta dalam mengembangkan khazanah keislaman di Yaman, semisal Jarir ibn Abdillah al-Bajli, ‘Ukasyah ibn Tsaur al-Asdi, al-Muhajir ibn Abi Umayyah al-Makhzumi, Ziyad ibn Labid al-Bayadli, Khalid ibn Sa’id al-Qarsyi, Ya’la ibn Umayyah al-Tamimi, al-Thahir ibn Abi Halah al-Tamimi, dan ‘Amir ibn Syahr al-Hamdani.

Baca juga: Perbedaan Fungsi Mushaf dan Tafsir dalam Internal Umat Islam

Keberadaan tiga pembesar sahabat Nabi dan para sahabat lainya tersebut menjadi semacam periode awal atau periode formatif dari periodisasi genealogi kajian tafsir di Yaman. Periode ini sangat penting bagi perkembangan kajan tafsir kawasan Yaman, karena pada masa ini dasar-dasar pondasi dalam kajian Al-Quran beserta penafsiranya sedang dibangun oleh para sahabat Nabi. Selain itu, periode pertama ini juga akan menjadi dasar rujukan bagi generasi selanjutnya dalam melakukan pengembangan kajian tafsir di kawasan Yaman. Wallahu a’lam.

Tafsir Ahkam: Ke Manakah Kita Mengarahkan Pandangan Mata saat Salat?

0
Arah pandangan mata saat salat
Arah pandangan mata saat salat

Salah satu hal yang perlu diperhatikan saat menjalankan salat adalah ke arah manakah kita mengarahkan pandangan mata? Hal ini menjadi penting sebab itu menjadi salah satu cara untuk menjaga konsentrasi pada saat salat. Tanpa menjaga pandangan mata agar mengarah ke suatu arah tertentu, mata bisa saja justru tertarik melihat hal tertentu yang membuat pikiran dipenuhi hal-hal di luar salat.

Ulama telah menetapkan pentingnya mengarahkan pandangan mata ke arah tertentu pada saat salat. Hanya saja, mereka berbeda pendapat tentang arah yang dimaksud. Salah satunya disebabkan adanya ayat di dalam Al-Quran yang mendorong agar seluruh tubuh terfokus ke satu arah tertentu pada saat salat, yaitu ke arah kiblat. Berikut penjelasan lengkapnya.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 101: Dalil Salat Qasar

Pendapat Imam Malik tentang Arah Pandangan Mata

Imam An-Nawawi di dalam Al-Majmu’ Syarah Muhadzab menyatakan, ulama telah bersepakat dengan kesunnahan bersikap khusyuk serta rendah diri di dalam salat. Sikap khusyuk tersebut diwujudkan salah satunya dengan menjaga pandangan dari hal-hal yang mengganggu konsentrasi saat salat. Namun dalam praktiknya, ulama berbeda pendapat mengenai ke arah mana sebaiknya kita mengarahkan pandangan (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/3/314).

Sebagian ulama, yakni Mazhab Malikiyah menyatakan bahwa arah pandangan mata pada saat salat adalah arah depan. Ibn Katsir menjelaskan, pandapat ini muncul berdasar firman Allah yang berbunyi:

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ

Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Lalu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Di mana pun kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab benar-benar mengetahui bahwa (pemindahan kiblat ke Masjidilharam) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan (QS. Al-Baqarah [2]:144)

Lewat ayat di atas, Mazhab Malikiyah memahami perlunya mengarahkan pandangan ke arah depan. Sebab arah depan adalah arah kiblat. Yaitu arah dimana seseorang yang sedang salat diminta menghadapkan diri ke arah tersebut. Selain memakai ayat di atas, Mazhab Malikiyah juga berargumen bahwa di dalam mengarahkan pandangan ke arah bawah tatkala berdiri, membutuhkan usaha untuk agak membungkuk. Dan hal ini termasuk mengganggu kesempurnaan berdiri tatkala salat (Tafsir Ibn Katsir/1/461).

Imam Al-Qurthubi dari kalangan Mazhab Malikiyah menyatakan, Surat Al-Baqarah ayat 144 adalah dasar paling jelas bagi Imam Malik dan yang sependapat dengannya, yang menyatakan bahwa orang yang salat perlu mengarahkan pandangan matanya ke arah depan, bukan ke tempat sujud sebagaimana yang diyakini Mazhab At-Tsauri, Syafi’yah Dan Hanafiyah.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Salat Menghadap Kiblat dan Hukum Salat di Dalam Ka’bah

Imam Al-Qurthubi kemudian mengutip pernyataan Ibn ‘Arabi dari kalangan Malikiyah yang menyatakan, mengarahkan pandangan ke tempat sujud mengakibatkan kepala agak condong ke depan. Hal ini menciderai keharusan berdiri tegak pada anggota kepala. Padahal kepala adalah anggota tubuh yang paling mulia. Selain itu, memaksakan menegakkan kepala disertai mengarahkan pandangan kepala ke bawah adalah sebuah kesulitan yang tidak diinginkan oleh agama (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/2/160).

Perlulah diingat bahwa berbagai pernyataan di atas tampaknya berbicara tentang pendapat Mazhab Malikiyah, mengenai arah pandangan orang yang salat tatkala posisi berdiri. Untuk posisi lainnya, penulis belum menemukan referensi yang jelas soal hal ini.

Pendapat Mayoritas Ulama

Apa yang disampaikan oleh kalangan Mazhab Malikiyah berlawanan dengan pendapat mayoritas ulama. Syekh Wahbah Az-Zuhaili tatkala menafsiri Surat Al-Baqarah ayat 144 menyatakan, mayoritas ulama menyatakan bahwa saat posisi berdiri, pandangan diarahkan ke tempat sujud. Sedang pada  posisi selainnya, ulama berbeda pendapat. Sebagian menyatakan bahwa saat ruku’ memandang ke arah mata kaki, saat sujud ke arah ujung hidung, dan saat duduk ke arah pangkuan (Tafsir Al-Munir/2/25).

Baca juga: Mengulik Makna Puasa Ramadhan: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183

Berbagai uraian di atas menunjukkan kepada kita tentang keunikan totalitas Imam Malik dalam memahami perintah menghadap kiblat. Bahwa menghadap kiblat saat salat tidak hanya lewat tubuh saja, tapi juga dengan pandangan mata. Wallahu a’lam bish shawab.