Beranda blog Halaman 352

Nadirsyah Hosen dan Penafsiran Al-Qur’an di Media Sosial

0
Nadirsyah Hosen
Nadirsyah Hosen dan buku Tafsir Al-Quran di Medsos (ilustrasi: Republika)

Tidak dapat dihindari bahwa kehadiran media sosial telah menjadi arena tersendiri atas terjadinya fenomena penafsiran Al-Qur’an. Salah satu sarjana kontemporer yang aktif melakukan tafsir di media sosial adalah Nadirsyah Hosen. Media sosial yang ia gunakan di antaranya Facebook, Twitter, Instagram, yang kemudian penafsirannya tersebut dibukukan dengan judul Tafsir Al-Qur’an Medsos (2017).

Buku tersebut mengundang diskusi yang mendalam terkait fenomena penafsiran Al-Qur’an dan kehadiran media sosial. Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana media sosial memberi nuansa, kekhasan dan karakter tersendiri bagi aktifitas penafsiran Al-Qur’an?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya akan memanfaatkan penafsiran Nadirsyah Hosen, terutama karena ia telah membukukan penafsirannya yang semula berada di media sosial. Ini penting, karena perpindahan arena penafsiran berimplikasi pada perubahan kekhasan sebuah penafsiran.

Nadirsyah Hosen dan Buku Tafsir Media Sosialnya

Prof. Dr. H. Nadirsyah Hosen, L.L.M., M.A. (Hons), Ph.D., lahir 08 Desember 1973 dan biasa disapa Gus Nadir, merupakan seorang Kyai Nahdlatul Ulama sekaligus sarjana Islam kontemporer yang aktif mengamati perkembangan dan dinamika Islam di media sosial. Ia termasuk sarjana yang produktif menghasilkan karya tulisan, baik berbasis nasional maupun internasional.

Baca Juga: Jajang A Rohmana: Penguak Ekspresi Lokalitas Tafsir Al-Quran di Sunda

Menariknya, banyak karyanya yang terbilang (berupaya) menjangkau model trend masa kini, terutama dengan gaya bahasa yang ringan, tetapi isi yang sangat mendalam. Di antara karya-karya Nadirsyah Hosen adalah Saring sebelum Sharing (2019), Dari Hukum Makanan tanpa Label Halal hingga Memilih Mazhab yang Cocok (2015), dan Tafsir Al-Qur’an di Media Sosial: Mengkaji Makna dan Rahasia Ayat Suci pada Era Media Sosial, dan lainnya.

Dengan berfokus kepada buku Tafsir Al-Qur’an di Media Sosial, saya dapat membagi berbagai paparan dalam buku tersebut menjadi dua bagian: (1) penjelasan secara teoritis seputar penafsiran Al-Qur’an, dan (2) pengaplikasian penafsiran Al-Qur’an dengan berdasar pada isu-isu yang hangat dan sensitif di kalangan umat beragama Indonesia.

Yang termasuk bagian pertama adalah bab satu dari buku tersebut: Rahasia menghayati kitab suci Al-Qur’an, dengan sub bab di antaranya (1) bagaimana memahami Al-Qur’an?; (2) metode tafsir dalam Islam; (3) Logika, diplomasi dan berdebat dalam Al-Qur’an; (4) semua orang bisa memahami Al-Qur’an dan Hadis? (5) Tafsir yang terserak dari suara yang berbeda; dan seterusnya.

Adapun yang termasuk bagian kedua adalah mulai bab satu sampai bab akhir (lima) buku tersebut: Tafsir ayat-ayat politik, Menebar benih damai bersama Al-Qur’an, Al-Qur’an bergelimang makna, dan Benderang dalam cahaya Al-Qur’an, dengan berbagai sub bab yang termuat dalam setiap bab-bab tersebut.

Berbagai isi dari buku Nadirsyah Hosen di atas dapat dikatakan bahwa hanya ada dua pemahaman yang dapat diperoleh: (1) pemahaman tentang tafsir Al-Qur’an itu sendiri, dan (2) pemahaman tentang isu-isu kontemporer di Indonesia yang terangkat dalam penafsiran Nadirsyah Hosen. Artinya, buku ini sebenarnya tidak mewakili aktifitas penafsiran Nadirsyah Husen sebelumnya, yaitu tafsir di media sosial.

Tafsir di Media Sosial yang Memiliki Diskusi Tersendiri

Keberadaan tafsir Al-Qur’an di media sosial dalam bentuk buku menjadikan karakter media sosial penafsran Nadirsyah Hosen menjadi tidak jelas –jika enggang mengatakan hilang. Mengapa? Jelas jawabannya karena aspek-aspek media sosial tidak lagi muncul dalam buku tersebut. Ini bukan karena Nadirsyah Hosen sengaja menghilangkan aspek-aspek tersebut, tetapi aspek-aspek tersebut hilang dengan sendirinya.

Aspek-aspek media sosial yang dimaksud adalah segala sesuatu yang menjadi fitur media sosial seperti unggah foto, komentar, like/dislike, emoticon, bagikan, laporkan, simpang, dan seterusnya. Semua yang menjadi kekhasan media sosial tersebut kemudian berimplikasi pada penafsiran Al-Qur’an.

Lebih jauh, penafsiran yang dilakukan oleh pemilik akun seperti Nadirsyah Hosen akan dengan cepat mendapat tanggapan dari pembacanya (netizen). Dalam konteks ini, penulis tafsir dan pembaca tafsir berinteraksi langsung dengan saling menanggapi melalui, misalnya, ruang komentar –pada media sosial apapun. Menariknya lagi, hal ini menjadi interaksi langsung tetapi dilakukan secara tertulis.

Walter J. Ong dalam bukunya Orality and Literacy (2002) mengatakan bahwa tulisan mengalami bebas konteks, yang berimplikasi pada keterbukaan untuk dipahami secara beragam. Penulis dan pembaca tidak sedang dalam konteks yang sama. Bagaimanapun berusahanya, keduanya sebenarnya tetap berada dalam konteksnya masing-masing. Sehingga, penulis hanya menempatkan pembacanya berdasarkan kemampuan imajinasinya, demikian juga pembaca ke penulis. Inilah yang terjadi dalam interaksi penafsir dan pembaca di kolom komentar.

Saat yang sama, persoalan ‘keterbukaan dan keberagaman pemahaman’ dalam penafsiran Nadirsyah Hosen akan diuji ketika fitur komentar menjadi jalan menutup (baca: menyelesaikan) dan menjadi satu pemahaman yang disepakati oleh penafsir dan pembacanya. Di sinilah satu poin untuk kekhasan tafsir Al-Qur’an di media sosial, yang tidak dimiliki oleh buku tafsir Al-Qur’an di media sosial di atas. Dalam artian, tafsir di media sosial mengundang diskusi penafsiran, interaksi penafsir dan pembaca, dan media sosial itu sendiri.

Tidak hanya itu, interaksi penafsir dan pembaca akan lebih menarik jika disadari adanya peran konteks dan wacana yang terjadi sebelum dan setelah penafsir memosting tafsirannya. Konteks dan wacana ini akan menambah kekhasan tafsir Al-Qur’an di media sosial. Ini karena wacana mempengaruhi munculnya sebuah penafsiran. Misalnya, tahun 2016-2018 tersebar perdebatan di mana-mana tentang QS. Al-Maidah: 51 dan kepimpinan Ahok. Konteks dan wacana seperti ini mempengaruhi penafsiran Nadirsyah Hosen yang kemudian ditanggapi oleh para pembacanya.

Baca Juga: Tafsir Pop Gus Baha’: Fenomena Pengajian Tafsir Al-Quran di New Media

Pengaruh konteks dan wacana ini cukup besar, ia dapat membentuk pro-kontra dalam sebuah penafsiran di media sosial. Dari sini, memahami pro-kontra tersebut akan mengantarkan pada pemahaman identitas, kepentingan, bahkan ideologi penafsir dan pembacanya. Tentu, ini memerlukan penelusuran yang tidak sederhana. Tetapi, hal ini akan menambah nuansa tafsir Al-Qur’an di media sosial lebih khas dan berkarakter.

Sampai di sini, perpindahan penafsiran Al-Qur’an Nadirsyah Hosen dari di media sosial ke bentuk buku cenderung menghilangkan diskusi penafsiran di media sosial itu sendiri. Sekalipun isi penafsiran Nadirsyah Hosen sama, tetapi yang demikian membawa diskusi yang berbeda karena berbeda arenanya. Aktifitas penafsiran Al-Qur’an di media sosial memiliki diskusi tersendiri, minimal, karena melibatkan fitur-fitur media sosial, konteks dan wacana penafsir beserta pembacanya. [] Wallahu A’lam.

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 79-80

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 79-80 berbicara tentang sikap orang munafik yang menghina sedekah kaum Mukmin, mereka menilai sedekah yang dikeluarkan orang Mukmin tidaklah tulus, ria, dan hanya ingin mencari muka dihadapan Rasulullah. Menanggapi hal itu Allah kemudian menurunkan ayat 79 ini. Sedangkan ayat 80 adalah ancaman bahwa orang munafik tidak akan mendapatkan ampunan dari Allah sama halnya dengan orang kafir.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 75-78


 

Ayat 79

Sabab Nuzul: Ada beberapa riwayat yang menerangkan sebab turunnya ayat ini, di antaranya ialah seperti yang dinukilkan oleh al-Wahidi dalam kitab Asbab an-Nuzul: diriwiyatkan oleh al-Bazzar dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda, “Bersedekahlah kamu, sesungguhnya aku akan mengirimkan satu pasukan untuk pergi berperang (Perang Tabuk).”

Maka datanglah Abdurrahman bin Auf menghadap Rasulullah saw lalu berkata, “Ya Rasulullah, saya ada mempunyai 4 ribu dinar, yang dua ribu aku sedekahkan sebagai pinjamanku kepada Tuhan dan dua ribu dinar lagi untuk belanja rumah tanggaku.”

Rasulullah saw menjawab, “Semoga Allah memberimu berkah atas pemberianmu itu, dan memberi berkat pula terhadap yang engkau tinggalkan.” Kemudian datang lagi seorang dari kaum An¡ar yang mempunyai dua gantang kurma, seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya ada mempunyai dua gantang kurma, yang satu gantang aku sedekahkan dan satu gantang lagi untuk keluargaku.”

Menyaksikan kejadian itu orang-orang munafik mengejek seraya katanya, “Abdurrahman bin Auf hanya mau memberikan sedekahnya karena ria saja.” Sedang yang memberikan satu gantang kurma, mereka mengejek dengan kata, “Allah dan Rasul tidak memerlukan yang segantang ini.” Maka turunlah ayat ini.

Dalam ayat ini Allah swt menerangkan bagaimana ejekan dan hinaan orang-orang munafik terhadap orang-orang mukmin yang dengan penuh kepatuhan memberikan sedekah mereka kepada Rasulullah untuk dana tentara Islam berperang.

Kepada yang memberikan banyak, mereka mengejek dengan perbuatan ria dan kepada yang memberikan sedikit, mereka hina pula, padahal orang-orang mukmin memberikan sedekah itu, adalah dengan hati yang ikhlas semata-mata karena Allah mengharapkan keridaan Allah.

Ejekan dan hinaan orang-orang munafik seperti itu tidak mengurangi semangat orang-orang mukmin untuk berjuang, bahkan mereka sendirilah yang akan dicelakakan. Allah swt akan menghina dan mengejek mereka dan bagi mereka disediakan siksa yang pedih nanti di akhirat.


Baca Juga : Termasuk Kebaikan Yaitu Kesalehan Sosial, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 177


Ayat 80

Sabab Nuzul: Dari Urwah r.a. bahwa ‘Abdullah bin Ubay berkata, “Jika kalian tidak memberi infak kepada Muhammad dan sahabatnya, pasti mereka akan meninggalkannya.” ‘Abdullah berkata, “Orang yang mulia pasti mengusir yang lemah.”

Maka Allah turunkan, “Kamu memohonkan ampun atau tidak untuk mereka?” Rasul bersabda, “Aku akan lebihkan tujuh puluh kali.” Maka Allah turunkan, “Sama saja bagi mereka kamu mohonkan ampun atau tidak, Allah tidak akan mengampuni.”

Ayat ini mengandung peringatan, khususnya ditujukan kepada Nabi Muhammad saw dan pada umumnya ditujukan kepada orang mukmin. Sikap orang munafik terhadap Rasul saw dan orang mukmin tidak dapat diharapkan. Mereka akan tetap dalam kemunafikan sampai mati.

Tidak ada faedahnya, dimintakan ampun bagi mereka atau tidak dimintakan ampun, sebab Allah tidak akan mengampuni dosa-dosa mereka. Biarpun berulang kali dimintakan ampun, sampai tujuh puluh kali sekalipun, tidak juga akan berhasil, karena yang menyebabkan mereka munafik itu ialah keingkaran mereka kepada Allah dan kepada Rasul.

Mereka tidak yakin, bahwa Allah mengetahui semua yang gaib, mereka tidak percaya kepada wahyu Allah yang disampaikan kepada Rasulullah saw, tentang hari Kiamat, hari kebangkitan dan hari pembalasan.

Mereka bukan saja tergolong orang-orang munafik, tetapi juga tergolong orang-orang fasik, yaitu tidak mau menerima kebenaran dan terus-menerus membangkang, berbuat apa yang sudah di luar batas. Maka Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada golongan yang fasik.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 81-82


 

3 Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an Menurut Manna’ Khalil al-Qathan

0
Kemukjizatan Al-Qur'an
Kemukjizatan Al-Qur'an

Istilah kemukjizatan Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab i’jaz yang berakar pada kata a’jaza-yu’jizu’i’jaz. Kata ini memiliki makna menjadikan seseorang atau sesuatu lemah dan tidak berdaya. Pada kata tersebut kemudian ditambahkan huruf tha marbuthah di akhirnya sebagai penekanan (mubalagah) terhadap makna yang dikandungnya. Artinya, mukjizat benar-benar melemahkan dan membuat seseorang atau sesuatu tidak berdaya.

Terminologi mukjizat sebenarnya telah didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain, sebagai suatu hal yang luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku sebagai nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditentangkan kepada yang ragu (Mukjizat al-Qur’an). Menurut al-Himsi pengertian mukjizat ini telah berkembang dari masa ke masa seiring dengan interaksi muslim dengan penganut agama lain (Tarikh Fikrah I’jaz al-Qur’an).

Sedangkan dalam bahasa Indonesia, mukjizat diartikan sebagai kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia seperti saat Nabi Musa dapat membelah laut dengan pukulan tongkatnya. Dari sini dapat dipahami bahwa mukjizat adalah peristiwa yang sulit dipahami atau di luar nalar manusia yang terjadi melalui seorang nabi sebagai bukti kenabiannya dan sebagai sarana meyakinkan penyangkalnya.

Dalam pandangan teologis umat Islam, Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar nabi Muhammad saw. Mukjizat ini memiliki keutamaan dibandingkan dengan mukjizat nabi-nabi terdahulu yang bersifat temporal, sebab kemukjizatan Al-Qur’an tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan bisa dirasakan hingga akhir zaman. Karena itulah Al-Qur’an disebut sebagai mukjizat teragung (Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki).

Baca Juga: Dialektika Kemukjizatan Al-Quran dan Budaya Bangsa Arab Sebagai Bukti Moderatnya Ajaran Islam

Perbedaan yang paling mendasar antara mukjizat nabi Muhammad saw dengan mukjizat nabi-nabi terdahulu adalah kemukjizatan Al-Qur’an berupa mukjizat hissiyah dan ‘aqliyah – secara sekaligus – yang bersifat rasional, mendalam serta kekal sepanjang masa. Sedangkan mukjizat nabi-nabi terdahulu sering kali berupa mukjizat indrawi yang lokal-temporal seperti kemukjizatan tongkat nabi Musa as.

Meskipun para ulama sepakat mengenai adanya kemukjizatan Al-Qur’an, namun mereka berbeda pendapat tentang aspek mana saja yang bisa dikatakan sebagai mukjizat. Menurut al-Suyuthi – terlepas dari perdebatan aspek kemukjizatan Al-Qur’an – mukjizat pada umumnya terbagi kepada dua bentuk, yakni: mukjizat hissiyyah yang dapat ditangkap panca indera), dan ‘aqliyyah yang hanya dapat ditangkap nalar manusia (al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur`ān: 252).

Syekh Manna’ Khalil al-Qathan dalam kitabnya, Mabahits Fii Ulumil Quran, menjelaskan ada tiga aspek kemukjizatan Al-Qur’an dari sekian banyak aspek yang dikemukakam oleh para ulama. Tiga aspek ini adalah:

1. Kemukjizatan Al-Qur’an dari segi bahasa

Aspek kemukjizatan Al-Qur’an yang pertama adalah kebahasaan. Al-Qur’an turun dengan bahasa Arab yang indah melampaui keindahan bahasa dan sastra Arab masa Jahiliah. Pada saat itu mereka begitu mengagungkan bahasa arab dan sering mengadakan perlombaan syair, khutbah, petuah dan nasihat. Syair-syair yang dinilai indah akan digantung di Ka’bah sebagai penghormatan kepada penggubahnya sekaligus agar dinikmati masyarakat.

Penghargaan yang tinggi terhadap syair dan sastra Arab membuat para penyair mendapatkan kedudukan tinggi di mata masyarakat Arab. Mereka dinilai sebagai pembela kaumnya, sebab dengan syair dan gubahan mereka reputasi (pamor) suatu kaum atau seseorang dapat meningkat pesat, begitu pula sebaliknya. Mak tak heran sering ditemukan para bangsawan Arab memerintahkan penyair memuji mereka (Mukjizat al-Qur’an).

Ketika Al-Qur’an turun dengan keindahan bahasanya yang mengandung kefasihan, kesempurnaan penyampaian (bayan), keserasian kata dan kelancaran logika, maka bangsa Arab tertegun akan kemukjizatan Al-Qur’an tersebut. Sekalipun mereka memiliki pencapaian tinggi dalam sastra Arab, baik syair atau prosa, namun mereka tetap tidak berdaya menghadapi kemukjizatan Al-Qur’an dari segi bahasa (al-Naba` al-‘Adhīm).

2. Kemukjizatan Al-Qur’an dari segi isyarat ilmiah

Aspek kemukjizatan Al-Qur’an yang kedua adalah isyarat ilmiah. Kemukjizatan ilmiah dalam al-Quran bukan terletak dalam teorinya yang selalu berubah. Akan tetapi, kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada dorongannya kepada manusia agar senantiasa berpikir dan menggunakan akal. Al-Quran mendorong manusia untuk memikirkan tentang alam sekitar, dari mulai hal yang terkecil sampai yang terbesar (Mabahits Fii Ulumil Quran).

Melalui perenungan dan tadabur tersebut, manusia diharapkan sampai kepada kesimpulan tentang kemahakuasaan Allah swt sebagai Sang Pencipta yang tiada duanya. Kemukjizatan Al-Qur’an dari segi isyarat ilmiah ini juga dapat membawa manusia mengenal lebih jauh tentang alam semesta dan keilmuan yang mungkin dapat disimpulkan darinya seperti ilmu biologi, zoologi, astronomi dan geografi.

Ada banyak orang yang keliru memahami tentang kemukjizatan Al-Qur’an dari segi isyarat ilmiah. Mereka mengira bahwa dalam Al-Quran selalu ada teori-teori ilmiah. Padahal, ilmu pengetahuan akan selalu berubah dan berkembang sesuai temuan-temuan mutakhir. Dalam hal ini, bisa saja teori terdahulu difalsifikasi oleh teori terbaru. Jika “cocoklogi” teori dipaksakan, maka Al-Quran mungkin akan terkesan salah atau keliru manakala terjadi pergeseran teori.

3. Kemukjizatan Al-Qur’an dari segi syariat

Aspek kemukjizatan Al-Qur’an yang ketiga adalah syariatnya. Dalam sejarah umat manusia, terdapat berbagai doktrin, sistem dan perundang-undangan (syariat atau hukum). Itu semua – biasanya – bertujuan untuk mencapai kebahagiaan individu atau kelompok dalam kehidupan masyarakat. Namun tidak ada satu pun dari hal tersebut yang dapat menyaingi keindahan dan kebesaran syariat atau Al-Qur’an.

Baca Juga: Al-Quran Adalah Mukjizat, Ini 6 Bukti Kehebatannya

Menurut pandangan umat Islam, bisa dikatakan bahwa Al-Qur’an mengandung hukum atau syariat yang paling ideal dan undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan manusia. Al-Qur’an telah memberikan aturan dan tuntunan secara universal kepada manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, mulai dari yang bersifat individual hingga komunal (Mabahits Fii Ulumil Quran).

Meskipun secara kasat mata syariat Al-Qur’an terlihat tidak adil dan sebagainya, namun sesungguhnya di balik itu ada kesempurnaan hukum yang tak terkira. Bisa dikatakan seluruh syariat Al-Qur’an, tanpa terkecuali, memuat hikmah yang luar biasa seperti hukum hudud, aturan waris, dan ketentuan transaksi keuangan. Dari syariat itu dapat digali nilai ideal moral yang dapat digunakan dalam aturan masyarakat sekalipun dalam bentuk berbeda. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 75-78

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 75-78 masih membicarakan sikap orang munafik yang tidak pernah jera dan sadar atas perbuatan mereka. Diantara sikap mereka adalah bersumpah palsu, ingkar janji, kikir, dan seringkali mereka menunjukkan “muka dua” ketika bersama kaum Muslimin dan ketika bersama kelompok mereka.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 74


Parahnya lagi, mereka sering merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad. Namun Allah berjanji usaha mereka tidak akan berhasil, sikap mereka yang demikian justru akan merugikan mereka sendiri, dan Allah memperingatkan kaum mukmin untuk tidak meniru sikap kaum munafik tersebut.

Ayat 75

Ayat ini menerangkan tentang sifat orang-orang munafik yang suka berjanji dengan janji yang muluk-muluk, berani bersumpah dengan menyebut nama Allah untuk menguatkan janjinya itu.

Mereka berjanji akan menjadi orang pemurah, dermawan dan menjadi orang-orang baik. Akan tetapi mereka dengan mudah saja melanggar janjinya. Perbuatan yang seperti ini akan dijumpai pada diri segelintir manusia pada setiap masa dan di mana saja.

Ayat 76

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa kalau maksud mereka telah berhasil dan apa yang mereka minta sudah terkabul, mereka tidak malu-malu berpaling, memungkiri janjinya, dan mendurhakai Allah.

Bila mereka telah kaya, mereka bukan jadi orang pemurah, tetapi mereka bertambah kikir, tidak mau bersedekah, mengeluarkan zakat, membantu orang-orang yang kekurangan, menunjang pembangunan umat dan lain-lain yang masuk amal kebajikan.

Mereka lupa akan janji-janji mereka yang diucapkan sebelum Allah memberikan karunia kepada mereka, walaupun sudah diberi peringatan berkali-kali. Padahal menepati janji itu adalah wajib, apalagi kalau janji itu dikuatkan dengan bersumpah dengan nama Allah.


Baca Juga : Fenomena Ghosting dan Pentingnya Memenuhi Janji: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 92


Ayat 77

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa perbuatan orang-orang munafik seperti itu tidaklah akan menguntungkan, tetapi akan mencelakakan diri mereka sendiri.

Perbuatan menyalahi janji, kikir, berpaling dari Allah dan mendurhakai-Nya akan membawa akibat menambah dalam penyakit kemunafikan bersarang dalam hati mereka.

Penyakit seperti demikian itu akan berlarut-larut sampai akhir hayatnya. Sebab kalau penyakit kemunafikan itu sudah bertambah parah, tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk bertobat.

Telah menjadi Sunnah Allah di bumi ini, bahwa seseorang yang telah membiasakan diri mungkir janji dan banyak berdusta, maka penyakit kemunafikan itu semakin terpatri dalam dirinya.

Begitu juga bila dia membiasakan dirinya berbuat amal saleh, berakhlak yang baik, serta taat beribadah, maka akan tertanamlah iman yang kuat dalam dirinya.

Oleh karena itu, Allah swt menyuruh kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap penyakit kemunafikan. Bila berjanji dan dikuatkan dengan menyebut nama Allah maka berusahalah agar janji itu ditepati. Telah bersabda Rasulullah saw.

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ فَهُوَ مُنَافِقٌ وَإِنْ صَلَّى وَصَامَ وَزَعَمَ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ (رواه البخاري عن أبي هريرة)

Seseorang itu dianggap munafik, bilamana tiga macam sifat ada padanya, meskipun dia salat, berpuasa dan mengaku mukmin, yaitu apabila berbicara dia berdusta, bila berjanji dia ingkar, dan bila dipercayai dia berkhianat. (Riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Ayat 78

Dalam ayat ini Allah swt memperingatkan orang-orang munafik bahwa bagaimanapun pintarnya mereka menyimpan rahasia dalam hati mereka.

Dan bagaimanapun liciknya mereka berbisik-bisik menjelekkan orang-orang yang beriman dan menjelek-jelekkan Rasulullah atau berbisik-bisik sesama mereka untuk mengatur siasat buruk dalam memusuhi orang-orang yang beriman, namun Allah swt akan mengetahuinya.

Tidak ada yang tersembunyi bagi Allah sesuatupun juga, baik yang di bumi ataupun yang di langit, demikian pula yang tersembunyi dalam hati, Allah Maha Mengetahui semua yang tersembunyi.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 79-80


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 74

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 74 secara spesifik menjelaskan tentang asbabun nuzul ayat, yakni selain telah banyak melakukan sumpah palsu, kali ini mereka berusaha untuk membunuh Rasulullah dengan melakukan berbagai cara. Namun rencana mereka digagalkan oleh Allah swt.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 72-73


Tafsir Surah At Taubah Ayat 74 juga menjelaskan perlakuan baik nabi kepada mereka bukan berarti ketidaktahuannya atas perilaku buruk mereka selama ini. Hanya saja nabi masih berharap mereka untuk bertaubat dan alasan tidak memerangi mereka karena menjaga hubungan kekerabatan sesama Muslim. Hingga Allah-lah yang kelak mengazab kemunafikan mereka.

Ayat 74

Sabab Nuzul: Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir at-Thabar dan at-Thabrani dan Abu Syaikh Ibnu Mardawaihi bahwa ketika Rasulullah sedang duduk di bawah naungan sebuah pohon beliau berkata, “Akan datang kepadamu seorang manusia yang memandang kamu dengan dua matanya seperti mata setan. Apabila ia datang, janganlah kamu berkata-kata.”

Kemudian tiba-tiba muncullah seorang laki-laki yang warna matanya biru langit lalu Rasulullah memanggilnya dan berkata, “Atas dasar apa engkau dan sahabat-sahabatmu memaki aku?”

Lalu laki-laki itu pergi kemudian datang kembali membawa sahabat-sahabatnya, seraya bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak sekali-kali mengucapkan apa yang ditanyakan oleh Nabi; maka Nabi memaafkan mereka kemudian turunlah ayat ini.

Orang-orang munafik itu bersumpah dengan nama Allah untuk meyakinkan orang-orang mukmin dan Nabi Muhammad, bahwa apa yang dilaporkan kepada Nabi tentang tipu-muslihat —yang merendahkan martabat Nabi Muhammad saw, atau mengurangi kemahasucian Allah swt— yang mereka ucapkan tidaklah benar dan merupakan fitnah belaka.

Mereka tidak mengaku telah mengucapkan kata-kata kufur terhadap Nabi Muhammad. Allah mendustakan pernyataan mereka itu meskipun mereka bersumpah dengan nama Allah. Mereka yang telah mengucapkan kalimat kufur berarti telah murtad dan menjadi kafir kembali sesudah Islam karena mereka telah melampaui batas untuk membinasakan Nabi.

Adapun maksud mereka yang gagal untuk menjebak Nabi ketika pulang kembali dari Perang Tabuk adalah ketika Nabi menuju Medinah. Di tengah perjalanan beberapa orang munafik berkomplot untuk mencelakakan Rasulullah.

Mereka membuat keputusan rahasia untuk melemparkan Nabi dari salah satu bukit. Ketika mereka sampai di bukit itu mereka menunggu kedatangan Nabi. Ketika Nabi datang kepada mereka (yang sedang menunggu) Nabi diberitahu tentang rencana mereka itu, maka Nabi berkata, “Barang siapa di antara kamu hendak menempuh jalan lembah, hal itu adalah lebih menyenangkan kamu.”

Rasulullah sendiri menempuh jalan di atas bukit dan rombongan lainnya menempuh jalan lembah kecuali orang-orang yang telah bermaksud melakukan makar terhadap Nabi. Ketika mendengar bahwa Rasul akan menempuh jalan bukit, maka mereka bersiap-siap dan menyamar dengan menutup muka.

Sesungguhnya mereka telah membulatkan tekad untuk melakukan perbuatan keji. Rasulullah menyeru Huzaifah al-Yamani dan Ammar bin Yasir agar berjalan bersama-sama Rasulullah, Ammar ditugaskan memegang tali unta dan Huzaifah al-Yamani ditugaskan menghalau unta.

Dalam keadaan demikian, tiba-tiba Nabi bersama Ammar dan Huzaifah mendengar suara kaki orang-orang yang datang dari belakang, maka Rasulullah menjadi marah dan menugaskan Huzaifah untuk menahan mereka. Setelah Huzaifah melihat Rasulullah marah, ia berbalik ke belakang, sedang ditangannya ada sebuah tongkat.

Huzaifah menghadapi orang-orang itu dan memukul kendaraan mereka dengan tongkat. Huzaifah melihat orang-orang itu menyamar yang dianggap oleh Huzaifah sekedar perbuatan biasa yang dilakukan oleh orang-orang yang sedang dalam perjalanan (musafir).

Ketika orang-orang itu melihat Huzaifah, Allah menjadikan mereka ketakutan karena menyangka bahwa penyamaran dan niat jahat mereka telah diketahui.

Karena itu komplotan tersebut segera bergabung lagi dengan rombongan. Huzaifah kembali menemui Rasulullah, kemudian Rasul menyuruh Huzaifah melecut untanya, dan menyuruh Ammar berjalan di belakang sehingga Rasulullah dapat melewati bukit dengan selamat.

Kemudian Nabi berkata kepada Huzaifah, “Adakah engkau mengenal salah seorang dari kalangan pengendara itu?” Dia menjawab, “Aku kenal unta si Fulan. Malam terlalu gelap dan aku datang kepada mereka dimana mereka berpakaian menyamar.

Rasulullah berkata, “Mereka itu telah merencanakan suatu makar untuk berjalan bersamaku dan manakala mereka sampai ke bukit, mereka akan melempar aku.  Huzaifah berkata, “Tidakkah engkau (Ya Rasulullah) memberi suatu perintah di mana kami akan cepat memenggal leher mereka itu?  Rasulullah menjawab:

لاَ، أَكْرَهُ أَنْ يَّتَحَدَّثَ النَّاسُ وَ يَقُوْلُوْا إِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ وَضَعَ يَدَهُ فِى أَصْحَابِهِ.

Tidak, aku tidak ingin menjadi buah pembicaraan orang bahwa Muhammad telah membunuh sahabat-sahabatnya. (Tafsir Ibnu Kasir, 2/461)

Maka Nabi mengemukakan kepada Huzaifah dan Ammar nama-nama orang yang berkomplot itu agar mereka berdua merahasiakannya. Demikianlah peristiwa jahat yang dilakukan orang-orang munafik yang diungkapkan oleh ayat itu.


Baca Juga : Amal Banyak Tapi Sering Menyebut Kebaikannya, Bagaimana Menurut Al-Quran?


Orang-orang munafik itu ialah orang-orang Islam yang keimanan mereka hanya secara lahir tidak pada batin. Mereka memusuhi Rasul dan orang-orang mukmin dengan cara yang sangat licik sebagai musuh dalam selimut.

Mereka sangat berbahaya bagi Islam. Namun Nabi memperlakukan mereka sebagaimana memperlakukan orang-orang mukmin karena iman tempatnya di hati. Urusan hati hanyalah Allah yang mengetahuinya. Oleh sebab itu satu hukuman hanya bisa diputuskan berdasarkan bukti lahir yang ada.

Orang-orang munafik itu diperlakukan sebagaimana orang-orang mukmin. Kepada mereka diberikan zakat demikian juga harta rampasan (ganimah). Kebanyakan mereka dari kalangan orang-orang yang kurang mampu (miskin) sebagaimana orang-orang Anshar.

Dengan masuk Islam mereka dapat menikmati harta dunia ini. Semestinya kalau mereka orang yang sadar tentulah mereka akan menanggalkan sifat-sifat kemunafikan mereka dan bersyukur kepada Allah dengan bertobat kepada-Nya.

Karena dengan Islamlah mereka mendapat keuntungan duniawi, yang menjadi tujuan hidup mereka. Tetapi mereka tidak menyadari. Bahkan mereka merasa tidak puas menerima keuntungan dan kekayaan yang merupakan karunia Allah dari pembagian harta rampasan (ganimah) atau zakat.

Demikianlah keadaan orang yang telah sesat pikirannya. Jika mereka bertobat dari kemunafikan dan perbuatan yang buruk, baik berupa ucapan maupun perbuatan, maka tobat mereka akan membawa kebaikan bagi mereka di dunia dan di akhirat. Di dunia mereka akan menjadi orang Islam sejati dengan iman yang murni.

Mereka akan menjadi orang yang bertawakal kepada Allah dan sabar atas cobaan-cobaan-Nya dan banyak beramal kebaikan untuk mencapai kebahagiaan di akhirat dan mereka akan bahu-membahu, bantu membantu, santun menyantuni dengan orang-orang yang lebih dahulu masuk Islam.

Di akhirat nanti mereka akan mendapat karunia Allah berupa surga sebagaimana yang dijanjikan Allah kepada orang-orang mukmin.

Akan tetapi jika mereka tidak bertobat, berpaling menjauhkan diri dari petunjuk-petunjuk Allah, dan mereka tetap dalam kemunafikan, niscaya Allah akan mengazab mereka di dunia ini seperti hati mereka selalu dalam kecemasan, kegelisahan dan kekhawatiran sebagaimana yang diutarakan di dalam firman Allah:

لَوْ يَجِدُوْنَ مَلْجَاً اَوْ مَغٰرٰتٍ اَوْ مُدَّخَلًا لَّوَلَّوْا اِلَيْهِ وَهُمْ يَجْمَحُوْنَ

Sekiranya mereka memperoleh tempat perlindungan, gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya mereka pergi (lari) ke sana dengan secepat-cepatnya. (at-Taubah/9: 57)

Di akhirat nanti mereka memperoleh apa yang diancamkan Allah yaitu api neraka tingkatan yang paling bawah di mana mereka tinggal abadi di dalamnya sebagaimana diutarakan dalam firman Allah:

اِنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ فِى الدَّرْكِ الْاَسْفَلِ مِنَ النَّارِۚ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيْرًاۙ  ١٤٥  اِلَّا الَّذِيْنَ تَابُوْا وَاَصْلَحُوْا وَاعْتَصَمُوْا بِاللّٰهِ وَاَخْلَصُوْا دِيْنَهُمْ لِلّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الْمُؤْمِنِيْنَۗ وَسَوْفَ يُؤْتِ اللّٰهُ الْمُؤْمِنِيْنَ اَجْرًا عَظِيْمًا   ١٤٦

Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri  dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan dengan tulus ikhlas (menjalankan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu bersama-sama orang-orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman. (an-Nisa’/4: 145-146)

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa orang-orang munafik itu tidak akan mendapat pembela di dunia dan di akhirat, karena tiap-tiap orang yang telah mendapat kehinaan dari Allah tidak seorang manusiapun sanggup menolongnya.

 (Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 75-78

Tafsir Ahkam: Syarat, Rukun Puasa Ramadan, dan Alasan Niat di Malam Hari

0
Syarat, Rukun Puasa Ramadan, dan Alasan Niat di Malam Hari
Syarat, Rukun Puasa Ramadan, dan Alasan Niat di Malam Hari

Mulai hari ini (13/04), umat Islam menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Salah satu ibadah wajib yang menjadi rukun Islam keempat setelah zakat. Sebagaimana ibadah wajib lain, puasa memiliki syarat dan rukun tertentu. Tulisan ini menyajikan dalil kewajiban puasa Ramadhan berikut syarat dan rukunnya.

Dalil Wajib Puasa

Ada beberapa dalil kewajiban puasa Ramadhan. Dalam Al-Quran, dalil itu berupa firman Allah pada QS. Al-Baqarah ayat 183:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

Ayat ini menunjukkan perintah wajib berpuasa bagi umat Islam. Redaksi perintah itu ada pada lafadz “kutiba”, yang oleh Imam Al-Baghawi dalam Tafsir Ma’alimut Tanzil disamakan dengan makna lafadz furidha atau ujiba, yang berarti diwajibkan.

Baca juga: Energi Terbarukan dan Ayat-ayat tentangnya dalam Al-Quran

Selain dari Al-Quran, dalil wajibnya berpuasa di Bulan Ramadhan juga pernah disabdakan oleh Nabi. Antara lain dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Al-Baihaqi dalam Shu’bul Iman:

 شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Ramadan adalah bulan yang Allah mewajibkan kalian berpuasa, dan aku sunnahkan salat di malam harinya. Barangsiapa berpuasa di siangnya dan bangun di malamnya karena iman dan mengharap pahala, maka dosa-dosanya akan keluar seperti pada hari ia dilahirkan oleh ibunya”

Hadis tersebut mentahkik kewajiban puasa pada Surah Al-Baqarah ayat 183. Selain itu, hadis tersebut juga menunjukkan keutamaan beribadah pada malam hari selama bulan Ramadan.

Syarat Puasa

Terdapat dua kelompok syarat puasa yakni syarat wajib dan syarat sah. Mengutip Tanwirul Qulub karya Muhammad Amin Al-Kurdi, syarat wajib puasa ada empat. Syarat itu meliputi; beragama Islam, baligh (masuk fase pubertas), berakal (tidak gila), dan kuat melaksanakan puasa.

Sementara itu, terdapat 4 hal pula yang menjadi syarat keabsahan puasa. 4 hal itu ialah Islam, tamyiz (mampu membedakan hal baik dan buruk), tidak haid dan nifas, serta berada pada waktu diperbolehkan untuk berpuasa.

Syarat ini tidak hanya berlaku untuk puasa Ramadhan, tetapi semua ragam puasa. Bagi orang yang tidak memenuhi syarat sah puasa karena haid dan nifas, maka wajib atasnya untuk mengganti (mengqada’nya) di lain hari.

Baca juga: Kriteria Perempuan Salihah dalam Surah At-Tahrim Ayat 11-12

Rukun Puasa

Terdapat dua rukun dalam puasa, dan yang pertama adalah niat. Menurut Imam Nawawi dalam Nihayatuz Zayn fi Irsyadil Mubtadi’in, terdapat perbedaan teknis niat antara puasa wajib dengan sunnah. Ia berpendapat:

وشرط لفرضه تبييت أي للنية لكل ليلة ولو من أول الليل ولا يجب التبييت في نفل الصوم بل تصح نيةه قبل الزوال إلى أن قال وتعيين في الفرض المنوي كرمضان أو نذر أو قضاء أو كفارة وفي نفل له سبب

“Disyaratkan bagi puasa fardu untuk niat pada malam hari. Yakni, niat pada tiap malam, meski dilakukan pada awal malam. Sementara itu, tidak diwajibkan niat pada malam hari untuk puasa sunnah, bahkan boleh niat sebelum masuk waktu Zuhur untuk puasa sunnah. Dan, disyaratkan pula menentukan puasa fardu apa yang ditunaikan (ta’yin), seperti puasa Ramadan, nazar, qada’, puasa kafarat, atau puasa sunnah yang memiliki sebab”

Berdasarkan pendapat itu, niat puasa Ramadhan harus dilakukan pada malam hari disertai dengan menentukan niat pada “puasa Ramadan”. Adapun redaksi niat puasa Ramadhan yang sempurna ialah sebagaimana berikut ini:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى

“Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan fardu di bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah Ta’ala”

Baca juga: Sejarah Puasa dan Rahasia Dipilihnya Bulan Ramadhan Menurut Para Tokoh Tafsir

Sementara itu, rukun kedua ialah menahan dari segala perkara yang membatalkan puasa. Terdapat 11 perkara yang dapat membatalkan puasa. Mengutip Tanwirul Qulub, 11 perkara itu ialah sebagaimana berikut:

  1. memasukkan benda ke organ tubuh bagian dalam (jauf) melalui lubang yang ada di tubuh manusia, atara lain mulut, telinga dan hidup. Jauf memiliki batasan tertentu. Misalnya, lubang mulut, batas jauf-nya ialah tenggorokan. Sehingga, bila seseorang memasukkan benda ke mulut sampai benda itu masuk ke tenggorokan, maka puasa menjadi tidak sah.
  2. Bersenggama secara sengaja
  3. Keluar sperma sebab onani
  4. Sengaja muntah
  5. Menstruasi
  6. Nifas
  7. Melahirkan
  8. Gila
  9. Epilepsi sepanjang siang
  10. Mabuk sepanjang siang, dan
  11. Murtad

Mengapa niat puasa di malam hari?

Telah diketahui, prinsip dasar niat ialah penyengajaan untuk mengerjakan suatu hal bersamaan dengan mengerjakan hal itu. Dalam kaidah Fikih pun disebutkan bahwa salah satu kriteria niat adalah adanya unsur muqaranah (berbarengan) antara penyengajaan berbuat sesuatu dan pengerjaannya. Lalu, mengapa tidak demikian dengan niat puasa Ramadhan? Jawaban atas pertanyaan tersebut ialah karena ada unsur kesulitan. Menurut Abu Bakar al-Ahdali dalam Taqrirat Mandzumah Faraidil Bahiyyah, niat puasa Ramadhan, begitu juga puasa fardu lain dikecualikan dari prinsip dasar niat karena sulitnya mengawasi awal waktu puasa, yang tak lain ialah terbitnya fajar shadiq. Oleh karena itu, puasa Ramadhan tidak sah bila seseorang menyertakan niatnya dengan awal pagi.

Baca juga: Prinsip Dasar Penyusunan Tafsir Ilmi

Selain pada puasa fardhu, pengecualian juga ada pada ibadah zakat dan kurban, meski tidak sampai pada konsekuensi hukum wajib, karena notabene dua ibadah itu ibadah sunnah. Dalam ibadah zakat, takjil niat sebatas anjuran ketika dikhawatirkan akan menyulitkan bila niat dilaksanakan pas waktu zakat, begitu pula niat untuk berkurban.

Demikianlah dalil, syarat, dan rukun puasa Ramadhan yang diurai dengan sangat sederhana. Semoga bulan Ramadhan ini dapat kita jalani dengan khusyuk dan hikmat. Sampai, selain menahan dari hal-hal lahiriah di atas, kita juga dapat menahan diri dari penyakit hati, sehingga tujuan puasa berupa penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dapat kita raih bersama. Wallahu a’lam[]

Mengulik Makna Puasa Ramadhan: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183

0
Mengulik makna Puasa Ramadhan dalam Surah Al-Baqarah ayat 183
Mengulik makna Puasa Ramadhan dalam Surah Al-Baqarah ayat 183

Ramadhan telah datang menemui kita. Sungguh betapa suka citanya kita sebagai umat Islam masih dipertemukan kembali dengan ramadhan (syahr al-shiyam dan syahrullah). Karenanya, sebagai rasa syukur kepada-Nya, menjalankan kewajiban berpuasa dengan penuh ikhlas lillahi ta’ala adalah keniscayaan bagi kita. Sungguh, kewajiban berpuasa beserta segala keutamannya menanti kita sebagimana difirmankan-Nya dalam Surah Al-Baqarah ayat 183,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. al-Baqarah [2]: 183)

Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 183

Dalam Jami’ al-Bayan, al-Tabari menafsrikan redaksi ya ayyuhal ladzina amanu dalam ayat di atas adalah orang beriman yang bersaksi atas keesaan Allah swt dan kebenaran risalah Nabi Muhammad saw, serta mereka yang membenarkan dan mengakuinya. Selain itu, al-Tabari menjelaskan makna puasa dengan kata as-shiyam yang berupa masdar (kata asli). Namun ada pendapat yang mengatakan shumtu ‘an kadza wa kadza (berhentilah berbicara ini itu). Maksudnya adalah berhentilah atau tahanlah lisanmu dari berkata buruk, menggunjing dan semacamnya.

Lebih dari itu, al-Tabari juga menafsiri kata shiyam dengan al-kaffu ‘amma amrullahi bil kaffi ‘anhu (menyerahkan diri atas perintah Allah swt dengan sepenuh hati). Dalam pendapat lain dianalogikan dengan shamat al-khailu idza kaffta ‘an al-sairi (kuda itu dapat diam jika ia berhenti berjalan). Artinya selama manusia tidak berusaha agar dirinya mampu menahan, maka nafsu itu terus meronta-ronta.

Baca juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

Terkait objek (mukhathab) yang dituju oleh ayat itu, para ulama ahli takwil terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat). Mujahid misalnya, mengatakan objek ayat itu ditujukan kepada ahlul kitab. Lalu sebagian ulama mengatakan seluruh manusia, demikian pula Qatadah. Kemudian, al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-Uyun menambahkan satu lagi, yaitu orang Nasrani sebagaimana pendapatnya al-Sya’bi, al-Rabith dan al-Asbath.

Tidak hanya itu, penafsiran redaksi la’allakum tattaqun pun ulama juga berbeda pendapat. Ahli takwil memaknainya dengan litattaqu aklu al-tha’am wa syurbi al-syarabi wa jima’i al-nisa (supaya kamu sekalian mampu mencegah diri atau menjauhkan diri dari makan, minum dan jima’ dengan perempuan). Hal senada juga disampaikan Asbath dari al-Saddi, hanya saja al-Saddi menambahkan bahwa tujuan puasa agar bertakwa seperti yang dikemukakan ulama ahli takwil juga dilakukan oleh orang Nasrani sebelum Islam datang.

Tidak jauh berbeda dengan al-Tabari, al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf, yang dimaksud umat terdahulu ialah para nabi beserta umatnya mulai dari Nabi Adam hingga umat Nabi Muhammad saw. Hal ini juga diamini oleh Sayyidina Ali. Jika al-Tabari menggunakan term shiyam, maka al-Zamakhsyari mengistilahkannya dengan shaum. Shaum (puasa ramadhan) bernilai ibadah sebagaimana yang dilakukan umat terdahulu.

Baca juga: Sejarah Puasa dan Rahasia Dipilihnya Bulan Ramadhan Menurut Para Tokoh Tafsir

Sementara itu, makna takwa menurut al-Zamakhsyari adalah menahan diri dari keinginan hawa nafsu serta menghindari jima’ di siang hari. Nabi saw bersabda, fa’alaihi bis shaumi fa inna al-shaumu lahu wija-un (maka hendaknya kaliah berpuasa, sebab puasa itu hakikatnya sebagai benteng diri baginya dari perbuatan yang buruk).

Penafsiran selanjutnya datang dari al-Qurtuby, dalam tafsirnya ia mengatakan puasa (shaum) yang ada pada Surah Al-Baqarah ayat 183 di atas secara literal bermakna imsak (menahan). Imsak menurutnya ialah tarku al-tanaqquli min haalin ila haalin (meninggalkan sesuatu yang dilarang selama bulan ramadhan dari perbuatan satu ke perbuatan yang lain). Al-Zujaj sebagaimana dikutip al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-‘Uyun menambahkan bahwa puasa (shaum) bermakna pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs), mengendalikan atau menaklukkan syahwat (kasru al-syahwat) dan hilangnya perilaku yang terlewat batas (idzhab al-‘asyar).

Secara istilah (syara’), al-Qurtuby mendefinisikannya,

وَالصَّوْمُ فِي الشَّرْعِ: الإِمْسَاكِ عَنِ الْمُفْطِرَاتِ مَعَ ٱقْتِرَانِ النِّيَّةِ بِهِ مِنْ طُلُوْعِ اْلفَجْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ، وَتَمَامُهُ وَكَمَالُهُ بِٱجْتِنَابِ الْمَحْظُوْرَاتِ وَعَدَمِ الْوُقُوْعِ فِي الْمُحَرَّمَاتِ لِقُوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهُ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Puasa (shaum) secara syara’ adalah menahan diri dari berbuka puasa dengan dibarengi niat mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Puasa dengan segala kesempurnaan dan keindahannya hendaknya menjauhkan diri dari segala hal yang dapat membatalkan puasa. Sebagaimana sabda Nabi saw, “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.”

Senada dengan itu, Ibnu Katsir lebih mendefinisikan puasa dengan istilah shiyam. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa kewajiban puasa itu ditujukan kepada orang mukmin dalam konteks ayat tersebut. Kembali kepada shiyam (puasa), kata Ibnu Katsir, shiyam adalah

وَهُوَ الْإِمْسَاكُ عَنِ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ وَالْوِقَاعِ، بِنِيَّةِ خَالِصَةِ للهِ عَزَّ وَجَلَّ لِمَا فِيْهِ مِنْ زَكَاةِ النُّفُوْسِ وَطَهَارَتِهَا وَتَنَقِّيَتِهَا مِنَ الْأَخْلاَطِ الرَّدِئِيَّةِ وَاْلأَخْلَاقِ الرَّذِيْلَةِ

Shiyam adalah menahan diri dari makan-minum dan bersetubuh (jima’) dibarengi dengan niat yang ikhlas kepada Allah swt dengan tujuan membersihkan, menyucikan dan memurnikan jiwa dari perbuatan yang buruk serta hina”

Pakar tafsir cum fuqaha klasik kenamaan, Abu Laits al-Samarqandi dalam Bahr al-‘Ulumnya, turut andil dalam pemaknaan la’allakum tattaqun. Takwa dalam konteks ayat ini menurutnya adalah mampu menahan diri dari makan-minum, dan bersetubuh mulai dari waktu isya yang terakhir (terbitnya fajar) hingga tidur lagi (terbenamnya matahari).

Adapun Al-Baidhawi dalam Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, puasa diistilahkannya dengan shaum. Shaum menurutnya, menahan diri dari perdebatan antar manusia (al-imsak ‘amma tanaza’u ilaihi al-nafsi). Secara istilah, puasa adalah menahan diri dari perbuatan yang menyebabkann batalnya puasa sepanjang siang hari karena waktu itu merupakan hal yang sangat diinginkan oleh syahwat (mu’adzam maa tasytahihi al-nafs).

Makna Puasa Ramadhan

Dari paparan di atas, sejatinya puasa bagi manusia merupakan terapi diri untuk memurnikan dan menyucikan jiwa manusia agar mampu berperilaku sesuai koridor agama sehingga manusia hidup dan menjalankan kewajibannya dalam naungan ridha-Nya.

Selama ini, jiwa manusia telah ternodai oleh bintik-bintik dosa kecil maupun besar yang dilakukannya. Apakah dari matanya, telinganya, lisannya, tangannya dan kakinya ia bermaksiat, ataukah terbesit dalam hatinya untuk berbuat buruk. Maka, dalam konteks ini, bulan ramadhan semacam menjadi kawah candradimuka atau madrasah penempaan diri untuk menempa dan mendidik manusia agar ia mampu mencapai derajat yang tinggi yaitu bertakwa kepada-Nya (inna akramakum ‘indallahi atqakum).

Dalam pandangan Islam, hidup manusia tidak diukur dari kuantitas ibadah, melainkan kualitas ibadah. Ibadah puasa sangat tepat bagi manusia untuk mengukur seberapa kualitas dirinya dihadapan Allah swt. Ibadah puasa merupakan ibadah privat, sangat personal sehingga hanya dirinya dan Allah swt yang mengetahui.

Betapa istimewanya ibadah puasa Ramadhan sampai-sampai Allah swt langsung yang ngendikan (berfirman),

الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ وَلِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ حِينَ يُفْطِرُ وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ وَلَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

“Allah Swt berfirman, puasa itu untukku dan Aku langsung yang akan mengganjarnya. Hamba-Ku sampai rela mengabaikan syahwat, keinginannya untuk makan dan minum hanya karena Aku. Puasa merupakan tameng. Ada dua kebahagiaan orang yang berpuasa, yaitu kebahagiaan ketika berbuka dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya. Aroma mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dibandingkan wangi minyak Misik.” (HR. Al-Bukhari)

Dalam hadits qudsi di atas, eksklusifitas Allah swt dalam memberi pahala kepada ham-Nya membuktikan bahwa puasa di bulan Ramahan merupakan ibadah yang amat spesial. Lebih dari itu, menunjukkan bahwa Allah swt sangat memuliakan hamba-Nya yang berpuasa dan memberinya segala keutamaan. Ini juga menjadi targhib (motivasi) bahwa dibalik perintah berpuasa ternyata menyimpan segudang keutamaan dan kemuliaan, termasuk kesehatan di dalamnya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Sunnah

Semoga kita semua mampu menjalankan ibadah berpuasa dengan khusyu’ dan ikhlas lillahi ta’ala. Wallahu a’lam.

Energi Terbarukan dan Ayat-ayat tentangnya dalam Al-Quran

0
Energi terbarukan dan ayat-ayat tentangnya
Energi terbarukan dan ayat-ayat tentangnya

Indonesia adalah surganya dunia. Kekayaan sumber daya alam (SDA) Indonesia sangat luar biasa termasuk keberlimpahan energi di dalamnya. Tidak ada di dunia ini yang sekaya dan seberaneka ragam dari Indonesia. Institute for Essential Services Reform (IESR), merilis laporan terbarunya pada Maret 2019 bahwa Indonesia sangat kaya akan potensi energi terbarukan (energi surya, air, bayu, biomassa, laut dan panas bumi) namun belum dimanfaatkan secara optimal.

Energi surya misalnya,  memiliki potensi lebih dari 200 GW dengan efisiensi teknologi photovoltaic yang tersedia saat ini. Tentu ini sangat mampu memenuhi kebutuhan listrik dalam skala nasional. Tidak jauh berbeda, Kementerian ESDM juga mencatat, total Potensi Energi Terbarukan (PET) di dalam negeri mencapai 417,8 GW, terdiri dari potensi laut 17,9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, bayu 60,6 GW, hidro 75 GW, dan surya 207,8 GW.

Baca juga: Menilik Konsep Energi dan Klasifikasinya dalam Al-Quran

Sementara itu, berpijak pada Peraturan Presiden No.22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dengan target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025 dalam kebijakan energi nasional, maka kapasitas penyediaan pembangkit listrik EBT pada 2025 harus sekitar 45,2 GW dan 2050 sekitar 167,7 GW.

Ini artinya, Indonesia harus segera mengoptimalkan Potensi Energi Terbarukan (PET) agar energi fosil yang selama ini dieksploitasi dapat segera beralih menuju PET sehingga menghasilkan energi yang bersih nan ramah lingkungan. Hal ini juga sesuai yang diperintahkan oleh Allah swt dalam Q.S. al-A’raf [7]: 54 dan 56.

Lalu, sebenarnya energi terbarukan yang dimaksudkan dalam Al-Quran itu seperti apa? Simak penjelasannya di bawah ini.

Definisi

Zafar Ahsan, sebagaimana dikutip Aan Jaelani dalam Renewable energy policy in Indonesia: Scientific signs of the Qur’an and its implementation in Islamic economics, bahwa sebenarnya tinjauan tentang konsep energi terbarukan yang secara konseptual dan sederhana telah disitir dalam 740-1000 ayat Al-Quran.

Secara sederhana, energi terbarukan adalah sumber energi yang cepat dipulihkan kembali secara alami dan prosesnya berkelanjutan (sustainable). Energi ini meliputi sinar matahari (sollar power), angin, hujan, gelombang, panas bumi, dan sejenisnya. Energi-energi ini senantiasa ada, bahkan Indonesia diuntungkan sebagai negara tropis, yang subur akan alamnya, dan dilewati garis khatulistiwa karena Indonesia sangat berpotensi memiliki energi itu dibanding negara lainnya.

Menurut Choit et.al dalam Review of renewable energy technologies utilized in the oil and gas industry, energi terbarukan adalah pesaing bahan bakar fosil, namun belakangan ini digunakan untuk mengekstrak dan menghasilkan sumber daya bahan bakar fosil. Karena itu, energi terbarukan menjadi solusi untuk meminimalisir penggunaan energi fosil yang cepat habis dan tidak ramah lingkungan.

Klasifikasi

Hasanuz Zaman dalam Economic guidelines in the Qur’an, sebagaimana dikutip Aan Jaelani, telah mengklasifikasi ayat-ayat yang berbicara tentang sumber energi terbarukan berdasarkan tema di bawah ini,

Tanah, Air dan Vegetasi

Ada empat ayat dalam Al-Quran yang mengulas tanah, air, dan vegetasi. Pertama, Q.S. al-An’am [6]: 95 tentang butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Kedua, Q.S. al-Hijr [15]: 22 tentang angin, perkawinan tanaman, hujan, dan air untuk minum. Ketiga, Q.S. al-Nahl [16]: 11-13 tentang air hujan, tanaman yang tumbuh, pergantian siang-malam, matahari dan bulan, bintang, bumi untuk dikelola manusia. Keempat, Q.S. Yasin [36]: 34 tentang kebun kurma, anggur dan mata air.

Baca juga: Tafsir Ilmi Kemenag: Bumi yang Dinamis dan Relevansinya Bagi Kehidupan

Transportasi Darat dan Laut, Perdagangan

Ada beberapa ayat Al-Quran yang mengulas ketiga hal tersebut, di antaranya (1) Q.S. al-Hajj [22]: 65 tentang bumi dan bahtera yang berlayar di lautan; menahan benda langit jatuh ke bumi. (2) Q.S. al-Mu’minun [23]: 21-22 tentang binatang ternak, air susu, konsumsi, binatang, dan kapal untuk transportasi laut. (3) Q.S. al-Rum [30]: 46 tentang angin sebagai pembawa berita gembira, kapal berlayar guna mencari penghidupan. (4) Q.S. Fathir [35]: 12 tentang laut tawar dan asin yang menghasilkan ikan segar dan perhiasan (mutiara, permata, berlian) dan kapal yang melintasinya.

Mineral dan Industri Manufaktur, serta Bahan Bakar

Adalah (1) Q.S. Saba’ [34]: 10 dan 12 tentang besi dan baju zirah, angin dan transportasi. Selanjutnya pada (2) Q.S. al-Hadid [57]: 25 tentang besi dan pemanfaatannya. (3) Q.S. Yasin [36]: 80 tentang sumber api dari kayu hijau sebagai bahan bakar. (4) Q.S. al-Waqi’ah [56]: 71-73 tentang benih tanaman, air, dan percikan api untuk peringatan dan pengembara di gurun pasir.

Transportasi Hewan dan Produksinya

Di dalam Al-Quran juga banyak disinggung tentang hewan dan binatang ternak, yaitu (1) Q.S. al-Nahl [16]: 81 tentang tempat perlindungan dan tempat-tempat kediamannya di gunung, pakaian yang melindungi tubuh dari panas dan selama pertempuran. (2) Q.S. al-Hajj [22]: 65 tentang sungai, perhiasan (emas dan mutiara), dan pakaian sutera.

(3) Q.S. al-Mu’minun [23]: 17-22 tentang air, kebun-kebun kurna dan anggur, buah-buahan, pohon kayu yang menghasilkan minyak dan bahan makanan, dan hewan ternak yang menghasilkan susu dan alat transportasi dan minuman. (4) Q.S. Yasin [36]: 71-73 tentang hewan ternak untuk kendaraan, makanan dan minuman.

(5) Q.S. al-Zukhruf [43]: 12 tentang bumi yang luas, jalur transportasi, air hujan yang menyuburkan, serta kapal dan hewan ternak untuk transportasi. (6) Q.S. al-Jatsiyah [45]: 12 tentang lautan dan kapal-kapal yang berlayar, bumi dan langit yang teratur untuk manusia.

Perumahan dan Rehabilitasi

Ada beberapa ayat yang mengulas kedua hal ini sebagai berikut, (1) Q.S. Hud [11]: 61 tentang manusia sebagai pemakmur bumi, tempat tinggal, unta, betina. (2) Q.S. al-Nahl [16]: 80 tentang rumah sebagai tempat berlindung, kemah-kemah yang berbahan kulit hewan ternak dan pakaian yang berbulu domba, bulu unta dan bulu kambing untuk menjelajah dan bermukin, serta alat-alat kebutuhan dan kenyamanan hidup.

(2) Q.S. al-Furqan [25]: 48-49 tentang angin sebagai pembawa kabar gembira, air yang jernih untuk minum dan kehidupan manusia, hewan ternak, dan pergiliran air hujan. (3) Q.S. Yasin [36]: 33-35 tentang air hujan, biji-bijian untuk makan, kebun-kebun kurma dan anggur, sumber-sumber mata air dan buah-buahan untuk makanan, dan berbagai usaha manusia.

Ekosistem Lingkungan

Di antaranya (1) Q.S. al-Baqarah [2]: 164 tentang langit dan bumi, pergantian siang malam, bahtera di lautan, keragaman makhluk hidup, anginn yang berhembus. (2) Q.S. al-A’raf [7]: 57 tentang air hujan, tumbuhan, tanaman hijau, angin, awan mendung, buah-buahan dan tanaman yang subur.

(3) Q.S. Yunus [10]: 67 tentang malam untuk beristirahat dan siang untuk beraktifitas. (4) Q.S. al-Hijr [15]: 22 tentang angin untuk menyirami benih dan air dari langit untuk minum. (5) Q.S. al-Isra’ [17]: 11-12 tentang kegelapan sebagai pertanda malam, kecerahan sebagai pertanda siang untuk mencari maisyah (penghidupan), mengetahui bilangan tahun serta perhitungan waktu.

(6) Q.S. al-Rum[30]: 48-49 dan Q.S. Fathir [35]: 9 tentang angin yang menggerakkan awan, awan yang membentang dan bergumpal lalu air hujan turun melalui celah-celah.

Baca juga: Menguak Sisi Sains Skenario Perjalanan Isra Mikraj dalam Al-Quran

Penutup

Pada hakikatnya, Al-Quran telah membentangkan berbagai potensi alam dan sumber energi terbarukan sebagai bekal hidup manusia selaku pengemban tugas khalifah fil ardh. Pesan-pesan ini disampaikannya dengan berbagai konteks seperti sebagai pengingat nikmat Allah dalam ciptaan-Nya, sebagai kisah-kisah terdahulu untuk diambil hikmahnya, bahkan sebagai azab. Semuanya membawa isyarat ilmiah tersendiri. Semoga energi ini dapat hadir dalam kehidupan kita dan kita mampu menjaganya demi keberlangsungan generasi penerus kita kelak. Wallahu a’lam.

Delapan Tema Pokok Al-Quran Menurut Fazlur Rahman (1)

0
Tema Pokok Al-Quran Menurut Fazlur Rahman
Tema Pokok Al-Quran Menurut Fazlur Rahman

Siapa yang tak kenal Fazlur Rahman? Namanya sudah tidak asing lagi di tengah-tengah kerumunan sarjana muslim kontemporer, atau sarjana Barat yang aktif menekuni kajian keislaman. Ia adalah sosok pembaharu dalam babakan peradaban dunia modern pemikiran Islam. Bermacam literatur tulisan Rahman yang pernah muncul puluhan tahun lalu seolah tak lekang dimakan waktu. Sampai detik ini, karya-karyanya menjadi rujukan dan telah dinikmati banyak orang. Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa pemikiran-pemikiran gemilang seorang Rahman memang layak disanjung.

Major Themes of The Qur’an adalah salah satu karya Fazlur Rahman yang tak kalah fenomenal dengan karya-karyanya yang lain semisal Islam Methodology in History. Semenjak pertama kali terbit pada tahun 1980, buku ini berhasil membawa angin segar sekaligus pandangan baru dalam kajian Al-Quran. Pada awal tahun 2018 lalu, Mizan menerbitkan seri terjemahan buku Major Themes of The Qur’an dengan judul Tema-tema Pokok Al-Qur’an. Sebelumnya, pada tahun 2013, buku ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab berjudul المسائل الكبرى في القرآن الكريم.

Baca juga: Kriteria Perempuan Salihah dalam Surah At-Tahrim Ayat 11-12

Buku Major Themes of The Qur’an pernah dibedah dan didiskusikan dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Laboratorium Studi Al-Quran dan Hadis (LSQH) UIN Sunan Kalijaga bekerjasama dengan Mizan Wacana serta didukung oleh Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IAT) dan Ilmu Hadis (ILHA) pada 28 Februari 2018 silam. Haidar Bagir yang berkesempatan menjadi pembicara turut memberikan komentar, “Jika kita membaca Major Themes of The Qur’an tanpa mengetahui penguasaan Fazlur Rahman pada ilmu-ilmu kesilaman, kita bisa salah melihat ini sebagai buku yang ditulis oleh seorang Kiai atau Ulama.”

Sebelum melangkah jauh membahas pemetaan Rahman terkait tema-tema pokok dalam Al-Quran, saya ingin lebih dulu menyinggung sedikit tentang buku ini dan apa saja yang menjadi gundah gulana Rahman di balik penulisan buku tersebut. Ini penting dilakukan. Seperti yang dikatakan Bagir, agar kita tidak salah paham memahami pemikiran Rahman dan juga buku ini. Selain itu, Bagir menambahkan bahwa buku Major Themes of The Qur’an adalah akhir dari seluruh pengembaraan keilmuan Rahman.

Baca juga: Sejarah Puasa dan Rahasia Dipilihnya Bulan Ramadhan Menurut Para Tokoh Tafsir

Berawal dari Kegelisahan Mendalam

Dalam ikhtiar memahami petunjuk dan firman suci Al-Quran, para ulama berusaha menggalinya dengan berbagai macam pendekatan. Sepintas Rahman menyoal kebanyakan tafsir-tafsir klasik yang lebih sering mendekati dan membaca Al-Quran ayat demi ayat sesuai urutan mushaf Utsmani lalu memberikan penjelasan terhadapnya. Dengan tetap mengapresiasi usaha itu, Rahman menilai bahwa metode seperti ini tidak akan mampu melahirkan cara pandang Al-Quran yang terpadu dan holistik.

Rahman pun tak segan-segan mengkritik pendekatan sarjana-sarjana Barat yang kadangkala serampangan dalam mengkaji Al-Quran. Tumpukan literatur Barat tentang Al-Quran, setidaknya dapat dipilah menjadi tiga katagori. Pertama, literatur yang berusaha menelusuri pengaruh ajaran Yahudi dan Kristen atas Al-Quran. Kedua, literatur yang berusaha merekonstruksi urutan kronologis Al-Quran. Ketiga, literatur yang bertujuan menjelaskan kandungan dan pesan Al-Quran, baik secara keseluruhan maupun pada aspek-aspek tertentu.

Baca juga: Ragam Pandangan Mufassir Tentang Pemukulan Suami Terhadap Istri

Dalam pandangan Rahman, sekalipun literatur-literatur pemikir Barat itu berkontribusi, namun tidak menjamin mampu mengantarkan pembaca pada pemahaman dan penghayatan Al-Quran dengan tepat, benar, mendalam, menyeluruh dan utuh. Situasi inilah yang menginisiasi Rahman untuk memikirkan pendekatan lain sebagai bentuk ikhtiar memahami keseluruhan kandungan Al-Quran, yaitu secara tematik. Pendek kata, karya ini merupakan jawaban mendesak sebagai sebuah pengantar terhadap tema-tema utama Al-Quran yang tidak dijumpai dalam karya-karya kesarjanaan Timur Tengah dan Barat sekalipun.

Melalui magnum opusnya ini, Rahman dipandang telah menawarkan pendekatan yang belum pernah ada sebelumnya. Pemetaan Rahman terhadap tema-tema pokok dalam Al-Quran merupakan sumbangan yang amat berarti untuk keberlangsungan kajian Al-Quran. Rahman sendiri meyakini bahwa pemaparan sintetik adalah satu-satunya cara untuk menghadirkan citarasa asli Al-Quran sebagai kalam Tuhan yang diperuntukkan bagi manusia.

Delapan Tema Pokok dalam Al-Quran

Al-Quran bagi pembacanya akan memberikan kesan bahwa isinya tidak sistematis. Peralihan pokok pembicaraan dari satu bagian ke bagian berikutnya tampak tidak mengikuti suatu organizing principle (aturan pengurutan tertentu), baik dari segi redaksi, isi, tempat dan masa serta konteksnya. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana seseorang bisa menangkap ide-ide utama yang ingin disampaikan Al-Quran tentang berbagai persoalan penting? Seperti bagaimana Al-Quran berbicara tentang Tuhan, manusia dan alam misalnya?

Dalam bukunya, Rahman dengan apik memetakan kandungan Al-Quran yang terdiri dari 6000 lebih ayat itu menjadi delapan tema pokok; 1) Tuhan, 2) Manusia sebagai Individu, 3) Manusia dalam Masyarakat, 4) Alam Semesta, 5) Kenabian dan Wahyu, 6) Eskatologi, 7) Setan dan Kejahatan, dan 8) Kelahiran Masyarakat Islam. Pemetaan Rahman mengenai tema-tema pokok Al-Quran ini berpijak pada prinsip dasar; bahwa Al-Quran diturunkan bagi umat manusia. Pendekatan bernuansa antroposentris ini sepertinya bukan sekedar mewakili concern intelektual, tapi juga concern prakmatikal Rahman. Bahwa Al-Quran bukan hanya dapat dipahami oleh akal manusia, melainkan juga diturunkan demi membawa gerak sejarah pada tujuan yang dikehendaki umat manusia dengan berkeadilan dan berkeadaban.

Seperti yang dikatakan Nasaruddin Umar, dari 6.000 lebih ayat Al-Quran, siapapun bisa saja memetakan tema-tema tertentu dengan berbagai pendekatan dan hasilnya tentu berlainan, baik dari segi penamaan dan kuantitas tema, maupun paradigma yang dipakai. Seseorang mungkin memetakan kandungan Al-Quran, misalnya, dengan pendekatan Rukun Iman dan Rukun Islam; trilogi Islam-Iman-Ihsan; trilogi Syariah-Hakikat-Ma’rifat; kategori ayat Muhkamat-Mutasyabihat; tipologi ayat-ayat Makiyah-Madaniyah; trilogi Tuhan-Alam-Manusia; disiplin keilmuan Tauhid, Fiqih (syariat), Sirah, Ibadah, Muamalah, dan sebagainya.

Baca juga: Inilah 15 Nama-Nama Surga Yang Disebutkan dalam Al-Qur’an

Apapun pemetaan tema yang digunakan, tingkat keberhasilannya diukur dari sejauh mana ia mampu melingkupi dan menjelaskan realitas relatif utuh, terpadu, saling berkaitan, dan sederhana. Lebih dari itu, ia juga harus memiliki explaining power yang mampu memberi penjelasan terhadap realitas yang terus berubah dan ilmu pengetahuan yang terus berkembang. Ini sebuah tugas yang tidak sederhana. Di sini, Fazlur Rahman memberi kontribusi penting tentang pemetaan tema-tema pokok Al-Quran. Sebuah langkah cemerlang yang hingga saat ini masih relevan dalam keilmuan Al-Quran (ulum al-Qur’an). Ulasan lebih rinci mengenai delapan tema yang diungkap Rahman ini InsyaAllah akan saya bahas pada tulisan berikutnya. Wallahu a’lam []

Bersambung…

Al-Qur’an sebagai Fenomena Ujaran Perspektif Muhammad Arkoun

0
muhammad Arkoun
muhammad Arkoun

Muhammad Arkoun merupakan sarjana Islam kontemporer yang banyak menulis gagasannya dalam bahasa Perancis, termasuk yang berjudul Lectures du Coran (1982) yang membahas tentang kajian Al-Qur’an era kontemporer. Kajian Arkoun tersebut berhasil mengambil perhatian tersendiri di kalangan sarjana setelahnya.

Pengaruh Arkoun tersebut juga banyak mempengaruhi kajian Al-Qur’an di Indonesia. Hal ini terlihat, misalnya, adanya penerjemahan karya-karya Arkoun dalam bahasa Indonesia. Bahkan, pemikiran Arkoun menempati posisi penting –jika enggang mengatakan terpenting, dalam pembaharuan kajian Al-Qur’an di Indonesia. Buku Lectures du Coran menjadi salah satu karya Muhammad Arkoun yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.

Di sini, ada dua judul yang saya temukan: Berbagai Pembacaan Al-Qur’an (1997) oleh Machasin, dan Kajian Kontemporer Al-Qur’an (1998) oleh Hidayatullah. Dalam buku tersebut, salah satu isu menarik yang penting dibahas adalah isu tentang Al-Qur’an sebagai fenomena ujaran (linguistik), yang menempatkannya sebagai korpus terbatas dan korpus terbuka.

Baca Juga: Aplikasi Metode Hermeneutika Muhammed Arkoun pada Surah Al-Fatihah

Kajian Arkoun tersebut akan saya bahas secara sederhana dalam tulisan ini. Tujuannya adalah untuk menempatkan pandangan Arkoun dalam diskusi penyampaian Al-Qur’an yang menggunakan bahasa Arab.

Muhammad Arkoun dan Definisinya tentang Al-Qur’an

Muhammad Arkoun adalah sarjana kontemporer kelahiran 01 Ferburari 1928, Tourirt-Mimoun, Kabyliah, Aljazair. Di negara kelahirannya, Arkoun menjalani pendidikan dasar, pendidikan menangah, hingga tingkat universitas di Universitas Aljir dengan fokus pada kajian Bahasa dan Sastra. Lalu lanjut di Universitas Sorbonne, Paris, yang kemudian memperoleh gelar Doktornya di bidang sastra judul disertasi L’Humanisme Arabe au IVe/ Xe siecle: Miskawayh philosope et historian (1669).

Arkoun termasuk sarjana dunia yang akrab dengan Indonesia. Ini terbukti dari beberapa kali ia mengunjungi Indonesia: di antaranya pada tahun 1992, 1995, dan 2000. Kedatangannya tersebut tentu dalam rangka mendiskusikan berbagai gagasannya di berbagai seminar atau konferensi. Tidak heran jika banyak sarjana Indonesia yang terpengaruh dengan pemikiran asal Al-Jazair ini.

Dengan berbagai pejalanan intelektual, juga faktor sosialnya, Arkoun berhasil menguasai tiga bahasa utama: Berber Kabilia, Arab dan Prancis. Lectures du Coran (1982) adalah salah satu karya Arkoun yang diterjemahkan, ada banyak karya lainnya yang juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Dalam buku tersebut, Arkoun mengatakan bahwa secara linguistik, Al-Qur’an dapat dipahami sebagai korpus terbatas (tertutup) dan korpus terbuka pada berbagai ujaran dalam bahasa Arab.

Dalam definisi lainnya, Arkoun mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan Kalamullah yang dalam penyampaiannya mengalami interaksi langsung dengan realitas manusia, yang karenanya Al-Qur’an terpengaruh dan mempengaruhi realitas dan sosial budaya Arab. Arkoun menilai bahwa Al-Qur’an didokuntruksi melalui bahasa manusia, yang ditransmisikan secara lisan manusia, hingga ia ditulis.

Dengan meminjam sudut pandang linguistik, Arkoun menganalisis lebih jauh kehadiran Al-Qur’an dalam bentuk ujaran (lisan) berbahasa Arab yang muncul selama dua puluhan tahun. Persoalan yang dinilai hal biasa dan diterima begitu saja oleh kebanyakan umat Islam, dipertanyakan dan dianalisis lebih jauh oleh Arkoun.

Al-Qur’an sebagai Fenomena Ujaran

Fakta bahwa Al-Qur’an disampaikan dalam bentuk ujaran menjadikan ia pertama kali mesti dikaji dalam lingkup linguistik. Meskipun, menurut pengakuan Arkoun, kajian linguistik terkadang mendapati persoalan yang tidak sederhana dalam kajiannya, termasuk dalam memahami Kitab Suci (Al-Qur’an).

Arkoun mengatakan bahwa Al-Qur’an menempati posisi sebagai korpus homogen, yang semua ujaran di dalamnya dihasilkan dalam kerangka Situasi Wacana yang sama. Situasi wacana yang dimaksud adalah sejumlah keadaan yang melibatkan tempat terjadinya tindakan ujaran tersebut.

Untuk memahami situasi wacana tersebut, menurut Arkoun, kita mesti memahami secara menyeluruh lingkungan fisik atau sosial kapan dan di mana ujaran tersebut berlangsung, baik citra yang dimunculkan antar-penutur, identitas mereka, gagasan yang dimunculkan, berbagai kejadian yang mendahului ujaran tersebut, hingga berbagai perubahan ujaran yang terjadi.

Sebagai korpus yang homogen, pemahaman situasi wacana Al-Qur’an termasuk sangat sulit dijumpai. Hal ini karena ujaran Al-Qur’an tidak berlangsung sekali, melainkan secara bertahap selama dua puluh tahunan. Berbagai keilmuan yang digunakan untuk membuka situasi wacana tersebut pun, seperti Asbab Nuzul, masih jauh dari kata sempurna dalam menjelaskan situasi wacana. Ini karena Asbab Nuzul hanya semacam sejarah ringkas tentang ujaran Al-Qur’an.

Baca Juga: Emansipasi Tiga Sahabat Perempuan dan Asbab Nuzul Turunnya Ayat-Ayat Kesetaraan

Selanjutnya, Arkoun mengatakan bahwa sebagai korpus terbatas atau tertutup, Al-Qur’an dibatasi oleh jumlah ujaran-ujaran yang merangkainya. Keterbatasan ini dijumpai dari segi ungkapan dan segi isinya, termasuk penanda dan petanda yang dimuatnya. Pemahaman seperti ini memisahkan perbincangan dan karakter kemukjizatan Al-Qur’an secara linguistik.

Sementara sebagai korpus terbuka, Al-Qur’an untuk dibawa kepada konteks yang beragam, yang biasanya muncul dari setiap pengkajinya. Dengan demikian, sekalipun ujaran Al-Qur’an meliputi sesuatu yang terbatas, tetapi ia menjadi terbuka untuk dinalar dalam situasi wacana yang dialami oleh pengkajinya.

Arkoun, lebih jauh, mengatakan bahwa sebagai sebuah ujaran, Al-Qur’an sudah dan tetap menjadi sebuah ujaran (parole) sebelum berada dalam tulisan, dengan karakternya tersendiri. Ujaran-ujaran kemudian dikenal sebagai Ayat Al-Qur’an, yaitu seluruh ujaran yang berada dalam korpus.

Sampai di sini, pandangan Arkoun mengenai keberadaan Al-Qur’an sebagai sebuah ujaran menunjukkan kompleksitas ruang lingkup yang mesti ditempuh dalam memahami pesan-pesan Allah SWT ketika diujarkan era pewahyuan. Keilmuan terkait Asbab Nuzul sendiri dinilai masih minim dalam membuka situasi wacana yang terjadi ketika peristiwa ujaran Al-Qur’an terjadi.

Meski demikian, pandangan Arkoun di atas mengantarkan para pengkaji Al-Qur’an untuk berhati-hati dan teliti dalam mengkaji Al-Qur’an. Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana menyikapi keterbatasan (ketertutupan) dan keterbukaan Al-Qur’an sebagai sebuah korpus, yang berimplikasi pada ‘kebebasan’ para pengkaji dalam memahami kandungan sekaligus sejarah Al-Qur’an sebagai teks ujaran. [] Wallahu A’lam.