Beranda blog Halaman 353

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 72-73

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 72-73 mengulas tentang janji Allah kepada orang-orang mukmin yang mantap imannya, baik laki-laki ataupun perempuan, bahwa mereka akan mendapatkan surga kelak sebagai balasan atas ketaatan mereka.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 71


Sebaliknya, dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 72-73 juga diterangkan bahwa orang kafir dan munafik akan diserbu kaum Mukminin atas perintah Allah, yakni memerangi mereka dengan perlakuan yang keras, supaya mereka tidak lagi menyakiti hati Nabi dan kaum Muslimin. Berikut penjelasannya.

Ayat 72

Pada ayat ini Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin baik pria maupun wanita untuk mendapatkan surga sebagai balasan terhadap amalan baik mereka.

Surga itu ialah taman yang indah yang penuh dengan kenikmatan yang tak pernah dilihat oleh mata dan tak pernah didengar oleh telinga dan malahan tak pernah terlintas di hati, semua yang dilihat dan didengar asing dan baru sehingga sulit diumpamakan karena tak ada bandingannya di dunia.

Taman yang dinaungi pohon-pohon dimana mengalir sungai yang tidak menyerupai sungai-sungai di dunia ini baik warna maupun rasanya; orang-orang yang tinggal di dalamnya akan menetap selama-lamanya.

Sebagaimana sabda Nabi menerangkan tentang surga:

إِنَّ فِى الْجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ أَعَدَّهَا الله ُلِلْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ سَبِيْلِهِ كُلُّ دَرَجَتَيْنِ مَا بَيْنَهُمَا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَإِذَا سَأَلْتُمُ الله َفَاسْأَلُوْهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَمِنْهُ تُفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمٰنِ (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

Pada surga terdapat seratus tingkatan. Allah menyediakannya untuk orang-orang yang berjihad menegakkan agama Allah. Jarak satu tingkat dengan tingkat yang lainnya sebagaimana jarak antara langit dan bumi. Apabila kamu memohon kepada Allah, mintalah surga Firdaus, karena ini adalah surga yang terbaik dan tertinggi yang daripadanya terpancar sungai-sungai surga dan di atasnya Arasy Tuhan. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Manusia terdiri dari jasad dan ruh. Surga dengan segenap isinya memberikan kenikmatan paling tinggi kepada jasmani, dan keridaan Allah memberikan kenikmatan yang paling tinggi kepada rohani manusia.

Kedua macam nikmat ini adalah karunia Tuhan yang dijanjikan-Nya kepada mukmin baik pria maupun wanita. Inilah karunia Allah yang merupakan kemenangan yang besar lagi tak ada taranya yang tak akan dapat dicapai kecuali oleh orang-orang beriman dan beramal saleh.


Baca Juga : Tafsir Surah Yasin ayat 58-59: Ucapan Salam Untuk Para Penghuni Surga


Ayat 73

Ayat ini mengandung perintah kepada Nabi Muhammad agar melakukan jihad terhadap orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan memperlakukan mereka itu dengan perlakuan yang keras.

Melakukan jihad kepada orang-orang kafir adalah dengan pedang, sedang melakukan jihad kepada orang-orang munafik ialah menyadarkan mereka sebaik-baiknya dengan mengemukakan hujjah-hujjah yang diperlukan.

Orang kafir seperti orang Yahudi menyakiti Nabi dengan cara yang menyakitkan perasaan; mereka mengucapkan kalimat salam kepada Nabi dengan mengubah kata “Assalamu’alaikum” dengan “Assamulaikum”, ucapan yang berarti “Juga kematian atas kamu” dan Nabi pun tentulah membalasnya dengan ucapan: “Wa’alaikum” yang berarti “Juga kematian atas kamu”.

Di samping itu mereka sering pula melanggar perjanjian. Terhadap orang-orang munafik Nabi selalu memperlakukan mereka dengan lemah-lembut sebagaimana halnya memperlakukan orang-orang mukmin.

Tetapi sebaliknya orang-orang munafik selalu menyakiti Nabi, misalnya dengan melancarkan tuduhan-tuduhan yang mengutarakan bahwa Nabi itu pilih kasih dalam membagi harta rampasan perang dan zakat.

Nabi mudah percaya kepada laporan tanpa diteliti dan sebagainya yang maksudnya mengejek Nabi.

Oleh karena itu, Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad bertindak keras kepada mereka dengan maksud memberikan pelajaran kepada mereka dengan harapan agar mereka menjadi sadar.

Sikap keras yang Nabi jalankan itu suatu siasat yang diatur oleh Allah dan kenyataannya berhasil.Dengan perlakuan seperti itu banyak orang-orang yang kafir dan munafik bertobat dan kembali beriman.

Tetapi orang-orang yang masih belum sadar karena hanyut dan tenggelam dalam kemunafikan atau kekufuran, tempat mereka adalah neraka Jahanam untuk selama-lamanya, tempat paling buruk di akhirat.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 74-75


Kriteria Perempuan Salihah dalam Surah At-Tahrim Ayat 11-12

0
kriteria perempuan salihah dalam surah at-Tahrim ayat 11-12
kriteria perempuan salihah dalam surah at-Tahrim ayat 11-12

Pada ayat sebelumya Allah memberi perumpamaan tentang dua orang wanita (al-Mar’ah as-Sayyi’ah) yang durhaka kepada Allah dengan mengkhianati suaminya walaupun suaminya merupakan seorang yang salih dan bahkan juga seorang Nabi utusan Allah. Pada kesempatan ini penulis akan menjelaskan ayat selanjutnya, yang menerangkan tentang kriteria perempuan salihah, tepatnya dua orang wanita (al-Mar’ah as-Shalihah) yang taat kepada Allah dan tidak terpengaruh oleh suaminya. Berikut penjelasannya

Asiyah dan Maryam, dua kriteria perempuan salihah

Pada ayat 11 dijelaskan bahwa Allah memberikan kriteria perempuan salihah yang patut untuk dijadikan role model perempuan Islam pada zaman sekarang. Dalam kriteria dan perumpaan ini terdapat seorang perempuan yang begitu patuh kepada Allah dan tidak termakan rayuan dari suaminya yang kafir. Adapun redaksi ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut,

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِين

“Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhalim.”

Baca Juga: Memuliakan Perempuan, Memuliakan Peradaban: Intisari Doa Asiyah Binti Muzahim

Dalam kitab Tafsir al-Kasyaf, Zamakshari mengatakan bahwa para ahli tafsir menjelaskan yang dimaksud dengan imra’ah Fir’aun dalam ayat ini adalah istri Fir’aun yang bernama Asiyah binti Muzahim. Asiyah juga merupakan bibi Nabi Musa As. yang beriman kepada Allah tatkala mendengar berita lemparan tongkat Nabi Musa As. yang turut menghapus semua kesombongan Fir’aun. Mengetahui hal itu,lalu Fir’aun mengazab dan menyiksanya dengan siksaan yang sangat pedih.

Sedangkan dalam kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir Ibnu Ashur dikatakan bahwa istri Fir’aun yang dimaksud dalam ayat ini adalah istri Fir’aun yang Nabi Musa di utus kepadanya untuk berdakwah dan ini terjadi pada Fir’aun yang ketiga (Ramsis III), dan bukanlah istri Fir’aun yang mengangkat Nabi Musa As. sebagai anaknya karena ini terjadi pada raja Ramsis II dan jarak antara dua zaman ini sekitar 80 tahun dan belum ada pengetahuan tentang agama ketika itu sebelum Nabi Musa diutus menjadi Nabi kepada mereka. Bisa jadi istri Fir’aun (Asiyah) ini merupakan keturunan Bani Israil yang dinikahi oleh Fir’aun dan dia beriman dengan risalah yang dibawa Nabi Musa.

Sebagian mufasir lain mengatakan bahwa dia adalah bibi Nabi Musa As. atau Allah memberikan hidayah kepadanya untuk beriman dengan risalah Nabi Musa sebagaimana Allah telah memberikan hidayah kepada lak-laki mukmin dari keluarga Fir’aun.

Setelah mengkisahkan tentang Asiyah, pada ayat terakhir surat ini Allah juga memberikan keteladan Maryam sebagai perempuan yang taat dan patuh terhadap perintah Allah yang termuat dalam Q.S. al-Tahrim [66]:12.

وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ

“Dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-Kitab-Nya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat.”

Baca Juga: Inilah Beberapa Perempuan yang Disinggung dalam Al-Quran

Al-Qurthubi dalam Kitab al-Jami’ li Ahkam min al-Qur’an bahwasanya ayat ini merupakan ‘athaf terhadap ayat sebelumnya. Allah mengumpamakan Maryam sebagai permisalan bagi orang-orang yang beriman. Bagaimana sabarnya dia ketika disakiti, dihina dan dicemooh oleh orang-orang yahudi dengan tuduhan zina ketika mereka mengetahui bahwa Maryam dalam keadaan hamil dan melahirkan anak tanpa suami.

Al-Qurthubi menambahkan bahwa yang dimaksud dengan “allati ahsanat farjaha” dalam ayat ini adalah ia menjaga kemaluannya dari perbuatan keji dan sebagai mufassir juga mengatakan bahwa yang dimaksud dengan farj di sini adalah jayb atau saku. Sedangkan “fa nafakhna fihi min ruhina” maksudnya adalah malikat Jibril As. yang meniupkan ruh ke kantong atau saku baju Maryam dan bukan ke farj (kemaluannya).

Tipologi perempuan salihah

Dua perempuan yang disebutkan dalam ayat 11 dan 12 pada surah al-Tahrim ini, yakni Asiyah dan Maryam layak disebut sebagai perempuan shalihah karena dalam diri keduanya terdapat ciri-ciri dari perempuan Shaliha, yaitu :

  1. Taat kepada Allah Swt.

Taat kepada Allah berarti patuh dan tunduk kepada semua aturan Allah dalam menjalani kehidupan ini. Ketika seorang perempuan melakukan hal tersebut, maka bisa dikatakan (Al-Mar’ah as-Shalihah) yang selalu menjaga hubungannya dengan sang pencipta. Keadaan ini bisa terlihat bagaimana taatnya Asiyah dan Maryam terhadap perintah Allah. Dalam kondisi apapun mereka selalu ingat dan mengikut- sertakan Allah dalam hal apapun.

Adapun bukti ketaatan Asiyah ini terlihat dari pernyataan ketika minta kepada Allah dibangunkan sebuah rumah di surge untuknya. Tentu saja berani meminta hal tersebut, karena ia yakin dengan ketaatannya kepada Allah selama ini akan mendapatkan balasan yang baik. Begitu dengan Maryam, aktivitasnya sehari-hari yang tidak terlepas dari berdo’a dan beribadah kepada Allah Swt. Dimihrabnya. Ketaatan merupakan ciri utama dari perempuan shalihah dan pembeda dengan perempuan laiinya seperti halnya istri Nabi Nuh dan Nabi Luth.

Termasuk dalam ketaatan kepada Allah yaitu tidak menggantikan kedudukanNya dengan suami, terlebih jika si suami maksiat kepada Allah, seperti yang terjadi pada Siti Asiyah.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa

  1. Ikhlas dengan ketentuan Allah Swt.

Hal ini tergambar dari keadaan Asiyah ketika menikah dengan Fir’aun. Ia yang berasal dari keluarga yang shalih dan taat terhadap perintah Allah menerima dengan ikhlas ketika Fir’aun memaksanya untuk menikahinya karena semua itu sudah ketentuan dari Allah. Begitu juga Maryam, ketika Allah berkehendak meniupkan ruh dan menciptakan janin dalam perutnya yang didatangi oleh malaikat Jibril, ia menerima dengan ikhlas walaupun banyak ejekan dan cacian dari orang-orang sekitar.

  1. Memiliki kesabaran yang tinggi

Hal ini terlihat ketika Asiyah sabar ketika disiksa oleh Fir’aun yang merupakan suaminya sendiri tatkala mengetahui bahwa tidak mempercayai Fir’aun sebagai Tuhannya. Begitu juga Maryam yang sabar menghadapi hinaan dan cemooh dari kaumnya bahkan dituduh zina ketika mereka mengetahui bahwa Maryam hamil.

  1. Menjaga kehormatan

Hal ini terlihat dari kisah Maryam yang nyata-nyata disebutkan dalam teks ayat “allati ahsanaf farjaha” yang menjadi pelajaran bagi seluruh kaum perempuan agar menjaga kehormatannya. Adapun bentuk aplikasi hal tersebut dengan menutup aurat, menjaga pandangan, menjaga kemaluan, dan tidak menampakkan perhiasan yang berlebihan.

Demikian penjelasan mengenai Role model, tipologi dan kriteria perempuan salihah dalam surah At-Tahrim [66]:11-12. Semoga kita bisa meneladaninya. Amin

Wallahu a’lam Bisshowab

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 102

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pembahasan sebelumnya mengenai tentang orang Yahudi yang mengingkari ayat Allah, mengingkari janji dan menyampingkan Taurat. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 102 ini tidak lepas dari ayat 101 sebelumnya. Sebagian Ahli Kitab itu meninggalkan Kitab mereka (Taurat).


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 97-101


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 102 menjelaskan orang Yahudi (ahli kitab) yang tidak hanya meninggalkan Taurat juga mengikuti bisikan manusia-manusia setan (syayatin) yang mengajarkan sihir pada masa Nabi Sulaiman.

Ayat 102

Orang-orang Yahudi mengikuti sihir yang dibacakan oleh setan pada masa Sulaiman putra Daud, meskipun mereka tahu, bahwa yang demikian itu sebenarnya salah. Mereka menuduh bahwa Nabi Sulaiman yang menghimpun kitab sihir, dan menyimpan di bawah tahtanya, kemudian dikeluarkan dan disiarkan.

Dugaan seperti ini adalah suatu pemalsuan dan perbuatan yang dipengaruhi oleh hawa nafsu. Sebenarnya mereka hanya menghubung-hubungkan sihir itu pada Nabi Sulaiman.

Nabi Sulaiman tidak mengajarkan atau mempraktekkan sihir karena ia mengetahui bahwa perbuatan yang demikian itu termasuk mengingkari Tuhan, apalagi kalau ditinjau dari kedudukannya sebagai nabi, mustahillah ia mempraktekkan sihir.

Kisah tentang sihir banyak dituturkan dalam Alquran terutama dalam kisah Musa dan Fir’aun. Dalam kisah itu diterangkan sifat-sifat sihir, bahwa sihir itu adalah sulapan yang menipu pandangan mata, sehingga orang yang melihat mengira, bahwa yang terlihat seolah-olah keadaan yang sebenarnya. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:

يُخَيَّلُ اِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ اَنَّهَا تَسْعٰى

“…Terbayang olehnya (Musa) seakan-akan ular merayap cepat, karena sihir mereka…. (Taha/20:66) Dan sesuai dengan firman Allah:

سَحَرُوْٓا اَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوْهُمْ

“…Mereka menyihir mata orang banyak dan menjadikan orang banyak itu takut,… (al-A’raf/7:116)

Sihir termasuk sesuatu yang tersembunyi, yang hanya diketahui oleh sebagian manusia saja.

Tetapi apa yang telah terjadi menunjukkan bahwa kedua malaikat itu tidak mampu memberikan pengaruh gaib yang melebihi kemampuan manusia, bahkan yang disebut kekuatan gaib oleh mereka itu hanyalah kemahiran dalam menguasai sebab-sebab yang mempunyai perpautan dengan akibat yang dilakukan.

Hal ini hanyalah terjadi karena izin Allah semata-mata, sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan-Nya.

Dalam praktek, tukang-tukang sihir itu membaca mantera dengan menyebut nama-nama setan dan raja-raja jin agar timbul kesan seolah-olah manteranya itu dikabulkan oleh raja jin. Atas dasar praktek mereka inilah timbul anggapan yang merata dalam lapisan masyarakat, bahwa sihir itu dibantu oleh setan.

Kemudian orang Yahudi yang sezaman dengan Nabi Muhammad saw menyebarluaskan sihir itu di kalangan orang-orang Islam dengan tujuan untuk menyesatkan. Mereka dapati sihir itu dari nenek moyang mereka yang mengatakan sihir itu dari Sulaiman a.s..

Padahal kedua malaikat tidak mengajarkan sihir kepada seorang pun, sebelum memberikan nasihat agar orang jangan mengamalkan sihir itu, sebab orang yang mempraktekkan sihir itu adalah kafir.

Ayat 102 ini tidak lepas dari ayat 101 sebelumnya. Sebagian Ahli Kitab itu meninggalkan Kitab mereka (Taurat) dan mengikuti bisikan manusia-manusia setan (syayatin) yang mengajarkan sihir pada masa Nabi Sulaiman.

Ayat ini membantah tuduhan kelompok Yahudi, bahwa ia mendapatkan kekuasaan dan kekayaannya melalui sihir (Zamakhsyari 1/230), juga menolak pernyataan Bibel, bahwa Sulaiman telah berdosa dengan melakukan praktek syirik.

Dia dituduh beristrikan 700 perempuan bangsawan asing dan 300 gundik. Karena kebanyakan mereka penyembah berhala, maka Sulaiman juga pada masa tuanya terpengaruh oleh mereka, cenderung percaya kepada berhala-berhala dan dewa-dewa—tidak seperti bapanya Daud (Kitab Raja-Raja I, 11:1-10).

Harut dan Marut yang disebutkan dalam ayat ini adalah dua orang di Babilonia, sekitar Sungai Furat di Irak, “yang berpura-pura seperti orang saleh dan bertakwa. Mereka mengajarkan sihir kepada masyarakat, sehingga keduanya dikira dua malaikat yang turun dari langit, dan yang diajarkan dikira wahyu dari Allah.

Mereka pandai sekali menipu dan menjaga itikad baik masyarakat kepada mereka, maka mereka berkata kepada setiap orang yang ingin belajar dari mereka, bahwa “Kami hanyalah cobaan, janganlah kamu menjadi kafir,” yakni bahwa mereka para penguji “yang akan menguji kamu, akan bersyukur atau akan kufur. Maka kami menasihati kalian, janganlah menjadi kafir.”

Mereka berkata begitu untuk memberi kesan bahwa ilmu yang mereka bawa dari Tuhan, dan praktek mereka untuk kepentingan rohani. Tapi tujuannya hanya demi merusak keharmonisan.

Dalam hal ini orang-orang Yahudi punya banyak tahayul. Mereka percaya bahwa sihir yang diturunkan kepada mereka sungguh dari Tuhan. Kedatangan kedua malaikat itu hanya untuk mengajar manusia. Maka Alquran datang membantah anggapan mereka, bahwa itu datang dari langit, dan mengecam keras mereka yang belajar dan mengajarkannya…” (al-Qasimi 1/210).

Mengutip al-Hasan al-Basri, al-Zamakhsyari (1/230) mengatakan bahwa kata malakaini (dua malaikat) ini dibaca malikaini (dua raja). Muhammad Asad menambahkan, bahwa Ibn Abbas dan tabi’in berikutnya, seperti al-Hasan al-Baari, Abu al-Aswad ad-Dahhak juga membacanya malikaini.

Adapun dua malaikat itu adalah Jibril dan Mikhail, mereka yang mengajarkan sihir kepada Sulaiman, seperti yang dituduhkan oleh orang-orang Yahudi itu. Sedang dua raja adalah Daud dan Sulaiman.


Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman


Tentang kata Wa ma unzila ‘ala al-malakaini, pendapat para mufasir tidak sama, ada yang mengatakan ma nafiyyah (“tidak diturunkan”) ada pula yang berpendapat ma ismiyyah atau isim mausul (“apa yang diturunkan”), dan sebagainya. Tetapi perbedaan gramatikal ini rasanya kurang perlu dibahas di sini.

Dengan mengacu kepada tafsir-tafsir Haqqani, Baidawi dan ar-Razi, kita coba meringkaskan apa yang disebutkan dalam tafsir Abdullah Yusuf Ali, bahwa “Kata para malaikat yang diterapkan pada Harut dan Marut ialah kata kiasan, yang berarti orang-orang baik, berpengetahuan, berilmu (atau arif bijaksana) dan punya kekuatan”, seperti kata malaikat dalam bahasa-bahasa modern juga dipakai untuk perempuan yang baik dan cantik, dan bagi mereka berlaku segala sifat keindahan, yang juga berarti kebaikan, pengetahuan, kearifan dan kekuatan.

“Harut dan Marut hidup di Babilonia, pusat ilmu paling tua, terutama dalam astronomi. Diperkirakan masanya sekitar zaman Kerajaan Kuno di Timur, sangat kuat dan maju. Malah mungkin lebih tua lagi, mengingat Marut atau Marduk merupakan pahlawan yang didewakan dan kemudian dipuja sebagai dewa sihir di Babilonia.

Agak berbeda dengan pendapat al-Qasimi di atas, ia menyebutkan bahwa Harut dan Marut sebagai manusia yang baik tidak mau menceburkan diri ke dalam kejahatan, mereka bersih dari segala penipuan.

Ilmu dan seni jika dipelajari oleh orang jahat dapat digunakan untuk kejahatan pula. Di samping praktek sihirnya yang keji, setan juga belajar tentang ilmu yang benar itu sedikit-sedikit dan akan digunakannya untuk maksud-maksud jahat tadi.

Harut dan Marut bukan mau menyembunyikan ilmu, namun mereka belum pernah mengajarkan kepada siapa pun tanpa memberikan peringatan mengenai bahaya dan godaan ilmu semacam itu bila berada di tangan orang jahat.

Mereka melihat bukan tidak mungkin orang-orang jahat itu akan terjerumus ke dalam kekufuran dan akan jadi sombong karena ilmunya. Ilmu ini memang merupakan cobaan dan godaan; kalau sudah diberi peringatan, tahulah kita akan bahayanya. (Abdullah Yusuf Ali: C. 107).

Yusuf Ali menambahkan, “Di antara sekian banyak cerita Israiliat dalam Midrash (Kitab Tafsir Yahudi) ada sebuah cerita tentang dua malaikat yang memohonkan izin kepada Allah hendak turun ke bumi ini, tetapi kemudian mereka menyerah kepada godaan, lalu sebagai hukuman mereka digantung di Babilonia dengan kaki di atas.

Cerita-cerita tentang para malaikat yang berdosa yang telah menerima hukuman demikian sudah menjadi kepercayaan kalangan kristiani dahulu juga. (Lihat Surat Petrus yang Kedua, 2, 4, dan Surat Yudas, ayat 6).

Apa yang dipelajari oleh setan dari Harut dan Marut mereka ubah untuk maksud-maksud jahat. Karena dicampur dengan kepalsuan dan penipuan, maka lahirlah segala jimat-jimat, mantera dan guna-guna.

Tetapi lepas dari mudarat yang dibuat oleh penipu-penipu yang hendak ditimpakannya kepada orang lain itu, mudarat atau bahaya yang mereka lakukan itu akan menimpa jiwa mereka sendiri. Mereka menjual diri sendiri menjadi budak kejahatan (Idem).

Ayat ini sebenarnya tidak menunjukkan hakikat sihir. Apakah sihir itu berpengaruh secara tabi’i atau disebabkan oleh sesuatu yang sangat misteri, juga tidak diterangkan apakah sihir itu dapat memberi pengaruh kepada manusia dengan cara yang tidak biasa, atau sama sekali tidak memberikan pengaruh apa-apa.

Ringkasnya, Allah tidak memberikan keterangan secara terinci. Andaikan Allah memandang baik menerangkan hakikat sihir itu dan bermanfaat bagi manusia, tentulah Allah akan menerangkannya secara terperinci.

Seterusnya Allah menjelaskan bahwa sihir tidak memberikan manfaat sedikit pun kepada manusia, bahkan memberikan mudarat. Oleh sebab itu, Allah mengancam orang yang mempraktekkannya dengan siksaan. Orang-orang Yahudi pun sebetulnya telah mengetahui bahwa sihir memudaratkan manusia, dan seharusnya mereka membencinya.

Tetapi, karena ada maksud jahat yang terkandung dalam hati mereka untuk menyesatkan orang Islam, mereka pun mau mengerjakannya. Oleh karena itulah, Allah mencela perbuatan sihir dan memasukkan orang yang melakukannya ke dalam golongan orang yang memilih perbuatan sesat.

Selanjutnya Allah menegaskan bahwa di akhirat mereka tidak akan mendapat kebahagiaan sedikit pun. Karena mereka yang telah memilih perbuatan sihir, berarti mereka telah menyalahi hukum yang termuat dalam Taurat, padahal dalam Kitab mereka sendiri terdapat juga ketentuan bahwa orang yang mengikuti bisikan jin, setan dan dukun itu, sama hukumnya dengan orang yang menyembah berhala dan patung.

Lebih jauh Allah menjelaskan bahwa sihir yang mereka kerjakan itu sangat jelek, Allah menggambarkan orang yang memilih perbuatan sihir sebagai kesenangannya seperti orang yang menjual iman dengan kesesatan. Gambaran serupa ini gunanya untuk menyingkapkan selubung mereka, agar kesadarannya dapat terbuka dan mengetahui bahwa manusia diciptakan Allah untuk berbakti kepada-Nya.

Dengan kata lain, andaikata mereka mengetahui kesesatan orang yang mempelajari dan mempraktekkan sihir, tentulah mereka tidak akan melakukannya. Tetapi mereka telah jauh tertipu, sehingga mereka beranggapan bahwa sihir itu termasuk ilmu pengetahuan, dan mereka merasa puas dengan ilmu yang tidak terbukti kebenarannya dan tidak memberikan pengaruh apa pun kepada jiwa seseorang kecuali dengan izin Allah.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 103-106


(Tafsir kemenag)

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 71

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Sebelumnya telah dijelaskan perihal model sifat orang munafik, kali ini dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 71 akan dijelaskan kebalikannya, yakni model sifat orang Mukmin serta yang membedakannya dengan sifat orang-orang munafik. Berikut uraiannya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 68-70


Ayat 71

Ayat ini menerangkan bahwa orang mukmin, pria maupun wanita saling menjadi pembela di antara mereka. Selaku mukmin ia membela mukmin lainnya karena hubungan agama.

Wanita pun selaku mukminah turut membela saudara-saudaranya dari kalangan laki-laki mukmin karena hubungan seagama sesuai dengan fitrah kewanitaannya.

Istri-istri Rasulullah dan istri-istri para sahabat turut ke medan perang bersama-sama tentara Islam untuk menyediakan air minum dan menyiapkan makanan karena orang-orang mukmin itu sesama mereka terikat oleh tali keimanan yang membangkitkan rasa persaudaraan, kesatuan, saling mengasihi dan saling tolong-menolong.

Kesemuanya itu didorong oleh semangat setia kawan yang menjadikan mereka sebagai satu tubuh atau satu bangunan yang saling menguatkan dalam menegakkan keadilan dan meninggikan kalimah Allah.

Sifat mukmin yang seperti itu banyak dinyatakan oleh hadis-hadis Nabi Muhammad antara lain, seperti sabdanya:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مِثْلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالْحُمَّى وَالسَّهَرِ (رواه البخاري ومسلم عن النعمان بن بشير)

Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, saling menyantuni dan saling membantu seperti satu jasad, apabila salah satu anggota menderita, seluruh anggota jasad itu merasakan demam dan tidak tidur.  (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir).

Sifat saling membela tidak terdapat pada orang-orang munafik karena mereka diliputi oleh keraguan dan sifat pengecut. Persaudaraan ini di kalangan mereka sekadar ucapan permainan lidah sebagaimana diutarakan di dalam firman Allah:

اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ نَافَقُوْا يَقُوْلُوْنَ لِاِخْوَانِهِمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَىِٕنْ اُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيْعُ فِيْكُمْ اَحَدًا اَبَدًاۙ وَّاِنْ قُوْتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَشْهَدُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ   ١١  لَىِٕنْ اُخْرِجُوْا لَا يَخْرُجُوْنَ مَعَهُمْۚ وَلَىِٕنْ قُوْتِلُوْا لَا يَنْصُرُوْنَهُمْۚ وَلَىِٕنْ نَّصَرُوْهُمْ لَيُوَلُّنَّ الْاَدْبَارَۙ ثُمَّ لَا يُنْصَرُوْنَ   ١٢

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudaranya yang kafir di antara Ahli Kitab, ”Sungguh, jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun demi kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantumu.”

Dan Allah menyaksikan, bahwa mereka benar-benar pendusta. Sungguh, jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan jika mereka diperangi; mereka (juga) tidak akan menolongnya; dan kalau pun mereka menolongnya pastilah mereka akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan. (al-Hasyr/59: 11 – 12)

Baca Juga : Pengertian Tawakal dan Perintahnya dalam al-Quran

Sifat-sifat yang dimiliki orang mukmin berbeda dari sifat-sifat orang munafik pada hal-hal berikut:

  1. Orang mukmin selalu mengajak berbuat baik dan melarang perbuatan mungkar, sedang orang munafik selalu menyuruh berbuat mungkar dan melarang berbuat baik.
  2. Orang mukmin mengerjakan salat dengan khusyuk dengan hati yang ikhlas sedang orang munafik mengerjakan salat dalam keadaan terpaksa dan riya.
  3. Orang mukmin selain mengeluarkan zakat, tangan mereka selalu terbuka untuk menciptakan kesejahteraan umat dan memberikan sumbangan sosial, sedang orang munafik kikir, jika mereka mengeluarkan zakat atau derma adalah karena ria bukan karena ikhlas kepada Allah, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:

وَمَا مَنَعَهُمْ اَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقٰتُهُمْ اِلَّآ اَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَبِرَسُوْلِهٖ وَلَا يَأْتُوْنَ الصَّلٰوةَ اِلَّا وَهُمْ كُسَالٰى وَلَا يُنْفِقُوْنَ اِلَّا وَهُمْ كٰرِهُوْنَ

Dan yang menghalang-halangi infak mereka untuk diterima adalah karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak melaksanakan salat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menginfakkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (terpaksa). (at-Taubah/9: 54)

  1. Orang mukmin selalu taat kepada Allah dengan cara meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat dan mengerjakan segala perintah menurut kesanggupan mereka sedang orang munafik terus-menerus berbuat maksiat.

Akhir ayat ini menegaskan bahwa Allah pasti akan melimpahkan rahmat-Nya baik di dunia maupun di akhirat kepada orang-orang mukmin sedang ayat-ayat yang lalu Allah melaknati orang-orang munafik dan mengancam mereka dengan api neraka. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, tidak seorang pun yang dapat menolak siksaan-Nya.

Dia Mahabijaksana melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada orang-orang yang dikehendaki sesuai dengan amalan-amalan yang telah dikerjakannya.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 72-73


Sejarah Puasa dan Rahasia Dipilihnya Bulan Ramadhan Menurut Para Tokoh Tafsir

0
sejarah puasa dan rahasia dipilihnya bulan Ramadhan
sejarah puasa dan rahasia dipilihnya bulan Ramadhan

Puasa menjadi rukun Islam sejak dua tahun setelah Nabi SAW dan para pengikutnya hijrah ke Madinah. Seperti ritus ibadah lainnya, puasa disyariatkan pasca hijrah karena menunggu timing yang tepat bagi pengikut Nabi SAW untuk melaksanakannya, yaitu setelah mereka mantap meyakini keesaan Allah SWT dan kerasulan Nabi SAW. Tetapi, belum banyak yang tahu sejarah puasa dan rahasia dipilihnya Bulan Ramadhan sebagai waktu menunaikannya.

Suatu ritus kuno

Sejaran puasa tidak bermuasal dari Islam, puasa merupakan ritus kuno bagi beragam agama jauh sebelum Islam datang. Diceritakan oleh Louis Ma’luf dalam Kamus al-Munjid, Sejak abad 26 SM, bangsa Mesir dan Phoenisa sudah berpuasa untuk menghormati Dewi Izis, penentu nasib jodoh manusia.

Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan, juga menerangkan bahwa Umat Nasrani di masa silam telah berpuasa di bulan Ramadhan. Al-Bukhari dalam Shahihnya, juga mentakhrij hadis dari ‘Aisyah, tentang ibadah puasa kaum Jahiliyyah Arab di Hari ‘Asyura (10 Muharram).

Al-Jurjawi, dalam Hikmah Tasyri’, juga menerangkan bahwa Kaum Watsani (penyembah api dan berhala) berpuasa saat Tuhannya marah atau untuk meminta kerelaan Tuhan mereka atas pengharapan-pengharapan yang mereka langitkan.

Baca Juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183

Dalam tradisi Agama Yahudi, ‘Asyura juga diagungkan dan penganutnya puasa di hari itu. Di Hari ‘Asyura, bahtera Nabi nuh berlabuh di lembah Judiy dan Nabi Musa serta Bani Israel selamat dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Puasa dijadikannya ritus untuk memperingati momen penting itu.

Islam pun juga mensyariatkan puasa hari Asyura’ sebagai ibadah sunnah, dan bahkan wajib menurut Hanafiyyah. Hingga, pada tahun 2 Hijriah pada bulan Sya’ban, turunlah perintah wajib berpuasa Ramadhan bagi umat Islam.

Berbeda dengan tujuan dan motivasi puasa dengan umat sebelumnya, Islam mensyariatkan puasa atas dasar ibadah dan bertujuan untuk menjadi hamba yang bertakwa. Seperti firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 185:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa tujuan puasa ialah membentuk ketakwaan dalam diri seorang muslim. Nabi SAW juga bersabda bahwa barangsiapa berpuasa di Bulan Ramadhan didasari oleh keimanan dan harapan mendapat pahala, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni. Berikut ini sabda Nabi yang ditakhrij oleh Imam Muslim dalam kitab Sahihnya:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar keimanan dan mengharapkan pahala maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.

Baca Juga: Ini Golongan Orang yang Mendapat Rukhsah Tidak Puasa

Rahasia dipilihnya Ramadhan

Selain sejarah puasa, dipilihnya bulan Ramadhan sebagai waktu untuk berpuasa ternyata menyimpan rahasia. Menurut al-Dahlawi dalam Hujjah Allah al-Balighah, ada kriteria yang telah terpenuhi oleh Ramadhan, sehingga bulan ini dipilih menjadi momen umat Islam berpuasa. Yakni, karena di bulan ini, turun Alquran, dasar agama Islam sekaligus mukjizat paling agung.

Statemen al-Dahlawi juga telah dijelaskan lebih lanjut oleh Al-Razi saat menafsir Q.S. al-Baqarah [2]: 185, bahwa ayat tersebut memuat ‘illat (alasan) mengapa perintah puasa jatuh pada bulan Ramadhan. ‘illat itu tak lain karena di bulan Ramadhan turun tanda ketuhanan (ayat rububiyyah) yang paling agung, yaitu Alquran. Oleh sebab itu, lanjut al-Razi, seorang hamba harus mengabdikan dirinya dengan mengamalkan ritus ibadah sebagai simbol penghambaan kepada Rabbnya (ayat ‘ubudiyyah). Kemudian puasa dipilih sebagai ritus ibadah tersebut.

Setelah terang bahwa Ramadhan merupakan bulan yang agung dan puasa menjadi ritus yang harus dilakukan untuk mengapresiasinya, muncul pertanyaan, mengapa puasa lebih dipilih daripada salat? sebenarnya pertanyaan ini sudah dijawab ketika kita telah memahami paragraf sebelumnya, tepatnya tentang penurunan bukti ketuhanan dan tindakan yang seharusnya dilakukan seorang hamba untuk merespon bukti tersebut.

Secara fitrah seorang hamba, memberi respon saat Tuhan menurunkan bukti ketuhananNya adalah suatu hal yang lumrah. Contoh sederhana, saat seseorang menyadari dalam perenungannya tentang adanya alam raya, ia lalu meyakini wujudnya Sang Pencita.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Hanya Membayar Fidyah Bagi Ibu Hamil dan Menyusui?

Tetapi, pada prinsipnya, Allah menunjukkan bukti ketuhanan yang paling agung berupa Alquran, tak lain agar kita mengimaniNya. Sementara, kita sebagai manusia yang secara manusiawi memiliki karakter egois, berkeluh kesah, dan ragam hawa nafsu lainnya pasti akan sulit menembus tabir yang menghalangi dari bukti ketuhanan tersebut. Sehingga, untuk menyingkap tabir itu, diperlukan ritus yang mampu menekan hawa nafsu.

Puasa, berdasarkan pengalaman para sufi terbukti ampuh untuk menyingkap tabir itu. Al-Razi menuturkan, puasa adalah sebab yang paling mujarab untuk menghilangkan egoisme manusia, sehingga patut dijadikan ritus ibadah di bulan Ramadhan. Keampuhan puasa sebagai penahan hawa nafsu dapat dicermati dari ketentuan puasa itu sendiri.

Puasa yang semakna dengan al-imsak (menahan) memiliki dua dimensi yang harus ditahan. Dimensi syar’i berupa menahan makan, minum, berhubungan suami-istri, dan dimensi akhlaki berupa egois, dengki, menggunjing, menfitnah, dan etika tercela lainnya.

Keefektifan puasa dalam menahan hawa nafsu juga disampaikan oleh Nabi. Menyitir dari al-Jurjawi, terdapat sabda Nabi:

من جاع بطنه عظمت فكرته وفطن قلبه

“Barangsiapa lapar, akan luas pikirannya dan peka hatinya.”

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Mengqadha Puasa Sunnah

Begitu pula, dalam secuplik nasihat Lukman al-Hakim kepada anaknya, juga disampaikan bahwa perut yang penuh mengakibatkan pikiran tertutup, hati bungkam, dan tubuh lumpuh untuk beribadah.

Hadis dan kalam hikmah tersebut melengkapi argumentasi di atas, bahwasanya puasa adalah media paling manjur untuk menahan hawa nafsu yang menjadi sebab utama seorang hamba terhalangi dari Tuhannya.

Dengan kita tahu rekam jejak sejarah puasa, pensyariatan puasa dalam lintas keyakinan dan rahasia Ramadhan sebagai waktu pelaksanaannya dalam Islam, semoga semakin memantapkan diri terhadap ajaran yang kita yakini, dan keikhlasan hati saat menunaikan ibadah puasa. Selamat Berpuasa!

Wallahu a’lam

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 68-70

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 68-70 berbicara tentag ancaman Allah kepada kaum munafik. Sifat mereka tidak berbeda dengan kaum yang munafik yang ingkar pada zaman nabi sebelumnya. Permasalahannya adalah kenapa mereka tidak belajar dan mengambil hikmah tersebut jika mereka sudah mengetahuinya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 65-67


Ayat 68

Ayat ini menerangkan ancaman Tuhan kepada orang-orang munafik baik pria maupun wanita dan ancaman-Nya kepada orang-orang kafir. Allah mengancam mereka dengan azab api neraka dan mereka kekal abadi di dalamnya.

Mereka mendapat kutukan Tuhan di dunia dan di akhirat serta mereka tidak berhak mendapat rahmat Allah. Azab Tuhan terus-menerus menimpa mereka baik azab fisik maupun siksaan batin yang tak habis-habisnya.

Mereka tidak dapat melihat wajah Allah karena melihat wajah Allah itu tidak diizinkan bagi orang-orang yang mengingkarinya.


Baca Juga : Anda Beriman, Maka Bersiaplah untuk Diuji, Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 2


Ayat 69

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang munafik yang menyakiti Nabi Muhammad dan orang-orang mukmin tidak berbeda dengan orang-orang munafik yang hidup pada masa dahulu.

Jika pada masa Nabi Muhammad mereka teperdaya oleh harta kekayaan dunia dan terpengaruh oleh anak-anak mereka, maka serupa itu pulalah orang-orang munafik pada masa dahulu ketika menghadapi utusan-utusan Allah.

Mereka memiliki kekuatan, kekayaan harta benda yang cukup dan anak-anak yang banyak yang menyebabkan mereka teperdaya oleh kelezatan hidup dunia. Mereka selalu dipengaruhi oleh keinginan hidup mewah dan ingin bebas berbuat semaunya untuk kepuasan hawa nafsunya.

Orang-orang munafik pada masa dahulu memang wajar berlaku demikian karena faktor-faktor yang membawa mereka kepada kejahatan lebih banyak karena mereka mempunyai kekuatan dan kekayaan.

Berlainan halnya dengan orang-orang munafik pada zaman Nabi Muhammad di samping berkurangnya kekuatan dan harta kekayaan, faktor-faktor yang membawa mereka untuk berbuat kebaikan lebih banyak. Semua perbuatan orang munafik meskipun berupa perbuatan yang baik adalah menjadi sia-sia di dunia dan akhirat karena mereka melakukannya tanpa keikhlasan.

Seharusnya mereka menjadi orang-orang yang beruntung karena mereka juga turut melakukan amal sosial, tetapi mereka lupa bahwa untuk diterimanya suatu amalan yang baik harus disertai dengan kejujuran dan keikhlasan. Kekeliruan mereka ini digambarkan dalam firman Allah:

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْاَخْسَرِيْنَ اَعْمَالًا ۗ  ١٠٣  اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا   ١٠٤

Katakanlah (Muhammad), ”Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya?” (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. (al-Kahf/18: 103-104)

Ayat 70

Pada ayat ini Allah mencela orang-orang munafik mengapa mereka tidak mengetahui kisah tentang umat-umat dahulu kala seperti umat Nabi Nuh, kaum ‘Ad dan Tsamud, kaum Ibrahim dan penduduk Madyan dan kaum Luth.

Kepada mereka, Allah telah mengutus rasul-rasul-Nya yang membawa petunjuk-petunjuk dari Allah, tetapi mereka sambut rasul-rasul Allah itu dengan sikap menantang, sehingga Allah menurunkan kepada mereka azab seperti topan yang menenggelamkan kaum Nuh, angin yang membinasakan kaum ‘Ad, dan petir yang membinasakan kaum Tsamud.

Hal itu tidaklah berarti Allah berbuat aniaya terhadap mereka, karena bertentangan dengan sifat keadilan Allah yang tidak pernah menzalimi hamba-Nya, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri disebabkan mereka tidak mengindahkan petunjuk-petunjuk Allah yang dibawa oleh rasul-rasul-Nya.

Sunnatullah tidak akan berubah sebagaimana Allah menjatuhkan azab kepada orang-orang yang menentang rasul-Nya pada masa dahulu pasti pada masa sekarang Allah akan mengazab orang-orang yang bersalah jika mereka tidak bertobat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 71


Tafsir Surah Hud Ayat 15-17

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 15-17 berbicara mengenai orang-orang yang lebih memilih kenikmatan dunia yang fana daripada kehidupan akhirat yang kekal. Tentu berbeda antara orang yang memilih dunia dan yang memilih akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 12-14


Ayat 15

Barang siapa yang menginginkan kesenangan hidup di dunia seperti makanan, minuman, perhiasan, pakaian, perabot rumah tangga, binatang ternak, dan anak-anak tanpa mengadakan persiapan untuk kehidupan di akhirat, seperti beramal kebajikan, membersihkan diri dari berbagai sifat yang tercela, maka Allah akan memberikan kepada mereka apa yang mereka inginkan sesuai dengan sunnatullah atau ketentuan Allah.

Dia tidak akan mengurangi sedikit pun dari hasil usaha mereka itu, karena untuk memperoleh rezeki tersebut terkait dengan usaha seseorang.

Hasil usaha mereka di dunia itu tergantung kepada usaha mereka dan sunnatullah dalam kehidupan, sedang amal-amal keakhiratan, balasannya ditentukan oleh Allah Ta’ala sendiri tanpa perantara seorang pun.

Ayat 16

Orang-orang yang amalnya hanya diniatkan sekadar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan tidak diniatkan sebagai persiapan untuk menghadapi akhirat, tidak memperoleh apa pun kecuali neraka.

Mereka berusaha di dunia bukan karena dorongan iman pada Allah dan bukan untuk membersihkan diri dari dosa dan kejahatan dan bukan pula untuk mengejar keutamaan dan takwa, akan tetapi semata-mata untuk memenuhi keinginan hawa nafsu sepuas-puasnya.

Itulah sebabnya Allah menjadikan apa yang telah mereka kerjakan di dunia sia-sia belaka.; Allah berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهٗ فِيْهَا مَا نَشَاۤءُ لِمَنْ نُّرِيْدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهٗ جَهَنَّمَۚ يَصْلٰىهَا مَذْمُوْمًا مَّدْحُوْرًا  ١٨  وَمَنْ اَرَادَ الْاٰخِرَةَ وَسَعٰى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَّشْكُوْرًا  ١٩

Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. Kemudian Kami sediakan baginya (di akhirat) neraka Jahanam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. (al-Isra’/17: 18-19)

Allah berfirman:

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الْاٰخِرَةِ نَزِدْ لَهٗ فِيْ حَرْثِهٖۚ وَمَنْ كَانَ يُرِيْدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۙ وَمَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ نَّصِيْبٍ    ٢٠

Barang siapa menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barang siapa menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi dia tidak akan mendapat bagian di akhirat. (asy-Syµra/42: 20)


Baca juga: Menyeimbangkan Urusan Dunia dan Akhirat, Perhatikan Semangat Doa Al-Quran Berikut!


Ayat 17

Kemudian Allah menjelaskan bahwa nasib orang-orang kafir yang tersesat itu tidak sama dengan orang-orang yang berada di bawah cahaya yang terang-benderang yang datang dari Allah dan dibimbing pula oleh petunjuk-petunjuk-Nya yang membuktikan kebenaran agamanya yaitu Al-Qur’an.

Kebenaran itu juga didukung oleh bukti-bukti yang lain yang datang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat yang diturunkan kepada Musa sebagai landasan iman yang menjadi rahmat bagi orang yang mempercayainya di kalangan Bani Israil.

Orang-orang yang mempunyai sifat yang demikian utamanya itu tentu tidak sama dengan orang-orang yang hanya mengejar kehidupan dunia yang fana, dan tidak sama pula dengan orang yang mengutamakan kehidupan kerohanian saja untuk mencapai kebahagiaan di akhirat.

Barang siapa memperhatikan beberapa segi keutamaan yang tersebut dalam ayat ini, mereka itulah orang-orang yang beriman, yang menghimpun antara dalil-dalil yang nyata dan dalil-dalil yang diambil dari kitab lain. Mereka meyakini bahwa Al-Qur’an itu bukan buatan Muhammad akan tetapi semata-mata wahyu dan firman Allah.

Karena itu jangan sampai ada yang meragukan kebenaran Al-Qur’an itu. Al-Qur’an tidak mengandung kebatilan, baik ayat-ayatnya yang pertama turun, hingga yang terakhir. Dia adalah firman Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Terpuji. Tetapi amat disayangkan bahwa kebanyakan manusia tidak beriman kepadanya.

Adapun orang-orang musyrik tidak mau beriman disebabkan oleh kesombongan para pemuka-pemukanya dan karena taklid buta dari pengikut-pengikutnya terhadap ajaran nenek moyang mereka yang sesat. Demikian pula ahli kitab, karena suka mengubah agama nabi-nabinya dan mengadakan berbagai macam bid’ah dalam agama.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 18-21


(Tafsir Kemenag)

Ragam Pandangan Mufassir Tentang Pemukulan Suami Terhadap Istri

0
Pandangan Mufassir Tentang Pemukulan Suami Terhadap Istri
Pandangan Mufassir Tentang Pemukulan Suami Terhadap Istri

Secara umum, ajaran Islam mengatur bahwa tidak ada seorangpun yang boleh memukul orang lain kecuali memiliki hak atasnya. Pandangan ini bisa ditemukan dalam Tahżīb al-Aṡar (hlm. 418-419). Dalam kitab tersebut, aṭ-Ṭabarī memandang bahwa pemukulan diperbolehkan jika dalam konteks pengajaran adab, baik itu pemukulan suami terhadap istri, tuan terhadap budaknya, maupun orangtua terhadap anaknya. Aṭ-Ṭabarī mendasari pandangannya dengan merujuk pada surah al-Ahzāb (33): 58:

وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al-Ahzab ayat 58)

Pandangan Mufassir Seputar Pemukulan Suami Terhadap Istri

Syaikh Nawawi penulis at-Tafsīr al-Munīr, menyebutkan rincian apa saja sikap yang dilakukan istri sehingga suami memiliki hak untuk (boleh) memukul istri. Yaitu saat istri tidak berhias padahal suami menghendaki, tidak memenuhi ajakan ke ranjang, keluar rumah tanpa seizin suami, istri memukul anaknya karena menangis, istri menghina orang lain, istri menyobek baju suami, istri menarik janggut suami, memanggil suami dengan panggilan hai bodoh atau hai keledai, istri membuka wajahnya atau berbiacara pada orang lain yang bukan mahram, istri berbicara dengan suami tetapi bertujuan agar suaranya didengar orang lain, istri memberikan sesuatu yang tidak lazim dari rumahnya kepada orang lain, dan istri menolak menyambung silaturahim (Syarh ‘Uqūd al-Lujjain fî Bayān Huqūq az-Zawjain. hlm. 5).

Baca juga: Inilah 15 Nama-Nama Surga Yang Disebutkan dalam Al-Qur’an

Ulama sepakat bahwa pemukulan merupakan salah satu cara menyikapi istri yang berbuat nusyūz (al-Mausū’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XL: 295). ‘Illah hukum mengenai kebolehan pemukulan istri yang bersikap nusyūz adalah tidak ta’atnya istri ‘adam alimtiṡāl’ terhadap suami. (Ijābat as-Sā’il Syarh Bugyāh al-Amal, hlm. 188).

Ibn Qāsim misalnya, meriwayatkan ijmak ulama mengenai kebolehan suami memukul istri yang bersikap nusyūz, kebolehan berlaku setelah menasehati dan pisah ranjang tidak berhasil membuat istri berhenti bersikap nusyūz (Hāsyiah ar-Rau al-Murbi’i, VI: 455). Ibn Qudāmah juga menyebut ijmak mengenai ketidakbolehan suami memukul istri hanya disebabkan karena takut berbuat nusyūz, pemukulan tidak diperkenankan sebelum sikap nusyūz sudah benar benar terjadi (al-Mugni, X: 260).

Dalam literatur Islam, kebolehan pemukulan (seperti umum diketahui) sebenarnya tidak hanya berlaku terhadap istri yang bersikap nusyūz (dalam rangka memberi pelajaran). Pemukulan juga boleh dilakukan terhadap orang yang menolak menunaikan kewajibannya padahal ia mampu, suami yang menolak untuk membayar kafarat ihar, orang yang bertransaksi riba, orang yang mengkonsumsi makanan atau minuman yang diharamkan, orang yang memberi atau menerima suap, orang yang memberi kesaksian palsu, orang yang mencoba melarikan diri dari penjara, dan orang yang meninggalkan kewajiban seperti shalat dan zakat.

Baca juga: Perhatikan! Ini Hak Beragama menurut Tiga Mufasir Tersohor Indonesia

Hamka dalam tafsir Al-Azhar mengatakan ada keizinan memukul (istri yang bersikap nusyuz) jika dipandang sudah sangat perlu, tetapi orang (suami) yang berbudi tinggi akan berupaya memukul dapat dielakkan. Senada dengan Hamka, menurut Abdul Majid Daryabadi, fakta yang tidak boleh hilang dari pandangan bahwa al-Qur’an ditujukan kepada banyak orang dari segala macam latar belakang sosial budaya, mungkin saja pemukulan bisa menjadi satu solusi yang tidak terpikirkan dalam tipe masyarakat tertentu, dan merupakan satu-satunya jalan perbaikan yang layak dan efektif pada satu masyarakat (Tafsir al-Qur’an – English Translation and Commentary of the Holy Qur’an, I: 327).

Sedangkan Syaikh Nawawi dalam at-Tafsīr al-Munīr, memaparkan konteks pemukulan yaitu adanya nusyūz dari istri dan memukul hanya dilakukan ketika nusyūz istri tidak lagi bisa diatasi melalui nasihat dan pisah ranjang. Sekalipun demikian, memukul bukanlah sesuatu yang mulia dan sebaiknya tidak dilakukan (khilāf al-aulā). Jika suami tetap memilih mendidik dengan pemukulan, maka wajib dilakukan dengan cara yang tidak mencelakakan istri, tidak melukai, tidak meninggalkan bekas, tidak terfokus pada satu titik bagian tubuh tapi merata ke berbagai bagian, dan tidak berkali-kali. Hal ini hanya bisa dilakukan jika memukul menggunakan sapu tangan yang lembut (at-Tafsīr al-Munīr, I: 149).

Sementara Syaikh Nawawi memandang pemukulan sebagai sesuatu yang sebaiknya tidak dilakukan (khilāf al-aulā), Imam Atha memandang makruh pemukulan suami terhadap istri yang nusyuz. Imam ‘Aṭā berpandangan bahwa seorang suami tidak diperkenankan untuk memukul isterinya, melainkan tindakan yang paling tinggi adalah dengan memarahinya saja.

Redaksi perintah “pukullah” pada ayat an-Nisā’ (4): 34 menurut Imam Ata’ menunjukan kebolehan (ibāhah), tetapi Imam ‘Aṭā sendiri memilih makruh, dengan pertimbangan argumentasi lain, yaitu hadis Nabi yang diriwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya aku tidak senang (benci) terhadap lelaki yang memukul istrinya ketika dia marah, padahal bisa saja setelah itu menggaulinya pada hari yang sama” (Ahkām al-Qur’ān, I: 420).

Baca juga: Memaknai Istilah-istilah Manusia dalam Al-Qur’an Perspektif Bintu Syathi

Meski terdapat ragam pandangan para ulama mengenai pemukulan suami terhadap istri yang bersikap nusyuz, Ibn Kaṡīr dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm  (II: 258-259) memberi peringatan, ketika istri kembali mematuhi suami dalam hal yang diizinkan Allah, maka suami tidak berhak mendiamkannya (pisah ranjang) atau memukulnya. Mengingatkan suami bahwa jika mereka memukul istri tanpa alasan yang dapat diterima, maka Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar (sebagaimana disebut pada akhir ayat) adalah pelindung mereka, dan Allah akan membalas suami yang berbuat melampaui batas terhadap istri dan memperlakukan mereka dengan tidak adil.

Pernyataan mengenai pemukulan istri dalam an-Nisā’ (4): 34 secara lahiriah tampaknya menunjukan pemukulan terhadap istri yang bersikap nusyūz diperbolehkan bahkan menggunakan bentuk perintah. Tetapi beberapa tafsir mengenai ayat tersebut menunjukan adanya pandangan makruh dan khilāf al-aulā.

Pemukulan dalam literatur tafsir juga ditemukan syarat tidak membekas dan dilakukan dengan tujuan mendidik istri agar kembali kepada normalnya hubungan pernikahan. Walaupun pemukulan dalam kasus ini diperbolehkan, ulama tetap menyarankan bahwa meninggalkan pemukulan lebih utama. Pemukulan ringan setelah langkah-langkah lain diambil hanyalah bersifat kebolehan, bukan rekomendasi apalagi kewajiban dari al-Qur’an.

Bisa jadi mengingat beragamnya konteks sosial budaya masyarakat, bagi sebagian kalangan, pemukulan ringan yang tidak membahayakan merupakan satu-satunya cara yang bisa diandalkan untuk menghentikan sikap nusyūz istri, memperbaiki perilakunya, dan berujung pada terselamatkanya pernikahan. Alih-alih memberikan kebebasan, an-Nisā’ (4): 34 justru memperingatkan suami bahwa mereka mesti bertanggung jawab kepada Allah jika bersikap melampaui batas terhadap hamba-hamba-Nya.

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 65-67

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 65-67 diawali dengan asbabun nuzul ayat 65. Secara umum ayat-65-67 menerangkan bahwa Nabi mengetahui perilaku buruk kaum munafik, dan ketika ditanya perihal itu, mereka beralasan hanya bergurau. Jikapun  mereka meminta maaf, Allah tidak akan menerimanya, serta tidak ada perbedaan antara orang munafik laki-laki dan perempuan, semua sama dimata Allah Swt.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 62-64


Ayat 65

Sabab Nuzul: Turunnya ayat ini erat hubungannya dengan Perang Tabuk sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Munzir dari Qatadah, ketika Rasulullah pada Perang Tabuk melihat sekelompok manusia di hadapannya mengatakan, “Apakah laki-laki ini (Muhammad) mengharapkan akan memperoleh istana dan benteng di negeri Syam, tidak mungkin, tidak mungkin.”

Allah memberitahukan kepada Nabi-Nya apa yang dibicarakan oleh kelompok manusia tersebut, maka Muhammad berkata, “Kamu telah berkata begini-begitu.” Mereka menjawab, “Hai Nabi Allah, kami hanya bersenda-gurau dan main-main,” maka turunlah ayat ini.

Ayat ini menggambarkan kepada Nabi Muhammad tentang tingkah laku orang-orang munafik manakala Nabi bertanya kepada mereka tentang ucapan-ucapan berupa tuduhan sengaja yang dilontarkan kepad abeliau, serta pernyataan mereka bahwa Nabi itu mencari pengaruh, kekuasaan dan kekayaan, niscaya mereka akan menjawab bahwa ucapan mereka hanya senda gurau belaka.

Mereka mengira bahwa Nabi Muhammad dapat memaafkan dan menerima dalih yang mereka kemukakan. Tetapi Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada kaum munafik bahwa tidak patut mereka mengejek Allah dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya.

Perbuatan demikian itu melampaui batas dan tidak ada yang melakukannya kecuali orang-orang yang ingkar kepada Allah.


Baca Juga : Hobi Nge-Prank? Perhatikan Rambu-Rambu Al-Quran Seputar Prank


Ayat 66

Ayat ini menerangkan bahwa tak ada gunanya mereka meminta maaf dengan mengemukakan dalih seperti tersebut pada ayat 65 karena sesungguhnya orang-orang munafik itu telah menjadi kafir sesudah beriman, mereka mengejek Nabi dan memandang rendah beliau.

Sikap demikian itu terhadap Rasul menunjukkan kekosongan jiwa mereka dari keimanan. Mereka telah melakukan dosa yang sangat besar karena dengan sengaja menghina Nabi dan mengingkari Allah.

Namun sekiranya orang-orang munafik itu mau bertobat atas dorongan iman yang sesungguhnya, seperti Makhsyi bin Humair, tentulah Allah menerima tobatnya dan Allah tetap mengazab orang-orang munafik yang masih terus bergelimang dalam kemunafikan.

Ayat 67

Ayat ini menerangkan tentang adanya persamaan di antara orang-orang munafik, baik pria maupun wanita, baik mengenai sifat-sifat mereka maupun mengenai akhlak dan perbuatan mereka. Masing-masing saling menganjurkan kepada yang lainnya untuk berbuat kemungkaran seperti yang diterangkan oleh Nabi:

ايَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

Tanda orang munafik itu ada tiga: Apabila ia berbicara berdusta, apabila ia berjanji mungkir, dan apabila ia dipercayai berkhianat.  (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Orang munafik itu masing-masing saling melarang antara sesamanya berbuat baik seperti melakukan jihad dan mengeluarkan harta untuk amal-amal sosial terutama perang sabil sebagaimana firman Allah:

هُمُ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ لَا تُنْفِقُوْا عَلٰى مَنْ عِنْدَ رَسُوْلِ اللّٰهِ حَتّٰى يَنْفَضُّوْاۗ

Mereka yang berkata (kepada orang-orang Ansar), ”Janganlah kamu bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah sampai mereka bubar (meninggalkan Rasulullah).” (al-Munafiqun/63: 7)

Semua itu disebabkan mereka lupa kepada kebesaran Allah, lupa kepada petunjuk-petunjuk agama-Nya dan siksaan-Nya.

Lebih tegasnya mereka lupa mendekatkan diri kepada Allah dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya sebagaimana tidak terlintas di hati sanubari mereka kewajiban berterima kasih atas nikmat-nikmat yang diberikan Tuhan sehingga mereka mengikuti kehendak nafsu mereka dan godaan setan.

Sudah sewajarnya jika Allah melupakan mereka dengan menjauhkan mereka dari karunia taufik-Nya di dunia dan ganjaran pahala di akhirat.

Sesungguhnya orang-orang munafik yang tetap dalam kemunafikannya itu merupakan manusia yang paling fasik di dunia ini bahkan mereka lebih rendah dari orang-orang kafir biasa, karena orang kafir menutupi hati mereka terhadap keesaan atau adanya Tuhan secara terang-terangan.

Berlainan halnya dengan orang-orang munafik yang sengaja menutupi kesalahan baik mengenai akidah atau pun mengenai akhlak dan tindak-tanduk perbuatan yang jauh menyimpang dari fitrah manusia yang murni dengan berpura-pura menjadi mukmin.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 68-70


Inilah 15 Nama-Nama Surga Yang Disebutkan dalam Al-Qur’an

0
Nama Surga
Nama Surga

Dalam Al-Qur’an ada banyak ayat yang berbicara mengenai surga, mulai dari gambaran surga, nama-nama surga, hingga sifat-sifat penghuni surga. Dua dari aspek tersebut, yakni gambaran surga dan sifat-sifat penghuni surga, telah penulis jelaskan pada artikel sebelumnya. Pada artikel ini akan diterangkan mengenai 15 nama surga dalam Al-Qur’an.

Menurut pandangan teologis umat Islam, surga – sebuah tempat kembali yang dipenuhi kenikmatan bagi orang beriman – digambarkan memiliki beberapa tingkatan dan nama. Pandangan yang masyhur di masyarakat adalah surga terbagi kepada tujuh atau delapan tingkat, begitu pula neraka. Namun sebenarnya nama-nama surga dalam Al-Qur’an tidak terbatas pada tujuh tingkatan tersebut.

Hanan Ubaidillah dalam tulisannya, Darajat al-Jannah bi al-Tartib, menyebutkan bahwa surga adalah rumah bagi para pemenang, yakni orang-orang yang beriman, beramal saleh dan senantiasa menghindari perbuatan dosa. Mereka inilah orang yang mendapatkan kebahagiaan, kepuasan, dan istirahat nan abadi di surga yang di dalamnya tidak ada kesedihan, kelelahan dan penderitaan.

Selain memiliki nama dan tingkatan, surga juga memiliki beberapa pintu, tepatnya delapan pintu. Empat pintu pertama adalah pintu shalat, pintu jihad, pintu sedekah, pintu rayyan atau disebut juga pintu puasa. Sedangkan empat pintu lainnya ulama berbeda pendapat, di antaranya: pintu menahan amarah, pintu rida, pintu kanan, pintu tobat, pintu berbakti kepada orang tua, pintu haji, pintu zikir dan pintu ilmu (Fathul Bari [7]: 34)

Pandangan ini didasarkan pada hadis nabi Muhammad saw yang berbunyi, “Siapa yang bersedekah sedikit saja untuk dua kendaraan di jalan Allah, maka dia akan dipanggil dari pintu-pintu surga: wahai hamba Allah ini adalah hasil kebaikanmu! Jika ia ahli shalat, maka akan dipanggil dari pintu shalat, jika ia ahli jihad maka akan dipanggil dari pintu jihad, jika ia ahli sedekah maka akan dipanggil dari pintu sedekah, jika ia ahli puasa maka akan dipanggil dari pintu puasa atau pintu ar-Rayyan.” (HR. Bukhari no.3666, Muslim no.1027).

Terlepas dari perbedaan pandangan ulama berkenaan nama pintu surga, dari hadis di atas dapat dipahami secara implisit bahwa manusia dapat memasuki surga dari berbagai pintu yang sesuai dengannya. Mereka yang gemar melaksanakan shalat bisa masuk lewat pintu shalat, mereka yang gemar berpuasa bisa masuk lewat pintu puasa dan sebagainya. Artinya, setiap kebaikan bisa saja membawa seseorang masuk ke dalam surga.

15 Nama Surga Yang Disebutkan Oleh Al-Qur’an

            Berdasarkan penelusuran penulis, nama-nama surga dalam Al-Qur’an ada lima belas. Nama-nama ini ada yang tersusun dari satu kata dan ada pula yang tersusun dari dua kata, sebagai berikut:

1. Jannah

Nama surga dalam Al-Qur’an yang pertama adalah jannah. Nama ini sangat sering disebutkan Al-Qur’an dan secara umum memang mengacu pada surga, tidak ada kekhususan tersendiri. Kata jannah dapat ditemukan setidaknya dalam 76 ayat Al-Qur’an dengan catatan sebagian kecil ayat tersebut merujuk pada makna kebun, bukan surga sebagai tempat kembali bagi orang yang beriman dan beramal saleh.

2. Jannatul Ma’wa

Nama surga dalam Al-Qur’an yang kedua ialah Jannatul Ma’wa. Nama ini memiliki arti sebagai tempat berlindung. Artinya, jika seseorang masuk ke dalamnya, maka ia akan terlindungi dan tinggal di sana selamanya. Jannatul Ma’wa disebutkan dalam surah an-Najm [53] ayat 15 yang berbunyi:

عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوٰىۗ ١٥

Di dekatnya ada surga tempat tinggal.”

3. Surga ‘Adn

Nama surga dalam Al-Qur’an yang ketiga adalah surga ‘Adn. Nama ini memiliki arti tempat tinggal permanen. Surga ‘Adn disebutkan Allah swt dalam surah Maryam [19] ayat 61 yang berbunyi:

جَنّٰتِ عَدْنِ ِۨالَّتِيْ وَعَدَ الرَّحْمٰنُ عِبَادَهٗ بِالْغَيْبِۗ اِنَّهٗ كَانَ وَعْدُهٗ مَأْتِيًّا ٦١

Yaitu surga ‘Adn yang telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun (surga itu) tidak tampak. Sungguh, (janji Allah) itu pasti ditepati.”

4. Surga Na’im

Nama surga dalam Al-Qur’an yang keempat adalah surga Na’im. Surga ini disebut demikian karena keberkahan yang terkandung di dalamnya, mulai rai makanan-makanan, minuman-minuman, pakaian, penampilan yang baik dan tempat tinggal yang luar biasa luas. Surga Na’im disebutkan dalam surah Lukman [31] ayat 8 yang berbunyi:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَهُمْ جَنّٰتُ النَّعِيْمِۙ ٨

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat surga-surga yang penuh kenikmatan.”

5. Darul Khuldi

Nama surga dalam Al-Qur’an yang kelima adalah Darul Khuldi atau rumah keabadian. Nama ini muncul dalam surah Qaf [50] ayat 34 yang berbunyi:

ادْخُلُوْهَا بِسَلٰمٍ ۗذٰلِكَ يَوْمُ الْخُلُوْدِ ٣٤

Masuklah ke (dalam surga) dengan aman dan damai. Itulah hari yang abadi.”

6. Darul Qarar

Nama surga dalam Al-Qur’an yang keenam adalah Darul Qarar atau tempat tinggal yang kekal. Nama ini Allah swt sebutkan dalam surah Ghafir [40] ayat 39 yang berbunyi:

يٰقَوْمِ اِنَّمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ ۖوَّاِنَّ الْاٰخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ ٣٩

Wahai kaumku! Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.”

7. Darul Muttaqin

Nama surga dalam Al-Qur’an yang ketujuh adalah Darul Muttaqin atau tempat tinggal bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah swt dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Nama ini disebutkan dalam surah an-Nahl [16] ayat 30 yang bermakna:

Dan kemudian dikatakan kepada orang yang bertakwa, “Apakah yang telah diturunkan oleh Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Kebaikan.” Bagi orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (balasan) yang baik. Dan sesungguhnya negeri akhirat pasti lebih baik. Dan itulah sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa.”

8. Darul Maqamah

Nama surga dalam Al-Qur’an yang kedelapan ialah Darul Maqamah yang berarti tempat kekal dan abadi. Nama ini disebutkan oleh Allah swt dalam surah Fatir [35] ayat 35 yang berbunyi:

الَّذِيْٓ اَحَلَّنَا دَارَ الْمُقَامَةِ مِنْ فَضْلِهٖۚ لَا يَمَسُّنَا فِيْهَا نَصَبٌ وَّلَا يَمَسُّنَا فِيْهَا لُغُوْبٌ ٣٥

Yang dengan karunia-Nya menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga); di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lesu.”

9. Darul Hayawan

Nama surga dalam Al-Qur’an yang kesembilan adalah Darul Hayawan yang berarti kehidupan kekal tanpa kematian. Nama ini disebutkan dalam surah al-Ankabut [29] ayat 64 yang bermakna:

Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui.”

10. Firdaus

Nama surga dalam Al-Qur’an yang kesepuluh ialah Firadaus. Dikatakan bahwa surga ini merupakan surga terbaik dan tertinggi di antara surga yang lainnya. Surga Firadaus disebutkan dalam surah al-Kahfi [18] ayat 107 yang berbunyi:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنّٰتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا ۙ ١٠٧

Sungguh, orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, untuk mereka disediakan surga Firdaus sebagai tempat tinggal.”

11. Husna

Nama surga dalam Al-Qur’an yang kesebelas ialah Husna nun dijanjikan bagi orang yang baik. Nama ini disebutkan dalam surah Yunus [10] ayat 26 yang bermakna:

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) dalam kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.”

  1. Darussalam

Nama surga dalam Al-Qur’an yang kedua belas adalah Darussalam. Surga ini disebutkan dalam  surah Yunus [10] ayat 25 yang berbunyi:

وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓ اِلٰى دَارِ السَّلٰمِ ۚوَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ٢٥

Dan Allah menyeru (manusia) ke Darus-salam (surga), dan memberikan petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus (Islam).”

13. Maqam Amin

Nama surga dalam Al-Qur’an yang ketiga belas adalah Maqam Amin atau tempat yang aman. Nama ini disebutkan dalam surah ad-Dukhan [44] ayat 51 yang berbunyi:

اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ مَقَامٍ اَمِيْنٍۙ ٥١

Sungguh, orang-orang yang bertakwa berada dalam tempat yang aman.”

14. Al-Gufrah

Nama surga dalam Al-Qur’an yang keempat belas ialah al-Gufrah atau tempat tinggal yang tinggi. Nama ini disebutkan dalam surah al-Furqan [25] ayat 75:

 “Mereka itu akan diberi balasan dengan tempat yang tinggi (dalam surga) atas kesabaran mereka, dan di sana mereka akan disambut dengan penghormatan dan salam.”

15. Maq’adi Sidqi

Nama surga dalam Al-Qur’an yang terakhir adalah Maq’adi Sidqi. Nama ini disebutkan dalam surah al-Qamar [54] ayat 55 yang berbunyi:

فِيْ مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيْكٍ مُّقْتَدِرٍ ࣖ ٥٥

Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Mahakuasa.”