Beranda blog Halaman 354

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 62-64

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Keterangan dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 62-64 masih berbicara perihal sikap buruk orang munafik. Ternyata, mereka menyadari bahwa kedustaan itu dapat memacu turunnya ayat, rasa khawatir pun muncul dalam benak mereka. Mereka takut apabila keburukan mereka selama ini diketahui oleh Rasul dan orang-orang Mukmin.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 61


Tentu Allah mengetahui hal tersebut, dan nyatanya menurunkan ayat-ayat terkait sikap mereka. Alih-alih berubah menjadi baik, mereka justru semakin terang-terangan dan tidak tahu malu untuk berlaku buruk.

Ayat 62

Sabab Nuzul: Diriwayatkan Ibnu Munzir dari Qatadah tentang sebab nuzul ayat ini, Qatadah berkata, “Kepada kami diberitahukan bahwa seorang lelaki dari kalangan munafik berkata tentang golongan yang tidak turut Perang Tabuk dimana turun ayat khusus mengenai mereka.

Lelaki itu berkata, “Demi Allah bahwa sesungguhnya mereka yang tidak ikut berperang itu adalah orang-orang pilihan dan orang-orang yang mulia. Jika sekiranya benar apa yang dikatakan Muhammad tentulah mereka lebih jahat daripada keledai.”

Ucapan lelaki itu didengar oleh seorang lelaki dari kalangan muslim, lalu ia berkata (sebagai jawaban terhadap orang-orang munafik itu), “Demi Allah, bahwa apa yang dikatakan Muhammad itu adalah benar dan engkau adalah lebih jelek daripada himar (keledai).

”Orang muslim itu pergi kepada Rasulullah untuk menceritakan kejadian itu maka orang-orang munafik itu didatangkan menghadap Nabi dan Nabi berkata, “Apakah yang mendorong engkau berkata demikian?”

Orang munafik itu mengingkari ucapannya dan melaknati dirinya dengan bersumpah bahwa ia tidak pernah berkata demikian. Orang muslim itu berkata, “Hai Tuhanku benarkanlah orang yang benar dan dustakanlah orang yang dusta,” maka turunlah ayat ini.

Ayat ini menerangkan tentang kebiasaan orang-orang munafik sebagaimana halnya dengan orang-orang yang berbuat suatu kesalahan, seperti: mencuri, dan membunuh.

Mereka selalu merasa dalam kesulitan karena mereka selalu dibayang-bayangi oleh akibat perbuatan mereka yang buruk yang mereka lakukan, dan mereka takut kebohongan mereka diketahui oleh orang-orang muslim. Mereka sering bersumpah sebagai cara untuk menutupi kejahatan dan kebohongan mereka.

Demikian perbuatan orang munafik, mereka bersumpah untuk meyakinkan orang-orang mukmin bahwa apa yang disampaikannya tentang kelakuan buruk mereka baik menentang maupun memburukkan Rasulullah adalah tidak benar.

Hal ini dimaksudkan agar orang mukmin mengakui bahwa mereka adalah orang-orang yang bersih dari segala tuduhan.

Mereka sering bersumpah dengan maksud menyenangkan Rasul dan mendapat kepercayaan dari orang-orang mukmin sehingga mereka mendapat perlindungan dari orang-orang mukmin; semestinya mereka berusaha mendapat keridaan Tuhan dan Rasul-Nya dengan iman yang sungguh-sungguh yang jauh dari kemunafikan dan keraguan jika benar-benar mereka ingin menjadi orang mukmin.

Meskipun orang-orang mukmin dapat diyakinkan dengan jalan bersumpah, dan kebohongan mereka tidak terungkap, namun Allah swt, tetap mengetahui segala sesuatu yang mereka perbuat dan sesuatu yang masih tersimpan di hati mereka. Ketika kemaslahatan menghendaki, Allah menurunkan kepada Rasul wahyu yang menjelaskan tentang semua yang mereka lakukan.


Baca Juga : Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 12-14: Allah Maha Mengetahui Sesuatu, Sekalipun Isi Hati Manusia


Ayat 63

Semestinya orang munafik segera sadar karena tidak mungkin mereka tidak mengetahui bahwa membuat-buat tuduhan terhadap Rasul seperti tuduhan berlaku curang dalam membagi zakat atau menuduh Rasul dengan sifat senang mendengar laporan tanpa meneliti kebenarannya adalah termasuk perbuatan menentang Allah dan Rasul-Nya.

Orang yang demikian halnya akan mendapat ganjaran api neraka, kekal di dalamnya. Azab seperti ini adalah suatu kehinaan yang besar yang tentunya harus ditakuti dan dijauhi.

Ayat 64

Ayat ini menggambarkan tentang tingkah laku orang-orang munafik yang pernah diungkapkan dalam Perang Tabuk. Mereka merasa khawatir seandainya diturunkan ayat atau surah yang menerangkan segala sesuatu yang mereka lakukan.

Karena itu Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada mereka agar meneruskan ejekan-ejekan yang mereka lakukan. Orang-orang munafik adalah manusia yang tidak mempunyai pendirian, mereka berada di antara iman dan kufur, mereka tidak percaya kepada kebenaran wahyu yang diturunkan kepada Rasul, mereka berada di antara cemas dan harap.

Andaikata mereka mengingkari Rasul secara tegas tentulah mereka tidak akan cemas. Demikian pula jika mereka beriman kepada Rasul secara tegas.

Karena posisi mereka di antara iman dan kufur, selalu mencela,  mengejek Nabi dan orang-orang mukmin, timbullah kekhawatiran dan kecemasan mereka kalau-kalau Allah menurunkan lagi ayat-ayat yang mengungkap keaiban mereka dan menerangkan segala sesuatu yang ada pada mereka meskipun mereka menyimpannya dalam hati mereka.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 65-67


Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (2): Ulama Kontra

0
pro kontra tafsir ilmi
pro kontra tafsir ilmi

Setiap interpretasi manusia selalu menuai pro kontra, tidak terkecuali Tafsir Ilmi. Tafsir ilmi sebagaimana diketahui bersama ialah tafsir Al-Quran yang mengulas ayat-ayat Al-Quran dipadukan dengan teori ilmu pengetahuan atau penafsiran yang concern pada menyingkap rahasia ilmiah di dalam Al-Quran, seperti keajaiban alam, penciptaan manusia, hewan, tumbuhan, kesehatann dan sebagainya. Tulisan ini akan membahas tentang argumentasi ulama yang kontra tafsir ilmi

Sejatinya tafsir ilmi ini bukanlah sesuatu yang baru dalam konteks substansi, namun sebagai model penafsiran ia cukup menuai beberapa kritik pedas bahkan penolakan di antara ulama. Al-Syatibi misalnya, ia menentang keras penafsiran Al-Quran model seperti ini. Selain itu ada tokoh lain yang serupa, misalnya Mahmud Syaltut, Amin al-Khulli dan ‘Abbas Aqqad.

Baca Juga: Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (1): Ulama yang Pro

Ulama Kontra Tafsir Ilmi

Ambil contoh, Mahmud Syaltut (mantan Rektor Universitas al-Azhar Mesir) misalnya yang menolak kehadiran tafsir ilmi. Di dalam muqaddimahnya, Tafsir al-Quran al-Karim al-Ajza’ al-Asyarah al-‘Ula sebagaimana disitir oleh Muchlis Hanafi dalam Tafsir Ilmi Kemenag, Mahmud mengemukakan berbagai corak tafsir yang berkembang, ada yang bercorak gramatikal (kebahasaan), balaghah, i’jaz, ahkam, bahkan corak ilmiah atau tafsir bil ‘ilmi.

Dari sini, ia memberikan catatan penting terhadap model penafsiran bil ‘ilmi sekaligus dapat kita lihat legal position and opinion-nya dalam menafsirkan Al-Quran.

Pertama, mufasir hendaknya sebisa mungkin menjauhkan diri dari penakwilan Al-Quran menurut pendirian berbagai aliran. Sebab bagi Syaltut akan menimbulkan interpretasi yang represif terhadap Al-Quran, misalnya mufassir yang cenderung mengikuti mazhab tertentu, ia akan condong menafsirkannya sesuai dengan mazhabnya atau muncul fanatisme penafsiran.

Kedua, jauhilah penafsiran Al-Quran dengan teori-teori ilmiah. Statemen ini sebenarnya cukup kontradiktif terhadap substansi ayat kauniyah Al-Quran itu sendiri. Tidak sedikit pula yang menyangkal bahwa tanpa sains dan teknologi, makna Al-Quran hanya sebatas pada teks, tidak pada ilmiah. Karena itu kehadiran sains dan penemuan ilmiah menjadi begitu penting dalam mengungkap makna Al-Quran.

Misal Al-Quran berbicara tentang alam, halilintar, molekul udara, dan semacamnya, maka saat itu juga Al-Quran berbicara tentang kosmologi. Demikian pula tatkala Al-Quran menyitir matahari, bulan, bintang, antariksa, galaksi, dan sejenisnya, saat itu juga Al-Quran berfirman tentang astronomi, dan seterusnya.

Guna memperkuat pendapatnya, Syaltut menyitir istilah al-Kitab al-Mubin dan al-Imam al-Mubin, yang kemudian ditafsirkan oleh mereka (mufassir ilmi) sebagai pencatatan elektronik untuk perekaman suara. Alat-alat tersebut memang dapat difungsikan demikian, namun menurut mereka tidak dapat dipungkiri juga mampu merekam keinginan yang terbesit di dalam hati.

Padahal, menurut Syaltut, kedua istilah tersebut konteksnya adalah mencatat segala amal kebaikan dan keburukan manusia di hari kiamat nanti. Tak pelak, Syaltut sampai pada satu kesimpulan bahwa penafsiran mereka merupakan bentuk dari penafsiran yang terlalu represif dan bertentangan dengan i’jaz Al-Quran. Padahal Al-Quran diwahyukan tidak secara spesifik berbicara teori-teori ilmiah, serta berbagai macam pengetahuan.

Dalam konteks ini, Syaltut berujar cukuplah kita meyakini bahwa Al-Quran tidak bertentangan dengan kebenaran apapun, termasuk kebenaran ilmiah yang dapat diterima akal sehat alias logis. Tampaknya, legal position Syaltut dalam hal ini, lebih kepada sikap hati-hati dalam menafsirkan Al-Quran meskipun secara tersurat ia menolak tafsir ilmi, tapi tidak menampik ia menerima kebenaran ilmiah jika sesuai dengan substansi ayat Al-Quran.

Baca Juga: Mengenal Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura): Tafsir Ilmi Pertama di Madura

Beberapa Argumentasi

Mengutip Muchlis Hanafi dalam Tafsir Ilmi Kemenag, bahwa mereka yang kontra tafsir ilmi sebenarnya berargumentasi antara lain dengan melihat.

Kerapuhan Filologisnya

Dalam konteks kebahasaan, tentu para sahabat yang lebih otoritatif mengetahui Al-Quran beserta apa yang terkandung di dalamnya, namun tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa Al-Quran mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.

Kerapuhan Teologisnya

Sebagai hudan (petunjuk), Al-Quran bukanlah memuat teori-teori ilmiah. Ia berkaitan dengan way of life (pandangan hidup) manusia. Adapun isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung di dalamnya dipaparkan dalam konteks petunjuk, bukan melahirkan teori-teori baru yang mudah dipatahkan atau dimentahkan.

Kerapuhan Logikanya

Kebenaran ilmu itu bersifat tentatif. Artinya, kebenaran sekarang belum tentu benar nanti. Kebenaran nanti belum tentu benar menurut esok hari, dan seterusnya. Jadi kebenaran ilmu tidak mengenal “mutlak”. Ia senantiasa berubah sesuai konteks dan dinamika zaman. Nah jika Al-Quran ditafsirkan melalui model ini, sama saja “mengerdilkan” kekekalan Al-Quran, Bukankah Al-Quran itu shalih li kulli zaman wa makan? Patutkan seseorang menafsirkan yang kekal dan absolut dengan sesuatu yang relatif? Kira-kira begitu argumentasi mereka  yang kontra.

Baca Juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Ilmi di Indonesia

Jalan Tengah

Masih tetap Muchlis Hanafi, ia berargumen sungguh sangat kontraproduktif jika kita terus memperdebatkan benar salah, elok tidaknya kehadiran model penafsiran bil ilmi. Keduanya boleh jadi benar. Maka, dalam konteks ini yang dibutuhkan sebenarnya ialah formula kompromistik guna lebih mengembangkan syiar Islam di tengah kemajuan ilmu pengetahuan.

Memang diakui bahwa kebenaran ilmu pengetahuan bersifat relatif. Ia mengandaikan satu kebenaran yang dinamis, bukan statis. Ini bisa dipahami karena kebenaran ilmu adalah produk ijtihad manusia berupa acquired knowledge (ilmu yang dicari) yang juga mempunyai karakteristik akumulatif. Dalam arti, dari masa ke masa, dari zaman ke zaman, kebenaran ilmu akan saling melengkapi sehingga ia akan selalu berubah.

Jadi, fuqaha, mufassir, teolog, filosof, ilmuwan dan cendekiawan di era klasik dalam memahami ayat-ayat Al-Quran harus kita pandang sebagai ijtihad baik, sama halnya dengan usaha memahami isyarat-isyarat ilmiah dengan penemuan modern. Kita tidak dapat membayangkan, kemajuan yang kita rasakan saat ini adalah buah manis ijtihad mereka.

Karenanya, yang diperlukan adalah sikap kerendahan hati dan kehati-hatian. Tafsir, apapun bentuknya, hanyalah sebuah upaya manusia (hamba Allah) yang memiliki kemampuan terbatas dalam memahami firman Tuhan yang transendental. Kekeliruan dalam penafsiran sangat mungkin terjadi. Tetapi, kekeliruan itu dapat diminimalisir dengan memperhatikan serangkaian kaidah dan prosedur kerja penafsiran yang telah ditetapkan para ulama. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 61

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Berikut ini dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 61 akan diuraikan kembali ucapan dan gangguan orang munafik di tengah-tengah Rasulullah. Mereka telah menuduh beliau tidak adil dan mengatakannya kepada kaum mukmin atau sesama orang munafik. Perilaku mereka ini kemudian diabadikan oleh Allah dengan menurunkan ayat ini.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 60


Ayat 61

Sabab Nuzul: Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari as-Suddi, pada suatu ketika terjadilah pertemuan antara sesama orang munafik, di antara mereka adalah Jullas bin Suwaid bin Samit, Mikhasi bin Umar dan Wadi’ah bin Tsabit.

Di antara mereka ada yang hendak menggunjingkan Nabi maka beberapa orang di antara mereka melarangnya dengan alasan khawatir akan sampai kepada Nabi, dan ini akan menyusahkan mereka, lalu di antara mereka ada yang berkata, “Muhammad itu terlalu percaya pada apa saja yang didengarnya asalkan saja kita bersumpah meyakinkannya,” maka turunlah ayat ini.

Ayat ini menerangkan bahwa di antara golongan munafik terdapat orang-orang yang menyakiti Nabi Muhammad. Mereka menggunjingkannya dan mengatakan bahwa Nabi itu terlalu cepat terpengaruh tanpa memikirkan dan meneliti kebenaran sesuatu yang didengarnya.

Tuduhan mereka ini atas dasar bahwa perlakuan Nabi Muhammad kepada mereka serupa dengan perlakuan beliau kepada orang-orang mukmin secara umum. Hal mana menunjukkan bahwa Nabi itu dapat dipengaruhi sebagaimana beliau terpengaruh oleh ucapan-ucapan mereka.

Atas dasar ini mereka memandang adanya kelemahan pada Nabi Muhammad dan kelemahan seperti ini jika terdapat pada penguasa seperti raja, tentu akan sangat membahayakan raja tersebut dan akan berkumpullah di sekeliling raja orang-orang yang pandai menjilat untuk mempengaruhinya keputusan yang diambilnya.

Setelah Allah menerangkan anggapan yang berkembang di kalangan orang munafik itu, Nabi Muhammad diperintahkan untuk mendengarkan semua yang disampaikan kepadanya, tetapi kemudian dilanjutkan dengan penelitian tentang kebenarannya. Perintah ini bertujuan agar Nabi Muhammad tidak teperdaya oleh orang-orang yang ingin menjilat atau yang mencari muka.

Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan azab yang sepedih-pedihnya yang akan menjadi hukuman bagi orang-orang munafik yang menuduh Nabi dengan tuduhan-tuduhan yang tidak pada tempatnya.


Baca Juga : Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’


Dari segi hukum, ayat ini melarang menyakiti Rasul, baik pada masa hidupnya maupun sesudah wafatnya. Menyakiti Rasul pada masa hidupnya dapat berbentuk:

  1. Meragukan kerasulannya atau menganggapnya ahli sihir. Orang-orang yang menyakiti Rasul seperti ini hukumnya kafir karena mereka mengingkari kerasulannya.
  2. Mengganggu ketenangan rumah tangganya seperti bertamu terlalu lama atau berkata di hadapannya dengan suara keras. Pekerjaan seperti ini hukumnya haram sebagaimana diutarakan dalam Al-Qur’an. Firman Allah:

اِنَّ ذٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِى النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيٖ مِنْكُمْ

Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia (Nabi) malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar). (al-Ahzab/33: 53).

Dan firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَرْفَعُوْٓا اَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوْا لَهٗ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ اَنْ تَحْبَطَ اَعْمَالُكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تَشْعُرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari. (al-Hujurat/49: 2)

Menyakiti Rasul setelah wafatnya sama halnya dengan menyakitinya pada masa hidupnya seperti menggunjingkan ibu bapaknya dan keluarganya atau menghina dan menjelek-jelekkannya.

Keimanan seseorang kepada Rasul menimbulkan rasa cinta kepadanya. Orang yang cinta kepada sesuatu, tentulah sesuatu yang dicintainya itu selalu dipandang dengan rasa hormat karena dianggap mulia.

 (Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 62-63

Perhatikan! Ini Hak Beragama menurut Tiga Mufasir Tersohor Indonesia

0
Hak beragama menurut para mufasir Indonesia
Hak beragama menurut para mufasir Indonesia

Artikel ini berangkat dari kegelisahan saya terhadap gejala intoleransi yang sepuluh tahun belakangan masih terasa mengguncang Indonesia. Belum lagi baru-baru ini adalah kasus bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral, Makasar. Jelas kejadian itu sangat erat kaitannya dengan motif perbedaan agama. Sudah saatnya, kesadaran akan hak beragama penting untuk diperhatikan.

Sudah menjadi rahasia umum, di mana kelompok Jihadis berkedok agama itu menyasar dan ingin menumpas orang-orang non-muslim, meskipun seringkali umat Islam juga menjadi korbannya. Seolah ketika melihat warga non-muslim, wajah mereka memerah dan kedua matanya menyala-nyala. Kebencian terhadap masyarakat non-muslim memang sudah didoktrin sekuat itu, sejak pertama kali mereka seumur jagung di komunitas Jihadis. Pihak pemerintah pun tak luput dari cercaan dan sasaran teror karena dianggap telah melindungi hak beragama setiap warga negaranya.

Baca juga: Surat Saba [34] Ayat 24-25: Isyarat Larangan Sikap Fanatisme dan Ekstrim

Jika kita menengok kembali pada ajaran-ajaran Al-Quran, masalah pilihan agama ini sebetulnya sudah diatur sedemikian rupa. Ada beberapa ayat yang sudah lumrah dikutip ketika membahas kebebasan seseorang untuk memeluk agama. Ayat yang sangat relevan untuk disebutkan di sini adalah QS. Al Baqarah [2]: 256:

لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ  ٢٥٦

“Tidak ada paksaan untuk (masuk) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 256)

Penafsiran Hamka

Sebelum lebih jauh menafsirkan QS. Al Baqarah [2]: 256, Hamka mengawalinya dengan menjelaskan bahwa kontes ayat ini berbicara tentang permintaan seorang ayah dari kaum Anshar kepada Nabi Saw. yang ingin anaknya masuk Islam. Anak itu memeluk Yahudi lantaran diasuh oleh seorang Yahudi Bani Nadir. Saat terjadinya peristiwa pengusiran Yahudi Bani Nadir dari Madinah akibat mengkhianati perjanjian dengan kaum Muslim, sang ayah memohon kepada Nabi Saw. untuk menarik anaknya itu agar menjadi Muslim, kalau perlu dengan paksa (Hamka, Tafsir al-Azhar, Vol. III).

Menurut Riwayat Ibnu Abbas, Nabi Saw. hanya memanggil anak itu dan diberikanlah pilihan; apakah sudi untuk masuk Islam atau tetap memeluk Yahudi. Fakta ini menurut Hamka menjelaskan bahwa ada perbedaan antara politik dan keyakinan agama. Yahudi Bani Nadir diusir dari Madinah karena mereka berkhianat terhadap konstitusi yang telah disepakati bersama. Bahkan mereka berusaha membubuh Nabi Saw. yang ketika itu menjadi kepala Negara Madinah. Mengenai keyakinan, mereka sama sekali tidak dipaksa untuk pindah dari agama Yahudi (Hamka, Tafsir al-Azhar, Vol. III).

Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an

Al Baqarah [2]: 256 di atas adalah dasar prinsip Islam. Hamka mengkritik pandangan sebagian kalangan yang menuduh dan menganggap bahwa Islam disebarkan dengan pedang. Menurutnya, orang-orang yang berpandangan seperti ini harus belajar lagi dengan melihat sumber utama Islam; Al-Quran dan Hadis. Keduanya tidak pernah mengajarkan paksaan dalam beragama. Lebih jauh, Hamka menguatkan penafsirannya dengan melampirkan data dan fakta sejarah, baik dari masa klasik hingga berikutnya, di mana Islam tak pernah memaksa manusia memeluk dirinya.

Penafsiran Hasbi Ash-Shiddieqy

Dalam penjelasan QS. Al Baqarah [2]: 256, Hasbi Ash-Shiddieqy terlihat tidak banyak memberikan komentar. Ia hanya mengulasnya secara singkat tapi padat makna. Ia menuturkan, ayat ini memberikan pelajaran penting bahwa janganlah sampai memaksa orang lain untuk memeluk Islam, meskipun Islam merupakan agama yang jelas dan pasti kebenarannya. Sebab, beragama adalah urusan hati sehingga tidak ada seorang pun yang dapat memaksakannya. Demikianlah hak beragama. (Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur, Vol. I).

Karena itu, menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, tujuan jihad dalam Islam adalah untuk kepentingan dakwah Islam semata, bukan untuk memaksakan kehendak. Tuhan tidak membina urusan iman secara paksa, melainkan atas dasar kerelaan hati. Sepertihalnya Hamka, Hasbi Ash-Shiddieqy juga mengkritik kalangan yang mengasumsikan Islam sebagai agama yang sedikit-sedikit main pedang dan perang.

Menurutnya, sejarah sudah cukup membuktikan itu. Bahkan Nabi Swt. sendiri  seringkali disakiti bahkan beribadah secara diam-diam pada masa awal Islam, dan di pihak lain kaum Quraisy terus menyiksa kaum muslimin hingga mereka terpaksa berhijrah (Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Quranul Majid An-Nur, Vol. I).

Penafsiran Quraish Shihab

Penjelasan yang diberikan oleh Quraish Shihab dalam penafsiran QS. Al Baqarah [2]: 256 tidak jauh berbeda dengan dua mufasir sebelumnya. Menurut mufasir lulusan Mesir ini, Allah Swt. tidak mengajarkan paksaan. Sekiranganya Dia berkehendak tentu dengan mudah Dia akan menjadikan semua penghuni dunia beriman kepada-Nya. Tidak ada paksaan di sini maksudnya adalah menganut akidahnya.

Jika seseorang sudah menjatuhkan pilihan pada suatu agama, misalnya Islam, maka ia terikat untuk melaksanakan perintah-perintah dalam Islam. Begitu pula harus menjauhi apa saja yang dilarang oleh Islam. Ia akan diberikan sangsi jika tidak melaksanakan perintah-perintah Islam, dan melanggar larangan-larangan yang sudah ditentukan (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. I).

Senada dengan penafsiran ini, Quraish Shihab juga mewanti-wanti untuk tidak melakukan pemaksaan dalam beragama tepatnya ketika menafsirkan QS. Al Kahfi [18]: 29:

وَقُلِ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَن شَآءَ فَلۡيُؤۡمِن وَمَن شَآءَ فَلۡيَكۡفُرۡۚ إِنَّآ أَعۡتَدۡنَا لِلظَّٰلِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ وَإِن يَسۡتَغِيثُواْ يُغَاثُواْ بِمَآءٖ كَٱلۡمُهۡلِ يَشۡوِي ٱلۡوُجُوهَۚ بِئۡسَ ٱلشَّرَابُ وَسَآءَتۡ مُرۡتَفَقًا  ٢٩

“Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (mengingkari) biarlah ia mengingkarinya. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang buruk pula.”

Ringkasnya, selain mengingatkan bahwa konteks ayat ini berkenaan dengan permintaan petinggi-petinggi kaum Quraisy untuk mengusir orang-orang miskin dan lemah dari majlis Nabi Saw. Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa tidak ada paksaan sedikitpun kepada orang-orang Quraisy untuk beriman dan mengikuti Rasulullah Saw. ataukah tetap dalam agama nenek moyang mereka (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 5).

Baca juga: Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi: Inspirasi Metode Ishlah dari Ibn ‘Asyur

Ketiga mufasir terkemuka di atas yang kedalaman serta keluasan ilmunya tidak diragukan lagi telah menyuarakan satu pandangan. Baik Hamka, Hasbi Ash-Shiddieqy dan juga Qurasih Shihab, sama-sama menekankan untuk tidak memaksakan diri mengajak orang-orang lain agar seagama dengan kita. Siapapun berhak melabuhkan hatinya pada agama manapun, dengan catatan, ia juga harus siap menerima setiap konsekuensinya. Dan pesan saya yang terakhir adalah ‘belajarlah pada guru-guru yang kualitas keilmuannya bisa dipertanggungjawabkan’.

Wallahu a’lam []

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 60

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Sebelumnya telah dijelaskan bagaimana sikap buruk orang munafik yang bahkan sampai mencela Rasul soal pembagian harta, baik zakat maupun ghanimah. Kali ini Tafsir Surah At Taubah Ayat 60 akan menjelaskan secara terperinci siapa sesungguhnya yang berhak menerima zakat itu.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 56-59


Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 60 bahwa Zakat itu sebagai kewajiban dari Allah bagi setiap muslim yang mampu. Allah Maha Mengetahui apa saja yang terkait dengan kemaslahatan hambahamba-Nya, karena itu sudah sepatutnya kaum Mukmin mentaati-Nya.

Ayat 60

Sadaqah yang dimaksud dalam ayat ini ialah sadaqah wajib yang dikenal dengan zakat sebagai kewajiban dari Allah terhadap kaum Muslimin yang telah memenuhi syarat-syaratnya untuk mengeluarkan kewajiban zakat, demi untuk memelihara kemaslahatan umat. Mengenai pensyariatan zakat ini diutarakan dalam firman Allah:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا

Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka. (at-Taubah/9: 103)

Dengan demikian jelaslah bahwa zakat disyariatkan untuk membersihkan diri dari harta yang mungkin didapat dengan cara yang kurang wajar, mendorong pemiliknya agar bersyukur kepada Allah atas rezki yang diberikan-Nya. Yang berhak menerima zakat dalam ayat ini ada 8 golongan sebagai berikut:

Pertama: Orang fakir, yaitu orang yang mempunyai harta dan mata pencaharian yang tidak mencukupi dan tidak meminta-minta, demikian menurut Imam Syafi’i.

Kedua: Orang miskin, yaitu orang yang mempunyai harta atau mata pencaharian tetapi tidak mencukupi kebutuhan sehingga meminta-minta merendahkan harga diri, demikian menurut Imam Syafi’i. Menurut Imam Abu Hanifah miskin ialah apa yang dikatakan fakir menurut pengertian Imam Syafi’i, dan yang dikatakan miskin menurut Imam Syafi’i adalah fakir menurut Imam Abu Hanifah.

Ketiga: Orang-orang yang menjadi amil zakat, yaitu orang-orang yang ditugaskan untuk mengumpulkan, mengurus dan menyimpan harta zakat itu baik mereka yang bertugas mengumpulkan atau menyimpan harta zakat sebagai bendahara maupun selaku pengatur administrasi pembukuan, baik mengenai penerimaan maupun pembagian (penyaluran).

Golongan amil ini menerima pembagian zakat sebagai imbalan pekerjaan mereka. Disebutkan dalam sebuah riwayat:

إِنَّ ابْنَ السَّعْدِي الْمَالِكِي قَالَ: اِسْتَعْمَلَنِيْ عُمَرُ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا فَرَغْتُ وَأَدَّيْتُهَا إِلَيْهِ أَمَرَ لِيْ بِعُمَالَةٍ، فَقُلْتُ إِنَّمَا عَمِلْتُ ِللهِ فَقَالَ: خُذْ مَا أُعْطِيْتَ فَإِنِّيْ عَمِلْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَمَّلَنِيْ (أَعْطَانِي الْعُمَّالَةَ) فَقُلْتُ مِثْلَ قَوْلِكَ. فَقَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُعْطِيْتَ شَيْئًا مِنْ غَيْرِ أَنْ تَسْأَلَ فَكُلْ وَتَصَدَّقْ (رواه أحمد والبخاري ومسلم)

Ibnu as-Sa’di al-Mliki berkata, “Umar mengangkat aku selaku petugas pengumpulan zakat. Setelah selesai dan aku serahkan kepadanya zakat yang terkumpul, ia memerintahkan agar aku diberi bagian, kemudian aku berkata, bahwasanya saya mengerjakan itu karena Allah, lalu beliau menjawab, Ambillah apa yang telah diberikan kepadamu, bahwasanya aku pernah menjadi amil zakat pada masa Rasulullah, kemudian Rasulullah memberikan kepadaku upah, maka aku jawab sebagaimana jawabanmu, maka berkata Rasulullah kepadaku: “Apabila kamu diberikan sesuatu tanpa kamu minta maka makanlah (terimalah) dan bersedekahlah.” (Riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim).

Keempat: Muallaf, yaitu orang yang perlu dihibur hatinya agar masuk Islam dengan mantap atau orang-orang yang dikhawatirkan memusuhi dan mengganggu kaum Muslimin atau orang yang diharapkan memberi bantuan kepada kaum Muslimin.

Muallaf ada tiga golongan:

  1. Golongan orang-orang kafir yang berpengaruh dan diharapkan (masuk Islam) sebagaimana perlakuan Nabi Muhammad terhadap ¢afwan bin Umayah pada ketika penaklukan kota Mekah. Nabi memberi keamanan kepada ¢afwan dengan maksud agar ia dapat merasakan kebaikan agama Islam. Nabi memberikan pula kepadanya seekor unta beserta yang ada di punggung unta itu sehingga akhirnya ¢afwan tertarik masuk Islam dengan kesadaran. Dia berkata, “Sesungguhnya Muhammad banyak memberiku ketika aku memandangnya sebagai manusia yang paling kubenci, sehingga dengan perlakuan ramah-tamahnya kepadaku jadilah Muhammad menurut pandanganku sebagai manusia yang paling kucintai.” Demikianlah ¢afwan akhirnya menjadi seorang Islam yang baik.
  2. Golongan orang-orang kafir yang miskin kemudian masuk Islam sampai imannya mantap. Untuk memantapkan dan meneguhkan keimanan mereka Rasulullah pernah memberikan sebagian harta rampasan perang kepada mereka yang masih lemah imannya dari kalangan ahli Mekah meskipun di antara mereka ada yang munafik.
  3. Golongan Muslimin yang mendiami daerah perbatasan dengan orang kafir. Mereka ini diberi zakat karena diharapkan kewaspadaan mereka dalam mempertahankan kawasan kaum Muslimin dan memperhatikan gerak-gerik musuh.

Kelima: Untuk usaha membebaskan perbudakan. Dengan cara yang bijaksana Islam memberantas perbudakan. Dalam rangka pembebasan budak, disediakan dana yang diambil dari zakat yang dipergunakan untuk membeli budak dan membebaskannya atau diberikan kepada seorang budak yang telah mendapat jaminan dari tuannya untuk melepaskan dirinya dengan membayar sebanyak harta yang ditentukan.

Budak yang seperti ini dinamakan “mukatab”. Seperti orang yang disandera, pekerja yang tertuduh membunuh dapat dibebaskan dengan uang.

Al-Bara’ bin ‘Azib berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata:

دُلَّنِيْ عَلَى عَمَلٍ يُقَرِّبُنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُنِيْ مِنَ النَّارِ. فَقَالَ:  أَعْتِقِ النَّسَمَةَ وَفُكَّ الرَّقَبَةَ  فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَوَلَيْسَ وَاحِدًا؟ قَالَ  لاَ  عِتْقُ النَّسَمَةِ أَنْ تَنْفَرِدَ بِعِتْقِهَا وَفَكُّ الرَّقَبَةِ أَنْ تُعِيْنَ بِثَمَنِهَا (رواه أحمد والبخاري عن البراء بن عزيب)

“Tunjukilah aku kepada amalan yang mendekatkan aku ke surga dan menjauhkan aku dari api neraka.” Maka Rasulullah menjawab, “Merdekakanlah budak atau berusahalah melepaskannya.” Laki-laki itu berkata, “Hai Rasulullah, tidakkah kedua hal itu satu (serupa)?” Nabi menjawab, “Tidak, memerdekakan budak ialah engkau sendirian yang memerdekakannya, sedang melepaskan budak adalah engkau membantu membayar harganya (uang tebusannya).” (Riwayat Ahmad dan al-Bukhari dari al-Barra’ bin ‘Azib).

Keenam: Orang yang berhutang. Golongan ini terdiri dari dua tingkatan:

  1. Orang yang berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pada jalan yang bukan maksiat. Mereka ini berhak menerima zakat jika mereka tidak mempunyai kesanggupan untuk membayar hutang yang menjadi tanggungannya.
  2. Golongan yang berhutang untuk kepentingan umum. Mereka ini berhak menerima zakat meskipun mereka orang-orang mampu (orang kaya).

Ketujuh: Sabilillah. Perkataan “sabilillah” mempunyai dua arti. Pertama, arti khusus, yaitu orang-orang yang secara suka-rela menjadi tentara melakukan jihad, membela agama Allah terhadap orang-orang kafir yang mengganggu keamanan kaum Muslimin.

Kedua, arti umum, yaitu segala perbuatan yang bersifat kemasyarakatan yang ditujukan untuk mendapatkan keridaan Allah seperti: pengadaan fasilitas umum, beasiswa untuk pendidikan, dan untuk dakwah.

Para ulama empat mazhab berpegang kepada arti yang pertama, tetapi sebagian ulama mempunyai pendirian yang mencakup pengertian khusus dan pengertian umum atas dasar kaidah ushul fiqh:

الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

Yang menjadi pegangan ialah umumnya pengertian lafaz (sesuatu na¡) tidak pada kekhususan sebab (na¡ diucapkan/diturunkan).”;Atas dasar ini, pembangunan atau pemeliharaan mesjid dan madrasah demikian juga untuk kegiatan ulama dan para mubalig dapat diambil dari harta zakat.

Kedelapan: Ibnu Sabil. Orang yang sedang musafir yang memerlukan pertolongan meskipun ia mempunyai kekayaan di negerinya. Kepada musafir yang seperti ini dapat diberikan bantuan dari harta zakat meskipun perjalanannya selaku turis selama ia tidak bertujuan maksiat dari perjalanannya itu.


Baca Juga : Tafsir Ahkam: Hukum Memberikan Zakat Kepada Orang Tua dan Kerabat Dekat


Kedelapan golongan tersebut adalah ketentuan Allah yang wajib dipedomani oleh umat Islam. Allah Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui siapa di antara mereka yang mampu dan yang memerlukan pertolongan.

Allah Mahabijaksana dalam mengatur ketentuan-ketentuan dan petunjuk-petunjuk yang ditujukan kepada orang-orang yang mampu sehingga jiwa mereka menjadi bersih dan bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepada mereka. Kedelapan golongan yang telah diterangkan dalam ayat ini dapat dibagi atas dua golongan:

  1. Pertama, golongan yang menerima zakat langsung menjadi milik pribadi, mereka ialah fakir miskin, amil, orang-orang yang menanggung hutang, muallaf dan musafir. Zakat yang diberikan kepada mereka ini adalah menjadi hak milik mereka.
  2. Kedua, golongan yang menerima zakat untuk kepentingan umum. Golongan ini berupa instansi dan badan, terdiri dari:
  3. Fi ar-Riqab, yaitu usaha membebaskan budak. Badan amil zakat secara langsung atau dengan perantaraan organisasi tertentu dapat membeli semua budak yang akan dijual oleh pemiliknya atau yang ada di pasar-pasar budak untuk dimerdekakan.
  4. Fi Sabilillah, yaitu segala kepentingan agama yang bersifat umum sebagaimana diterangkan di atas.

Sebagian mufasir yang didukung oleh ulama Fiqih memandang hanya dari delapan golongan tersebut, empat golongan termasuk golongan pertama yaitu: fakir, miskin, amil, dan muallaf.

Sedangkan empat golongan yang terakhir yaitu: pembebasan budak, pembebasan hutang untuk kepentingan umum, fi sabilillah dan ibnu sabil adalah termasuk golongan kedua yaitu untuk kemaslahatan umum.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 61

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 56-59

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 56-59 masih menginformasikan bagian dari sikap buruk orang munafik. Selain sering bersumpah palsu dan menyebar hoaks, mereka juga tidak suka bergaul dengan kaum mukminin, terlebih menyangkut perang. Alih-alih berpartisipasi, mereka justru kerap mencela kaum mukmin, bahkan mencela nabi secara terang-terangan saat pembagian ghanimah.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 52-55


Ayat 56

Ayat ini menerangkan kepada Nabi Muhammad tentang kegelisahan dan kecemasan orang-orang munafik karena takut rahasia mereka diketahui oleh orang-orang mukmin.

Oleh karena itu mereka bersumpah dengan nama Allah untuk menutupi kedustaan ucapan mereka bahwa mereka berada di pihak orang-orang mukmin. Sedangkan mereka itu pada hakikatnya tidak beriman, bahkan mereka selalu diliputi oleh keragu-raguan dan kegelisahan.

Mereka selalu menyatakan sesuatu yang berlainan dengan apa yang dikandung dalam hati mereka karena mereka selalu berada dalam ketakutan.

Demikianlah tingkah laku orang-orang munafik ketika bertemu dengan orang-orang mukmin, sebagaimana diterangkan Allah dalam firman-Nya:

وَاِذَا لَقُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قَالُوْٓا اٰمَنَّا ۚ وَاِذَا خَلَوْا اِلٰى شَيٰطِيْنِهِمْ ۙ قَالُوْٓا اِنَّا مَعَكُمْ  ۙاِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِءُوْنَ

Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, ”Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, ”Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok.”  (al-Baqarah/2: 14)

Baca Juga : Lima P


edoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13


Ayat 57

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang munafik itu tidak ingin bergaul dengan orang mukmin karena takut dan khawatir kemunafikan mereka akan diketahui, lebih-lebih lagi bilamana mereka diajak turut berperang bersama orang-orang mukmin.

Oleh sebab itu, sekiranya mereka memperoleh tempat perlindungan berupa benteng gua-gua di bukit atau parit untuk melindungi diri mereka dari pembalasan orang-orang mukmin, tentulah mereka lari bersembunyi ke tempat-tempat itu karena mereka sadar bahwa kemunafikan mereka pada suatu saat akan diketahui juga.

Ayat 58

Sabab Nuzul: Abu Said al-Khudri meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah saw membagi sedekah, datang Ibnu Zi al-Khawaisirah at-Tamimi, dia berkata, “Berbuat adillah wahai Rasulullah.” Nabi menjawab, “Celaka kamu! Siapa lagi yang akan berbuat adil kalau saya tidak adil?” Umar berkata, “Izinkan aku penggal lehernya!” Nabi menjawab, “Biarkan, dia banyak teman. Sebagian kamu menghina salatnya dengan salat kamu, puasanya dengan puasa mereka. Meninggalkan agama seperti anak panah menginggalkan busurnya.” Maka turunlah ayat ini. (Riwayat al-Bukhari).

Ayat ini menerangkan adanya beberapa orang munafik yang mencela Nabi Muhammad mengenai kebijaksanaan beliau membagi-bagi zakat kepada orang-orang yang patut menerimanya.

Dalam usaha untuk menghambat perkembangan Islam, mereka mengada-adakan tuduhan palsu yang mereka tujukan kepada Nabi Muhammad dengan maksud mempengaruhi orang-orang Islam yang masih lemah imannya.

Mereka menuduh bahwa Nabi Muhammad tidak berlaku adil, berat sebelah, pilih kasih dalam membagikan zakat.

Orang-orang munafik itu jika mereka diberi zakat oleh Nabi, mereka menerimanya dan diam seribu bahasa meskipun mereka tidak termasuk golongan yang patut menerimanya disebabkan mereka hanya berpura-pura miskin dan manakala tidak diberi oleh Nabi karena tidak termasuk golongan yang berhak menerima zakat, mereka segera menjadi marah dan membuat tuduhan terhadap Nabi.

Sikap demikian menunjukkan bahwa mereka hanyalah memikirkan kepentingan diri sendiri. Demikianlah antara lain kelakuan orang-orang munafik itu.

Ayat 59

Jika mereka beriman kepada Allah dengan sebenarnya tentulah mereka tidak akan mencela atau membuat tuduhan terhadap Rasul.

Seharusnya mereka rida dan bersyukur kepada Allah terhadap pembagian harta itu, baik mengenai pembagian harta rampasan maupun zakat. Mereka meyakini bahwa Allah merupakan tempat memohon dan yang akan memberikan rahmat dan rezeki kepada makhluk-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Ta


fsir Surah At Taubah 60


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 52-55

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Penjelasan Tafsir Surah At Taubah Ayat 52-55 masih terkait dengan perilaku orang munafik. Bahwa mereka sangat menanti kehancuran Nabi dan sahabat-sahabatnya. Disisi lain saat waktunya berjihad – meski tidak ikut – mereka mau mengorbankan hartanya untuk alokasi dana perang. Meski Allah tetap tidak menerimanya, karena mereka masih tetap ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 49-51


Tafsir Surah At Taubah Ayat 52-55 juga mengingatkan kaum Mukmin agar tidak terbuat dengan keindahan dunia. Sebab yang demikian hanyalah tipu daya setan semata yang menginginkan kehancuran bagi manusia, yakni terjerumus dalam lubang api neraka.

Ayat 52

Ayat ini menerangkan bagaimana orang-orang munafik itu menunggu-nunggu kehancuran dan kebinasaan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, namun mereka tidak akan menyaksikannya, kecuali salah satu dari dua hal yang menguntungkan bagi Rasul dan kaum Muslimin, yaitu kemenangan atau mati syahid.

Sedangkan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya menunggu salah satu dari dua hal yang merugikan dan membinasakan mereka, karena mereka tetap saja terpengaruh oleh bisikan berbisa dan ajakan setan, sehingga mereka selalu ingkar dan membangkang.

Dua hal yang dimaksud ialah bahwa pada suatu saat nanti Allah mengizinkan Rasul-Nya memerangi mereka sampai bertekuk lutut atau mengalami kehancuran.

Orang-orang munafik yang jahil itu menunggu-nunggu apa gerangan yang akan dialami Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya.

Sebaliknya Nabi Muhammad menanti-nanti azab apa yang akan menimpa mereka selama mereka tetap saja ingkar dan tidak mau sadar.


Baca Juga : Tafsir Surah Yusuf Ayat 16-18: Cara Nabi Yakub Memverifikasi Berita


Ayat 53

Ayat ini menerangkan bahwa bagaimana pun juga orang-orang munafik menginfakkan harta bendanya untuk membantu perjuangan orang-orang mukmin, baik karena harta benda itu diserahkan dengan sepenuh hatinya, sesuai dengan perintah Allah untuk keselamatan dirinya, maupun secara terpaksa, karena takut kepada azab yang akan menimpanya.

Namun Allah tidak akan menerimanya, karena mereka tetap ragu-ragu kepada agama yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad dan tidak percaya akan adanya pembalasan di akhirat nanti atas segala perbuatan yang mereka lakukan di dunia ini.

Allah akan menerima baik amalan apa saja apabila amalan itu dikerjakan bukan karena ria tetapi karena keikhlasan dan takwa kepada Allah. Sabda Nabi Muhammad:

إِنَّ الله َتَعَالٰى لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالَصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ (رواه النسائي عن أبي أمامة)

Sesungguhnya Allah swt tidak akan menerima amalan kecuali apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dimaksudkan semata-mata karena Allah. (Riwayat an-Nasa’i dari Abu Umamah)

Firman Allah:

اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa. (al-Ma’idah/5: 27)

Ayat 54

Ayat ini menerangkan bahwa yang menyebabkan infak orang-orang munafik itu tidak diterima oleh Allah ialah karena mereka tetap ingkar kepada Allah dan sifat-sifat-Nya, ingkar kepada Rasulullah dan petunjuk-petunjuk serta penjelasan-penjelasan yang dibawanya.

Orang-orang munafik itu kalaupun melakukan salat, mereka lakukan dengan malas. Kalau di hadapan orang mereka salat, tetapi kalau mereka hanya sendirian, salat ditinggalkan dan tidak dikerjakan. Mereka tidak mengharapkan pahala dari salatnya itu, mereka tidak takut kepada siksaan karena meninggalkannya.

Salat yang dilaksanakan bukanlah karena percaya akan kewajibannya, tetapi karena ria dan ingin dilihat dan diketahui bahwa ia juga turut melakukan salat.

Apabila mereka meninfakkan harta bendanya untuk membantu perjuangan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya, atau hal-hal lain, mereka mengeluarkannya dengan rasa terpaksa, tidak dengan rela dan ikhlas hati, karena mereka menganggap bahwa bantuannya itu akan merugikan dirinya sendiri.

Sebaliknya akan menguntungkan orang-orang mukmin, sedang dia bukanlah termasuk golongan orang-orang mukmin.

Ayat 55

Ayat ini mengisyaratkan bahwa janganlah orang mukmin terpengaruh dan terpesona oleh harta benda yang melimpah dan keturunan yang menjadi kebanggaan mereka, karena semua yang mereka banggakan itu hanya akan menambah siksa yang mereka derita di dunia dan di akhirat kelak.

Mereka dengan susah payah mengumpulkan harta benda, tanpa menghiraukan cara-cara yang ditempuhnya.

Yang penting baginya harta benda dapat dikumpulkan sebanyak-banyaknya dengan cara apa saja, sekalipun dengan cara yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama, karena disangkanya bahwa harta benda yang berlimpah-limpah itulah yang akan memberi kebahagiaan kepada mereka di dunia dan di akhirat.

Selain dari siksa yang dialami di dunia, mereka juga merasakan azab yang amat pedih pada akhir hayatnya, karena nyawanya akan dicabut dengan susah payah dan dalam keadaan kafir.

Orang yang meninggal dunia dalam keadaan kafir, semua amal dan usahanya akan sia-sia dan binasa, sebagaimana firman Allah:

ذٰلِكَ جَزَاۤؤُهُمْ جَهَنَّمُ بِمَا كَفَرُوْا

Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahanam, disebabkan kekafiran mereka. (al-Kahf/18: 106)

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 56-59


Mengenal Sejarah Ilmu Semantik Al-Quran dari Klasik hingga Kontemporer

0
Sejarah semantik Al-Quran
Sejarah semantik Al-Quran

Semantik merupakan sebuah keilmuan yang pada mulanya berasal dari Barat, namun lambat laun keilmuan tersebut diadopsi oleh pemikir muslim yang ahli di bidang bahasa. Hal itu memunculkan sebuah keilmuan baru. Keilmuan itu ialah semantik Al-Quran.

Sebenarnya, semantik sudah digunakan sejak zaman Rasulullah untuk menafsirkan Al-Quran. Hanya saja orang-orang pada masa itu tidak membuat keilmuan semantik Al-Quran ini berdiri sendiri. Keilmuan semantik pada masa itu hanya sekedar digunakan saja tanpa dibuatkan sebuah disiplin ilmu.

Di Arab, istilah semantik dikenal dengan istilah dalalah. Para ulama Arab telah lama mengkaji keilmuan ini, akan tetapi para ilmuwan barat terlihat mengabaikan kiprahnya para ulama Arab. Meski begitu, para ulama Arab tetap terus mengkaji keilmuan ini. Para ahli kebahasaan asal Arab memiliki istilahnya masing-masing terhadap dalalah ini, ada yang menyebutnya dengan istilah Ilmu ad-Dalalah, ada juga yang mengatakan Ilmu ad-Dilalah, dan ada yang menyebutnya dengan istilah Ilmu Makna. (Balkis Aminallah, Perkembangan Ilmu Dalalah dan Para Tokoh-tokohnya, hal. 90).

Baca juga: Kajian Semantik Asal Usul Kata Salat dalam Al-Quran

Meski banyak yang mengatakan bahwa Dalalah dan Ilmu Makna itu sama, Muhammad Ali al- Khuli mengatakan bahwa keduanya berbeda. Menurutnya Dalalah adalah ilmu yang mengkaji makna yang berhubungan dengan dunia luar, sedangkan Ilmu Makna adalah ilmu yang mengkaji makna yang berhubungan dengan bahasa itu sendiri. Berangkat dari pernyataan tersebut, bisa kita ambil benang merah bahwa kedua keilmuan tersebut memiliki perbedaan pengertian secara spesifik, namun memiliki kesamaan pengertian secara umum. (Muhammad, Irfan, Perkembangan Semantik Al-Quran, hal. 5-9).

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, para sahabat menjadi target utama untuk ditanyakan mengenai ayat-ayat yang masih kurang jelas. Diantara seluruh sahabat yang ada, yang paling paham dan paling mengerti mengenai bagaimana cara menafsirkan Al-Quran ialah Khulafaur Rasyidin. Mereka berempat mempunyai kelebihan dalam cara pemaknaan ayat-ayat Al-Quran, karena mereka selalu berada di sisi Rasulullah ketika ayat-ayat Al-Quran turun.

Meski ada empat orang sahabat yang dinilai mampu menafsirkan ayat Al-Quran dan meriwayatkannya dengan sangat baik, hanya satu orang diantara empat orang itu yang memiliki riwayat paling banyak, yakni Ali bin Abi Thalib. Ali bisa meriwayatkan banyak penafsiran disebabkan karena pada masa kekuasaan Ali banyak sekali para generasi baru Islam dan kekuasaan agama Islam telah menyebar luas, sehingga banyak pula yang masuk Islam yang masih belum mengetahui mengenai tafsiran ayat-ayat dalam Al-Quran. (Agung Sasongko, Sahabat Periwayat dan Mufasir Alquran).

Baca juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran

Itu adalah perkembangan keilmuan semantik di masa pasca wafatnya Rasulullah SAW. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, perkembangan keilmuan semantik ini terus berlanjut di masa para sahabat yang dikenal dengan periode klasik. Di periode ini para sahabat mencoba memahami ayat-ayat Al-Quran dengan pendekatan kebahasaan terhadap ayat-ayat yang rancu. Salah satu contoh dari hal ini adalah Mujahid Ibn Jabbar yang mencoba mengalihkan makna dasar kepada makna relasional surat Al-Kahfi ayat 34.

Kata tsamar pada ayat 34 surat Al-Kahfi memiliki makna dasar buah-buahan. Namun, oleh Mujahid Ibn Jabbar diartikan sebagai emas dan perak atau harta kekayaan. Perubahan makna tersebut nampaknya bukan terjadi tanpa sebab, melainkan pada masa itu Mujahid Ibn Jabbar melihat kehidupan masyarakat sangat bergantung pada harta kekayaan. Sehingga pemaknaan seperti ini jauh lebih masuk akal, karena konteksnya disesuaikan dengan kondisi masyarakat pada masa itu. (Fauzan Azima, Semantik Al-Quran (Sebuah Metode Penafsiran) hal. 53-54).

Sedangkan setelah periode klasik adalah periode kontemporer, dimana periode ini adalah periode dimana kita saat ini hidup di dunia dan era yang sudah banyak mengalami kemajuan, terutama dari segi pustaka dan teknologi. Zaman ini tentunya sangat berbeda jauh dengan zaman Aristoteles dimana semantik pertama kali lahir dan zaman para sahabat yakni zaman ketika keilmuan semantik mulai memasuki dunia Islam.

Baca juga: Introducing English Semantics: Teori Semantika Al-Quran Ala Charles W. Kreidler

Di zaman kontemporer ini, semantik bisa dikatakan mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berbagai macam pemikiran dan pandangan mengenai semantik banyak dituangkan dalam karya tulis. Tokoh kontemporer yang selain namanya dikenal dalam khazanah keilmuan semantik karyanya pun begitu melanglangbuana, ia adalah Toshihiko Izutsu dengan karyanya yang berjudul “God and Man in The Qur’an”.

Toshihiko dalam bukunya tersebut meletakkan sebuah pondasi keilmuan semantik dalam menganalisis kata Allah secara menyeluruh. Tidak selesai sampai disitu, ia pun melanjutkan metodenya tersebut dalam buku lainnya yang berjudul “Concept of Believe in Islamic Theology”. Dalam karyanya itu ia menjelaskan makna iman dan islam secara lengkap dengan metode semantik historisnya.

Sekarang kita berpindah ke Nusantara. Di Indonesia sendiri ternyata ada beberapa karya yang diketahui sudah menggunakan metode semantik dalam memaknai kata-kata dalam Al-Quran meskipun memang tidak seluruh kata yang ada di dalam Al-Quran diuraikan makna dasar serta makna relasionalnya. M. Dawam Raharjo dalam bukunya yang berjudul “Ensiklopedi Al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci” mengungkapkan makna dan konsep yang terkandung dalam Al-Quran secara tematik.

Secara garis besar, baik kita sadari maupun tidak, keilmuan semantik ini seiring berjalannya waktu selalu mengalami perubahan. Hal ini disebabkan karena setiap zaman selalu muncul sebuah kosakata atau tafsiran yang baru. Sehingga, dalam ranah tersebutlah keilmuan semantik sangat diperlukan agar tidak terjadi kasus salah arti/salah tafsir. Oleh karena itu, diperlukan para cendekiawan untuk senantiasa melestarikan keilmuan yang satu ini, agar pemaknaan terhadap bahasa tidak hilang ditelan masa. Wallahu a’lam.

Prinsip Dasar Penyusunan Tafsir Ilmi

0
Dasar Penyusunan Tafsir Ilmi
Dasar Penyusunan Tafsir Ilmi

Bukan rahasia umum lagi bahwa substansi Al-Quran mengandung banyak pernyataan dan isyarat yang tidak hanya mendorong umat Islam untuk melakukan riset dan pengembangan ilmu pengetahuan, melainkan pula menunjukkan secara tersurat maupun tersirat hukum dan keteraturan alam semesta serta ketentuan-Nya.  Hal itu sepatutnya kita tadabburi dan mengkaji secara empirik dan ilmiah terkait dasar penyusunan tafsir ilmi.

Berpijak dari pada itu, maka umat Islam meyakini akan adanya kesetaraan yang qath’i antara Al-Quran dan alam semesta sebagai kebenaran Qur’ani (wahyu/ qauli) dan kauni. Dalam rangka menjaga kebenaran dan kesucian Al-Quran, para ulama yang tergabung dalam Lembaga Pengembangan I’jaz Al-Quran dan Sunnah, Rabithah ‘Alam Islami di Mekkah dan lembaga serupa di Mesir sebagaimana disampaikan Muchlis Hanafi dalam Tafsir Ilmi Kemenag, merumuskan beberapa prinsip atau pedoman dasar yang sepatutnya diperhatikan dalam menyusun tafsir ilmi sebagai berikut.

Baca juga: Memaknai Istilah-istilah Manusia dalam Al-Qur’an Perspektif Bintu Syathi

Memperhatikan arti dan kaidah-kaidah kebahasaan

Mufassir tidak hanya paham arti suatu kata, namun juga kaidah-kaidah kebahasaannya sehingga meminimalisir kesalahan dalam melakukan kerja-kerja penafsiran. Sebagai contoh misalnya, kata tayran dalam Q.S. al-Fil [105]: 3, “Wa arsala ‘alaihin tayran ababil” (Dan Kami turunkan kepada mereka burung ababil), ditafsirkan sebagai kuman sebagaimana dikemukakan Muhammad Abduh dalam Tafsir Juz ‘Amma-nya.

Secara lughawi (bahasa) itu sangat tidak dimungkinkan, dan maknanya menjadi tidak pas, sebab akan bermakna, “dan Dia mengirimkan kepada mereka kuman-kuman yang melempari mereka dengan batu”. Atau misalnya ditafsirkan dengan wabah Covid-19 itu juga terlalu “memaksakan”. Maka penafsir harus jernih dalam melihat kaidah-kaidah kebahasaan.

Memperhatikan Konteks, Asbab Nuzul Ayat dan Surat Al-Quran

Prinsip kedua adalah mufassir tidak hanya menguasai arti dan kaidah bahasa, namun juga melihat konteks di masa itu. Karena Al-Quran tidak turun dalam ruang hampa, ia saling berkelindan dan berkorelasi. Memahami ayat-ayat Al-Quran tidak terlepas dari pemahaman konteks, asbabun nuzul ayat maupun surat dan peristiwa yang melingkupinya. Pendek kata, kerja-kerja penafsiran harus dilakukan secara holistik, tidak parsial.

Baca juga: Perbuatan yang Menyebabkan Istri Menjadi Durhaka: Tafsir Surat At-Tahrim Ayat 10

Memperhatikan Interpretasi Rasul SAW, Para Sahabat, Tabi’in dan Ulama Tafsir

Al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun menjelaskan bahwa mufassir tidak boleh potong kompas dengan mengatakan yang dimaksud Allah adalah ini dan itu tanpa memperhatikan interpretasi Rasul saw selaku pemegang otoritas tertinggi, para sahabat dan para ulama. Andai kata mufassir itu benar, seyogyanya ia tidak mengklaimnya sebagai kebenaran mutlak, sebab Al-Quran itu, kata Quraish Shihab hammalatun lil wujud (menngandung ragam pandangan).

Tidak Menggunakan Ayat-Ayat Kauni untuk Menjustifikasi Sebuah Hasil Penemuan Ilmah

Fungsi dan rahmat Al-Quran jauh lebih besar dari sekadar persoalan justifikasi-legitimasi, membenarkan atau menyalahkan teori-teori ilmiah atau penemuan ilmiah lainnya. Karena itu, prinsip ini patut diperhatikan betul dalam penyusunan tafsir ilmi.

Memperhatikan Probabilitas Redaksi Ayat

Sebagaimana dikemukakan pakar bahasa Arab, Ibn Jinni dalam al-Khasa’is (2/488) bahwa mufassir hendaknya memperhatikan probabilitas satu kata atau ungkapan yang mengandung beragam makna, meskipun makna itu sedikit jauh (lemah). Senada dengan itu, al-Gamrawi, seorang pakar tafsir ilmiah Al-Quran dari Mesir, dalam al-Islam fi ‘Asr al-‘Ilm menyatakan bahwa “Penafsiran Al-Quran hendaknya tidak terpaku pada satu makna, selama ungkapan itu mengandung berbagai kemungkinan dan dibenarkan secara bahasa, maka boleh jadi itulah yang dimaksud Tuhan”.

Memahami Objek Bahasan Ayat

Guna memahami isyarat-isyarat ilmiah hendaknya memahami betul segala aspek yang berkaitan dengan objek bahasan ayat, termasuk penemuan-penemuan ilmiah di dalamnya. Mengutip Quraish Shihab, “sebab-sebab kekeliruan dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat Al-Quran antara lain adalah kelemahan dalam bidang bahasa serta kedangkalan pengetahuan menyangkut objek bahasan ayat”.

Sebaiknya Tidak Menggunakan Penemuan Ilmiah yang Teoritis-Hipotesis

Sebagain ulama menyarankan agar tidak menggunakan penemuan ilmiah yang masih berupa teoritis dan hipotesis. Sebab teori tidak lain merupakan hasil sebuah “generalisir” terhadap gejala alam yang terjadi. Begitupula hipotesis, masih dalam taraf uji coba kebenarannya.

Baca juga: Konsep Taaddud as-Sabab wa an-Nazil Wahid dalam Ulum Al-Quran (1)

Sebagian yang lain mengatakan sebuah penafsiran yang menggunakan teoritis dan hipotesis saja bisa digunakan, asal dengan syarat keyakinan Al-Quran yang bersifat absolut harus diletakkan di atasnya, sebab teori bahkan kebenaran ilmiah sifatnya relatif, bisa benar bisa salah.

Sampailah kita pada satu penutup, sebagaimana dikemukakan Muchlis Hanafi dalam Tafsir Ilmi Kemenag, ia menyatakan bahwa kajian tafsir ilmi ini tidak dalam kerangka menjustifikasi kebenaran temuan ilmiah dengan ayat-ayat Al-Quran. Pun, tidak pula memaksakan penafsiran ayat-ayat Al-Quran sehingga seolah-olah berkorelasi dengan temuan ilmu pengetahuan.

Kajian tafsir ilmi, demikian tutur Muchlis Hanafi, berangkat dari kesadaran (awareness) bahwa Al-Quran bersifat mutlak, adapun penafsirannya baik dalam perspektif tafsir maupun ilmu pengetahuan, bersifat relatif. Wallahu A’lam.

Memaknai Istilah-istilah Manusia dalam Al-Qur’an Perspektif Bintu Syathi

0
Bint As-Syathi
Bint As-Syathi credit: masralarabia.net

Bintu Syathi dapat dikatakan sebagai sarjana perempuan Islam yang pengaruhnya terhadap tradisi penafsiran Al-Qur’an tidak kalah dari pengaruh laki-laki. Ia termasuk tokoh Islam yang ikut mewarnai peradaban Islam dengan banyak menulis karya dari berbagai disiplin keilmuan, seperti sejarah, femenisma, tafsir Al-Qur’an, dan lainnya. Bahkan, ia disebut sebagai penafsir perempuan pertama yang memiliki kitab tafsir.

Salah satu karyanya adalah Maqal Fi Al-Insan: Dirasah Qur’aniyyah. Buku ini diterjemahkan dalam versi Indonesia dengan judul Manusia, Senstivitas Hermeneutika Al-Qur’an (1997). Di sini, Bintu Syathi menganalisis istilah Al-Qur’an yang merujuk pada makna manusia, yakni basyar, Al-Nas, Al-ins/Al-Insiyah, dan Al-Insan. Sekalipun bermuara pada makna manusia, tetapi berbagai istilah tersebut mengandung pemahaman yang berbeda-beda.

Baca Juga: Bint As-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Di sini, saya akan membahas klasifikasi istilah Al-Qur’an yang merujuk pada manusia, sebagaimana dalam kajian yang dilakukan oleh Bintu Syathi. Tujuannya sederhana, tulisan ini ingin menunjukkan adanya kekhasan tersendiri dari setiap makna ungkapan Al-Qur’an menjadi bagian penting yang menarik diperhatikan oleh pengkajinya.

Bintu Syathi dan Maqal Fi Al-Insan: Dirasah Qur’aniyyah

Bintu Syathi merupakan nama pena yang dimiliki oleh perempuan yang ‘Aisyah ‘Abdurrahman. Nama Bintu Syathi merujuk kepada tempat ia dilakhirkan dan dibesarkan, sehingga Bintu Syathi bermakna anak perempuan dari pinggir (sungai). Meskipun menulis berbagai bidang keilmuan, ia lebih dikenal ahli dalam bidang sastra Arab dan tafsir Al-Qur’an. Ia menjadi professor sastra dan bahasa Arab di Universitas ‘Ain Syams, mesir, sekitar 1970-an.

Di antara karya-karyanya adalah A’dha’ Al-Basyar (1968), Al-Ab’ad Al-Tarikhiyyah wa Al-Fikriyyah li Ma’rakatina (1968), Al-Tafsir Al-Bayaniy li Al-Qur’an Al-Karim (Vol. I (edisi I: 1962, edisi II: 1966, edisi III: 1968), Al-Tafsir Al-Bayaniy li Al-Qur’an Al-Karim, Vol. II (1967), Kitabuna Al-Akbar (1967), Al-Qur’an wa Al-Tafsir Al-‘Asriy (1970), Al-I’jaz al-Bayaniy li Al-Qur’an (1971), Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (1973), Maqal fi Al-Insan: Dirasah Qur’aniyyah (1969), dan lainnya.

Perjalanan intelektualnya disebut banyak dipengaruhi oleh suaminya, Amin Al-Khully, seorang ahli sastra Arab dan tafsir Al-Qur’an sekaligus penulis Manahij Tajdid (1961). Karya Maqal Fi Al-Insan: Dirasah Qur’aniyyah (1969) dapat dikatakan sebagai karya yang terinspirasi dari suaminya. Dalam karya tersebut, Bintu Syathi menjelaskan jati diri dan karakter manusia dengan merujuk pada basyar, Al-Nas, Al-ins/Al-Insiyah, dan Al-Insan.

Setelah menganlisis beberapa istilah tersebut, Aisyah Abdurrahman kemudian membahas beberapa hal-hal penting terkait manusia, yaitu (1) Khalifah di Bumi, (2) Bersujudlah kepada Adam, (3) Allah Menciptakan Manusia, (4) Mengajarnya Al-Bayan, (5) Amanat Manusia, (6) Kebebasan Manusia, (7) Kebebasan, Penghambaan, (8) Kebebasan Akidah, (9) Kebebasan Akal dan Pendapat, (10) Kebebasan Kehendak. Pada bab Jalan Manusia memuat (1) Keberadaan dan Ketiadaan, (2) Debat Kebangkitan, (3) Sifat dan Esensi, (4) Alam Ruh, (5) Manusia Kontemporer: Agama, Ilmu Pengetahuan.

Sehubungan dengan kajiannya di atas, muncul komentar bernada positif dari sarjana yang mengkajinya. Misalnya, Muhammad Yusron (2006) mengatakan bahwa Bintu Syathi memiliki prinsip dan metode yang bagus yang dapat digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Demikian halnya Miftahul Jannah (2017) menilai bahwa metode analisis teks Bintu Syathi relevan dan realistis untuk digunakan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Istilah yang Digunakan Al-Qur’an tentang Manusia

Dalam kajiannya, Bintu Syathi menunjukkan bahwa istilah-istilah yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam menjelaskan manusia memiliki makna dan tujuannya tersendiri, yang memperlihatkan luar biasanya bahasa dan sastra yang dimiliki Al-Qur’an. Di sini, jati diri dan karakter manusia dalam Al-Qur’an dikaji melalui istilah basyar, Al-Nas, Al-ins/Al-Insiyah, dan Al-Insan.

Mengenai istilah basyar, Bintu Syathi memahaminya sebagai manusia secara biologis, yang bermuara pada dimensi material manusia. Istilah basyar meliputi semua manusia di bumi ini atau seluruh anak cucu Adam. Di dalam Al-Qur’an sendiri, istilah basyar disebutkan sebanyak 35 kali, yang 25 di antaranya dinilai sebagai sisi kemanuisaan yang dimiliki oleh para Nabi dan Rasul. Istilah basyar dalam Al-Qur’an juga dinilai sebagai kesamaan antara Muslim dan non-Muslim.

Mengenai istilah Al-Nas, Bintu Syathi memahaminya sebagai manusia yang merujuk kepada nama jenis dari keturunan Adam. Dalam artian, manusia sebagai Al-Nas merupakan salah satu spesies makhluk di alam ini, sebagaimana ia rujuk dari QS. Al-Hujurat: 13. Dalam Al-Qur’an, istilah Al-Nas ditemukan sebanyak 240 kali. Sayangnya, banyaknya istilah Al-Nas disebutkan dalam Al-Qur’an tidak membuat Bintu Syathi untuk menjelakan secara lebih jauh.

Mengenai istilah Al-Ins/Al-Insiyah, Bintu Syathi memahaminya sebagai manusia yang maknanya bersebarangan dengan Al-Jis. Dalam Al-Qur’an, istilah Al-Ins dan Al-Jin selalu disebutkan beriringan. Istilah Al-Jin bermakna kesamaran yang seram atau kebuasan, sementara Al-Ins bermakna kelembutan. Lebih jauh, Al-Jin dapat dipahami sebagai semua makhluk yang tak kasat mata, termasuk alien. Sementara Al-Ins/Al-Insiyah dapat dipahami sebagai manusia yang berkarakter lembut, diketahui, dan seterusnya.

Baca Juga: Kajian Semantik Kata Nikmat dalam Al-Quran: Perbedaan Kata An-Ni’mah dan An-Na’im

Mengenai istilah Al-Insan, Ia memahaminya sebagai manusia yang berasal dari Al-Ins. Dalam artian, manusia sebagai Al-Insan merupakan perkembangan dari Al-Ins yang menjadikannya manusia secara utuh. Istilah Al-Insan disebutkan 65 kali dalam Al-Qur’an. Manusia sebagai Al-Insan dapat saja berbeda antar sesamanya manusia, hal ini disebabkan perbedaan fisik dan kecerdasarnya. Sehingga, Al-Insan melampui basyar dan Al-ins. Dari sini, Al-Insan menunjukkan manusia yang menerima beban taklif dan amanah di muka bumi, yang menempatkan dirinya sebagai khalifah.

Paparan singkat mengenai kajian Bintu Syathi mengenai istilah manusia dalam Al-Qur’an di atas, minimal, memperlihatkan makna-makna tersendiri yang dimilikk setiap ungkapan Al-Qur’an. Ini memperkuat asumsi bahwa setiap ungkapan Al-Qur’an dipilih secara tepat, dan digunakan untuk maksud dan tujuan yang tepat pula. Dengan demikian, beragamnya istilah yang merujuk pada manusia juga menunjukkan beragamnya jati diri dan karakter manusia itu sendiri. [] Wallahu A’lam.