Beranda blog Halaman 355

Tafsir Surah Hud Ayat 12-14

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 12-14 bericara mengenai perilaku orang-orang kafir. Mereka menghina Nabi Muhammad Saw dan juga al-Qur’an. Nabi diperintah untuk tidak bersedih dengan keadaan tersebut.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 11-18


Ayat 12

Pada ayat ini, Allah swt menegur Nabi Muhammad saw apakah ia meninggalkan sebagian wahyu yang diturunkan kepadanya, ataukah dadanya menjadi sempit karena ucapan orang-orang musyrik yang meminta tanda bukti atas kerasulannya.

Tuntutan mereka itu ialah jika ia benar-benar nabi, mengapa tidak diturunkan kepadanya harta benda (kekayaan) atau mengapa tidak datang kepadanya beberapa malaikat yang meyakinkan kerasulannya. Ucapan semacam itu diterangkan pula dalam firman Allah yang lain:

وَقَالُوْا مَالِ هٰذَا الرَّسُوْلِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِيْ فِى الْاَسْوَاقِۗ  لَوْلَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُوْنَ مَعَهٗ نَذِيْرًا ۙ  ٧  اَوْ يُلْقٰىٓ اِلَيْهِ كَنْزٌ اَوْ تَكُوْنُ لَهٗ جَنَّةٌ يَّأْكُلُ مِنْهَاۗ

Dan mereka berkata, ”Mengapa Rasul (Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat) itu memberikan peringatan bersama dia, atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya harta kekayaan atau (mengapa tidak ada) kebun baginya, sehingga dia dapat makan dari (hasil)nya?” (al-Furqan/25: 7-8)

Ucapan yang semacam itu yang berisi keingkaran dan cemoohan yang menimbulkan kesempitan dada pada orang yang dihadapinya juga dialami oleh Nabi Muhammad sendiri. Pada awalnya dikhawatirkan beliau akan terpengaruh oleh ucapan-ucapan semacam itu, sehingga beliau akan meninggalkan sebagian wahyu yang telah diwahyukan kepadanya. Akan tetapi Nabi Muhammad terpelihara dari tindakan seperti itu dan beliau tetap konsekuen melaksanakan risalahnya dengan sempurna sesuai dengan firman Allah:

وَلَوْلَآ اَنْ ثَبَّتْنٰكَ لَقَدْ كِدْتَّ تَرْكَنُ اِلَيْهِمْ شَيْـًٔا قَلِيْلًا ۙ    ٧٤#

Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka. (al-Isra’/17: 74)

Demikian pula firman Allah:

فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ اِنْ لَّمْ يُؤْمِنُوْا بِهٰذَا الْحَدِيْثِ اَسَفًا

Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur’an). (al-Kahf/18: 6)

Allah menjelaskan bahwa kedudukan Rasul hanyalah sebagai seorang pemberi peringatan dan tugas beliau hanya sekadar menyampaikan perintah Allah kepada umatnya. Di akhir ayat Allah menyatakan bahwa Dia selalu memelihara segala urusan hamba-Nya.


Baca juga: Perbedaan Fungsi Mushaf dan Tafsir dalam Internal Umat Islam


Ayat 13

Orang-orang kafir Mekah menuduh bahwa Muhammad itu telah menciptakan Al-Qur’an. Mereka menuduh bahwa Al-Qur’an itu bukan wahyu dari Allah, akan tetapi semata-mata buatan Muhammad belaka.

Maka Nabi Muhammad diperintahkan untuk menantang orang-orang kafir Quraisy, termasuk pula orang-orang yang meragukan bahwa Al-Qur’an itu sebagai firman Allah, untuk membuat sepuluh surah yang sama dengan Al-Qur’an yang isinya mencakup hukum-hukum (syari’at) kemasyarakatan, hikmat-hikmat, nasihat-nasihat, berita-berita yang gaib tentang umat-umat yang terdahulu dan berita-berita yang gaib tentang peristiwa yang akan datang, dengan susunan kata-kata yang sangat indah dan halus, sukar ditiru oleh siapa pun karena ketinggian bahasanya yang mempunyai pengaruh yang sangat mendalam kepada jiwa setiap orang yang membaca dan mendengarnya. Sesudah itu dijelaskan bahwa mereka telah mengenal Muhammad.

Beliau telah bergaul berpuluh-puluh tahun di tengah-tengah mereka, dan mereka tidak pernah mendapatkan beliau berdusta atau menyalahi janji sehingga mendapat gelar al-Amin.

Dengan sifat yang sudah terkenal kejujurannya sejak sebelum diangkat menjadi nabi, tidak wajar apabila beliau tiba-tiba berubah menjadi penipu atau pendusta seperti yang mereka tuduhkan, yaitu mengada-adakan Al-Qur’an dan mengatakannya dari Allah.

Seorang sastrawan, bagaimana pun pandainya dan mahirnya membuat suatu karangan, tentu dapat saja ditiru atau diimbangi oleh sastrawan yang lain.

Akan tetapi, orang musyrikin tidak mampu menciptakan surah-surah yang sama dengan Al-Qur’an, padahal mereka, sebagai pemimpin Quraisy, termasuk pujangga, ahli bahasa, dan sastrawan ulung, karena hasil karya kesusastraan mereka dalam bentuk syair sering dipamerkan bahkan dipertandingkan dalam gelanggang musabaqah keindahan bahasa di pasar Ukāz, Zul Majaz, dan Majannah.

Jika mereka secara sendiri-sendiri ternyata tidak mampu mengemukakan surah-surah yang sama seperti Al-Qur’an, maka mereka dipersilahkan mengundang orang-orang yang sanggup membantu mereka jika mereka memang orang-orang yang benar.

Ayat 14

Ayat ini menjelaskan bahwa jika orang musyrik tidak mampu memenuhi tantangan Rasul, padahal mereka itu ahli bahasa dan ahli sastra yang ulung, maka ketahuilah bahwasanya Al-Qur’an itu bukan buatan Muhammad, tetapi semata-mata diturunkan oleh Allah atas kehendak-Nya, supaya disampaikan oleh Muhammad kepada sekalian umatnya.

Ketahuilah pula bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah dengan sebenarnya melainkan Dia, sebab hanya Allah yang mengetahui segala perkara yang gaib, yang tidak mempunyai tandingan atau sekutu dalam melaksanakan kekuasaan-Nya.

Di akhir ayat, Allah memerintahkan agar mereka berserah diri kepada Allah setelah mereka mengetahui bukti yang sangat kuat itu dan agar mereka menerima Islam sebagai agama.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 15-17


(Tafsir Kemenag)

Konsep Taaddud as-Sabab wa an-Nazil Wahid dalam Ulum Al-Quran (1)

0
taaddud as-sabab wa an-nazil wahid dalam Ulumul Quran
taaddud as-sabab wa an-nazil wahid dalam Ulumul Quran

Ketika berbicara tentang asbab an-nuzul atau sebab-sebab turunnya ayat, maka kita harus berpegang kepada riwayat shahih dari para sahabat atau tabi’in yang menyaksikan dan memahami sebab turunnya suatu ayat al-Quran. Karena tidak mungkin asbab an-nuzul itu dapat diperoleh hanya dengan pendapat individual saja. Para mufassir ketika menjelaskan asbab an-nuzul suatu ayat kadang kala menyebutkan beberapa riwayat sahabat yang menjelaskan asbab an-nuzul ayat tersebut. Bisa jadi riwayat dari seorang sahabat berbeda dengan sahabat yang lain dalam membahas asbab an-nuzul ayat yang sama. Inilah yang dimaksud dengan taaddud as-sabab wa an-nazil wahid. Sebab turunnya ayat banyak, tapi ayat yang turun hanya satu.

Baca juga: Sabab Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 62 dan Ragam Makna Umat Beragama

Ketika ada dua riwayat yang berbeda dalam menjelaskan asbab an-nuzul ayat yang sama, maka kita perlu untuk meneliti setiap riwayat tersebut. Menurut Muhammad Abdul ‘Adzim az-Zarqani dalam Manahil al-Irfan fi Ulum al-Quran dijelaskan bahwa setidaknya ada empat macam pengklasifikasian riwayat-riwayat tersebut. Berikut ini akan disebutkan dan dijelaskan empat klasifikasi riwayat tersebut.

  1. Riwayat yang pertama shahih, yang kedua tidak shahih.

Jika salah satu riwayat shahih, sedangkan yang lain tidak shahih, maka kita berpegang kepada riwayat yang shahih dalam asbab an-nuzul ayat tersebut. Contoh klasifikasi yang pertama ini adalah mengenai asbab an-nuzul surah Ad-Dhuha [93].

Riwayat yang pertama adalah riwayat Syaikhon dan lainnya dari Jundub, dia berkata:

اشْتَكَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَقُمْ لَيْلَةً – أَوْ لَيْلَتَيْنِ – فَأَتَتْهُ امْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: يَا مُحَمَّدُ مَا أَرَى شَيْطَانَكَ إِلَّا قَدْ تَرَكَكَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَالضُّحَى وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى}

Artinya: Nabi terserang penyakit dan tidak bisa berdiri selama satu atau dua malam. Kemudian datang seorang wanita berkata, ‘Wahai Muhammad, aku kira setanmu (maksudnya malaikat Jibril) telah meninggalkanmu.’ Maka Allah menurunkan, ‘Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi (gelap), Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu)’

Sedangkan yang kedua diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dan Ibnu Abi Syaibah,

أَنَّ جَرْوًا دَخَلَ بَيْتَ النَّبِيِّ ﷺ فَدَخَلَ تَحْتَ السَّرِيْرِ فَمَاتَ فَمَكَثَ النَّبِيُ ﷺ أَرْبَعَةَ أَيَّامٍ لَا يَنْزِلُ عَلَيْهِ الْوَحْيُ فَقَالَ: “يَا خَوْلَةُ مَا حَدَثَ فِيْ بَيْتِ رَسُولِ اللهِ ﷺ؟ جِبْرِيْلُ لَا يَأْتِيْنِيْ” فَقُلْتُ فِيْ نَفْسِيْ: لَوْ هَيَّأْتِ الْبَيْتَ وَكَنَّسْتِهِ فَأَهْوَيْتُ بِاْلمِكْنَسَةِ تَحْتَ السَّرِيْرِ فَأَخْرَجْتُ الْجَرْوَ فَجَاءَ النَّبِيُّ ﷺ تَرْعَدُ لِحْيَتُهُ وَكَانَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ أَخَذَتْهُ الرِّعْدَةُ فَأَنْزَلَ اللهُ: {وَالضُّحَى} إلى قوله {فَتَرْضَى}

Artinya: Seekor anak anjing memasuki rumah Nabi , dan masuk ke bawah ranjang kemudian mati. Maka, Nabi tinggal selama empat hari tanpa adanya wahyu yang turun kepada beliau. Beliau pun berkata, ‘Wahai Khaulah, apa yang terjadi di rumah Rasulullah (rumah ini)? Kenapa Jibril tidak mendatangiku?’ Maka aku (Khaulah) berkata dalam hati, ‘Wahai Khaulah! Bersihkan dan tata serapi mungkin rumah ini dan sapulah!’ Kemudian aku memasukkan gagang sapu ke bawah kolong ranjang, dan aku menemukan anak anjing itu dan mengeluarkannya. Kemudian Nabi datang dan jenggot beliau gemetaran—dan beliau setiap datang wahyu selalu gemetar. Maka Allah menurunkan وَالضُّحَى sampai firmannya فَتَرْضَى.

Baca juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Dari kedua riwayat ini, yang dijadikan sebagai patokan dalam asbab an-nuzul surah ad-Dhuha tersebut adalah riwayat pertama. Karena riwayat yang pertama itu derajatnya shahih, sedangkan riwayat kedua derajatnya di bawah shahih disebabkan dalam sanad riwayat kedua terdapat rawi yang tidak diketahui.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, ‘Kisah Jibril yang tidak datang kepada Rasulullah disebabkan seekor anak anjing itu memang masyhur. Tetapi penetapan kisah tersebut sebagai asbab an-nuzul adalah sesuatu yang aneh. Ditambah lagi ada orang yang tidak diketahui dalam sanad kisah tersebut. Maka yang dijadikan pegangan adalah riwayat dalam kitab Shahih Bukhori.’

  1. Kedua riwayat sama-sama shahih, namun yang satu lebih diunggulkan.

Klasifikasi yang kedua adalah kedua riwayat derajatnya shahih, namun yang satu lebih diunggulkan. Maka sikap yang kita ambil adalah menjadikan riwayat yang diunggulkan tersebut sebagai pijakan asbab an-nuzul. Suatu riwayat dikatakan lebih unggul atau utama bisa jadi disebabkan derajat shahihnya lebih tinggi atau perawinya menyaksikan sendiri kisah asbab an-nuzul ayat.

Contohnya adalah tentang asbab an-nuzul Q.S. Al-Isra’ [17]: 85

Riwayat asbab an-nuzul yang pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari sahabat Ibnu Mas’ud.

عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ ﷺ بِالْمَدِينَةِ وَهُوَ يَتَوَكَّأُ عَلَى عَسِيبٍ فَمَرَّ بِنَفَرٍ مِنَ الْيَهُودِ فَقَالَ: بَعْضُهُمْ لَوْ سَأَلْتُمُوهُ! فَقَالُوا: حَدِّثْنَا عَنِ الرُّوحِ فَقَامَ سَاعَةً وَرَفَعَ رَأْسَهُ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ يُوحَى إِلَيْهِ حَتَّى صَعِدَ الْوَحْيُ ثُمَّ قَالَ: {قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلاً}

Artinya: Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata: “Aku pernah berjalan bersama Nabi di Madinah, yang saat itu beliau sedang memegang tongkat dari pelepah kurma. Kemudian beliau melewati sekelompok orang Yahudi. Sebagian dari mereka berkata, ‘Tanyailah dia!’ Maka mereka bertanya, ‘Beritahunkanlah kepada kami tentang roh itu?’ Kemudian Nabi berhenti sejenak dan mengangkat kepalanya (memandang langit)—pada saat itu, aku tahu beliau sedang diberi wahyu—hingga selesai waktu pewahyuhan. Maka kemudian Nabi bersabda, ‘Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Sedangkan yang kedua diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan telah dishahihkannya yang berasal dari sahabat Ibnu ‘Abbas.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَتْ قُرَيْشٌ لِلْيَهُودِ: أَعْطُونَا شَيْئًا نَسْأَلُ هَذَا الرَّجُلَ فَقَالُوا: اسْأَلُوهُ عَنِ الرُّوحِ فَسَأَلُوهُ فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {وَيَسْأَلونَكَ عَنِ الرُّوحِ}

Artinya: Dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “Orang Quraisy berkata kepada orang Yahudi, ‘Berikanlah kepada kami sesuatu yang akan kami tanyakan kepada laki-laki ini (Nabi Muhammad).’ Kemudian orang Yahudi berkata, ‘Tanyakanlah tentang roh!’ Maka mereka (Quraisy) bertanya kepada Nabi tentang roh tersebut. Kemudian Allah menurunkan ‘Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh….’

Dari dua redaksi riwayat tersebut, yang lebih diunggulkan adalah riwayat yang pertama disebabkan dua hal. Pertama, asbab an-nuzul yang pertama diriwayatkan oleh Imam Bukhori. Dan telah maklum diketahui bahwa apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori itu lebih shahih daripada yang lain. Kedua, Ibnu Mas’ud sebagai rawi riwayat pertama menyaksikan langsung kisah asbab an-nuzul ayat mulai dari awal sampai akhir. Berbeda dengan Ibnu ‘Abbas sebagai rawi riwayat kedua. Oleh sebab itu, maka kita mengamalkan riwayat pertama sebagai asbab an-nuzul ayat roh dan meninggalkan riwayat kedua.

Baca juga: Sabab Nuzul, Perempuan dan Respon al-Qur’an

Itu penjelasan dua dari empat klasifikasi taaddud as-sabab wa an-nazil wahid. Dua klasifikasi yang lain terkait taaddud as-sabab wa an-nazil wahid akan dijelaskan dalam artikel selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Hud Ayat 8-11

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 8-11 berbicara mengenai sifat dasar manusia yang sering putus asa. Sebelum berbicara mengenai itu mula-mula dijelaskan mengenai prilaku orang-orang musyrik yang lebih senang pada kehidupan dunia daripada akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Hud Ayat 6-7


Ayat 8

Dari jawaban orang musyrik ini, jelas bahwa mereka hanyalah mengikuti adanya kehidupan di dunia saja; sedang kehidupan yang ada di akhirat, mereka dustakan. Jika Allah menunda datangnya azab yang telah diancamkan oleh Rasul-Nya kepada mereka sampai kepada waktu yang telah ditentukan, mereka mencemooh dan berkata, “Apakah gerangan yang menghalang-halangi datangnya azab itu kepada kami, jika benar azab itu akan datang.”

Allah mengancam bahwa azab itu pasti datang, pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah sendiri, dan nanti bila azab itu datang, maka tidak ada yang memalingkannya, dan tidak ada seorang pun yang dapat menahan atau menolaknya. Mereka akan dikepung dari segala penjuru oleh azab, yang selalu mereka perolok-olokkan.

Ayat 9

Allah menjelaskan jika Allah memberikan kepada manusia suatu macam nikmat, sebagai karunia-Nya seperti kemurahan rezeki, keuntungan dalam perdagangan, kesehatan badan, keamanan dalam negeri, dan anak-anak yang saleh, kemudian Allah mencabut nikmat-nikmat itu, maka manusia segera berubah tabiatnya menjadi orang yang putus asa.

Mereka hanya memperlihatkan keingkaran dan tidak lagi menghargai nikmat-nikmat yang masih ada padanya. Di samping putus asa akan hilangnya nikmat itu, mereka juga ingkar kepada nikmat-nikmat yang masih ada padanya. Hal itu disebabkan karena ia tidak memiliki dua sifat yang utama yaitu kesabaran dan kesyukuran.

Ayat 10

Jika Allah menghindarkan manusia dari kemudaratan yang telah menimpa dirinya, dan menggantinya dengan beberapa kenikmatan seperti sembuh dari sakit, bertambah tenaga dan kekuatan, terlepas dari kesulitan, selamat dari ketakutan, maka ia berkata, “Telah hilang dariku musibah dan penderitaan yang tidak akan kembali lagi.”

Musibah dan penderitaan itu tidak lain hanya seperti awan di musim kemarau yang akan segera hilang. Mereka mengucapkan kata-kata yang demikian itu dengan penuh kesombongan dan kebanggaan. Mereka merasa lebih berbahagia dari semua orang yang berada di sekitarnya. Pada dasarnya mereka tidak menerima nikmat-nikmat Allah dengan bersyukur bahkan sebaliknya mereka bersikap sombong dan takabur.


Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 36: Allah Tidak Menyukai Sifat Sombong dan Angkuh


Ayat 11

Kemudian Allah mengecualikan dari orang-orang yang bersifat seperti tersebut di atas, beberapa orang yang sabar yang selalu berbuat kebajikan.

Mereka itu berlaku sabar ketika ditimpa musibah, beriman kepada Allah, mengharapkan pahala-Nya, dan berbuat amal saleh ketika musibahnya itu telah diganti dengan kenikmatan, serta mensyukuri nikmat itu dengan mengamalkan berbagai amal kebajikan untuk mencapai keridaan Allah, mereka akan mendapat ampunan dari Allah dan pahala yang besar di akhirat nanti, sebagaimana tercantum dalam firman-Nya:

وَالْعَصْرِۙ  ١  اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ  ٢  اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ  ٣

Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. (al- ‘Asr/103: 1- 3)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 12-14


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 49-51

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 49-51 menjelaskan tentang asbabun nuzul ayat 49 dan 50, terkait dengan alasan kaum munafik yang tidak ikut berperang, serta perilaku mereka yang sering menyebar hoaks ketika tinggal di Madinah (tidak ikut berperang).


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 44-48


Dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 49-51 juga menjelaskan tentang perintah Allah kepada Muhammad saw untuk menanggapi pernyataan kaum munafik terkait qadha dan qadar. Bahwa segala sesuatu yang ada didunia tidak lepas dari ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Allah swt, baik sifatnya menyenangkan ataupun tidak. Berikut penjelasannya.

Ayat 49

Sabab Nuzul: Diriwayatkan oleh al-Wahidi dalam kitabnya Asbab an-Nuzul bahwa Rasulullah berkata kepada Jad bin Qais salah seorang pembesar orang munafik, “Wahai Jad, adakah kamu mempunyai kemampuan untuk menghadapi Bani Ashfar (orang-orang Romawi)?” Jad menjawab, “Sebaiknya Rasulullah mengizinkan saya tinggal (di Medinah) dan tidak ikut berperang, karena saya sebagaimana diketahui oleh kaumku mudah tergoda oleh wanita.

Saya khawatir kalau saya melihat wanita-wanita mereka, lalu tertarik dan tidak dapat menahan gejolak nafsuku, sehingga akhirnya terjerumuslah saya ke dalam fitnah.”

Dengan perasaan berat Rasulullah memalingkan mukanya dan berkata, “Saya izinkan kamu tinggal,” maka turunlah ayat ini.

Ayat ini menerangkan bahwa di antara orang-orang munafik yang tidak malu membuat-buat alasan meminta kepada Rasulullah, agar mereka tidak ikut berperang dan diizinkan tinggal di Medinah.

Mereka seakan-akan lupa bahwa berbagai alasan yang dibuat-buat dan mereka perlihatkan itu diketahui oleh Allah, dan Allah akan membuka rahasia yang disembunyikan di dalam hati mereka. Mereka tidak sadar bahwa alasan palsu yang dikemukakan dan tipu daya itu menjerumuskan dirinya ke lembah bencana dan dosa yang besar.

Tindak-tanduk mereka menunjukkan kelemahan iman mereka dan menampakkan kemunafikannya. Mereka akan dijerumuskan ke dalam neraka, karena dosa yang telah mereka lakukan, yaitu ingkar kepada Allah, membantah ayat-ayat-Nya dan mendustakan rasul-rasul-Nya. Firman Allah:

بَلٰى مَنْ كَسَبَ سَيِّئَةً وَّاَحَاطَتْ بِهٖ خَطِيْۤـَٔتُهٗ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Bukan demikian! Barang siapa berbuat keburukan, dan dosanya telah menenggelamkannya, maka mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya. (al-Baqarah/2: 81)


Baca Juga : Bertindak Bijak pada Perilaku Seks Menyimpang, Jangan Benci Pelakunya!


Ayat 50

Sabab Nuzul: Diriwayatkan, bahwa orang-orang munafik yang tetap tinggal di Medinah dan tidak pergi berperang selalu menyiarkan berita-berita bohong yang menyangkut diri Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya. Mereka berkata, “Muhammad dan sahabat-sahabatnya mendapat kesulitan dalam perjalanan dan mereka dalam keadaan bahaya.”

Tetapi tidak lama kemudian ternyata bahwa apa yang disiarkan orang-orang munafik itu bohong belaka. Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya tetap dalam keadaan baik, tidak kurang suatu apa pun. Berdasarkan kenyataan yang tidak dapat disangkal itu, timbullah kebencian orang-orang munafik itu dan turunlah ayat ini. (Fath al-Qadir 2/370).

Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu kebohongan orang munafik itu apabila Rasulullah dan sahabat-sahabatnya memperoleh hal-hal yang menyenangkan seperti ganimah, kemenangan, dan lainnya, sebagaimana yang telah diperolehnya dalam Perang Badar, mereka menggerutu merasa kecewa dan gelisah, karena kebencian dan iri hati.

Sebaliknya jika Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya mendapat kesulitan dan kekalahan, sebagaimana yang dialami dalam Perang Uhud, mereka senang dan memuji diri sendiri karena telah mengambil keputusan untuk menghindar dari perang.

Mereka berkata, “Memang setiap menghadapi sesuatu, kami sangat hati-hati dan mempertimbangkan masak-masak jauh sebelumnya.”

Masing-masing membanggakan pikiran dan pertimbangan yang telah dikemukakannya. Memuji-muji perbuatannya, merasa beruntung tidak ikut pergi berperang dan tidak mengalami kesulitan dan kebinasaan.

Akhirnya mereka bubar dalam keadaan senang dan merasa gembira atas bencana yang telah menimpa Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya.

Ayat 51

Ayat ini memerintahkan kepada Rasulullah agar menjawab tantangan orang munafik yang merasa senang ketika Rasulullah dan para sahabatnya ditimpa kesulitan dan merasa sesak dada ketika Rasulullah dan para sahabatnya memperoleh kenikmatan dengan ucapan, “Apa yang menimpa diri kami dan apa yang kami peroleh dan kami alami adalah hal-hal yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah.

Yaitu hal-hal yang telah tercatat di Lauh Mahfuzh sesuai dengan sunatullah yang berlaku pada hamba-Nya, baik kenikmatan kemenangan maupun bencana kekalahan, segala sesuatunya terjadi sesuai dengan qadha dan qadar dari Allah dan bukanlah menurut kemauan dan kehendak manusia mana pun.

Allah pelindung kami satu-satunya, dan kepada Dialah kami bertawakal dan berserah diri, dengan demikian kami tidak pernah merasa putus asa di kala ditimpa sesuatu yang tidak menggembirakan dan tidak merasa sombong dan angkuh di kala memperoleh nikmat dan hal-hal yang menjadi cita-cita dan idaman.”

Firman Allah:

وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا

Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu  (AthThalaq/65: 3)

Dan firman Allah:

اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۗ دَمَّرَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ ۖوَلِلْكٰفِرِيْنَ اَمْثَالُهَا   ١٠  ذٰلِكَ بِاَنَّ اللّٰهَ مَوْلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَاَنَّ الْكٰفِرِيْنَ لَا مَوْلٰى لَهُمْ   ١١

Maka apakah mereka tidak pernah mengadakan perjalanan di bumi sehingga dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah membinasakan mereka, dan bagi orang-orang kafir akan menerima (nasib) yang serupa itu. Yang demikian itu karena Allah pelindung bagi orang-orang yang beriman; sedang orang-orang kafir tidak ada pelindung bagi mereka. (Muhammad/47: 10 dan 11)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 52-55


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 44-48

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Adapun Tafsir Surah At Taubah Ayat 44-48 membahas terkait jihad, bahwa orang yang beriman tidak akan beralasan jika diserukan untuk berperang. Sebaliknya, mereka akan mengorbankan apapun demi perjuangan dijalan Allah swt.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 41-43


Tafsir Surah At Taubah Ayat 44-48 juga menjelaskan perbedaannya dengan orang munafik yang berani megucapkan sumpah palsu asalkan tidak ikut berperang. Seandainya mereka ikut pun tidak akan membantu, justru mengacau situasi peperangan.

Ayat 44

Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tentu tidak akan mencari-cari alasan untuk tidak ikut berperang membela agama dan menegakkan kebenaran.

Mereka juga tidak akan meminta izin kepada Rasulullah saw untuk tidak berjihad di jalan Allah dengan harta dan diri mereka, bahkan sebaliknya mereka selalu siap sedia mengorbankan hartanya, sesuai dengan kemampuannya, bahkan jiwanya pun siap dikorbankan.

Allah swt mengetahui orang-orang yang bertakwa kepada-Nya yaitu orang-orang yang selalu menghindari hal-hal yang menyebabkan kemurkaan Allah, dan mengerjakan apa-apa yang diridai-Nya.

Ayat 45

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang minta izin kepada Rasulullah saw untuk tidak turut berjihad tanpa alasan yang dapat diterima, adalah orang-orang munafik yang tidak beriman kepada Allah swt, tidak mengakui keesaan-Nya, dan tidak percaya kepada hari akhir.

Mereka menyangka bahwa membelanjakan harta kekayaan di jalan Allah, adalah suatu kebodohan dan kerugian serta berjihad dengan mengorbankan jiwa adalah semata-mata kerugian dan penderitaan saja.

Di dalam hati mereka tersimpan perasaan ragu kepada kebenaran agamanya. Mereka selalu bingung dan bimbang.

Mereka mau bekerja sama dengan orang-orang mukmin dalam urusan yang mudah, tetapi dalam hal yang agak sulit dan berat seperti berperang, mereka mengelak dan mencari berbagai alasan yang dibuat-buat untuk menghindar atau membebaskan diri dari kewajiban tersebut.


Baca Juga : Apakah Sebenarnya Makna Jihad Menurut al-Quran? Begini Penjelasannya.


Ayat 46

Ayat ini menerangkan bukti kepalsuan sumpah mereka dan kebohongan ucapan mereka, yaitu tidak terdapatnya tanda-tanda bahwa mereka akan ikut berperang. Kalau benar mereka mau berangkat ke medan perang tentunya mereka menyiapkan peralatan yang diperlukan seperti bekal, kendaraan, senjata, dan sebagainya.

 Tidak berangkatnya orang-orang munafik ke medan perang merupakan keuntungan bagi kaum Muslimin, karena kalau mereka ikut bersama ke medan perang, mereka tentu akan mengadu domba antara kaum Muslimin dan mengacaukan barisan.

Itulah sebabnya Allah menjadikan niat mereka lemah, khawatir, dan ragu-ragu di dalam hatinya, menyebabkan mereka merasa enggan dan tidak mau berangkat, seakan ada yang mengatakan kepada mereka dengan nada marah, “Tinggal sajalah kamu sekalian bersama anak-anak, perempuan, orang lemah, orang sakit, dan tak usah berangkat ke medan perang.”

Perkataan ini menyenangkan orang-orang munafik karena dianggapnya kata-kata itu sesuai dengan kehendak dan keinginannya, sekalipun kata-kata itu diucapkan dengan nada yang kurang menyenangkan.

Ayat 47

Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalaupun orang-orang munafik yang meminta izin itu berangkat juga bersama kaum Muslimin.

Mereka tidak akan menambah ketenangan dan semangat kaum Muslimin, tetapi sebaliknya mereka akan mengacaukan konsentrasi kaum Muslimin dan merusak persatuan, serta melemahkan sikap tegar mereka.

Allah swt mengetahui orang-orang yang zalim dan memberi balasan yang setimpal di hari kemudian nanti.

Ayat 48

Pada ayat ini Allah swt menerangkan bahwa usaha mengacaukan barisan yang dilakukan orang-orang munafik itu sudah berlangsung sejak Perang Uhud.

Dalam Perang Uhud pemimpin orang-orang munafik, yaitu ‘Abdullah bin Ubay, telah membujuk sepertiga pasukan kaum Muslimin di tengah perjalanan menuju Uhud, di tempat yang bernama Syauth antara Medinah dan Uhud untuk menarik diri dari perang.

Menurut Ibn Ubay, hanya orang yang bodoh dan tidak waras yang mau ikut berperang dan tewas dengan sia-sia. Lalu ia kembali ke Medinah beserta orang-orang munafik yang dipengaruhinya.

Adapun dua golongan, yaitu Banu Salamah dan Banu Haritsah yang hampir terpengaruh dan terpancing oleh propaganda yang disebarkan ‘Abdullah bin Ubay, masih dilindungi Allah swt, sehingga mereka tidak terpengaruh dan selamat dari fitnah tersebut. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah:

اِذْ هَمَّتْ طَّۤاىِٕفَتٰنِ مِنْكُمْ اَنْ تَفْشَلَاۙ

Ketika dua golongan dari pihak kamu ingin (mundur) karena takut. (Ali-‘Imran/3: 122)

Bagaimanapun gigihnya usaha orang-orang munafik melumpuhkan perjuangan Rasulullah saw dan pengikut-pengikutnya, namun akhirnya kebenaran jugalah yang menjadi kenyataan.

Janji Allah swt datang tepat pada waktunya dan agama Allah mendapat kemenangan, menjulang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya. Negeri Mekah dapat dibebaskan, orang-orang yang masuk Islam berbondong-bondong, sekalipun semuanya itu tidak disenangi oleh musuh-musuh Allah. Firman Allah swt:

يُرِيْدُوْنَ اَنْ يُّطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّٰهُ اِلَّآ اَنْ يُّتِمَّ نُوْرَهٗ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai. (at-Taubah/9: 32)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 49-50


Mengenal Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura): Tafsir Ilmi Pertama di Madura

0
Tapsèr Sorat Yaa-siin (Bhāsa Madhurā)
Tapsèr Sorat Yaa-siin (Bhāsa Madhurā)

Artikel sederhana ini masih melanjutkan dua artikel sebelumnya, Mengenal Sosok Muhammad Irsyad, Mufasir Modernis Asal Madura dan Pemikiran Muhammad Irsyad tentang Integrasi Al-Quran dan Sains. Sebagai bagian dari warisan khazanah Tafsir Nusantara, keberadaan Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) layak diapresiasi. Kehadiran tafsir ilmi karangan budayawan multi talenta ini telah melengkapi sederet tafsir lokal, khususnya yang memberikan perhatian lebih pada penafsiran-penafsiran ilmiah.

Kalau melihat pemetaan Hasanah dalam tulisannya Tafsir Al-Qur’an di Madura: Periodisasi, Metodologi, dan Ideologi, Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) merupakan tafsir pertama di tatar Madura yang memiliki kecenderungan khusus pada penafsiran-penafsiran ilmiah. Dengan kata lain, tafsir ini adalah tafsir ilmi pertama yang pernah muncul dalam sejarah dan tradisi penafsiran di Madura.

Latar belakang penulisan

Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) mulai ditulis oleh Muhammad Irsyad sekitar tahun 1985-an dan rampung tahun 1988. Irsyad sendiri sempat merevisi tafsirnya usai mendengar kabar dari salah satu penerbit di daerah Jakarta yang bersedia menerbitkan. Sebelum akhirnya, tanpa diketahui alasan pastinya, pihak penerbit mengurungkan niatnya untuk menerbitkan tafsir berbahasa Madura ini. Hingga sekarang, tafsir produk budayawan tersebut belum juga diterbitkan.

Menurut salah seorang putra dari Irsyad, Adrian Pawitra, ada dua faktor yang menurutnya menjadi kendala mengapa tafsir ini tidak berhasil diterbitkan. Keberadaan tafsirnya yang dinilai tidak akan memiliki daya jual fantastis membuat pihak penerbit masih meragukan dan akhirnya urung untuk menerbitkanya. Keterbatasan finansial saat itu juga disinyalir sebagai salah satu penyebab karya ayahanda Pawitra ini tidak diterbitkan. Tidak banyak yang mengetahui keberadaan tafsir ini. Mungkin hanya segelintir orang seperti keluarga dan teman-teman dekat Irsyad.

Baca juga: Pemikiran Muhammad Irsyad Tentang Integrasi Al-Quran dan Sains

Pada lembar pendahuluan, Irsyad memberikan pengantar perihal tujuan serta maksud penulisan dan penyusunan karyanya. Dijelaskan olehnya, bahwa penulisan kitab tafsir surah Yasin ini beserta makna dan penjelasannya dengan media bahasa Madura, tidak lain adalah sebuah keinginan yang begitu mendalam agar Al-Quran, sekurang-kurangnya surah Yasin, tidak hanya dijadikan sebagai bacaan saja melainkan juga dipahami maksud dan kandungannya.

Tujuan lain dari penulisan tafsir ini adalah upaya dari Muhammad Irsyad untuk memberikan stimulan kepada pembaca agar senantiasa merenungi keterbelakangan negara Indonesia dibandingkan negara-negara lain yang sudah maju. Keterpurukan Indonesia dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, menurut Irsyad disebabkan oleh masyarakat yang abai terhadap Al-Quran. Padahal, segala ilmu pengetahuan sesungguhnya sudah termuat dalam Al-Quran.

Baca juga: Mengenal Sosok Muhammad Irsyad, Mufasir Modernis Asal Madura

Karena merasa prihatin melihat keterpurukan Indonesia, lebih-lebih soal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologinya yang jauh bila dibandingkan negara-negara lain. Maka, dengan segala keterbatasannya, ia pun memberanikan diri untuk ikut menyumbangkan andil. Dengan harapan, gagasan dan pemikiran-pemikiran yang ia tuangkan dalam tafsirnya mampu membangunkan kesadaran masyarakat perihal kondisi buruk yang sedang dialami bersama.

Bentuk fisik, sistematika dan metode tafsir

Bentuk fisik Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) tidak jauh berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Pada bagian sampul, tertulis nama kitab, Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura), nama pengarang dan ukiran kaligrafi bertuliskan Tafsir Surah Yasin bi al-Lughah al-Maduriyah Muhammad Irsyad. Di dalam tafsirnya, Irsyad menempuh sistematika penulisan materi penafsiran melalui tiga tahap.

Pertama, penulisan teks ayat dengan menggunakan tulisan tangan di sebelah kanan atas halaman dan disertai nomor ayat. Kedua, terjemahan ditulis dengan mesin ketik di sebelah kiri teks ayat dan disertai nomor terjemah. Teks ayat dan terjemahannya dipisah dengan menggunakan garis vertikal. Terjemahan disusun sejajar dan setentang dengan teks ayat, sehingga memudahkan untuk mengetahui nomor-nomor ayat beserta terjemahannya.

Ketiga, penjelasan dan penafsiran ditulis tepat di bawah teks ayat dan terjemahan serta dipisah dengan menggunakan garis horizontal. Tidak semua ayat diberikan penafsiran. Irsyad hanya menafsirkan ayat-ayat yang dirasa perlu untuk diberikan penjelasan. Ayat-ayat yang ditafsirkan ditandai dengan annotated translation. Pada beberapa kesempatan, Irsyad juga memberikan penjelasan tambahan dalam terjemahan ayat.

Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) dapat digolongkan ke dalam tafsir bi al-ra’y. Tafsir bi al-ra’y ini bertolak belakang dengan tafsir bi al-ma’thur yang memiliki ketergantungan terhadap riwayat. Pada beberapa kesempatan—walau porsinya amat sedikit—terkadang Muhammad Irsyad juga mengutip suatu ayat atau hadis. Meskipun, dalam pengutipan itu lebih dimaksudkan untuk memperkuat penafsirannya.

Metode tafsir yang digunakan adalah metode maudu‘ī surah (tematik surah). Metode ini biasanya merapkan langkah; 1) menetapkan satu surah dan menjelaskan masalah-masalah yang berhubungan dengan surah yang akan dibahas; 2) menerangkan keistimewaan surah; 3) membagi surah (khususnya surah-surah yang panjang) ke dalam bagian-bagian kecil atau tema-tema kecil; dan 4) menghubungkan kesimpulan dari masing-masing bagian kecil tersebut dan menerangkan pokok tujuannya.

Nuansa sosial kemasyarakatan

Ketika membaca Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura), kita akan menemukan banyak sekali penafsiran-penafsiran ilmiah. Pada beberapa bagian, mufasir bahkan sengaja memberikan gambar-gambar yang ia buat sendiri. Tujuannya tidak lain adalah agar pembaca bisa dengan mudah menyerap penjelasan-penjelasan yang diberikan. Walau kadang, kita yang awam di bidang kelilmuan astronomi akan dibuat pusing dengan angka-angka astronomis yang rigid.

Meski begitu, sebagai sebuah produk pemikiran, kehadiran Tapser Sorat Yaa-siin (Bhasa Madhura) tidak bisa dilepaskan dari realitas kehidupan yang mengitari sang mufasir. Maka wajar saja kalau pada beberapa bagian tafsirnya, Irsyad terlihat membawa dimensi sosial yang ia alami sehingga penafsirannya pun bernuansa sosial kemasyarakatan. Salah satunya adalah ketika menafsirkan ayat 21.

Pada penafsiran ayat 21 ini, Irsyad mengaitkan pengertian ayat yang ditafsirkan ini dengan situasi dan kondisi masyarakat Madura. Dalam tradisi masyarakat Madura ‘upah’ di sini diistilahkan dengan lim-sallim (amplop berisi uang sebagai bisyarah). Sebagai tokoh dai yang terjun langsung di tengah-tengah masyarakat, Irsyad memang dikenal anti ‘amplop’, dan ia pun berharap para tokoh dai yang lain demikian jika ingin meneladani para rasul Allah Swt. Sebab, selama menjalankan misi risalah tauhid, jangankan menerima, terbesit dalam benak para nabi keinginan agar mendapatkan upah sedikitpun saja tidak pernah.

Baca juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang

Nuansa ini juga dijumpai ketika Irsyad mengkritik pedas mistisme masyarakat Madura yang meyakini bulan sebagai makhluk hidup berkekuatan supranatural, terutama sekali pada momen gerhana. Masyarakat Madura punya tradisi kuno, ketika tiba waktunya gerhana bulan, para gadis keluar rumah dengan merias diri secantik mungkin; anak-anak kecil dijunjung dagunya biar bisa tumbuh tinggi semampai; dan mengibas daun-daun dengan tujuan membangunkannya. Mitos-mitos kuno semacam itu menurut Irsyad sama sekali tak sejalan dan tak berdasar pada Al-Qur’an, hadis ataupun ilmu pengetahuan.

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surah Hud Ayat 6-7

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Tafsir Surah Hud Ayat 6-7 berbicara tentang dua hal. Pertama mengenai jaminan rizki dari seluruh makhluk. Kedua mengenai pembicaraan tentang pencipataan langit dan bumi.


Baca sebelumnya: Adapun Tafsir Surah Hud Ayat 1-5


Ayat 6

Binatang-binatang yang melata, yang hidup di bumi yang meliputi binatang yang merayap, merangkak, atau pun yang berjalan dengan kedua kakinya, semuanya dijamin rezekinya oleh Allah.

Binatang-binatang itu diberi naluri dan kemampuan untuk mencari rezekinya sesuai dengan fitrah kejadiannya, semuanya diatur Allah dengan hikmat dan kebijaksanaan-Nya sehingga selalu ada keserasian.

Jika tidak diatur demikian, mungkin pada suatu saat ada binatang yang berkembang-biak terlalu cepat, sehingga mengancam kelangsungan hidup binatang-binatang yang lain, atau ada yang mati terlalu banyak, sehingga mengganggu keseimbangan lingkungan.

Jika ada sebagian binatang memangsa binatang lainnya, hal itu adalah dalam rangka keseimbangan alam, sehingga kehidupan yang harmonis selalu dapat dipertahankan.

Allah mengetahui tempat berdiam binatang-binatang itu dan tempat persembunyiannya, bahkan ketika masih berada dalam perut induknya.

Pada kedua tempat itu, Allah senantiasa menjamin rezekinya dan semua itu telah tercatat dan diatur serapi-rapinya di Lauh Mahfµz, yang berisi semua perencanaan dan pelaksanaan dari seluruh ciptaan Allah secara menyeluruh dan sempurna.


Baca juga: Mohamed Talbi: Penggagas Hermeneutika Historis Humanistik


Ayat 7

Allah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Dalam ayat ini disebutkan “sittati ayyam”, artinya “enam hari”, akan tetapi pengertian hari di sini tidak dapat disamakan dengan hari seperti yang kita alami sehari-hari, tetapi disesuaikan dengan hari menurut perhitungan Allah.

Ulama ilmu falak telah menetapkan bahwa hari-hari yang ada hubungannya dengan peredaran bintang-bintang tidak sama dengan kadar hari yang berlaku di bumi ini.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa singgasana-Nya sebelum penciptaan langit dan bumi, berada di atas air.

Arasy atau singgasana Allah itu termasuk alam gaib, yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, dan tidak mungkin pula dibayangkan atau dikhayalkan bentuk dan rupanya, apalagi caranya Tuhan bersemayam di atas singgasana itu.

Ayat-ayat yang menerangkan hal ini termasuk ayat yang mutasyabihat, yang wajib kita imani kebenarannya dengan menyerahkan pengertiannya kepada Allah.

Ummu Salamah, Rabi‘ah dan Malik meriwayatkan bahwa para sahabat dalam menafsirkan ayat mutasyabihat seperti itu selalu berkata, “Istiwa (bersemayam-Nya) sudah diketahui akan tetapi caranya tidak diketahui.” Ayat ini menunjukkan bahwa yang berada di bawah Arasy Allah itu ialah air yang oleh Allah dijadikan unsur pokok dalam menciptakan makhluk yang hidup sebagaimana firman-Nya:

اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَاۗ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ  اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ

Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulunya menyatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya; dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman? (al-Anbiya’/21: 30)

Kemudian Allah menerangkan bahwa tujuan penciptaan langit dan bumi dalam enam masa, dan adanya ‘Arasy di atas air, yang jadi unsur pokok dari semua makhluk yang hidup adalah untuk menguji siapa di antara manusia yang lebih baik perbuatannya. Allah telah menyediakan semua yang berada di bumi ini untuk dimanfaatkan manusia, sebagaimana firman-Nya:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا

Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu. (al-Baqarah/2: 29)

Semua manusia yang berada di atas permukaan bumi diperintahkan supaya berusaha dengan segala kemampuan dan kesanggupannya, untuk mengambil manfaat isi alam, untuk menggali manfaat alam semesta ini, yang ada di bumi, di lautan dan di udara seperti barang tambang yang terdapat di perut bumi, di dasar laut dan sebagainya, supaya digali manfaatnya semaksimal mungkin, untuk dimanfaatkan oleh seluruh umat manusia, sebagai anugerah dari Allah Rabbul ‘Alamin.

Allah menciptakan langit dan bumi sebagai ujian bagi manusia siapakah di antara mereka yang paling kuat imannya dan paling baik amalannya, yang paling berjasa untuk kemanusiaan, siapa yang paling menonjol keterampilannya, siapa yang paling tinggi hasil produksinya, siapa yang paling jujur dan ikhlas dalam usahanya, dan sebagainya.

Tentulah Allah tidak hanya menguji saja, akan tetapi akan memperhatikan pula hasil ujiannya, dan memberi pahala yang seimbang dengan jasanya. Balasan Allah itu diberikan setelah hari Kiamat.

Akan tetapi, jika Nabi Muhammad berkata kepada kaum musyrikin di kota Mekah bahwa mereka akan dibangkitkan setelah mati untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya ketika di dunia, maka mereka akan menjawab, “Apa yang kamu kemukakan dari Al-Qur’an itu hanyalah sihir belaka, untuk menekan kami dan untuk mencegah kami dari kenikmatan dan kelezatan dunia.”


Baca setelahnya:  Tafsir Surah Hud Ayat 11-18


(Tafsir Kemenag)

Mengenal Rashad Khalifa, Pelopor Teori Keajaiban Angka 19 dalam Al-Qur’an

0
Rashad Khalifa, Pelopor Teori Keajaiban Angka 19 dalam Al-Qur’an
Rashad Khalifa, Pelopor Teori Keajaiban Angka 19 dalam Al-Qur’an

Pada tahun 1980-an muncul sebuah “temuan” yang cukup menarik perhatian umat Islam, yaitu “kode 19”.  Kode 19 atau lebih dikenal dengan kelipatan 19 dianggap sebagai partisi dalam hitung-hitungan jumlah huruf, kata, ataupun ayat tertentu di dalam Quran.  Penemu kode 19 ini adalah Rashad Khalifa.  Seorang doktor biokimia sekaligus imam masjid Tucson, Arizona, Amerika Serikat.

Biografi Singkat

Rashad Khalifa adalah seorang ahli kimia Muslim asal Mesir yang menetap di Amerika, dia lahir pada tanggal 19 November 1935. Khalifa menyelesaikan pendidikan sarjananya pada tahun 1957 pada jurusan pertanian di Universitas Ain Shams, Mesir, dua tahun kemudian ia berhasil  meraih gelar masternya dalam bidang biokimia di Arizona State University dan gelar doktornya diraih di University of California pada tahun 1984. Ia menikah dengan seorang wanita Amerika yang beragama Islam.

Baca juga: Mohamed Talbi: Penggagas Hermeneutika Historis Humanistik

Sebagai orang yang ahli dalam bidang kimia, Khalifa pernah menduduki jabatan-jabatan penting dalam bidang industri, antara lain: penasihat bidang science untuk pemerintah Libya, staff senior di Arizona State Office of Chemistry, dan dia juga ikut berkecimpung dalam Pembangunan dan Industri miliki PBB. Tidak hanya aktif dalam bidang industri, Khalifa juga ikut aktif dalam bidang agama, dia adalah seorang imam di Islamic Mosque of Tucson, Amerika Serikat, sekaligus pendiri organisasi keagamaan bernama United Submitters Internasional (USI). Mohammad Sondan Arfando, Misteri Angka di Balik Al-Qur’an, h. 9

Keajaiban Angka 19 dalam Al-Qur’an Menurut Rashad Khalifa

Keajaiban angka 19 dalam Al-Qur’an pertama kali diungkap oleh Rashad Khalifa, dia mulia meneliti komposisi matematika dari Al-Qur’an sejak tahun 1968, kemudian memasukkan Al-Qur’an ke dalam sistem komputer pada tahun 1969 . Dan tepat pada bulan Januari tahun 1974. Dia menemukan bahwa bilangan 19 adalah kode rahasia Al-Qur’an yang disebut dengan common denominator yang disandarkan pada surat al-Mudasir ayat 30:

عَلَيْهَا تِسْعَةَ عَشَرَۗ – ٣٠

  1. Dan di atasnya ada sembilan belas

Para mufassir menafsirkan 19 sebagai jumlah malaikat penjaga neraka Saqar. Namun, menurut Khalifa penafsiran tersebut tidak tepat karena asbabu al-Nuzul ayat ini berkenaan tentang kaum Yahudi yang bertanya kepada nabi Muhammad tentang penjaga Neraka. Khalifa berasumsi bagaimana mungkin jumlah malaikat dapat dijadikan ujian bagi orang kafir, untuk meyakinkan Yahudi dan Nasrani, dan menghilangkan keragu-raguan. Jadi, tepatnya menurut Khalifa bilangan 19 merupakan keajaiban yang besar dalam Al-Qur’an. Rashad Khalifa, Quran: Visual Presentatoin of The Miracle, h. 7

Awalnya hasil penelitian Khalifa tidak banyak mendapatkan perhatian, bahkan saat pertama kali karyanya diterbitkan di harian Scientific America, Martin Gardner seorang ahli Matematika berpengahruh pada abad ke-20 mengatakan: “Itu merupakan studi yang tidak jenius  terhadap Al-Qur’an, tetapi hal ini dapat lebih impresif jika Khalifa terlebih dahulu mengkonsultasikan penelitiannya kepadaku:” Mohammad Sondan Arfando, Misteri Angka di Balik Al-Qur’an, h. 10

 Baca juga: Paradigma Tafsir Maudhu’i dalam Pandangan Musthafa Muslim

Namun tiga tahun kemudian Canadian Council bidang studi agama memeberitakan bahwa hasil penelitian Khalifa terbukti kebenarannya, sehingga  mendapat apresiasi yang cukup besar dari publik. Sejak tahun 1983 banyak majalah dan koran populer dari berbagai negara mempublikasikan penemuannya. Mohammad Sondan Arfando, Misteri Angka di Balik Al-Qur’an, h. 10

Dalam menerapkan teori keajaiban angka 19 Khalifa membuktikannya den gan berbagai fakta dan perhitungan terhadap huruf-huruf hijayyah, kata-kata tertentu, ayat dan surat dalam Al-Qur’an. Dalam bukunya, Qur’an: Visual Presentation of Miracle secara garis besar perhitungan rumus-rumus angka 19 diklasikfikasikan ke dalam beberapa bentuk, antara lain:

  1. Kalimat Basmalah terdiri dari 19 huruf
  2. Al-Qur’an terdiri dari 114 surat, 6 × 19 = 114
  3. Wahyu pertama turun (al-‘alaq) terdiri dari 19 ayat
  4. Wahyu pertama turun (al-‘alaq) terdiri dari 340 huruf, 16 ×19 = 340
  5. Surat al-Baqarah diawali dengan الم, dan total kemunculan huruf-huruf tersebut dalam surat al-Baqarah adalah 9899, 521 × 19 = 9899
  6. Surat Yasin diawali dengan inisial يس, dan total kemunculan dari kedua huruf ini dalam surat tersebut adalah 285, 15 × 19 = 285
  7. Ayat pertama dari surat terakhir turun terdiri dari 19 huruf
  8. Wahyu ke dua (al-Qalam) terdiri dari 38 ayat, 2 × 19 = 38
  9. Wahyu ke tiga (al-Muzammil) terdiri dari 57 kata, 3 × 19 = 57
  10. Surat as-Syu’ara diawali dengan inisial عسق, dan total kemunculan huruf ini dalam suarat tersebut adalah 209, 11× 19 = 209

Paparan di atas hanya sebagian kecil dari keajaiban angka 19 dalam Al-Qur’an menurut Rashad Khalifa, seluruh teorinya secara lengkap dapat diakses di website resmi di sini.

Karya-Karya Rashad Khalifa dan Kritik terhadap Teorinya

Selama hidupnya Khalifa telah menulis beberapa buku, antara lain: Miracle  of the Quran: Significance of the Mysterious Alphabets (1973), The Computer Speaks: God’s Message to  the World  (1981), Qur’an: Visual Presentation of the Miracle (1982), Qur’an, Hadith and Islam, Islamic (1982), Qur’an: The Final Testament (1989).

Menurut tulisan Muhammad Akrom Adabi, Al-Qur’an Dan Rahasia Angka:  Kajian Kitab Tafsir Karya Abu Zahra Al-Najdi, bahwa Rashad Khalifa cukup konsisten dalam mengkaji rahasia angka-angka dalam Al-Qur’an dan untuk mendukung penemuannya ini ia mendirikan sekte dengan nama submission. Karena penemuannya ini Khalifa dianggap wali Allah oleh Syekh Ahmed Deebat dalam bukunya Al-Qur’an: The Ultimate Miracle. Bahkan para pengikutnya (submitters) menganggap Khalifa adalah seorang nabi, Mohammad Sondan Arfando, Misteri Angka di Balik Al-Qur’an, h. 17.

Baca juga: Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (1): Ulama yang Pro

Namun, di sisi lain teorinya dikritik habis-habisan baik dari intelektual muslim maupun non-muslim seperti, Abduraahman Lomax, Edip Yuksei dan Abu Ameenah Bilal Philips. Abu Ameenah Bilal Philips adalah yang paling getol dalam mengkritik, dia menilai bahwa Khalifa telah banyak melakukan kesalahan perhitungan, kecurangan dan manipulasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, seluruh hasil kritikannya ditulis dalam buku The Qur’an Numerical Miaracle: Hoax and Heresy.

Kritikan terhadap dirinya  terus bertambah tak kala Khalifa mengklaim bahwa surat al-Taubah ayat 128-129 bukan bagian dari Al-Qur’an dan juga secara terang-terangan menyatakan anti hadis, keyakinan ini dipegang teguh sampai akhir hayatnya, Abah Salam Alif Sampayya, Keseimbangan  Matematika dalam Al-Qur’an, 59.  Khalifa dibunuh pada tahun 1990 di masjid Tucson, Amerika. Dilaporkan bahwa pembunuhan ini terjadi karena ekstrimis muslim yang benci terhadap ajaran Khalifa. Wallahu ‘Alam

 

 

 

 

Tafsir Surah Hud Ayat 1-5

0
tafsir surah hud
tafsir surah hud

Surah Hud merupakan surat termasuk dalam kategori makiyah. Surat ini berjumlah 123 ayat. Dinamakan Surah Hud karena di dalamnya berisi tentang kisah Nabi Hud As dan kaumnya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 107-109


Adapun Tafsir Surah Hud Ayat 1-5 ini berisi tentang keagungan al-Qur’an. Selain itu juga berisi tentang perintah untuk bertaubat karena kelak akan kembali kepada Allah dan mempertanggungjawabkan perilakunya ketika di dunia.

Ayat 1

Allah memulai surah ini dengan tiga buah huruf Alif, Lam, Ra, seperti pada permulaan Surah Yµnus yang lalu, dengan maksud yang sama yaitu menuntut perhatian yang sungguh dari pendengar.

Sesudah itu Allah menerangkan bahwa Al-Qur′an itu adalah sebuah kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapi dan padat, lagi jelas artinya. Karena kerapian dan kepadatan susunan ayat itu, tak mungkin dapat ditukar-tukar kata-katanya, baik letaknya atau hurufnya.

Di samping itu, ayat-ayatnya dijelaskan secara terperinci menurut masalahnya dan tersebar di dalam surah. Ada ayat yang berhubungan dengan akidah, hukum, akhlak, kisah, dan ada pula yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, seperti proses kejadian manusia.

Demikianlah ayat-ayat Al-Qur′an itu bagaikan bola kristal yang memantulkan bermacam-macam cahaya yang cemerlang dan memiliki nilai keseluruhan yang tinggi.

Sesungguhnya Al-Qur′an dengan keserasian susunan redaksi ayat-ayat dan uraiannya yang terperinci menurut isinya, diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui, Dengan Bijaksana, Dia turunkan ayat menurut kebutuhan hamba-hamba-Nya, apa yang baik untuk mereka, karena Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Ayat 2

Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Al-Qur′an diturunkan dengan susunan dan redaksi ayat-ayat yang rapi dan dengan uraian yang terperinci agar manusia yakin bahwa Al-Qur’an dari Allah, berisi petunjuk-petunjuk dan larangan-Nya, terutama larangan menyembah selain Allah. Oleh karena itu, ayat ini dimulai dengan larangan tersebut.

Rasul saw hanyalah pembawa peringatan akan siksa Allah kepada mereka yang mempersekutukan Allah, dan pembawa kabar gembira tentang pahala bagi mereka yang taat dan tulus ikhlas dalam menyembah Allah. Menyeru manusia menyembah Allah merupakan tugas para rasul sejak zaman dahulu.

Firman Allah:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْٓ اِلَيْهِ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدُوْنِ   ٢٥

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku. (al-Anbiya’/21: 25)

Ayat 3

Nabi Muhammad saw menyeru kaum musyrikin untuk memohon ampun kepada Tuhan terhadap dosa perbuatan-perbuatan syirik, kekafiran, dan kejahatan yang telah mereka lakukan.

Sesudah itu hendaklah mereka kembali kepada Allah, dengan taat melakukan perintah-Nya dan beribadah kepada Allah sepenuh hati tidak menyembah selain Allah, seperti patung-patung dan berhala-berhala dan lain sebagainya.

Jika mereka pernah berbuat demikian, hendaklah mereka minta ampun dan bertobat dengan teguh dan terus menerus.

Allah niscaya akan mengampuni mereka dan memberi rezeki yang melimpah, kemakmuran, kesehatan, dan kesejahteraan sampai akhir hayat mereka. Demikianlah, keimanan yang tulus kepada Allah dan Rasul dari setiap individu, merupakan faktor utama yang menyebabkan kemakmuran dan kebahagiaan hidup.

 Firman Allah:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ    ٩٧

Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (an-Nahl/16: 97)

Selain memberikan kenikmatan hidup di dunia bagi orang-orang yang beriman, Allah juga memberikan kepada orang yang mempunyai keutamaan, seperti orang yang memiliki ilmu pengetahuan atau karya besar, ganjaran di dunia dan pahala di akhirat.

Tetapi bilamana manusia berpaling dari keimanan dan tidak bertobat bahkan terus menerus dalam kemusyrikan, kemaksiatan, dan kerusakan akhlak, mereka akan mengalami kehancuran atau kemelaratan hidup sesuai dengan Sunatullah pada umat manusia dan azab Allah di hari akhirat.


Baca juga: Kisah Malik bin Anas dan Keistimewaan Huruf-Huruf Muqaththa’ah


Ayat 4

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa semua umat manusia, baik mereka yang beriman ataupun mereka yang kafir, yang bertobat ataupun yang ingkar dan maksiat, akan kembali kepada Allah sesudah akhir hayat mereka, tak seorangpun yang tertinggal.

Di hadapan Allah itulah masing-masing manusia akan dihisab dan memperoleh balasan dengan seadil-adilnya. Mahasuci Allah, Mahakuasa atas segala sesuatu, Dia berikan kebaikan kepada orang yang mencintai-Nya dan Dia berikan keburukan kepada orang yang menutupi keberadaannya.

Ayat 5

Dalam ayat ini Allah memperingatkan dan menuntut perhatian manusia untuk mengambil pelajaran dan sifat orang yang menolak kebenaran.

Mereka itu tidak mau mendengarkan dakwah dan ajaran agama, lalu mereka menundukkan kepala untuk menyembunyikan mukanya karena malu. Wajah mereka tidak kuat menghadapi sinar kebenaran (Al-Qur′an) sewaktu dibacakan kepada mereka, tetapi sinar-sinar itu menembus jiwa mereka sehingga mereka menyembunyikan muka mereka dari Rasul saw.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Hud Ayat 6-7


(Tafsir Kemenag)

Mohamed Talbi: Penggagas Hermeneutika Historis Humanistik

0
Mohamed Talbi
Mohamed Talbi

Mohamed Talbi adalah seorang sejarawan dan pemikir muslim kontemporer asal Tunisia. Ia lahir di Tunisia pada tanggal 13 Muharam 1340 bertepatan dengan tanggal 16 September 1921. Talbi memiliki karier yang mentereng, baik sebagai sejarawan Afrika Utara abad pertengahan maupun sebagai pemikir teoretis utama tentang sifat dan misi Islam di dunia modern.

Mohamed Talbi mengenyam pendidikan di Tunis dan Prancis. Ia menyelesaikan program doktor dalam bidang sejarah di Universitas Sorbone, Paris, dengan disertasi berjudul “L’Emirat Aghlabide: Histoire Politique 184-296/ 800-900 (Imarat Aghlabiyah: sejarah politik 184-296 / 800-900).” Karyanya ini memiliki tebal 765 halaman dan berisi tentang analisis sejarah.

Secara umum, disertasi Mohamed Talbi berbicara mengenai sejarah politik dinasti Aghlabiyah yang berkuasa antara 800-909 Masehi mencakup Tunisia, Aljazair timur, Tripolitania dan Sisilia (Ifriqiyyah). Dinasti ini didirikan oleh Ibrahim bin Al-Aghlab, seorang panglima militer setempat yang mengakui kekuasaan dinasti Abbasiyah dan pada tahun 800 mengambil kekuasaan atas wilayah Ifriqiyyah di Tunisia (A History of the Maghrib in the Islamic Period).

Mohamed Talbi dalam tulisannya berusaha menggali dinamika politik dan agama dinasti Aghlabiyah. Hasil analisis tersebut kemudian ia coba hubungkan dengan kondisi sosial-politik dan agama masyarakat Muslim modern. Inilah yang membuatnya memutuskan untuk mengabdikan diri demi melaksanakan tugas dialog antara-budaya dan agama serta berbagai hal penting di dalamnya.

Bagi Mohamed Talbi, dialog adalah langkah yang paling jitu dalam mengatasi berbagai problem sosial yang selama ini sering berkecamuk di antara masyarakat dunia, khususnya umat antar agama seperti Islam, Yahudi, dan Kristen. Dalam beberapa kesempatan – seperti pada Groupe de Rehercehe Islam-Chretion (GRIC) Talbi kerap menyuarakan kebebasan beragama dan menerangkan akar kesalahpahaman dari konflik-konflik antar agama yang tak berkesudahan.

Ide-ide Mohamed Talbi perdamaian dan kedamaian antar umat beragama dapat dilihat dalam banyak karyanya seperti Islam et dialouge: reflexion sur un theme d’actualite yang berisi tentang keniscayaan dialog antara Islam dan umat agama lain, Iyal Allāh: Afkār Jadīdah fī Alāqat al-Muslim binafsihi wa bi al-Ākharīn yang berbicara mengenai relasi antara muslim dengan orang lain dan Al-Islām: Ḥurriyah wa Ḥiwār yang berisi mengenai kebebasan beragama dan dialog.

Qira’ah Tarikhiyyah Maqashidiyyah Dalam Perspektif Mohamed Talbi

Selain berkonsentrasi mengenai sejarah dan dialog antar agama, Mohamed Talbi juga concern terhadap kajian Al-Qur’an. Dalam bidang ini ia mengarang beberapa buku, yakni Reflexions sur le Coran (Refleksi tentang Al-Qur’an) yang ia tulis bersama Maurice Bucaille dan Universalite du Coran (Universalitas Al-Qur’an) yang berjumlah 58 halaman dan berisi tentang pandangan umumnya mengenai penafsiran Al-Qur’an.

Dalam memahami Al-Qur’an, Mohamed Talbi mengacu pada metode pembacaan historis humanis, yakni qira’ah tarikhiyyah maqashidiyyah. Menurutnya, Al-Qur’an seyogyanya ditafsirkan dalam konteks di mana ia diturunkan. Kehilangan atau kekurangan konteks historis tersebut akan membuat ayat-ayat Al-Qur’an terdistorsi dan mudah disalahpahami sebagaimana yang terjadi di kalangan tertentu.

Pada wacana ini, Mohamed Talbi memandang sejarah sebagai ilmu yang paling komprehensif. Dia menyebutnya sebagai “syaiu    adzim  fil  hadlarah” atau sesuatu yang penting dalam peradaban dan “asymalu  ulumil insan” atau ilmu kemanusiaan yang paling komprehensif. Namun di sisi lain, ia juga menerangkan bahwa sejarah secara ambivalen memiliki potensi positif dan negatif yang bisa disalahgunakan (Hermeneutika Historis Humanistik Mohamed Talbi).

Oleh karena itu, Mohamed Talbi mengatakan, “Seorang sejarawan memiliki peran penting dalam memberikan solusi terhadap problem-problem keagamaan yang kritis.” Partisipasinya sangat penting dan mendasar, karena ia bisa meletakkan problem itu dalam dimensi historis dan humanis (ab’ab al-tarikhiyyah wa al-anasiyyah). Hal tersebut penting untuk digarisbawahi karena ini merefleksikan  pendekatannya  dalam  menganalisis  teks  dan masalah.

Melalui pendekatan historis dengan perspektif kemanusiaan, Mohamed Talbi mendorong hadirnya penafsiran yang lebih terbuka terhadap Al-Qur’an (qira’ah tarikhiyyah maqashidiyyah). Dengan pendekatan ini, Talbi berupaya mengurai maksud-maksud teks Al-Qur’an berdasarkan prinsip dan gerak sejarah. Hal yang terpenting dari sejarah menurutnya adalah ibrah sebagaimana yang dikemukakan Al-Qur’an dalam kisah para nabi.

Dengan demikian, pendekatan historis humanis (qira’ah tarikhiyyah maqashidiyyah) berupaya untuk melacak tujuan syariat (law giver) dalam teks-teks keagamaan, terutama Al-Qur’an. Model  pelacakan  terhadap  tujuan  Tuhan  dalam  Al-Quran   ini   menurut   Talbi   tidak   muncul   tiba-tiba,   melainkan   unsur-unsurnya   sudah terbangun  sejak  lama  dan  saat  ini  harus  direvitalisasi  agar  dapat  menguak  cakrawala ayat-ayat Al-Quran dalam konteks kekinian.

Ketika membaca ayat-ayat Al-Qur’an dalam perspektif historis, Mohamed Talbi mengandaikan beberapa pertanyaan, di antaranya: Apa yang Allah maksud dari firmannya mengenai suatu persoalan dalam konteks tertentu? Apa yang Allah firmankan jika hal tersebut berada dalam konteks zaman ini? Melalui ini ia berusaha membaca situasi sejarah guna dijadikan starting point guna memahami ayat Al-Qur’an dan aktualisasinya (Iyal Allāh: 58).

Singkatnya, dalam pendekatan historis Mohamed Talbi mencoba membaca seluk-beluk sejarah Al-Qur’an yang mencakup konteks historis ayat dan kondisi sosial-politik masyarakat Arab. Dengan mengetahui gambaran tersebut, seseorang akan bisa melihat aspek khusus (khas) dan umum (amm) dari ayat Al-Qur’an. Inilah pijakan utama dalam menggali nilai esensial-universal Al-Qur’an.

Kemudian, Mohamed Talbi mengupas kesejarahan Al-Qur’an tersebut dalam kerangka pembacaan humanis atau qira’ah maqashidiyyah. Pada tahap ini, ia sebagai mufasir fokus pada maksud tujuan sebuah ayat Al-Qur’an (something  beyond the text). Bisa dikatakan bahwa pendekatan ini adalah upaya epistemologis-hermeneutis untuk melacak fondasi, semangat dan kerangka filosofis kesejarahan  Al-Quran di masa lalu untuk diadaptasi pemaknaannya sesuai konteks masa kini.

Sebagai catatan, qira’ah maqashidiyyah pada dasarnya tidak berbentuk analogi (qiyas), tetapi jauh melampauinya dalam memahami Al-Qur’an. Analogi di sini maksudnya adalah menghadirkan masa lalu sebagai model baku yang kaku bagi persoalan kekinian. Sedangkan qira’ah maqashidiyyah bagi Talbi lebih dari sekedar itu, yakni mengungkap tujuan realitas ayat Al-Qur’an, dimensi dan karakter dinamis sejarah di dalamnya serta aktualisasi dalam konteks kekinian.

Qira’ah maqashidiyyah yang digagas Mohamed Talbi bukanlah hal baru, sebab ia juga mengacu pada ulama terdahulu, khususnya al-Syatibi yang pertama   kali mempopulerkan teori maqashid as-syariah. Namun bukan berarti keduanya sama, karena Talbi telah melakukan beberapa modifikasi. Dalam pendekatannya, setidaknya dua hal yang menjadi aksentuasi, yakni: konteks historis ayat sebagai titik tolak dan tujuan ayat sebagai maksud yang dituju (Hermeneutik Talbi).

Sedangkan secara teknis, pendekatan qira’ah tarikhiyyah maqashidiyyah berpangkal pada analisis mendalam terhadap suatu teks (tahlil al-ittijah) dan analisis sejarah yang disemangati oleh nila-nilai kemanusiaan. Analisis ini dimulai dari titik pertama, yakni masa  pra-pewahyuan  atau  pra-Islam. Sedangkan titik kedua adalah masa setelah pewahyuan, di tengah-tengah itu  adalah masa pewahyuan di  mana  pesan  wahyu  mungkin  saja  masih  belum  jelas  maksudnya.

Dari dua titik tersebut, Mohamed Talbi kemudian menarik garis lurus dan kesimpulan tentang maksud akhir dari wahyu Allah swt (gayah al-ayah). Melalui pendekatan yang dipaparkan inilah seseorang dapat menghasilkan pandangan yang berkontribusi bagi perkembangan pemikiran Islam, selaras dengan tujuan wahyu, tidak memaksakan kehendak dan sesuai dengan konteks kekinian. Wallahu a’lam.