Beranda blog Halaman 356

Perbedaan Fungsi Mushaf dan Tafsir dalam Internal Umat Islam

0
Perbedaan Fungsi Mushaf
Perbedaan Fungsi Mushaf

Menurut Manna’ Khalil dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, tidak mungkin (yata‘dzdzar) mendefinisikan Al-Qur’an secara manthiqy, yakni definisi dengan menggunakan limitasi tertentu yang sedapat mungkin mencapai clear and distinct (jami‘-mani‘). Meski demikian, definisi Al-Qur’an tetap harus dilakukan, karena untuk menghadirkan perbedaan terhadap hakikat sesuatu yang lain dari padanya. Dengan begitu tulisan ini akan mengurai perbedaan fungsi mushaf dan tafsir dalam internal umat Islam.

Maka kemudian dikenal sebuah definisi yang lazim dikenal dalam kajian Al-Qur’an, “kalamullah al-munazzal ‘ala Muhammad Saw. al-muta‘abbad bi tilawatih” atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw. yang membacanya dianggap mengandung nilai-nilai ibadah. Dalam definisi lain, sebagaimana disebutkan Al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan, disebutkan “min awwal al-fatihah ila akhir surah al-nas al-mumtaz bi khasha’ish” untuk meringkas segala bentuk keistimewaan yang dimiliki Al-Qur’an.

Dari definisi ini, umumnya literatur Al-Qur’an akan melakukan pengejawantahan dengan membandingkannya dengan hakikat hadis Nabi Saw., baik berupa hadis qudsiy ataupun hadis nabawiy. Yang diantara perbedaan yang paling signifikan adalah keberadaan lafaz dan maknanya berasal dari Allah sehingga dianggap beribadah tatkala seseorang membacanya (muta‘abbad bi tilawatih).

Baca juga: Perbuatan yang Menyebabkan Istri Menjadi Durhaka: Tafsir Surat At-Tahrim Ayat 10

Dari semangat muta‘abbad bi tilawatih ini, Al-Qur’an menjadi satu-satunya kitab yang paling banyak dibaca. ‘Dibaca’ dalam artian formal beribadah (recitation) atau bahkan dalam konteks pemahaman atas kandungan makna di dalamnya (exegesis, interpretation). Hal ini karena Al-Qur’an dengan tegas telah mengklaim dirinya sebagai hudan atau petunjuk (QS. Al-Baqarah: 2).

Berkaitan dengan dua aktifitas pembacaan ini (konteks formal ibadah dan pemahaman), tradisi internal umat Islam setidaknya mengenal dan meresepsi dua ‘produk’ kodifikasi Al-Qur’an secara berbeda. Pertama, mushaf yang berisi pure Al-Qur’an dipahami sebagai media untuk pembacaan ibadah, dan kedua, kitab-kitab tafsir dipahami sebagai media pembacaan pemahaman. Separasi dalam tradisi semacam ini sangat menarik karena di luar sana juga dijumpai aktifitas lain yang cukup berbeda.

Dalam kajian yang dilakukan oleh Zahra Kazani berjudul Between the Foreign and the Familiar: A Qur’an Manuscript and Its Later English Annotations at the East India Company, kajian atas manuskrip mushaf Al-Qur’an di India Timur koleksi British Library, menemukan bahwa manuskrip yang didapat dari Charles Hamilton (1753-1792) ini berisi makna antarbaris (interlinear translation), semacam makna gandul dalam tradisi pesantren, yang ditulis dalam bahasa Inggris (untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar).

Pemaknaan semacam ini cukup ‘aneh’ dalam tradisi internal umat Islam. Karena sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya, umat Islam tidak pernah melakukan pengkajian makna Al-Qur’an secara langsung dari mushaf, melainkan ber-wasilah dengan kitab-kitab tafsir karangan para ulama. Artinya, ada sesuatu di balik fenomena pemaknaan mushaf India ini.

Baca juga: Mengenal Izzat Darwazah dan Model Tafsir Nuzuli

Memang jika dibandingkan dengan teks primer Islam lain, Al-Qur’an memiliki perlakuan yang agak berbeda. Hadis Nabi Saw. misalnya, selain dikaji melalui kitab-kitab syarah, ia juga lazim dikaji secara langsung dengan memberikan makna antarbaris pada teks primernya. Seperti pada naskah Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim atau naskah matan hadis lainnya.

Tradisi internal umat Islam juga, sejauh yang penulis ketahui, hampir tidak ditemukan di dalamnya model pemaknaan antarbaris. Pembaca bisa merujuk pada kajian terhadap naskah-naskah mushaf kuno yang tidak satu pun memberikan informasi ini. Seperti yang dilakukan oleh Islah Gusmian dalam Mushaf Popongan atau kajian lain dalam situs Mushaf Nusantara: Database of Southeast Asian Mushafs.

Maka kemudian dalam hasil kajiannya, Kazani menyebutkan bahwa dalam aktifitas pemaknaan yang dilakukan terhadap mushaf di India ini mengindikasikan adanya relasi kuasa. Dimana upaya penguatan dan perluasan kolonialisasi pemerintahan Inggris di India diperoleh salah satunya melalui akuisisi kebudayaan lokal setempat. Sehingga dipahami bahwa pemaknaan (pengkajian) langsung terhadap mushaf Al-Qur’an dilakukan bukan dari internal umat Islam.

Baca juga: Mengenal Kitab Asas al-Ta’wil: Kitab Tafsir Yang Disusun Berdasarkan Teologi al-Sab’iyah

Oleh karenanya, secara umum dapat dimengerti bahwa mushaf dan kitab tafsir, kendati sama-sama memiliki konten Al-Qur’an di dalamnya, memiliki fungsi yang berbeda pada internal umat Islam. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Paradigma Tafsir Maudhu’i dalam Pandangan Musthafa Muslim

0
paradigma tafsir maudhu'i Mustafa Muslim
paradigma tafsir maudhu'i Mustafa Muslim

Hingga saat ini, penyampaian penafsian Al-Qur’an dalam bentuk maudhu’i (tematik) masih sangat digemari oleh para pengkaji tafsir. Selain memudahkan bagi pembaca, metode tafsir maudhu’i juga dapat menjadi sarana untuk menyampaikan kajian tafsir tema tertentu secara fokus dan komprehensif. Oleh karena itu, guna menambah khazanah pemahaman terkait tafsir maudhu’i, melalui artikel sederhana ini penulis mencoba untuk menguraikan paradigma tafsir tematik milik cendekiawan asal Syiria yaitu Musthafa Muslim dalam karya monumentalnya Mabahits fi al-Tafsir al-Maudhu’i.

Definisi Metode Tafsir Maudhu’i

Terkait dengan definisi tafsir maudhu’i, Fauzan, dkk., dalam Metode Tafsir Maudhu’i (Tematik): Kajian Ayat Ekologi menyampaikan bahwa para ulama memiliki ragam definisi yang berbeda-beda terhadap istilah al-tafsir al-maudhu’i. Ziyad Khalil Muhammad al-Daghawin misalnya, ia memaknai al-tafsir al-maudhu’i sebagai sebuah metode penafsiran Al-Qur’an dengan cara menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kesamaan maksud atau tema pembahasan.

Sedikit berbeda dengan pandangan pertama, Abd al-Hayy al-Farmawi mendefinisikan al-tafsir al-maudhu’i sebagai metode penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan melalui cara penghimpunan ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki kesamaan tema kemudian pembahasan tersebut disusun berdasarkan susunan kronologi dan sebab turunya ayat.

Musthafa Muslim dalam karyanya Mabahits fi al-Tafsir al-Maudhu’i juga menyampaikan berbagai definisi para ulama terhadap istilah al-tafsir al-maudhu’i. Namun, dari berbagai ragam definisi ulama tersebut Musthafa Muslim memilih definisi al-tafsir al-maudhu’i berikut:

عِلْمٌ يَتَنَاوَلُ القَضَايَا حَسَبَ الْمَقَاصِدِ القُرْآنِيَّةِ مِنْ خِلَالِ سُوْرَةٍ أَوْ أَكْثَر

“Ilmu yang mengkaji satu surah atau lebih untuk memahami sebuah perkara berdasarkan perspektif maqashid al-qur’an

Baca Juga: Metode Maudhu’i Sebagai Pendekatan Tafsir Era Modern

Macam-macam Bentuk Tafsir Maudhu’i

Dalam kajian tafsir maudhu’i, terdapat beberapa bentuk corak pembahasan dan penyajian. Terkait hal tersebut, Musthafa Muslim membagi ragam bentuk penyajian metode tafsir maudhu’i dalam tiga bentuk penyajian, yaitu:

  1. Tafsir Tematik Kata

Pada bentuk yang pertama ini, peneliti tafsir menentukan satu lafal/kata dari berbagai kalimat dalam Al-Qur’an, kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan kata tersebut, baik secara tekstual atau dalam bentuk derivasi kata. Setelah ayat-ayat tematik kata tersebut terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah menjelaskan satu persatu penafsiran ayat-ayat tersebut, beserta konteks makna penggunaan kata yang telah ditentukan dalam setiap ayat.

Proses operasional tersebut penting dilakukan, karena tidak semua kata yang sama dalam Al-Qur’an juga memiliki konteks makna yang sama. Hal ini dibuktikan oleh al-Husain ibn Muhammad al-Damaghani dalam karyanya yang berjudul Ishlah al-Wujuh wa al-Nadha’ir fi al-Qur’an al-Karim.

Menurut hasil penelitianya, kata “khair (خ-ي-ر)” dalam Al-Qur’an memiliki delapan dimensi makna, yaitu: harta (QS. al-Baqarah [2]: 180), iman (QS. al-Anfal [8]: 23), Islam (QS. al-Baqarah [2]: 105), lebih utama (QS. al-Mu’minun [23]: 118), kesehatan (QS. al-An’am [6]: 17), pahala (QS. al-Hajj [22]: 36), makanan (QS. al-Qasas [28]: 24), kemenangan dan harta rampasan (QS. al-Ahzab [33]: 25).

2. Tafsir Tematik Al-Qur’an

Terkait bentuk yang kedua ini, peneliti tafsir hendaknya menentukan tema atau topik pembahasan tertentu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, kemudian mengumpulkan dan melakukan analisis penafsiran terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan topik pembahasan yang telah ditentukan. Setelah itu, mengelompokkan tema-tema yang dikaji tersebut ke dalam beberapa subab pembahasan beserta ayat-ayat yang berkaitan dengan tema kajian.

Ketika proses pengkajian tematik ayat tersebut, peneliti tafsir hendaknya menghindari pembahasan secara mendalam terkait aspek-aspek pendukung (al-umur al-juz’iyyah), seperti pembahasan qira’at, bentuk i’rab, balaghah, dan lain sebagainya.

Kalaupun aspek-aspek tersebut dimasukkan dalam pembahasan tafsir tematik, hendaknya hanya dijelaskan sebatas sebagai pelengkap penjelasan dalam menguraikan tema atau topik pembahasan yang telah ditentukan. Hal ini dilakukan agar tidak mengurangi dominasi dari aspek inti pembahasan seperti maqashid ayat, dan hikmah ilahiyah terhadap pemilihan tema tersebut dalam kajian Al-Qur’an.

Beberapa contoh karangan para ulama yang menggunakan metode tafsir maudhu’i bentuk kedua ini antara lain adalah I’jaz al-Qur’an karya Muhammad ibn al-Thayyib Abu Bakr al-Baqillani, al-Nasikh wa al-Mansukh fi al-Qur’an al-Karim karya Abu Bakr ibn al-’Arabi al-Ma’afiri, Ahkam al-Qur’an karya Abu Bakr Ahmad ibn Ali al-Razi al-Jashshash, dan al-Amtsal fi al-Qur’an karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah.

Baca Juga: Inilah Delapan Metode Tafsir Tematik ala Hassan Hanafi

3. Tafsir Tematik Surah Al-Qur’an

Seecara definisi, bentuk ketiga tafsir maudhu’i ini hampir sama dengan bentuk yang kedua. Namun, dari sisi cakupan pembahasanya, bentuk ketiga ini lebih spesifik membahas tema Al-Qur’an tertentu dalam sebuah surah. Pembahasan secara mendalam terhadap suatu surah Al-Qur’an tersebut mencakup kajian asbab al-nuzul surah, tartib nuzul surah antara makkiyah atau madaniyah, kemudian mengkaji gaya bahasa (al-asalib) penjelasan tema Al-Qur’an dan munasabah pada setiap potongan ayat dalam surah tersebut.

Dengan metode pembahasan tersebut, peneliti tafsir akan menemukan pembahasan topik atau tema-tema tertentu dalam sebuah surah Al-Qur’an. Misalnya dalam surah-surah makkiyah, peneliti akan menukan di dalamnya tiga tema pembahasan pokok yang berkaitan dengan dasar akidah Islam, yaitu uluhiyah (ketuhanan), al-risalah (kenabian), dan al-ba’ts ba’da al-maut (hari kebangkitan). Begitu juga dengan surah-surah madaniyah, di dalamnya juga terdapat pembahasan tema-tema tertentu yang banyak disampaikan dalam surah-surah madaniyah tersebut.

Secara prosedural, metode tafsir maudhu’i yang ketiga ini belum pernah digunakan oleh para ulama klasik. Namun, pada masa ulama klasik tersebut sudah ada isyarat yang menjelaskan tentang pembahasan keistimewaan dan perbedaan antara satu surah dengan surah Al-Qur’an lainya.

Beberapa kitab tafsir yang mengisyaratkan penggunaan metode yang ketiga ini adalah al-Tafsir al-Kabir karya Fakhr al-Din al-Razi, Nazm al-Durar karya al-Biqa’i, dan Nidham al-Qur’an karya Abd al-Hamid al-Farahi. Adapun bebeapa ulama kontemporer yang mengkaji secara mendalam terhadap surah dalam setiap pembukaan penafsiranya antara lain adalah Sayyid Quthb dalam karyanya fi Dhilal al-Qur’an, dan Ibrahim Zaid al-Kailani dalam Tashawwur al-Uluhiyah Kama Ta’arradhuhu Surah al-An’am.

Baca Juga: Mengenal Tipologi Penafsiran Al-Qur’an dalam Pandangan Aksin Wijaya

Langkah Operasional Metode Tafsir Maudhu’i

Dsalam penerapanya, Musthafa Muslim memberikan tujuh langkah operasional utama dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan pendekatan tafsir tematik (al-tafsir al-maudhu’i), sebagaimana berikut:

  1. Menentukan judul pembahasan yang masih berada dalam lingkup tema Al-Qur’an.
  2. Mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengkaji tentang tema yang telah ditentukan tersebut.
  3. Mengurutkan susunan ayat berdasarkan periode waktu turunya ayat (makkiyah-madaniyah). Hal ini diperlukan karena setiap surah makkiyah maupun madaniyah memiliki ciri khas utama kajian pembahasan.
  4. Mempelajari penafsiran tiap ayat dengan merujuk pada berbagai kitab tafsir yang disajikan secara tahlili dan mempertimbangkan aspek asbab al-nuzul jika ditemukan, arti setiap kata dan penggunaanya, kaitan antara kata-kata dalam sebuah kalimat dan kaitan antara kalimat-kalimat dalam sebuah ayat, begitu pula kaitan antara satu ayat dengan ayat lainya.
  5. Menggali unsur-unsur penting dalam tema tersebut berdasarkan pembahasan ayat-ayat di atas. Dalam fase ini, hendaknya peneliti menentukan unsur utama dalam kajian tafsir tematik yang kemudian diletakkan dan dijelaskan pada pembahasan awal, kemudian diikuti oleh penjelasan unsur-unsur pendukung lainya.
  6. Peneliti menjelaskan ayat-ayat yang telah dikelompokkan secara global untuk menampakkan berbagai ide dalam kajian tersebut. Peneliti tidak diperkenankan mencukupkan analisisnya hanya pada aspek linguistik. Namun, perlu meneliti lebih jauh terkait isyarat yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan informasi dari hadis dan atsar atau pemahaman para sahabat Nabi terhadap suatu ayat.
  7. Peneliti harus konsisten dengan prosedur-prosedur kajian tafsir tematik yang telah ditentukan.

Dengan melakukan ketujuh langka operasional tersebut, Musthafa Muslim menginginkan adanya hasil kajian tafsir Al-Qur’an yang komprehensif dan sistematis, sehingga mampu mengungkap hakikat-hakikat Al-Qur’an dengan menyampaikan hikmah al-tasyri’ dan keindahan Al-Qur’an yang relevan dengan kondisi masyarakat pada masanya. Wallahu A’lam

Pro Kontra Tafsir Ilmi dan Cara Menyikapinya (1): Ulama yang Pro

0
pro kontra tafsir ilmi
pro kontra tafsir ilmi

Tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Quran sarat akan nuansa ayat-ayat kauniyah di dalamnya. Tidak kurang 750-1000 ayat-ayat kauniyah, sementara ayat-ayat hukum berkisar 250 ayat. Ini membuktikan Al-Quran sangat scientific, meski ia bukanlah kitab sains. Tulisan kali ini akan fokus membahas tentang pro kontra tafsir ilmi.

Tatkala gelombang Hellenisme merebak ke dunia Islam melalui penerjemahan buku-buku ilmiah secara besar-besaran pada masa Dinasti Abbasiyah, persisnya di era Khalifah al-Ma’mun (w. 853 M), muncullah kecenderungan menafsirkan Al-Quran dengan teori-teori ilmu pengetahuan atau yang dikenal dengan tafsir ilmi sebagaimana dipaparkan Muchlis Hanafi.

Mafatih al-Ghaib karya al-Razi, disinyalir sebagai tafsir pertama yang mengulas secara detail penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al-Quran. Sungguhpun demikian, pro kontra tafsir ilmi di antara ulama tidak bisa dihindari. Di satu sisi, tafsir ini dikritik habis-habisan bahkan dimentahkan, pada sisi yang lain tidak sedikit pula yang mengapresiasinya.

Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini akan mengulas pro kontra tafsir ilmi, khususnya ulama yang pro terhadap tafsir tersebut dan juga argumentasinya terlebih dahulu. Lalu, pada artikel berikutnya mengulas ulama yang kontra terhadapnya.

Baca Juga: Tafsir Ilmi: Sejarah Kemunculan, Metodologi, dan Kritik Terhadapnya

Ulama Pro Tafsir Ilmi

Sebagaimana disinggung di muka bahwa telah terjadi pro kontra tafsir ilmi di antara ulama. Namun demikian, sesungguhnya masih banyak yang mengapresiasi penafsiran Al-Quran dengan model ini. Sebut saja deretan ulama klasik, misalnya Ar-Razi, Al-Ghazali, Al-Mursi, As-Suyuthi. Sementara pada barisan ulama kontemporer ada Muhammad Abduh, Tantawi Jauhari, Hanafi Ahmad dan sebagainya.

Al-Suyuti misalnya, dalam kitabnya al-Itqan fi Ulum al-Quran, al-Iklil fi al-Istinbat al-Tanzil dan al-Mumtarikh al-Aqran fi I’jaz al-Quran, ia menuturkan bahwa Al-Quran telah menyingkap secara luas baik diskursus keilmuan yang bersifat teoretis maupun praksis, mulai era klasik hingga kontemporer, semuanya telah tersirat dalam Al-Quran. Lalu, al-Suyuti menampilkan redaksi surat al-An’am ayat 38.

 وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا طٰۤىِٕرٍ يَّطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ اِلَّآ اُمَمٌ اَمْثَالُكُمْ ۗمَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتٰبِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ

Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka dikumpulkan. (Q.S. al-An’am [6]: 38)

Tidak kalah menterengnya, al-Razi, seorang mufasir cum filosof ilmuwan muslim disinyalir beliaulah peletak dasar corak mazhab tafsir Al-Quran bil ‘ilmi. Penyematan ini bukanlah tanpa alasan, jika menilik rekam jejaknya sesungguhnya al-Razi menempatkan rasio seobjektif mungkin dalam penafsiran Al-Quran meski, ia sering dianggap rasionalis murni oleh sebagian kalangan.

Pada zaman al-Razi belum ada istilah dikotomi keilmuan, yang dikenal hanyalah ilmu handasiah, yakni ilmu yang berkaitan dengan matematika, fisika, astronomi, biologi, medis, dan sejenisnya. Sebagai contoh misalnya, kalimat al-hikmah yang terdapat dalam Surat an-Nahl ayat 125, al-Razi menafsirkannya dengan,

الحُجَّةُ الْقَطْعِيّة الْمُفِيدة لِلْعَقَائِد الْيَقِينِية، وذلك هُوَ المُسَمَّى بِالْحِكْمة، وهذه أَشْرَفُ الدَّرَجًاتِ وأَعْلَى الْمَقَامَات

“Hujjah yang qath’i (pasti), jelas, kokoh dan tanpa keraguan. Itulah yang disebut al-hikmah. Inilah kedudukan yang paling mulia dan tertinggi”.

Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya

Jika mufassir klasik acapkali menafsirkan al-Hikmah dengan bijaksana, lemah lembu, namun bagi al-Razi tidak. Ini menunjukkan bahwa kedudukan ilmu pengetahuan amatlah penting dalam mencari kebenaran yang sesungguhnya. Tidak hanya sekadar prediksi apalagi angan-angan belaka atau opini tak berdasar.

Selain memiliki karya tafsir Mafatih al-Ghaib, ia tercatat mempunyai dua karya medis terpenting, yaitu al-Mansuri dan al-Hawi. Kedua kitab ini terkenal di Barat, diterjemahkan dalam berbagai bahasa, serta menjadi rujukan otoritatif dalam keilmuan kedokteran.

Mufasir ilmi berikutnya berasal dari kalangan kontemporer, yaitu Tantawi Jauhari dengan tafsirnya, Jawahir fi Tafsir al-Quran. Dalam Jawahir-nya, ia mengungkap banyak beragam fan keilmuan terutama ketika menafsirkan ayat-ayat kauniyah. Interpretasinya tidak hanya sebatas naratif-deskriptif, melainkan substantif-analitis.

Uraian analitis Tantawi ini mendapat pujian dari al-Zahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, al-Zahabi takjub dengan model yang digunakan Tantawi dalam menafsirkan Al-Quran. Tantawi, kata al-Zahabi, tidak hanya memberikan penafsiran secara lafdzi, namun dilanjutkan dengan paparan-paparan ilmiah atau disebutnya sebagai lathaif atau jawahir.

Lebih jauh, al-Zahabi berpendapat bahwa penafsiran Tantawi ini merupakan akumulasi dari berbagai saripati para pemikir Barat dan Timur di era modern. Tak berhenti di situ memujinya, al-Zahabi juga memaparkan betapa sarat akan ilmiahnya Tantawi tatkala menafsirkan perkembangan katak mulai dari fase bertelur hingga menjadi katak dewasa sebagaimana termatub dalam Tafsir al-Jawahir.

Selain itu, pada juz 3 halaman 102 juga dipaparkan ilmu-ilmu kimia, inti atom beserta sifatnya. Lalu di halaman berikutnya, persisnya 141 diulas ilmu-ilmu biologi, molekul, antropologi, pertambangan, kedokteran, dan masih banyak paparan ilmiah di dalam tafsir Tantawi.

Mungkin pertanyaan yang masih terngiang-ngiang di telinga kita adalah mengapa muafssir di atas begitu getol mengumandangkan ilmu pengetahuan sebagai basis penafsiran, padahal kala itu model penafsiran tersebut belum menjadi mainstream?

Salah satu alasannya adalah sebagaimana dikemukakan Tantawi dalam muqadimah tafsirnya bahwa supaya umat Islam “sadar” (aware) untuk menuntut ilmu dalam pengertian yang seluas-luasnya, yaitu tidak terbatas hanya satu ilmu, melainkan menguasai beberapa fan keilmuan, seperti fisika, astronomi, matematika, kimia, biologi, antariksa, dan ilmu pengetahuan modern lainnya.

Sesunguhnya ilmu-ilmu tersebut telah diulas sangat banyak dalam Al-Quran. Ini menyiratkan perintah kepada umat Islam untuk maju dalam berbagai ilmu pengetahuan. Bahkan, menurutnya tidak kurang 750-1000 ayat Al-Quran yang berbicara tentang keajaiban alam, rahasia alam, manfaat, konservasi alam, dan bagaimana teknis pengeksplorasiannya yang ini dikenal dengan ayat-ayat kauniyah.

Baca Juga: Syekh Tantawi Jauhari: Sang Pelopor Tafsir Ilmi Modern

Jalan Tengah

“Andai saja pertikaian dan kecamuk perseteruan antara ilmuwan dan agamawan di Eropa pada abad pertengahan tidak merebak ke dunia Islam, demikian kata Muchlis Hanafi dalam Tafsir Ilmi Kemenag, maka pastilah umat Islam tidak akan mengenal istilah dikotomi keilmuan. Perbedaan cara pandang dan resepsi, serta persepsi memang idealnya tidak harus membawa kepada perpecahan, justru keduanya saling melengkapi dan berkolaborasi”

Lebih dari itu, keilmuan yang matang justru akan membawa kepada sikap keberagamaan yang tinggi (taqwa ilallah). Sejarah cukup menjadi saksi bisu bagaimana cendekiawan muslim ahli astronomi, matematika, fisika, kedokteran, biologi, dan ilmu eksak dan sosial lainnya telah mencapai prestasi yang sangat gemilang (Islamic golden age). Pada saat yang bersamaan, mereka juga menjalankan kewajiban agama dengan sangat baik.

Capaian emas ini pun disorot oleh Maurice Bucaille, ilmuwan Perancis terkemuka, dalam bukunya Bibel, Qur’an dan Sains Modern, bahwa tidak ada satu ayat Al-Quran pun yang bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Dan inilah kiranya yang memantik para kesarjanaan Barat untuk lebih mendalami dan mengkaji model penafsiran Al-Quran dengan pendekatan ilmu pengetahuan.

Pertanyaan berikutnya, sudahkah umat Islam merebut kembali kegemilangannya? Semoga saja. Wallahu A’lam.

Mengenal Izzat Darwazah dan Model Tafsir Nuzuli

0
Muhammad Izzat Darwazah dan Tafsir Nuzuli
Muhammad Izzat Darwazah dan Tafsir Nuzuli

Termasuk perkembangan Al-Quran yang menarik adalah munculnya satu model penafsiran yang mencoba mengurai makna Al-Quran dengan menggunakan tartib nuzulnya, ini berbeda dengan kitab tafsir pada umumnya seperti Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Jalalain, dan Tafsir al-Munir. Salah satu tokoh yang mencoba mengemukakan model tafsir berdasar tartib nuzulnya ini adalah Izzat Darwazah, yang akan coba dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.

Mengenal Izzat Darwazah

Mengutip Fadhl Hasan Abbas dalam ‘al-Tafsir wa al-Mufassirun fi al-‘Ashr al-Hadith (III/147), Darwazah memiliki nama lengkap Muhammad Izzat bin Abdul Hadi Darwazah, ia merupakan seorang pemikir, penulis, pejuang sekaligus politisi berkebangsaan Palestina. Ia merupakan seorang sastrawan, sejarawan, jurnalis sekaligus juga pengkaji Al-Quran.

Sekalipun Darwazah adalah orang yang aktif terlibat dalam pergelutan politik, itu tak menghalangi produktivitasnya dalam menulis, tercatat lebih dari 50 karyanya yang telah dibukukan dan diterbitkan.

Berdasarkan penuturannya pada kata pengantar karya tafsir fenomenalnya, At-Tafsir Al-Hadits (I/5), bahwa ide penulisan tafsir Al-Quran secara menyeluruh berdasarkan tartib nuzulnya itu baru timbul sesudah penulisan tiga karyanya yang lain, dua yang berkaitan dengan sejarah yakni ‘Ashr al-Nabi wa Bi’atuhu qabla al-Bi’thah dan Sirah al-Rasul min Al-Qur’an dan satu lagi di bidang tafsir dengan judul al-Dustur al-Qur’aniy fi Syu’un al-Hayat.

Berkonsultasi dengan Dua Ulama

Sebelum menuliskan kitab tafsirnya, muncul kebimbangan dalam diri Darwazah akan keabsahan penulisan tafsir Al-Quran berdasarkan tartib nuzul, mengingat model seperti ini memang ‘tidak lumrah’ digunakan oleh para Ulama. Maka ia pun bertanya kepada dua orang Ulama.

Dua Ulama itu adalah Syaikh Abu al-Yusr Abidin, seorang mufti suriah pada masa itu dan Syaikh Abu Fattah Abu Ghuddah yang merupakan salah satu tokoh ulama di Aleppo. Dua Ulama ini berpendapat bahwa penafsiran Al-Quran berdasarkan tartib nuzul-nya tidaklah mengapa, bahkan bisa saja menjadi cara yang bagus untuk mengungkap makna-makna Al-Quran.

Didukung dengan fakta bahwa adanya mushaf ‘Ali bin Abi Thalib yang ditulis berdasarkan tartib nuzul-nya. Hal ini meyakinkan Darwazah untuk menuliskan karya tafsirnya yang fenomenal itu yakni ‘al-Tafsir al-Hadith Tartib al-Suwar Hasb al-Nuzul’. 

Tafsir yang Mengajak ke Masa Lalu

Tafsir nuzuli ala Izzat Darwazah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap sirah Nabi, setidaknya seorang mufassir yang menggunakan tafsir nuzuli ini harus memerhatikan sirah dan bi’ah (lingkungan) hidup rasul. Ini bisa dilihat dari ungkapannya dalam al-Tafsir al-Hadith (I/9),

إِذْ بِذَلِكَ يُمْكِنُ مُتَابعَةِ السِّيْرَةِ النَّبَوِيَّةِ زَمَنًا بَعْدَ زَمَنٍ, كَمَا يُمْكِنُ مُتَابعةِ أَطْوَارِ التَّنْزِيل وَمَرَاحلهِ بِشَكْلٍ أَوْضَح وأدق, وبهذا وذاك يَنْدَمجُ الْقارئُ فِي جَوِّ نُزُول القُرآنِ وجو ظرُوفِهِ ومُنَاسَبَاتِهِ ومداه, ومفهوماته, وتَتَجَلَّى لَهُ حِكْمَة التَّنْزِيل.

Terjemah bebasnya, ‘Jadi dengan cara yang seperti itu (trtib nuzul), memungkinkan pembaca untuk mengikuti perjalanan hidup Rasul dari waktu ke waktu, juga memungkinkan untuk mengungkap perkembangan dan fase-fase pewahyuan dengan labih jelas dan teliti. Dan dengan demikian, pembaca perlu mengintegrasikan antara asbab nuzul, munasabah, konteks turunnya, pemahaman-pemahaman yang muncul, hingga terungkap jelaslah hikmah diturunkannya ayat-ayat Al-Quran.

Kajian semacam ini akan menghasilkan dua keuntungan, yakni membantu pembaca untuk memahami kandungan makna Al-Quran dengan bantuan sirah Rasulullah dan memahami sirah Rasulullah dalam naungan Al-Quran.

Ayat-ayat Al-Quran sendiri dalam kaitannya dengan sirah, menurut Izzat Darwazah dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, 1). Ayat-ayat yang menceritakan masyarakat Arab sebelum era nabi Muhammad, 2). Hubungan antara Al-Quran dengan pribadi nabi Muhammad sendiri, dan 3). Hubungan antara Al-Quran dengan masyarakat pada masa kenabian Muhammad.

Menghayati Tiap Dinamika Dakwah Nabi

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, tafsir nuzuli Darwazah merupakan tafsir yang mengajak pembacanya untuk menelisik lebih dalam mengenai sirah Rasul. Dari sini dapat kita lihat bagaimana dinamika dakwah Nabi di lingkungan yang berbeda, objek dakwah yang berbeda, sehingga tampak jelas kebijaksanaan Nabi dalam berdakwah, hikmah tasyri’ dan hikmah diturunkannya Al-Quran secara berangsur-angsur.

Tempat yang berbeda, objek dakwah yang berbeda, dan fase yang berbeda tentu akan mendapatkan perlakuan yang berbeda. Fase dakwah Mekah tentu tidak bisa disamakan dengan fase dakwah Madinah.

Di Makkah banyak diturunkan ayat yang berkenaan dengan akidah dan hal-hal yang bersifat teoritis, sedangkan di Madinah cenderung lebih bersifat praksis. Di Makkah Nabi banyak berhadapan dengan masyarakat pagan dan Nasrani, sedangkan di Madinah Nabi banyak dihadapkan dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik, sehingga pendekatan dakwah yang dilakukan pun berbeda.

Terkait perubahan pendekatan dakwah Rasulullah ini, ada tuduhan yang dilayangkan oleh sebagian orientalis dan evangelis bahwa Rasulullah ketika di Mekah dan di Madinah itu berbeda. Jika di Mekah itu Rasul masih berstatus sebagai nabi, sedangkan ketika di Madinah Rasulullah lebih berstatus sebagai pemimpin negara (man of state) sehingga sikap dan kebijakannya cenderung bersifat politis dan kadang menyalahi apa yang telah beliau sampaikan pada fase Mekah.

Hal ini dibantah oleh Darwazah dalam karyanya Al-Qur’an al-Majid (hal. 38-48), Darwazah menegaskan bahwa yang terjadi tidaklah demikian, yang terjadi hanyalah perubahan pendekatan. Dari yang sifatnya pengenalan dan teoritis, menjadi lebih praksis ketika di Madinah dan semua yang Rasulullah lakukan di Madinah pasti memiliki dasar dan syawahid dari apa yang pernah beliau sampaikan di Mekah.

Tulisan ini mengajak kita untuk sedikit berkenalan dengan Izzat Darwazah -pemikir muslim asal Palestina- beserta karya tafsirnya yang ‘unik’ dan ditulis berdasarkan tartib nuzul, namun tulisan ini tidak membahasnya secara terperinci mengingat keterbatasan ilmu penulis dan keterbatasan tempat, maka sangat dianjurkan kepada teman-teman untuk membaca langsung karya-karya Darwazah! Wallahu a’lam.

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 39-40

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 39-40 setidaknya membahas tentang dua topik yang berkaitan. Petama, kecaman Allah atas orang-orang yang tidak memenuhi anjuran dan perintah berperang.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 37-38


Kedua, meski mereka tidak ikut andil, bukan berarti Muhammad dan sahabatnya akan kalah. Justru mereka akan menang, sebab Allah-lah penolong mereka, sebagaimana ketika Dia menolong Muhammad sewaktu hijrah ke Madinah.

Ayat 39

Ayat ini mengancam orang-orang yang tidak patuh memenuhi anjuran dan perintah Nabi Muhammad saw untuk pergi berperang menghadapi ancaman musuh.

Pembangkangan mereka terhadap perintah Nabi Muhammad saw agar pergi berperang untuk menegakkan agama, tidaklah akan memberi mudarat kepada Allah swt sedikit pun, dan tidak pula memberikan manfaat, sebagaimana firman Allah yang disabdakan Rasulullah saw:

يَا عِبَادِيْ اِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضُرُّوْنِيْ وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِي (رواه مسلم عن أبي ذر الغفاري)

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kamu tidak akan bisa menyampaikan mudarat kepada-Ku hingga kamu dapat menyusahkan Aku, begitu juga kamu tidak akan dapat memberikan manfaat kepada-Ku hingga kamu dapat memberikan pertolongan kepada-Ku.” (Riwayat Muslim dari Abi Dzar al-Gifari)


Baca Juga : Kisah Kesetiaan Abu Bakar As-Shiddiq dibalik Surah At-Taubah Ayat 40


Ayat 40

Ayat ini tidak membenarkan sangkaan orang-orang musyrik, bahwa perjuangan Nabi Muhammad saw tidak akan berhasil, apabila mereka tidak ikut membantunya.

Nabi akan tetap menang karena Allah akan membantunya. Hal ini telah dibuktikan ketika rumah Nabi Muhammad dikepung rapat-rapat oleh orang-orang Quraisy yang akan membunuhnya.

Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mencegah dan menghentikan dakwah Islami yang mereka khawatirkan, akan makin meluas pengaruhnya.

Atas pertolongan dan bantuan Allah swt Nabi Muhammad saw dapat lolos dari kepungan mereka yang ketat, sehingga dengan perasaan aman beliau keluar dari rumahnya menuju gua di gunung Tsur, tempat persembunyiannya untuk sementara, ditemani oleh sahabat setianya Abu Bakar.

Melihat situasi gawat itu Abu Bakar merasa cemas dan berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah andaikata ada salah seorang di antara mereka mengangkat kakinya, pasti dia dapat melihat kita berada di bawah kakinya.” Nabi Muhammad saw menjawab, “Wahai Abu Bakar, janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.”

Nabi Muhammad saw bersama Abu Bakar selama berada di dalam gua Tsur, senantiasa berada di bawah pertolongan dan lindungan Allah.

Allah memberi ketenangan hati kepada Nabi saw dan Abu Bakar, serta memberikan bantuan tentara yang tidak dilihatnya, sehingga selamatlah keduanya di dalam gua Tsur, dan niat jahat orang-orang itu gagal. Firman Allah swt:

وَاِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيُثْبِتُوْكَ اَوْ يَقْتُلُوْكَ اَوْ يُخْرِجُوْكَۗ وَيَمْكُرُوْنَ وَيَمْكُرُ اللّٰهُ ۗوَاللّٰهُ خَيْرُ الْمَاكِرِيْنَ  ٣٠

Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya. (al-Anfal/8: 30)

Dan firman-Nya:

اِنَّا لَنَنْصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا

Sesungguhnya Kami akan menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia. (Gafir/40: 51)

Allah swt selalu menempatkan orang-orang kafir itu di tingkat yang rendah, selalu kalah. Dan kalimah Allah yaitu agama yang didasarkan atas tauhid, jauh dari syirik, selalu ditempatkan di tempat yang tinggi, mengatasi yang lain.

Allah swt Mahakuasa dan Mahaperkasa, tidak ada yang dapat mengalahkannya, Mahabijaksana, menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dialah yang selalu menolong memenangkan Rasulullah saw dengan kekuasaan-Nya, memenangkan agama-Nya dari agama-agama yang lain, dengan kebijaksanaan-Nya, sebagaimana firman Allah swt:

هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۙ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Qur’an) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (at-Taubah/9: 33)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 41-43


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 41-43

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 41-43 berbicara terkait motivasi kepada kaum Mukmin agar mau ikut berjihad, sekaligus mengecam apabila mereka enggan untuk ikut serta. Kecuali memiliki uzur yang dibenarkan.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 39-40


Lain halnya dengan orang munafik, sedari awal mereka memang enggan berjihad. Membuat alasan untuk tidak ikut serta lalu meminta izin kepada nabi, padahal jika tidak diizinkan sekalipun, mereka tetap tidak akan ikut. Hal itulah yang dikecam oleh Allah Swt.

Ayat 41

Pada ayat ini diterangkan bahwa apabila keselamatan kaum Muslimin terancam, berperang bukan lagi anjuran, tetapi wajib, sehingga tidak seorang Muslim pun yang dibenarkan untuk tidak ikut dalam ekspedisi itu.

Setiap orang yang sehat, dewasa, kaya, dan miskin wajib tampil ke medan juang untuk membela Islam dan menegakkan kebenaran.

Orang-orang yang uzur yang dibenarkan syarat tidak diwajibkan, seperti terlalu tua, lemah fisik, cacat, tak berdaya, sakit keras dan lain-lain, karena mereka akan menjadi beban apabila diikutsertakan. Firman Allah swt:

لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاۤءِ وَلَا عَلَى الْمَرْضٰى وَلَا عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ مَا يُنْفِقُوْنَ حَرَجٌ اِذَا نَصَحُوْا لِلّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۗ

Tidak ada dosa (karena tidak pergi berperang) atas orang yang lemah, orang yang sakit dan orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. (at-Taubah/9: 91)

Mereka diperintahkan berjihad berjaga-jaga dari serangan musuh, mempertahankan tanah air, mendermakan harta dan dirinya untuk menegakkan keadilan, dan meninggikan kalimah Allah, tampil ke medan perang maupun berjihad dengan harta, dengan maksud menjunjung tinggi derajat umat dan agama, jika dilakukan dengan ikhlas akan memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak.


Baca Juga : Penjelasan Para Mufasir tentang Hati yang Sakit dalam Surah al-Baqarah Ayat 10


Ayat 42

Ayat ini menjelaskan latar belakang tidak ikutnya orang-orang munafik ke medan perang sekalipun sudah diumumkan perintah wajib perang.

Di antara alasan dari keengganan mereka, karena pergi berperang akan menempuh jarak yang jauh, pada musim panas, dalam keadaan serba kekurangan, dan belum tentu menang serta memperoleh rampasan perang (ganimah).

Mereka bersikap pesimis, karena yang dihadapi adalah tentara Romawi yang terlatih, kuat, dan banyak jumlahnya.

Jika mereka diperintahkan ke tempat yang dekat yang tidak mengharus-kan mereka bersusah payah dalam perjalanan, pasti mendapatkan kemenangan, dan memperoleh keuntungan dengan mudah, tentunya mereka mau dan tidak akan enggan berperang.

Untuk menyembunyikan kemunafikannya, mereka tidak segan bersumpah dengan nama Allah bahwa jika mereka sanggup dan ada kemampuan, tentunya mereka ikut berangkat bersama.

Sumpah ini mereka ucapkan sebagai alasan ketika kaum Muslimin sudah kembali dari perang Tabuk dengan selamat dan berada sudah di tengah-tengah mereka, sebagaimana firman Allah:

يَعْتَذِرُوْنَ اِلَيْكُمْ اِذَا رَجَعْتُمْ اِلَيْهِمْ ۗ

Mereka (orang-orang munafik yang tidak ikut berperang) akan mengemukakan alasannya kepadamu ketika kamu telah kembali kepada mereka. (at-Taubah/9: 94)

Mereka menduga bahwa sumpah palsu yang mereka ucapkan itu menguntungkan mereka dan dapat menutupi kemunafikannya, padahal sebenarnya tindakan itu hanya mencelakakan mereka.

Di samping itu, sumpah palsu termasuk salah satu dosa besar, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

اَلْكَبَائِرُ اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِيْنُ اْلغَمُوْسُ (رواه البخاري عن عبد الله بن عمرو بن العاص)

Dosa besar itu ialah, menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua ibu bapak, membunuh diri seseorang, dan bersumpah palsu. (Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash)

Allah swt mengetahui kebohongan dan kepalsuan sumpah mereka dan Allah akan membalas semuanya itu.

Ayat 43

Menurut riwayat Mujahid, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik yang minta izin kepada Rasulullah dengan berbagai alasan untuk tidak pergi berperang. Padahal diizinkan atau tidak, mereka tetap saja akan tinggal di Medinah, dan tidak akan ikut ke medan perang.

Allah telah memaafkan Nabi Muhammad saw karena telah memberikan izin kepada beberapa orang munafik tidak turut bersama ke medan perang, setelah mereka mengemukakan alasan yang dibuat-buat, sebelum ada wahyu dari Allah swt yang memberikan persetujuan atas permintaan mereka itu.

Andaikan Nabi Muhammad saw tidak memenuhi permintaan mereka dan tidak mengizinkan mereka, tentulah rahasia mereka terbuka, sebab diizinkan atau tidak, mereka tidak akan pergi bersama ke medan perang.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 44-45


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 37-38

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 37-38 menjelaskan kecaman Allah kepada mereka yang mengundur, menambah, dan memutar balikkan bulan-bulan haram yang sudah ditetapkan.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 35-36


Tafsir Surah At Taubah Ayat 37-38 juga menjelaskan perintah untuk memerangi kaum musyrik yang menyerang mereka di mana saja dan kapan saja, salah satu peperangan itu, yakni perang Tabuk yang terjadi pada tahun ke-9 Hijriah.

Promblem yang hendak dijelaskan dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 37-38 adalah keberatan yang dialami oleh sebagian orang beriman untuk berperang menghadapi musuh yang lebih kuat dan besar.

Ayat 37

Ayat ini menerangkan bahwa pengunduran keharaman (kesucian) bulan kepada bulan berikutnya seperti pengunduran bulan Muharam ke bulan Safar dengan maksud agar pada bulan Muharam itu diperbolehkan berperang, adalah suatu kekafiran karena mengganggap dirinya sama dengan Tuhan dalam menetapkan hukum.

Telah jelas dan diakui semenjak Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail bahwa pada bulan-bulan haram itu tidak dibolehkan berperang. Tetapi karena orang-orang musyrikin itu tidak dapat menguasai dirinya untuk tidak berperang selama tiga bulan berturut-turut yaitu pada bulan Zulkaidah, Zulhijah dan Muharam, maka kesucian pada bulan itu digeser ke bulan lain sehinggga mereka mendapat kesempatan untuk berperang pada bulan Muharam.

Hal ini biasa mereka lakukan ketika mereka berada di Mina. Ketika para jamaah berkumpul di sana berdirilah seorang pemimpin dari Bani Kinanah dan berkata, “Sayalah orang yang tak dapat ditolak keputusannya.”

Para jamaah menjawab, “Benarlah apa yang engkau katakan itu dan tangguhkanlah untuk kami bulan Muharam ke bulan Safar.” Lalu pemimpin itu menghalalkan bagi mereka bulan Muharam dan mengharamkan bulan Safar, dan menamakan bulan Muharam itu dengan nama lain yaitu Nasi’ah.

Demikianlah watak orang musyrik, karena didorong oleh keinginan dan hawa nafsu, mereka berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan telah berani pula mengharamkan apa yang dihalalkan, karena mereka telah dipengaruhi nafsu setan, dan tentu saja orang yang berwatak itu tidak akan mendapat petunjuk dari Allah.


Baca Juga : Mengapa Empat Bulan Ini Disebut Bulan Haram? Simak Penjelasannya


Ayat 38

Pada tahun ke-9 Hijri, Nabi Muhammad saw memerintahkan kaum Muslimin agar bersiap-siap menghadapi serangan orang-orang Nasrani di Tabuk, suatu tempat yang terletak antara Medinah dengan Damaskus, lebih kurang 610 km dari Medinah dan 692 km dari Damaskus.

Pada saat sekarang berada di wilayah Kerajaan Saudi Arabia, daerah perbatasan dengan Yordania.

Perintah persiapan ini didasarkan atas berita yang sampai kepada kaum Muslimin dari kaum Nibti yang membawa dagangan minyak negeri Syam.

Bahwa bangsa Romawi bersama kaum Nasrani Arab yang terdiri dari kaum Lakhm, Judham dan lain-lain yang jumlahnya kira-kira 40 ribu orang, lengkap dengan persenjataan dan perbekalan serta dipimpin seorang panglima besar bernama Qubaz telah siap untuk menyerbu kota Medinah, memerangi kaum Muslimin.

Barisan perintis mereka sudah sampai di perbatasan yang bernama Baqlas. Merupakan kebiasaan Nabi Muhammad saw apabila akan menghadapi perang, demi kemaslahatan ia merahasiakan hal-hal yang berhubungan dengan peperangan.

Tetapi kali ini Nabi Muhammad saw secara terbuka memberi tahu kaum Muslimin tentang keadaan yang serba sulit dan susah, serta kekurangan, jauhnya jarak yang ditempuh, dan jumlah bala tentara dan kekuatan musuh yang akan dihadapi, agar mereka benar-benar mengadakan persiapan yang mantap.

 Kaum Muslimin yang imannya teguh, kuat membaja, tanpa memikir keadaan yang serba sulit serta menyedihkan, bersiap-siap menunggu komando pemberangkatan.

Para dermawan tidak segan-segan menyumbang-kan kekayaannya untuk kepentingan jihad fisabilillah. Utsman bin Affan menyumbang 10.000 dinar, 300 unta, lengkap dengan persenjataannya dan 50 kuda.

Abu Bakar as-Siddiq menyumbangkan semua kekayaannya yaitu 4.000 dirham. Nabi Muhammad saw bertanya, “Apakah masih ada sesuatu yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Beliau menjawab, “Yang saya tinggalkan untuk keluargaku ialah Allah dan Rasul-Nya.” Umar bin Khathab menyumbang seperdua dari harta kekayaannya.

Ashim bin ‘Adi menyumbangkan 70 wasaq kurma (satu wasaq = 60 gantang, 150 liter). Kaum ibu juga tidak mau ketinggalan: perhiasan emas mereka berupa gelang, anting-anting, kalung, dan lain sebagainya, disumbangkan dengan penuh keikhlasan demi suksesnya perjuangan kaum Muslimin.

Setelah segala sesuatunya dianggap siap, berangkatlah Nabi Muhammad saw memimpin sebuah ekspedisi bersama 30.000 orang menuju Tabuk. Muhammad bin Maslamah ditunjuk oleh Rasulullah saw untuk mengurus kota Medinah dan beliau mempercayakan kepada Ali bin Abi Thalib mengurus rumah tangganya.

Di samping itu ada beberapa tentara Muslimin yang bermalas-malasan dan enggan ikut serta pergi ke Tabuk dengan dalih antara lain, bahwa belum lama mereka kembali dari Perang Hunain dan Thaif.

Juga pada waktu itu musim panas sedang sangat teriknya, musim paceklik, sukar memperoleh kebutuhan sehari-hari seperti makanan dan lain sebagainya.

Karena sulitnya mendapat makanan sebiji kurma dibagikan untuk makanan dua orang, sedang pada waktu itu buah-buahan di Medinah seperti kurma sudah mulai masak, dan tak lama lagi bisa dipetik.

Ayat ini mencela dan mengutuk perbuatan orang-orang yang enggan berperang meskipun situasi memang sangat sulit. Dari kejadian ini dapat diketahui dengan jelas, siapa di antara kaum Muslimin yang benar-benar beriman, dan siapa di antara mereka yang munafik, yang hanya pura-pura beriman.

Salah satu tanda bahwa iman seseorang itu benar ialah dia rela mengorbankan harta dan kalau perlu jiwanya untuk jihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah swt:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الصّٰدِقُوْنَ   ١٥

Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (al-Hujurat/49: 15)

Sedangkan orang-orang munafik yang hanya pura-pura beriman, lebih mengutamakan kesenangan hidup di dunia daripada kebahagiaan di akhirat kelak yang sifatnya kekal abadi. Padahal kesenangan di dunia bagaimanapun hebatnya tidaklah mempunyai arti apa-apa jika dibandingkan dengan kebahagiaan di akhirat. Sabda Rasulullah saw:

واللهِ مَا الدُّنْيَا فِى اْلاٰخِرَةِ اِلاَّ كَمَا يَجْعَلُ أَحَدُكُُمْ أُصْبُعَهُ فِى الْيَمِّ ثُمَّ رَفَعَهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ (رواه مسلم وأحمد والترمذي عن المسور)

Demi Allah tiadalah dunia ini (jika dibandingkan) dengan akhirat kecuali (hanya) seperti salah seorang kamu yang mencelupkan jarinya ke dalam laut, kemudian diangkatnya. Maka lihatlah apa yang hanya terbawa oleh jarinya. (Riwayat Muslim, Ahmad dan at-Tirmizi dari al-Miswar)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 39-40


Mengenal Tipologi Penafsiran Al-Qur’an dalam Pandangan Aksin Wijaya

0
Aksin Wijaya
Aksin Wijaya

Salah satu pemikir progresif Indonesia yang aktif menyampaikan gagasannya, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan adalah Aksin Wijaya. Ia mengemukakan tiga tipologi penafsiran Al-Qur’an berdasarkan pada data penafsiran. Tiga model tersebut adalah tafsir tahlili, tafsir maudhui, dan tafsir nuzuli.

Paparan mengenai tiga tipologi tersebut penulis peroleh dari diskusi yang disampaikan oleh Aksin Wijaya yang berjudul “Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah” yang diadakan serta dipublikasikan oleh International Qur’anic Studies Association (IQSA) bekerja sama dengan Asosiasi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia, Rabu, 04 November 2020, pukul 20.00-21.00 WIB. Di sini, tiga tipologi tersebut penting diangkat terutama dalam kaitannya melihat interaksi penafsir dan Al-Qur’an.

Mengenal Aksin Wijaya dan Tipologi Tafsir Al-Qur’an

Aksin Wijaya, lahir 01 Juli 1974 di Sumenep-Madura, merupakan sarjana yang sejak kecil hingga saat ini sangat akrab dengan dunia pesantren, tafsir, studi Islam, dan lainnya. Pendidikan S1 berfokus pada hukum di Universitas Islam Jember (1996-2001), dan Ahwal Syakhrsyiah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jember (1997-2001), pendidikan S2 berfokus pada Filsafat Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002-2004), dan pendidikan S3 juga di UIN Sunan Kalijaga (2004-2008).

Saat ini ia aktif mengajar di Pascasarjana IAIN Ponorogo Pascasarjana STAIN Kediri. Selain itu, beberapa jabatan penting pernah didudukunya seperti Kepala P3M di STAIN Ponorogo (2015-2016), hingga Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo (2017-sekarang). Di tengah-tengah kesibukannya, Aksin Wijaya terbilang sarjana yang sangat produktif menghasilkan karya tulis, terutama terkait kajian Al-Qur’an. Di antara karyanya yang terkenal adalah (1) Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan (2) Arab Baru Studi Al-Qur’an, (3) Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, dan lainnya.

Dari berbagai karya tersebut, kajian tentang tipologi tafsir Al-Qur’an ditemukan dalam buku Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah, yang ia sampaikan dalam forum IQSA dan AIAT, sebagaimana telah dibahas terdahulu. Sebelum mendiskusikan Sejarah Kenabian veris Izzat Darwazah, Aksin Wijaya terlebih dahulu memaparkan tafsir tahlili, tafsir maudhui, dan tafsir nuzuli dalam sebagai pengantar diskusi tafsir nuzuli yang digunakan untuk membaca Sejarah Kenabian tersebut.

Dalam pemaparannya, ia mengakui bahwa tipologi yang ia tawarkan berangkat dari tipologi yang ditawarkan oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr dalam bukunya Madrasatul Qur’aniyyah (2013). Di dalam buku tersebut, Baqir Ash-Shadr menawarkan dua tipologi penafsiran Al-Qur’an, yaitu tafsir tajzini dan tafsir maudhui. Adapun tafsir tajzini oleh Aksin Wijaya disebut lebih dikenal dengan nama tafsir tahlili oleh sarjana Indonesia.

Mengenai tafsir tahlili, ia mengatakan bahwa adanya tafsir tahlili didasari asumsi bahwa pesan Ilahi telah termuat di dalam mushaf. Ini mengindikasikan bahwa manusia  sebagai penafsir bersifat Pasif, yang tidak dapat menentukan makna Al-Qur’an melainkan hanya menyingkap makna yang sudah ada dalam Al-Qur’an. Upaya menyingkap makna dan kandungan Al-Qur’an ini dilakukan dengan mengacu pada urutan bacaan Al-Qur’an berbasis mushafi: dari surah Al-Fatihah hingga surah Al-Nas.

Mengenai tafsir maudhu’i, Aksin Wijaya mengatakan bahwa adanya tafsir maudhu’i didasari asumsi bahwa pesan Ilahi termuat pada interaksi atau dialog teks (Al-Qur’an) dengan konteks penafsir, sehingga posisi penafsir selalu bersifat aktif. Sehingga penafsir memulai interaksinya dengan teks Al-Qur’an dengan terlebih dahulu memerhatikan (baca: mencari kasus) yang penafsir sedang hadapi.

Mengenai tafsir nuzuli, Aksin Wijaya mengatakan bahwa adanya tafsir nuzuli muncul sebagai upaya memahami Al-Qur’an dengan kembali ke konteks pewahyuannya. Sehingga, ketika penafsir hendak memahami Al-Qur’an berdasarkan konteksnya, maka ia terlebih dahulu diminta untuk kembali dan memahami konteks pewahyuan Al-Qur’an. Di sinilah, tafsir nuzuli dipahami penafsiran Al-Qur’an berbasis nuzuli­-nya: urutan Al-Qur’an berdasarkan proses pewahyuannya, mulai dari QS. Al-Alaq: 1-5, hingga seterusnya.

Tafsir Nuzuli: Upaya Aksin Wijaya Merangkul Tipologi Tafsir Lainnya

Di antara tiga tipologi tafsir Al-Qur’an di atas, Aksin Wijaya memberi kritikan terhadap dua tipologi terdahulu. Aksin Wijaya, dengan merujuk pendapat Baqir Ash-Shadur, mengatakan bahwa model tafsir tahlili bermuara ‘dari teks ke teks’. Dalam artian, ketika penafsir tidak memahami sebuah ungkapan Al-Qur’an, maka ia mencari pemahaman ayat tersebut pada ayat lainnya.

Dalam konteks ini, Aksin Wijaya menilai tipologi yang ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh yang mengatakan Al-Ibrah bi Umum Al-Lafdz, yang menghasilkan kebenaran tekstual. Tetapi, menurut Aksin Wijaya, tafsir tahlili ini cenderung mengabaikan peran penting konteks pewahyuan dan konteks penafsirnya.

Adapun mengenai tafsir maudhu’i, Aksin Wijaya, dengan merujuk pendapat Baqir Ash-Shadr, mengatakan bahwa model tafsir ini bermuara ‘dari konteks ke teks’. Dalam konteks ini, Aksin Wijaya menilai tipologi ini sejalan dengan kaidah ushul fiqh yang mengatakan Al-Hukmu Yaduru ma’a Illatihi, yang menghasilkan kebenaran kontekstual.

Tetapi, menurutnya, tafsir maudhui ini cenderung mengabaikan pesan teks dan konteks pewahyuan sekaligus, atau dikenal dekontekstualisasi. Sehingga, yang muncul dari tafsir maudhui ini adalah apa yang diinginkan oleh penafsir. Berangkat dari berbagai kritikannya tersebut, Aksin Wijaya tafsir nuzuli yang cocok digunakan dalam memahami Al-Qur’an.

Di dalam tawarannya tersebut, ia tidak lepas diri dari dua tipologi sebelumnya, bahkan Aksin Wijaya memasukkan keduanya ke dalam tafsir nuzuli. Dalam hal ini, Aksin Wijaya menyebutnya sebagai tafsir nuzuli tahlili, dan tafsir nuzuli maudhu’i.

Di sini, tafsir nuzuli tahlili dapat dipahami sebagai memahami Al-Qur’an berdasarkan susunan mushafi tetapi melibatkan konteks pewahyuan dan konteks penafsir secara bersamaan. Sementara tafsir nuzuli maudhu’i dapat dipahami sebagai memahami Al-Qur’an berdasarkan tematik ayat atau surah dengan memerhatikan konteks pewahyuan dan penafsirnya.

Di sini, terlihat upaya ‘mendamaikan’ tipologi yang sudah ada, sebagaimana yang ditawarkan Baqir Ash-Shadur. Sehingga, secara tidak langsung ia sebenarnya mengakui dan menyetujui adanya tafsir tahlili dan tafsir maudhu’i dengan catatan adanya perhatian pada nuzuli Al-Qur’an.

Sampai di sini, penggunaan tafsir nuzuli dalam memahami Al-Qur’an dapat dipahami sebagai upaya mengarahkan penafsir Al-Qur’an untuk lebih menyadari dua sisi Al-Qur’an: (1) fakta proses turunnya (nuzuli) Al-Qur’an yang memiliki wacana pemahaman Al-Qur’an tersendiri, selain fakta susunan Al-Qur’an yang ditemui dalam bentuk mushafi. (2) penafsiran Al-Qur’an berbasis tafsir nuzuli mengantarkan penafsir kembali ke konteks awal Al-Qur’an sekaligus konteks yang dihadapinya sebagai penafsir. [] Wallahu A’lam.

Mengenal Kitab Asas al-Ta’wil: Kitab Tafsir Yang Disusun Berdasarkan Teologi al-Sab’iyah

0
Kitab Asas al-Ta'wil
Kitab Asas al-Ta'wil

Kitab tafsir yang berjudul Asas al-Ta’wil merupakan karya dari seorang ulama Syi’ah Ismailiyah yang bernama al-Qadi Abu Hanifah al-Nu’man ibn Muhammad ibn Mansur ibn Ahmad ibn Hayyun al-Tamimi al-Maghribi. Secara historis, penafsiran Al-Qur’an yang bercorak syi’i sudah muncul pada abad ke-3 Islam.

Abdullah Saeed dalam Pengantar Studi al-Qur’an menjelaskan bahwa basis utama dari penafsiran golongan syiah adalah akal dan keyakinan teologis mereka. Salah satu dari keyakinan teologis kelompok syi’ah adalah berkenaan dengan kepercayaan mereka terhadap para imam yang berasal dari keturunan Nabi Muhammad (ahl al-bait) sebagai representasi dari pemegang otoritas keagamaan.

Secara struktural, kelompok syi’ah mempercayai bahwa pemegang otoritas keagamaan pasca wafatnya Nabi adalah Ali ibn Abi Talib sebagai Imam pertama. Kemudian dilanjutkan oleh Imam Hasan, Imam Husain, Imam Ali Zain al-Abidin, Imam Muhammad al-Baqir, Imam Ja’far al-Sadiq, Imam Musa al-Kazim, Imam Ali al-Rida, Imam Muhammad al-Taqi, Imam Ali al-Hadi, Imam Hasan al-Askari, dan ditutup oleh Imam Muhammad al-Mahdi sebagai imam syiah yang kedua belas.

Dalam hal ini, al-Nu’man ibn Hayyun merupakan penganut Syiah Ismailiyah karena mempercayai Isma’il ibn Ja’far al-Shadiq sebagai penerus Imam Ja’far al-Sadiq dan imam syiah yang ketujuh. Penganut Syi’ah Ismailiyah ini mengakui adanya makna eksoterik (zahir) dan makna esoteris (batin) dalam sebuah ayat. Namun, mereka lebih cenderung menggunakan pemahaman esoteris dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.

Baca Juga: Mengenal Nu’man ibn Hayyun, Hakim Agung Daulah Fatimiyah Pengarang Asas al-Ta’wil

Abdullah Saeed menyebut bahwa salah satu karekteristik penafsiran kelompok Syi’ah Ismailiyah adalah banyaknya pengaruh ajaran teologis mereka dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Bahkan, Muhammad ibn Rizq Tarhuni dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun fi Gharb Afriqiya menyampaikan bahwa kelompok Syiah Ismaiiliyah ini ketika mereka berinteraksi dengan Al-Qur’an, mereka menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan hawa nafsu mereka (yata’awwaluna hasaba ahwaihim).

Dalam tradisi interpretasi Al-Qur’an Syiah Ismailiyah, istilah ta’wil lebih populer dan banyak digunakan ketimbang istilah tafsir. Namun, sedikit berbeda dengan pemahaman umum tentang ta’wil. Istilah ta’wil menurut golongan Syiah Ismailiyah hanya terbatas pada pandangan kelompok mereka sendiri, sebagaimana disampaikan Arif Tamir selaku muh{aqqiq kitab tafsir Asas al-Ta’wil berikut:

التَّأْوِيْلُ هُوَ بَاطِنُ الْمَعْنَى أَوْ رَمْزُهُ أَوْ جَوْهَرُهُ، وَهُوَ حَقِيْقَةٌ مُسْتَتِرَّةٌ وَرَاءِ لَفْظَةٍ لَا تَدُلُّ عَلَيْهَا، وَمَا سُمِّيَ التَّأْوِيْلُ عِنْدَ الْإِسْمَاعِلِيَّةِ مَقْصُوْرٌ عَلَى أَئِمَّتِهِمْ دُوْنَ غَيْرِهِم

“Ta’wil merupakan hakikat terdalam, isyarat, ataupun esensi dari suatu makna. Hal tersebut merupakan sebuah hakikat yang tersembunyi di belakang sebuah teks yang tidak dapat diketahui secara literal. Adapun yang dinamakan ta’wi>l dalam konsep Syiah Ismaiiliyah hanya terbatas menurut pandangan para imam mereka dan mengabaikan pendapat selain kelompok mereka”

Arif Tamir juga menyebutkan bahwa kegiatan pentakwilan ayat Al-Qur’an tersebut sudah menjadi sebuah kekhususan yang diberikan kepada para Imam Syiah Ismailiyah, sebagaimana dalam kutipan berikut:

“Sesungguhnya ta’wil merupakan bagian dari ilmu-ilmu yang dikhususkan bagi para imam penganut Syi’ah Ismailiyah dan mereka itu disebut sebagai aliran Batiniyah. Mereka menjadikan Nabi Muhammad sebagai pemegang wahyu Al-Qur’an (sahib al-tanzil) sebagaimana pendapat kami. Dan mereka menjadikan Ali sebagai pemegang otoritas ta’wil (sahib al-ta’wil), yakni sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad beserta lafaz dan makna dzahirnya bagi umumnya manusia. Adapun rahasia-rahasia Al-Qur’an yang bersifat al-ta’wiliyah al-batiniyah, hal tersebut hanya dikhususkan bagi Ali dan para imam setelahnya”

Baca Juga: Sayyid Muhammad Husain Al-Thabathaba’i: Arsitek Tafsir Al-Mizan

Karakteristik kitab Asas Al-Ta’wil

Kitab tafsir karya Nu’man ibn Hayyun ini tidak menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an secara keseluruhan. Namun, hanya mengkaji beberapa ayat yang memiliki kesesuaian dengan pandangan mazhab yang diikuti Nu’man ibn Hayyun. Husain al-Dzahabi dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun menjelaskan bahwa salah satu karakteristik dari ajaran Syiah Ismailiyah yaitu menggunakan pemahaman teologi al-Sab’iyah.

Teologi al-Sab’iyah adalah sebuah pandangan yang beranggapan bahwa para juru dakwah atau Nabi (al-nutaqa’) dalam mendakwahkan ajaran Allah didasarkan pada tujuh syari’at, yaitu syari’at Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, dan Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar. Dalam setiap pergantian antara satu nathiq dengan nathiq lainya terdapat tujuh imam yang bertugas sebagai penyempurna syari’at, sebelum munculnya pengganti nathiq sebelumnya.

Oleh karena itu, dalam proses penyusunanya, kitab tafsir Asas al-Ta’wil yang memiliki tebal 416 halaman tersebut disusun tidak berdasarkan tartib mushafi maupun tartib nuzuli. Namun lebih menggunakan tartib al-sab’iyah yang diimplementasikan dalam enam fase pembahasan.

Fase pertama (halaman 33-75), penjelasan mengenai kisah nathiq yang pertama yaitu Nabi Adam dan sedikit penjelasan mengenai kisah Nabi Idris. Fase kedua (halaman 76-106), penjelasan mengenai kisah Nabi Nuh sebagai nathiq kedua beserta sedikit pembahasan kisah Nabi Hud dan Nabi Shalih. Fase ketiga (halaman 107-178), pembahasan tentang kisah Nabi Ibrahim sebagai nathiq ketiga beserta pembahasan kisah Nabi Ismail, Nabi Ishaq, Nabi Ya’qub, Nabi Yusuf dan Nabi Ayyub.

Fase keempat (halaman 179-298), pengkajian terhadap kisah Nabi Musa sebagai nathiq keempat beserta sedikit pengkajian kisah Nabi Harun, Thalut, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Yunus, Imran, Nabi Zakariya, dan Nabi Yahya. Fase kelima (299-314), pembahasan mengenai kisah Nabi Isa sebagai nathiq kelima. Fase keenam (315-368), penjelasan kisah dari Nabi Muhammad sebagai nathiq yang keenam. Sebetulnya kurang satu fase pembahasan, yaitu fase Muhammad al-Mahdi al-Muntazhar. Menurut Arif Tamir, kealpaan pembahasan fase terakhir tersebut dikarenakan belum datangnya Imam al-Mahdi ke dunia sehingga sulit untuk menjelaskanya.

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 43-44: Kuasa Allah Swt dan Bahtera Nabi Nuh As

Dalam memberikan contoh interpretasi atau penakwilan, Nu’man ibn Hayyun, penulis mengambil salah satu kajian pembahasannya dalam menjelaskan QS. Hud [11] ayat 38:

وَيَصْنَعُ الْفُلْكَۗ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَاٌ مِّنْ قَوْمِهٖ سَخِرُوْا مِنْهُ ۗقَالَ اِنْ تَسْخَرُوْا مِنَّا فَاِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُوْنَۗ – ٣٨

“Dan mulailah dia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, “Jika kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami)”

Dalam menjelaskan ayat tersebut, Nu’man ibn Hayyun menguraikan berbagai komponen dari kapal. Menurutnya komponen dasar pembentuk kapal ada empat, yaitu: kayu dan besi sebagai bahan pokok, keduanya ini menjadi perumpamaan utama sebagaimana akal dan jiwa sebagai komponen ketiga dan keempat. Dua komponen terakhir ini juga bisa diumpamakan sebagai al-qalam wa al-lauh, serta al-sabiq wa al-taliy. Dalam konsep Syiah Ismailiyah, dua komponen terakhir tersebut disebut sebagai al-natiq wa al-imam.

Kapal juga dapat melaju di atas permukaan air dan berlabuh dengan adanya tujuh komponen yakni: dua orang yang menjadi kendali, tiang-tiang penopang yang berada di tengah kapal, balok di ujung kapal, layar kapal yang ketika tertiup angin, tali dengan sebutan “haujal” yang menjadi pegangan ketika berlabuh dan terakhir tali kapal. Setelah menjelaskan hal tersebut, Nu’man ibn Hayyun kemudian mengumpamakan tujuh komponen tersebut sebagai tujuh nathiq dan tujuh imam sebagaimana dalam kutipan berikut:

  وَهَذِهِ  السَّبْعَةُ هِيَ أَمْثَالُ السَّبْعَةِ النُّطَقَاءِ، وَالسَّبْعَةِ الْأَئِمَّةِ بَيْنَ كُلِّ نَاطِقٍ وَنَاطِقٍ، وَكَذَلِكَ لَهَا اِثْنَى عَشَرَ لَوْحًا مِنَ الْخَشَبِ وَهُمْ مَثَلُ اللَّوَاحِقِ الْإِثْنَى عَشَرَ

“Ketujuh komponen ini sama seperti jumlah nathiq dan tujuh imam yang menjadi pemisah antara satu nathiq dengan nathiq yang lainya. Begitu juga kapal memiliki dua belas komponen yang terbuat dari kayu yang menjadi ilustrasi dari dua belas lahiq

Mohammad Husen dalam Theologi Kebatinan Nu’man ibn Hayyun Dalam Penafsiran Safinah dan Fulk Pada Kitab Asas Al-Ta’wil (Analisis Hermeneutika Hans Georg Gadamer) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan lahiq dalam konsep Syiah Ismailiyah adalah orang yang berfungsi sebagai pendakwah yang bertanggung jawab atas urusan semua Jazirah.

Tidak hanya itu, dalam banyak tempat, Nu’man ibn Hayyun senantiasa memasukkan infiltrasi konsep imamah dalam menjelaskan suatu ayat Al-Qur’an. Misalnya dalam menginterpretasikan QS. al-Waqi’ah [56] ayat 79. Ia menakwilkan bahwa yang dimaksud dalam term al-muthahharun adalah orang-orang yang suci berupa para Imam Syiah yang merupakan keturunan dari Nabi Muhammad. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Nu’man ibn Hayyun sangat dipengaruhi oleh konsep teologis dalam memahami sebuah ayat Al-Qur’an. Wallahu A’lam

Kritik Angelika Neuwirth Terhadap Sarjana Barat dan Muslim dalam Bidang Studi Al-Qur’an

0
Angelika Neuwirth
Angelika Neuwirth

Pada artikel sebelumnya, Angelika Neuwirth dan Pembacaan Pre-Canonical Qur’an, kita telah berkenalan secara singkat dengan Angelika Neuwirth dan pemikirannya. Pada artikel ini akan dibahas mengenai kritik Angelika Neuwirth terhadap sarjana barat dan muslim dalam bidang studi Al-Qur’an. Selain itu juga dijelaskan tentang bagaimana seharusnya kajian Al-Qur’an dilakukan oleh para sarjana.

Dalam artikel “Orientalism in Oriental Studies? Qur’anic Studies as a Case in Point, Angelika Neuwirth menerangkan bagaimana seharusnya kajian Al-Qur’an dilakukan. Ada dua hal yang mesti ditekankan di sini, yaitu: Pertama, tujuan kajian Al-Qur’an bukanlah untuk mencari pemahaman yang benar dan salah, tetapi untuk membaca teks Al-Qur’an sebagai sarana penghubung yang menggambarkan proses komunikasi.

Kedua, seharusnya kajian Al-Qur’an dilakukan secara obyektif. Dalam konteks ini, seorang peneliti harus bersikap seobyektif mungkin dan tidak memaksakan aturan yang dapat mencederai teks. Ia juga tidak boleh dipengaruhi oleh basis ideologi, sosial dan politik. Hal ini mungkin sulit dilakukan secara seratus persen, namun seorang peneliti wajib mengupayakannya.

Penekanan tentang bagaimana seharusnya kajian Al-Qur’an dilakukan di atas didasarkan pada resepsi kritis Angelika Neuwirth terhadap studi Al-Qur’an yang selama ini berlangsung. Melalui hal tersebut, kita dapat melihat kritik Angelika Neuwirth terhadap sarjana barat dan muslim dalam bidang studi Al-Qur’an beserta apresiasi-apresiasinya.

Dalam perjalanan akademinya – terutama kajian Al-Qur’an – Angelika Neuwirth banyak bersinggungan dengan pemikiran orientalis-orientalis pengkaji Al-Qur’an seperti Abraham Geiger (orientalis pertama yang melakukan analisis filologi secara murni), Hartwig Hirschfeld, Josef Horovitz dan Heinrich Speyer. Secara tegas ia memberikan apresiasi kepada mereka karena telah memperkenalkan kajian intertekstual.

Selain itu, Angelika Neuwirth juga memberikan apresiasi terhadap Theodor Noldeke yang menjadi orang pertama dalam menganalisis Al-Qur’an secara historis-kronologis melalui kajian arkeologi tekstual. Kajiannya ini di kemudian hari memotivasi para sarjana muslim – seperti Nasr Hamid Abu Zayd – untuk melakukan analisis historis secara serius terhadap Al-Qur’an.

Namun patut diketahui, apresiasi Angelika Neuwirth terhadap mereka juga dibarengi dengan catatan kritis. Misalnya, ia mengkritik Geiger yang menimpulkan Al-Qur’an adalah produk Muhammad. Menurut Neuwirth, hal ini menegasikan beberapa fakta, yakni: kompleksitas tradisi yang mengiringi kelahiran Al-Qur’an dan teks Al-Qur’an menyatakan adanya proses komunikasi antara entitas yang terlibat.

Dalam kesempatan lain, Angelika Neuwirth turut melayangkan kritik kepada Noldeke. Menurutnya, Noldeke memiliki keterbatasan metode yang digunakan dalam menganalisis Al-Qur’an secara historis. Ia menegaskan Noldeke dan pengikutnya belum sampai pada kesadaran bahwa teks Al-Qur’an pra-kanonisasi adalah proses komunikasi. Aspek inilah yang nanti menjadi fokus kajian Neuwirth.

Selain Geiger dan Noldeke, kritiknya juga tertuju pada sarjana barat yang lain seperti Gunther Luling, Christoph Luxenberg, Patricia Crone dan Michael Cook. Secara umum kritiknya ini berpusat pada ketidaksadaran sarjana terhadap sisi oral pre-history dari Al-Qur’an, kecenderungan para sarjana barat dan pentingnya pemahaman posisi Al-Qur’an bagi umat Islam (Qur’an and History).

Kendati demikian, Angelika Neuwirth tidak menyatakan bahwa kajiannya terhadap Al-Qur’an melalui pendekatan kritik sastra dan historis adalah cara terbaik dalam memahami Al-Qur’an dan konteksnya. Dia juga tidak beranggapan bahwa apa yang selama ini dilakukan oleh sarjana lain, baik sarjana barat maupun muslim, selama 14 abad terakhir adalah suatu kesalahan.

Kritik Angelika Neuwirth Terhadap Sarjana Muslim dalam Studi Al-Qur’an

Selain melakukan kritik terhadap sarjana barat, Angelika Neuwirth juga melontarkan kritik kepada sarjana muslim dalam bidang studi Al-Qur’an. Poin utama yang ia kritik – sebagaimana disebutkan oleh Lien Iffah Naf’atu Fina – adalah peletakan status sakralitas Al-Qur’an yang “beyond history” (melampaui sejarah). Akibatnya, Al-Qur’an menjadi teks yang tak terjamah (The Invisible Text).

Pandangan semacam ini juga menyebabkan Al-Qur’an sulit untuk didekati secara mendalam sebagaimana teks-teks lainnya. Alhasil, penafsiran Al-Qur’an alih-alih berkembang, malah tertinggal jika dibandingkan dengan penafsiran Bibel. Menurut Neuwirth, para sarjana muslim lebih sering terpaku pada penafsiran yang sudah ada dalam tafsir-tafsir klasik (Orientalism in Oriental Studies?).

Atas dasar permasalahan di atas, Angelika Neuwirth mencoba mendekonstruksi mitos asal-usul teks yang transenden. Ia kemudian membandingkan antara tradisi sarjana Al-Qur’an dengan studi Bibel secara terbuka dan progresif. Melalui hal tersebut, ia mengharapkan adanya keterbukaan terhadap tradisi lain guna memungkinkan pencarian jejak-jejak komunikasi antara Al-Qur’an dan Bibel.

 Pada langkah terakhir, Angelika Neuwirth menawarkan konsep baru tentang teks Al-Qur’an pra-kanonisasi dan pasca-kanonisasi. Baginya, teks Al-Qur’an pra-kanonisasi sangat erat dengan masalah-masalah sosial dan dogmatis yang berkembang pada masyarakat Arab kala itu. Dalam hal ini berarti Al-Qur’an pada mulanya adalah teks yang menyejarah dan lekat dengan konteks pada masanya (Qur’an and History).

Fakta tersebut harus didasari dalam upaya memahami Al-Qur’an secara utuh, komprehensif dan non-parsial. Untuk menemukan jejak-jejak historis Al-Qur’an pra-kanonisasi ini, seorang peneliti dapat melihat kepada teks-teks yang lahir beriringan atau sezaman dengan Al-Qur’an seperti kitab suci Yahudi, Kristen dan syair-syair Arab maupun prosa Persia.

Berdasarkan penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan setidaknya dua aspek, yakni: Kritik Angelika Neuwirth terhadap sarjana barat awal terpusat pada problem kecenderungan mereka dalam mengkaji teks Al-Qur’an dan abai terhadap Al-Qur’an pra-kanonisasi. Sedangkan kritik Angelika Neuwirth terhadap sarjana muslim terpusat pada posisi kesakralan teks Al-Qur’an yang membuatnya melampaui sejarah dan tak tersentuh oleh kemanusiaan. Wallahu a’lam.