Beranda blog Halaman 357

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 35-36

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 35-36 mengecam tingkah para pendeta yang rakus dengan harta, dan tidak mau menginfakkannya. Pelajaran ini juga diperuntukkan bagi kaum Muslimin untuk tidak berperilaku sama seperti para pendeta tersebut.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 33-34


Disisi lain, Tafsir Surah At Taubah Ayat 35-36 juga menjelaskan tentang bulan-bulan dalam Islam. Setidaknya ada 12 bulan yang tercantum dan telah ditetapkan oleh Allah Swt.

Ayat 35

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang mengumpulkan harta dan menyimpannya tanpa sebagian diinfakkan di jalan Allah (dibayarkan zakat), mereka akan dimasukkan ke dalam neraka.

Semua harta itu akan dipanaskan dengan api lalu disetrikakan pada dahi pemiliknya begitu pula lambung dan punggungnya, lalu diucapkan kepadanya, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan dahulu.” Sehubungan dengan ini ada hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

مَا مِنْ رَجُلٍ لاَ يُؤَدِّيْ زَكَاةَ مَالِهِ إِلاَّ جَعَلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَفَائِحَ مِنْ نَارٍ فَيُكْوَى بِهَا جَنْبُهُ وَجَبْهَتُهُ وَظَهْرُهُ (رواه مسلم عن أبي هريرة)

Tidak ada seseorang yang tidak menunaikan zakat hartanya melainkan hartanya itu pada hari Kiamat akan dijadikan kepingan-kepingan api lalu disetrikakan pada lambung, dahi, dan punggungnya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Demikianlah nasib orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mengumpulkan harta dan menumpuknya serta mempergunakan sebagian harta itu untuk menghalangi dari jalan Allah.

Demikian pula nasib seorang muslim yang tidak menunaikan zakat hartanya. Harta itu sendirilah yang akan dijadikan alat penyiksanya.

Bagaimana caranya apakah harta yang mereka peroleh di dunia itu dijadikan kepingan-kepingan api atau sebagai gambaran saja. Allah Yang Maha Mengetahui, karena hal itu termasuk urusan gaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah saja.


Baca Juga : Perintah dan Keutamaan Membantu yang Lemah dalam Al-Quran dan Hadis


Ayat 36

Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah menetapkan jumlah bulan itu dua belas, semenjak Dia menciptakan langit dan bumi.

Yang dimaksud dengan bulan di sini ialah bulan Qamariah karena dengan perhitungan Qamariah itulah Allah menetapkan waktu untuk mengerjakan ibadah yang fardu dan ibadah yang sunat dan beberapa ketentuan lain.

Maka menunaikan ibadah haji, puasa, ketetapan mengenai ‘iddah wanita  yang diceraikan dan masa menyusui ditentukan dengan bulan Qamariah.

Di antara bulan-bulan yang dua belas itu ada empat bulan yang ditetapkan sebagai bulan haram yaitu bulan Zulkaidah, Zulhijah, Muharam dan Rajab. Keempat bulan itu harus dihormati dan pada waktu itu tidak boleh melakukan peperangan.

Ketetapan ini berlaku pula dalam syariat Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sampai kepada syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Salah satu hikmah diberlakukannya bulan-bulan haram ini, terutama bulan Zulkaidah, Zulhijah, dan Muharam adalah agar pelaksanaan haji di Mekah bisa berlangsung dengan damai. Rentang waktu antara Zulkaidah dan Muharam sudah cukup untuk mengamankan pelaksanaan ibadah haji.

Kalau ada yang melanggar ketentuan ini, maka pelanggaran itu bukanlah karena ketetapan itu sudah berubah, tetapi semata-mata karena menuruti kemauan hawa nafsu sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum musyrikin.

Biasanya orang-orang Arab amat patuh kepada ketetapan ini sehingga apabila seseorang terbunuh, baik saudara atau bapaknya bertemu dengan pembunuhnya pada salah satu bulan haram ini, maka dia tidak berani menuntut balas, karena menghormati bulan haram itu.

Padahal orang Arab sangat terkenal semangatnya untuk menuntut bela dan membalas dendam. Itulah ketetapan yang harus dipenuhi, karena pelanggaran terhadap ketentuan ini sama saja dengan menganiaya diri sendiri, sebab Allah telah memuliakan dan menjadikannya bulan-bulan yang harus dihormati.

Kecuali kalau kita dikhianati atau diserang pada bulan haram itu, maka dalam hal ini wajib mempertahankan diri dan membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Firman Allah:

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيْهِۗ  قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ ۗ وَصَدٌّ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَكُفْرٌۢ بِهٖ وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاِخْرَاجُ اَهْلِهٖ مِنْهُ اَكْبَرُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ وَالْفِتْنَةُ اَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ ۗ وَلَا يَزَالُوْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ حَتّٰى يَرُدُّوْكُمْ عَنْ دِيْنِكُمْ اِنِ اسْتَطَاعُوْا ۗ وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَاُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ ۚ وَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, ”Berperang dalam bulan itu adalah (dosa) besar. Tetapi menghalangi (orang) dari jalan Allah, ingkar kepada-Nya, (menghalangi orang masuk) Masjidilharam, dan mengusir penduduk dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) dalam pandangan Allah. Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Mereka tidak akan berhenti memerangi kamu sampai kamu murtad (keluar) dari agamamu, jika mereka sanggup. Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah/2: 217)

Ayat ini memerintahkan kepada kaum Muslimin agar memerangi kaum musyrikin karena mereka merusak perjanjian yang sudah disepakati dan memerangi kaum Muslimin.

Mereka memerangi kaum Muslimin bukan karena balas dendam, fanatik kesukuan, atau merampas harta benda sebagaimana biasa mereka lakukan pada masa yang lalu terhadap kabilah lain, tetapi maksud utama adalah menghancurkan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dan memadamkan cahayanya.

Maka wajiblah bagi setiap muslim bangun serentak memerangi mereka sampai agama Islam itu tegak dan mereka hancur binasa.

Hendaklah ditanamkan ke dalam dada setiap muslim semangat jihad serta tekad dan keyakinan bahwa mereka pasti menang karena Allah selamanya menolong orang-orang yang bertakwa kepada-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 37-38


Tafsir Surah At-Taubah Ayat 33-34

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 33-34 menerangkan tentang kesempurnaan agama Islam. Sebagai bentuknya adalah diutus nabi Muhammad saw yang dibekali kitab suci Al-Qur’an sebagai petunjuk untuk menjelaskan dan penyempurna kitab-kitab sebelumnya.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 31-32


Dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 33-34 juga dijelaskan bahwa para tokoh agama yang mereka angkat sebelumnya, begitu tamak dengan dunia. Sehingga rela melakukan apapun untuk mendapatkan harta tersebut.

Berikut penjelasan Tafsir Surah At Taubah Ayat 33-34 tekait upaya mereka untuk mendapatkan harta, termasuk dengan cara-cara yang tidak manusiawi.

Ayat 33

Ayat ini menerangkan bahwa sebagai jaminan atas kesempurnaan agama, maka diutuslah seorang rasul yaitu Nabi Muhammad saw dan dibekali sebuah kitab suci yaitu Al-Qur’an yang berisi petunjuk yang menjelaskan segala sesuatunya dan mencakup isi kitab-kitab sebelumnya. Agama Islam telah diridai Allah untuk menjadi agama yang dianut oleh segenap umat manusia. Firman Allah swt:

وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا

Dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. (al-Ma’idah/5: 3)

Agama Islam sesuai dengan segala keadaan dan tempat serta berlaku sepanjang masa sejak disyariatkan sampai akhir zaman.

Oleh karena itu, tidak heran kalau agama Islam mendapat sambutan dari segenap umat manusia dan jumlahnya  bertambah dengan pesat, sehingga dalam waktu yang singkat sudah tersebar ke segala penjuru dunia, menempati tempat yang mulia dan tinggi.

Meskipun orang musyrik tidak senang atas kenyataan itu, bahkan tetap menghalang-halangi dan kalau dapat menghancurkannya, tetapi kodrat iradat Allah juga yang akan berlaku, tak ada suatu kekuatan apa pun yang dapat menghambat dan menghalanginya. Firman Allah:

سُنَّةَ اللّٰهِ الَّتِيْ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ  ۖوَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا

(Demikianlah) hukum Allah, yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan pada hukum Allah itu. (al-Fath/48: 23)


Baca Juga : Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka


Ayat 34

Pada ayat ini diterangkan bahwa kebanyakan pemimpin dan pendeta orang Yahudi dan Nasrani telah dipengaruhi oleh cinta harta dan pangkat.

Oleh karena itu mereka tidak segan-segan menguasai harta orang lain dengan jalan yang tidak benar dan dengan terang-terangan menghalang-halangi manusia beriman kepada agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Sebab kalau mereka membiarkan pengikut mereka membenarkan dan menerima dakwah Islam tentulah mereka tidak dapat bersikap sewenang-wenang terhadap mereka dan akan hilanglah pengaruh dan kedudukan yang mereka nikmati.

Pemimpin-pemimpin dan pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani itu telah melakukan berbagai cara untuk mengambil harta orang lain, diantaranya:

  1. Membangun makam nabi-nabi dan pendeta-pendeta dan mendirikan gereja-gereja yang dinamai dengan namanya. Dengan demikian, mereka dapat hadiah nazar dan wakaf yang dihadiahkan kepada makam dan gereja itu.Kadang-kadang mereka meletakkan gambar-gambar orang suci mereka atau patung-patungnya, lalu gambar, patung itu disembah. Agar permintaan mereka dikabulkan, mereka juga memberikan hadiah uang dan sebagainya.

    Dengan demikian, terkumpullah uang yang banyak dan uang itu dikuasai sepenuhnya oleh pendeta. Ini adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan agama yang dibawa oleh para rasul karena membawa kepada kemusyrikan dan mengambil harta orang dengan memakai nama nabi dan orang-orang suci.

  2. Pendeta Nasrani menerima uang dari jamaahnya sebagai imbalan atas pengampunan dosa yang diperbuatnya.Seseorang yang berdosa dapat diampuni dosanya bila ia datang ke gereja menemui pendeta dan mengakui di hadapannya semua dosa dan maksiat yang dilakukannya. Mereka percaya dengan penuh keyakinan bahwa bila pendeta telah mengampuni dosanya, berarti Tuhan telah mengampuninya karena pendeta adalah wakil Tuhan di bumi.Kepada mereka yang telah memberikan uang tebusan dosa, diberikan kartu pengampunan, seakan-akan kartu itu nanti yang akan diperlihatkan kepada Tuhan di akhirat di hari pembalasan yang menunjukkan bahwa mereka sudah bersih dari segala dosa.
  3. Imbalan memberikan fatwa baik menghalalkan yang haram maupun mengharamkan yang halal sesuai dengan keinginan raja, penguasa dan orang-orang kaya.
    Bila pembesar dan orang kaya itu ingin melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan kebenaran seperti membalas dendam dan bertindak kejam terhadap golongan yang mereka anggap sebagai penghalang bagi terlaksananya keinginan mereka atau mereka anggap sebagai musuh.

    Mereka minta kepada pendeta agar dikeluarkan fatwa yang membolehkan mereka bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang itu, meskipun fatwa itu bertentangan dengan ajaran agama mereka seakan-akan ajaran agama itu dianggap sepi dan seakan-akan kitab Taurat itu hanya lembaran kertas yang boleh diubah-ubah semau mereka. Hal ini sangat dicela oleh Allah dalam firman-Nya:

    قُلْ مَنْ اَنْزَلَ الْكِتٰبَ الَّذِيْ جَاۤءَ بِهٖ مُوْسٰى نُوْرًا وَّهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُوْنَهٗ قَرَاطِيْسَ تُبْدُوْنَهَا وَتُخْفُوْنَ كَثِيْرًاۚ وَعُلِّمْتُمْ مَّا لَمْ تَعْلَمُوْٓا اَنْتُمْ وَلَآ اٰبَاۤؤُكُمْ ۗ

    Katakanlah (Muhammad), ”Siapakah yang menurunkan Kitab (Taurat) yang dibawa Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan Kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu memperlihatkan (sebagiannya) dan banyak yang kamu sembunyikan, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang tidak diketahui, baik olehmu maupun oleh nenek moyangmu.” (al-An’Am/6: 91).

  4. Mengambil harta orang lain yang bukan sebangsa atau seagama dengan melaksanakan kecurangan, pengkhianatan, pencurian, dan sebagainya dengan alasan bahwa Allah mengharamkan penipuan dan pengkhianatan hanya terhadap orang-orang Yahudi saja. Adapun terhadap orang-orang yang tidak sebangsa dan seagama dengan mereka dibolehkan. Hal ini dijelaskan Allah dengan firman-Nya:

    وَمِنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ مَنْ اِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ يُّؤَدِّهٖٓ اِلَيْكَۚ وَمِنْهُمْ مَّنْ اِنْ تَأْمَنْهُ بِدِيْنَارٍ لَّا يُؤَدِّهٖٓ اِلَيْكَ اِلَّا مَا دُمْتَ عَلَيْهِ قَاۤىِٕمًا ۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْا لَيْسَ عَلَيْنَا فِى الْاُمِّيّٖنَ سَبِيْلٌۚ وَيَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

    Dan di antara Ahli Kitab ada yang jika engkau percayakan kepadanya harta yang banyak, niscaya dia mengembalikannya kepadamu. Tetapi ada (pula) di antara mereka yang jika engkau percayakan kepadanya satu dinar, dia tidak mengembalikannya kepadamu, kecuali jika engkau selalu menagihnya. Yang demikian itu disebabkan mereka berkata, ”Tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang buta huruf.” Mereka mengatakan hal yang dusta terhadap Allah, padahal mereka mengetahui. (ali ‘ImrAn/3: 75)

  1. Mengambil rente (riba). Orang-orang Yahudi sangat terkenal dalam hal ini, karena di antara pendeta-pendeta mereka ada yang menghalalkannya meskipun dalam kitab mereka riba itu diharamkan. Ada pula di antara pendeta-pendeta itu yang memfatwakan bahwa mengambil riba dari orang-orang Yahudi adalah halal.Demikian pula pendeta-pendeta Nasrani ada yang menghalalkan sebagian riba meskipun mengharamkan sebagian yang lain.;Demikian cara-cara yang mereka praktekkan dalam mengambil dan menguasai harta orang lain untuk kepentingan diri mereka sendiri dan untuk memuaskan nafsu dan keinginan mereka. Adapun cara-cara mereka menghalangi manusia dari jalan Allah, ialah dengan merusak akidah dan merusak ajaran agama yang murni.

    Orang-orang Yahudi pernah menyembah patung anak sapi, pernah mengatakan Uzair adalah anak Allah, dan sering sekali mereka memutarbalikkan ayat-ayat Allah dan mengubahnya, sesuai dengan keinginan dan hawa nafsu mereka sebagaimana telah dijelaskan pada ayat-ayat yang lalu seperti dalam surah al-Baqarah, Ali ‘Imran, an-Nisa’ dan al-Ma’idah. Mereka secara terang-terangan mengingkari Nabi Musa a.s sebagai nabi, padahal dialah pembawa akidah yang murni yang kemudian dirusak oleh pendeta-pendeta Yahudi.

    Demikian pula orang-orang Nasrani telah menyelewengkan akidah yang dibawa oleh Nabi Isa a.s, sehingga mereka menganggapnya sebagai Tuhan. Oleh karena itu mereka baik kaum Yahudi maupun Nasrani selalu menentang ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, bahkan menghinanya dengan berbagai cara serta menentang dan mendustakan Al-Qur’anul Karim.

    Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk memadamkan cahaya Allah tetapi Allah sudah menetapkan bahwa Dia akan menyempurnakan cahaya itu. Segala usaha dan daya upaya mereka menemui kegagalan tetapi pastilah hanya kehendak Allah-lah yang berlaku dan terlaksana. Allah berfirman:

    يُرِيْدُوْنَ اَنْ يُّطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللّٰهُ اِلَّآ اَنْ يُّتِمَّ نُوْرَهٗ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ

    Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyem-purnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukai. (At-Taubah/9: 32)

    Demikianlah perilaku kebanyakan dari pendeta Yahudi dan Nasrani. Mereka karena sifat serakah dan tamak akan harta benda, mengumpulkan sebanyak-banyaknya dan mempergunakan sebagian dari harta itu untuk menghalangi manusia mengikuti jalan Allah.

Oleh sebab itu, Allah akan melemparkan mereka kelak di akhirat ke dalam neraka dan akan menyiksa mereka dengan azab yang sangat pedih. Mengenai pengumpulan harta ini dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, walaupun ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, tetapi para mufassirn berpendapat bahwa ayat ini mencakup juga kaum Muslimin.

Maka siapa saja yang karena tamak dan serakahnya berusaha mengumpulkan harta kemudian menyimpannya dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka ia diancam Allah akan dimasukkan ke dalam neraka baik dia beragama Yahudi, Nasrani, maupun beragama Islam.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, dan al-Hakim dari  Ibnu ‘Abbas bahwa setelah turun ayat ini, kaum Muslimin merasa keberatan dan berkata, “Kami tidak sampai hati bila kami tidak meninggalkan untuk anak-anak kami barang sedikit dari harta kami.

” Umar berkata, “Saya akan melapangkan hartamu,” lalu beliau pergi bersama Tsauban kepada Nabi dan mengatakan kepadanya, “Hai Nabi Allah, ayat ini amat terasa berat bagi sahabat engkau.”

Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya Allah tidak mewajibkan zakat, melainkan agar harta yang tinggal di tanganmu menjadi bersih. Allah hanya menetapkan hukum warisan terhadap harta yang masih ada sesudah matimu.”

Umar mengucapkan takbir atas penjelasan Rasulullah itu, kemudian Nabi berkata kepada Umar, “Aku akan memberitahukan kepadamu sesuatu yang paling baik untuk dipelihara, yaitu perempuan saleh yang apabila seorang suami memandangnya dia merasa senang, dan apabila disuruh dia mematuhinya dan apabila dia berada di tempat lain perempuan itu menjaga kehormatannya.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 35-36


Perbuatan yang Menyebabkan Istri Menjadi Durhaka: Tafsir Surat At-Tahrim Ayat 10

0
Istri Menjadi Durhaka: Tafsir Surat At-Tahrim Ayat 10
Istri Menjadi Durhaka: Tafsir Surat At-Tahrim Ayat 10

Al-Qur’an merupakan wahyu illahi sekaligus menjadi pedoman umat Islam dalam semua aspek kehidupan manusia. Disamping itu, al-Qur’an juga tidak luput membahas hal-hal yang berkaitan dengan perempuan. Hal ini sungguh terlihat di dalam beberapa kosakata yang digunakan untuk mengungkapkan perempuan, seperti an-Nisa, yang diulang sebanyak 47 kali, Imra’ah, diulang 25 kali,banat, diulang sebanyak 13 kali, dan al-Zawj, azwaj, dan al-Zawaj yang diulang sebanyak 76 kali. Hal tersebut menunjukkan betapa besar apresiasi al-Qur’an melalui syari’at Islam terhadap kaum perempuan. Namun, kali ini tulisan ini akan terfokus membahas tentang perbuatan yang menyebabkan istri menjadi durhaka menurut tafsir surat at-tahrim ayat 10.

Dalam kitab Mu’jam Ma’ani al-Qur’an, Bassam Rusydi membagi karakteristik perempuan menjadi tiga kategori; 1. Al-Mar’ah as-Sholihah, yaitu perempuan yang baik, 2. al-Mar’ah as-Sayyi’ah,yaitu perempuan yang durhaka, 3. al-Mar’ah wa musharokatuha fi al-Ijtima’iyyah, yaitu perempuan yang mempunyai peranan social dalam masyarakat. Dua dari tipikal di atas bisa dijumpai, salah satunya dalam surah al-Tarhim: 10-12. Dalam ayat ini dijelaskan setidaknya ada 4 tokoh perempuan yang harus dijadikan role model dalam kebaikan dan yang tidak layak untuk dijadikan role model khususnya bagi perempuan saat ini.

Baca juga: Menilik Konsep Energi dan Klasifikasinya dalam Al-Quran

Berdasarkan itu penulis tertarik untuk mengkaji dua tipikal perempuan yang disebutkan dalam Q.S. Al-Tahrim: 10-12. Akan tetapi, pada kesempatan ini penulis hanya mengkaji tipikal al-Mar’ah as-Sayyia’ah  terlebih dahulu, untuk tipikal al-Mar’ah as-Shalihah yang akan dikaji di artikel episode selanjutnya.

Istri Nabi Nuh dan Nabi Luth sebagai Role Model Perempuan Durhaka dalam Q.S al-Tahrim [66]: 10

Jika dilihat secara umum, ayat ini berisi tentang peringatan keras bagi orang kafir, bahwasannya istri Nabi sendiri yang tidak beriman kepada Allah tetap akan mendapat siksaan di akhirat nanti dan ditempatkan di neraka. Sedangkan nabi itu sendiri tidak bisa membela keluarganya, sekalipun dia adalah istri seorang Nabi. Adapaun tokoh perempuan yang dimaksud dalam ayat ini adalah istri Nabi Nuh As. dan Nabi Luth As. Keduanya merupakan perempuan yang sama-sama berkhianat terhadap imam dan agamanya serta  tidak mengakui kebenaran risalah kenabian yang dibawa suaminya. Allah pun menjanjikan bagi mereka berdua itu neraka sebagai tempatnya.

Adapun ayat yang menjelaskan perihal tersebut adalah sebagai berikut:

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)”

Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Melaksanakan Rukuk dan Sujud dalam Shalat

Nama istri  Nabi Nuh As. itu ada dua pendapat yang pertama bernama Wali’ah atau juga Wa’ilah dan nama istri Nabi Luth adalah walihah. Adapun perihal kehidupan kedua istri Nabi ini belum diketahui, kecuali hanya nama mereka. Dalam kitab Rijal wa Nisa’ Anzallallahu Fihim Qur’anan, Abdurrahman menjelaskan tentang istri Nabi Luth :

Belum ditemukan dalam sunnah tentang kehidupannya, siapa dia, Namanya siapa, dimana tinggal dan hidupnya serta kapan menikah dengan Nabi Luth apakahsebelum risalah atau setelah risalah, semua pertanyaaan tentang ini masih menyisakan tanda tanya sampai saat ini.

Dalam kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, ibnu Ashur mengemukakan bahwa redaksi “daraballahu mathalan lilladhina kafaru imra’ata Nuh wa imra’ata Lut”, mengingatkan orang-orang kafir bahwa Allah tidak akan berpaling dari ancaman-Nya sehingga mereka tidak bisa beranggapan bahwa mereka akan mendapatkan syafa’at di sisi Allah dan Allah juga tidak akan berpaling dari kemarahan-Nya meskipun posisi mereka di samping rumah-Nya. Serta apapun ikatan baik darah maupun persahabatan terhadap nabi selama ia  tidak melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya, sekalipun yang berusaha menolongnya merupakan seorang nabi dan hamba sholeh.

Ibnu Ashur menambahkan yang dimaksud dengan “abdaini” dari potongan ayat “kanataa tahta ‘abdaini min ‘ibadinas salihin” adalah Nabi Nuh dan Nabi Luth As., dan khusus mensifati keduanya dengan kesalehan dan bukan dengan sifat kenabian, padahal sifat kenabian lebih tinggi dibanding dengan sifat keshalehan. Ayat ini juga mengandung pelajaran yang ditujukan kepada perempuan-perempuan muslim untuk berbaik-baik terhadap pasangannya selama dia telah memiliki sifat keshalehan. Seadainya dalam al-Qur’an nabi disifati dengan kenabian bukan dengan keshalehan, maka contoh ini tidak berlaku dan tidak relevan lagi karena kenabian telah berakhir dengan meninggalnya Nabi Muhammad Saw.

Baca juga: Memahami Kemunculan dan Ragam Metode Tafsir Kontekstual

Tipologi Istri Menjadi Durhaka dalam Q.S. Al-Tahrim [66]:10

Dua perempuan yang disebutkan dalam ayat 10 ini layak disebut sebagai perempuan durhaka karena beberapa sifat yang terdapat dalam diri mereka berdua, diantaranya:

  1. Melanggar perintah Allah

Bentuk pelanggaran perintah Allah yang dilakukan oleh kedua istri Nabi ini adalah tidak beriman terhadap Allah serta tidak menjalankan perintah-Nya, hingga ia meninggal dalam kekafirannya. Ia tidak mengikuti dakwah yang disampaikan oleh suaminya, sehingga mereka masuk neraka bersama kaum Nabi Nuh dan Luth yang kafir.

  1. Berkhianat terhadap suami

Tipologi yang ini bisa terlihat dari teks ayat “fakhanatahuma”, yang mana keduanya mengkhianati suami mereka. Bentuk penghianatan yang dilakukan oleh istri Nabi Nuh adalah dengan mengatakan kepada banyak orang bahwa suaminya gila. Perbuatan yang dilakukan ini adalah perbuatan yang tidak mencerminkan bentuk ketaatan kepada suami. Sedangkan istri Nabi Luth bentuk pengkhianatannya dengan memberitahukan kedatangan tamu-tamu Nabi Luth dalam hal ini adalah para malaikat kepada kaumnya. Seharusnya seorang istri itu menjaga rahasia suaminya, bukan malah membocorkannya.

Dalam  kehidupan berumah tangga layaknya soerang istri adalah kepercayaan bagi suaminya yang akan menjaga hartanya, anak-anaknya, dan menjaga semua hal apapun yang terjadi dengan suaminya. Istri adalah tempat berbagi cerita bagi suaminya, istri juga akan menjadi penguat baginya di saat ia dalam masalah.

  1. Tidak patuh terhadap Suami

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam redaksi teks ayat di atas, kedua istri Nabi tersebut diketahui tidak menjalankan perintah suaminya, tidak membenarkan risalah kenabiannya dan juga dakwahnya. Padahal sudah menjadi kewajiban bagi seorang perempuan setelah menikah untuk patuh kepada suaminya selama suaminya menyuruhnya kepada kebenaran.

Demikian penjelasan mengenai tipologi al-Mar’ah as-Sayyi’ah dalam Q.S al-Tahrim [66]:10. Untuk penjelasan tipologi al-Mar’ah as-Shalihah akan dijelaskan di artikel berikutnya. Wallahu a’lam bishshowab

Tafsir Surah Yunus Ayat 107-109

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 107-109 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai pengesaan Allah Swt atas kekuasaaNya yang meliputi alam raya dan seisinya. Tidak ada satupun orang yang bisa menginterfensi sedikitpun.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 102-106


Pembicaraan kedua dalam Tafsir Surah Yunus Ayat 107-109 ini adalah perintah kepada Nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan risalahnya kepada umatnya.

Ayat 107

Kemudian Allah dalam ayat ini menegaskan keesaan-Nya dalam memelihara hamba-Nya. Hanya Dialah yang kuasa menghilangkan kesulitan hidup atau kemudaratan yang sedang menimpa hamba-Nya, baik kesulitan karena kekurangan harta ataupun karena terganggunya kesehatan dan perlakuan yang tidak adil dari orang lain.

Segala kesulitan yang menimpa seseorang itu tentu ada sebabnya. Sebab-sebab itu diciptakan Allah sebagai ujian bagi manusia, apakah mereka benar-benar berserah diri kepada Allah atau tidak, dan mereka berada di bawah pengawasan-Nya.

Manusia berkat pengalamannya yang lama dan luas dapat mengetahui sebagian sebab-sebab itu. Misalnya dalam soal kesehatan, menurut pengalaman manusia, bakteri tertentu yang menghinggapi tubuh manusia menjadi sebab bagi penyakit tertentu pula.

Karena itu manusia menjaga dirinya dari bakteri tersebut dan bila dia sudah tercemar oleh bakteri tersebut sehingga sakit, dia akan berusaha mengobati penyakitnya sampai sembuh.

Namun demikian, kesembuhannya bukan merupakan satu kepastian sebagai akibat berobat tersebut, tapi kesembuhan hanya dengan izin Allah.

Demikian pula dalam bidang kehidupan manusia lainnya, seperti bidang sosial, ekonomi dan politik. Bilamana mereka mengalami kesulitan tentu ada sebab-sebabnya dan sebab-sebab itu berada dalam lingkungan mereka sendiri.

Kewajiban manusia adalah mencari sebab sambil berdoa kepada Allah dengan sepenuh hati serta tawakal kepada-Nya. Sesudah menyebutkan tentang kesulitan hidup yang menimpa manusia, Allah menyebutkan pula tentang kenikmatan dan kesenangan yang dialami manusia.

Mengenai kesenangan dan kelapangan hidup ini, Allah menyatakan bahwa jika Dia berkehendak dengan iradat-Nya melimpahkan kenikmatan kepada manusia, maka tak seorangpun yang dapat menghambatnya. Kebahagiaan dan kesenangan itu adalah karunia-Nya kepada hamba-Nya dan menurut iradat-Nya.

Apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi, dan Allah tidak terikat kepada suatu sebab dalam memberikan kesenangan dan kebaikan. Karunia Allah atas hamba-Nya berdasarkan keluasan rahmat-Nya.

Allah Maha Pengampun, mengampuni segala dosa orang-orang yang bertobat, dan dosa orang kafir yang kemudian beriman kepada-Nya sebelum ajal tiba. Allah Maha Pengasih, mengasihi orang-orang beriman dan Dia tidak menyiksanya bila dia bertobat dari dosanya.

Pengampunan dan kasih sayang-Nya meliputi seluruh umat manusia. Karena rahmat-Nya itu pula, maka tidak semua kejahatan di dunia ini dijatuhi siksaan tetapi menundanya sampai waktu tertentu.

Firman Allah:

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوْا مَا تَرَكَ عَلٰى ظَهْرِهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّلٰكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِعِبَادِهٖ بَصِيْرًا

Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)nya, sampai waktu yang sudah ditentukan. Nanti apabila ajal mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya (Fatir/35: 45)


Baca juga: Argumentasi Kekuasaan dan KeEsaan Allah Swt: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 164


Ayat 108

Allah menyuruh Rasul-Nya untuk mengatakan kepada orang-orang kafir sesudah disampaikan kepada mereka bukti-bukti keesaan Allah dan kerasulannya, bahwa kebenaran dari Allah yakni Al-Qur′an yang mendasari agama Islam, telah datang ke hadapan mereka, diturunkan kepada salah seorang di antara mereka sendiri.

Dalam Al-Qur′an itu terdapat penjelasan-penjelasan dan uraian-uraian tentang rasul-rasul zaman dahulu dan dakwah mereka kepada kaumnya. Namun, kaum musyrikin Arab tidak mengetahui riwayat rasul-rasul itu, atau riwayat itu sudah diubah atau diputarbalikkan. Dalam Al-Qur′an terkandung pedoman-pedoman hidup bagi manusia untuk memperoleh kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan akhirat.

Maka barang siapa mengikuti pedoman itu dalam kehidupannya dengan penuh keimanan, manfaatnya akan kembali kepada dirinya sendiri. Dia akan hidup bahagia di dunia dan akhirat.

Demikian pula sebaliknya, barang siapa yang sesat, tidak mempergunakan kebenaran itu (Al-Qur′an) sebagai pedoman hidup, dan tidak mengindahkan tanda-tanda kekuasaan Allah pada dirinya dan pada alam semesta ini, maka akibatnya kesengsaraan batin di dunia dan di akhirat.

Nabi Muhammad saw wajib menyampaikan kebenaran itu kepada manusia. Keputusan terakhir berada pada diri manusia itu sendiri, apakah dia menjadikan Al-Qur’an itu sebagai pegangan hidup atau berpaling darinya.

Beliau bukanlah wakil Tuhan di dunia ini untuk menentukan nasib manusia dan tidak kuasa memaksa seseorang memberi manfaat dan mudarat. Dia hanya pesuruh Allah yang menyampaikan perintah dari Tuhan Rabbul ‘²lamin.

Ayat 109

Allah dalam ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad saw supaya dia tetap mengikuti apa yang diwahyukan kepadanya, dan bekerja menurut wahyu itu dan mengajarkannya kepada umat manusia, walaupun mereka tidak beriman kepadanya.

Rasul saw juga diminta bersabar menghadapi segala macam gangguan dan penghinaan dalam menjalankan tugas tablig dan dakwah itu.

Pada saatnya, keputusan Allah pasti akan datang sebagai hukuman terhadap para musuh agama itu, dan kemenangan atas Rasul dan umatnya sesuai dengan janji Allah kepada orang-orang mukmin.

Allah adalah Hakim yang Maha Adil karena Dia memutuskan dengan alasan yang benar. Rasul saw menaati perintah-perintah ini dan dengan penuh kesabaran menunggu keputusan Allah. Ayat-ayat ini merupakan janji Allah yang menyenangkan Rasul dan orang-orang mukmin.

Saatnya akan datang di mana Rasul dan kaum mukmin memperoleh kemenangan dan kaum musyrikin mengalami kehancuran. Allah mewariskan dunia kepada orang-orang Islam, mereka menjadi penguasa-penguasa di bumi, dengan syarat mereka tetap menegakkan agamanya.

 (Tafsir Kemenag)

Hobi Nge-Prank? Perhatikan Rambu-Rambu Al-Quran Seputar Prank

0
rambu-rambu Al-Quran seputar prank
rambu-rambu Al-Quran seputar prank

Istilah ‘prank’ sudah bukan lagi sesuatu yang langka, apalagi di kalangan muda-mudi penikmat media sosial. Dari semua jenis konten-konten Youtube seperti kajian, majelis dzikir-shalawat, berita dan sebagainya, bisa dikatakan konten prank adalah yang paling sering viral. Bahkan, bagi sebagian content creator, konten prank bisa mendatangkan pundi-pundi rupiah. Jika memang demikian, perhatikan rambu-rambu Al-Quran seputar Al-Quran

Kata prank sendiri adalah serapan dari bahasa Ingris. Dalam KBBI, kata ini memiliki arti gurauan, olok-olok, dan kelakar. Dalam Cambridge Dictionary dan Oxford Learners Dictionaries, prank berarti sebuah trik mencandai seseorang yang bertujuan untuk membuat kesenangan, tapi tidak menyebabkan bahaya atau kerusakan.

Pada praktiknya, prank dilakukan dengan cara menjahili dan mengelabuhi orang lain dengan tujuan bercanda, menghibur, membuat kaget, hingga memberi kejutan. Sebab konten prank melibatkan orang lain, maka harus ditinjau dari kadar maslahah dan mudharatnya; merugikan orang lain, atau tidak. Jenis prank dapat dikenali dari dua hal ini. Selebihnya, sejauh mana kita bisa nge-prank, silahkan simak penjelasan rambu-rambu Al-Quran seputar prank berikut ini!

Baca Juga: Fenomena Ghosting dan Pentingnya Memenuhi Janji: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 92

Tidak Merugikan Orang Lain

Rambu-rambu Al-Quran seputar prank yang pertama yaitu tidak merugikan orang lain, dalam arti mendatangkan hal yang positif. Jenis prank yang bertujuan mengundang tawa dan menghibur orang lain asal tidak ada pihak yang dirugikan itu sah-sah saja. Atau, prank yang didesain untuk membantu orang lain dengan penyamaran agar tidak diketahui identitasnya juga tak masalah. Justru prank yang seperti ini boleh jadi berbuah amal kebaikan karena menghilangkan kesusahan orang lain dan membuatnya bahagia.

Allah Swt. berfirman dalam QS. Al Zalzalah [99]: 7-8:

فَمَنْ يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ  ٧ وَمَنْ يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ  ٨

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”

Dua ayat QS. Al Zalzalah [99] di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak menyepelekan sekecil apapun kebaikan ataupun keburukan yang kita perbuat. Persisnya dua ayat ini berisi kesimpulan untuk memberi motivasi atau dorongan (targhib) agar berbuat kebaikan, sekaligus ancaman (tarhib) agar tidak melakukan kejahatan. Selain itu, Allah Swt. berfirman dalam QS. Al Maidah [5]: 2:

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ  ٢

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kalian kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat berat siksaannya.”

Baca Juga: Termasuk Kebaikan Yaitu Kesalehan Sosial, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 177

Kata Ibnu Ashur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, tolong menolong atau bahu membahu adalah salah satu bentuk kesalehan sosial yang amat terpuji. Ia akan menumbuh-suburkan rasa gembira dan kasih sayang, yang pada gilirannya berbuah keakraban dan keharmonisan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan setiap hamba yang beriman untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan meninggalkan hal-hal yang mungkar.

Dalam Tafsir al-Manar dijelaskan bahwa tolong menolong merupakan salah satu unsur hidayah kolektif dalam Al-Quran. Setiap individu wajib melakukannya. Ia adalah kewajiban dan perintah agama. Sebagian harus menolong sebagian yang lain. Keharusan tolong menolong ini tentu hanya pada hal-hal yang positif yang memberikan manfaat dan maslahah untuk khalayak umum, serta dilarang tolong menolong dalam hal-hal negatif seperti dosa, maksiat, menimbulkan kerusakan dan permusuhan.

Tolong menolong dapat dilakukan dengan banyak cara, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang kita miliki. Mereka para content creator biasa memanfaatkan trik prank untuk memberikan kejutan ketika hendak menolong orang lain karena alasan tertentu.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Nabi Saw. bersabda:

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُوْرٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوْعًا

“Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya.”

Baca Juga: Kriteria Akhlak Mulia dalam Islam dan Empat Sifat Sebagai Pilarnya

Hindari yang Merugikan Orang Lain

Rambu-rambu Al-Quran seputar prank berikutnya adalah hindari prank yang merugikan orang lain. Apa yang sangat disayangkan adalah seringkali kita temukan bentuk prank yang membuat orang merasa jengkel, rugi, bahkan cenderung membahayakan. Jenis prank yang satu ini tentu tidak boleh dilakukan. Selain itu, semua jenis prank dalam bentuk apapun kalau di dalamnya ada unsur SARA itu diralang karena akan menimbulkan keresahan dan memancing permusuhan.

Prank yang ‘berpotensi’ menyakiti orang lain sebaiknya juga tidak dilakukan. Baik menyakitinya sebab ucapan atau perbuatan. Taruhlah seperti prank order fiktif yang bisa membuat driver rugi dan menurunkan ratingnya, atau prank pura-pura memberi kardus berisi sembako, ternyata isinya adalah sampah. Dalam QS. Al Ahzab [33]: 58 disebutkan:

وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ بِغَيۡرِ مَا ٱكۡتَسَبُواْ فَقَدِ ٱحۡتَمَلُواْ بُهۡتَٰنٗا وَإِثۡمٗا مُّبِينٗا  ٥٨

“Dan orang-orang yang menyakiti orang mukin laki-laki dan perempuan tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”

Atau prank dengan mengerjai orang lain lalu ditertawakan ramai-ramai bahkan menjadi bahan olok-olok adalah perbuatan yang tidak dibenarkan oleh Al-Quran. Allah SWT berfiman dalam QS. Al Hujurat [49]: 11:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ  ١١

“Hai orang-orang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sedudah iman, dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”

Seperti halnya ketika Rasulullah Saw. pernah melarang sahabat sewaktu mereka menjahili salah satu di antara mereka yang sedang tertidur. Mereka menggendong sahabat yang tertidur itu dan dibawa ke atas bukit, lalu membangunkannya. Kejadian itu sontak membuat sahabat tadi kaget, sementara yang lain menertawakannya. Melihat semua itu Nabi Saw. lantas bersabda:

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا

“Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.”

Walhasil, semua ini memberikan pelajaran berharga bagi kita untuk lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertindak, Terutama kita yang berprofesi sebagai content creator agar lebih bijak lagi dalam memilih dan memilah bentuk prank yang akan dilakukan, dalam konteks prank tetap harus memperhatikan rambu-rambu Al-Quran seputar prank, jangan sampai kelewat batas kewajaran apalagi tidak manusiawi.

Wallahu a’lam

Tafsir Surah Yunus Ayat 102-106

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 102-106 berbicara mengenai sesembahan orang-orang kafir. Mereka lebih memilih menyembah berhala daripada Allah Saw yang Esa. Allah pun memberi ancaman kepada mereka jika tetap ingkar terhadap utusan Allah Saw.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 95-101


Ayat 102

Kemudian, dalam ayat-ayat ini, Allah memberi peringatan dan ancaman kepada kaum musyrikin Arab bahwa hukuman akan segera menimpa mereka seperti yang dialami umat sebelum mereka yang juga mendustakan rasul-rasul dan ingkar kepada mereka.

Apakah orang musyrikin tersebut menolak kerasulan Muhammad saw, karena mereka ingin lebih dahulu menunggu siksaan Allah itu? Allah menyeru Nabi Muhammad saw, untuk menyatakan kepada mereka supaya menunggu azab itu.

Kemurkaan Allah tentu akan datang kepada mereka bilamana mereka terus-menerus mendustakan dan mengingkari kerasulan Muhammad saw. Rasul saw beserta orang-orang beriman akan menunggu pula kehancuran mereka itu. Sesuai dengan janji Allah dan Sunnah-Nya, bahwa orang-orang kafir itu pasti akan binasa.

Ayat 103

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa sesuai dengan Sunnah-Nya yang berlaku pada rasul dan kaumnya yang beriman, Allah akan menyelamatkan dan memelihara mereka dari kebinasaan. Itu adalah ketentuan Allah dan Allah tidak akan mengubah ketentuan-Nya itu.

Firman Allah:

سُنَّةَ مَنْ قَدْ اَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُّسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيْلًا

(Yang demikian itu) merupakan ketetapan bagi para rasul Kami yang Kami utus sebelum engkau, dan tidak akan engkau dapati perubahan atas ketetapan Kami. (al-Isra’/17: 77)

Ayat 104

Allah memerintahkan Rasul saw untuk mengatakan kepada kaumnya bahwa jika mereka itu meragukan kebenaran agama yang dibawanya, yang mengajarkan tentang keesaan Allah, maka semestinya mereka lebih dulu meragukan keyakinan yang mereka pertahankan.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw menyatakan kepada mereka bahwa dia tidak akan menyembah batu-batu berhala dan patung yang mereka sembah yang tidak memiliki kemampuan sedikitpun.

Tetapi dia akan menyembah Tuhan Maha Pencipta, Yang menentukan hidup dan mati makhluk-Nya. Dia-lah yang memberi kesenangan dan kesusahan, kemanfaatan dan kemudaratan, menurut hikmah dan inayah-Nya, bukan tuhan seperti yang mereka sembah itu.

Dengan perbandingan itu maka bertambah jelaslah kebenaran agama yang dibawa Rasul saw dan kesesatan keyakinan kaum musyrikin. Kemudian Nabi Muhammad saw mengatakan kepada kaum musyrikin Arab bahwa dia diperintahkan supaya menjadi orang yang beriman.

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman keselamatan dari azab, kemenangan atas musuh-musuh mereka dan kekuasaan di bumi.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Konsep Bughat (Pemberontakan) dalam Penafsiran al-Quran


Ayat 105

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Nabi Muhammad saw diperintahkan agar menghadapkan wajahnya dan seluruh dirinya kepada Allah, memfokuskan perhatian pada tugas-tugas agama dan mengabdi kepada Tuhan semesta alam.

Sebab jika dia memberikan perhatian kepada selain Allah, maka hal itu mengurangi kebulatan jiwanya dalam menghadap Tuhan dan pengabdian terhadap agamanya. Kepada Allah sajalah hendaknya tujuan segala pengabdiannya lahir dan batin.

Janganlah dia termasuk orang yang mempersekutukan Allah dalam ibadah dengan dewa-dewa, jin-jin, roh-roh, atau patung-patung seperti halnya penyembah-penyembah berhala. Larangan Allah terhadap Rasul ini dimaksudkan untuk mendorong dan merangsang Rasul saw untuk tetap menjauhi sifat-sifat syirik.

Ayat 106

Allah menjelaskan larangan-Nya kepada Nabi saw agar jangan berdoa dan beribadah kepada selain Allah, Sebab selain Allah, tidak ada yang dapat memberi manfaat dan mudarat, atau memberi kesenangan dan kesusahan baik di dunia maupun di akhirat. Sekiranya Rasul berbuat demikian, maka dia termasuk dalam orang-orang yang menganiaya diri sendiri.

Tiada kedurhakaan yang lebih besar dari syirik karena orang yang berbuat syirik mengembalikan urusan yang dihadapi manusia kepada selain Allah. Maka kembalilah kepada Allah. Panjatkanlah doa kepada Allah semata karena doa termasuk ibadah yang besar, bahkan otak ibadah.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 107-109


(Tafsir Kemenag)

Menilik Konsep Energi dan Klasifikasinya dalam Al-Quran

0
klasifikasi energi dalam Al-Quran
klasifikasi energi dalam Al-Quran

Energi memiliki peranan sentral dalam kehidupan manusia. Bisa dibayangkan bagaimana manusia dapat bertahan hidup tanpa adanya energi. Terlebih di era modernitas ini, ketergantungan masyarakat terhadap energi sangatlat besar. Energi tidak saja menjadi hajjiyah (kebutuhan sekunder), namun juga dharuriyyah (kebutuhan primer). Karena itu, pada pembahasan kali ini akan mengulas bagaimana konsep energi dan klasifikasi energi dalam Al-Quran.

Islam telah memaparkan secara gamblang perihal energi beserta kegunaannya dan konservasinya agar manusia tetap bisa memanfaatkannya dalam jangka waktu yang lama sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-A’raf [7]: 54 dan 56, bahwa “Dia meniupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, Dia pula ciptakan matahari, bulan, bintang yang semuanya itu tunduk kepada perintah-Nya”. Lalu pada ayat ke-56, Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga semua itu, “janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi setelah diciptakan dengan baik”.

Dari dua ayat di atas kita dapat memetik ibrah bahwa eksplorasi energi tidak boleh mengabaikan AMDAL (analisis dampak lingkugan). Tidak boleh melakukan eksploitasi berlebihan terhadap energi dan segala sesuatu lainnya. Manusia tidak boleh egois karena energi kita nikmati saat ini adalah buah daripada penjagaan yang baik dari pendahulu kita. Maka kita juga berkewajiban menjaga dan memanfaatkannya dengan baik pula, agar bisa dinikmati oleh generasi penerus kita kelak.

Baca Juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Ilmi di Indonesia

Klasifikasi Energi dalam Al-Quran

Secara umum pembagian energi terbagi dalam beberapa klaster di antaranya energi matahari, air, angin atau udara, api, gas, tumbuhan dan manusia. Klasterisasi ini bukanlah tanpa alasan, semuanya berlandaskan pada Al-Quran sebagai berikut,

Energi Matahari

Pergantian siang dan malam adalah bukti nyata energi matahari. Lebih jauh, Prof. Darwesh dalam risetnya, Experimental studies on the contribution of solar energy as a source for heating biogas digestion units, mengatakan bahwa energi matahari telah mengurangi konsumsi energi sebesar 61,28%. Serta penggunaan energi surya ini dapat menghemat kebutuhan listrik dan dapat memangkas ongkos operasional.

فَالِقُ الْاِصْبَاحِۚ وَجَعَلَ الَّيْلَ سَكَنًا وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ۗذٰلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ

Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketetapan Allah Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui. (Q.S. al-An’am [6]: 96)

Baca Juga: Ketahui Fungsi-Fungsi Air dalam Al-Quran, Inilah Penjelasannya

Energi Air

Dalam sebuah riset yang dirilis oleh H.H. Mitchell dalam Journal of Biological Chemistry 158 sebagaiamana dikutip M. Elia dalam Body Composition Analysis bahwa, otak manusia dan jantung mengandung 73% air, paru-paru sekitar 83% air. Kulit mengandung 64% air, otot dan ginjal 79%, dan bahkan tulang 31%-nya adalah air. Maka, air sangat penting bagi semua makhluk hidup; tidak terkecuali manusia. 90% komposisi manusia bersumber dari air.

Klasifikasi energi dalam Al-Quran berupa air ini dapat ditemukan dalam ayat berikut,

وَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءًۢ بِقَدَرٍ فَاَسْكَنّٰهُ فِى الْاَرْضِۖ وَاِنَّا عَلٰى ذَهَابٍۢ بِهٖ لَقٰدِرُوْنَ ۚ

Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya. (Q.S. al-Mu’minun [23]: 18)

Energi Angin

Dilansir dari laman nationalgeographic.com, angin telah lama menjadi sumber energi bagi manusia. Oksigen yang dihirup setiap hari oleh manusia adalah bukti kemanfaatan energi angin. Selain itu, energi angin juga berperan penting dalam membantu proses turunnya air hujan dan menggerakkan kapal layar di laut.

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ يُّرْسِلَ الرِّيٰحَ مُبَشِّرٰتٍ وَّلِيُذِيْقَكُمْ مِّنْ رَّحْمَتِهٖ وَلِتَجْرِيَ الْفُلْكُ بِاَمْرِهٖ وَلِتَبْتَغُوْا مِنْ فَضْلِهٖ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan agar kamu merasakan sebagian dari rahmat-Nya dan agar kapal dapat berlayar dengan perintah-Nya dan (juga) agar kamu dapat mencari sebagian dari karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur. (Q.S. ar-Rum [30]: 46)

Energi Api

Schmidt-Rohr dalam risetnya, Why Combustions Are Always Exothermic, Yielding About 418 kJ per Mole of O2 bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari, energi api diperlukan untuk proses pembakaran. Seperti, reaksi molekul organik dengan oksigen dari udara sangat penting untuk menyediakan energi yang berguna, melalui pembakaran di tungku dan mesin panas. Sedangkan di dalam tubuh kita, respirasi seluler O2 (oksigen) merupakan sumber energi yang sangat diperlukan bagi metabolisme tubuh.

Sebagaimana disitir dalam firman-Nya,

اَفَرَءَيْتُمُ النَّارَ الَّتِيْ تُوْرُوْنَۗ ءَاَنْتُمْ اَنْشَأْتُمْ شَجَرَتَهَآ اَمْ نَحْنُ الْمُنْشِـُٔوْنَ نَحْنُ جَعَلْنٰهَا تَذْكِرَةً وَّمَتَاعًا لِّلْمُقْوِيْنَۚ

Maka pernahkah kamu memperhatikan tentang api yang kamu nyalakan (dengan kayu)? Kamukah yang menumbuhkan kayu itu ataukah Kami yang menumbuhkan? Kami menjadikannya (api itu) untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir. (Q.S. al-Waqi’ah [56]: 71-73)

Energi Tumbuhan

Klasifikasi energi dalam Al-Quran berikutnya adalah energi tumbuhan. Kehadiran tumbuhan menjadi penyejuk bagi manusia. Padang hijau rerumputan dan pepohonan yang subur menjadi panorama sekaligus bermanfaat bagi penyeimbang alam dan peradaban. Lebih jauh, ternyata tumbuhan juga dapat menjadi sumber energi sebagaimana firman-Nya di bawah ini,

وَهُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءًۚ فَاَخْرَجْنَا بِهٖ نَبَاتَ كُلِّ شَيْءٍ فَاَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِرًا نُّخْرِجُ مِنْهُ حَبًّا مُّتَرَاكِبًاۚ وَمِنَ النَّخْلِ مِنْ طَلْعِهَا قِنْوَانٌ دَانِيَةٌ وَّجَنّٰتٍ مِّنْ اَعْنَابٍ وَّالزَّيْتُوْنَ وَالرُّمَّانَ مُشْتَبِهًا وَّغَيْرَ مُتَشَابِهٍۗ اُنْظُرُوْٓا اِلٰى ثَمَرِهٖٓ اِذَٓا اَثْمَرَ وَيَنْعِهٖ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكُمْ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman. (Q.S. al-An’am [6]: 99)

Baca Juga: Ragam Penyebutan Manusia dalam Al-Quran, dari Ins sampai Anam

Energi Manusia

Semua ciptaan Allah swt di muka bumi “dipersembahkan” untuk bekal kehidupan manusia. Maka di sinilah kekuasaan yang sangat besar bagi manusia. Kekuasaan itu ibarat belati bermata dua. Pada satu sisi, jika kekuasaan itu mampu dikelola dan dimanfaatkan dengan amanah maka memunculkan maslahat. Dan pada sisi yang lain, jika manusia lengah, menuruti libido hawa nafsunya, maka madharat yang akan terjadi alias kerusakan alam di mana-mana.

Karena itu, manusia menjadi sumber energi dalam konteks pengelolaan segala sumber daya alam di muka bumi. Ia mengemban tugas sebagai khalifah fil ardh. Sebagaimana disitir dalam firman-Nya,

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ

Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, (Q.S. at-Tin [95]: 4)

Dengan demikian, manusia dituntut untuk bersahabat dengan alam, menjaga dan merawat kelestarian alam. Sebab antara manusia dengan alam saling membutuhkan. Tentu, jika alam lestari maka ketersediaan energi juga sangat berlimpah. Dan sebaliknya jika alam rusak, maka energi pun perlahan-lahan akan meninggalkan kita. Semua ini demi kebaikan dan hajat hidup manusia. Semoga kita semua mampu menjaga alam, menjaga dan merawatnya merupakan bagian daripada ibadah kepada Allah swt. Aamiin. Wallahu A’lam

Tafsir Surah Yunus Ayat 95-101

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 95-101 berbicara mengenai prinsip yang harus dipegang oleh orang-orang mukmin. Salah satu prinsip yang harus ditanamkan adalah tidak mendustakan ayat-ayat Allah Swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 91-94


Selain itu Tafsir Surah Yunus Ayat 95-101 ini juga memaparkan tentang prinsip untuk selalu percaya dan memasrahkan diri kepada Allah Swt, karena hanya Dia yang menguasai jagat raya beserta isinya. Tidak ada satupun yang bisa mengintervensiNya.

Ayat 95

Allah menegaskan lagi agar Muhammad dan kaum Muslimin jangan termasuk golongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, karena perbuatan tersebut akan menimbulkan kerugian besar bagi orang yang melakukannya di dunia dan di akhirat.

Ayat 96

Ayat ini menerangkan bahwa bagi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah berlaku ketetapan-ketetapan Allah, yaitu mengazab mereka dengan azab yang pedih di akhirat nanti. Iman mereka tidak dapat diharapkan lagi, karena hati mereka telah tertutup dan terkunci mati, tidak bisa menerima petunjuk Ilahi, sehingga mereka tetap dalam kekafiran dan perbuatan dosa.

Ayat 97

Orang-orang yang terkunci hatinya itu tidak akan beriman, walaupun kepada mereka dikemukakan berbagai macam bukti dan tanda-tanda kekuasaan dan keesaaan Allah. Mereka baru akan beriman setelah dimasukkan ke dalam neraka, disaat merasakan azab yang pedih. Tetapi iman mereka itu tidak diterima lagi, karena pintu tobat disaat itu telah tertutup.

Ayat 98

Ayat ini menerangkan bahwa sikap yang paling baik dilakukan oleh suatu kaum ialah bila seorang rasul menyeru kepada mereka untuk beriman kepada Allah dengan mengemukakan bukti-bukti kebenaran seruannya, lalu mereka berkenan menyambut seruan rasul itu dengan beriman dan melaksanakan risalah yang dibawanya.

Iman yang seperti itu adalah iman yang bermanfaat dan menguntungkan, karena itu dilakukan di saat seseorang dalam keadaan mampu memikul beban yang dipikulkan Allah kepadanya (taklif).

Iman itu tidak berfaedah bagi seseorang bila dia dalam keadaan tidak taklif, seperti iman Fir’aun di saat ia akan tenggelam di tengah lautan dan seperti iman orang-orang kafir di saat mereka diazab dalam neraka. Iman di saat itu tidak diterima lagi.

Kaum Nabi Yunus adalah kaum yang beriman dalam keadaan taklif, sehingga iman itu berfaedah bagi mereka. Nabi Yunus diutus kepada penduduk kota Nainawa (Ninive), untuk menyampaikan agama Allah, tetapi mereka mengingkari seruan itu.

Yunus menerangkan kepada mereka bahwa jika mereka tidak juga beriman, Allah akan menurunkan azab kepada mereka setelah tiga hari. Pada hari ketiga, Yunus menghindar dari negeri itu.

Pada pagi hari yang dijanjikan itu, mereka melihat tanda akan kedatangan azab itu. Oleh karena itu, mereka mencari Yunus, tetapi Yunus tidak mereka temui. Lalu mereka berkumpul bersama keluarga dan binatang ternak mereka di tengah lapang memohon kepada Allah agar azab yang dijanjikan itu tidak ditimpakan kepada mereka dan mereka menyatakan iman kepada-Nya.

Allah menerima tobat mereka dan membatalkan penurunan azab kepada mereka. Kemudian Allah memberikan kepada mereka kesenangan hidup sampai akhir hayat mereka, sebagai balasan dari keimanan mereka.


Baca juga: Kajian Semantik Andad Allah (Tandingan Allah) dalam Al-Quran


Ayat 99

Ayat ini menerangkan bahwa jika Allah berkehendak agar seluruh manusia beriman kepada-Nya, maka hal itu akan terlaksana, karena untuk melakukan yang demikian adalah mudah bagi-Nya. Tetapi Dia tidak menghendaki yang demikian.

Dia berkehendak melaksanakan Sunnah-Nya di alam ciptaan-Nya ini. Tidak seorangpun yang dapat mengubah Sunnah-Nya itu kecuali jika Dia sendiri yang menghendakinya. Di antara Sunnah-Nya ialah memberi manusia akal, pikiran, dan perasaan yang membedakannya dengan malaikat dan makhluk-makhluk yang lain.

Dengan akal, pikiran, dan perasaan, manusia menjadi makhluk yang berbudaya, dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, baik untuk dirinya, untuk orang lain maupun untuk alam semesta ini.

Kemudian amal perbuatan manusia diberi balasan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukannya itu; perbuatan baik dibalas dengan pahala dan perbuatan jahat dan buruk dibalas dengan siksa.

Di samping itu, Allah mengutus para rasul untuk menyampaikan agama-Nya yang menerangkan kepada manusia mana yang baik dilakukan dan mana yang terlarang dilakukan.

Manusia dengan akal, pikiran, dan perasaan yang dianugerahkan Allah kepadanya dapat menilai apa yang disampaikan para rasul. Tidak ada paksaan bagi manusia dalam menentukan pilihannya, baik atau buruk. Dan manusia akan dihukum berdasarkan pilihannya itu.


Baca juga: Wa An-Najm Idha Hawa: Demi Bintang, Demi Muhammad, Demi Al-Quran


Ayat 100

Segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak Allah. Tidak ada sesuatupun yang terjadi di luar kehendak-Nya.

Allah menunjuki dan memudahkan seseorang beriman, bila orang itu mau memahami dan mengamalkan ayat-ayat yang telah disampaikan kepada para rasul-Nya dan Dia memandang hina dan mengazab setiap orang yang tidak mau memahami dan mengamalkan ayat-ayat-Nya karena hal itu berarti mereka menampik ajakan rasul untuk mengikuti jalan yang lurus yang telah dibentangkannya.

Ayat 101

Dalam ayat ini Allah menjelaskan perintah-Nya kepada Rasul-Nya, agar dia menyeru kaumnya untuk memperhatikan dengan mata kepala dan akal mereka segala kejadian di langit dan di bumi.

Mereka diperintahkan agar merenungkan keajaiban langit yang penuh dengan bintang-bintang, matahari, dan bulan, keindahan pergantian malam dan siang, air hujan yang turun ke bumi, menghidupkan bumi yang mati, dan menumbuhkan tanam-tanaman dan pohon-pohonan dengan buah-buahan yang beraneka warna rasanya.

Hewan-hewan dengan bentuk dan warna yang bermacam-macam hidup di bumi, memberi manfaat yang tidak sedikit bagi manusia. Demikian pula keadaan bumi itu sendiri yang terdiri dari gurun pasir, lembah yang luas, dataran yang subur, samudera yang penuh dengan ikan berbagai jenis, kesemuanya itu tanda keesaan dan kekuasaan Allah, bagi orang yang mau berfikir dan yakin kepada Penciptanya.

Akan tetapi bagi mereka yang tidak percaya akan adanya Pencipta alam ini, karena fitrah insaniahnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka kesemua tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah dalam alam ini tidak bermanfaat baginya.

Demikian pula peringatan nabi-nabi kepada mereka tidak mempengaruhi jiwa mereka. Akal dan perasaan mereka tidak mampu mengambil pelajaran dari ayat Allah dan tidak membawa mereka pada keyakinan adanya Allah Yang Maha Esa.

Mereka tidak memperoleh pelajaran dari Sunnah Allah pada umat manusia di masa lampau. Sekiranya mereka memperoleh pelajaran dari pada ayat-ayat Allah itu dan dari Sunnah Allah pada umat manusia, tentulah jiwa mereka bersih dan terpelihara dari kotoran dan najis yang mendorong mereka kepada kekafiran dan kesesatan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 102-106


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 31-32

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 31-32 menjelaskan kesesatan Ahlul Kitab yang tidak terkontrol, selain sesat secara akidah, mereka kemudian mengangkat tokoh agama sebagai manifestasi Tuhan. Sekaligus mentaatinya secara penuh, baik nantinya hukum bersifat halal ataukah haram.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 30


Selain itu, Tafsir Surah At Taubah Ayat 31-32 juga menerangkan bagaimana obsesi mereka untuk meruntuhkan ajaran Nabi Muhammad Saw, sebab kebencian mereka kepada agama Islam.

Ayat 31

Pada ayat ini dijelaskan bentuk kesesatan Ahli Kitab, kaum Yahudi, dan kaum Nasrani, masing-masing mengambil dan mengangkat Tuhan selain Allah swt. Orang Yahudi menjadikan pendeta agama mereka sebagai Tuhan yang mempunyai hak menetapkan hukum menghalalkan dan mengharam-kan.

Sedang orang-orang Nasrani menjadikan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan yang harus ditaati dan disembah. Dalam Islam, kedudukan pemuka agama, tidak lebih sebagai seorang ahli yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang seluk beluk syariat.

Segala pendapat dan fatwa yang dikemukakan, hanyalah sebagai penjelasan dari hukum-hukum Allah yang harus disertai dan didasarkan atas dalil-dalil yang nyata dari firman Allah swt, atau sunnah Rasul.

Mereka tidak berhak sedikit pun membuat syariat, karena syariat adalah hak Allah semata.

Menurut penganut agama Nasrani, di samping Isa Almasih dianggap sebagai Tuhan yang disembah, ada juga yang menyembah ibunya, yaitu Maryam.

Padahal Isa adalah seorang rasul seperti rasul-rasul sebelumnya dan Maryam ibunya, hanya seorang perempuan yang salehah dan tekun beribadah sehingga mendapat gelar Maryam Al-Butul, dan keduanya makan dan minum sebagaimana halnya manusia-manusia yang lain. Firman Allah swt:

مَا الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُۗ وَاُمُّهٗ صِدِّيْقَةٌ  ۗ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ ۗ

Almasih putra Maryam hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya pun sudah berlalu beberapa rasul. Dan ibunya seorang yang berpegang teguh pada kebenaran. Keduanya biasa memakan makanan. (al-Ma’idah/5: 75)

Pemeluk Kristen, Katolik dan orang-orang Ortodok menyembah murid-murid Isa dan pesuruh-pesuruhnya, begitu juga kepala-kepala dan pemuka-pemuka agamanya, yang dianggap suci, dan dijadikannya perantara yang akan menyampaikan ibadah mereka kepada Allah.

Mereka juga menganggap pendeta-pendeta mereka mempunyai hak mengampuni ataupun tidak mengampuni sesuai dengan keinginannya, padahal tidak ada yang berhak mengampuni dosa kecuali Allah swt, sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ

Dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? (Ali-Imran/3: 135)

Adapun kaum Yahudi, mereka menambahkan hukum lain kepada syariat agamanya.

Mereka tidak mencukupkan dan membatasi diri pada hukum yang terdapat dalam Taurat sebagai pedoman hidupnya, tetapi menambah dan memasukkan hukum-hukum lain yang didengarnya dari kepala-kepala agama mereka sebelum hukum-hukum itu dibukukan menjadi peraturan yang harus dituruti dan ditaati oleh pemeluk Yahudi.

Demikianlah kesesatan-kesesatan yang telah diperbuat Ahli Kitab, padahal mereka itu tidak diperintahkan, kecuali menyembah Tuhan Yang Satu, Tuhan Seru sekalian alam, yaitu Allah swt, karena tidak ada Tuhan Yang berhak disembah kecuali Dia.

Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya baik mengenai zat-Nya, sifat-sifat-Nya maupun af’al-Nya. Mahasuci Allah swt dari apa yang mereka persekutukan.

Apabila mereka percaya bahwa pemimpin-pemimpin mereka itu berhak menentukan suatu hukum, berarti mereka mempunyai kepercayaan bahwa ada Tuhan yang disembah selain Allah swt yang dapat menimpakan penyakit dan menyembuhkan, menghidupkan dan mematikan tanpa izin Allah. Semua itu timbul dari kehendak hawa nafsu dan akal pikirannya, tidak bersumber dari wahyu Ilahi.


Baca Juga : Amaliyah Ayat-Ayat Al-Quran Untuk Mengobati Penyakit Demam


Ayat 32

Ayat ini menjelaskan keinginan jahat Ahli Kitab. Mereka ingin melenyapkan agama tauhid, yaitu agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, agama yang penuh dengan bukti-bukti yang menunjukkan keesaan Allah swt, agama yang mensucikan-Nya dari hal-hal yang tidak wajar bagi-Nya. Umat Islam yakin bahwa ajaran Islam tinggi, seperti sabda Nabi saw:

اْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلٰى عَلَيْهِ (رواه البخاري ومسلم)

Islam itu tinggi dan tidak ada (agama) yang melebihi ketinggiannya. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Segala macam usaha dan ikhtiar dilakukan oleh mereka, baik dengan jalan halus maupun dengan jalan kasar, berupa kekerasan, penganiayaan, peperangan dan lain sebagainya, untuk menghancurkan agama Allah, yang diumpamakan nur atau cahaya yang menyinari alam semesta ini.

Tetapi Allah tidak merestui maksud jahat itu. Semua usaha mereka tidak berhasil, sedang agama Islam hari demi hari semakin meluas sampai ke pelosok-pelosok, sehingga dunia mengakui kemurniannya, sekalipun belum semua umat manusia memeluknya.

Meskipun bukti-bukti telah cukup dan kenyataan-kenyataan telah jelas menunjukkan kebenaran agama Islam, namun mereka tetap memungkirinya.

Mereka bekerja keras dengan segala macam usaha dan cara, agar kaum Muslimin rela meninggalkan agamanya atau memeluk agama mereka.

وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ

Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. (al-Baqarah/2: 120)

Dan firman-Nya:

قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاۤءُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْۖ وَمَا تُخْفِيْ صُدُوْرُهُمْ اَكْبَرُ

Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. (Ali ‘Imran/3: 118)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 33-34


Tafsir Surah Yunus Ayat 91-94

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 91-94 berbicara mengenai dua hal, yaitu tentang kematian Fir’aun dan tentang Bani Israil. Pada saat Fir’aun dalam keadaan putus asa, ia ingin menyatakan imannya. Namun ia sudah terlambat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 87-90


Setelah itu Tafsir Surah Yunus Ayat 91-94 ini berbicara mengenai Bani Israil yang telah selamat dari kezaliman Fir’aun. Mereka ditempatkan di sebuah daerah yang diberkati.

Ayat 91

Dalam ayat ini Allah menceritakan keadaan Fir’aun ketika dalam keputusasaan menyatakan imannya, dikatakan kepadanya bahwa tidaklah pantas dia mengatakan iman dan Islam pada saat demikian itu karena pernyataan itu hanyalah untuk menghindari kematian dan mencari keselamatan dari bencana dan sesudah dia diliputi keputus-asaan.

Padahal pada masa sebelumnya dia mengingkari Allah bahkan mengaku dirinya Tuhan sehingga berlaku sewenang-wenang terhadap sesama manusia serta berbuat aniaya di atas bumi. Maka pernyataan iman dan Islam demikian itu tidak diterima karena tidak lahir dari ketulusan, tetapi lahir dari keputus-asaan.

Ayat 92

Kemudian Allah pada ayat ini menjelaskan bahwa pada hari kematiannya, jenazah Fir’aun akan dikeluarkan dari dasar lautan dan dilemparkan ke daratan agar mereka yang meragukan kematiannya menjadi yakin dan menjadi pelajaran bagi manusia sesudahnya.

 Bagaimana besar dan luasnya kekuasaan dan kekuatan seseorang, jika dia menentang perintah-perintah Allah dan meninggalkan petunjuk-petunjuk Rasul-Nya, niscaya dia akan mengalami kehancuran.

Janji Allah untuk menolong nabi-nabi-Nya pasti terlaksana. Banyak tanda-tanda kekuasaan Allah terdapat dalam sejarah umat manusia. Tetapi sebagian besar manusia tidak mau merenungkan tanda-tanda itu dan tidak menyadari hukum Tuhan yang berlaku pada umat manusia itu.

Ayat 93

Sesudah Allah mengakhiri kisah Fir’aun, maka pada ayat ini, Allah menyebutkan riwayat Bani Israil, setibanya mereka pada tempat yang dijanjikan Tuhan. Allah telah menempatkan mereka di negeri yang indah yaitu negeri Palestina. Sebagaimana diterangkan pula dalam ayat yang lain firman Allah:

وَاَوْرَثْنَا الْقَوْمَ الَّذِيْنَ كَانُوْا يُسْتَضْعَفُوْنَ مَشَارِقَ الْاَرْضِ وَمَغَارِبَهَا الَّتِيْ بٰرَكْنَا فِيْهَاۗ

Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu bumi bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi. (al-A’raf/7: 137)

Allah melimpahkan rezeki yang baik dan bermacam-macam, seperti peternakan, perkebunan, pertanian, dan perikanan di daratan, seperti Laut Mati, dan di lautan kepada Bani Israil. Mereka hidup rukun dan damai penuh bahagia di negeri yang baru itu.

Tetapi kemudian timbul perselisihan yang besar di kalangan mereka sesudah mereka mempelajari kitab Taurat dan hukum-hukum-Nya. Sebenarnya tidak wajar mereka itu berselisih paham sebab Allah telah cukup jelas menerangkan kepada mereka syariat-Nya.

Jika timbul perselisihan maka hal itu disebabkan faktor pribadi dan kepentingan golongan di antara mereka. Firman Allah:

وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗ

Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab, kecuali setelah mereka memperolah ilmu, karena kedengkian di antara mereka. (Ali ‘Imran/3: 19)

Kedengkian dan kebencian terhadap golongan lain, ambisi pribadi, bermegah-megah dan kepentingan golongan serta faktor-faktor subyektif sangat mempengaruhi orang-orang Yahudi dalam mempelajari Kitab Suci. Mereka tidak segan memutarbalikkan pengertian ayat dari arti yang sebenarnya. Firman Allah:

مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖ

(Yaitu) di antara orang Yahudi, yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya. (an-Nisa’/4: 46)


Baca juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran


Ayat 94

Allah menerangkan sikap pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani terhadap Kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada rasul-rasul yang diutus kepada mereka dengan mengatakan, “Jika engkau, hai Muhammad, ragu tentang rasul-rasul dahulu dan kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka, maka tanyakanlah kepada pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani yang telah mengetahui dan membaca kitab-kitab yang telah Kami turunkan itu, sebelum Aku menurunkan Al-Qur′an kepada engkau.”

Menurut rasa bahasa Arab, ungkapan dalam ayat ini bukanlah untuk menerangkan keragu-raguan Muhammad, tetapi menyatakan bahwa Muhammad benar-benar telah yakin dan percaya kepada para rasul yang diutus Allah dan kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka.

Hanya orang-orang Yahudi dan Nasrani-lah yang ragu. Keraguan mereka itu sengaja mereka buat untuk menutupi apa yang sebenarnya ada dalam hati mereka, yaitu meyakini kebenaran risalah dan kenabian Muhammad.

Karena itu maksud ayat ini ialah Allah menyatakan kepada Muhammad bahwa beliau (Nabi Muhammad) telah yakin dan percaya bahwa yang diturunkan kepadamu itu adalah sesuatu yang hak dan kebenaran yang wajib dipercayai. Yang ragu-ragu itu hanyalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Keragu-raguan mereka itu dinyatakan semata-mata untuk menutupi perbuatan mereka yang telah mengubah dan menukar isi Taurat dan Injil. Mereka telah membaca Taurat dan Injil yang menerangkan pokok-pokok agama yang diridai Allah, para rasul yang telah diutus Allah dan yang akan diutus-Nya nanti.

Tetapi hawa nafsu merekalah yang menyuruh mereka untuk melakukan perbuatan yang terlarang itu, sehingga mereka menyesatkan pengikut-pengikut mereka. Karena itu, sebenarnya pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani itu sangat mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.

Jika ditanyakan kepada mereka sesuatu yang hak, mereka pasti dapat menjawabnya dengan betul. Tetapi mereka tidak mau melakukannya.

Ayat ini merupakan sindiran kepada pendeta-pendeta Yahudi dan Nasrani dan mengungkapkan perbuatan-perbuatan dosa yang telah mereka kerjakan.

Ungkapan seperti ini terdapat pula pada firman Allah yang lain, sebagaimana ayat berikut:

وَاِذْ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَاَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُوْنِيْ وَاُمِّيَ اِلٰهَيْنِ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ”Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, ”Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?” (al-Ma’idah/5: 116)

Bila ayat ini dibaca sepintas lalu, akan dipahami seakan-akan Isa-lah yang memerintahkan kaumnya agar mengakui adanya tuhan bapak, tuhan anak dan tuhan ibu. Tetapi maksud ayat ini ialah untuk menerangkan bahwa Isa a.s. tidak pernah ragu tentang keesaan Tuhan.

Yang mendakwahkan bahwa Tuhan itu tiga, hanya orang-orang Nasrani yang telah mengubah-ubah dan menukar isi Injil, seperti menukar prinsip keesaan Allah yang ada di dalamnya dengan prinsip syirik.

Pada akhir ayat ini Allah menerangkan sikap Rasulullah, orang-orang Yahudi dan Nasrani. Rasulullah saw beriman kepada Allah dan kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya serta meyakini akan keesaan-Nya, sedang orang Yahudi dan Nasrani telah mengubah dan menukar isi Taurat dan Injil serta mempersekutukan-Nya.

Kemudian Allah memperingatkan kaum Muslimin agar jangan sekali-kali melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 95-101


(Tafsir Kemenag)