Beranda blog Halaman 358

Wa An-Najm Idha Hawa: Demi Bintang, Demi Muhammad, Demi Al-Quran

0
wa an-najm idza hawa
wa an-najm idza hawa

Pada risalah ini, gagasan utama yang akan saya perkuat adalah argumentasi tentang pemaknaan teks-teks wahyu Al-Quran dalam khazanah intelektual Islam awal yang tidak bermakna tunggal, statis, dan pasti, tetapi sebaliknya, plural, dinamis, dan kontradiktif. Satu lagi contoh aspek pluralisme dan kontradiksi makna teks Al-Qur’an tang terefleksikan dalam tradisi penafsiran awal adalah pemaknaan atas surah An-Najm [53]: 1 yang berbunyi wa an-najm idha hawa. What exactly was the meaning of this divine oath in early Islam?

Hingga saat ini, makna atas ayat sumpah di atas telah dibentuk dan dipengaruhi oleh paham ortodoksi Islam yang mengambil konsensus bahwa Tuhan bersumpah demi bintang ketika ia terbenam/terjatuh.

Selama ini, An-Najm ditafsirkan sebagai bintang secara umum. Ada juga beberapa penafsir awal menafsirkannya lebih spesifik. Al-Suddi (w. 128/745), misalnya, menafsirkan An-Najm sebagai venus (Az-Zuharā) karena “sekelompok manusia diantara orang-orang Arab menyembah Venus”. Berbeda dengan Al-Suddī, Mujāhid b. Jabr (w. 102/720) menafsirkannya sebagai bintang Ath-Thurayya (the Pleiades) ketika mereka menghilang di waktu fajar.

Baca Juga: Makna Wahyu dalam Penafsiran Muqatil bin Sulayman

Wa an-najm idha hawa: demi bintang, demi Nabi Muhammad

Penafsiran An-Najm sebagai bintang, itu berarti bahwa Tuhan bersumpah secara impersonal demi bintang ketika ia terbenam, baik itu sebagai bintang pada umumnya atau bintang secara khusus, yakni Venus, Ath-Thurayya, dan Sirius. Penafsiran ini merepresentasikan konsensus mayoritas ulama tentang pemaknaan An-Najm sebagai bintang. Proses penafsiran ini sudah menghasilkan makna yang stabil dan tetap dan hampir tertutup kemungkinan untuk mengeksplorasi makna-makna lain yang tak terpikirkan (unthinkable meanings).

Namun, ketika saya membaca kembali khazanah intelektual Islam awal yang terabaikan dalam diskursus pemikiran Islam modern, dan mengeksplorasi kemungkinan makna-makna lain atas sumpah Tuhan secara impersonal itu, saya menemukan kemungkinan makna lain dari sumpah tersebut yang terekam dalam tradisi awal penafsiran Al-Qur’an yang berorientasi sufistik.

Di kalangan sufi, pemaknaan ayat pembuka di surah An-Najm itu tidak terkait dengan sumpah Tuhan atas nama bintang, tetapi justru sepenuhnya tentang Muhammad. Dalam tafsir sufistiknya, Kāmil al-Tafsīr al-Sūfi al-‘Irfāni li Al-Qur’ān (2002:159), Ja‘far Al-Sadiq (w. 148/765), figur sentral dalam tradisi Shi’ah dan penafsir wahyu yang otoritatif di awal Islam, menafsirkan sumpah Tuhan—wa an-najm idha hawa—dengan makna yang bercorak sufistik.

Pertama, “An-najm berarti Muhammad; ketika dia turun, [maka] cahaya-cahaya terpancar darinya”; Kedua, “An-Najm adalah hati Muhammad ketika terputus dari apa pun kecuali Tuhan.” Penafsiran Al-Qur’an yang bercorak sufistik ini juga dapat ditemukan pada pemikiran teolog Islam Sunnī dan penafsir sufistik, Sahl ‘Abd Allāh Al-Tustari (w. 283/896). Dalam karyanya, Tafsir Al-Qur’ān Al-‘Azīm (1908:145), At-Tustari menafsirkan sumpah Tuhan—wa an-najm idha hawa—dengan makna yang sufistik: “Demi Muhammad ketika ia kembali dari langit.”

Meskipun Ja‘far Al-Sadiq dan Al-Tustari berasal dari dua tradisi Islam yang berbeda, keduanya sama-sama memproduksi makna esoterik dan mistik atas sumpah Tuhan itu, yang ditafsirkan sebagai referensi kepada Muhammad yang baru saja kembali dari pengalaman spiritual di malam mi‘raj.

Pada momen pengalaman spiritual yang berharga itulah hati Muhammad terputus dari segala bentuk keterikatan pada apa pun, kecuali hanya pada Tuhan. Untuk itu, Tuhan bersumpah bukan secara impersonal atas nama bintang, tetapi justru secara personal atas nama Muhammad yang baru saja kembali dari perjumpaan spiritual dengan the heavenly figure.

Berbeda dengan pemaknaan sumpah Allah di atas yang statis, mengenai pertanyaan, siapakah figur yang dijumpai dan bahkan dilihat oleh Muhammad dalam perjalanan spiritualnya di ufuk yang tinggi (the highest horizon) dan di Sidratul Muntaha, malaikat Jibril ataukah Tuhan itu sendiri, telah menjadi perdebatan intelektual yang produktif sejak awal Islam.

Penafsiran sufistik atas sumpah Tuhan secara personal itu tetap dipandang absah dan legitimitatif dalam khazanah intelektual Islam, terutama karena konteks pewahyuan surah An-Najm terkait langsung dengan proses mi‘raj Muhammad ke langit, sehingga sumpah Tuhan—wa an-najm idha hawa—merujuk pada momen peristiwa kembalinya Nabi Muhammad dari langit.

Baca Juga: Siapa Saja Mufassir di Era Sahabat? Edisi Abdullah Ibn Abbas

Wa an-najm idha hawa: demi Al-Quran

Selain makna “demi bintang ketika ia terbenam” dan “demi Muhammad ketika ia kembali dari langit,” sejumlah penafsir Al-Qur’an pada fase awal Islam juga berikhtiar untuk mengeksplorasi makna lain atas sumpah Tuhan—wa an-najm idha hawa. Hasilnya adalah makna “demi Al-Qur’an ketika ia turun [secara gradual, sedikit demi sedikit].” Pemaknaan wahyu yang kreatif dan inovatif ini dapat dibuktikan dengan merujuk pada pemikiran sejumlah penafsir Al-Qur’an, mulai dari ‘Abd Allah b. ‘Abbas (w. 68/688), Mujahid b. Jabr (w. 102/720), Zayd b. ‘Ali (w. 120/738); Muqatil b. Sulayman (w. 150/767), sampai Abu Zakariyya’ Yahya b. Ziyad Al- Farra’ (w. 207/822).

Bahkan, Ibn ‘Abbas lah penafsir otoritatif yang pertama kali menafsirkan wa an-najm idha hawa sebagai referensi pada pewahyuan Al-Qur’an secara gradual: “Saya bersumpahdemi Al-Qur’an ketika ia turun secara gradual, sedikit demi sedikit: tiga atau empat ayat dan surah. Jarak interval antara wahyu pertama dan terakhir adalah dua puluh tahun.” Pendapat Ibn ‘Abbās ini terekam dalam al-Tafsīr al-Basīt yang terdiri atas 25 volume (Mesir:2013) karya penafsir masyhur Al-Wāhidi (w. 486/1076).

Baca Juga: Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas

Sebagai otoritas penting dalam tafsīr, Ibn ‘Abbas mempunyai pengaruh yang besar pada penafsiran Al-Qur’an di awal Islam dan abad pertengahan. Hal ini terbukti pada sejumlah penafsir yang terafiliasi pada dirinya. Mujāhid b. Jabr adalah salah satunya, yang juga menafsirkan sumpah itu dengan proses pewahyuan Al-Qur’an yang tidak terjadi sekaligus (all at once), tetapi secara gradual, tahap demi tahap.

Proses wahyu yang gradual itu dideskripsikan secara tepat oleh penafsir Shi’ah, Zayd b. ‘Alī dalam Tafsīr Gharīb Al-Qur’ān (Cairo: 1992, 191), yang berkomentar bahwa “wa an-najm idha hawa merujuk pada proses turunnya Al-Qur’an secara gradual. Jibril terbiasa menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad sedikit demi sedikit, yakni lima āyāt, kurang atau lebih.”

Penafsiran atas wahyu yang gradual ini juga diperkuat oleh penafsir Muqātil b. Sulaymān dalam Tafsīr Muqātil b. Sulaymān, yang terdiri atas 5 volume (Cairo: 2002, vol. 4:159): “Tuhan bersumpah demi Al-Qur’ān. Wa an-najm idha hawa berarti turunnya Al-Qur’an dari langit ke Muhammad secara gradual, yang maknanya sesuai firman-Nya: “[Tidak!] saya bersumpah demi turunnya Al-Qur’an secara berangsur-angsur” (fala uqsimu bi almawāqi’i an-nujūm, al-Wāqi‘ah/ 56:75). Ketika Al-Qur’an turun, maka ia turun sedikit demi sedikit: tiga atau empat ayat,atau sesuatu yang serupa, dan satu atau dua surah.”

Akhirnya, penafsiran Al-Qur’an—wa an-najm idha hawa—tidak pernah bermakna satu dan sama, tetapi plural dan kontradiktif. Hal ini terekam secara eksplisit dalam tradisi penafsiran Al-Qur’an yang bersifat multivokal. Para penafsir wahyu di fase awal Islam terbiasa dengan multivokalitas penafsiran atas makna Al-Qur’an.

Terkait dengan pluralisme dan kontradiksi makna Al-Qur’an ini, para intelektual kemudian terinspirasi untuk mengajukan pertanyaan yang terabaikan dalam tradisi pemikiran Islam: di mana kah sebenarnya letak lokus makna atas teks-teks Al-Qur’an? Apakah lokus makna itu terletak pada otoritas teks (the authority of text) ataukah pada otoritas penafsir (the authority of interpreters)?

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 30

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 30 menjelaskan keyakinan Ahli Kitab yang salah, baik orang Yahudi ataupun orang Nasrani. Mereka berkeyakinan bahwa Allah mempunyai anak, kaum Yahudi menganut kepercayaan bahwa “Uzair itu putera Allah”


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 29


 

Dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 30 Allah swt mengutuk mereka karena mereka belum mau menginsafi dan menyadari kekeliruan dan kesesatannya. Meskipun Rasul-rasul Allah telah menjelaskan bahwa Allah itu Maha Esa, namun mereka tidak mau kembali ke akidah tauhid, bahkan tetap bertahan pada itikadnya yang keliru, yaitu menganggap bahwa Uzair dan Isa Almasih adalah anak Allah.

Ayat 30

Ayat ini menjelaskan keyakinan Ahli Kitab yang salah, baik orang Yahudi ataupun orang Nasrani. Mereka berkeyakinan bahwa Allah mempunyai anak, kaum Yahudi menganut kepercayaan bahwa “Uzair itu putera Allah”.

Kepercayaan ini bertentangan sekali dengan pengertian iman yang sebenarnya kepada Allah, karena iman yang benar ialah Allah itu Esa, tunggal, tidak berbapak dan tidak bersekutu dengan apa dan siapa pun. Dia Mahasempurna, Mahakuasa, dan tidak ada satu pun yang serupa  dan sama dengan-Nya.

Uzair adalah seorang pendeta bangsa Yahudi, penduduk negeri Babilon, hidup di sekitar tahun 457 sebelum Masehi.

Dia seorang pengarang ulung, pendiri suatu perhimpunan besar, dan rajin mengumpulkan naskah-naskah Kitab Suci dari berbagai daerah.

Dialah yang memasukkan huruf-huruf Kaldea atau Arami sebagai pengganti huruf-huruf Ibrani kuno. Dia juga yang menulis hal-hal yang terkait dengan peredaran matahari, dan menyusun kembali kitab-kitab bermutu yang telah berantakan.

Semasa hidupnya, ia dianggap sebagai masa kesuburan agama Yahudi, karena dialah penyair syariat Taurat yang terkemuka, menghidupkan syariat itu kembali sesudah sekian lama dilupakan orang.

Oleh karena itu kaum Yahudi menganggapnya sebagai orang suci yang lebih dekat kepada Allah, bahkan sebagian dari mereka yang fanatik menganggap dan memanggilnya dengan “anak Allah”.

Meskipun hanya sebagian dari kaum Yahudi yang berkeyakinan demikian tetapi dapat dianggap bahwa keyakinan itu adalah kepercayaan mereka seluruhnya karena ucapan yang salah itu tidak dibantah dan tidak diingkari oleh golongan yang lain. Firman Allah:

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً

Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. (al-Anfal/8: 25)

Demikian juga halnya kaum Nasrani terhadap Isa Almasih. Mereka beritikad bahwa Isa itu anak Allah.

Kepercayaan inipun sangat bertentangan dengan iman kepada Allah swt. Sekalipun pada mulanya kata-kata “Isa itu anak Allah” hanyalah merupakan ucapan nenek moyang mereka yang menganggap Isa adalah orang yang mulia, dikasihi Allah dan terhormat, dan ucapan itu tidak berarti anak Allah yang sebenarnya.

Namun demikian, lambat laun terutama ketika kepercayaan agama Hindu menyusup masuk ke dalam kaum Nasrani dan kedua agama itu berdampingan, bahu membahu, tertanamlah di dalam hati mereka kepercayaan bahwa Isa Almasih itu adalah benar-benar anak Allah.

Kemudian setelah berlalu beberapa waktu lamanya, timbullah perubahan dalam kepercayaan mereka, bahwa anak Allah dan Allah juga Rohulkudus (Roh Suci), yang kemudian dikenal dengan “Bapak, anak dan ruh suci”, hakekatnya menyatu pada diri Allah.


Baca Juga : Bukti Kekuasaan Allah Dalam Kisah Uzair Yang Wafat Selama 100 Tahun


 

Menurut keyakinan mereka, tiga unsur tersebut yaitu: Anak Allah, Allah dan Roh Suci pada hakikatnya hanya satu. Ajaran ini sudah menjadi ketetapan dalam agama Nasrani, tiga abad sepeninggal Isa Almasih.

Meskipun kepercayaan ini ditentang oleh sebagian dari mereka yang tidak sedikit jumlahnya, tetapi gereja-gereja Katolik, Ortodok, dan Protestan tetap pada pendiriannya.

Bahkan orang-orang yang tidak membenarkan kepercayaan itu, dianggap tidak lagi termasuk kaum Nasrani dan telah murtad dari agamanya.

Mengatakan Isa Almasih anak Allah dan meyakini bahwa tiga oknum suci itu adalah hakikat Tuhan Yang Maha Esa, tidak dibenarkan oleh Allah swt dan tidak dapat diterima oleh akal yang sehat dan belum ada satu juga agama nabi-nabi sebelum itu menganut kepercayaan demikian.

Allah swt menandaskan bahwa ucapan mereka seperti itu, tidak mempunyai hakikat kebenaran sedikit juga dan tidak ada satu dalil dan bukti yang nyata dapat menguatkannya. Sejalan dengan ini Allah swt berfirman:

كَبُرَتْ كَلِمَةً تَخْرُجُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْۗ اِنْ يَّقُوْلُوْنَ اِلَّا كَذِبًا

Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka hanya mengatakan (sesuatu) kebohongan belaka. (al-Kahf/18: 5)

Di dalam kitab-kitab Perjanjian Baru sendiri tidak terdapat keterangan yang menyatakan bahwa Isa Almasih itu anak Allah. Sesungguhnya mereka sudah sesat jauh dari ajaran yang sebenarnya. Mereka meniru-niru ucapan orang-orang kafir sebelumnya, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang mengatakan bahwa malaikat-malaikat itu adalah puteri-puteri Allah.

Sejarah mencatat bahwa kepercayan “Tuhan beranak, Tuhan menjelma dalam tiga unsur berhakikat satu” adalah kepercayaan kaum Brahma dan Budha di India, kepercayaan bangsa-bangsa Jepang, Persia, Mesir, Yunani, dan Romawi zaman dahulu.

Keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani mempercayai bahwa Allah swt itu beranak, belum pernah ada seorang pun dari bangsa Arab yang mengetahuinya, begitu pula orang-orang yang berada di sekitarnya.

Dan baru dengan turunnya Al-Qur’an, diketahui kerancuan pemahaman mereka terhadap hakikat Nabi Isa, Tuhan, dan Roh Kudus.

Kalaulah tidak ayat yang mengoreksi kesalahan pemahaman ini, tentu kesalahan itu belum disadari sampai saat ini. Ini adalah salah satu mukjizat Al-Qur’an.

Allah swt mengutuk mereka karena mereka belum mau menginsafi dan menyadari kekeliruan dan kesesatannya.

Meskipun Rasul-rasul Allah telah menjelaskan bahwa Allah itu Maha Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, namun mereka tidak mau kembali ke akidah tauhid, bahkan tetap bertahan pada itikadnya yang keliru, yaitu menganggap bahwa Uzair dan Isa Almasih adalah anak Allah.

Padahal keduanya adalah manusia biasa dan hamba-Nya, seperti juga manusia-manusia lain, sekalipun diakui bahwa keduanya adalah manusia yang saleh, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, mulia dan dihormati, sebagaimana firman Allah:

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمٰنُ وَلَدًا سُبْحٰنَهٗ ۗبَلْ عِبَادٌ مُّكْرَمُوْنَ

Dan  mereka  berkata, ”Tuhan Yang Maha Pengasih telah menjadikan (malaikat) sebagai anak.” Mahasuci Dia. Sebenarnya mereka (para malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. (al-Anbiya’/21: 26)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 31-32


 

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 29

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Konteks Tafsir Surah At Taubah Ayat 29 adalah pada momen ketika Ahlul Kitab (bangsa Romawi) hendak menyerbu kaum Muslimin. Maka Nabi menyeru kepada sahabatnya untuk mempersiapkan diri dengan peperangan tersebut.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 25-28


Dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 29 juga dijelaskan bahwa perang ini dinamakan dengan Perang Tabuk, berikut akan dipaparkan alasan terjadinya perang tersebut, sekaligus perang terakhir yang diikuti Nabi Muhammad Saw.

Ayat 29

Pada hakikatnya, ayat ini merupakan langkah awal agar Nabi Muhammad saw mengalihkan perhatiannya kepada Perang Tabuk yang akan dihadapinya. Perang Tabuk merupakan perang yang terakhir yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw, sesudah kaum Muslimin dapat menguasai kota Mekah.

Tabuk terletak di sebelah utara Medinah, berbatasan dengan Yordania/Syam (Damaskus) yang ketika itu dikuasai oleh kerajaan Romawi yang beragama Nasrani.

Ketika berita sampai kepada Nabi Muhammad saw, bahwa pihak Romawi mempersiapkan pasukan dalam jumlah yang besar untuk menguasai daerah perbatasan tersebut, maka Nabi Muhammad saw, mengumumkan kepada seluruh kaum Muslimin melalui kabilah-kabilah agar bersiap-siap mengumpulkan segala kekuatan untuk turut bersama Nabi memerangi pasukan Romawi.

Seruan Nabi Muhammad tersebut segera mendapat sambutan dari kaum Muslimin yang kuat imannya, kecuali kaum munafik yang mencari helah sebagaimana telah menjadi kebiasaan mereka terutama dalam menghadapi Tabuk, di samping jaraknya sangat jauh juga panas matahari sangat terik.

Setelah Nabi Muhammad saw dan pasukan kaum Muslimin sampai di Tabuk, didapatinya pasukan Romawi telah lebih dahulu mengosongkan daerah Tabuk untuk mundur kembali ke daerah pedalaman.

Maka Ahli Kitab yang berada di sana meminta perdamaian dan menyerahkan jizyah kepada Nabi Muhammad saw sebagai tanda pengakuan mereka untuk tunduk kepada kekuasaan Islam, karena mereka belum bersedia menganut agama Islam.


Baca Juga : Benarkah Ahlu Kitab Musuh Umat Islam? Simak Penjelasan Surat Ali Imran Ayat 113


Setiap peperangan pada masa Nabi hanya untuk mempertahankan  diri atau untuk membalas serangan. Pada ayat ini Allah memerintahkan kaum Muslimin agar memerangi Ahli Kitab, karena mereka memiliki empat unsur yang menyebabkan mereka memusuhi Islam. Empat unsur itu ialah:

  1. Mereka tidak beriman kepada Allah, karena mereka telah menghancurkan asas ketauhidan. Mereka menjadikan pendeta-pendeta selaku orang suci yang berhak menentukan sesuatu, baik mengenai peraturan yang berkenaan dengan ibadah maupun yang berhubungan dengan halal dan haram.

    Demikian juga orang Nasrani menganggap Isa anak Allah, sedangkan orang Yahudi menganggap pula Uzair sebagai anak Allah. Hal itu dengan tegas menunjukkan bahwa mereka semua mempersekutukan Allah dalam membuat peraturan agama.

  1. Mereka tidak beriman kepada hari kemudian, karena mereka menganggap bahwa kehidupan di akhirat sekedar kehidupan rohaniyah belaka. Kesesatan anggapan mereka seperti ini karena tidak ada ketegasan, baik dalam Taurat maupun dalam Injil tentang adanya hari kebangkitan dan pembalasan sesudah mati.

    Saat manusia bangkit kembali sebagaimana kejadiannya semula, yaitu terdiri dari jasad dan roh, yang masing-masing akan merasakan kenikmatan karunia Allah sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an.

  1. Mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Orang Yahudi tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah pada syariat yang dibawa oleh Musa dan yang sebagiannya dinasakhkan oleh Isa, yakni dinyatakan tidak berlaku lagi hukumnya.

    Mereka memandang halal memakan harta dengan jalan yang tidak halal (batil), seperti riba dan sebagainya dan mereka mengikuti cara-cara orang musyrik dalam keganasan berperang dan memperlakukan tawanan.

    Sedangkan orang Nasrani memandang halal apa yang diharamkan oleh Allah pada syariat Musa yang belum dinasakh oleh Injil. Dalam Taurat Allah mengharamkan lemak daging atau harga penjualannya. Orang-orang Nasrani tidak memandangnya haram.

  1. Mereka tidak berpegang kepada agama yang benar yaitu agama yang diwahyukan kepada Musa dan Isa a.s. Apa yang mereka anggap agama sebenarnya adalah suatu cara yang dibuat oleh pendeta-pendeta mereka berdasarkan pikiran dan kepentingan.

    Yang menyebabkan perbuatan tersebut karena Taurat yang diturunkan kepada Musa, dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa, ditulis jauh setelah keduanya wafat. Sehingga Taurat dan Injil ditulis berdasarkan pemahaman pengikut-pengikutnya.

    Bahkan beberapa abad sesudah kenaikan Isa mereka memilih empat Injil yang masing-masing saling bertentangan. Demikianlah keadaan mereka, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah:

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِّيْثَاقَهُمْ لَعَنّٰهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوْبَهُمْ قٰسِيَةً ۚ يُحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهٖۙ وَنَسُوْا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوْا بِهٖۚ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلٰى خَاۤىِٕنَةٍ مِّنْهُمْ اِلَّا قَلِيْلًا مِّنْهُمْ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ ۗاِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, maka Kami melaknat mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka mengubah firman (Allah) dari tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian pesan yang telah diperingatkan kepada mereka. Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (al-Ma’idah/5: 13)

Allah memerintahkan orang mukmin agar memerangi Ahli Kitab karena mereka menunjukkan permusuhan dan mengancam keamanan Muslimin, baik dalam kehidupan beragama maupun kehidupan sosial.

Jika mereka menerima Islam sebagai pengganti agamanya, maka mereka telah kembali kepada agama yang benar, dan jika mereka tunduk, tidak lagi mengganggu dan mengancam kehidupan umat Islam maka hendaklah mereka membayar jizyah (kecuali mereka yang miskin dan para pendeta) sebagai tanda bahwa mereka berada dalam posisi yang rendah.

Kewajiban Muslimin seluruhnya menjamin keamanan mereka, membela mereka, memberikan kebebasan kepada mereka terutama dalam menjalankan ibadah menurut agama mereka dan memperlakukan mereka dengan adil dalam kehidupan sosial sebagaimana kaum Muslimin sendiri diperlakukan. Dengan membayar jizyah mereka disebut ahli zimmah atau kafir zimmi.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 30-32


Mengenal Nu’man ibn Hayyun, Hakim Agung Daulah Fatimiyah Pengarang Asas al-Ta’wil

0
Nu'man ibn Hayyun
Nu'man ibn Hayyun

Al-Qadi Abu Hanifah al-Nu’man ibn Muhammad ibn Mansur ibn Ahmad ibn Hayyun al-Tamimi al-Maghribi atau yang akrab disebut Nu’man ibn Hayyun merupakan seorang ulama yang menjadi hakim dan berperan penting dalam pengembangan paham Syiah Ismailiyah di Daulah Fatimiyah. Tidak diketahui secara pasti terkait tanggal kelahiran dari Nu’man ibn Hayyun. Namun, Devin J. Stewart dalam The Disagreements of the Jurists: a Manual of Islamic Legal Theory memperkirakan bahwa Nu’man ibn Hayyun lahir sekitar dekade terakhir dari abad ke-9 masehi.

Walaupun dikenal sebagai seorang ulama penting dalam golongan Syiah Ismailiyah, ayah Nu’man yaitu Muhammad ibn Manshur dulunya merupakan seorang pakar hukum fikih mazhab Maliki yang hidup di daerah Qairawan, hingga akhirnya menganut paham Syiah Ismailiyah. Begitu juga dengan putranya, Nu’man, dalam banyak literatur disebutkan bahwa sebelum menganut teologi Syiah Ismailiyah, ia merupakan seorang penganut mazhab Maliki.

Sedikit berbeda dengan pandangan umum, sejarawan Mesir yaitu al-Taghribirdi (w. 1412 M) menyampaikan bahwa sebelum menganut teologi Syiah Ismailiyah, Al-Qadhi Nu’man sempat menjadi penganut madzhab Imam Hanafi. Hal ini dikarenakan pada saat itu lembaga pendidikan berdasarkan madzhab hanafi (Hanafi Legal School) telah mendominasi sebagian besar daerah Afrika Utara.

Mohammad Husen dalam Theologi Kebatinan Nu’man ibn Hayyun Dalam Penafsiran Safinah dan Fulk Pada Kitab Asas Al-Ta’wil (Analisis Hermeneutika Hans Georg Gadamer) menjelaskan bahwa Nu’man menghabiskan masa kecil hingga dewasanya di kota Qairawan, Maroko. Seperti halnya umumnya para ulama, Nu’man remaja memperoleh ilmu-ilmu dasar keislaman dari ayahnya sendiri yaitu Muhammad ibn Manshur.

Baca Juga: Mengenal Muhammad Asad, Tokoh Dibalik Lahirnya The Message of the Qur’an

Tidak diketahui secara pasti nama-nama guru Nu’man ibn Hayyun selain ayahnya. Namun, dapat dipastikan bahwa ia juga melakukan pengembaraan intelektual di beberapa masjid dan majelis-majelis ilmu yang diasuh oleh para ulama di kota tersebut, hingga akhirnya ia diangkat sebagai hakim di pemerintahan Daulah Fatimiyah.

Dalam ringkasan disertasi karya Fejrian Yazdajird Iwanebel yang berjudul The Formation of Ta’wil in the Early Fatimid Caliphate: al-Nu’man b. Hayyun and Ja’far b. Mansur on Prophetology in the Qur’an dijelaskan bahwa hakim Nu’man memulai karir kepemerintahanya pada tahun 925 Masehi sebagai pelayan Abdullah al-Mahdi selama sembilan tahun. Pada masa tersebut, Nu’man ibn Hayyun ditugaskan sebagai pustakawan dan qadi di Tripoli dan Mansuriya.

Kemudian pada tahun 948 Masehi, Nu’man diangkat oleh al-Mansur sebagai hakim tertinggi (highest judicial office). Puncaknya, pada tahun 954 Masehi al-Mu’izz memberikan kepada Nu’man ibn Hayyun sebuah jabatan hakim agung (Qadi al-Qudat) di Daulah Fatimiyah. Sehingga selama hidupnya, sang Hakim melayani empat kepemimpinan Daulah Fatimiyah, mulai dari masa pemerintahan ‘Abdullah al-Mahdi (909-934 M), Qasim Muhammad al-Qaim (934-946 M), Abu Zahir Isma’il al-Mansur Billah (946-953 M), dan Tamim Ma’ad al-Mu’izz li Dinillah (953-975 M). Nu’man wafat pada bulan Jumada al-Saniyah tahun 363 H/973 M. di Mesir.

Baca Juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif

Karya-karya Nu’man ibn Hayyun

Asaf A. A. Fyzee dalam karyanya Qadi an-Nu’man The Fatimid Jurist and Author menjelaskan bahwa Nu’man ibn Hayyun merupakan seorang ulama yang sangat produktif. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian Asaf A. A. Fyzee yang menyebutkan bahwa Nu’man telah menghasilkan kurang lebih 44 karya tulisan dalam berbagai bidang keilmuan, sebagaimana rincian berikut:

pertama, dalam bidang fikih terdapat karya Kitab al-Idah, Mukhtasar al-Idhah, Kitab al-Akhbar, al-Yanbu’, al-Iqtisar, al-Ittifaq wa al-Iftiraq, al-Kitab al-Muqtasir, al-Qasidah al-Muntakhabah, Da’aim al-Islam, Mukhtasar al-Atsar, Kitab Yaum wa Lailah, Kitab al-Taharah, Kaifiyah al-Salah, dan Minhaj al-Faraid.

Kedua, Nu’man ibn Hayyun juga memiliki beberapa karangan yang sifatnya munazarah (perdebatan) seperti al-Risalah al-Misriyah fi al-Radd ‘ala al-Syafi’i, Kitab fihi al-Radd ‘ala Ahmad ibn Shuraih al-Baghdadi, al-Risalah Zat al-Bayan fi al-Radd ‘ala ibn Qutaibah, Ikhtilaf Usul al-Mazahib, dan Damigh al-Mujiz fi al-Radd ‘ala al-’Itki. Ketiga, dalam bidang interpretasi Al-Qur’an terdapat karya Nahj al-Sabil ila Ma’rifah ‘Ilm al-Ta’wil, Ta’wil al-Da’aim, dan karyanya paling monumental yaitu Asas al-Ta’wil.

Keempat, dalam bidang ilmu Haqaiq (filsafat esoteris) terdapat karya Hudud al-Ma’rifah, Kitab al-Tauhid al-Imamah, Kitab Itsbat al-Haqaiq, dan Kitab fi al-Imamah. Kelima, dalam bidang ilmu akidah terdapat karya al-Qasidah al-Mukhtarah, Kitab al-Ta’aqub wa al-Intiqad, Kitab al-Du’a’, Kitab al-Himmah, Kitab al-Hula wa al-Siyab, dan Kitab al-Syurut.

Keenam, dalam bidang ilmu akhbar dan sirah terdapat karya Syarh al-Akhbar, Zat al-Minan, dan Zat al-Mihan. Ketujuh, dalam bidang sejarah terdapat karya Manaqib Bani Hasyim, Iftitah al-Da’wah, Ma’alim al-Mahdi, al-Risalah ila al-Mursyid al-Da’i bi Misr fi Tarbiyah al-Mu’minin, dan Kitab al-Majalis wa al-Musayarat. Kedelapan, terdapat karya Ta’wil al-Ru’ya, Manamat al-Aimmah, Kitab al-Taqri’ wa al-Ta’nif, dan Mafatih al-Ni’mah.

Kita mengenal satu lagi pengkaji Al-Quran yang produktif di berbagai disiplin keilmuan, Nu’man ibn Hayyun. Karya-karyanya tentu menambah warna ragam khazanah keilmuan Islam. Wallahu A’lam

Tafsir Ahkam: Kewajiban Melaksanakan Rukuk dan Sujud dalam Shalat

0
Rukuk dan Sujud dalam shalat
Rukuk dan Sujud dalam shalat

Tidak banyak dari rukun-rukun ibadah salat yang disinggung di dalam Al-Qur’an. Kebanyakan disinggung agak detail di dalam hadis nabi. Yang disinggung di dalam Al-Qur’an adalah rukuk dan sujud. Firman Allah tentang rukuk dan sujud tersebut menjadi dasar kesepakatan para ulama’ bahwa rukuk dan sujud adalah sesuatu yang diwajibkan di dalam salat.

Namun keberadaan rukuk dan sujud di dalam Al-Qur’an tidak hanya berdampak munculnya kesepakatan para ulama’ mengenai wajibnya rukuk dan sujud di dalam salat. Melainkan juga berdampak munculnya perbedaan pendapat mengenai kewajiban tumakninah di dalam rukuk dan sujud, serta cukupnya meletakkan jidat saat sujud. Berikut keterangan lebih detailnya:

Rukuk Dan Sujud Di Dalam Al-Qur’an

Kewajiban melaksanakan rukuk dan sujud saat salat didasarkan Surat Al-Hajj ayat 77 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۚ۩

Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah, sujudlah, sembahlah Tuhanmu, dan lakukanlah kebaikan agar kamu beruntung (QS. Al-Hajj [22] :77)

Imam Al-Alusi menyatakan, lewat ayat ini Allah memerintahkan kita untuk menjalankan salat. Allah memerintahkan salat lewat memerintahkan untuk melaksanakan rukun salat yang paling penting dan utama; yakni rukuk dan sujud. Dan dengan ini secara tidak langsung Allah menyatakan bahwa rukun salat selain rukuk dan sujud hukumnya sebagaimana rukuk dan sujud (Tafsir Ruhul Ma’ani/13/149).

Imam Ar-Razi di dalam tafsirnya tatkala membahas ayat di atas menyatakan keterangan sebagaimana yang disampaikan Imam Al-Alusi. Dan setelah itu, Imam Ar-Razi mengutip keterangan dari Ibn ‘Abbas yang menceritakan, bahwa konon umat muslim di awal keislaman mereka banyak yang menjalankan rukuk tapi tidak bersujud. Maka turunlah ayat di atas (Tafsir Mafatihul Ghaib/1/156).

Imam An-Nawawi menyatakan, ayat di atas menjadi dasar kesepakatan para ulama’ bahwa rukuk dan sujud di dalam salat hukumnya wajib. Selain itu, ulama’ juga menetapkan kewajiban rukuk, sujud dan berbagai rukun salat lain berdasar hadis sahih yang diriwayatkan dari Malik ibn Al-Huwairits bahwa Nabi Muhammad bersabda (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/3/396 dan 420):

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat (HR. Bukhari, Muslim dan selainnya)

Pro Kontra Kewajiban Tumakninah dan Pratik Sujud

Tumakninah adalah berdiam sejenak pada satu rukun di dalam salat. Yakni orang yang salat tatkala sampai rukuk semisal, tidak boleh lekas-lekas i’tidal sehingga seakan-akan tidak berhenti bergerak pada saat rukuk. Oleh karena itu, dianjurkan membaca tasbih tiga kali dalam rukuk agar dapat sejenak berhenti bergerak saat rukuk.

Imam Al-Mawardi menyatakan, mayoritas ulama’ menyatakan bahwa di dalam rukuk dan sujud diwajibkan untuk tumakninah. Hanya Imam Abu Hanifah saja yang menyatakan bahwa tumakninah di dalam rukuk dan sujud hukumnya tidak wajib. Dasar yang dipakai Abu Hanifah adalah zahir dari ayat di atas yang secara tidak langsung menyatakan bahwa yang wajib dalam rukuk dan sujud adalah gerakan yang dinamai rukuk dan sujud. Dan ini tidak menyinggung perihal tumakninah (Al-Hawi Al-Kabir/2/271).

Redaksi Surat Al-Hajj ayat 77 yang secara zahir hanya memerintahkan praktik sujud secara umum tanpa menyinggung detailnya, juga memunculkan perbedaan pendapat diantara para ulama’. Ada yang menyatakan bahwa yang wajib di dalam Praktik sujud hanyalah meletakkan jidat. Adapula yang mengharusnya meletakkan kedua tangan, kedua lutut dan kedua kaki (Al-Mausuah Al-Fiqhiyah/2/8510).

Berbagai keterangan di atas menunjukkan kepada kita tentang bagaimana keumuman perintah di dalam Al-Qur’an telah menimbulkan berbagai macam pendapat di kalangan para ulama’. Dari sini kita bisa belajar untuk lebih berhati-hati di dalam mengambil pemahaman dari Al-Qur’an. Terlebih tanpa lewat penafsiran para ulama’. Sebab sumber agama tidaklah hanya Al-Qur’an saja. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 87-90

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 87-90 masih meneruskan pembicaraan sebelumnya. Para pengikut Nabi Musa berharap penuh atas datangnya pertolongan Allah. Pertama-tama Allah menyuruh Nabi Musa dan Nabi Harun untuk mencari tempat perlindungan bagi mereka dan pengikutnya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 80-86


Lebih lanjut dalam Tafsir Surah Yunus Ayat 87-90 ini dijelaskan bahwa akhirnya doa mereka untuk kehancuran Fir’aun dan bala tentaranya akan di kabulkan. Puncaknya adalah ketika Nabi Musa dan pengikkutnya menyeberangi lautan untuk menghindari kejaran Fir’aun. Dalam pengejarannya itu, Fir’aun tewas.

Ayat 87

Allah memerintahkan Musa dan Harun untuk mencari beberapa buah rumah dalam kota Mesir untuk dijadikan tempat tinggal dan perlindungan bagi kaumnya serta tempat kegiatan mereka. Allah memerintahkan agar rumah itu dijadikan tempat salat.

Kemudian khusus kepada Musa sebagai pengemban syariat, Allah memerintahkan agar dia memberikan kabar gembira di kemudian hari bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya.

Di tempat perlindungan inilah Nabi Musa mengisi batin mereka dengan ajaran-ajaran agama serta memasukkan ke dalam jiwa mereka keimanan dan keluhuran budi pekerti.

Ayat 88

Dalam ayat ini dijelaskan pembangkangan dan perbuatan sewenang-wenang Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya, kecemasan dan ketakutan Bani Israil, dan pengaduan Musa kepada Allah tentang nikmat yang melimpah yang diberikan kepada Fir’aun dan kaumnya seperti perhiasan emas permata, pakaian kebesaran yang mewah, dan kekayaan lainnya, namun segala nikmat yang diberikan Allah itu justru menjadikan mereka sesat dari jalan Allah.

Bahkan mereka bertambah sombong dan berbuat aniaya di atas harta kekayaan itu. Allah seakan membiarkan mereka dalam kesesatan sehingga mereka tidak beriman.

Lalu Nabi Musa mendoakan kehancuran Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, Kufur terhadap nikmat Allah. Suatu kenyataan bahwa Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya memiliki kekuasaan dan kekuatan yang besar. Di samping itu, ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncaknya di zaman Fir’aun di Mesir.

Barang-barang peninggalan Fir’aun, baik yang terdapat di museum Mesir ataupun di Eropa dan Amerika, menunjukkan ketinggian peradaban dan kebudayaan mereka.

Demikian pula benda-benda purbakala dan bangunan-bangunan kuno yang terdapat di Mesir. Dalam pemerintahan, Fir’aun memegang kekuasaan mutlak bahkan kepada rakyatnya dia mengaku dirinya sebagai tuhan.

Kedua, Menolak kebenaran. Kenyataan menunjukkan bahwa Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya telah jauh meninggalkan nilai-nilai moral kemanusiaan dan agama. Hak asasi manusia tidak dihargainya. Mereka hidup dalam kemewahan, di atas derita rakyat.

Musa a.s. telah berupaya membawa Fir’aun dan pembesar-pembesarnya ke jalan Allah, dengan menunjukkan bukti-bukti kerasulannya. Dia berikan ajaran tentang kebenaran, keadilan, nasehat dan peringatan siksa Allah, dan malapetaka, akibat perbuatannya.

Akan tetapi seruan Musa tidak mendapat sambutan yang baik bahkan mendapat tantangan serta permusuhan. Dengan demikian kemungkinan untuk menyeru Fir’aun dan kaumnya ke jalan Allah telah tertutup serta keimanan mereka tidak dapat diharapkan lagi.

Membiarkan Fir’aun dan pembesar-pembesarnya dengan kekuasaan, kejayaan dan kekuatannya yang besar sedangkan prinsip dasar hidup mereka jauh lebih rendah dari nilai-nilai moral kemanusiaan dan agama, sangat membahayakan perdamaian dunia dan kesejahteraan umat manusia.

Mereka dengan kekuatan dan kekuasaannya, berbuat maksiat dan kerusakan di muka bumi, mengancam keselamatan umat manusia.

Oleh karena itu, Nabi Musa memanjatkan doa kepada Allah untuk kebahagiaan umat manusia, agar Allah melumpuhkan kekuatan Fir’aun dengan membiarkan mereka dalam kesesatan, sebab kesesatan mereka akan mengakibatkan kehancuran mereka sendiri. Nabi Harun sebagai pembantu utama Nabi Musa, mengamini doa Nabi Musa itu.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun


Ayat 89

Dalam ayat ini Allah menyatakan kepada Musa dan Harun bahwa doa mereka untuk kehancuran Fir’aun dan kekuasaannya, akan diperkenankan Tuhan.

Hal itu sudah menjadi ketetapan Allah. Kemudian Allah memerintahkan kepada Musa dan Harun untuk tetap menjalankan perintah-Nya dan terus menyampaikan seruan ke jalan Allah dan mempersiapkan Bani Israil untuk berjuang dan pindah meninggalkan bumi Mesir.

Allah melarang mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengikuti Sunnah Tuhan pada makhluk-Nya yaitu hukum sebab-akibat, seperti menuntut segera kehancuran Fir’aun sebelum waktunya atau minta ditunda kehancuran itu pada waktu yang sudah ditetapkan. Masa keruntuhan Fir’aun itu pasti datang, sebab mereka tidak dapat lepas dari hukum Tuhan itu.

Ayat 90

Dalam ayat ini, Allah menceritakan tentang kepergian Bani Israil dari bumi Mesir. Ketika Nabi Musa meminta kepada Fir’aun agar dia membebaskan Bani Israil yang ada di Mesir dari belenggu perbudakan, kemudian mengizinkan mereka kembali ke Palestina, untuk menjalankan agama mereka dengan bebas, Fir’aun menolak permintaan itu.

Akhirnya Musa dan kaumnya lari meninggalkan Mesir. Fir’aun dan tentaranya kemudian mengejar mereka Rombongan Fir’aun dan tentaranya hampir menyusul Musa dan kaumnya ketika mereka akan menyeberang lautan.

Bani Israil merasa ketakutan jika tertangkap oleh pasukan Fir’aun, lalu Musa menenteramkan rombongannya dengan meyakinkan kepada mereka bahwa mereka akan menyaksikan kehancuran musuh mereka.

Maka Tuhanpun mewahyukan kepada Musa supaya dia memukulkan tongkatnya ke laut. Lautanpun terbelah, masuklah Musa dan kaumnya berjalan di celah-celahnya yang kering hingga tiba dengan selamat di seberang lautan.

Fir’aun bersama pasukannya mengikuti jalan yang sama tapi ketika tiba di tengah perjalanan, Musa mengulurkan tangannya ke arah lautan, maka lautanpun kembali seperti sedia kala. Fir’aun tenggelam ditelan gelombang bersama pasukannya. Ketika dia merasa akan mati tenggelam, dia menyatakan iman dan Islamnya.

Dia menyatakan beriman kepada Tuhan yang diimani oleh Bani Israil. Pernyataan iman kepada Allah dan Musa a.s., diucapkannya dengan kalimat: “Aku termasuk orang Islam”.

Pengakuan Islam mengandung iman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi pernyataan iman ini sangat terlambat karena dinyatakan pada saat dia hampir tenggelam dan tidak seorangpun yang dapat menolongnya. Pernyataan dalam keadaan demikian itu tidak diterima oleh Allah. Firman Allah:

فَلَمَّا رَاَوْا بَأْسَنَاۗ قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَحْدَهٗ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهٖ مُشْرِكِيْنَ  ٨٤  فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ اِيْمَانُهُمْ لَمَّا رَاَوْا بَأْسَنَا ۗسُنَّتَ اللّٰهِ الَّتِيْ قَدْ خَلَتْ فِيْ عِبَادِهِۚ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكٰفِرُوْنَ ࣖ   ٨٥

Maka ketika mereka melihat azab Kami, mereka berkata, ”Kami hanya beriman kepada Allah saja dan kami ingkar kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.”Maka iman mereka ketika mereka telah melihat azab Kami tidak berguna lagi bagi mereka. Itulah (ketentuan) Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan ketika itu rugilah orang-orang kafir. (Gafir/40: 84-85)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 91-94


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Konsep Bughat (Pemberontakan) dalam Penafsiran al-Quran

0
Konsep Bughat (Pemberontak) dalam Penafsiran al-Quran
Konsep Bughat (Pemberontak) dalam Penafsiran al-Quran

Dalam dunia Islam ada istilah yang sudah masyhur di denger telinga kita, yaitu Bughat (pemberontakan). Hal itu pun sudah marak terjadi dikalangan beberapa negara, dikarenakan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan tertinggi di suatu negara. Untuk itu penulis akan menjelaskan bagaimana pandangan Islam mengenai Bughat tersebut, dan akan mengemukakm juga para pendapat ulama tafsir mengenai hal tersebut.

Pengertian Bughat

Secara Bahasa, bughat bentuk jamak dari kata al-Baghi yang bermakna pembangkang. Pada mulanya berasal dari kata bagha-yabghi yang merupakan bentuk kata kerja dari bughat. Menurut Ibn Manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab, bahwasannya bughat bermakna menanggalkan, melanggar, melakukan kezaliman, melampaiu batas, dan menginginkan kerusakan. Sedangkan menurut para madzhab, salah satunya Ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa bughat adalah orang-orang Islam yang tidak patuh dan tunduk kepada kepemimpinan tertinggi negara dan melakukan suatu gerakan masa yang didukung oleh suatu kekuatan dengan alasan-alasan mereka sendiri.

Baca juga: Termasuk Kebaikan Yaitu Kesalehan Sosial, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 177

Adapun menggerogoti kewibawaan atau menggulingkan pemerintahan yang sah tak dibenarkan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Imam al-Juzairi, bahwasannya seorang kepala negara yang tak melanggar hukum Allah maka wajib ditaati. Dengan demikian,sekelompok orang yang melakukan pembangkangan atau pemberontakan, maka diperbolehkan bagi seorang kepala negara untuk memerangi mereka

Dilihat dari situ, penulis mengambil kesimpulan mendefinisikan bughat sebagai sekelompok orang yang sengaja melakukan gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menggerogoti dan menggulingkan pemerintahan yang sah. Hal itu terjadi karena menurut mereka pemerintahan tidak menjalankan tugasnya dengan baik, dan anggapan mereka bahwa pemerintah itu telah merugikan mereka dalam berbagai hal.

Baca juga: Surah Al-Mujadalah Ayat 1-2: Memaknai Kehadiran Al-Quran Perspektif Ingrid Mattson

Sejarah munculnya Bughat

Dalam sejarah, kelompok yang sering ditunjuk sebagai bughat adalah; Pertama, orang-orang Yahudi Madinah yang melanggar Konstitusi Madinah yang dibuat Nabi Muhammad bersama penduduk Madinah. Pelanggaran terhadap konstitusi Madinah itu menyebabkan Nabi Muhammad memerangi mereka. Kedua, orang-orang Islam yang tidak mau menyetorkan zakatnya kepada negara yang saat itu dipimpin Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq. Hal tersbut menyulut Abu Bakar memerangi mereka. Ketiga,orang-orang memberontak dan menolak kepemimpinan ‘Ali ibn Talib dala Perang Unta (waq’ah al-jamal). Orang-orang  tersebut itu dikatakan sebagai kelompok orang yang makar pada pemerintahan yang sah.

Di Negara Indonesia, orang-orang yang terlibat DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pernah dinyatakan sebagian ulama sebagai kelompok bughat karena mereka membangkang terhadap kepemimpinan Presiden Ir. Soekarna dan menolak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Belakangan ini ada suatu kelompok yang mengatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 tidak sesuai dengan syari’at Islam dengan itu kelompok yang semacam ini boleh diperangi dan dilawan.

Ayat Bughat dan Penafsiran Para Ulama

Adapun ayat yang dijadikan para ulama sebagai dasar tentang pelarangan Bughat adalah firman Allah  (Q.S. al-Hujurat 49:9) :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

Dalam kitab Tafsir al-Qurthubi, Imam Qurthubi mengutip pendapa para ulama. Menurut Imam Mujtahid bahwasannya ayat ini turun sebagai bentuk respons terhadap persengketaan yang melibatkan suku Aus dan Khazraj.  Persengketaan itu terjadi saling bunuh antara dua kelompok tersebut. Sedangkan dari versi lain Imam Qatadah mengatakan ayat ini turun terkait kasus dua orang laki-laki Anshar yang bertengkar mulut tentang perebutan hak yang diklaim masing-masing pihak yang kemudian berujung pada pertengkaran fisik.

Menurut Fakhruddin al-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Ghaib berkata bahwa mendamaikan orang yang berperang atau bertikai adalah perintah al-Qur’an. Sekiranya salah satu dari mereka menolak untuk berdamai bahkan cenderung membangkang, maka perangilah para pembangkang itu. Menurut al-Razi, jika pembangkang itu adalah rakyat, maka wajiblah bagi kepala negara (al-Amir) untuk mencegah pembangkangan itu, mulai dari memberi nasehat, mengancam, menahan hingga menyiksa mereka. Sebaliknya, jika yang melakukan (bughat) pembangkangan itu adalah kepala negara, maka rakyat wajib mencegah perbuatan tersebut dengan cara memberi nasehat, atau dengan cara-cara yang lain yang tidak menimbulkan fitnah ditengah masyarakat.

Al-Qurthubi hendak menyimpulkan pengertian legal-formalistik dari ayat ini. Pertama, ayat ini spertihendak memprediksi bahwa perselisihan antar umat  islam akan terjadi bahkan tidak akan sepi. Saat terjadi adanya perselisihan itu, yang dibutuhkan adalah perdamaian (islah dzati al-bayni). Namun jika  yang satu bersikeras untuk menyerang yang lain, maka tak ada pilihan kecuali memerangi kelompok penyerang itu.

Kedua, ayat ini menunjukkan bahwa memerangi orang-orang yang makar (bughat) terhadap pemerintahan yang sah adalah wajib. Al-Qurthubi menambahkan, jika sekelompok orang yang menyatakan menentang pemerintahan sementara mereka tetap tak mengindahakan untuk  kembali taat dan masuk dalam barisan, maka mereka wajib diperangi. Ada yang berkata wajib di situ itu bermakna fardlu kifayah, sehingga sekiranya yang satu telah memerangi bughat maka yang lain telah gugur.

Baca juga: Makna Khalifah dan Tugasnya Menurut Para Mufasir

Unsur-Unsur Bughat

Para ulama menetapkan syarat-syarat yang mengantarkan pada bolehnya membunuh bughat, yaitu :

  1. Para pemberontak tak tunduk pada kepala negara yang sah misalnya mereka menyatakan keluar atau tidak mau memenuhi kewajiban atau tidak mau menjalani hukuman yang telah ditetapkan pada dirinya.
  2. Para pemberontak itu memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan, misalnya mempunyai basis masa pengikut sekalipun tak ada pemimpin.
  3. Mereka mengangkat senjata untuk kepentingan perlawanan pada negara.

Namun, sebelum melakukan diatas untuk memerangi mereka, sebaiknya untuk melakukan mediasi atau mengirim utusan kepada mereka agar mengetahui sebab-sebab pemberontakan mereka. Jika hal itu masih gagal maka perlu diadakan dialog agar mereka kembali taat pada kepala negara. Jika dirasa masih gagal maka ultimatum dan mengancam mereka adalah sebagai cara. Sedangkan jika ultimatum itu belum membuahkan hasil, maka jalan terakhir adalah memeranginya hingga mereka kembali taat dan tunduk pada pemerintahan yang sah. Wallahu a’lam bishshowab

Tafsir Surah Yunus Ayat 80-86

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 80-86 berbicara mengenai dua hal pokok. Pertama menjelaskan tentang kedahsyatan mu’jizat Nabi Musa. Namun mu’jizat itu tidak membuat Fir’aun dan para pengikutnya bertobat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 74-79


Kedua, Tafsir Surah Yunus Ayat 80-86 berbicara mengenai pengungsian yang dilakukan oleh Nabi Musa dan para pengikutnya. Pengikutnya waktu itu hanya punya satu harapan yakni mengharap pertolongan Allah dari kekejaman Fir’aun lewat perantara Nabi Musa.

Ayat 80

Kemudian sesudah ahli-ahli sihir dipanggil ke sebuah lapangan terbuka, mereka datang menemui Musa untuk menawarkan kepadanya apakah dia yang lebih dahulu melontarkan tongkatnya ataukah mereka yang memulai.

Musa mempersilahkan mereka menunjukkan sihirnya terlebih dahulu. Maka merekapun melemparkan tali-tali dan tongkat-tongkat mereka. Dengan kekuatan sihir, tali-tali dan tongkat-tongkat itu berubah menjadi ular. Mereka mempesona penglihatan manusia sehingga menakutkan hati mereka yang menyaksikannya.

Ayat 81

Setelah mereka selesai menunjukkan sihir mereka, Musa berkata kepada mereka tanpa mengindahkan sedikitpun kedahsyatan sihir yang mereka tunjukkan itu, bahwa apa yang mereka lakukan itu hanyalah sihir belaka, atau suatu usaha memutarbalikkan penglihatan manusia.

Hakikatnya tidak ada suatu perubahan yang terjadi dengan berubahnya tongkat dan tali itu menjadi ular. Sedangkan apa yang akan dilakukan oleh Musa adalah suatu mukjizat dari kekuasaan Allah. Allah akan membatalkan sulapan itu dengan mukjizat yang dibawa Nabi Musa a.s. Jelas bahwa sihir adalah perbuatan manusia, bukan peristiwa yang luar biasa.

Maka Musa melemparkan tongkatnya, dan Allah mengubah tongkat itu menjadi ular, lalu ular itu menelan ular-ular sihir yang mereka perbuat karena Allah tidak akan membiarkan perbuatan kaum penyihir itu berlangsung terus.

Ayat 82

Allah menegaskan bahwa Dia dengan kalimah-Nya mengokohkan kebenaran. Dengan kebenaran itu, umat manusia akan mencapai kesejahteraan dan terpelihara dari kezaliman.

Kalimat Allah itu adalah aturan Allah yang ditanamkan ke dalam syariat yang disampaikan kepada rasul-rasul-Nya. Dengan kalimat itu, Musa dapat mengalahkan Fir’aun dan melepaskan Bani Israil dari perbudakan Fir’aun, walaupun yang demikian itu tidak disukai oleh Fir’aun dan pemuka-pemukanya.

Ayat 83

Dalam ayat ini Allah menerangkan keadaan Musa dengan kaumnya sebelum mereka meninggalkan Mesir. Kegagalan Fir’aun bersama pemuka-pemuka kaumnya dan tukang-tukang sihir itu mendorong Fir’aun melakukan perbuatan yang lebih kejam lagi.

Dia merencanakan pembunuhan terhadap Nabi Musa dan orang-orang Bani Israil. Rencana ini menimbulkan rasa ketakutan di kalangan Bani Israil. Oleh karena itu, tidak banyak di antara mereka yang beriman kepada Nabi Musa. Mereka yang beriman itu umumnya para pemuda.

Kaum Nabi Musa merasa takut kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya yang selalu berusaha menyiksa mereka dan memaksa mereka murtad dari agama Musa a.s. Fir’aun zaman Musa a.s., termasuk raja yang sangat kejam dalam sejarah Mesir.

Karena itu dia amat ditakuti oleh rakyatnya. Dia banyak menumpahkan darah manusia dan dia pula yang menganggap dirinya sebagai Tuhan. Bani Israil dijadikan budak di bumi Mesir.

Firman Allah menjelaskan kekejaman Fir’aun:

وَقَالَ الْمَلَاُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ اَتَذَرُ مُوْسٰى وَقَوْمَهٗ لِيُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ وَيَذَرَكَ وَاٰلِهَتَكَۗ قَالَ سَنُقَتِّلُ اَبْنَاۤءَهُمْ وَنَسْتَحْيٖ نِسَاۤءَهُمْۚ وَاِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُوْنَ

Dan para pemuka dari kaum Fir’aun berkata, ”Apakah engkau akan membiarkan Musa dan kaumnya untuk berbuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkanmu dan tuhan-tuhanmu?” (Fir’aun) menjawab, ”Akan kita bunuh anak-anak laki-laki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka.” (al-A’raf/7: 127)


Baca juga: Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang Hakikat Tuhan


Ayat 84

Setelah Musa melihat orang-orang yang beriman dalam keadaan ketakutan, maka dia menyerukan kepada mereka agar bertawakkal kepada Allah jika mereka benar-benar beriman kepada-Nya disertai dengan penyerahan diri dan ketaatan yang mutlak terhadap perintah dan larangan Allah.

Keimanan tanpa pengamalan yang nyata terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya, adalah keimanan yang tidak bermakna. Tawakkal kepada Allah akan lahir dari jiwa orang yang beriman dan dia taat mengamalkan ajaran agamanya dalam batas kemampuannya. Ayat ini menunjukkan bahwa tidak semua kaum Bani Israil itu beriman kepada Musa sewaktu mereka berada di Mesir.

Di samping beriman kepada Allah, hendaknya seseorang beriman kepada Rasul. Barulah ia menjadi seorang Muslim yang berserah diri dan taat terhadap perintah dan larangan agama yang dibawa Rasul itu.

Orang-orang Yahudi sesudah selamat meninggalkan bumi Mesir dan tiba di Sinai, mereka menuntut kepada Musa agar dibuatkan patung Tuhan bagi mereka.

Kemudian, ketika mereka ditinggalkan Musa yang akan menerima wahyu di bukit Sinai, mereka menjadikan anak lembu sebagai Tuhan dan menyembahnya. Peristiwa ini menunjukkan bahwa tidak seluruh orang Yahudi beriman dan taat kepada ajaran Musa a.s.

Ayat 85

Orang-orang yang beriman lagi taat ketika mendengar seruan Musa, mereka segera menyambutnya dengan penuh ketaatan, bahkan mereka hanya bertawakkal kepada Allah.

Mereka menyadari bahwa kemenangan dan kebahagiaan yang dijanjikan Tuhan kepada orang-orang yang beriman tergantung kepada iman, amal, dan tawakal mereka.

Kemudian sesudah tawakal, mereka berdoa kepada Allah agar memelihara mereka dari kejahatan orang-orang yang zalim serta melindungi mereka dari upaya orang-orang yang ingin memalingkan mereka dari agama.

Ayat 86

Ayat ini menerangkan kelanjutan doa Bani Israil ketika mereka memohon kepada Allah agar mereka dilepaskan dari kekuasaan dan kekejaman Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya. Berabad-abad lamanya mereka dalam perbudakan Fir’aun dan mereka mengalami kerja paksa dan pekerjaan kasar lainnya yang hina dan tidak berperikemanusiaan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 87-90


(Tafsir Kemenag)

Termasuk Kebaikan Yaitu Kesalehan Sosial, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 177

0
kesalehan sosial dalam Al-Quran
kesalehan sosial dalam Al-Quran

Al-Quran mengajarkan bahwa kebaikan itu tidak hanya tentang ibadah kepada Allah, seperti salat, zakat dan ibadah semacamnya, yang kita kenal dengan kesalehan individual, tetapi juga tentang memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan atau yang dikenal dengan kesalehan sosial. Hal ini sebagaimana terekam dalam surah Al-Baqarah ayat 177,

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (177)

“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”

Baca Juga: Dia yang Berlaku Baik Kepadamu, Lebih Baiklah Kepadanya! Pesan Surat An-Nisa Ayat 86

Yang perlu digarisbawahi dari pesan ayat di atas adalah bahwa kebaikan yang dilakukan oleh seseorang bukan hanya beribadah kepada Allah sebagai kesalehan individual, seperti melaksanakan salat, dan mengeluarkan zakat serta melaksanakan ibadah-ibadah yang lain, tetapi juga kebaikan itu memberikan harta yang kita cintai dalam bentuk sedekah dan infak kepada orang-orang yang membutuhkannya, seperti sanak saudara (keluarga dekat), anak-anak yatim, orang-orang fakir dan miskin, ibnus sabil (anak jalanan), peminta-peminta, dan budak-budak yang membutuhkan bantuan.

Ayat ini menegaskan bahwa kebaikan itu bukan saja kebaikan yang berkaitan dengan kesalehan individual dalam hubungan dengan Tuhan, tetapi memberikan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan sebagai bentuk kesalehan sosial.

Selain itu, ayat ini juga menggugah kepekaan sosial kita. Kita harus memiliki kepekaan terhadap mereka yang membutuhkan bantuan, utamanya yang disebut dalam ayat di atas. Termasuk di dalamnya juga orang asing, yaitu orang yang datang ke suatu tempat yang baru, seperti seseorang yang baru pindah ke tempat yang baru. Tidak lupa juga ibn sabil, seseorang yang selalu melakukan perjalanan, yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain dalam mencapai kebaikan dan keridaan Allah swt.

Baca Juga: Tips Agar Ikhlas dalam Berbuat Baik: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 77

Keutamaan orang yang memberi karena Allah

Orang yang memberi karena Allah dalam hadis Qudsi riwayat Abu Idris al-’Abdy dijelaskan bahwa ia termasuk satu dari lima orang yang berhak mendapat cinta Allah,

حَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ وَحَقَّتْ لِلْمُتَبَاذِلِينَ فِيَّ وَحَقَّتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَصَادِقِينَ فِيَّ وَالْمُتَوَاصِلِينَ أَوْ الْمُتَزَاوِرِينَ. رواه أحمد

“Orang-orang yang saling mencintai karena Aku berhak memperoleh cinta-Ku. Orang-orang yang saling memberi karena Aku, berhak memperoleh cinta-Ku. Orang-orang yang saling bersedekah karena Aku, berhak memperoleh cinta-Ku, dan orang-orang yang saling mengunjungi dan menyambung silaturrahim karena aku, berhak mendapat cinta-Ku” (HR. Ahmad).

Hadis di atas menyatakan bahwa orang-orang yang dicintai oleh Allah adalah:

  1. Orang-orang yang saling mencintai karena Allah dan mereka itulah yang berhak mendapat cintaku.
  2. Orang-orang yang saling memberi karena Allah berhak mendapat cintaku.
  3. Orang-orang yang saling bersedekah karena Aku berhak mendapatkan cintaku.
  4. Orang-orang yang saling silaturrahim akan mendapatkan cintaku.
  5. Orang yang saling berkunjung berhak mendapat cintaku

Selain orang yang memberi karena Allah, juga ada orang saling mencintai karena Allah, bersedekah karena Allah, orang yang bersilaturahim dan orang yang saling berkunjung. Perilaku lima orang istimewa ini berkaitan dengan interaksi seseorang dengan orang lain, dengan kata lain amal yang dilakukan bukan berupa ibadah mahdloh seperti salat dan lainnya, inilah yang di awal disebut dengan kesalehan sosial.

Sering kita lupakan bahwa ukuran kebaikan itu bukan dilihat dari ibadah kepada Allah saja, tetapi juga ibadah dan interaksi kepada sesama, membantu orang yang membutuhkan, dalam konteks sekarang misal orang yang sedang tertimpa musibah. Seperti itulah misi Islam, rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), bukan rahmat bagi manusia dan Allah semata. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 25-28

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 25-28 menerangkan bahwa Allah memberikan pertolongan kepada kaum Mukmin yang berperang menghadapi kaum Musyrik tanpa mereka sadari.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 22-24


Disamping itu, Tafsir Surah At Taubah Ayat 25-28 juga menjelaskan bahwa setelah usai berperang dan meraih kemenangan, mereka kemudian melaksanakan Ibadah Haji yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib.

Ayat 25

Ayat ini menerangkan bahwa kaum Mukminin mendapat banyak pertolongan dari Allah dalam peperangan menghadapi kaum musyrik yang menghalang-halangi tersiarnya agama Islam.

Pertolongan itu berupa kemenangan yang sempurna, cepat maupun lambat, seperti Perang Badar yang mendapat kemenangan yang besar, dan Perang Hunain yang pada mulanya kalah kemudian menang.

Pada Perang Hunain itu jumlah tentara kaum Muslimin sangat banyak, sedang tentara orang kafir dalam jumlah yang lebih kecil dari tentara kaum Muslimin.

Dengan jumlah tentara yang banyak itu kaum Muslimin merasa bangga, dan merasa tidak akan dapat dikalahkan, tetapi kenyataan tidak demikian.

Kaum Muslimin dipukul mundur oleh orang kafir, seolah-olah tentara yang banyak, harta, serta persiapan perang yang demikian lengkapnya tidak berguna sedikit pun, sehingga bumi yang luas ini terasa sempit dan menyebabkan mereka mundur dan lari dalam keadaan bercerai-berai.


Baca Juga : Ciri-Ciri Sifat Tawaduk dalam Surah al-Maidah Ayat 55


Ayat 26

Ayat ini menerangkan bahwa sesudah kaum Muslimin merasa sedih dan duka cita akibat kekalahan dalam Perang Hunain, maka Allah menurunkan pertolongan kepada mereka berupa kemantapan hati dan mendatangkan bala bantuan yang tidak dapat mereka lihat. Bala bantuan itu terdiri dari malaikat-malaikat.

Perasaan sedih dan duka cita bagi kaum Muslimin berubah menjadi tenang, berani, dan semangat maju ke depan. Akhirnya orang-orang kafir menderita kekalahan, dibunuh, ditawan dan hartanya menjadi rampasan.

Kekalahan itu adalah merupakan azab bagi mereka dan itulah balasan atas kekafiran mereka dan balasan atas permusuhan mereka terhadap kaum Muslimin.

Firman Allah swt:

قَاتِلُوْهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللّٰهُ بِاَيْدِيْكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Dia akan menghinakan mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka. (at-Taubah/9: 14)

Ayat 27

Ayat ini menjelaskan bahwa terhadap orang-orang yang sudah mendapat azab dari Allah di dunia ini, karena kekafiran, mereka dapat diberi ampunan dan diterima tobatnya bilamana mereka telah mendapat petunjuk dari Allah untuk memeluk Islam.

Bilamana mereka telah menjadi muslim dan tidak lagi mempersekutukan Allah, maka kesalahannya diampuni oleh Allah dan segala dosanya dihapus, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Ayat 28

Setelah Rasulullah saw menunjuk Abu Bakar menjadi Amirul Hajj, Rasulullah memberi tugas kepada Ali bin Abi Thalib agar mendampingi Abu Bakar membacakan ayat-ayat permulaan surah at-Taubah di hadapan orang banyak.

Timbullah kecemasan di kalangan kaum Muslimin karena khawatir akan menghadapi kesulitan makanan akibat orang-orang musyrik tidak dibolehkan masuk ke Mekah untuk melakukan ibadah haji.

Pada akhir ayat ini, Allah menjamin orang-orang mukmin dari kemelaratan. Mereka tidak perlu khawatir akan kekurangan makanan dan barang-barang dagangan akibat larangan Allah terhadap kaum musyrik tersebut yang biasanya datang ke tanah suci membawa barang dagangan.

Jaminan Allah kepada orang mukmin untuk mendapat kehidupan yang baik tergantung kepada kegiatan usaha dan ikhtiar seseorang. Namun demikian, tidak terlepas dari kehendak Allah, kepada siapa Allah memberikan karunia-Nya.

Oleh karena itu, orang mukmin hendaklah mempertebal keimanan dan tawakalnya kepada Allah di samping melakukan usaha dan ikhtiar. Allah mengetahui urusan yang akan datang, baik mengenai kemakmuran atau kemelaratan yang menimpa penduduk suatu negeri.

Allah Mahabijaksana dalam segala hal terutama mengenai ketentuannya, baik berupa perintah maupun larangan.

Allah telah memenuhi janji-Nya karena kenyataannya penduduk Mekah tidak mengalami kesulitan kehidupan.

Setelah tersiar larangan tersebut, semakin banyak orang musyrik masuk Islam, bukan saja mereka yang berada di sekitar Jazirah Arab, malahan hampir sampai ke segenap penjuru.

Mereka tentulah berkewajiban menunaikan ibadah haji di samping mereka bebas mengunjungi tanah suci. Hal ini merupakan salah satu jalan bagi penduduk Mekah untuk memperoleh kemakmuran hidup.

Dengan adanya larangan Allah terhadap orang-orang musyrik memasuki Masjidilharam, terjadilah perselisihan pendapat antara ulama fiqih sebagai berikut:

  1. Orang musyrik dan Ahli Kitab tidak dibolehkan memasuki Masjidilharam, sedang mesjid lainnya dibolehkan terhadap Ahli Kitab. Demikian menurut mazhab Imam Syafi’i.
  2. Orang-orang musyrik termasuk Ahli Kitab tidak dibolehkan memasuki semua mesjid. Demikian menurut mazhab Maliki.
  3. Yang dilarang memasuki Masjidilharam adalah orang musyrik saja, (tidak termasuk Ahli Kitab). Demikian menurut mazhab Hanafi.
  4. Sebagian Ulama berpendapat bahwa orang musyrik dilarang memasuki tanah haram dan jika dia datang secara diam-diam (menyamar) kemudian ia mati dan dikuburkan maka setelah diketahui, wajiblah digali kuburnya dan dikuburkan di luar tanah haram.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 29