Beranda blog Halaman 359

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 22-24

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 22-24 masih membahas tentang jalan iman, hijrah dan jihad yang dipilih oleh kaum Mukmin. Bagi mereka yang memilih jalan tersebut karena Allah, mereka akan mendapatkan balasan yang berlimpah.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 19-21


Sebaliknya, jika hanya berdiam, karena takut dan enggan meninggalkan keluarganya, maka Allah menjanjikan kepada mereka siksa. Sebagaimana yang akan diterangkan dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 22-24 berikut.

Ayat 22

Di ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang yang memperoleh karunia tersebut akan tetap tinggal di surga untuk selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah telah tersedia pahala yang sangat besar bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, terutama bagi orang-orang yang beriman, hijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa raganya.


Baca Juga : Sedang Cari Menantu? Ini Anjuran Memilih Menantu Saleh dalam Al-Quran


Ayat 23

Ayat ini diturunkan sehubungan dengan sikap sebagian kaum Muslimin sewaktu diperintahkan hijrah ke Medinah, mereka menjawab, “Jika kami hijrah, putuslah hubungan kami dengan orang-orang tua kami, anak-anak dan famili kami, hancurlah perdagangan kami dan akhirnya kami menjadi orang yang sia-sia.”

Ayat ini melarang orang yang beriman menjadikan ibu bapak dan saudara mereka yang masih kafir, menjadi pemimpin karena dikhawatirkan mereka akan mengetahui keadaan kaum Muslimin dan kekuatannya. Perbuatan seperti itu akan sangat bermanfaat bagi pihak kafir untuk menyerang kaum Muslimin.

Orang mukmin yang tidak menaati larangan itu dan dalam keadaan perang, mereka masih membantu orang-orang kafir, karena yang dibantu itu ada hubungan kekeluargaan, maka dia adalah orang yang zalim, terhadap diri, pengikut-pengikut, dan agamanya.

Ayat 24

Ayat ini memberikan peringatan bahwa jika orang beriman lebih mencintai bapaknya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, istri-istrinya, kaum keluarganya, harta kekayaan, perniagaan dan rumah-rumahnya, daripada mencintai Allah dan Rasul-Nya serta berjihad menegakkan syariat-Nya.

Maka Allah akan mendatangkan siksa kepada mereka cepat atau lambat. Mereka yang bersikap demikian itu adalah orang-orang fasik yang tidak akan mendapat hidayah dari Allah swt.

Berikut ini beberapa alasan mengapa orang mencintai anak, suami, istri, ibu, bapak, keluarga, dan sebagainya:

  1. Bahwa cinta anak terhadap ibu bapak adalah naluri yang ada pada tiap-tiap diri manusia. Anak sebagai keturunan dari ibu bapaknya mewarisi sebagian sifat-sifat dan tabiat-tabiat ibu bapaknya.
  2. Bahwa cinta ibu bapak kepada anaknya adalah naluri juga, bahkan lebih mendalam lagi, karena anak merupakan jantung hati yang diharapkan melanjutkan keturunan dan meneruskan sejarah hidupnya. Dalam hal ini ibu bapak rela menanggung segala macam pengorbanan untuk kebahagiaan masa depan anaknya.
  3. Bahwa cinta kepada saudara dan karib kerabat adalah cinta yang lumrah dalam rangka pelaksanaan hidup dan kehidupan tolong-menolong, bantu-membantu dan bela-membela dalam kehidupan rumah tangga, dan kehidupan bermasyarakat. Cinta yang demikian akan menumbuhkan perasaan hormat-menghormati dan sayang-menyayangi.
  4. Bahwa cinta suami istri adalah cinta yang terpadu antara dua jenis makhluk yang membina keturunan dan membangun rumah tangga untuk kebahagiaan hidup dan kehidupan dunia dan akhirat. Oleh karena itu keutuhan hubungan suami istri yang harmonis menjadi pokok bagi kerukunan dan kebahagiaan hidup dan kehidupan yang diidam-idamkan.
  5. Bahwa cinta terhadap harta dengan segala jenis bentuknya baik harta usaha, warisan, perdagangan maupun rumah tempat tinggal dan lain-lain adalah cinta yang sudah menjadi kodrat manusia. Semua yang dicintai merupakan kebutuhan yang tidak terpisahkan bagi hidup dan kehidupan manusia yang diusahakannya dengan menempuh segala jalan yang dihalalkan Allah.
  6. Cinta perdagangan, merupakan naluri manusia, karena ia merupakan sumber pengembangan harta benda.
  7. Cinta tempat tinggal, karena rumah merupakan tempat tinggal dan tempat istirahat sehari-hari.

Adapun cinta kepada Allah wajib didahulukan daripada segala macam cinta tersebut di atas karena Dialah yang memberi hidup dan kehidupan, dengan segala macam karunia-Nya kepada manusia dan Dialah yang bersifat sempurna dan Mahasuci dari segala kekurangan.

Begitu juga cinta kepada Rasulullah saw, haruslah lebih diutamakan karena Rasulullah saw diutus Allah swt untuk membawa petunjuk dan menjadi rahmat bagi alam semesta.

Firman Allah:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ

Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutlah aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali-‘Imran/3: 31)

Dan sabda Rasulullah saw:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ (رواه البخاري ومسلم عن أنس)

Tidaklah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai Aku lebih daripada mencintai orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya. (Riwayat al-Bukhari, Muslim dari Anas)

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 25-28


Tafsir Surah Yunus Ayat 74-79

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 74-79 secara khusus berbicara mengenai kisa Nabi Musa dan Fir’aun. Namun mula-mula dijelaskan mengenai maksud dari pengutusan para nabi oleh Allah swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 68-73


Setelah itu Tafsir Surah Yunus Ayat 74-79 ini berbicara mengenai diutusnya Nabi Musa dan Nabi Harun. Keduanya ditentang keras oleh Fir’aun dan para petinggi kerajaannya. Mereka menuduhkan hal-hal yang aneh-aneh kepada Nabi Musa.

Ayat 74

Dalam ayat ini Allah menerangkan tentang pengutusan rasul-rasul sesudah peristiwa topan Nabi Nuh a.s. itu.

Nabi-nabi yang diutus itu antara lain Nabi Hud, Saleh, Ibrahim, Lut dan Syu’aib a.s. Mereka diutus kepada kaum mereka masing-masing; Nabi Hud kepada kaum ‘Ad, Nabi Saleh kepada kaum Samµd, dan Syu’aib diutus kepada kaumnya penduduk Madyan, juga diutus kepada kaum Aikah, tetangganya.

Kedua kaum ini sebenarnya satu rumpun, mereka mempunyai bahasa yang sama dan tanah air yang sama. Setiap nabi itu datang kepada kaumnya dengan membawa bukti-bukti kebenaran kerasulannya dan memberikan petunjuk kepada kaum itu.

Setiap nabi itu menggariskan pedoman-pedoman hidup bagi kaumnya sesuai pula dengan masa, situasi, dan keadaan lingkungan mereka.

Kebanyakan kaum para nabi itu tidak beriman, bahkan mereka mendustakannya sebagaimana kaum Nuh. Kebiasaan taklid buta kepada pemuka-pemuka mereka selalu diikuti oleh generasi berikutnya.

Oleh karena itu, seperti halnya hati nenek moyang mereka, hati mereka terkunci mati, maka hati nurani generasi berikutnyapun ikut terkunci. Hal demikian itu adalah akibat dari tindakan mereka yang melampaui batas.

Kaum musyrikin Arab yang menentang Nabi Muhammad saw, hati nuraninya gelap seperti halnya umat-umat yang lampau. Hati mereka tertutup untuk menerima kebenaran. Mereka mendustakan Rasul dan berbuat durhaka.

Sunnah Allah tetap berlaku bagi mereka yang menantang dan mengingkari agama. Jika kaum musyrikin Arab itu tetap ingkar, mereka akan ditimpa azab Tuhan seperti halnya umat yang lampau itu. Firman Allah:

سُنَّةَ اللّٰهِ فِى الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۚوَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا

Sebagai sunnah Allah yang (berlaku juga) bagi orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan engkau tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah. (al-Ahzab/33: 62)

Ayat 75

Sesudah menerangkan pengutusan rasul-rasul tersebut kepada kaum mereka masing-masing, maka dalam ayat ini, Allah menerangkan secara khusus pengutusan Musa dan Harun a.s. kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya.

Kisah Musa a.s. berulang kali terdapat dalam Al-Qur’an, karena kisah ini mengandung pelajaran yang penting. Musa a.s. adalah seorang utusan Allah yang dihadapkan kepada seorang raja Fir’aun yang memiliki kekuasaan besar dan raja dari suatu negara yang sudah tinggi peradaban dan kebudayaannya.

Karena kebesarannya itulah dia menjadi sombong dan aniaya terhadap rakyatnya. Dia dikelilingi oleh pemuka kaumnya (bangsa Qibty) yang sangat besar pengaruhnya padanya dan banyak menyesatkan pikirannya. Penduduk pribumi Mesir amat dipengaruhi oleh pemuka-pemuka ini.

Kalau pemimpin-pemimpin mereka itu ingkar, maka merekapun ingkar, kalau mereka beriman, maka mereka turut pula beriman. Segala urusan dan kepentingan mereka senantiasa tergantung kepada pemuka-pemuka ini.

Ketika Nabi Musa membuktikan kebenaran kerasulannya dengan beberapa mukjizat, mereka tetap tidak mau beriman dikarenakan keangkuhan yang bersarang dalam kalbu mereka. Akal pikiran mereka sebenarnya, mengakui kebenaran kerasulan Musa a.s. itu.

Mereka dapat membedakan antara sihir dengan yang bukan sihir (mukjizat) karena mereka mengetahui apa sebenarnya itu. Namun mereka tetap ingkar, karena mereka adalah orang-orang yang penuh dosa.

Firman Allah:

وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ اَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّاۗ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ ࣖ

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagai-mana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan. (an-Naml/27: 14)


Baca juga: Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang Hakikat Tuhan


Ayat 76

Dalam ayat ini diterangkan anggapan pemuka kaum Fir’aun bahwa mukjizat dan bukti-bukti kebenaran itu adalah sihir yang nyata bagi orang-orang yang menyaksikan dan memperhatikannya.

Tuduhan mereka itu sangatlah buruk, karena yang melontarkan tuduhan itu menyadari sepenuhnya bahwa tuduhan itu tidak benar. Keajaiban yang luar biasa yang dilahirkan Musa a.s. itu bukanlah perbuatan dia sendiri, tetapi peristiwa itu adalah mukjizat yang terjadi atas kuasa Allah.

Ayat 77

Allah menjelaskan bantahan Musa a.s. bahwa tidaklah patut mereka mengucapkan tuduhan sihir terhadap tanda-tanda kekuasaan Allah berupa mukjizat itu ketika didatangkan kepada mereka.

Mata mereka menyaksikan sendiri kejadian-kejadian yang luar biasa lagi menggentarkan perasaan. Jika peristiwa-peristiwa itu hanyalah sihir tentu pada waktu yang lain akan dapat dikalahkan oleh sihir pula.

Tetapi menjadi kenyataan bahwa ahli sihir mereka tidak berhasil mengalahkan mukjizat Nabi Musa. Ahli-ahli sihir tidak akan berhasil memperoleh kemenangan dengan sihirnya. Sihir merupakan sulapan, cepat atau lambat dia akan tersingkap kepalsuan dan tipu dayanya.

Ayat 78

Dalam ayat ini Allah menjelaskan sikap para pemuka bangsa Qibty, setelah mereka gagal mengemukakan bantahan yang kuat untuk mematahkan kebenaran Nabi Musa a.s., maka mereka mencari-cari alasan untuk membela dan mempertahankan tradisi atau adat istiadat mereka.

Mereka menuduh bahwa kedatangan Musa kepada mereka ialah untuk memaksa mereka meninggalkan kebiasaan dan adat istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, kemudian sesudah itu memaksa mereka mengikuti agama Nabi Musa.

Menurut mereka, usaha Nabi Musa demikian itu bertujuan untuk menjadi pemimpin agama dan negara di Mesir bersama saudaranya Harun. Anggapan buruk mereka terhadap kedatangan Musa dan tujuannya membuat mereka bertekad untuk tidak beriman kepada ajaran yang dibawanya serta tidak menjadi pengikutnya.

Ayat 79

Kemudian dalam ayat ini, Allah menerangkan sikap Fir’aun sesudah dipengaruhi para pemuka kaumnya dengan tuduhan dan pandangan buruk mereka terhadap Musa.

Dia lalu memerintahkan mereka untuk memanggil ahli-ahli sihir yang pandai supaya dapat menandingi dan menghancurkan mukjizat Nabi Musa. Tindakan Fir’aun yang demikian adalah untuk memelihara martabat, kemuliaan dan jabatannya serta menghambat perkembangan kekuatan Musa dan Bani Israil di kerajaannya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 86-86


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 19-21

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 19-21 dimulai dengan pertanyaan Allah kepada kaum Mukmin yang berselisih tentang amal saleh yang lebih utama antara mengurus Masjidilharam, melayani tamu Allah yang berhaji dengan iman dan berjihad dijalan Allah.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 17-18


Lanjutan Tafsir Surah At Taubah Ayat 19-21 menjelaskan bahwa iman dan jihad lebih utama, sebab pengorbanan dua amal ini lebih besar dari yang pertama disebutkan.

Ayat 19

Pertanyaan yang terkandung dalam ayat ini ditujukan kepada orang-orang mukmin yang berselisih tentang amal saleh yang lebih utama seperti tersebut di atas.

Sebagai jawaban diterangkan bahwa mengurus Masjidil-haram dan menyediakan minuman bagi orang-orang yang mengerjakan haji tidak dapat disamakan keutamaannya dengan beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah.

Amal-amal yang tersebut pada bagian pertama meskipun termasuk amal kebajikan tetapi derajatnya tidak sebanding dengan derajat amal-amal yang tersebut kemudian, yaitu iman dan jihad di jalan Allah sebagaimana tersebut dalam ayat ini.

Menganggap dua macam amal tersebut sama adalah suatu anggapan yang tidak pada tempatnya, dan bertentangan dengan petunjuk Allah apalagi kalau dianggap bahwa amal pertama lebih utama dari amal kedua.


Baca Juga : Studi Al-Quran di Barat, Antara Iman dan Objektifitas Akademik


Ayat 20

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang beriman dengan iman yang kokoh yang mendorongnya rela hijrah meninggalkan kampung halamannya, harta kekayaan dan karya usahanya, berpisah dengan anak istrinya, orang tua dan sanak saudaranya.

Mereka adalah orang-orang yang melaksanakan amal perbuatan yang berat dan membutuhkan banyak pengorbanan. Apalagi jika amal-amal yang tersebut diikuti dengan jihad di jalan Allah yaitu dengan mengorbankan harta kekayaan dan jiwa raganya.

Untuk orang-orang yang berbuat demikian Allah akan memberikan penghargaan yang tinggi serta keberuntungan dan kebahagiaan.

Adapun orang-orang mukmin yang tidak hijrah dan tidak jihad di jalan Allah, meskipun mereka menyediakan minumam bagi para jemaah haji dan memakmurkan Masjidilharam, penghargaan Allah kepada mereka dan pahala yang diberikan kepada mereka tidak sebesar apa yang diterima oleh orang-orang yang hijrah dan berjihad.

Tentang amal seseorang yang tidak didasari dengan iman kepada Allah akan sia-sialah amal itu. Karena orang kafir tidak akan memperoleh pahala di akhirat.

Ayat 21

Ayat ini menerangkan bahwa Allah memberi kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang hijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka  akan mendapat balasan rahmat yang luas, keridaan yang sempurna dan surga yang menjadi tempat tinggal mereka selama-lamanya.

Pahala terbesar adalah memperoleh rida Allah sebagaimana firman-Nya:

وَعَدَ اللّٰهُ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَا وَمَسٰكِنَ طَيِّبَةً فِيْ جَنّٰتِ عَدْنٍ ۗوَرِضْوَانٌ مِّنَ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗذٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya, dan (mendapat) tempat yang baik di surga ‘Adn. Dan keridaan Allah lebih besar. Itulah kemenangan yang agung. (at-Taubah/9: 72)

Hal ini disebutkan juga dalam hadis Nabi Muhammad saw:

إِنَّ اللهَ يَقُوْلُ ِلاَهْلِ الْجَنَّةِ: يَا اَهْلَ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُوْنَ لَبَّيْكَ رَبَّنَا وَسَعْدَيْكَ. فَيَقُوْلُ: هَلْ رَضِيْتُمْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ وَمَا لَنَا لاَ نَرْضَى وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَالَمْ تُعْطِ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ؟ فَيَقُوْلُ: اَنَا اُعْطِيْكُمْ اَفْضَلَ مِنْ ذٰلِكَ. فَيَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا وَ اَيُّ شَيْءٍ اَفْضَلُ مِنْ ذٰلِكَ؟ فَيَقُوْلُ: اُحِلَّ عَلَيْكُمْ رِضْوَانِي فَلاَ اَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ اَبَداً (رواه البخاري ومسلم والترمذي والنسائي عن أبي سعيد الخدري)

Allah berkata kepada ahli surga, “Wahai ahli surga.” Mereka menjawab, “Kami patuh kepada Engkau ya Tuhan kami.” Allah berkata, “Apakah kamu sekalian telah rida.”

Mereka menjawab, “Bagaimanakah kami tidak akan rida sedangkan kami telah Engkau karuniakan sesuatu yang belum pernah Engkau karuniakan kepada siapapun.”

Allah berkata lagi, “Aku akan memberikan kepadamu sesuatu yang lebih utama dari apa yang telah Kuberikan.” Mereka bertanya, “Ya Tuhan kami pemberian apakah yang lebih utama itu?”

Allah berkata, “Aku telah meridai kamu sekalian dan tidak akan memurkaimu sesudah itu selama-lamanya.” (Riwayat al-Bukhari, Muslim, at-Tirmizi dan an-Nasa’i dari Abi Sa’id al-Khudri)

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 22-23


Angelika Neuwirth dan Pembacaan Pre-Canonical Qur’an

0
Angelika Neuwirth
Angelika Neuwirth

Angelika Neuwirth adalah seorang akademisi barat dalam bidang studi Al-Qur’an berkebangsaan Jerman. Ia lahir pada tanggal 4 November 1943 di Nienburg/Weser, sebuah kota yang terletak di barat laut Hanover, Jerman. Neuwirth memulai kariernya dalam kajian literatur bahasa Arab, studi Yahudi, Arab serta filologi klasik di Teheran, Iran (Pemikiran Angelika Neuwirth).

Setelah satu tahun di Teheran, Neuwirth kemudian melanjutkan pengembaraannya dengan mempelajari bahasa-bahasa Semit dan Arab di Universitas Göttingen sejak tahun 1964 hingga 1967. Pada tahun 1970 ia mendapatkan gelar MA dari Universitas Hebrew, Jerussalem. Lalu, pada tahun 1972 ia mendapatkan gelar doktor dalam bilang sastra Arab. Angelika Neuwirth juga melanjutkan program pascadoktoral di Universitas Munich.

Pada tahun 1977 Neuwirth menjadi dosen tamu di Amman, University of Jordan. Kariernya ini berlangsung kurang lebih selama 6 tahun, tepatnya hingga tahun 1983. Di saat yang sama, ia dipercaya untuk menjadi direktur The Catalogue of Arabic Manuscripts, salah satu Departemen Akademi Royal dalam bidang Islamic Thougt (pemikiran Islam).

Baca Juga: Kajian Barat atas Timur: Dari Edward Said Sampai Angelika Neuwirth

Pasca purna tugas di Jordania, Angelika Neuwirth dipercaya menjadi asisten profesor di Universitas Bochum, Jerman, pada tahun 1983 hingga 1984. Selanjutnya ia berpindah ke Universitas Bamberg dan menjadi dewan perwakilan sampai tahun 1991. Selain berkarier di Bamberg, ia juga menjadi dosen tamu yang mengajar di Universitas ‘Ain Shams, Kairo, Mesir.

Pada tahun 1991 Angelika Neuwirth dikukuhkan sebagai professor dalam bidang sastra Arab di Freie University, Berlin, Jerman. Sejak itu, karier Neuwirth berkembang pesat, mulai dari menjadi direktur pada Oriental Institute of German Oriental Society di Beirut dan Istanbul pada tahun 1994-1999, menjadi supervisor EU-Projects di Beirut dan Istanbul pada tahun 1997, hingga membentuk Corpus Coranicum di Berlin yang fokus pada kajian literatur Arab.

Pembacaan Pre-Canonical Al-Qur’an Perspektif Angelika Neuwirth

Ketertarikan Angelika Neuwirth terhadap studi Al-Qur’an telah dimulai sejak ia menjalani program doktor, tepatnya dalam disertasinya yang berjudul “Studien Zur Komposition Der Mekkanischen Suren: Die Literarische Form Des Koran Ein Zeugnis Seiner Historizitas?” atau dapat diterjemahkan sebagai “Studi atas Komposisi Surah Makkiyyah: Sebuah Testimoni Historis dari Format Sastrawi Al-Qur’an?”.

Pada awalnya, pemikiran Angelika Neuwirth terfokus pada kajian struktur kesastraan bahasa Al-Qur’an. Namun lambat laun fokus kajiannya berpindah ke arah strukturalisme yang juga mengacu pada kesejarahan Al-Qur’an. Dari sinilah dimulai mega proyek Corpus Coranicum. Salah satu narasi besar yang diagungkan Neuwirth melalui proyek dan kajiannya terhadap Al-Qur’an ialah historisitas teks Al-Qur’an yang dianalisis dengan menarik konteks fase late antique.

Melalui Corpus Coranicum, Neuwirth setidaknya mengupayakan tiga agenda besar, yakni: Pertama, menelusuri manuskrip-manuskrip Al-Qur’an beserta varian qiraat­-nya. Kedua, membuat data base yang memuat teks-teks sezaman dan di sekeliling Al-Qur’an. Ketiga, melakukan penafsiran dengan pendekatan historis dan kesusastraan. Tiga aspek ini adalah langkah utama Neuwirth dalam kajiannya (Analisis Pemikiran Angelika Neuwirth).

Garis awal pemikiran Angelika Neuwirth adalah konsep pre-canonical Qur’an (Al-Qur’an sebelum kanonisasi) dan post-canonical Qur’an (Al-Qur’an setelah kanonisasi). Istilah pertama digunakan untuk menyebut Al-Qur’an pada masa nabi Muhammad saw, sedangkan istilah kedua digunakan untuk menyebut Al-Qur’an pasca kodifikasi hingga sekarang (abad 21).

Menurut Neuwirth, dua hal di atas perlu ditekankan, sebab keduanya memiliki implikasi tertentu yang harus dipahami dalam rangka menafsirkan Al-Qur’an. Salah satunya ialah kanonisasi membuat Al-Qur’an tercabut dari konteks sejarahnya di mana ia pada mulanya berfungsi sebagai bentuk komunikasi Tuhan dengan manusia. Artinya, ada distorsi perspektif tentang Al-Qur’an pasca kanonisasi (The Qurʾān in Context).

Lebih jauh menurut Neuwirth – sebagaimana ditulis Lien Iffah Naf’atu Fina – Al-Qur’an pasca kanonisasi seperti sekarang  jarang dipahami sebagai teks oral yang karakternya menyejarah di kalangan bangsa Arab dan cenderung dianggap sebagai teks yang karakternya timeless, eternal ataua pun beyond history. Padahal anggapan ini sangat bertentangan dengan karakter teks Al-Qur’an yang komunikatif (Analisis Pemikiran Angelika Neuwirth).

Untuk mengatasi masalah tersebut, Angelika Neuwirth kemudian menawarkan gagasan pembacaan teks Al-Qur’an (mushaf) dalam bingkai pra-kanonisasi, yakni pembacaan Al-Qur’an dalam konteks pewahyuan dan perkembangannya. Dalam konteks ini, yang dituju Neuwirth adalah original meaning dan what really happened dibalik teks Al-Qur’an, bukan mencari teks aslinya seperti yang dilakukan kebanyakan sarjana barat.

Dalam upaya memunculkan karakter Al-Qur’an pra-kanonisasi, Angelika Neuwirth mencoba melakukan analisis struktur mikro terhadap satuan surat dengan dua langkah, yakni: Pertama, mengkaji surah sebagai unit yang membicarakan pesan tertentu dan menghadirkan kesan tertentu bagi pendengarnya. Pada tahap ini ia juga menegaskan Al-Qur’an sebagai teks liturgi, yakni teks yang mencakup pengetahuan dari teks-teks yang telah hadir terdahulu berserta realitas zamannya.

Pada tahap ini pula – selain membaca struktur surah – Angelika Neuwirth melakukan kajian intertekstualitas dengan cara menghubungkan teks Al-Qur’an dengan teks-teks yang dianggap mengitari Al-Qur’an pada masa itu (late antiquity) seperti kitab suci kaum Yahudi dan Kristen, prosa Yunani serta syair-syair Arab Jahiliah. Dari data tersebut barulah bisa ditemukan original meaning Al-Qur’an.

Sebagai sarana komunikasi antara Tuhan dan manusia – menurut Neuwirth – Al-Qur’an pada mulanya bukan hanya kitab suci khusus bagi umat Islam, tetapi juga merupakan teks yang ditujukan kepada audiens yang beragam dan plural. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan utuh, non-parsial, Al-Qur’an harus dibaca bersama teks-teks lain yang mengitarinya.

Bentuk nyata dari hasil analisis tahap pertama ini adalah klasifikasi surah ke dalam satu atau beberapa kelompok ayat yang didasarkan pada susunan struktur gramatikal ayat dan isinya atau dalam bahasa Robinson disebut form dan content. Menurutnya, bangsa Arab sangat mudah untuk mengetahui pergeseran tema dan rima dari ayat-ayat Al-Qur’an karena mereka sudah terbiasa dengan ritme tersebut (Discovering the Qur’an).

Ritme semacam ini sulit untuk dipahami oleh pembaca Al-Qur’an yang bukan berasal dari masa pewahyuan, terutama pasca kanonisasi Al-Qur’an. Karena itulah, Al-Qur’an perlu dibaca dalam bingkai pra-kanonisasi untuk menganalisis jejak pergeseran tema dan rima ayat-ayat Al-Qur’an dan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Melalui ini, seseorang akan mengetahui realitas pewahyuan Al-Qur’an.

Baca Juga: Periode Pewahyuan surah Al-Qur’an Menurut Theodor Nöldeke

Langkah kedua yang dilakukan Angelika Neuwirth dari keseluruhan analisisnya adalah menghadirkan kembali historisitas Al-Qur’an yang beranjak dari sejarah perjalanan hidup nabi Muhammad saw. Pada tahap ini data-data sirah, baik tentang Nabi ataupun peristiwa lain yang mengitari pewahyuan Al-Qur’an, digunakan untuk menganalisis maksud dan tujuan ayat Al-Qur’an (The Qurʾān in Context).

Tanpa data-data tersebut, analisis struktur ayat Al-Qur’an pada langkah pertama hanya akan berupa analisis kesusastraan yang mati. Namun, dengan kehadiran data sejarah dan dikombinasikan dengan struktur kesusastraan Al-Qur’an, satuan surah menjadi hidup kembali dalam posisinya ketika pertama kali diwahyukan dalam konteks masyarakat Arab yang terdiri dari berbagai komunitas seperti Muslim, Yahudi dan Kristen.

Berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa Angelika Neuwirth menggunakan pendekatan sastra dan sejarah dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Pendekatan ini – terlepas dari kekurangannya dan kritik terhadapnya – dapat membuka wawasan baru tentang bagaimana Al-Qur’an berinteraksi dengan audiensnya sebagai sebuah bentuk komunikasi antara Tuhan dan manusia. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 68-73

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 68-73 berbicara mengenai satu hal pokok, yaitu tentang keingkarang orang-orang kafir. Sebagian orang kafir yang tergolong dari orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang Musyrik menyatakan bahwa Allah mempunyai anak. Maha Suci Allah dari segala tuduhan itu.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 63-67


Selain itu, Tafsir Surah Yunus Ayat 68-73 ini juga berbicara mengenai kaum Nabi Nuh yang mengingkari dakwahnya. Mereka mengingkari dakwah Nabi Nuh sebagaimana orang-orang Yahudu, Nasrani, dan Musyrik itu.

Ayat 68

Allah menjelaskan kepada kaum Muslimin bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang musyrik mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, seperti kepercayaan orang-orang Yahudi bahwa Uzair anak Allah, kepercayaan orang-orang Nasrani bahwa Isa Al-Masih putera Allah, dan orang-orang musyrik menduga bahwa para malaikat itu anak perempuan Allah.

Allah menyangkal anggapan-anggapan dan tuduhan-tuduhan mereka.

Bagaimana mungkin tuduhan-tuduhan itu dapat dibenarkan sebab Dialah Yang Maha mencipta, memiliki, dan berkecukupan, bahkan langit, bumi, dan benda-benda yang ada di antaranya adalah ciptaan-Nya. Dialah Yang Menguasai, Allah tidak memerlukan semua benda yang ada, malahan sebaliknya mereka itulah yang memerlukan Allah.

Apabila manusia memerlukan anak, memang sudah sepantasnya, sebab anak itulah yang melanjutkan keturunan dan menjadi kebanggaannya. Akan tetapi Allah tidak memerlukan anak sebab Dialah yang menciptakan manusia dan keturunan-nya.

Allah menandaskan bahwa orang-orang Ahli Kitab dan orang-orang musyrik yang beranggapan demikian itu, tidak mempunyai alasan sedikitpun untuk membuktikan kebenaran anggapannya, bahkan anggapan itu hanyalah menunjukkan kebodohan mereka sendiri.

Itulah sebabnya maka Allah menyatakan di akhir ayat ini, bahwa mereka menyatakan sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu kebenarannya, itulah suatu kebodohan besar. Apalagi setelah mereka mendapat keterangan dari wahyu yang dibacakan, dan mereka masih tetap mempertahankan anggapannya, hal ini menunjukkan kebebalan mereka.

Dari ayat ini dapat diambil pelajaran bahwa orang yang mengatakan sesuatu tanpa mempunyai alasan adalah menunjukkan kepada kebodohan sendiri.

Ayat 69

Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengatakan kepada orang-orang yang mempersekutukan-Nya dengan tuhan-tuhan yang lain, atau orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak, bahwa orang-orang yang mengadakan kebodohan terhadap Allah seperti mereka itu, tidak akan beruntung karena apa yang mereka harapkan seperti keselamatan mereka dari siksaan api neraka, dan kehidupan bahagia berkat pertolongan dari patung-patung yang mereka pertuhankan, tidak akan menjadi kenyataan.

Ayat 70

Allah memberikan penjelasan bahwa mereka itu memperoleh kesenangan sementara di dunia, tertipu oleh kenikmatan dunia yang fana. Kenikmatan dunia apabila dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat tidak ada artinya sama sekali.

Kemudian pada hari kebangkitan mereka akan dikembalikan kepada Allah. Pada masa itulah mereka akan dikumpulkan di Padang Mahsyar, dan dimintai tanggung jawabnya atas semua perbuatan yang mereka lakukan di dunia. Kemudian Allah akan memberikan siksaan yang setimpal dengan perbuatan mereka, yaitu siksaan yang pedih yang tidak terperikan, disebabkan oleh keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan kedustaan terhadap Nabi Muhammad saw.


Baca juga: Tafsir Surat al-Mulk Ayat 25-27: Balasan Bagi yang Ingkar Terhadap Ancaman Allah


Ayat 71

Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk menceritakan kepada kaum musyrikin Mekah tentang peristiwa penting dalam kisah Nabi Nuh a.s. dan kaumnya. Nabi Nuh a.s. menyatakan kepada kaumnya tentang kebulatan tekadnya untuk terus menyebarkan agama Allah seraya menyerah-kan sepenuhnya segala keputusan kepada Allah.

Tidak memperdulikan apakah kaumnya itu keberatan akan kehadirannya di tengah-tengah mereka untuk menyeru mereka menyembah Allah, ataukah mereka keberatan terhadap peringatan yang disampaikannya tentang bukti-bukti keesaan Allah.

Berkat kebulatan tekad dan ketawakkalannya itu, Nabi Nuh a.s. tidak ragu-ragu menentang kaumnya supaya mereka membulatkan keputusan mereka dengan mengikutsertakan sembahan-sembahan mereka untuk membinasakan beliau.

Bahkan dia menganjurkan kepada mereka agar dalam menetapkan rencana itu terang-terangan, tidak sembunyi-sembunyi. Kemudian bilamana rencana itu sudah matang dengan pemufakatan yang terbuka, Nabi Nuh menyerukan supaya mereka segera melaksanakan rencana pembunuhan terhadap dirinya itu dan tidak menunda-nundanya.

Ayat 72

Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Nuh a.s. mengatakan kepada kaumnya bahwa dia tidak akan minta imbalan apa-apa kepada mereka dan tidak akan memperoleh keuntungan duniawi dari tugas dakwah itu, kecuali pahala dan ganjaran dari Allah.

Karena itu tidak ada alasan bagi mereka untuk berpaling dari seruannya itu. Sekiranya mereka berpaling dari peringatan-peringatan dan seruan-seruan itu, sedikitpun Nabi Nuh tidak dirugikan atau disusahkan. Dia diperintahkan untuk menjadi orang yang menjunjung tinggi segala perintah Allah dan berserah diri kepada-Nya.

Ayat 73

Dalam ayat ini diterangkan bahwa meskipun Nabi Nuh a.s. sudah mengemukakan kebenaran seruan dan ajakannya dengan alasan-alasan yang logis, namun kaumnya terus mengingkarinya dan mendustakan kerasulan-nya.

Karena kemungkinan mereka beriman telah tertutup, hukuman Tuhan diturunkan kepada mereka berupa angin topan yang dahsyat serta banjir besar yang menenggelamkan mereka. Nabi Nuh dan orang-orang beriman bersamanya, diselamatkan Allah dari bencana topan itu.

Mereka naik ke sebuah bahtera yang mereka buat sebelum serangan topan itu atas petunjuk Allah. Mereka inilah yang menjadi penghuni bumi dan menggantikan kaum yang telah binasa itu yaitu mereka yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dalam salah satu firman-Nya, Allah berkata:

وَكَمْ اَهْلَكْنَا مِنَ الْقُرُوْنِ مِنْۢ بَعْدِ نُوْحٍۗ وَكَفٰى بِرَبِّكَ بِذُنُوْبِ عِبَادِهٖ خَبِيْرًاۢ بَصِيْرًا

Dan berapa banyak kaum setelah Nuh, yang telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya. (al-Isra’/17: 17)

Allah kemudian mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan berita ini kepada mereka yang terus menerus ingkar kepada Rasul. Apa yang dialami umat Nabi Nuh itu tentulah akan dialami pula oleh kaumnya bilamana mereka terus menerus mengingkari kerasulannya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 74-79


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Kewajiban Salat Menghadap Kiblat dan Hukum Salat di Dalam Ka’bah

0
hukum salat di dalam ka'bah
hukum salat di dalam ka'bah

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ibadah salat haruslah dilaksanakan dengan cara menghadap kiblat. Namun ada keadaan-keadaan tertentu yang membuat kita kemudian kebingungan tentang cara salat menghadap kiblat. Salah satu diantara yang menjadi tema diskusi para ulama adalah masalah hukum salat di dalam Ka’bah.

Ka’bah sendiri bukanlah sebuah bangungan yang tidak memiliki ruang di dalamnya. Berdasar beberapa informasi di dunia maya, Ka’bah memiliki ruang di dalamnya yang dapat dimasuki oleh beberapa orang dan juga salat di dalamnya. Beberapa ratus tahun lalu ulama’ mendiskusikan bagaimana sebenarnya pengertian menghadap kiblat dan aplikasinya pada praktik salat di dalam Ka’bah berdasar Surat Al-Baqarah ayat 144. Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Shalat Menghadap Ka’bah Atau Menghadap Kiblat?

Perintah Menghadap Kiblat dalam Al-Qur’an

Kewajiban salat menghadap kiblat didasarkan Surat Al-Baqarah ayat 144 yang berbunyi:

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ ١٤٤

Sungguh, Kami melihat wajahmu (Nabi Muhammad) sering menengadah ke langit. Maka, pasti akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau sukai. Lalu, hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Di mana pun kamu sekalian berada, hadapkanlah wajahmu ke arah itu. Sesungguhnya orang-orang yang diberi kitab benar-benar mengetahui bahwa (pemindahan kiblat ke Masjidilharam) itu adalah kebenaran dari Tuhan mereka. Allah tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan (QS. Al-Baqarah [2]:144)

Baca Juga: Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran dan Pahala Memandangnya

Ibn Katsir menyatakan, lewat ayat ini Allah memerintahkan untuk salat menghadap kiblat. Entah apakah posisi orang yang salat tersebut ada di barat, timur, selatan maupun utara. Dan tidak ada pengecualian soal hal ini kecuali dalam permasalahan salat dalam perjalanan, salat dalam peperangan dan salatnya orang yang tidak mengetahui mana arah kiblat yang benar (Tafsir Ibn Katsir/1/461).

Imam Ar-Razi di dalam tafsirnya tatkala membahas ayat di atas menyinggung permasalah hukum salat di dalam Ka’bah. Ia menyatakan bahwa mayoritas ulama’ menyatakan boleh untuk salat di dalam ka’bah. Lalu bagaimana cara ia menghadap kiblat? Imam Ar-Razi menyatakan ia boleh menghadap ke arah manapun yang ia suka. Imam Ar-Razi juga menyatakan bahwa Imam Malik menghukumi makruh salat di dalam Ka’bah sebab tidak memungkinkan bagi orang yang salat untuk menghadap ke keseluruhan Ka’bah (Tafsir Mafatihul Ghaib/2/414).

Imam An-Nawawi menyatakan, mayoritas ulama’, mazhab Hanafi dan At-Tsauri, menyatakan boleh salat di dalam Ka’bah, baik itu salat sunnah ataupun salat wajib. Pendapat yang berbeda diungkapkan oleh Ibn Jarir, Imam Ashbagh ibn Al-Faraj serta sekelompok pengikut mazhab zahiriyah yang menyatakan bahwa tidak boleh salat wajib maupun sunnah di dalam Ka’bah. Sementara itu, Imam Ahmad dan Malik hanya memperbolehkan salat sunnah saja. (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/3/194).

Baca Juga: Dalil Teologis Waktu-Waktu Salat Fardu

Pro Kontra Memungkinkannya Menghadap Kiblat Di Dalam Salat

Imam Al-Mawardi menyatakan, sumber perbedaan pendapat dalam masalah salat di dalam Ka’bah adalah masalah apakah memungkinkan menghadap kiblat saat kita berada di dalam Ka’bah? Imam Malik, Ibn Jarir At-Thabari dan ulama’ yang tidak memperbolehkan salat di dalam Ka’bah menyatakan, salat haruslah menghadap kiblat dan posisi salat di dalam Ka’bah tidaklah memungkinkan untuk salat menghadap kiblat. Sebab meski dalam satu posisi ia menghadap kiblat, tapi di saat itu pula ia memunggungi kiblat (Al-Hawi Al-Kabir/2/472).

Sedang ulama’ yang berpendapat bolehnya salat di dalam Ka’bah menyatakan, menghadap ke salah satu bagian Ka’bah sudah bisa disebut dengan menghadap kiblat, sehingga orang yang salat di dalam Ka’bah boleh menghadap ke segala arah yang ia mau. Selain itu ada ada riwayat hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad pernah salat di dalam Ka’bah.

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum salat di dalam Ka’bah. Perbedaan pendapat ini bermuara salah satunya dalam perbedaan memahami bagaimana praktik sebenarnya dari menghadap kiblat, yang sebagaimana Allah perintahkan lewat Al-Baqarah ayat 144. Wallahu a’lam bishshowab

Tafsir Surah Yunus Ayat 63-67

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 63-67 berbicara mengenai lima hal. Pertama mengenai maksud dari wali Allah yang sempat disinggung sebelumnya. Kedua mengenai kabar gembira bagi umat Islam.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 61-62


Ketiga, Tafsir Surah Yunus Ayat 63-67 ini berbicara mengenai perintah untuk tidak galau atas prilaku orang-orang musyirik yang menyakiti umat Islam. keempat mengenai kekuasaan Allah atas seluruh alam. Terakhir mengenai hikmah adanya siang dan malam.

Ayat 63

Allah menjelaskan siapa yang dimaksud dengan wali-wali Allah yang berbahagia itu dan apa sebabnya mereka demikian.

Penjelasan yang didapat dalam ayat ini menunjukkan bahwa wali itu ialah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Dimaksud beriman di sini ialah orang yang beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari akhir, segala kejadian yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, serta melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beriman.

Sedang yang dimaksud dengan bertakwa ialah memelihara diri dari segala tindakan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah, baik hukum-hukum Allah yang mengatur tata alam semesta, ataupun hukum syara’ yang mengatur tata hidup manusia di dunia (lihat tafsir Surah al-Anfal/8: 10).

Ayat 64

Allah menjelaskan bahwa mereka mendapat kabar gembira, yang mereka rasakan dalam kehidupan mereka di dunia dan di akhirat. Kabar gembira yang mereka dapati ini ialah kabar gembira yang telah dijanjikan Allah melalui Rasul-Nya.

Di dunia, kabar gembira itu antara lain berbentuk kemenangan yang mereka peroleh dalam menegakkan kalimah Allah, kesuksesan hidup karena menempuh jalan yang benar, dan harapan yang diperoleh sebagai khalifah di dunia.

Selama mereka tetap berpegang kepada hukum Allah dan membela kebenaran agama Allah, mereka akan mendapat husnul khatimah. Adapun kabar gembira yang akan mereka dapati di akhirat yaitu, selamat dari siksa kubur, dari sentuhan api neraka dan kekalnya mereka di dalam surga ‘Adn (lihat tafsir Surah al-Anfal/8: 10).

Allah menegaskan bahwa tidak ada perubahan dari janji-janji Allah. Maksudnya bahwa kabar gembira yang telah dijanjikan Allah di dalam kitab-Nya dan ditetapkan oleh sabda Rasul-Nya, baik janji Allah yang mereka dapati di dunia dan yang akan mereka dapati di akhirat, tidak akan berubah karena hal itu adalah buah dari iman yang benar, yang mereka hayati dan dari takwa yang mereka jalankan.

Di akhir ayat ini Allah menyatakan bahwa apa yang mereka peroleh adalah kemenangan yang gilang gemilang yang tak ada tandingannya di dunia, yaitu kebahagiaan hidup di surga dan terlepas dari siksa neraka.

Ayat 65

Allah melarang kaum Muslimin merasa risau dan gundah lantaran perkataan orang-orang musyrikin yang memusuhi agama Allah dan mendustakan wahyu Allah, karena sesungguhnya kemenangan, kekuatan, dan perlindungan itu tidaklah mereka miliki, tetapi Allah lah yang berkuasa untuk memberikan kesemuanya kepada makhluk-Nya menurut kehendak-Nya. Kaum Muslimin dilarang takut menghadapi orang-orang musyrikin hanya karena jumlahnya yang besar (lihat tafsir Surah al-Anfal/8: 10).

Di akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa Dialah Yang Maha Mendengar terhadap perkataan orang-orang musyrik yang mendustakan Rasul dan mendustakan kebenaran wahyu. Yang Maha Mengetahui tindakan-tindakan mereka yang dilakukan terhadap Nabi dan pengikutnya, seperti tipu daya mereka untuk mengalahkan agama tauhid dan penganiayaan mereka terhadap Nabi dan pengikut-pengikutnya.


Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 15: Optimislah, Kabar Gembira Akan Segera Datang dari Allah


Ayat 66

Ayat ini mengingatkan kaum Muslimin bahwa semua yang ada di langit dan di bumi, berada di bawah kekuasaan Allah, termasuk pula patung-patung yang mereka sembah dan mereka perserikatkan dengan Allah, berada di dalam kekuasaan-Nya pula.

Orang-orang musyrik mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain bukanlah berdasarkan pada keyakinan yang benar, akan tetapi hanyalah berdasarkan pada persangkaan belaka.

Mereka menyembah patung karena adanya anggapan, bahwa patung-patung yang mereka sembah itu dapat menolong mereka, dan dapat mendekatkan diri kepada Allah, agar doa-doa mereka dikabulkan Allah.

Anggapan serupa itu timbul dalam pikiran mereka, karena mereka menganggap bahwa Allah itu sama dengan pemimpin-pemimpin serta pembesar-pembesar mereka yang bengis dan zalim.

Apabila mereka ingin berhubungan dengan pembesar-pembesar mereka atau ingin menyampaikan permohonan kepada mereka, permohonan itu tidak akan diterima atau mendapat pelayanan sebagaimana mestinya, apabila tidak terlebih dahulu melalui tangan kanan pemimpin mereka.

Di akhir ayat Allah menegaskan bahwa orang-orang musyrik mengikuti dugaan-dugaan seperti itu adalah karena kebodohan yang tidak akan membawa mereka kepada kebenaran sedikitpun.

Ayat 67

Allah menegaskan kepada kaum Muslimin bahwa Allah lah yang menciptakan malam bagi manusia, agar supaya manusia dapat beristirahat pada waktu itu. Dia pula menciptakan siang terang benderang oleh cahaya matahari agar manusia pada waktu itu dapat mencari karunia-Nya.

Pergantian siang dan malam diatur oleh Allah dengan hukum-hukum-Nya. Dengan hukum-hukum-Nya benda-benda langit beredar dalam orbitnya yang telah ditentukan.

Dalam mengatur peredaran benda-benda langit Allah tidak memerlukan tuhan-tuhan yang lain untuk membantu, tetapi cukup dengan hikmah-Nya yang tinggi, Allah berkuasa untuk mengatur peredaran benda-benda itu. Karena adanya peredaran benda-benda langit itu, maka timbul perbedaan waktu dan perubahan cuaca, sehingga manusia dapat memilih waktu yang sesuai guna mencukupi keperluan hidupnya, dan memenuhi kewajibannya terhadap Penciptanya.

Di akhir ayat ini Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang benar-benar memperhatikan ayat-ayat yang dibacakan oleh Rasulullah saw dan memikirkan baik-baik isi kandungannya, serta memperhatikan hukum-hukum Allah yang berlaku di alam semesta, tentu akan mengakui keesaan dan kekuasaan Allah.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 68-73


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yunus Ayat 61-62

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 61-62 ini berbicara mengena dua hal. Pertama mengenai pengawasan Allah terhadap segala sesuatu yang dikerjakan oleh manusia dan kedua berisi penjelasan tentang wali-wali Allah. Mereka adalah orang yang beriman dan bertakwa.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 58-60


Ayat 61

Allah menjelaskan kepada Rasul-Nya dan kaum Muslimin bahwa pada saat Rasulullah melaksanakan urusan yang penting yang menyangkut kepentingan masyarakat, pada saat membacakan ayat-ayat Al-Qur′an, dan pada saat manusia melaksanakan amal perbuatannya, tidak ada yang terlepas dari pengawasan Allah. Dia menyaksikan semua amal perbuatan itu pada saat dilakukannya.

Yang termasuk urusan penting dalam ayat ini ialah segala macam urusan yang menyangkut kepentingan umat seperti urusan dakwah Islamiyah, yaitu mengajak umat agar mengikuti jalan yang lurus, dengan cara yang bijaksana dan suri tauladan yang baik, membangunkan kesadaran umat agar tertarik untuk melakukan perintah agama dan menjauhi larangan-larangan-Nya, termasuk pula urusan pendidikan umat dan cara-cara merealisir pendidikan itu hingga menjadi kenyataan yang berfaedah bagi kesejahteraan umat.

Disebutkan pula bahwa ayat-ayat Al-Qur′an yang dibaca itu mencakup semua urusan berdasarkan pola-pola pelaksanaannya, tidak boleh menyimpang dari padanya, karena urusan segala umat secara prinsip telah diatur dalam kitab itu.

Kemudian disebutkan semua amalan yang dilakukan oleh hamba-Nya, yang telah digariskan oleh wahyu yang diturunkan kepada rasul-Nya, dengan mempedomani isi dari wahyu itu dalam urusannya sehari-hari, serta menaati rasul, karena apa yang diucapkan dan dikerjakan rasul menjadi suri tauladan yang baik bagi seluruh umat.

Allah menandaskan bahwa segala macam amalan yang dilakukan oleh hamba-Nya, tidak ada satupun yang luput dari ilmu dan pengawasan Allah, meskipun amalan itu lebih kecil dari benda yang terkecil, ataupun urusan itu maha penting sehingga tak terkendalikan oleh manusia.

Disebutkannya urusan yang kecil dari yang terkecil dan urusan yang maha penting, agar tergambar dalam hati para hamba-Nya, bahwa ilmu Allah itu begitu sempurna sehingga tidak ada satu urusanpun yang luput dari ilmu-Nya, bagaimanapun remehnya urusan itu dan bagaimana pentingnya urusan itu, apalagi urusan itu di luar kemampuan manusia.

Ilmu Allah tidak hanya meliputi segala macam urusan yang ada di bumi, tetapi. Juga meliputi segala macam urusan di langit, yang urusannya lebih rumit dan lebih sukar tergambar dalam pikiran manusia. Hal ini untuk menguatkan arti dari keluasan ilmu Allah, sehingga terasalah keagungan dan kekuasaan-Nya.

Di akhir ayat ini, Allah menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada satu urusanpun melainkan telah tercatat dalam kitab yang nyata yaitu Lauh Mahfµz, maksudnya segala macam urusan itu semuanya dikontrol dan dikendalikan serta dikuasai oleh ilmu Allah Yang Maha Luas dan tercatat dalam kitab-Nya yang jelas di Lauh Mahfµz.

Allah berfirman:

وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَّرَقَةٍ اِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمٰتِ الْاَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَابِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ

Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfµz). (al-An’am/6: 59)


Baca juga: Lima Pedoman Hidup Bermasyarakat: Refleksi Surah Al-Hujurat Ayat 11-13


Ayat 62

Di ayat ini, Allah mengarahkan perhatian kaum Muslimin agar mereka mempunyai kesadaran penuh, bahwa sesungguhnya wali-wali Allah, tidak akan merasakan kekhawatiran dan gundah hati.

Wali-wali Allah dalam ayat ini ialah orang-orang yang beriman dan bertakwa, sebagai sebutan bagi orang-orang yang membela agama Allah dan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum-Nya di tengah-tengah masyarakat, dan sebagai lawan kata dari orang-orang yang memusuhi agama-Nya, seperti orang-orang musyrik dan orang kafir (lihat tafsir Surah al-An’am/6: 51-55).

Dikatakan tidak ada rasa takut bagi mereka, karena mereka yakin bahwa janji Allah pasti akan datang, dan pertolongan-Nya tentu akan tiba, serta petunjuk-Nya tentu membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan apabila ada bencana menimpa mereka, mereka tetap sabar menghadapi dan mengatasinya dengan penuh ketabahan dan tawakal kepada Allah. (lihat tafsir Surah al-Baqarah/2: 249).

Hati mereka tidak pula gundah, karena mereka telah meyakini dan rela bahwa segala sesuatu yang terjadi di bawah hukum-hukum Allah berada dalam genggaman-Nya. Mereka tidak gundah hati lantaran berpisah dengan dunia, dengan semua kenikmatan yang besar.

Mereka tidak takut akan menerima azab Allah di hari pembalasan karena mereka dan seluruh sanubarinya telah dipasrahkan kepada kepentingan agama. Mereka tidak merasa kehilangan sesuatu apapun, karena telah mendapatkan petunjuk yang tak ternilai besarnya (lihat tafsir Surah al-Baqarah/2: 2 dan al-Anfal/8: 29).


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 63-67


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 97-101

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pembahasan sebelumnya telah dijelaskan tentang pengingkaran orang Yahudi akan ajaran al-Qur’an, ajaran kitab Taurat dan memalsukan Taurat. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 97-101 masih membicarakan orang Yahudi yang menolak dan mengesampingkan ajaran Alquran maupun Taurat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 91-96


Dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 97-101 dijelaskan bahwa orang-orang Yahudi digolongkan orang-orang kafir karena mereka memusuhi kebenaran dan memusuhi pula setiap orang yang menyerukan kebenaran itu. Orang Yahudi mengingkari ayat Allah, mengingkari jani dan menyampingkan Taurat.

Ayat 97

Pada ayat ini, Allah menjelaskan tentang penolakan alasan-alasan yang dikemukakan orang Yahudi dengan menyuruh Nabi Muhammad saw, menyampaikan kepada orang-orang Yahudi, bahwa barang siapa yang memusuhi Jibril berarti ia telah memusuhi wahyu Allah, karena tugasnya antara lain menurunkan Al-Qur′an kepada Nabi Muhammad saw. Barang siapa memusuhi wahyu Allah, berarti ia telah mendustakan Taurat dan kitab-kitab Allah yang lain.

Alasan yang dikemukakan orang-orang Yahudi adalah alasan yang timbul dari kelemahan dan kerusakan iman. Hal ini menunjukkan bahwa permusuhan orang-orang Yahudi terhadap Jibril tidaklah pantas dijadikan alasan untuk tidak mempercayai kitab yang diturunkan Allah.

Ayat 98

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa barang siapa memusuhi Allah dan malaikat-malaikat-Nya dan orang-orang yang menjauhkan diri dari-Nya, berarti orang itu telah menganiaya dirinya sendiri, karena orang yang demikian itu memusuhi orang-orang yang menyampaikan seruan Allah, yang berarti pula orang itu telah mendengar seruan Allah kepada jalan yang benar, tetapi tidak mau mendengarkan seruan itu. Ia telah berbuat zalim karena tidak mau mendengarkan seruan sebagaimana mestinya, padahal seruan itu sangat berguna bagi dirinya sendiri.

Dalam ayat ini terdapat ancaman yang keras yang dinyatakan Allah secara terang-terangan, yaitu ketentuan bahwa orang-orang Yahudi digolongkan orang-orang kafir karena mereka memusuhi kebenaran dan memusuhi pula setiap orang yang menyerukan kebenaran itu.

Orang-orang Yahudi semestinya harus mengerti bahwa memusuhi Alquran berarti memusuhi seluruh kitab-kitab samawiyah, karena tujuan dari kitab-kitab itu hanyalah satu, yaitu memberikan hidayah pada semua manusia dan menunjuki mereka pada jalan yang lurus. Memusuhi Nabi Muhammad pun berarti memusuhi seluruh nabi, karena tugas para nabi pada hakikatnya satu, dan tujuannya pun juga satu.


Baca juga: Nabi Adam dalam Al-Quran: Manusia Pertama dan Tugasnya di Dunia


Ayat 99

Allah swt menerangkan bahwa ayat-ayat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw mengandung kebenaran, karena antara teori-teori Itiqadiyah-nya dengan dalil-dalilnya terdapat keserasian, demikian pula antara hukum-hukumnya yang bersifat amali dengan segi-segi kemanfaatannya. Tidak diperlukan dalil lain untuk membuktikan kebenaran ayat-ayat itu.

Ia laksana cahaya yang menyinari segala sesuatu, yang terang benderang dengan sendirinya, tidak memerlukan sesuatu pun untuk membantu kecerahannya. Orang-orang yang telah dipancari kebenaran, tetapi lebih suka mencari kegelapan, sebabnya tiada lain karena hasad pada orang yang menampakkan hak, juga karena sifat congkak dan sombong yang timbul dari mereka.

Ayat 100

Pantaslah mereka itu mengingkari ayat Allah, karena setiap mereka mengadakan perjanjian, sebagian besar mereka mengkhianati janji. Janji yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah janji mereka kepada Nabi Muhammad saw, dan janji yang mereka buat itu tidak sedikit. Tegasnya, orang-orang Yahudi mempunyai watak yang tidak setia, bahkan sebagian besar dari mereka suka menyalahi janji.

Allah menerangkan dalam ayat ini ketidakjujuran yang dilakukan orang-orang Yahudi dalam mengingkari ayat-ayat yang terdapat dalam kitab Taurat dan tidak mau menjalankan ajarannya.

Ayat 101

Ketika Nabi Muhammad saw datang dengan membawa kitab yang membawa keterangan-keterangan yang membenarkan kitab Taurat yang ada pada mereka, yang mengandung pokok-pokok ajaran tauhid, dasar-dasar hukum, hikmah-hikmah dan berita tentang umat yang lalu, orang Yahudi mengenyampingkan ajaran kitab Taurat.

Padahal dalam kitab Taurat itu juga telah diisyaratkan kedatangan Nabi Muhammad saw, mereka itu tidak lagi berpegang pada ajaran Taurat. Tindakan orang-orang Yahudi yang mengenyampingkan Taurat dan mengingkarinya berarti mereka telah melemparkan Taurat itu ke belakang mereka, sehingga mereka tidak dapat mengetahuinya lagi.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah ayat 102


(Tafsir kemenag)

Pemikiran Muhammad Irsyad Tentang Integrasi Al-Quran dan Sains

0
Integrasi Al-Quran
Integrasi Al-Quran dan Sains menurut Muhammad Irsyad

Pada tulisan sebelumnya Mengenal Sosok Muhammad Irsyad, Mufasir Modernis Asal Madura telah dibahas seputar perjalanan kehidupan seorang Irsyad sebagai figur mufasir yang beraliran modernis. Kali ini, saya akan melanjutkannya dengan menghadirkan pemikiran Irsyad tentang sejauh mana ‘kedekatan’ hubungan antara Al-Quran dan sains. Pemikiran integrasi Al-Quran dan sains dari mufasir Madura tersebut paling tidak dapat dilihat dari tiga konsep yang menjadi kunci, sebagaimana yang akan diulas berikut ini.

Al-Quran Sumber Ilmu Pengetahuan (sains)

Irsyad tergolong pemikir yang memandang Al-Quran tidak saja sebagai kitab suci yang mengetengahkan ajaran-ajaran keagamaan berkonotasi teologis-ritualistik. Lebih dari itu, secara filosofis, Al-Quran juga menyinggung masalah-masalah seputar ilmu pengetahuan (sains). Dalam kata pengantar tafsirnya, ia mengatakan, “Sekiranya patut, karena saya dan anda sekalian sudah lama haus ilmu pengetahuan yang diridhai Allah. Zaman sekarang yang masyhur dengan sebutan zaman modern, seperti apapun kemajuan zaman, namun harus diingat bahwa sumber segala hal seperti ilmu pengetahuan, hukum-hukum dan yang lainnya di dunia ini, petunjuk yang baik dan benar sudah ada di dalam Al-Quran.”

Irsyad percaya bahwa fenomena alam semesta yang mengelilingi kehidupan manusia bukan sekadar kebetulan, dan tidak pula datang tiba-tiba dari ruang antah-berantah. Untuk memahami fenomena dan gejala yang beraturan di semesta ini, manusia telah memiliki bekal penting yaitu akal pikiran. Hanya manusia satu-satunya ciptaan Tuhan yang dianugerahi ‘daya’ berupa akal pikiran, dan inilah yang membedakan antara dirinya dengan makhluk-makhluk lain.

Tidak cukup itu saja, Al-Quran sendiri bahkan telah memberikan rangsangan dan dorongan kepada manusia untuk menyelidiki apa saja yang terjadi di jagad raya ini. Beberapa redaksi ayat Al-Quran seperti afalā taqilūn, afalā talamūn, afalā tatafakkarūn, dan lainnya sudah lebih dari cukup memberikan gambaran betapa Al-Quran memerintahkan untuk terus menerus menimba, merenungi dan mempelajari semesta alam dengan cara berpikir, membaca, mengamati, dan merenung.

Al-Quran sebagai Basis Pengembangan Sains

Konsepsi integrasi Al-Quran dan sains yang hendak dibangun oleh Irsyad adalah mensinergikan antara Al-Quran sebagai dimensi wahyu yang ‘terbaca’ dan sains sebagai dimensi wahyu yang ‘terlihat’. Kedua ayat (bukti kekuasaan) Tuhan ini memiliki keterkaitan kuat. Al-Quran dan sains tidak dapat dipertentangkan kerena keduanya tidak bersimpang di jalan yang berlawanan. Justru Al-Quran dan sains dapat berjalan beriringan dan menguatkan satu sama lain.

Bagi Irsyad, sejatinya Al-Quran tidak mungkin melawan arus perkembangan sains jika ia dipahami dengan baik. Begitu juga sebaliknya, sains tidak mungkin menentang Al-Quran andai kerangka kerja yang digunakan benar. Karena kedudukannya sebagai sumber ilmu pengetahuan ini, maka suatu keniscayaan jika kemudian Al-Quran mengambil peran sentral dalam setiap aktivitas sains.

Di sini Irsyad mencoba memberikan suatu pemahaman bahwa Al-Quran sebisa mungkin menjadi dasar dan fondasi di mana sains seharusnya diproduksi dan dijalankan dalam kehidupan manusia. Baginya, manusia tak kan mampu memiliki pengetahuan jika tidak mendapatkan ‘hidayah’ dari wahyu Tuhan. Karena itu, manusia tak boleh asal ‘ngarang’ pengetahuan tanpa berdasar pada wahyu Al-Quran.

Sepertinya Irsyad mencoba menawarkan sebuah paradigma agar premis-premis dasar ilmu pengetahuan (sains) diambil langsung dari Al-Quran. Irsyad menekankan untuk membangun peradaban sains dengan memasukkan pandangan dan spirit Al-Quran sebagai dasarnya. Dengan begitu, Al-Quran diposisikan sebagai basis bagi bangunan dan kerangka ‘kerja’ sains.

Paling tidak, Al-Quran dapat menjadi grand theory bagi pengembangan sains. Maka, kurang elegan jika Al-Quran hanya dipandang sebagai sumber nilai (etika) dan hukum-hukum (syariat). Seharusnya, Al-Quran juga dipahami secara spesifik sebagai petunjuk bagi para saintis (ilmuwan) dalam memperoleh ide dan membangun konstruk ilmu pengetahuan (sains).

Tolak Ukur Kebenaran Sains

Semodern apapun sebuah perkembangan zaman, tutur Irsyad, harus tetap diingat bahwa sumber segala hal seperti ilmu pengetahuan, hukum-hukum dan hal-hal lain di dunia ini, petunjuk yang benar sejatinya sudah ada di dalam Al-Quran. Sekalipun Al-Quran memiliki tingkat kebenaran mutlak, tidak kemudian berarti umat Islam sebagai pembacanya harus berhenti pada teks suci semata. Al-Quran sebagai pedoman umat Islam telah membicarakan fenomena-fenomena alam kendati berdasar garis-garis besarnya saja. Semua isyarat universal itu tentu tidak akan bisa dipahami jika hanya mengandalkan teks semata.

Dalam ranah kerja sains, Irsyad menempatkan Al-Quran sebagai barometer temuan atau teori sains apakah layak diterima atau tidak. Ukuran kebenaran sebuah teori sains (ilmu pengetahuan) ditimbang dari sejauh mana kesesuaiannya dengan Al-Quran. Jika seumpama terdapat teori sains ternyata berbeda dengan Al-Quran, maka bisa dipastikan bahwa teori tersebut harus diperbaiki dan ditelaah ulang untuk sampai pada titik akhir kesesuaiannya dengan Al-Quran, bukan sebaliknya.

Dari sini bisa dipahami, bahwa Irsyad mendudukkan Al-Quran sebagai penentu (barometer) kebenaran sains. Karena hubungan antara sains dan kebenaran Al-Quran bersifat pasti, maka hubungan sebaliknya juga berlaku. Ayat Al-Quran akan memperlihatkan dan juga memberi informasi tentang teori sains dalam kadar tertentu sebagaimana mestinya. Sebab, secara inheren, kebenaran sains telah terkandung dalam Al-Quran.

Pandangan semacam ini dapat dicermati ketika Irsyad mengkritik teori Darwin. Menurutnya, pandangan Darwin tentang manusia telah mencederai pandangan Al-Quran yang menempatkan manusia sebagai mahkota ciptaan dan wakil Tuhan di muka bumi; bukan sebagai anak keturunan kera besar, di mana manusia dan kera berbagi nenek moyang yang sama. Dengan begitu, teori evolusi Darwin tentang asal-muasal manusia harus ditolak karena tidak sesuai dengan petunjuk Al-Quran.

Menjadikan Al-Quran sebagai tolak ukur kebenaran sains juga dilakukan Irsyad ketika ia membenarkan teori Big Bang tentang proses awal terciptanya Bumi. Karena teori Big Bang senafas dan sesuai dengan QS. Al Anbiya’ [21]: 30, Irsyad pun tak ragu mempersilahkan umat Islam untuk mengambil teori ini. Dengan catatan, harus tetap diyakini bahwa semua itu terjadi berkat iradah (kehendak) Allah Swt. dan hukum alam (sunnatullāh) yang telah ditetapkan-Nya bagi semesta. Wallahu a’lam []