Beranda blog Halaman 360

Makna Khalifah dan Tugasnya Menurut Para Mufasir

0
makna khalifah dan tugasnya
makna khalifah dan tugasnya

Salah satu hal yang tak habis-habisnya dibahas di setiap waktu adalah pembahasan tentang khalifah (pemimpin) dan khilafah (kepemimpinan). Khalifah dalam banyak tafsir tidak hanya mempunyai makna satu, pemimpin misalnya. Berbeda dengan penggunaan makna yang populer, yaitu pemimpin, makna khalifah menurut para mufasir lebih cenderung ke pengganti. Pengganti siapa? Ini juga masih beragam pendapat. Selain makna, para mufasir melanjutkan bahasan tentang tugas khalifah. Berikut penjelasan makna khalifah dan tugasnya.

Pengertian Khalifah

Pembahasan tentang makna khalifah dan tugasnya diawali penjelasan tentang pengertian khalifah kata khalifah terlebuh dahulu. Kata khalifah  dalam bahasa arab berakar pada tiga huruf yaitu kha’-lam-fa’ yang arti katanya berkisar pada makna ‘sesuatu yang berada di belakang dari sesuatu yang lain’. Ia adalah lawan dari kata quddam yang berarti ‘yang berada di depan’. Sebutan ‘khalifah’ untuk Abu Bakar adalah karena beliau datang setelah Nabi dan menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin kaum muslimin. 3 sahabat berikutnya yang kemudian melengkapi empat pengganti Nabi disebut khulafa’ rasyidun. Bentuk jamak dari khalifah adalah khalaif, sementara kata khulafa adalah bentuk jamak dari khalif.

Ta’ tanits pada kata “khalifah” dimaksudkan sebagai mubalaghah (menguatkan suatu makna) seperti kata ‘allamah yang artinya sangat alim. Kemudian kata jadian dari khalifah adalah khilafah yang menurut al-Asfahani dalam kitab Mufradat alfadhi al-Qur’an maknanya adalah sebagai berikut, arti khilafah adalah menggantikan orang lain, baik bersamaan atau datang setelahnya. Baik karena yang digantikan itu tidak ada karena meninggal atau tidak berdaya lagi ataupun juga karena tinggginya derajat orang yang menggantikan.

Baca Juga: Makna Khalifah dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 30

Quraish Shihab menyebutkan bahwa tentang makna khalifah dalam konteks Al-Qur’an, ulama berbeda pendapat tentang maknanya.

Pertama, ada pendapat bahwa manusia semenjak Nabi Adam menggantikan makhluk sebelumnya yaitu yang berjuluk al-Hinn dan al-Binn atau at-Thimm atau ar-Rimm. Kedua makhluk itu telah berbuat kerusakan di bumi, sehingga mereka diusir oleh Allah dan dibinasakan. Demikian papar Ibn Katsir dan Muhammad Abduh dalam tafsir mereka. Manusia adalah makhluk yang menggantikan mereka yang telah binasa itu.

Kedua, manusia dalam kiprahnya di dunia menggantikan manusia sebelumnya. Inilah yang bisa dipahami dari kata خَلَائِفُ الْأَرْضِ atau خَلَائِفٌ فِى الْأَرْضِ kita mengenal kaum-kaum terdahulu yang menghuni bumi seperti kaum Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, dan lain-lainnya. Mereka yang telah tiada digantikan oleh generasi setelahnya seperti tersurat dalam Q.S. Al-A’raf [7]:69.

Ketiga, menggantikan Allah dalam melaksanakan titah-Nya untuk sekalian makhluk-Nya. Manusia dijuluki “khalifatullah” atau pengganti Allah. Hal ini bisa tercermin dari firman Allah Q.S. Shaad [38]:26 yang berbunyi:

 (يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ فِى الْأَرْضِ خَلِيْفَةً)

Hai dawud, aku telah jadikan kamu menjadi khalifah di bumi (syam)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 105: Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh dan Makna Saleh Total

Tugas Khalifah dan Petunjuk Kekhalifahan

Quraish Shihab, dalam bukunya ‘Khilafah’ menyebutkan bahwa pengangkatan Allah terhadap manusia sebagai khalifah adalah bentuk penghormatan Allah kepada manusia sekaligus menguji manusia. Penghormatan karena manusia dipilih oleh Allah diantara seluruh makhuknya bahkan mengungguli malaikat untuk memimpin bumi, pengujian karena manusia punya kecendurugan membuat kerusakan di bumi.

Kedua hal di atas termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 30 tentang penunjukan manusia sebagai khalifah yang kemudian ditentang malaikat. Seperti dituturkan KH Akhsin Sakho Muhammad dalam bukunya ‘Keberkahan Al-Qur’an’, malaikat mempunyai alasan bahwa makhluk yang bernama manusia memiliki kecenderungan membikin kerusakan di bumi berdasarkan pengamatan mereka. Namun, lanjutnya, sebagaimana bunyi ayat tersebut, Allah sudah tentu lebih mengetahui terhadap kebijakannya. Allah tidak menyalahkan malaikat, karena Allah tidak menyangkal alasan mereka.

Quraish Shihab mengatakan bahwa tidak dijelaskan apa dan bagaimana tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Tetapi, Allah mengatakan dalam beberapa ayat bahwa manusia diperintahkan untuk memakmurkan bumi. Dalam hal itu, Allah memberikan petunjuk (هُدًى) untuk manusia guna melaksanakan tugas kekhalifahannya yang pada kenyataannya tugas khalifah itu berkembang.

Petunjuk itu sendiri (هُدًى) ada 3 (tiga). Petunjuk tingkat pertama adalah naluri yang fungsinya menciptakan dorongan untuk mencari hal-hal yang dibutuhkan oleh tubuh. Petunjuk tingkat kedua, setingkat di atas naluri yaitu indra manusia yang mampu menjangkau apa yang ada di luar dirinya meskipun seringkali hasilnya bisa keliru, seperti bintang-bintang besar yang terlihat kecil oleh manusia. Dan petunjuk tingkat ketiga adalah akal. Potensi iniliah yang meluruskan kesalahan panca indra. Akal mengatur informasi yang diperoleh indra kemudian membuat kesimpulan-yang bisa berbeda dengan hasil informasi indra.

Maka bisa dikatakan bahwa untuk melakukan tugasnya sebagai khalifah, manusia senantiasa membutuhkan petunjuk dari Allah agar dia selalu berada di jalan yang semestinya dan benar-benar menjadi wakil Allah untuk memakmurkan bumi.

Baca Juga: Perjanjian Manusia dengan Allah Sebelum Lahir ke Dunia

Memakmurkan Bumi dan Membangun Peradaban

Thahir Ibn ‘Asyur, pakar Maqashid asy-Syari’ah dalam tafsirnya At-Tahrir wa at-Tanwir menuturkan bahwa firman Allah surah al-Baqarah ayat 30 mengisyaratkan kebutuhan manusia untuk memilih pemimpin yang berfungsi mengurusi sengketa antar manusia, dan dijadikannya Nabi Adam sebagai khalifah Allah adalah menjadi wakil Allah untuk memakmurkan bumi.

Memakmurkan bumi sebagaimana dimaksud di atas sudah ditegaskan oleh Allah dalam Q.S. Hud [11]:61 yang berbunyi:

يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ

Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kamu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi dan menjadikan kamu memakmurkannya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat lagi Maha Memperkenankan.

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim mengatakan bahwa kata وَاسْتَعْمَرَكُمْ  artinya Allah menjadikan manusia sebagai orang-orang yang akan memakmurkan bumi. Lebih-lebih tambahan sin (س) dan ta’ (ت) yang menyertai kata ista’mara dalam bahasa arab memiliki arti perintah sehingga arti dari kata tersebut adalah bahwa Allah mewajibkan manusia untuk memakmurkan bumi.

Dengan kata lain, tugas memakmurkan bumi dari Allah untuk manusia adalah untuk membangun peradaban atau dalam bahasa arab disebut madani, apapun bentuk pemerintahannya. Sebab islam tidak menentukan sistem pemerintahan apapun. Membangun peradaban artinya mengelola bumi supaya menjadi tempat yang bermanfaat untuk manusia dan seluruh semesta alam sebagaimana dikatan bahwa Allah semata-mata mengutus Nabi Muhammad sebagai rahmat untuk semesta alam.

Islam sebagai agama yang penuh rahmat bagi semesta alam, melalui konsep khalifah yang prinsipnya adalah memakmurkan bumi dan membangun peradaban memiliki orientasi yang menekankan pada pemenuhan hak seluruh makhluk Allah dan mewujudkan kebijakan kepemimpinan yang berorientasi pada kemaslahatan, disamping manusia juga terus menerus menggali potensinya dalam mengelola dan memakmurkan bumi di manapun dan dalam bentuk negara apapun.

Wallahu a’lam

Tafsir Surah Yunus Ayat 58-60

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 58-60 berbicara mengenai tiga hal. Pertama mengenai perintah untuk bersyukur atas segala nikmat yang telah dianugerahkan oleh Allah Swt. Dari sekian nikmat itu, rahmat Allah adalah karunia paling utama.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 55-57


Kedua, Tafsir Surah Yunus Ayat 58-60 berisi tentang kecaman terhadap orang-orang kafir akibat kelakukan mereka yang menentukan hukum seenaknya sendiri. terakhir berbicara mengenai kekesatan mereka yang menganggap bahwa kelak diakhirat tidak akan mendapatkan siksa.

Ayat 58

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar mengatakan kepada umat-Nya bahwa rahmat Allah adalah karunia yang paling utama, melebihi keutamaan-keutamaan lain yang diberikan kepada mereka di dunia.

Oleh sebab itu, Allah memerintahkan agar mereka bergembira dan bersyukur atas nikmat yang mereka terima, yang melebihi kenikmatan-kenikmatan yang lainnya.

Kegembiraan orang-orang mukmin karena berpegang teguh kepada Al-Qur′an digambarkan dalam ayat lain sebagai berikut:

Allah berfirman:

وَيَوْمَىِٕذٍ يَّفْرَحُ الْمُؤْمِنُوْنَۙ

Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman. (ar-Rµm/30: 4)

Dan firman-Nya:

وَالَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَفْرَحُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ

Dan orang yang telah Kami berikan kitab kepada mereka bergembira de-ngan apa (kitab) yang diturunkan kepadamu (Muhammad). (ar-Ra’d/13: 36)

Dikatakan bahwa karunia Allah dan Rahmat-Nya lebih baik dari yang lain, yang dapat mereka capai, karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang terpancar dari Al-Qur′an adalah kekal untuk mereka, sedangkan kenikmatan yang lain bersifat fana dan sementara, yang hanya dapat mereka rasakan selama mereka mengarungi kehidupan di dunia saja, apabila mereka kembali ke alam baka, kenikmatan yang dapat mereka kumpulkan di dunia itu tidak berguna lagi bagi mereka.

Ayat 59

Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengatakan kepada orang-orang musyrikin yang mengingkari kebenaran wahyu dan kerasulan Muhammad bahwa apakah semua rezeki yang telah diturunkan kepada mereka, yang menjadi sumber penghidupan mereka, baik tumbuh-tumbuhan atau binatang ternak, dapat ditentukan hukumnya, halal atau haram oleh mereka sendiri.

Padahal sudah jelas bahwa yang menciptakan semuanya itu adalah Allah. Maka sebenarnya mereka tidak berhak menentukan hukumnya. Itulah sebabnya maka Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengatakan kepada mereka bahwa yang berhak menentukan hukum itu ialah yang menciptakan kesemuanya, yaitu Allah.

Ataukah mereka beranggapan bahwa Allah telah memberikan izin kepada mereka untuk menentukan hukum ataukah mereka berbuat sedemikian itu hanyalah dengan mengada-adakan saja atas nama Allah, atau anggapan mereka saja bahwa apa yang telah mereka tentukan sesuai dengan ketentuan Allah, yaitu apa yang mereka haramkan, itulah yang diharamkan Allah dan apa yang mereka halalkan, itulah yang dihalalkan Allah?

Kemungkinan yang pertama, yaitu mereka mendapat izin Allah adalah tidak mungkin terjadi karena mereka sendiri telah mendustakan wahyu itu sendiri, maka kemungkinan keduanyalah yang bisa terjadi yaitu mereka menentukan hukum itu hanyalah atas dasar dugaan semata, atau dengan kata lain mereka mengada-adakan atas nama Allah.

وَجَعَلُوْا لِلّٰهِ مِمَّا ذَرَاَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْاَنْعَامِ نَصِيْبًا فَقَالُوْا هٰذَا لِلّٰهِ بِزَعْمِهِمْ وَهٰذَا لِشُرَكَاۤىِٕنَاۚ فَمَا كَانَ لِشُرَكَاۤىِٕهِمْ فَلَا يَصِلُ اِلَى اللّٰهِ ۚوَمَا كَانَ لِلّٰهِ فَهُوَ يَصِلُ اِلٰى شُرَكَاۤىِٕهِمْۗ سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ

Dan mereka menyediakan sebagian hasil tanaman dan hewan (bagian) untuk Allah sambil berkata menurut persangkaan mereka, “Ini untuk Allah dan yang ini untuk berhala-berhala kami.” Bagian yang untuk berhala-berhala mereka tidak akan sampai kepada Allah, dan bagian yang untuk Allah akan sampai kepada berhala-berhala mereka. Sangat buruk ketetapan mereka itu. (al-An’am/6: 136)


Baca juga: Surah al-Kahfi Ayat 110: Melihat Sisi Kemanusiaan Nabi Muhammad Saw


Ayat 60

Allah mengungkapkan kesalahan dari dugaan mereka bahwa pada hari pembalasan nanti setiap orang diberi balasan yang setimpal dengan amalnya, mereka itu tidak akan dihisab, mereka tidak akan dijatuhi hukuman, karena berbuat dusta atas nama Allah, atau karena beranggapan bahwa diri mereka berhak menentukan hukum, halal dan haramnya sesuatu.

Kesalahan mereka inilah yang menyeret mereka kepada kesalahan yang lebih besar, yaitu mereka secara sengaja telah berani mencampuri urusan yang sebenarnya menjadi hak Allah, menentang wahyu yang diturunkan dari Allah dan mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain.

يَعْمَلُوْنَ لَهٗ مَا يَشَاۤءُ مِنْ مَّحَارِيْبَ وَتَمَاثِيْلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُوْرٍ رّٰسِيٰتٍۗ اِعْمَلُوْٓا اٰلَ دَاوٗدَ شُكْرًا ۗوَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ

Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur. (Saba’/34: 13)

Allah menjelaskan alasan, mengapa mereka harus menerima hukuman, yaitu karena kesalahan mereka sendiri.

Allah telah melimpahkan karunia-Nya yang sangat besar kepada manusia, yaitu menurunkan wahyu untuk dijadikan pedoman hidup mereka, agar mereka hidup berbahagia di dunia dan di akhirat, dan telah menentukan halal dan haramnya segala sesuatu, agar mereka terbimbing kepada kehidupan yang makmur dan sentosa. Allah telah menurunkan aneka ragam rezeki untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Di akhir ayat Allah menyayangkan mengapa sebagian besar manusia tidak mau mensyukuri segala macam nikmat yang telah diberikan kepada mereka, bahkan mereka menganiaya diri mereka sendiri dengan jalan menentang ketentuan dan hukum yang telah ditetapkan Allah. Mereka tidak mau mempedomani wahyu yang telah diturunkan kepada mereka. Kebanyakan dari mereka hidup mengikuti hawa nafsu dan menghambur-hamburkan harta benda, karena perasaan takabur dan membanggakan diri.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 61-62


(Tafsir Kemenag)

Macam-Macam Fawatihus Suwar dalam Al-Quran

0
Macam-Macam Fawatihus Suwar dalam Al-Quran
Macam-Macam Fawatihus Suwar dalam Al-Quran

Al-Quran terdiri dari 114 surah. Setiap surah di dalam al-Quran dimulai atau diawali dengan berbagai macam bentuk kalimat. Di dalam ulum al-quran, pembahasan mengenai awal atau pembuka surah al-Quran dinamakan dengan fawatihus suwar

fawatihus suwar (فواتح السور) terbentuk dari dua kata, yaitu fawatihun (فواتح) dan suwarun (سور). Fawatihun (فواتح) adalah bentuk jama dari mufrad fatihun ( فاتح) yang artinya adalah pembuka. Sedangkan suwarun (سور) adalah bentuk jama dari mufrad suratun (سورة). Dari arti dua kata pembentuk tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa fawatih as-suwar adalah pembuka-pembuka atau awal dari surah-surah al-Quran.

Ulama sepakat bahwa Allah Swt. mengawali sebuah surah di dalam al-Quran dengan salah satu dari sepuluh macam kalam yang berbeda. Kesepuluh macam kalam tersebut adalah الثناء (pujian), حروف التهجي (huruf hijaiyyah), النداء (panggilan), الجمل الخبرية (kalimat berita), القسم (sumpah),  الشرط (syarat),  الامر (perintah), الاستفهام  (pertanyaan), الدعاء  (doa), dan التعليل (alasan).

Berikut adalah penjelasan ringkas tentang kesepuluh bentuk fawatih as-suwar tersebut:

  1. الثناء عليه تعالى

Bentuk kalimat yang pertama yang mengawali sebuah surah di dalam al-Quran adalah pujian kepada Allah Swt. Imam Badruddin Muhammad bin Abdillah az-Zarkasyi dalam karyanya, al-Burhan fi Ulum al-Quran menjelaskan bahwa pujian kepada Allah ini ada dua macam, yaitu pujian untuk mengukuhkan sifat kesempurnaanya dan pujian untuk meniadakan kekurangan.

Jumlah surah yang diawali pujian kepada Allah ta’ala ada 14 surah. Setengahnya untuk mengukuhkan sifat kesempurnaan dan setengah yang lain untuk meniadakan kekurangan. Berikut rinciannya:

  1. حروف التهجي

fawatihus suwar berupa huruf tahajjiy adalah yang paling banyak di dalam al-Quran. Jumlah surah yang diawali dengan huruf tahajjiy atau disebut juga huruf muqaththa’ah ada 29 surah. Di bawah ini adalah surah-surah yang diawali dengan huruf tahajjiy:

Penjelasan lebih lanjut mengenai pembuka surah berupa huruf tahajjiy ini dapat dibaca di artikel ini.

  1. النداء

Nida’ berarti panggilan. Biasanya untuk memanggil seseorang, maka kita menggunakan huruf-huruf nida. Huruf nida yang paling populer digunakan adalah huruf ya’. Dan huruf ya’ inilah yang sering digunakan al-Quran untuk memanggil orang yang diajak berbicara (mukhotob).

Surah-surah yang diawali dengan nida’ jumlahnya ada 10. Lima surah berupa panggilan kepada Rasulullah Saw. Sedangkan lima sisanya berupa panggilan kepada umat beliau. Di bawah ini adalah surah-surah yang diawali dengan nida’:

Baca juga: Tafsir Al-Mukminun Ayat 12-14: Menjadi Insan Kamil Perspektif Murtadha Muthahhari

  1. الجمل الخبرية

Jumlah khabariyyah adalah kalimat berita yang bisa mengandung kebenaran atau kebohongan. Kalimat berita ini bentuknya bisa berupa jumlah fi’liyyah (fi’il + fa’il), bisa juga jumlah ismiyyah (mubtada + khabar).

Surah yang diawali dengan jumlah khabariyyah di dalam al-Quran berjumlah 23 surah. Rinciannya adalah sebagai berikut:

  1. القسم

Qasam artinya adalah sumpah. Semua sumpah di dalam fawatihus suwar menggunakan huruf qasam wawu. Cabang ilmu yang mempelajari tentang sumpah-sumpah di dalam al-Quran disebut dengan Ilmu Aqsam al-Quran.

Ada tiga unsur penting yang harus ada dalam suatu qasam. Ketiga unsur tersebut adalah adat al-qasam, muqsam bih, dan muqsam alaihi. Adat al-qasam adalah alat yang digunakan untuk bersumpah. Yang masyhur biasanya menggunakan huruf qasam, yaitu ba, ta, dan wawu. Sedangkan muqsam bih adalah kata yang jatuh setelah adat al-qasam yang berfungsi sebagai sesuatu yang digunakan sebagai wasilah untuk bersumpah. Dan muqsam alaihi adalah sesuatu yang disumpahi. Contohnya seperti terdapat dalam Q.S. Ad-Dhuha [93]: 1-3

وَالضُّحَى (1) وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى (2) مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى (3)

muqsam alaihi muqsam bih huruf qasam

Berikut ini adalah surah-surah yang diawali dengan sumpah yang jumlahnya mencapai 15 surah:

  1. الشرط

Syarat adalah kalimat yang membutuhkan jawaban ‘maka’. Menurut Abdul Haris dalam Teori Dasar Nahwu & Sharf Tingkat Pemula, ketika membahas tentang syarat, maka ada tiga unsur yang perlu diperhatikan, yaitu adat asy-syarthi, fi’lu asy-syarthi, dan jawab asy-syarthi.

Untuk mengetahui sebuah kalimat itu termasuk syarat atau bukan, maka kita harus mengenal adat asy-syarthi. Di antara macam-macam adat asy-syarthi adalah sebagai berikut:

إِنْ، إِذْماَ، لَوْ، لَوْلَا، لَوْمَا، أَمَّا، لَمَّا، مَنْ، مَا، مَهْمَا، أَيٌّ، كَيْفَمَا، أَيْنَ، أَيَّانَ، أّنَّى، مَتَى، إِذَا، حَيْثُمَا

Di dalam al-Quran, surah-surah yang diawali dengan syarat berjumlah 7. Kesemuanya didahului dengan adat asy-syarthi إِذَا. Berikut ini daftar surah yang diawali dengan syarat:

Baca juga: Jihad Nir-Kekerasan Ala Kiai Sholeh Darat

  1. الامر

Bentuk kalam selanjutnya yang mengawali surah di dalam al-Quran adalah amar atau perintah. Surah yang diawali dengan sebuah perintah ada 6 surah. Surah-surah tersebut adalah:

  1. الاستفهام

Kalam yang kedelapan adalah istifham. Seperti yang telah diketahui, istifham adalah kalimat pertanyaan. Jumlah surah yang diawali dengan kalimat pertanyaan ada 6 surah. Di bawah ini rincian keenam surah tersebut:

  1. الدعاء

Bentuk kalam yang kesembilan yang menjadi fawatih as-suwar adalah doa. Doa di sini bisa berupa harapan baik atau buruk. Surah-surah yang diawali dengan doa berjumlah 3 surah,, yaitu:

Baca juga: Mengenal Kitab Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir Karya Syekh Ali Ash-Shabuni

  1. التعليل

At-Ta’lil menunjukkan alasan. Surah yang diawali dengan sebuah alasan di dalam al-Quran itu hanya satu, yaitu surah Quraisy [106] dengan ayat pertamanya yang berbunyi:

لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ

Itulah macam-macam fawatih as-suwar di dalam al-Quran. Selain karyanya Imam Zarkasyi, tulisan ini juga didasarkan kepada karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, yaitu Zubdat al-Itqan fi Ulum al-Quran dan karya Imam Suyuthi yang terkenal, yaitu al-Itqan fi Ulum al-Quran. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi as-showab.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 91-96

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Telah dipaparkan pembahasan sebelumnya mengenai orang Yahudi yang mengingkari akan kebenaran Alquran meskipun mereka mengetahuinya. Dan Allah melaknat atas pengingkaran tersebut. Pembahasan kali ini Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 91-96 masih membahas tentang orang Yahudi yang mengingkari kebenaran Alquran.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 88-90


Dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 91-96 dijelaskan bahwa Nabi Muhammad datang membawa ajaran dari Alquran yang menyempurnakan kitab Taurat. Namun mereka mengingkarinya, orang Yahudi juga mengingkari ajaran Nabi Musa bahkan memalsukan Taurat. Dan mereka menginginkan hidup yang kekal. Orang Yahudi itu orang yang paling tamak di antara seluruh manusia, bahkan melebihi orang-orang musyrikin.

Ayat 91

Allah menjelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad saw dan sahabatnya berkata kepada orang-orang Yahudi yang ada di Medinah dan sekitarnya agar mereka percaya kepada Alquran yang diturunkan Allah, mereka pun menjawab, bahwa mereka percaya kepada kitab (wahyu) yang diturunkan kepada nabi-nabi keturunan Bani Israil, yaitu Taurat.

Mereka selalu mengingkari kebenaran Alquran yang membenarkan Kitab Taurat. Kalau mereka berterus terang, tentulah mereka akan mengakui bahwa Alquran itu benar, tidak mengandung sedikit pun keraguan.

Sesudah itu Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw membantah alasan yang dikemukakan oleh orang-orang Yahudi dengan bantahan yang membuat mereka tidak berdaya. Apabila nenek moyang mereka betul-betul orang yang setia mengikuti Kitab yang diturunkan Allah, tentu mereka tidak membunuh nabi-nabi.

Dengan demikian jelaslah bahwa mereka itu bukan pengikut Nabi Musa yang taat dan setia, tetapi hanya menuruti hawa nafsu. Apalagi mereka juga mengakui perbuatan nenek moyang mereka sebagai perbuatan yang tidak bertentangan dengan agama. Berbuat ingkar atau membolehkan seseorang untuk berbuat ingkar hukumnya sama.

Allah menyebutkan pembunuhan yang dilakukan oleh nenek moyang orang-orang Yahudi dan menghubungkan perbuatan itu kepada orang-orang Yahudi yang hidup pada masa Nabi dalam rangka untuk menunjukkan bahwa mereka itu adalah keturunan dari satu bangsa, dan dianggap sebagai satu kesatuan, karena karakter dan wataknya sama.

Ayat 92

Di antara keingkaran orang-orang Yahudi yang sangat menonjol ialah keingkaran mereka terhadap nikmat Allah, yaitu bahwa Nabi Musa a.s. telah didatangkan Allah dengan membawa ajaran Tauhid dan mukjizat seperti terbelahnya lautan dan anugerah Tuhan berupa “mann” dan “salwa.”

Kemudian Bani Israil mengingkari jalan yang benar dan berbuat durhaka dengan menyembah anak-sapi yang dibuat oleh Samiri. Perbuatan mereka itu zalim, sebab mereka melakukan sesuatu yang tercela. Seharusnya mereka menyampaikan kepada manusia bahwa syirik itu adalah dosa yang paling besar.

Ayat 93

Dalam ayat ini Allah memberikan peringatan sekali lagi kepada orang-orang Yahudi, meskipun terdapat perbedaan susunan kalimat, namun isinya memperkuat maknanya, karena dalam ayat ini termuat ancaman Allah terhadap mereka. Pada ayat yang lain Allah berfirman:

خُذُوْا مَآ اٰتَيْنٰكُمْ بِقُوَّةٍ وَّاذْكُرُوْا مَا فِيْهِ

“…Pegang teguhlah apa yang telah Kami berikan kepadamu dan ingatlah apa yang ada di dalamnya…. (al Baqarah/2:63)

Firman-Nya yang lain:

خُذُوْا مَآ اٰتَيْنٰكُمْ بِقُوَّةٍ وَّاسْمَعُوْا ۗ

“…Pegang teguhlah apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” … (al Baqarah/2:93)

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk mengatakan kepada orang-orang Yahudi agar mereka mau menerima perjanjian itu dan memahami isinya, tetapi mereka tidak suka melaksanakan perjanjian itu, bahkan mengingkarinya.

Perintah Allah  katakanlah  mengandung makna ejekan terhadap orang-orang Yahudi yang hidup pada masa Nabi Muhammad saw. Ejekan itu ditujukan kepada mereka, karena mereka telah mengikuti jejak nenek moyang mereka dalam mempersekutukan Tuhan.

Andaikata mereka masih mengaku betul-betul beriman kepada Kitab Taurat, maka alangkah jeleknya iman yang mereka nyatakan, sebab mereka tidak melakukan apa yang diperintahkan, bahkan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan Taurat itu, yaitu melakukan penyembahan terhadap anak sapi, dan membunuh para nabi serta merusak perjanjian.

Berdasarkan bukti nyata dari perbuatan yang mereka lakukan itu, sukar mempercayai adanya iman di lubuk hati mereka karena sikap perbuatan mereka sama sekali tidak benar.

Ayat yang lalu dan ayat ini sebagai sanggahan terhadap pikiran orang-orang Yahudi yang tidak mau percaya kepada Nabi Muhammad saw, dan dugaan yang berlawanan dengan amal perbuatan mereka itu cukup menjadi bukti kekafirannya.


Baca juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?


Ayat 94

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar mengatakan kepada orang-orang Yahudi apabila memang benar perkataan dan dugaan mereka bahwa surga itu hanya untuk mereka saja, maka mintalah mati dengan segera. Kenyataan mereka tidak mau menginginkan kematian, tetapi malah sebaliknya, mereka mengejar dan berjuang terus untuk memperoleh kenikmatan dunia. Karena itu ucapan mereka itu tidak benar.

Ayat 95

Allah menjelaskan bahwa mereka sekali-kali tidak akan menginginkan kematian, karena mereka telah mengetahui kesalahan dan dosa yang telah mereka lakukan sendiri, dan mengetahui pula bahwa semestinya mereka akan mendapat hukuman berat karena dosa-dosa itu, seperti mengubah dan memalsukan Kitab Taurat, dan mengingkari kerasulan Nabi Muhammad saw, padahal dalam Kitab Taurat disebutkan tentang kedatangan Nabi Muhammad saw.

Allah mengetahui bahwa mereka itu zalim. Maksudnya Allah Maha Mengetahui bahwa mereka tidak melaksanakan hukum yang semestinya dilakukan, dan tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, seperti dugaan mereka bahwa negeri akhirat itu disediakan khusus untuk mereka, tidak untuk yang lain.

Ayat 96

Allah swt memberikan penjelasan bahwa Nabi Muhammad saw akan menjumpai orang-orang yang menginginkan kehidupan yang kekal di muka bumi dan mereka berusaha dengan cara apa pun juga agar mereka dapat hidup kekal.

Mereka itu sebenarnya tidak yakin akan dugaan dan sangkaan mereka sendiri. Meskipun yang dinyatakan dalam ayat ini hanya mengenai orang-orang yang hidup pada masa turunnya ayat, tetapi ketentuan itu berlaku terus sepanjang masa. Bahkan orang Yahudi itu orang yang paling tamak di antara seluruh manusia, bahkan melebihi orang-orang musyrikin.

Sikap demikian itu mendapat celaan dan kemarahan yang besar dari Allah. Karena orang-orang musyrik tidak percaya adanya hari kebangkitan, maka ketamakan orang-orang musyrik terhadap kenikmatan dunia bukanlah hal yang aneh.

Tetapi orang-orang Yahudi yang percaya pada Al-Kitab dan mengakui adanya hari pembalasan, seharusnya tidak terlalu tamak terhadap kehidupan dunia ini. Mereka menginginkan hidup di dunia seribu tahun atau lebih. Karena itu pantas kalau Allah marah dan menghukum mereka.

Panjang umur mereka di dunia ini tidaklah dapat menolongnya dan tidak pula dapat menjauhkannya dari siksaan yang tersedia bagi mereka di akhirat, lagi pula umur itu berapapun panjangnya, pasti akan berakhir. Dengan lain perkataan, panjangnya umur tidak akan dapat melepaskan diri mereka dari siksaan Tuhan, karena Allah Maha Mengetahui perbuatan-perbuatan mereka, baik yang tersembunyi, ataupun yang mereka lakukan secara terang-terangan. Seluruh perbuatan yang timbul dari mereka pasti diberi balasan yang setimpal.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 97-101


(Tafsir Kemenag)

Memahami Kemunculan dan Ragam Metode Tafsir Kontekstual

0
metode tafsir kontekstual
metode tafsir kontekstual

Metode tafsir kontekstual dapat dikategorikan sebagai metode alternatif yang mumpuni dalam memahami dan menghidupkan Al-Qur’an, terutama menjadikannya sebagai Kitab Suci yang shalih likulli zaman wa makan (cocok untuk setiap waktu dan tempat). Amin Abdullah, dalam tulisannya “Memaknai Al-Ruju’ ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah” (2015), mengatakan bahwa pemahaman kontekstuallah yang tepat digunakan dalam menerapkan pemahaman Al-Qur’an di ruang dan waktu yang berbeda, termasuk di Indonesia.

Metode tafsir kontekstual dapat dipahami sebagai upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan melibatkan pemahaman konteks pewahyuan dan konteks pengkajinya. Metode kontekstual tersebut tidak datang begitu saja, ia memiliki fakta sejarah tersendiri sebagai landasan yang menjadikannya penting diterapkan dalam memahami Al-Qur’an. Di sini, saya akan memaparkan secara singkat sejarah beserta ragam metode penafsiran Al-Qur’an secara kontekstual tersebut.

Baca Juga: Mengenal Ma’na Cum Maghza Sebagai Pendekatan Tafsir Ala Sahiron Syamsuddin

Kemunculan Metode Tafsir Kontekstual

Sebenarnya, kemunculan memahami Al-Qur’an secara kontekstual dapat kita rujuk sejak terjadinya proses pewahyuan Al-Qur’an itu sendiri. Ini berdasarkan karekteristik pemahaman Al-Qur’an ketika disampaikan secara lisan dari Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Arab. Di sana, Al-Qur’an dipahami secara kontekstual. Pemahaman yang kontekstual tersebut berdasarkan komponen kelisanan Al-Qur’an, yaitu Al-Qur’an sebagai teks lisan/tuturan, Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW sebagai penutur, masyarakat Arab sebagai pendengar/lawan tutur, dan Arab sebagai konteks tuturan.

Pemahaman kontekstual lainnya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini terlihat ketika pendengar wahyu (masyarakat Arab) tidak memahami maksud ayat yang disampaikan, maka mereka akan bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. Di sini, Nabi Muhammad SAW menjelaskan secara lisan tentang ayat yang tidak dipahami tersebut berdasarkan konteks pendengar wahyu, sehingga mereka memahami maksud ayat tersebut.

Selain dari proses pewahyuannya secara lisan, dan penafsiran Nabi Muhammad SAW. Banyak dari kalangan sahabat Nabi yang melakukan pemahaman kontekstual, misalnya Umar ibn Khattab yang tidak menerapkan hukuman potong tangan bagi pencuri karena konteks berbeda dengan saat ayat potong tangan diwahyukan pada era Nabi Muhammad SAW.

Pemahaman konteks ini kemudian menjadi perhatian tersendiri oleh para ulama. Di antaranya, adanya kaidah atau teori yang mengatakan bahwa al-ibrah bi khushushi al-sabab la bi umumi al-lafdz, maksudnya untuk memahami ayat Al-Qur’an mesti dibarengi dengan pemahaman konteksnya. Dalam ulumul Qur’an juga memberikan perhatian tersendiri pada pemahaman konteks, seperti adanya ilmu asbabun nuzul, makki madani, dan seterusnya. Lebih jauh, ilmu-ilmu terkait konteks Al-Qur’an tersebut senantiasa digunakan oleh para penafsir Al-Qur’an.

Dari sini, keterlibatan konteks dalam pemahaman Al-Qur’an telah dilakukan secara substansi, baik oleh para penafsir, ulama ulumul Qur’an, Nabi dan sahabatnya, bahkan Allah SWT sendiri melalui Al-Qur’an yang disampaikan secara lisan. Upaya melibatkan konteks ini kemudian menjadi komponen utama bagi penafsir kontemporer, terutama dari kalangan sarjana, dalam kerangka metode tafsir kontekstual.

Baca Juga:Kitab al-Tafsir al-Maqashidi Karya Abdul Mustaqim: Hifz Al-Din dalam Kehidupan Keberagamaan yang Multikultural

Ragam Metode Tafsir Kontekstual

Para sarjana kontemporer melihat sisi konteks Al-Qur’an sebagai bagian penting dalam menemukan pemahaman Al-Qur’an era pewahyuan. Saat yang sama, para sarjana tersebut juga melihat sisi konteks mereka, sebagai pengkaji Al-Qur’an, yang juga penting dalam menemukan pemahaman Al-Quran terkini. Konteks pada era pewahyuan dan konteks para pengkaji Al-Qur’an inilah yang menjadi bagian utama metode tafsir kontekstual.

Di sini, beberapa metode tafsir kontekstual yang dapat dipaparkan di sini adalah double movement yang dicetuskan oleh Fazlur Rahman, kontekstualisasi oleh Abdullah Saeed, ma’na-cum-maghza oleh Sahiron Syamsuddin, tafsir maqashidi oleh Abdul Mustaqim, dan verbalisasi Al-Qur’an oleh Muhammad Alwi HS (penulis tulisan ini). Menariknya, sekalipun berbagai metode tersebut sepakat melibatkan konteks Al-Qur’an era pewahyuan dan konteks pengkaji, tetapi setiap metode tersebut memiliki kekhasan tersendiri.

Melalui double movement dari Fazlur Rahman, kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an sebagai kitab yang mengandung panduan etis atau ethico-legal. Fazlur Rahman mengatakan bahwa yang terpenting dari kehadiran Al-Qur’an dalam kehidupan manusia, bukan makna literalnya saja, tetapi pemahaman yang menjadi konsepsi pandangan dunia (waltanshaung). Pemahaman ini kemudia ia sebut sebagai ideal moral atau ide dasar yang terkandung dalam penyampaian wahyu Al-Qur’an. Ideal moral inilah yang berlaku ketika hendak memahami Al-Qur’an secara kontekstual.

Melalui Kontekstualisasi dari Abdullah Saeed, kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an sebagai kitab yang dapat diterapkan dalam konteks yang berbeda, dengan mengambil pesan utama yang dapat disebut sebagai hirarki nilai. Dalam pemahaman hirarki nilai tersebut, dapat dipahami adanya nilai yang tetap atau tidak. Nilai yang tetap dijumpai dalam kasus-kasus ibadah dan keyakinan, sementara nilai yang berubah dapat dijumpai dari kasus-kasus hukum. Perubahan ini biasanya terjadi dalam kitab-kitab tafsir, dan juga pengkaji yang terakhir. Lebih jauh, perubahan tersebut dipengaruhi oleh konteks kehidupan pengkajinya.

Baca Juga: Inilah Lima Latar Belakang Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed

Melalui ma’na-cum-maghza dari Sahiron Syamsuddin, kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an memuat pemahaman yang disebut signifikansi. Signifikansi tersebut terbagi menjadi dua, yaitu fenomenal dan ideal. Signifikansi fenomenal terbagi menjadi dua: (1) signifikansi fenomena historis yang dapat dipahami sebagai pesan Al-Qur’an pada era pewahyuan. (2) signifikansi dinamis yang dapat dipahami sebagai pesan Al-Qur’an dalam kitab-kitab tafsir. Sementara signifikansi ideal yaitu pemahaman yang menjadi pesan utama Al-Qur’an. Jadi, Ma’na sebagai pemahaman era pewahyuan dan kitab tafsir, dan maghza sebagai pemahaman yang berlaku bagi pengkaji Al-Qur’an.

Melalui tafsir maqashidi dari Abdul Mustaqim, kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an memuat berbagai kemaslahatan, yang disebut maqashid, baik pada ayat-ayat hukum, sosial, sains atau lainnya. Maqahsid tersebut di antaranya hifdz al-aql (penjagaan akal), hifdz al-din (penjagaan agama), hifdz al-mal (penjagaan harta), hifdz al-nafs (penjagaan nyawa), dan seterusnya. Maqashid ini dapat ditemukan dengan perhatian pada konteks pewahyuan Al-Qur’an, teks Al-Qur’an, hingga konteks pengkajinya yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai disiplin keilmuan.

Melalui verbalisasi Al-Qur’an dari Muhammad Alwi HS, kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an sebagai Kitab Suci berbasis fenomena kelisanan, yang memuat pedoman hidup atau hudan. Pedoman hidup tersebut terbagi menjadi pedoman hidup temporal dan universal. Pedoman hidup temporal yaitu pemahaman Al-Qur’an untuk masyarakat Arab pada era pewahyuan. Sementara pedoman hidup universal yaitu pemahaman Al-Qur’an untuk pengkaji Al-Qur’an berdasarkan tempat dan waktunya.

Berbagai metode tafsir kontekstual di atas menunjukkan sangat pentingnya memahami Al-Qur’an secara kontekstual. Hal ini terlihat sejak kemunculannya yang memiliki landasan yang kuat, karena metode-metode tersebut didukung oleh fakta sejarah pewahyuan Al-Qur’an itu sendiri. Terlebih lagi, maraknya ulama-ulama yang memerhatikan pembacaan konteks Al-Qur’an, baik ulama ulumul Qur’an, tafsir, dan lainnya. [] Wallahu A’lam.

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 17-18

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 17-18 menjelaskan perkara Masjidilharam, bahwa orang musyrik tidaklah pantas untuk memakmurkannya. Selama mereka belum beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka larangan itu masih terus berlaku.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 14-16


Demikian pula Tafsir Surah At Taubah Ayat 17-18 juga megaskan bahwa yang pantas untuk memakmurkan Masjidilharam adalah kaum Mukminin. Karena itu, sangat dianjurkan bagi mereka untuk memakmurkan rumah Allah Swt.

Ayat 17

Ayat ini menerangkan bahwa tidak pantas bagi kaum musyrikin memakmurkan Masjidilharam dan mesjid-mesjid lainnya. Memakmurkan mesjid Allah hanyalah dengan menjadikan tempat itu untuk mengesakan dan mengagungkan Allah serta menaati-Nya.

Hal ini dilakukan hanya oleh orang-orang mukmin. Memakmurkan mesjid, ialah membangunnya, mengurusnya, menghidupkannya dengan amal ibadah yang diridai Allah.

Memakmurkan yang dilarang untuk orang bukan Muslim, ialah penguasaan terhadap mesjid, seperti menjadi pengurusnya.

Adapun mempergunakan tenaga orang bukan Muslim untuk membangun mesjid, seperti memakai tukang bangunan dan sebagainya tidak dilarang.

Begitu juga kaum Muslimin boleh menerima mesjid yang dibangun oleh orang bukan Muslim atau yang membangunnya diwasiatkan oleh orang bukan Muslim, atau memperbaiki-nya selama tidak mengandung tujuan yang membikin mudarat kepada kaum Muslimin.

Sekalipun para mufasir berbeda pendapat tentang mesjid yang dimaksud dalam ayat ini, apakah Masjidilharam saja, sesuai dengan turunnya ayat ini?

Sebagaimana tersebut juga pada permulaan tafsir, dan sesuai pula dengan bacaan sebagian ulama qira’at yang membacakannya dengan masjid artinya lafal mufrad (tunggal) yaitu Masjidilharam.

Ataukah yang dimaksud semua mesjid Allah? sesuai dengan lafal jamak “masajid”. Tetapi semua pendapat, baik Masjidlharam ataupun mesjid-mesjid lainnya, tidak pantas dan tidak boleh bagi musyrikin untuk memakmurkannya.

Selanjutnya pada ayat ini Allah menerangkan bahwa amal dan pekerjaan orang-orang kafir yang mereka bangga-banggakan, yaitu memakmurkan Masjidilharam, memberi minum orang-orang haji, dan lain-lain akan sia-sia selama mereka di dalam kesyirikan. Firman Allah:

وَلَوْ اَشْرَكُوْا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan. (al-An’am/6: 88)

Akhir ayat ini menerangkan bahwa orang-orang musyrik itu kekal dalam neraka, karena tidak ada amal mereka di dunia yang berguna dan dapat menolong mereka di hari akhirat.


Baca Juga : Tafsir Ahkam: Bolehkah Non-Muslim Masuk ke Masjidil Haram?


Ayat 18

Ayat ini menerangkan bahwa yang patut memakmurkan mesjid-mesjid Allah hanyalah orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan berserah diri kepada-Nya.

Dan percaya akan datangnya hari akhirat tempat pembalasan segala amal perbuatan, melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut kepada siapa pun selain kepada Allah.

Orang-orang inilah yang diharapkan termasuk golongan yang mendapat petunjuk untuk memakmurkan mesjid-mesjid-Nya.

Banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan memakmurkan mesjid, antara lain sabda Rasulullah saw:

مَنْ بَنَى ِللهِ مَسْجِدًا يَبْتَغِيْ بِهِ وَجْهَ اللهِ بَنىَ الله ُلَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ (رواه البخاري ومسلم والترمذي عن عثمان بن عفّان)

Barang siapa membangun mesjid bagi Allah untuk mengharapkan keridaan-Nya, niscaya Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah dalam surga. (Riwayat al-Bukhari, Muslim dan at-Tirmizi dari ‘Utsman bin Affan)

Sabda Rasulullah saw:

إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسَاجِدَ فَاشْهَدُوْا لَهُ بِاْلإِيْمَانِ (رواه أحمد والترمذي وابن ماجه والحاكم عن أبي سعيد الخدري)

Apabila kamu melihat seseorang membiasakan diri (beribadah) di mesjid, maka bersaksilah bahwa ia orang yang beriman. (Riwayat Ahmad, at-Tirmizi, Ibnu Majah dan al-Hakim dari Abi Sa’id al-Khudri).

Dan sabdanya yang lain:

أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَقُمُّ الْمَسْجِدَ أَيْ تَكْنِسُهُ فَمَاتَتْ فَسَأَلَ عَنْهَا النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقِيْلَ لَهُ مَاتَتْ  أَفَلاَ كُنْتُمْ اٰذَنْتُمُوْنِيْ بِهَا؟ لأُِصَلِّيَ عَلَيْهَا دُلُّوْنِيْ عَلَى قَبْرِهَا  فَأَتَى قَبْرَهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا (رواه البخاري ومسلم وأبو داود وابن ماجه)

Sesungguhnya ada seorang perempuan yang biasa menyapu mesjid lalu meninggal dunia, Rasulullah saw menanyakannya, dan ketika dikatakan kepadanya bahwa perempuan itu sudah meninggal, Rasulullah berkata, “Mengapa kamu tidak memberitahukan kepada saya, agar saya salatkan ia. Tunjukkanlah kepadaku di mana kuburnya.” Maka Rasulullah mendatangi kuburan itu, lalu ia salat di atasnya. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Dalam hadis lain:

مَنْ أَسْرَجَ سِرَاجًا فِيْ مَسْجِدٍ لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ وَحَمَلَةُ الْعَرْشِ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ مَا دَامَ فِيْ ذٰلِكَ الْمَسْجِدِ ضَوْءُهُ (رواه سالم الرازي عن أنس)

Barang siapa menyalakan penerangan lampu dalam mesjid, niscaya para malaikat dan para pembawa arasy senantiasa memohon ampun kepada Allah agar diampuni dosanya selama lampu itu bercahaya dalam mesjid. (Riwayat Salim ar-Razi dari Anas r.a.)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 19-21


Tafsir Surah Yunus Ayat 55-57

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 55-57 berbicara mengenai tiga hal. Pertama berbicara mengenai kekuasaan Allah atas segalanya. Tidak ada yang dapat menyuruh maupun mencegah segala keputusanNya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 51-54


Pembiacaran kedua dalam Tafsir Surah Yunus Ayat 55-57 ini mengenai penegasan tentang hidup dan matinya seseorang hanya milik Allah Swt. Terakhir berbicara mengenai al-Qur’an yang hadir sebagai pedoman hidup manusia.

Ayat 55

Pada ayat ini, Allah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan-Nya dalam menerapkan hukum-hukum-Nya yang tak dapat dihalang-halangi oleh siapapun, dan tidak dapat ditebus dengan segala macam tebusan, karena langit, bumi dan segala isinya adalah milik Allah.

Allah meminta perhatian kepada seluruh manusia, agar tidak melalaikan ketentuan-Nya. Yang dimaksud dengan segala sesuatu yang ada di antara langit dan bumi dalam ayat ini, ialah semua benda alam termasuk makhluk yang berakal.

Hal ini dimaksudkan agar manusia suka merenungkan bahwa langit, bumi dan seluruh isinya berada dalam pengawasan-Nya, dan Allah menetapkan hukum-hukum-Nya menurut kehendak-Nya. Dia dapat memberikan karunia kepada hamba-hamba-Nya menurut kehendak-Nya, dan memberikan siksaan kepada makhluk-Nya menurut kehendak-Nya pula.

Selain itu Allah juga menegaskan bahwa janji apa saja yang telah ditetapkan Allah kepada hamba-Nya melalui rasul-Nya, adalah janji yang benar pasti dan akan datang karena Allah berkuasa atas sesuatu, tentu berkuasa pula memenuhi janji-Nya. Tak ada seorangpun yang dapat mempengaruhi-Nya.

Kemudian Allah mencela sebagian besar orang-orang musyrik karena mereka selalu mendustakan ayat-ayat Allah dan hari kebangkitan, padahal mereka telah membaca kebenaran ayat-ayat Allah, dan telah mendengar bimbingan-bimbingan yang dibawa oleh Rasulullah saw. Hal itu menunjukkan bahwa penilaian mereka tidak murni lagi, akan tetapi dipengaruhi oleh sikap permusuhan kepada Nabi saw, dan kefanatikan mereka terhadap agama nenek moyang mereka.

Ayat 56

Allah menandaskan bahwa Dialah Zat yang menunjukkan, yang dapat menghidupkan dan mematikan. Dia berkuasa untuk menentukan hidup dan mati semua makhluk dan benda hidup yang ada di langit dan bumi ini. Tak ada Zat lain yang mempengaruhi-Nya dan menghalang-halangi kehendak-Nya.

Dia berkuasa pula untuk membangkitkan manusia dari alam kuburnya dan mengembalikan mereka kepada-Nya, pada saat hari yang telah dijanjikan, yaitu hari pembalasan, yang saat itu manusia akan diadili, dan akan diberi pembalasan sebagaimana mestinya, setimpal dengan amal perbuatannya.


Baca juga: Kajian Semantik Kata Surga dan Neraka dalam Al-Quran


Ayat 57

Allah berseru kepada sekalian manusia bahwa kepada mereka telah didatangkan Al-Qur′an melalui rasul-Nya. Di dalamnya terkandung pedoman-pedoman hidup yang sangat berguna bagi kehidupan mereka.

Di dalam ayat ini disebutkan pedoman-pedoman hidup itu, sebagai jawaban atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan ancaman-ancaman-Nya. Ayat ini menyimpulkan fungsi Al-Qur′an al-Karim dalam memperbaiki jiwa manusia di antaranya:

  1. Mau’izah, yaitu pelajaran dari Allah kepada seluruh manusia agar mereka mencintai yang hak dan benar, serta menjauhi perbuatan yang batil dan jahat. Pelajaran ini harus betul-betul dapat terwujud dalam perbuatan mereka.
  2. Syifa’ yaitu penyembuh bagi penyakit yang bersarang di dada manusia, seperti penyakit syirik, kufur dan munafik, termasuk pula semua penyakit jiwa yang mengganggu ketenteraman jiwa manusia, seperti putus harapan, lemah pendirian, memperturutkan hawa nafsu, menyembunyikan rasa hasad dan dengki terhadap manusia, perasaan takut dan pengecut, mencintai kebatilan dan kejahatan, serta membenci kebenaran dan keadilan.
  3. Huda, yaitu petunjuk ke jalan yang lurus yang menyelamatkan manusia dari keyakinan yang sesat dengan jalan membimbing akal dan perasaannya agar berkeyakinan yang benar dengan memperhatikan bukti-bukti kebenaran Allah, serta membimbing mereka agar giat beramal, dengan jalan mengutamakan kemaslahatan yang akan mereka dapati dari amal yang ikhlas serta menjalankan aturan hukum yang berlaku, mana perbuatan yang boleh dilakukan dan mana perbuatan yang harus dijauhkan.
  4. Rahmah, yaitu karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang mukmin, yang dapat mereka petik dari petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam Al-Qur′an. Orang-orang mukmin yang meyakini dan melaksanakan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam Al-Qur′an akan merasakan buahnya. Mereka akan hidup tolong-menolong, sayang-menyayangi, bekerja sama dengan menegakkan keadilan, menumpas kejahatan dan kekejaman, serta saling bantu membantu untuk memperoleh kesejahteraan.;Allah berfirman:

مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللّٰهِ ۗوَالَّذِيْنَ مَعَهٗٓ اَشِدَّاۤءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاۤءُ بَيْنَهُمْ

Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (al-Fath/48: 29);Dan firman-Nya:

ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا بِالْمَرْحَمَةِۗ

Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan un-tuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (al-Balad/90: 17)

Empat sifat yang terkandung dalam ayat ini diciptakan Allah sesuai dengan fitrah kejadian manusia. Artinya, menurut akal, manusia mempunyai kecenderungan untuk menerima nasehat-nasehat yang baik, menerima petuah-petuah yang dapat mengobati kegoncangan jiwanya, menerima petunjuk-petunjuk yang dapat dipedomani untuk kebahagiaan hidupnya dan suka hidup damai, kasih mengasihi dan sayang menyayangi di antara mereka.

Sifat rahmah dikhususkan buat orang mukmin di dalam ayat ini, sebab merekalah yang mau menjadikan Al-Qur′an sebagai pedoman, dan menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Sedang orang-orang kafir dan orang-orang musyrik tidak mau mempercayai apalagi mengerjakan isi kandungannya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 58-60


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 14-16

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 14-16 memberitakan tujuan dari perintah berperang adalah untuk menghina kaum musyrik, serta menolong kaum Mukmin, menghilangkan kesedihan akibat penderitaan yang dialami selama ini.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 9-13


Lebih lanjut, Tafsir Surah At Taubah Ayat 14-16 menegaskan kekalahan yang dialami oleh kaum musyrik sebagai pelipur lara bagi kaum Mukmin. Disisi lain, esensi dari perintah jihad adalah untuk menguji ketaatan kaum Mukmin kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ayat 14

Ayat ini memerintahkan kaum Muslimin agar memerangi orang musyrik karena mereka telah melanggar janji dan memerangi Rasul dan kaum Muslimin. Jika mereka melaksanakan perintah itu, pasti Allah akan menyiksa kaum musyrikin dengan kekuatan kaum mukmin.

Allah menjadikan mereka hina dan Allah menolong orang-orang mukmin menghilangkan kesedihan mereka yang menderita akibat pengkhianatan pihak musyrikin.

Yang dimaksud dengan Allah menyiksa orang-orang musyrik dengan kekuatan kaum Muslimin ialah membunuh dan menghancurkan mereka dalam peperangan. Yang menjadikan mereka hina ialah karena kekalahan mereka dan mereka dijadikan tawanan dan budak.

Menurut riwayat Ikimah dan ulama lain, orang mukmin yang hilang kesedihan hatinya, ialah suku Khuza’ah, sedangkan menurut Ibnu ‘Abbas, suku Yaman dan Saba’ yang telah masuk Islam yang pernah mendapat siksaan yang berat dari orang-orang musyrik Mekah.

Mereka mengirimkan utusan mengadukan penderitaan mereka kepada Rasulullah di Medinah, maka Rasulullah menyampaikan salam dan kabar gembira, untuk menggembirakan hati mereka, sebab pertolongan Allah akan datang dalam waktu yang dekat.

Ayat 15

Kekalahan kaum musyrikin itu akan melegakan hati dan menghilangkan kesedihan orang-orang mukmin yang banyak menderita siksaan dan penganiayaan dari kaum musyrik selama ini, karena mereka tidak mampu membela diri di Mekah dan tidak mampu pindah ke Medinah atau ke tempat lain yang aman.

Selanjutnya pada akhir ayat ini diterangkan bahwa Allah menerima tobat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. Ayat ini memberi isyarat bahwa kaum musyrikin banyak yang telah bertobat dan Allah telah menerima tobat mereka.

Mereka menjadi orang-orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan pembela agama Islam yang tangguh. Allah yang Maha mengatur hamba-Nya dan mengatur kepentingan perkembangan agama-Nya di kemudian hari.


Baca Juga : Enam Sifat Orang Mukmin dalam Surah Al-Mukminun Ayat 1-9


Ayat 16

Ayat ini memberikan peringatan yang sangat penting kepada kaum Muslimin untuk memerangi kaum musyrik. Allah juga mengajak mereka agar introspeksi diri berpikir dengan penuh kesadaran tentang hal-hal berikut:

  1. Apakah selama ini mereka sudah sungguh-sungguh melaksanakan jihad sebagaimana mestinya?
  2. Apakah orang musyrik tidak akan memerangi mereka lagi dan tidak akan melanggar perjanjian sebagaimana yang biasa mereka lakukan?
  3. Apakah orang musyrik tidak akan mencerca agama Islam lagi dan menghalang-halangi orang untuk menganutnya, seperti yang mereka lakukan semenjak lahirnya agama Islam.
  4. Apakah kaum Muslimin sudah lupa tingkah laku orang-orang munafik yang menikam Nabi dan kaum Muslimin dari belakang?
  5. Apakah Muslimin dibiarkan saja tanpa mendapat cobaan dan ujian sehingga diketahui siapa yang benar-benar beriman dan berjihad di jalan Allah dan tidak mengambil orang musyrikin menjadi teman kepercayaan dan siapa yang berbuat sebaliknya?

Kaum Muslimin harus tabah menghadapi segala macam cobaan dan ujian, tidak boleh merasa cepat puas dengan hasil yang sudah dicapai dan tidak boleh pula malas dan bosan untuk meneruskan jihad.

Mereka juga harus mengetahui kewajiban menjaga diri dan waspada terhadap segala tipu daya musuh, dan tidak boleh menjadikan mereka teman akrab. Hal ini sudah banyak diperingatkan di dalam Al-Qur’an, antara lain firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِّنْ دُوْنِكُمْ لَا يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالًاۗ وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْۚ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاۤءُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْۖ وَمَا تُخْفِيْ صُدُوْرُهُمْ اَكْبَرُ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan teman orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. (Ali ‘Imran /3: 118)

Allah Maha Mengetahui apa yang dikerjakan kaum Muslimin dalam melaksanakan perintah berjihad dan apa yang tersimpan dalam hati mereka, oleh karena itu diperintahkan agar mereka mematuhi petunjuk dan perintah Allah sebaik-baiknya.


Baca Setelahnya: Tafsir Surah At Taubah Ayat 17-20


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yunus Ayat 51-54

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 51-54 berbicara mengenai orang-orang musyrik yang meragukan azab Allah yang akan ditimpakan kepada mereka. Allah menyatakan bahwa apabila mereka tetap tidak mau percaya biarlah mereka rasakan sendiri di kemudian hari. Kelak jika itu terjadi sebanyak apapun harta mereka tak akan berpengaruh sama sekali kepada siksaan yang mereka rasakan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 47-50


Ayat 51

Di ayat ini, Allah memerintahkan kepada Rasul agar menanyakan kepada mereka apakah orang-orang musyrik itu baru mau mempercayai ancaman Allah untuk mengazab mereka setelah terjadi azab yang mereka takuti.

Padahal pada saat itu keimanan mereka tidak berguna lagi, lalu apa gunanya mereka selalu meminta supaya siksa yang dijanjikan kepada mereka itu disegerakan, ataukah permintaan menyegerakan itu hanyalah untuk menunjukkan sikap mereka yang selalu mendustakan ayat-ayat Allah dan menanggapi dengan kesombongan?

Ayat 52

Allah menjelaskan bahwa apabila mereka tetap tidak mau percaya, hendaklah dikatakan kepada mereka bahwa mereka akan merasakan siksaan Allah yang pasti akan datang dan untuk selama-lamanya.

Siksaan Allah yang akan ditimpakan kepada mereka itu adalah sebagai imbalan dari apa yang mereka lakukan di dunia ini.

Mereka akan diberi balasan setimpal dengan perbuatan yang telah mereka lakukan sesuai dengan pilihan mereka sendiri, seperti mengingkari kebenaran ayat-ayat Allah, menyekutukan Tuhan, membuat kerusakan di muka bumi dan kebebalan mereka tidak mau berhenti melakukan permusuhan terhadap Rasulullah serta mengingkari terjadinya hari kebangkitan.

Ayat 53

Allah menjelaskan kepada Nabi saw bahwa orang-orang kafir Quraisy akan menanyakan berita yang sangat penting kepadanya, yaitu mengenai ancaman Allah yang akan ditimpakan kepada mereka, siksaan dunia maupun siksaan akhirat.

Apakah janji itu memang benar-benar akan terjadi ataukah ancaman itu hanya berupa kabar untuk menakut-nakuti mereka saja.

Pertanyaan yang demikian menunjukkan keraguan mereka sendiri, karena pada saat mereka mendustakan ayat-ayat Allah mereka tidak akan meyakini kebenaran ucapan mereka itu karena mereka dipengaruhi oleh perasaan permusuhan kepada Nabi Muhammad sw dan hanya taklid kepada kepercayaan nenek moyangnya.

Menghadapi pertanyaan itu Rasulullah saw diperintahkan untuk menjawab bahwa apa yang diberitakan itu benar-benar akan terjadi. Bahkan di dalam jawaban itu Allah menyatakan dengan sumpah yang menunjukkan bahwa janji itu memang betul-betul akan terjadi.

Firman Allah:

اِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌۙ    ٧  مَّا لَهٗ مِنْ دَافِعٍۙ    ٨

Sungguh, azab Tuhanmu pasti terjadi,  tidak sesuatu pun yang dapat menolaknya. (at-Tµr/52: 7-8)

Di akhir ayat Allah menandaskan bahwa apabila Allah telah menurunkan siksa yang dijanjikan kepada mereka, maka mereka tidak akan pernah luput dari ancaman itu, meskipun mereka berusaha lari dari siksaan itu.

Allah berfirman:

وَّاَنَّا ظَنَنَّآ اَنْ لَّنْ نُّعْجِزَ اللّٰهَ فِى الْاَرْضِ وَلَنْ نُّعْجِزَهٗ هَرَبًاۖ

Dan sesungguhnya kami (jin) telah menduga, bahwa kami tidak akan mampu melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di bumi dan tidak (pula) dapat lari melepaskan diri (dari)-Nya. (al-Jinn/72: 12)


Baca juga: Ragam Makna Fitnah dalam Al-Quran yang Penting Diketahui


Ayat 54

Allah menjelaskan bahwa seandainya tiap-tiap orang yang menganiaya diri mereka dengan mempersekutukan Allah dengan tuhan-tuhan yang lain, mempunyai seluruh kekayaan yang ada di bumi, dan diberi kesempatan kepada mereka untuk menebus diri mereka, agar mereka selamat dari siksa Allah dengan seluruh kekayaan yang mereka miliki, tentulah kesalahan mereka tidak seimbang dengan tebusan mereka itu.

Apalagi pada saat itu tobat atau tabusan tidak dapat diterima lagi. Tidak ada perlindungan lagi bagi mereka untuk menyelamatkan diri dari siksaan Allah. Namun demikian, mereka berusaha menyembunyikan penyesalan itu.

Hal yang demikian itu karena mereka telah benar-benar menyadari bahwa segenap usaha yang mereka lakukan tidak ada gunanya lagi, baik ia menjerit sekuat-kuatnya atau membungkam seribu bahasa. Pada saat itu keputusan Allah telah ditetapkan di antara mereka dengan seadil-adilnya.

Mereka akan merasakan balasan dari seluruh tindakan mereka, yang secara fanatik mengikuti nenek moyang mereka yang tetap bergelimang dalam kemusyrikan.

Apabila mereka mendapat siksaan serupa itu tidaklah dapat dikatakan bahwa Allah menganiaya mereka, tetapi mereka sendirilah yang menganiaya diri mereka. Siksaan Allah yang akan menimpa mereka itu digambarkan sebagai berikut:

اِنَّآ اَنْذَرْنٰكُمْ عَذَابًا قَرِيْبًا ەۙ يَّوْمَ يَنْظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُوْلُ الْكٰفِرُ يٰلَيْتَنِيْ كُنْتُ تُرَابًا ࣖ

Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (orang kafir) azab yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya; dan orang kafir berkata, ”Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah.” (an-Naba’/78: 40)

Dan firman-Nya:

يٰوَيْلَتٰى لَيْتَنِيْ لَمْ اَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيْلًا

Wahai, celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). (al-Furqan/25: 28);Dan firman-Nya:

لَقَدْ اَضَلَّنِيْ عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ اِذْ جَاۤءَنِيْۗ وَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِلْاِنْسَانِ خَذُوْلًا

Sungguh, dia telah menyesatkan aku dari peringatan (Al-Qur’an) ketika (Al-Qur’an) itu telah datang kepadaku. Dan setan memang pengkhianat manusia. (al-Furqan/25: 29)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 55-57


 (Tafsir Kemenag)

Memahami Makna Al-Quran sebagai Kalamullah

0
Fungsi pokok Al-Quran sebagai petunjuk
Fungsi pokok Al-Quran sebagai petunjuk

Al-Quran sebagai firman Allah Swt. tidak diturunkan dengan tanpa tujuan apapun. Al-Quran adalah Kalamullah, Kalimullah, dan kalimah-Nya. Tidak ada yang bisa menandingi kehebatan lafadz dan makna Al-Quran. Sebagai teks bahasa yang sarat dengan tanda-tanda sebagai sebuah makna yang akan disampaikan, Al-Quran membutuhkan pemahaman analisis makna yang mendalam agar tidak terjadi kesalahan pada pengaplikasian kehidupan manusia.

Lafadz Kalama mengikuti lima bentuk inversinya yaitu kalama, kamala, lakama, makala, dan malaka, menunjukan arti kuat dan keras. Arti lafadz kalam dalam lisan Arab yakni kaimat-kalimat yang tersusun (Al-Jumal Al-Mutarakibah) dan biasa disebut juga dengan qaul. Menurut Ibn Manzur dalam Lisanul ‘Arab, Al-Quran tetap disebut dengan kalamullah bukan qaulullah dikarenakan ucapan seperti ini merupakan suatu keadaan seperti ‘butira debu telah membatu’ (siyaqun mutahajjirun) sehingga bentuknya tidak mudah dimodifikasi, diubah, maupun diganti huruf-hurufnya.

Inversi satu dan dua mempunyai hubungan yang erat, yakni kalama dengan kamala. Kamala berarti lengkap dan sempurna. Makna ini menunjukan bahwa orang yang berbicara harus dengan sempurna memahamkan orang yang mendengar tanpa ia bertanya atau mengulang perkataan kembali. Manusia yang sehat jasmani dan rohani serta memiliki alat indera yang sempurna, maka akan dapat mengerti dan memahami makna kalam jika kalam tersebut diungkapkan dengan jelas. Sebab, setiap kalam yang tidak bermakna maka tidak berfaedah, baik pagi pendengar maupun penuturnya sendiri.

Baca juga: Analisis Semantik Makna Kata Huda dan Derivasinya dalam Al-Quran

Sedangkan secara derivatif, lafadz kalam dalam bahasa Arab terdiri dari dua akar kata yakni kulmun dan kalimun. Kulmun dipilih menjadi derivatif lafadz kalam oleh Imam Sibawaih adalah karena kalam merupakan bentuk nomina  verba dari lafadz kallama. Sedangkan akar kata kalimun merupakan bentuk jamak dari kalimah. Kalam dengan qaul adalah dua hal yang berbeda. Qaul pengertiannya lebih dekat dengan pendapat, perkataan spontan, atau keyakinan.

Kalam merupakan sebuah pendapat yang tidak dapat difahami jika kalam itu sendiri belum sempurna. Pemahaman kalam baru dapat difahami jika ada ungkapan lain yang menjelaskannya. Sebagai contoh verba qaala tidak dapat difahami karena belum sempurna. Untuk memperoleh makna yang signifikan masih memerlukan lafadz lain sebagai sandarannya, yakni pelaku (fi’il). Verba qaala disebut dengan qaul  karena ia masih berupa ide, gagasan, ataupun pikiran.

Kalam beserta infleksi lafadz lainnya dalam kitab Mu’jam Alfaz Al-Quran Al-Karim disebutkan bahwa terdapat 75 kata dalam Al-Quran yang terdapat dalam 72 ayat. Macam infleksi dan jumlahnya yakni kallama (2) , kallamahu (2) , kallamahum(1) , ukallimu(1)  , tukallimu(1),tukallimuna(1), tukallimuhum(1), tukallimuna(1), nukallimu(1), yukallimu(1), yukallimuna(1), yukallimuhu(1), yukallimuhum(3), kullima(1), takallamu(1), natakallamu(1), yatakallamu(1), yatakallamuna(1), kalam(3), bikalami(1), kalimah(26), kaimatuhu(1), kalimatuna(1), kalimat(8), kalimatihi(6), al-kalimu(4),takliman(1).

Baca juga: Memaknai Kesatuan Al-Qur’an Menurut Amir Faishol Fath

Sebagai hal-hal yang berkaitan dengan perkataan, maka kalam haruslah disertai dengan sumbernya yang jelas. Oleh karenanya, Al-Quran hanya dapat disebut dengan Kalamullah (Kalam Allah) bukan kalam si A atau si B. Imam Abu Hayyan dalam kitabnya yang berjudul Tafsir al-Bahr al-Muhit mendefinisikan makna Al-Quran sebagai kalamullah khususnya dalam QS. Al-Baqarah [2]:75 dengan ‘perkataan yang menunjukkan hubungannya dengan maksud kalam itu sendiri.’

Sebuah riwayat yang dinukil dari Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Rasail dari Sunan Abu Dawud menceritakan bahwa Abu Bakar waktu itu bertemu dengan orang-orang Quraisy, kemudian beliau membacakan mereka Surat Al-Rum alif laam mim, ghulibat al-Rum. Kemudian orang Quraisy bertanya, “Ini Kalam kamu atau Kalam sahabatmu?” Abu Bakar menjawab, “Ini bukan Kalam-ku dan bukan kalam sahabatku, melainkan ini adalah kalam Allah (kalamullah).

Pada ayat-ayat Al-quran terdapat tiga lafadz kalam yang mana semuanya langsung dikaitkan dengan lafadz Allah (Kalamullah). Secara semantik hal ini disebut juga dengan istilah wahy Tuhan. Tiga nomina kalam yang dimaksud tersebut, terdapat dalam:

Q.S. Al-Baqarah [2]:75 yang berbunyi:

اَفَتَطْمَعُوْنَ اَنْ يُؤْمِنُوْا لَكُمْ وَقَدْ كَانَ فَرِيْقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُوْنَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُوْنَهُ مِنْ بَعْدِ مَا عَقَلُوْهُ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ

Artinya, “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?.” (Q.S. Al-Baqarah [2]:75)

Q.S. At-taubah [9]:6 yang berbunyi:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ

Artinya, “Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.”( Q.S. At-taubah [9]:6)

Q.S. Al-Fath [48]:15 yang berbunyi:

سَيَقُولُ ٱلْمُخَلَّفُونَ إِذَا ٱنطَلَقْتُمْ إِلَىٰ مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوهَا ذَرُونَا نَتَّبِعْكُمْ ۖ يُرِيدُونَ أَن يُبَدِّلُوا۟ كَلَٰمَ ٱللَّهِ ۚ قُل لَّن تَتَّبِعُونَا كَذَٰلِكُمْ قَالَ ٱللَّهُ مِن قَبْلُ ۖ فَسَيَقُولُونَ بَلْ تَحْسُدُونَنَا ۚ بَلْ كَانُوا۟ لَا يَفْقَهُونَ إِلَّا قَلِيلًا

Artinya, “Orang-orang Badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: “Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu”; mereka hendak merubah janji Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya”; mereka akan mengatakan: “Sebenarnya kamu dengki kepada kami”. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”( Q.S. Al-Fath [48]:15)

Ringkasnya, kalam merupakan perpaduan antara satu huruf dengan yang lainnya, kemudian saling tersusun dan perpaduan bunyi-bunyi terputus yang kemudian saling bergantian, lalu membentuk sesuatu yang baru. Awalnya yakni dari sebuah kalimah, kemudian menjadi kumpulan kalimah, dan akhirnya munculah bentuk kalam. Artinya, melalui mekanisme induktif, bunyi-bunyi tunggal tersebut membentuk lafal-lafal yang mana jika disatukan maknanya akan menjadi asma’ atau qaul dan selanjutnya akan membentuk kalam. Jika saling dikaitkan, kalam akan membentuk aqawil dan kemudian menjadi terbentuk khitab yang sempurna.

Baca juga: Ragam Makna Fitnah dalam Al-Quran yang Penting Diketahui

Makna Al-Quran sebagai kalamullah adalah dua unsur kata dari lafadz kalam dan Allah. seperti yang telah dikemukakan bahwa kalam ialah ‘suara bermakna’, ‘ucapan berkesan’, dan ‘perkataan sempurna’ yang dapat membekas di dalam pikiran dan hati setiap manusia. Sehingga sangatlah benar bahwa Al-Quran disebut-sebut sebagai kalam Allah (kalamullah). Wallahu a’lam[]