Beranda blog Halaman 361

Tafsir Surah Yunus Ayat 47-50

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 47-50 berbicara mengenai empat hal. Pertama mengenai adanya utusan Allah kepada setiap umat yang membutuhkan. Kedua mengenai pertanyaan ejekan yang dilontarkan kepada Nabi tentang hari kiamat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 44-46


Pembicaraan ketiga dalam Tafsir Surah Yunus Ayat 47-50 adalah mengenai kuasa Allah untuk memberikan kemanfaatan atau mendatangkan kemudaratan. Terakhir mengenai tanggapan orang kafir ketika azab didatangkan secara tiba-tiba.

Ayat 47

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat, pada saat umat itu memerlukannya. Tujuan pengutusan rasul ialah untuk memberikan berbagai pedoman yang wajib mereka turuti seperti pokok-pokok akidah dan segala amal saleh yang menyelamatkan mereka dari siksaan di hari pembalasan.

Pada saat para rasul itu telah datang kepada mereka dan telah menyampaikan kepada mereka petunjuk-petunjuk yang harus mereka ketahui mengenai urusan agama, maka seharusnyalah mereka tidak membuat alasan untuk menolak dan menentangnya.

Pada hari pembalasan nanti Allah juga akan memberikan keputusan tentang apa yang harus mereka rasakan dengan seadil-adilnya, dan mereka sedikitpun tidak teraniaya, itulah pembalasan yang setimpal dengan perbuatan yang mereka lakukan, oleh karena itu mereka berhak dijatuhi siksaan yang pedih.

Ayat 48

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa mereka akan bertanya kepada Rasulullah dan pengikut-pengikutnya tentang kapan saatnya janji yang telah dijanjikan kepada mereka itu akan terjadi.

Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang mengejek kepada Rasulullah dan pengikut-pengikutnya seolah-olah menurut penilaian mereka bahwa janji Allah itu tidak akan terjadi.

Janji Allah yang ditanyakan kepada Nabi saw dan pengikutnya ialah ancaman Allah yang akan ditimpakan kepada mereka baik siksaan di dunia ataupun siksaan di akhirat.

Allah berfirman:

حَتّٰىٓ اِذَا رَاَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ اِمَّا الْعَذَابَ وَاِمَّا السَّاعَةَ ۗفَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَّكَانًا وَّاَضْعَفُ جُنْدًا

…Sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepada mereka, baik azab maupun Kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah bala tentaranya. (Maryam/19: 75)

Dan firman-Nya :

قُلْ اِنْ اَدْرِيْٓ اَقَرِيْبٌ مَّا تُوْعَدُوْنَ اَمْ يَجْعَلُ لَهٗ رَبِّيْٓ اَمَدًا

Katakanlah (Muhammad), ”Aku tidak mengetahui, apakah azab yang diancamkan kepadamu itu sudah dekat ataukah Tuhanku menetapkan waktunya masih lama. (al-Jinn/72: 25)


Baca juga: Tafsir Surat Al-Waqiah Ayat 1-6: Hari Kiamat itu Pasti, Inilah Visualisasinya


Ayat 49

Allah mengajarkan kepada Rasulullah saw jawaban yang harus dikatakan kepada mereka dengan memerintahkan kepada Rasulullah saw agar mengatakan kepada mereka bahwa Rasulullah tidak berkuasa mendatangkan kemudaratan dan tidak pula mendatangkan kemanfaatan kepada dirinya.

Sebab Rasulullah hanya utusan Allah yang tidak berkuasa untuk mempercepat ataupun memperlambat datangnya siksaan yang dijanjikan Allah kepada mereka, sebagaimana ia juga tidak dapat memperlambat datangnya pertolongan Allah yang dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang Muslimin.

Akan tetapi datangnya manfaat dan mudarat yang ditimpakan kepada manusia, tiada lain hanyalah atas kehendak Allah semata. Itu berarti apabila Allah menghendaki terjadinya sesuatu, maka hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kehendak rasul-Nya, karena kehendak itu hanyalah semata-mata milik Allah yang memelihara alam semesta.

Tugas Rasul hanyalah menyampaikan kehendak Alllah, bukan menciptakan kehendak. Apabila Rasulullah mengetahui akan hal-hal yang gaib, tidak lain hanya karena mengetahuinya dari wahyu Allah semata.

Firman Allah:

قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۗوَلَوْ كُنْتُ اَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِۛ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْۤءُ ۛاِنْ اَنَا۠ اِلَّا نَذِيْرٌ وَّبَشِيْرٌ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), ”Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah. Sekiranya aku mengetahui yang gaib, niscaya aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan tidak akan ditimpa bahaya. Aku hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (al-A’raf/7: 188)

Sebagai penegasan Allah menjelaskan bahwa tiap-tiap umat mempunyai ajal yang telah ditentukan waktunya oleh Allah. Ajal itu akan tiba saatnya apabila waktu yang telah ditentukan Allah telah tiba.

Waktu tibanya ajal itu termasuk pengetahuan Allah yang tidak dapat diketahui oleh siapapun juga selain-Nya. Maka apabila ajal mereka telah tiba mereka tidak mampu menundanya sesaat pun, dan mereka tidak pula mampu memajukan waktunya dari waktu yang telah ditentukan.

Demikian pula Rasulullah saw tidak akan berkuasa untuk menentukan panjang pendeknya ajal yang telah ditentukan Allah.

Ayat 50

Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik agar mereka itu menerangkan apa yang akan mereka lakukan seandainya siksaan Allah yang dijanjikan kepada mereka itu datang dengan tiba-tiba.

Baik datangnya di waktu malam pada saat mereka tidur lelap, atau di waktu siang hari, pada saat mereka sibuk dengan urusan mereka, apakah orang-orang yang berdosa itu minta disegerakan juga, lalu apakah yang mereka inginkan, apakah mereka menginginkan siksaan akhirat yang akan ditimpakan kepada mereka pada hari pembalasan.

Maka apapun pilihan mereka, itu hanyalah menunjukkan kepicikan dan kebodohan mereka, sebab janji Allah pasti akan datang dan tidak seorang pun dapat menghalang-halanginya.

Pernyataan ini mengandung ejekan terhadap mereka karena pada umumnya orang yang berbuat jahat dan bergelimang dalam kedurhakaan merasa takut akan siksaan yang akan ditimpakan kepadanya. Lambat laun siksaan itu tentu akan datang juga, dan mereka tidak akan dapat mengelakkan diri dari siksaan itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 51-54


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Al-Mukminun Ayat 12-14: Menjadi Insan Kamil Perspektif Murtadha Muthahhari

0
Insan Kamil Perspektif Murtadha Muthahhari
Insan Kamil Perspektif Murtadha Muthahhari

Insan kamil adalah julukan yang diberikan kepada manusia yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Tentu, kesempurnaan yang dicapai manusia hanya terbatas pada derajat seorang makhluk dan ‘abid. Seorang yang telah berada pada tingkat insan kamil, ia masih memiliki sifat-sifat basyariyah. Namun secara akhlak, ia tersirami oleh cahaya Ilahi, dan secara penciptaan ia mendapat cipratan dari tajalli Tuhan.

Dalam perhelatan intelektual muslim, istilah insan kamil pertama kali dipopulerkan oleh Ibn Arabi dalam karyanya Fushushul Hikam pada abad ke 7 Hijriyah. Di era modern, term insan kamil Ibnu Arabi ini turut disemarakkan oleh ulama sekaligus cendekiawan muslim kontemporer asal Iran, Murtadha Muthahhari. Buku yang berjudul Manusia Sempurna terjemahan dari karya Muthahhari yang berbahasa Persia “Insone Komil” membahas diskursus ini secara spesifik dan eksplisit. Landasan atas konsepnya tersebut ia letakkan pada surah Al-Mukminun ayat 12-14. Rangkaian surah tersebut kemudian ia tafsirkan sebagai suatu penjelasan utuh tentang konsep insan kamil dan bagaimana manusia dapat mencapai kesempurnaanya tersebut.

Baca juga: Anjuran Menolak Kejahatan dengan Cara Terbaik dalam Surah Fussilat Ayat 34

Tafsir Al-Mukminun ayat 12-14 menurut Murtadha Muthahhari

Secara general, konteks surah Al-Mukminun ayat 12-14 membahas penciptaan manusia. Rangkaian ayat tersebut kemudian dijadikan Murtadha Muthahhari sebagai landasan dari konsep “insane kamil” perspektifnya. Adapun bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٍ مِّن طِينٍ . ثُمَّ جَعَلْنَٰهُ نُطْفَةً فِى قَرَارٍ مَّكِينٍ . ثُمَّ خَلَقْنَا ٱلنُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا ٱلْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا ٱلْمُضْغَةَ عِظَٰمًا فَكَسَوْنَا ٱلْعِظَٰمَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَٰهُ خَلْقًا ءَاخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحْسَنُ ٱلْخَٰلِقِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (QS. al-Mukminun ayat 12-14)

Ayat ini dipahami Muthahhari sebagai keterangan bahwa manusia diciptakan dengan segala sesuatu yang bersifat material. Ini pula yang akhirnya menjadi pandangan Muthahhari bahwa setiap manusia yang lahir ke dunia masih dalam keadaan belum sempurna secara maknawi. Muthahhari juga mengutip pernyataan Shadr al-Din al-Muta’allihin al-Syirazi yang dasarnya juga dari ayat tersebut “jusmaniyyat al-hudust wa ruhaniyat” (jiwa dalam kefanaannya sebagai jasmani dan keabadiannya sebagai ruhani).

Baca juga: Perintah dan Keutamaan Membantu yang Lemah dalam Al-Quran dan Hadis

Pandangan Muthahhari tentang ketidaksempurnaan manusia ketika lahir ia jelaskan dengan pertama-tama menyoal perihal ruh. Masih dengan dasar ayat tersebut, ruh menurut Muthahhari, meskipun ia mujarrad (tidak bernama dan tidak bersifat) tapi pada hakikatnya ia tetap berasal dari materi. Muthahhari berpendapat bahwa ruh manusia belumlah bersifat sempurna dan ketika masuk ke alam lain seperti alam dunia, ia masih harus berinang pada sesuatu. Sesuatu tersebut adalah dunia dengan alam materinya.

Menjadi Insan Kamil Perspektif Murtadha Muthhhari

Sebagaimana melandaskan konsep awalnya pada surah Al-Mukminun ayat 12-14, Muthahhari mulai menjelaskan persolan materi, karakter ruh, dan sifat manusia yang tidak sempurna ketika dilahirkan. Dengan penjelasan yang beruntun, Muthahhari juga menyebutkan cara manusia agar bisa mencapai derajat kesempurnaannya atau insan kamil.

Dalam penjelasan Muthahhari yang lebih dahulu, manusia dengan ruhnya yang belum sempurna lahir ke dunia dengan berinang pada alam materi. Dalam artian pula, alam materi dunia ini adalah ibu dari manusia. Oleh karena itu manusia harus melalui tahap demi tahap untuk mencapai kedewasaan dan menuju kesempurnaan. Ia harus bisa keluar dari inangnya yang bersifat materi. Apabila ia tetap pada terlena pada lembutnya belaian sang ibu (alam dunia), maka selamanya akan binasa karena materi segala sesuatu yang bersifat materi semuanya pasti binasa.

Berbeda ketika manusia dapat merdeka dari induknya yang bersifat materi, ia terpenuhi pancaran sinar Ilahiyah. Sinar ilahiyah tersebut bersifat kekal. Karena dalam teori jusmaniyyat al-hudust wa ruhaniyat, manusia memiliki dua unsur yang berbeda secara karakteristik. Muthahhari menjelaskan bahwa unsur jiwa manusia bersifat kekal, ia senantiasa menuntun manusia untuk berbuat baik, menjaga kesucian dan martabat, dan ingin selalu dekat dengan Allah. Sementara unsur jasad manusia kebalikannya, ia mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan fisik materialnya yang cenderung keruh dan jauh dari Allah.

Baca juga: Ini Rahasia Angka Tujuh dalam Surah Al-Fatihah

Muthahhari mengungkapkan ada empat langkah yang harus ditempuh manusia untuk menuju insan kamil. Pertama, pergerakan manusia dari diri menuju Allah. Kedua, pergerakan manusia bersama Allah, untuk mengenal-Nya. Ketiga, pergerakan manusia bersama Allah menuju makhluk-Nya. Keempat, perjalanan manusia di antara makhluk-Nya untuk menyelamatkan mereka. Menjadi insan kamil memang tidak instan, butuh proses dan riyadhah (latihan) terus-menerus. Namun semua itu dapat ditempuh dengan suka rela jika dalam hatinya terpatri cinta kepada Ilahi.

Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 44-46

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 44-46 berbicara mengenai siksaan yang akan ditimpakan kepada orang-orang kafir musyrik. Secara tegas Allah menyatakan bahwa Ia tidak akan belaku zalim kepada hambanya. Allah memberikan berbagai pontesi kepada manusia agar bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 40-43


Selanjutnya, Tafsir Surah Yunus Ayat 44-46 ini berbicara mengenai perintah Allah untuk mengingatkan orang-orang musyrik tentang adanya siska di hari kiamat. Para utusan diizinkan untuk mengetahui siksaan ini, baik sebagian atau keseluruhan.

Ayat 44

Kemudian Allah menandaskan kepada kaum Muslimin, bahwa Dia tidak akan menganiaya hambanya dan tidak akan mengurangi daya indera dan semua alat yang dimiliki manusia untuk memperoleh petunjuk, agar mereka sampai kepada kebenaran dan dapat mempedomani petunjuk itu sehingga dapat melaksanakannya untuk mencapai segala sesuatu yang bermanfaat bagi mereka, asalkan manusia itu sendiri mau mempergunakan pancainderanya sebaik-baiknya.

Kalau terjadi sebaliknya, merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Karena mereka diberi mata dan telinga, tetapi tidak mau memahami petunjuk Allah berarti merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Karena mereka tidak mau mendengar, dan diberi hati tetapi tidak mau mengerti, maka sepantasnyalah apabila mereka disiksa sebab menganiaya diri mereka sendiri.

Allah telah menurunkan utusan untuk membimbing mereka kepada kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat, tetapi mereka tidak mau mendengar dan tidak mau menaatinya, maka apabila mereka tersesat di dunia dan di akhirat kelak dijatuhi siksaan yang berat, maka yang menganiaya mereka itu tiada lain adalah diri mereka sendiri.

Ayat 45

Allah memerintahkan Rasul-Nya agar memberikan peringatan kepada orang musyrik bahwa Allah akan menimpakan siksa kepada mereka di Hari Kiamat yaitu pada saat mereka dihimpun di Padang Mahsyar setelah mereka dibangkitkan kembali dari alam kubur.

Mereka akan diperiksa pada hari itu dan akan diberikan pembalasan yang setimpal dengan amalnya. Pada hari itu mereka akan dapat membandingkan betapa lamanya waktu yang harus mereka lalui apabila dibandingkan dengan kehidupan dunia yang terasa sebentar saja.

Di saat itulah mereka akan merasa menyesal karena tertipu oleh kehidupan dan kenikmatan dunia yang sifatnya hanya sementara, serta melupakan kehidupan akhirat padahal kehidupan akhirat itu adalah kehidupan yang kekal dan di saat itu pulalah mereka akan merasakan penyesalan yang berkepanjangan dan menerima hukuman. Allah berfirman:

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَّهُمْ ۗ كَاَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوْعَدُوْنَۙ  لَمْ يَلْبَثُوْٓا اِلَّا سَاعَةً مِّنْ نَّهَارٍ ۗ بَلٰغٌ ۚفَهَلْ يُهْلَكُ اِلَّا الْقَوْمُ الْفٰسِقُوْنَ ࣖ

Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, mereka merasa seolah-olah mereka tinggal (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak ada yang dibinasakan kecuali kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah). (al- Ahqaf/46: 35)

Dan firman Allah:

وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُوْنَ ەۙ مَا لَبِثُوْا غَيْرَ سَاعَةٍ ۗ كَذٰلِكَ كَانُوْا يُؤْفَكُوْنَ

Dan pada hari (ketika) terjadinya Kiamat, orang-orang yang berdosa bersumpah, bahwa mereka berdiam (dalam kubur) hanya sesaat (saja). Begitulah dahulu mereka dipalingkan (dari kebenaran).  (ar-Rµm/30: 55)

Allah menjelaskan bahwa orang-orang musyrik merasa merugi karena mereka tidak dapat merasakan kebahagiaan yang abadi, karena mereka tidak beriman dengan iman yang benar, serta tidak melakukan amal yang baik, yang dapat meningkatkan diri mereka menjadi makhluk yang mulia yang pantas menerima keridaan Allah, sehingga mereka berhak memasuki surga.

Mereka juga mendustakan kepercayaan bahwa orang-orang yang diridai Allah dapat bertemu dengan Allah. Itulah sebabnya maka Allah pada akhir ayat menandaskan bahwa mereka itu tergolong orang-orang yang tidak mendapat petunjuk, karena mereka telah menentukan pilihan yang salah yaitu mengutamakan kehidupan dunia yang fana, daripada kehidupan akhirat yang abadi yang mengandung kenikmatan yang tiada taranya.


Baca juga: Surah Al-Anam Ayat 153, Menyusuri Jalan Menuju Kebahagiaan


Ayat 46

Selanjutnya ditegaskan adanya siksaan yang dijanjikan Allah kepada orang-orang musyrik, yaitu siksaan yang akan ditimpakan kepada mereka di dunia dan di akhirat. Siksaan yang akan ditimpakan kepada mereka akan diperlihatkan kepada Rasul keseluruhan atau sebagiannya baik di waktu Rasul masih hidup ataupun setelah wafat.

Hal itu bergantung kepada kehendak Allah semata. Yang dimaksud dalam ayat itu bahwa Rasulullah saw akan mengetahui siksaan yang akan ditimpakan kepada mereka itu tidak seluruhnya, tetapi hanya sebagian saja, yaitu siksaan yang telah ditimpakan kepada mereka di dunia seperti terkabulnya doa Nabi di waktu perang Badar, yaitu turunnya hujan yang deras yang menguntungkan kaum Muslimin dan merugikan orang-orang musyrik sehingga kaum Muslimin mendapat kemenangan yang gilang gemilang.

Juga seperti kekalahan total orang-orang musyrik pada Fath Makkah sehingga kekuatan mereka menjadi binasa sama sekali. Sekalipun demikian, persoalan mereka akan dikembalikan kepada allah, karena di hari Mahsyar kelak Allah akan memperlihatkan kepada Nabi Muhammad saw keseluruhan azab yang akan mereka rasakan.

Kemudian Allah akan memberikan balasan yang setimpal dengan perbuatan yang mereka lakukan dan tidak ada sesuatupun yang dapat menghalang-halangi pembalasan dan siksaan yang akan mereka rasakan dan mereka alami. Allah berfirman:

فَاصْبِرْ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ ۚفَاِمَّا نُرِيَنَّكَ بَعْضَ الَّذِيْ نَعِدُهُمْ اَوْ نَتَوَفَّيَنَّكَ فَاِلَيْنَا يُرْجَعُوْنَ

Maka bersabarlah engkau (Muhammad), sesungguhnya janji Allah itu benar. Meskipun Kami perlihatkan kepadamu sebagian siksa yang Kami ancamkan kepada mereka, atau pun Kami wafatkan engkau (sebelum ajal menimpa mereka), namun kepada Kamilah mereka dikembalikan. (Gafir/40: 77)

Dan firman Allah:

اَوْ نُرِيَنَّكَ الَّذِيْ وَعَدْنٰهُمْ فَاِنَّا عَلَيْهِمْ مُّقْتَدِرُوْنَ

Atau Kami perlihatkan kepadamu (azab) yang telah Kami ancamkan kepada mereka. Maka sungguh, Kami berkuasa atas mereka. (az-Zukhruf/43: 42)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 47-50


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 6-8

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 6-8 membahas tentang hak keamanan bagi kaum musyrik yang ternyata meminta perlindungan. Baik mereka menyatakan keimanan ataupun tidak. Jika mereka beriman hak keamanannya sama seperti kaum Muslimin. jika tidak, keamanan mereka berjangka sesuai kesepakatan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah At Taubah Ayat 4-5


Disisi lain, Tafsir Surah At Taubah Ayat 6-8 juga menerangkan penegasan Allah, bahwa kaum musyrik itu bukanlah kaum yang amanah. Seringkali, hati dan lisan mereka tidak sejalan, sama halnya dengan perjanjian yang dijalin bersama mereka.

Ayat 6

Jika ada orang dari kaum musyrikin meminta perlindungan kepada Nabi Muhammad saw, untuk mendengarkan kalam Allah agar ia dapat mengetahui hakikat dakwah Islami yang disampaikan oleh Nabi, maka Nabi harus melindunginya dalam jangka waktu tertentu.

Kalau ia mau beriman, berarti ia akan aman untuk seterusnya, dan kalau tidak, maka Nabi hanya diperintahkan untuk menyelamatkannya sampai kepada tempat yang diinginkannya untuk keamanan dirinya, selanjutnya keadaan kembali seperti semula yaitu seperti keadaan perang.

Dalam hal ini para ulama tafsir berbeda pendapat antara lain bahwa perlindungan (pengamanan) yang diberikan itu hanyalah kepada kaum musyrikin yang telah habis masa perjanjian damainya dengan kaum Muslimin selama ini, dan mereka tidak pernah melanggarnya.

Apabila perjanjian itu masih berlaku, kaum Muslimin diperintahkan menyem-purnakannya sebagaimana telah dijelaskan pada ayat empat.

Bahkan orang-orang musyrikin yang sudah habis tempo empat bulan yang diberikan kepada mereka untuk menentukan sikap, karena waktunya sudah cukup dan tidak perlu ditambah lagi, berlaku hukum perlindungan ini jika mereka memintanya.

Tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa kepada mereka yang ingin beriman masih diberi kesempatan yang lamanya empat bulan. Namun, menurut pendapat yang terkuat, hal ini diserahkan kepada imam.

Dalam persoalan ini Ibnu Katsir berpendapat bahwa orang kafir yang datang dari negeri Harb (kafir) ke kawasan Islam untuk menunaikan suatu tugas seperti dagang, minta berdamai, minta menghentikan pertempuran, membawa jizyah (upeti) dan minta pengamanan kepada mereka, diberikan perlindungan selama dia berada di kawasan Islam sampai dia kembali ke negerinya.

Ayat 7

Allah dan Rasul-Nya tidak dapat meneruskan dan memelihara perjanjian dengan orang-orang musyrikin kecuali dengan mereka yang mengindahkan perjanjian di dekat Masjidilharam.

Oleh karena itu, sebagai patokan umum yang harus dilaksanakan oleh kaum Muslimin terhadap kaum musyrikin dijelaskan, bahwa jika mereka mematuhi syarat-syarat perjanjian, maka kaum Muslimin pun berbuat demikian pula terhadap mereka.

Allah menyukai orang-orang yang bertakwa, sedang orang-orang yang tidak mengindahkan syarat-syarat perjanjian adalah orang-orang yang berkhianat dan tidak bertakwa kepada Allah swt.

Yang dimaksud dengan perjanjian Masjidilharam di sini ialah perjanjian Hudaibiyah yang terjadi  pada waktu Nabi Muhammad saw dan sejumlah besar para sahabat pada tahun ke-6 Hijri berangkat dari Medinah menuju Mekah untuk mengerjakan ibadah umrah.

Setelah mereka sampai di suatu tempat yang bernama Hudaibiyah, 13 mil sebelah barat kota Mekah, mereka dicegat dan dihalang-halangi oleh orang-orang kafir Quraisy sehingga terjadilah perjanjian damai yang dinamakan dengan tempat itu.

Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim bahwa di antara suku Arab musyrik yang mengindahkan perjanjian Hudaibiyah itu adalah suku Bani amrah dan suku Kinanah.

Sehingga menurut sebagian mufasir, Nabi dan kaum Muslimin menyempurnakan perjanjian Hudaibiyah dengan dua suku ini, meskipun telah habis jangka masa empat bulan yang diberikan kepada kaum musyrikin.


Baca Juga : Napak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah


Ayat 8

Di antara sebab pembatalan perjanjian itu ialah apabila kaum musyrikin memperoleh kemenangan terhadap kaum Muslimin, kemudian mereka tidak peduli lagi dengan hubungan kekerabatan dan ikatan perjanjian damai.

Mereka pandai menarik simpati kaum Muslimin dengan kata-kata yang manis, padahal hati mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka ucapkan.

Mereka berbuat demikian karena kebanyakan mereka orang fasik yang tidak mengenal akidah yang benar dan akhlak yang baik, sehingga mereka berbuat menurut dan mengikuti hawa nafsunya.

Jadi kaum musyrikin yang sudah demikian bencinya terhadap Nabi Muhammad saw dan kaum Muslimin, tentu tidak ada gunanya mengadakan perjanjian dengan mereka, bagaimanapun corak dan bentuknya.

Mereka pada umumnya telah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Akhir ayat ini menerangkan bahwa kebanyakan mereka adalah orang fasik.

(Tasfir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah Ayat 9-10


Analisis Semantik Makna Kata Huda dan Derivasinya dalam Al-Quran

0
makna kata huda dalam Al-Quran
makna kata huda dalam Al-Quran

Makna kata huda dalam Al-Quran sering diartikan petunjuk atau juga masyhur penyebutannya dengan kata hidayah seringkali dikaitkan dengan perihal keagamaan. Padahal selain dalam hal keagamaan, petunjuk sendiri sebenarnya terdiri dari beberapa macam diantaranya, petunjuk naluri, petunjuk indra, petunjuk akal dan petunjuk taufik.

Petunjuk naluri salah satu contohnya dimiliki seorang bayi yang tanpa diajarkanpun ia dapat langsung menyusu kepada ibunya. Berdasarkan banyak penelitian, bayi di dalam kandungan dapat mendengarkan suara di luar kandungan, hal tersebut merupakan contoh dari petunjuk indra yakni indra pendengaran. Sedangkan petunjuk akal yakni seperti ilmu pengetahuan tentang kayu yang dicelupkan ke air akan terlihat bengkok. Terakhir petunjuk taufik, petunjuk ini berada sepenuhnya di genggaman Allah Swt, tidak ada yang dapat merubahnya sekalipun seorang Rasul-Nya.

Dikisahkan oleh suatu riwayat ketika Abu Thalib mengalami tanda-tanda seperti akan wafat, dalam keadaan masih belum mengucap syahadat, Rasulullah Saw berusaha membujuknya, tetapi petunjuk taufik dari-Nya tidak berada di pihak Abu Thalib hingga wafatnya.

Sahabuddin di dalam bukunya Ensiklopedia al-Qur’an menyebutkan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat 306 kata huda yang diulang dengan berbagai bentuk derivasinya. Sedangkan di dalam Mu’jam Mufahras, kata huda dengan berbagai derivasinya disebutkan 307 kali pada 61 surah. Kata huda sendiri berasal dari kata hada-yahdi-hidayah (هدى-يهدى-هداية ) yang berarti memandu, menunjukkan jalan, menuntun, membimbing, menunjuki sebagaimana yang terdapat di kamus bahasa Arab al-Ma’ani.

Sedangkan kata lain yang berakar sama dengan kata huda yakni adalah kata ahda yang merupakan fi’il madli (kata kerja lampau) yang berarti memberi hadiah, menganugerahi. Adapun kata ihtada berarti mendapatkan petunjuk. Ringkasnya bahwa makna kata huda adalah petunjuk yang dapat menuntun manusia dari kegelapan menuju jalan yang terang-benderang (kebenaran).

Baca Juga: Makna Kata Hidayah dalam Al-Quran dan Macamnya Menurut Al-Maraghi

Makna kata huda dan derivasinya dalam beberapa ayat

Al-Quran begitu banyaknya mengulang kata huda dengan berbagai konteks yang berbeda-beda sehingga nantinya berpengaruh terhadap penjelasan makna di masing-masing kata.

وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰى ۗ وَلَىِٕنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَاۤءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَاۤءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ – ١٢٠

Artinya: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah”. (Q.S Al-Baqarah (2):120)

Di dalam kitab Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata hudallah (هدى الله) pada ayat di atas adalah berupa agama Islam, sedangkan al-huda ( الهدى) yang kedua yakni petunjuk yang tidak adanya kesesatan di dalamnya diungkapkan dengan kata مَا عَدَاهُ ضَلاَل . Meskipun secara terjemah tetap diartikan sebagai sama-sama petunjuk, namun penjelasan keduanya ternyata berbeda.

Adapun derivasi kata huda yang mengandung makna pengetahuan.

وَعَلٰمٰتٍۗ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُوْنَ – ١٦

Artinya: “Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk.” (Q.S Al-Nahl (16):16)

Kata yahtaduna (يَهْتَدُوْنَ) merupakan bentuk kata kerja mudlori’ yang menyimpan arti akan atau sedang (melakukan pekerjaan). Selain itu, kata kerja tersebut menyimpan kata ganti pelaku mereka. Maka kata kerja tersebut berarti “mereka akan diberikan petunjuk”. Petunjuk dalam ayat di atas memiliki makna pengetahuan, yang mana Allah Swt menciptakan tanda-tanda berupa bintang-bintang dan sebagainya, yang darinya manusia akan mendapatkan ilmu pengetahuan.

Baca Juga: Multi Meaning dalam Kosakata al-Qur’an

Allah Swt menggunakan kata al-Hadi (الهَادِ) sebagai salah satu asma’-Nya dan juga menyebutkan di dalam Al-Quran.

وَّلِيَعْلَمَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَيُؤْمِنُوْا بِهٖ فَتُخْبِتَ لَهٗ قُلُوْبُهُمْۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَهَادِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ – ٥٤

Artinya: “dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwa (Al-Qur’an) itu benar dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan hati mereka tunduk kepadanya. Dan sungguh, Allah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” (Q.S Al-Hajj (22):54)

Kata Al-‘ilm (العِلْم) dari ayat di atas menurut Tafsir Jalalain memiliki makna tauhid dan al-Qur’an. Allah Swt mengungkapkan kata Hadi ( هَادِ) untuk menyebutkan diri-Nya yang berarti Pemberi Petunjuk. Hal tersebut seakan memiliki pesan tersirat bahwa hanya Allah-lah Dzat Sang Maha Pemberi Petunjuk atau hidayah.

Petunjuk atau hidayah hanyalah Allah Swt yang dapat menganugerahinya, sedangkan jika hidayah tersebut seakan berasal dari perkataan, perbuatan orang lain, ceramah seorang Kyai maka hal tersebut hanyalah sebagai perantara hidayah Allah Swt. Tetapi, beberapa hidayah juga dapat diusahakan oleh manusia sendiri dan tentunya atas izin atau ridlo Allah Swt.

Baca Juga: Penjelasan Tentang Nama Al Quran: An-Nur dan Al-Huda

Contoh sederhana misalnya terdapat orangtua yang berusaha mendidik anaknya melalui pendidikan di pondok pesantren dengan harapan kelak dapat menjadi orang ‘alim. Maka tentunya dengan segala upaya orangtua melalui biaya, tenaga, doa dan juga tentunya kesadaran anak tersebut dalam mematuhi peraturan pondok serta menjaga akhlak khususnya terhadap gurunya, maka dengan izin Allah Swt, Dialah Dzat yang membukakan petunjuk akan ilmu-ilmu-Nya yang luas, sehingga anak tersebut menjadi orang ‘alim.

Pada hakikatnya, seluruh manusia mendapatkan hidayah-Nya baik dalam hal agama maupun kebenaran lainnya. Namun juga, tak sedikit dari manusia yang sebenarnya sudah mendapatkan hidayah-Nya tetapi terkadang ia justru lalai dalam menjalankannya. Maka tugas kita setelah diberi anugerah berupa Islam, kita harus menjaga sebaik-baiknya dengan menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi larangan-Nya. Serta tetap sabar dan ikhlas atas ketentuan-ketentuan-Nya, karena bisa saja Allah Swt dengan mudahnya mencabut hidayah-Nya.

Wallhhu a’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 40-43

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 40-43 berbicara mengenai respons orang-orang Arab Mekah terhadap dakwah Nabi Muhammad Saw, khususnya mengenai sikap mereka ketika mendengar lantunan ayat al-Qur’an.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 37-39


Allah memberitahu dalam Tafsir Surah Yunus Ayat 40-43 mengenai respons tersebut  bahwa mereka akan terpecah menjadi dua golongan. Pertama orang yang percaya sepenuhnya dan orang yang kafir selamanya.

Dalam Tafsir Surah Yunus Ayat 40-43 ini pun dijelaskan bahwa orang-orang yang mendustakan al-Qur’an itu pun memperhatikan al-Qur’an secara sembunyi-sembunyi. Namun sayang mereka tetep kukuh mempertahankan egonya.

Ayat 40

Allah menjelaskan kepada Rasulullah dan pengikut-pengikutnya bahwa keadaan orang musyrikin yang mendustakan ayat-ayat Al-Qur′an akan terbagi menjadi dua golongan.

Segolongan yang benar-benar mempercayai Al-Qur’an dengan iktikad yang kuat dan segolongan lainnya tidak mempercayainya dan terus menerus berada dalam kekafiran. Namun demikian, mereka tidak akan diazab secara langsung di dunia seperti nasib yang telah dialami oleh kaum sebelum Nabi Muhammad saw.

Di akhir ayat dijelaskan bahwa Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang membuat kerusakan di bumi, karena mereka mempersekutukan Allah, menganiaya diri mereka sendiri dan menentang hukum Allah. Hal itu disebabkan karena fitrah mereka telah rusak. Mereka itulah orang-orang yang akan mendapat siksaan yang pedih.

Ayat 41

Allah memberikan penjelasan, apabila orang musyrikin itu tetap mendustakan Muhammad saw, maka Allah memerintahkan kepadanya untuk mengatakan kepada mereka bahwa Nabi Muhammad saw berkewajiban meneruskan tugasnya yaitu meneruskan tugas-tugas kerasulannya, sebagai penyampai perintah Allah yang kebenarannya jelas, perintah yang mengandung peringatan dan janji-janji serta tuntunan ibadah berikut pokok-pokok kemaslahatan yang menjadi pedoman untuk kehidupan dunia.

Nabi Muhammad saw tidak diperintahkan untuk menghakimi mereka, apabila mereka tetap mempertahankan sikap mereka yang mendustakan Al-Qur′an dan mempersekutukan Allah, Allah berfirman:

قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا ࣖ

Katakanlah (Muhammad), ”Setiap orang berbuat sesuai dengan pem-bawaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (al-Isra’/17: 84)

Mereka berlepas diri (tidak bertanggung jawab) terhadap apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan Nabi Muhammad pun tidak bertanggungjawab terhadap apa yang mereka lakukan. Maksudnya Allah tidak akan menjatuhkan hukuman kepada seseorang karena kesalahan orang yang lain. Allah berfirman:

قُلْ لَّا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّآ اَجْرَمْنَا وَلَا نُسْـَٔلُ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ

Katakanlah, ”Kamu tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang kami kerjakan dan kami juga tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang kamu kerjakan.” (Saba’/34: 25

قُلْ اِنِ افْتَرَيْتُهٗ فَعَلَيَّ اِجْرَامِيْ وَاَنَا۠ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُجْرِمُوْنَ ࣖ

Katakanlah (Muhammad), ”Jika aku mengada-ada, akulah yang akan memi-kul dosanya, dan aku bebas dari dosa yang kamu perbuat.” (Hµd/11: 35)

Dan firman-Nya lagi:

فَاِنْ عَصَوْكَ فَقُلْ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ ۚ

Kemudian jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah (Muhammad), ”Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” (asy-Syu’ara’/26: 216)


Baca juga: Anjuran Menolak Kejahatan dengan Cara Terbaik dalam Surah Fussilat Ayat 34


Ayat 42

Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya bahwa di antara orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah ada sekelompok manusia yang mendengarkan secara sembunyi-sembunyi apabila Al-Qur′an dibacakan.

Mereka memperhatikan pokok-pokok agama yang terkandung di dalamnya, namun mereka tidak bermaksud untuk mendengarkan dengan ketulusan hati, karena mereka pada saat mendengar itu tidak mau mempergunakan akalnya untuk memperhatikan kandungan  Al-Qur’an dan tidak pula mau memikirkan maksud dan tujuannya, sehingga mereka itu tidak dapat memahami tujuan yang sebenarnya.

Mereka mau mendengarkan karena tertarik kepada susunan bahasa yang indah dari Al-Qur’an dan merasa kagum mendengar keindahan susunannya, seperti seorang yang tertarik kepada kicauan burung di atas pepohonan, mereka hanya dapat menikmati keindahannya tetapi tidak dapat memahami maksud apa yang terkandung dalam kicauannya itu.

Allah berfirman:

مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ ذِكْرٍ مِّنْ رَّبِّهِمْ مُّحْدَثٍ اِلَّا اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ ۙ

Setiap diturunkan kepada mereka ayat-ayat yang baru dari Tuhan, mereka mendengarkannya sambil bermain-main. (al-Anbiya/21: 2)

Dan firman-Nya:

وَمِنْهُمْ مَّنْ يَّسْتَمِعُ اِلَيْكَ ۚوَجَعَلْنَا عَلٰى قُلُوْبِهِمْ اَكِنَّةً اَنْ يَّفْقَهُوْهُ وَفِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرًا ۗوَاِنْ يَّرَوْا كُلَّ اٰيَةٍ لَّا يُؤْمِنُوْا بِهَا ۗحَتّٰٓى اِذَا جَاۤءُوْكَ يُجَادِلُوْنَكَ يَقُوْلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ هٰذَآ اِلَّآ اَسَاطِيْرُ الْاَوَّلِيْنَ

Dan di antara mereka ada yang mendengarkan bacaanmu (Muhammad), dan Kami telah menjadikan hati mereka tertutup (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan telinganya tersumbat. Dan kalaupun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata, ”Ini (Al-Qur′an) tidak lain hanyalah dongengan orang-orang terdahulu.” (al-An’am/6: 25)

Di akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad saw tidak akan mampu untuk membuat mereka itu mendengar dan mengerti akan apa yang mereka dengarkan, karena mereka itu telah kehilangan manfaat dari indera pendengaran dalam arti yang sebenar-benarnya.

Mereka itu bukanlah pendengar yang baik, sebab pendengar yang baik ialah orang yang dapat memikirkan dan memahami serta melaksanakan maksud dan tujuan dari apa yang didengarnya. Apalagi mereka selamanya memang tidak akan berusaha untuk ikut mengerti, maka mereka tidak akan dapat manfaat dari apa yang mereka dengarkan dan tidak akan dapat memahami petunjuk-petunjuk yang dikandungnya.

Ayat 43

Sesudah itu Allah menjelaskan bahwa di antara orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah ada pula kelompok orang yang benar-benar memperhatikan Nabi Muhammad saw pada saat membacakan Al-Qur′an.

Akan tetapi, perhatian mereka itu hanya lahiriyah semata dan hanya melihat gerakan lidah Nabi pada saat mengucapkan lafaz dan susunannya, bukan merupakan perhatian yang murni yang dapat memahami dan memikirkan makna yang terkandung di dalam kata yang tersusun dalam kalimat itu.

Itulah sebabnya maka cahaya iman dalam hati mereka tidak dapat memancar karena tertutup noda-noda kemusyrikan. Mereka tidak dapat melihat tanda-tanda kebenaran dan petunjuk yang terkandung dalam Al-Qur′an.

Padahal pandangan batin inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Seharusnya dengan perhatian itu manusia dapat memahami dan memikirkan apa yang dilihatnya, karena Allah menyamakan mereka itu dengan orang buta.

Pada akhir ayat, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad sebagai utusan tidaklah mampu membuat mereka itu melihat tanda-tanda kebenaran yang terdapat di dalam ayat-ayat Al-Qur′an.

Karena mereka memang tidak akan mampu mengindera tanda-tanda kebenaran ayatnya apalagi mereka tidak mempunyai niat untuk mempergunakan indra batinnya untuk memahami kandungan isi ayat-ayat Al-Qur′an itu selama-lamanya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 44-46


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 4-5

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 4-5 menerangkan estimasi waktu yang diberikan kepada kaum musyrikin dalam menentukan sikap yakni tidak melebihi empat bulan, kecuali mereka yang sudah mengadakan perjanjian sebelumnya.

Perjanjian yang dimaksud dalam Tafsir Surah At Taubah Ayat 4-5 adalah perjanjian Nabi dengan suku Bani Amrah dan Bani Kinanah yang tetap amanah dengan janji kepada kaum Muslimin.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah At Taubah Ayat 3


 

Selanjutnya, Tafsir Surah At Taubah Ayat 4-5 menjelaskan tentang peperangan yang terjadi setelah masa empat bulan berakhir. Ada beberapa opsi yang boleh dilakukan kaum Muslimin selain berperang, seperti; menawan, mengintai, atau memenjarakan. Selengkapnya akan dijelaskan berikut.

Ayat 4

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa waktu yang diberikan kaum Muslimin kepada kaum musyrikin untuk menentukan sikap, tidak boleh lebih dari empat bulan.

Kecuali terhadap mereka yang mengadakan perjanjian dengan kaum Muslimin, dan terhadap mereka yang tidak mengurangi isi perjanjian itu dan tidak membantu orang-orang yang memusuhi kaum Muslimin.

Maka perjanjian itu harus dipelihara dan disempurnakan sesuai dengan isinya sampai kepada batas waktunya. Ibnu Abi Hatim meriwayatkan bahwa Nabi menyempurnakan janjinya dengan suku Bani amrah dan Bani Kinanah.

Ayat-ayat ini dan ayat-ayat yang lainnya menunjukkan bahwa setiap perjanjian yang masih berlaku, wajib dipenuhi dan disempurnakan sesuai dengan syarat-syarat perjanjian itu.

Walaupun perjanjian itu dengan kaum musyrikin, selama mereka masih memenuhi semua syarat-syarat perjanjian.

Akhir ayat ini menerangkan bahwa Allah swt menyukai orang-orang yang bertakwa. Hal ini menunjukkan bahwa memelihara dan menyempurnakan janji termasuk takwa.

Karena memelihara perjanjian artinya memelihara pertanggung jawaban terhadap keadilan antara manusia yang membawa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.


Baca Juga: 7 Sifat-Sifat Penghuni Surga Menurut Al-Qur’an


 

Ayat 5

Apabila telah selesai bulan-bulan yang diharamkan memerangi kaum musyrikin Mekah yaitu selama empat bulan terhitung mulai tanggal 10 Zulhijjah sampai dengan tanggal 10 Rabi’ul Akhir tahun 9 Hijriah.

Maka diperintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengerjakan salah satu dari empat hal yang lebih bermanfaat bagi mereka, yaitu:

  1. Memerangi kaum musyrikin di mana saja mereka berada, baik di tanah suci maupun di luarnya.
  2. Menawan mereka.
  3. Mengepung dan memenjarakan mereka.
  4. Mengintai gerak gerik mereka dimana saja mereka berada.

Adapun membunuh atau memerangi mereka di mana saja, menurut Ibnu Katsir, pendapat yang masyhur ialah bahwa ayat ini umum dan ditakhsiskan dengan firman Allah:

وَلَا تُقَاتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتّٰى يُقٰتِلُوْكُمْ فِيْهِۚ فَاِنْ قٰتَلُوْكُمْ فَاقْتُلُوْهُمْ

Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. (al-Baqarah/2: 191)

Adapun tentang menawan mereka, telah diperbolehkan pada ayat ini, sedang pada surah sebelumnya belum diperbolehkan seperti firman Allah:

مَاكَانَ لِنَبِيٍّ اَنْ يَّكُوْنَ لَهٗٓ اَسْرٰى حَتّٰى يُثْخِنَ فِى الْاَرْضِ

Tidaklah pantas, bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan musuhnya di bumi. (al-Anfal/8: 67).

Ayat ini sesuai dengan hadis sahih antara lain sabda Nabi saw:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ الله َوَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ (رواه البخاري ومسلم عن عبد الله بن عمر)

Saya diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah rasul Allah, dan mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin Umar).

Ayat ini adalah salah satu dari empat ayat yang dinamakan “ayatul qital” artinya “ayat-ayat perang”, karena empat ayat ini diturunkan untuk membunuh atau berperang dengan memakai kekuatan senjata.

Pertama: ayat ini untuk membunuh atau memerangi kaum musyrikin.

Kedua: untuk memerangi Ahli Kitab yang disebutkan dalam firman Allah:

قَاتِلُوا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَلَا يُحَرِّمُوْنَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَلَا يَدِيْنُوْنَ دِيْنَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حَتّٰى يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَّدٍ وَّهُمْ صَاغِرُوْنَ

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu  orang-orang) yang telah diberikan Kitab, hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (at-Taubah/9: 29).

Ketiga: ialah memerangi orang-orang munafik yang disebut dalam firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنٰفِقِيْنَ

Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik. (At-Tahrim/66: 9).

Keempat: ialah memerangi orang-orang bugat (yang membuat kerusuhan) yang disebutkan dalam firman Allah:

وَاِنْ طَاۤىِٕفَتٰنِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ اقْتَتَلُوْا فَاَصْلِحُوْا بَيْنَهُمَاۚ فَاِنْۢ بَغَتْ اِحْدٰىهُمَا عَلَى الْاُخْرٰى فَقَاتِلُوا الَّتِيْ تَبْغِيْ حَتّٰى تَفِيْۤءَ اِلٰٓى اَمْرِ اللّٰهِ

Dan apabila ada dua golongan orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. (al-Hujurat/49: 9).

Di antara ulama tafsir ada yang berpendapat bahwa ayat ini dinasakhkan oleh firman Allah:

فَاِمَّا مَنًّاۢ بَعْدُ وَاِمَّا فِدَاۤءً

Setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai. (Muhammad/47: 4).

Di antara ulama ada yang berpendapat sebaliknya, yaitu ayat inilah yang menasakhkan ayat 4 Surah Muhammad tersebut, karena ayat ini turunnya kemudian.

Dan ada pula yang berpendapat bahwa ayat ini tidaklah bertentangan dengan ayat 4 Surah Muhammad dan ayat-ayat lainnya, karena semua ulama berpendapat tentang kewajiban memberantas kekufuran dan kesesatan yang semuanya tidak harus dengan peperangan tetapi hendaknya disesuaikan dengan faktor-faktor lainnya, seperti kemampuan dan keadaan.

Apabila kaum musyrikin itu bertobat dan kembali ke jalan yang benar dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengucapkan dua kalimah syahadat, mengerjakan salat dan menunaikan zakat, maka kepada mereka harus diberi kebebasan yang luas, tidak diperangi, tidak ditawan, tidak dikurung, dan tidak diintai gerak geriknya lagi.

Sebagai kesaksian lahiriyah beriman itu harus dengan mengucapkan dua kalimah syahadat setelah menyatakan masuk Islam.

Dan yang dimaksud dengan salat di sini ialah salat fardhu lima waktu yang menjadi rukun Islam dan menunjukkan kepatuhan beriman yang dituntut bagi setiap mukmin tanpa perbedaan dari segi apa pun, salat ini membersihkan jiwa dan memperbaiki akhlak:

اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ

Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. (al-‘Ankabut/29: 45).

Dan karena salat itu mempunyai daya kekuatan mengadakan hubungan manusia dengan Tuhan.

وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ

Dan laksanakanlah salat untuk mengingat Aku. (Taha/20: 14)

Tentang zakat di sini ialah zakat fardu (wajib) dalam Islam bagi orang-orang yang telah memenuhi syarat-syaratnya, karena zakat ini selain membersihkan jiwa orang yang berzakat dari sifat-sifat tidak terpuji seperti cinta harta dan bakhil atau kikir, juga sangat diperlukan untuk fakir miskin dan untuk kepentingan umum.

Tegasnya, orang-orang musyrik tidak boleh diperangi jika mereka masuk Islam dengan memenuhi tiga syarat yaitu:

  1. Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mengucapkan dua kalimah syahadat.
  2. Melaksanakan salat fardu lima waktu.
  3. Menunaikan wajib zakat apabila telah memenuhi syarat-syaratnya.

Sabda Rasulullah saw:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوْا أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ الله َوَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوْا ذٰلِكَ عَصَمُوْا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ اْلإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ (رواه البخاري ومسلم عن عبد الله بن عمر)

Saya diperintahkan memerangi orang-orang hingga mereka bersyahadat bahwa tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka apabila mereka telah berbuat demikian, niscaya darah dan harta benda mereka terpelihara dari saya, kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka terserah kepada Allah. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari ‘Abdullah bin ‘Umar).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka sebagian ulama berpendapat bahwa orang-orang yang tidak melaksanakan salat lima waktu yang difardhukan tanpa uzur atau alasan yang dibolehkan syariat, dan orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat yang sudah cukup syarat-syaratnya, maka hukumnya wajib dibunuh.

Sedang pendapat ulama lain mengatakan tidak wajib dibunuh, hanya dita’zir oleh imam (penguasa) dengan memberikan hukuman penjara dan sebagainya menurut pertimbangannya, dan orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat, maka imam berhak mengambil zakatnya dengan paksa.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah At Taubah Ayat 6-8


 

Anjuran Menolak Kejahatan dengan Cara Terbaik dalam Surah Fussilat Ayat 34

0
menolak kejahatan dengan cara terbaik
menolak kejahatan dengan cara terbaik

Al-Qur’an dalam ayat-ayatnya telah mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam hidup, baik yang bersifat individual maupun komunal. Nilai-nilai tersebut adalah worldview yang harus diikuti oleh segenap umat Islam. Selain mengajarkan kebaikan, Al-Qur’an bahkan juga menganjurkan menolak kejahatan dengan cara terbaik, tidak membuat orang lain malu dan tidak pula merasa rendah diri.

Salah satu etika berdakwah dalam Islam adalah menyampaikan kebenaran dan kebaikan dengan cara yang baik pula (bil hikmah, mauizah hasanah). Lebih dari itu, Islam juga menuntut pemeluknya untuk menolak kejahatan dengan cara terbaik. Artinya, seorang muslim tidak diperkenankan menolak kejahatan dengan cara yang berlebih-lebihan seperti menghina, mencaci dan menjelek-jelekkan pelaku.

Baca Juga: Surat al-Mumtahanah Ayat 8-9: Perintah Berbuat Baik Kepada Siapa Pun

Tafsir surah Fussilat ayat 34

Anjuran menolak kejahatan dengan cara terbaik ini telah disebutkan oleh Al-Qur’an dalam surah Fussilat [41] ayat 34 yang berbunyi:

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ ٣٤

Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan an-tara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.” (QS. Fussilat [41] ayat 34).

Secara umum, surah Fussilat [41] ayat 34 menegaskan perbedaan kebaikan dan keburukan atau kejahatan. Hal ini disyaratkan oleh kata la yastawi yang berarti tidaklah sama (berbeda). Kendati demikian, bukan berarti keburukan harus dilawan dengan cara yang buruk pula. Ayat ini menganjurkan pembacanya untuk menolak kejahatan dengan cara terbaik sehingga tidak akan menimbulkan perselisihan dan dapat mengharmoniskan hubungan antar sesama manusia.

Menurut al-Sa’adi dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah Fussilat [41] ayat 34 bermakna tidaklah sama perbuatan baik dan berbagai ketaatan demi mengharap rida Allah swt dengan perbuatan buruk dan maksiat yang dapat mendatangkan murka-Nya. Tidaklah sama berbuat baik kepada makhluk dengan berbuat buruk kepada mereka, sama sekali tidak sama, baik dari segi bentuk, sifat maupun bagian-bagiannya.

Pada ayat ini juga Allah swt memerintahkan manusia untuk menolak kejahatan dengan cara terbaik. Misalnya, apabila seseorang berbuat buruk kepada kita, perkataan maupun perbuatan, terutama mereka yang punya kaitan dengan kita seperti keluarga, tetangga dan teman, maka balaslah kejahatan tersebut dengan perbuatan baik dan maafkan. Dengan itu mudah-mudahan ia lekas bertobat dan dapat menjalin hubungan harmonis dengan kita kembali.

Baca Juga: Tuntunan Al-Quran dalam Menyikapi Penghinaan Terhadap Nabi SAW

Ulama berbeda pendapat tentang huruf la pada ayat ini, yakni la sebelum kata al-sayyiah. Sebagian ulama berpendapat bahwa itu merupakan ta’kid atau penguat yang menekankan ketidaksamaan. Sedangkan ulama yang lain seperti Ibnu ‘Asyur berpandangan bahwa huruf la itu adalah ihtibak yang mengisyaratkan adanya penggalan kata yang tidak disbut, yakni “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan, tidak sama juga kejahatan dengan kebaikan” (al-Tahrir wa al-Tanwir).

Menurut Quraish Shihab, kata ahsan surah Fussilat [41] ayat 34 tidak harus – selalu – dipahami dalam arti yang terbaik, karna dengan makna yang baik pun sudah cukup. Artinya, ayat ini menganjurkan seseorang untuk menolak kebaikan dengan cara terbaik atau yang baik. Dengan kata lain, seseorang harus berbuat baik kepada lawan atau orang yang jahat kepadanya sebisa mungkin (Tafsir al-Misbah [12]: 414).

Maksud perbuatan baik di sini bersifat superlatif. Bisa saja baik menurut seseorang adalah dengan tidak meladeninya dan cukup mendiamkan. Bisa juga baik bagi seseorang maksudnya adalah membalas dengan perbuatan yang baik seperti memberi sesuatu dan sebagainya. Kendati demikian, ke-relatifan ini dapat diukur melalui patokan bahwa perbuatan tersebut mencegah keburukan berlanjut dan mengarah pada kebaikan (ihsan).

Sedangkan Syekh Nawawi al-Bantani menyebutkan dalam kitabnya, Tafsir Marah Labid, makna surah Fussilat [41] ayat 34 ialah tidaklah sama antara dakwah kepada agama yang benar dengan sabar di dalam bodohnya kekafiran. Oleh karena itu, tolaklah kebodohan orang-orang kafir Quraisy yang kekeh dalam kekafirannya dengan sebaik-baik cara sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia.

Baca Juga: Tafsir Surat Thaha Ayat 44: Nilai Kelembutan dalam Berdakwah

Hal yang tidak jauh berbeda disampaikan oleh Muhammad Ali ash-Shabuni dalam Safwat al-Tafasir. Menurutnya surah Fussilat [41] ayat 34 bermakna kebaikan dan kejahatan memiliki perbedaan yang signifikan atau keduanya memang berlawaban dari segala sisi. Maka dari itu tolaklah kejahatan dengan sesuatu yang baik seperti mencegah amarah dengan sabar dan mencegah kebodohan dengan akal.

Ibnu Abbas berkata, “ketika kamu tidak menggubris kejahatan orang lain padamu, maka orang yang ada rasa permusuhan an-tara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Maksudnya, jika seseorang melakukan demikian, maka musuhnya akan menjadi seperti teman dekatnya yang tulus menemai dengan kasih sayang. Menurutnya, hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang sabar, mampu menahan amarah (Safwat al-Tafasir [3] 114).

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa seorang muslim hendaknya berbuat baik kepada setiap orang, bahkan kepada orang-orang yang menyakiti atau berbuat jahat terhadapnya. Anjuran menolak kejahatan dengan cara terbaik ini dapat membuat si pelaku sadar akan kesalahannya sehingga mungkin di kemudian hari ia akan menyesal, meminta maaf kepada korbannya atau bahkan respek kepada orang yang sabar tersebut dan menjadi sahabatnya. Wallahu a’lam

Perintah dan Keutamaan Membantu yang Lemah dalam Al-Quran dan Hadis

0
perintah membantu yang lemah
perintah membantu yang lemah

Perintah untuk membantu yang lemah dalam Al-Quran, khususnya membantu berupa materi antara lain terdapat dalam surah Al-Layl ayat 5-7. Kemudian juga disambung dengan ayat 17-21 di surah yang sama. Selain anjuran, di ayat ini juga menyampaikan perihal keutamaan dan balasan bagi orang yang membantu tersebut.

Enam cara membantu yang lemah

Ada sekian banyak macam kekurangan dan kelemahan yang dialami oleh seseorang dalam kehidupan, yang secara garis besarnya dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu kekurangan dan kelemahan yang bersifat materi, dan kekurangan dan kelemahan yang bersifat non-materi. Solusi untuk mengatasinya juga ada dua, yaitu solusi yang bersifat materi dan solusi yang bersifat non-materi.

Cara seseorang turut serta membantu yang lemah ini bermacam-macam. Ibn al-Qayyim, seperti yang dikutip Mahmud al-Mishri, mengatakan bahwa ada 6 kategori turut berduka cita seseorang kepada sesamanya, yaitu:

  1. Turut berduka cita dengan materi, yaitu suatu barang kepada orang yang sedang berduka, seperti dalam bentuk uang, beras, atau bentuk lainnya
  2. Turut berduka cita dengan jabatan, yaitu menggunakan kedudukan dan jabatan untuk memberi bantuan kepada orang lain.
  3. Turut berduka cita dengan memberikan bantuan dan pelayanan sebagai jasa terhadap orang lain yang sedang mengalami musibah.
  4. Turut berduka cita dengan memberikan nasihat dan petunjuk, yaitu arahan atau pandangan yang diberikan kepada orang yang sedang mengalami musibah.
  5. Turut berduka cita dengan mendoakan dan memohonkan ampun, seperti pernyataan ikut berduka, berbelasungkawa, memohonkan ampun atas dosa orang sedang mengalami musibah.
  6. Turut berduka cita dengan merasakan kesusahan yang dialami orang lain, yaitu ikut prihatin, merasakan kesulitan atau kesusahan seperti yang dialamai oleh orang yang sedang mendapat musibah.

Baca Juga: Jangan Ragu Untuk Bersedekah! Inilah 4 keutamaan Sedekah Menurut Al-Quran

Perintah dan Keutamaan membantu yang lemah dalam Al-Quran

Membantu yang lemah dalam Al-Quran dengan harta, bisa diwujudkan dalam bentuk memberikan sesuatu yang bersifat materi kepada mereka yang mengalami kerukurangan, seperti fakir miskin, dan orang-orang yang menanggung utang, juga mereka yang ditimpa musibah. Memberikan sesuatu yang bersifat materi kepada mereka sangat dianjurkan di dalam agama, bahkan merupakan sebuah kewajiban agama, seperti menunaikan zakat, dan sangat dianjurkan agama dalam bentuk sedekah. Allah swt menyatakan dalam QS. Al-Layl [92]: 5-7:

فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ ٥ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٦ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ ٧

(5) Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, (6) dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), (7) Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Tiga ayat ini menggambarkan bahwa orang-orang yang suka memberi atau berbagai kepada orang lain, baik dalam bentuk materi ataupun non-materi, yang didasarkan pada iman yang tulus dan ketkawaan kepada Allah, tanpa mengharapkan pujian, sanjungan, atau pamrih dalam beramal, dengan keyakian adanya pahala yang sangat baik yang didapatkan di akhirat nanti, akan mendapatkan jalan yang mudah dari Allah dalam segala urusan dan tujuannya.

Di dalam ayat 17-21 dari QS. Al-Layl [92] Allah menyatakan:

وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلۡأَتۡقَى ١٧ ٱلَّذِي يُؤۡتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ ١٨ وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعۡمَةٖ تُجۡزَىٰٓ ١٩ إِلَّا ٱبۡتِغَآءَ وَجۡهِ رَبِّهِ ٱلۡأَعۡلَىٰ ٢٠ وَلَسَوۡفَ يَرۡضَىٰ ٢١

(17) dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, (18) yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, (19) Padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, (20) Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha tinggi. (21) dan kelak Dia benar-benar mendapat kepuasan.

Ayat-ayat di atas menggambarkan bahwa orang-orang yang bertakwa yang selalu memberi dan berbagi itu akan dijauhkan oleh Allah dari siksaan api neraka. Orang-orang yang suka memberi dan berbagi itu adalah orang-orang yang senantiasa memberi dan berbagi kepada orang lain untuk membersihkan diri dan hartanya. Nikmat-nikmat Allah yang diberikan dan dibagikannya sebagai tanda syukur atas nikmat Allah akan mendapatkan balasan yang lebih besar di hari kiamat nanti. Mereka melakukan itu tidak lain, hanya semata-mata karena untuk mendapatkan ridha Allah swt. Mereka yang seperti itu juga akan mendapatkan kemudahan tidak hanya di dunia, tetapi kelak di hari kemudian akan merasa senang dengan balasan yang diperolehnya.

Baca Juga: Tips Agar Ikhlas dalam Berbuat Baik: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 77

Perintah Rasulullah untuk membantu yang lemah

Banyak pula hadis Rasulullah yang menerangkan keutamaan dalam memberikan harta kepada orang lain, di antaranya sebagai berikut.

Hadis qudsi riwayat Abu Hurairah dari Bukhari dan Muslim yang menyatakan: “Allah swt berfirman, wahai anak Adam, berinfaklah, maka Aku akan memberikan infak kepadamu.” Jika engkau memberi kepada hamba Allah, maka Allah akan memberi kepadamu.

Juga Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Setiap pagi hari, dua malaikat turun (ke bumi). Salah satu di antara keduanya memohon kepada Allah dengan mengatakan: “Ya Allah, berilah ganti (atas harta yang telah diinfakkan) kepada orang yang telah berinfak, dan yang satunya lagi memohon, “Ya Allah, berilah kerusakan kepada orang yang tidak mau berinfak.” Ingat bahwa berinfak akan memberi kebaikan, sedangkan pelit akan membawa kerusakan.

Ada lagi hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu Bakr, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang memiliki makanan untuk dua orang, hendaklah ia mengundang orang yang ketiga dan barang siapa yang memiliki makanan untuk empat orang, hendaklah ia mengundang orang kelima atau keenam.” (HR Bukhari dan Muslim)

Hadis yang lain diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang memiliki kelebihan tumpangan kendaraan, berbagilah dengan orang yang tidak memiliki tumpangan kendaraan, dan barang siapa yang memiliki kelebihan bekal, berbagilah dengan orang yang tidak memiliki bekal.”

Ingatlah pula suatu hadis Rasulullah menyatakan bahwa: “Allah akan selalu membantu hamba-Nya selama hamba-Nya itu mau membantu sesamanya.”

Demikian anjuran dan keutamaan membantu yang lemah dalam Al-Quran dan hadis. Semoga memotivasi kita untuk senantiasa membantu sesame, dengan cara apapun. Amin

Wallahu a’lam

Ini Rahasia Angka Tujuh dalam Surah Al-Fatihah

0
Tafsir Surah Al-Fatihah
Tafsir Surah Al-Fatihah

Sudah banyak kemuliaan dari Surah al-Fatihah yang kita ketahui. Seperti bahwa Surah al-Fatihah disebut sebagai ummul kitāb, yakni induk Al-Quran karena kandungannya yang mencakup pesan-pesan inti Al-Quran. Ia juga selalu dibaca di setiap salat dan diyakini menjadi Surah penyembuh bagi segala penyakit fisik maupun batin.

Akan tetapi, selain memiliki keistimewaan dari sisi kandungan dan keutamaan, ternyata al-Fatihah juga memiliki keunikan dari sisi angka, yaitu angka tujuh. Dalam kajian ilmu Al-Quran, biasanya disebut dengan mukjizat angka (al-i’jāz al-adadī).

Kemudian, pertanyaan yang muncul adalah apa saja rahasia angka tujuh di dalam Surah al-Fatihah? Ada apa dengan angka tujuh? Berikut ulasan singkatnya!

Baca Juga: Aplikasi Metode Hermeneutika Muhammed Arkoun pada Surah Al-Fatihah

Berkaitan dengan angka tujuh, Surah al-Fatihah dikenal dengan sab’ al-Mathānī. Yaitu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang, baik di dalam salat maupun di luar salat. Sehingga, rahasia yang pertama, angka tujuh menunjukan jumlah ayat dalam surah ini.

Sebagaimana dalam Surah al-Hijr ayat 87:

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ

Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang (surah al-Fatihah) dan Al-Quran yang agung.”

Selanjutnya, rahasia yang kedua adalah huruf-huruf yang menyusun nama Surah ini berjumlah tujuh huruf. Mari kita perhatikan dan hitung bersama, al-Fatihah (الفاتحة), terdapat huruf alif, lam, fa’, alif, ta’, ha’ dan ta’ marbūtah. Sehingga, penamaan Surah inipun memperhatikan kesesuaian dengan angka tujuh.

Menariknya, angka tujuh juga memiliki kedudukan yang unik di dalam Islam dan semesta. Semisal, Al-Quran menyebut langit dengan 7 lapis, bertawaf 7 putaran, seminggu 7 hari, melempar jumrah 7 kali, anggota tubuh yang ditempelkan saat sujud ada 7 juga. (Ahmad Muṣṭafā Mutawālī, al-Mausū’ah aẓ-Ẓahabiyyah fīl i’jāz al-Qur’ān al-Karīm) 

Rahasia yang selanjutnya, bahwa ayat-ayat dalam Surah al-Fatihah menggunakan seluruh huruf hijaiyah kecuali 7 huruf. Coba kita baca kembali dan perhatikan rangkaian ayat demi ayatnya, maka kita tidak akan menemukan 7 huruf berikut: huruf tha’ (ث), jim (ج), kha’ (خ), zay (ز), syin (ش), ẓo’ (ظ) dan fa’ (ف).

Di sisi lain, 7 huruf tersebut bukan hanya sekedar huruf biasa, melainkan termasuk huruf al-mu’jamah, yaitu huruf yang memiliki titik untuk dibedakan dengan huruf yang serupa, saat belum ditemukan titik pada huruf bahasa Arab. Sementara, huruf serupa yang tidak memiliki titik disebut dengan huruf al-muhmalah.

Baca juga: Pembacaan Sufistik KH Misbah Mustafa pada Surah Al-Fatihah

Yang lebih menarik lagi, 7 huruf tersebut menyimbolkan 7 keburukan yang akan dihindarkan dari seseorang yang membaca dan mengamalkan kandungan 7 ayat dari Surah al-Fatihah. Berkaitan dengan hal ini, berikut terdapat kisah yang menarik untuk diceritakan.

Alkisah, kaisar Romawi menulis Surah kepada seorang Khalifah Bani Abbas, “Dalam kitab suci Injil, kami menemukan lembaran yang tertulis: Barang siapa yang membaca Surah yang kosong dari 7 huruf, maka Allah haramkan jasadnya dari api neraka. Yaitu huruf tha’, jim, kha’, zay, syin, ẓo’ dan fa’. Setelah kami teliti di Injil, Taurat dan Zabur, kami tidak menemukan Surah semacam itu. Apakah Anda memiliki Surah yang dimaksud?”

Khalifah Abbasi segera mengumpulkan seluruh ulama, kemudian mengajukan pertanyaan dalam Surah. Akan tetapi mereka semua kebingungan dan tak mampu menjawab permasalahan tersebut, kecuali satu orang yaitu Imam Ali bin Muhammad al-Hādī.

Imam Ali al-Hādī, dengan mudah menjawab, “Surah yang dimaksud adalah Surah al-Ḥamd (al-Fatihah) yang tidak memuat ketujuh huruf tersebut.” Dengan penasaran mereka bertanya, “Apa rahasia dari 7 huruf tersebut?” Lalu, Imam Ali al-Hādī menjelaskan bahwa setiap huruf mengandung makna masing-masing. Sebagai berikut:

“Huruf tha’ (ث), yaitu ath-thubūr (الثبور) bermakna kebinasaan. Huruf jim (ج), yaitu al-jahālah (الجهالة) bermakna kebodohan. Huruf kha’ (خ), yaitu al-khabith (الخبيث) bermakna keburukan. Huruf zay (ز), yaitu az-zaqqūm (الزقوم) nama pohon sebagai makanan penghuni neraka. Huruf syin (ش), yaitu asy-syaqāwah (الشقاوة) bermakna kecelakaan. Huruf ẓo’ (ظ), yaitu aẓ-ẓulmah (الظلمة) bermakna kegelapan. Huruf fa’ (ف), yaitu al-āfāt (الآفة) bermakna bahaya dari gangguan lisan.”

Baca juga: 5 Hal yang Penting Diketahui tentang Bacaan Amin setelah Surah Al-Fatihah

Kemudian sang Khalifah menulis Surah jawaban tersebut kepada kaisar Romawi. Setelah menerima Surah tersebut, kaisar Romawi sangat gembira dan memeluk Islam hingga akhir hayatnya. “Syarah Syāfiyah Abī Farās al-Ḥamadānī, (hal. 563)”.

Akhirnya, Surah al-Fatihah adalah Surah yang istimewa. Selain memiliki nama-nama yang mulia, kedudukan yang agung, kandungan yang mendalam, ia juga memiliki kemukjizatan dari sisi angka, yaitu angka tujuh, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.

Selain dapat menghilangkan 7 petaka yang berupa: kebinasaan, kebodohan, keburukan, neraka, kecelakaan, kegelapan dan bahaya lisan, tentu Surah ini juga akan membuka 7 kebaikan seperti: kesuksesan, pengetahuan, surga, keselamatan, cahaya dan penjagaan lisan.

Tentu, setiap keutamaan dari Surah-Surah Al-Quran, termasuk Surah al-Fatihah, bukan hanya sebatas bacaan saja, akan tetapi perlu upaya perenungan serta pengamalan dalam perilaku sehari-hari. Semoga dengan tulisan ini dapat menambah kecintaan dan semangat kita dalam membaca Al-Quran, mengkaji serta mewujudkan nilai-nilainya, demi mengupayakan kehidupan yang lebih baik.

Wallahu’alam bishshawab.