Beranda blog Halaman 362

Ini Rahasia Angka Tujuh dalam Surah Al-Fatihah

0
Tafsir Surah Al-Fatihah
Tafsir Surah Al-Fatihah

Sudah banyak kemuliaan dari Surah al-Fatihah yang kita ketahui. Seperti bahwa Surah al-Fatihah disebut sebagai ummul kitāb, yakni induk Al-Quran karena kandungannya yang mencakup pesan-pesan inti Al-Quran. Ia juga selalu dibaca di setiap salat dan diyakini menjadi Surah penyembuh bagi segala penyakit fisik maupun batin.

Akan tetapi, selain memiliki keistimewaan dari sisi kandungan dan keutamaan, ternyata al-Fatihah juga memiliki keunikan dari sisi angka, yaitu angka tujuh. Dalam kajian ilmu Al-Quran, biasanya disebut dengan mukjizat angka (al-i’jāz al-adadī).

Kemudian, pertanyaan yang muncul adalah apa saja rahasia angka tujuh di dalam Surah al-Fatihah? Ada apa dengan angka tujuh? Berikut ulasan singkatnya!

Baca Juga: Aplikasi Metode Hermeneutika Muhammed Arkoun pada Surah Al-Fatihah

Berkaitan dengan angka tujuh, Surah al-Fatihah dikenal dengan sab’ al-Mathānī. Yaitu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang, baik di dalam salat maupun di luar salat. Sehingga, rahasia yang pertama, angka tujuh menunjukan jumlah ayat dalam surah ini.

Sebagaimana dalam Surah al-Hijr ayat 87:

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ

Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang (surah al-Fatihah) dan Al-Quran yang agung.”

Selanjutnya, rahasia yang kedua adalah huruf-huruf yang menyusun nama Surah ini berjumlah tujuh huruf. Mari kita perhatikan dan hitung bersama, al-Fatihah (الفاتحة), terdapat huruf alif, lam, fa’, alif, ta’, ha’ dan ta’ marbūtah. Sehingga, penamaan Surah inipun memperhatikan kesesuaian dengan angka tujuh.

Menariknya, angka tujuh juga memiliki kedudukan yang unik di dalam Islam dan semesta. Semisal, Al-Quran menyebut langit dengan 7 lapis, bertawaf 7 putaran, seminggu 7 hari, melempar jumrah 7 kali, anggota tubuh yang ditempelkan saat sujud ada 7 juga. (Ahmad Muṣṭafā Mutawālī, al-Mausū’ah aẓ-Ẓahabiyyah fīl i’jāz al-Qur’ān al-Karīm) 

Rahasia yang selanjutnya, bahwa ayat-ayat dalam Surah al-Fatihah menggunakan seluruh huruf hijaiyah kecuali 7 huruf. Coba kita baca kembali dan perhatikan rangkaian ayat demi ayatnya, maka kita tidak akan menemukan 7 huruf berikut: huruf tha’ (ث), jim (ج), kha’ (خ), zay (ز), syin (ش), ẓo’ (ظ) dan fa’ (ف).

Di sisi lain, 7 huruf tersebut bukan hanya sekedar huruf biasa, melainkan termasuk huruf al-mu’jamah, yaitu huruf yang memiliki titik untuk dibedakan dengan huruf yang serupa, saat belum ditemukan titik pada huruf bahasa Arab. Sementara, huruf serupa yang tidak memiliki titik disebut dengan huruf al-muhmalah.

Baca juga: Pembacaan Sufistik KH Misbah Mustafa pada Surah Al-Fatihah

Yang lebih menarik lagi, 7 huruf tersebut menyimbolkan 7 keburukan yang akan dihindarkan dari seseorang yang membaca dan mengamalkan kandungan 7 ayat dari Surah al-Fatihah. Berkaitan dengan hal ini, berikut terdapat kisah yang menarik untuk diceritakan.

Alkisah, kaisar Romawi menulis Surah kepada seorang Khalifah Bani Abbas, “Dalam kitab suci Injil, kami menemukan lembaran yang tertulis: Barang siapa yang membaca Surah yang kosong dari 7 huruf, maka Allah haramkan jasadnya dari api neraka. Yaitu huruf tha’, jim, kha’, zay, syin, ẓo’ dan fa’. Setelah kami teliti di Injil, Taurat dan Zabur, kami tidak menemukan Surah semacam itu. Apakah Anda memiliki Surah yang dimaksud?”

Khalifah Abbasi segera mengumpulkan seluruh ulama, kemudian mengajukan pertanyaan dalam Surah. Akan tetapi mereka semua kebingungan dan tak mampu menjawab permasalahan tersebut, kecuali satu orang yaitu Imam Ali bin Muhammad al-Hādī.

Imam Ali al-Hādī, dengan mudah menjawab, “Surah yang dimaksud adalah Surah al-Ḥamd (al-Fatihah) yang tidak memuat ketujuh huruf tersebut.” Dengan penasaran mereka bertanya, “Apa rahasia dari 7 huruf tersebut?” Lalu, Imam Ali al-Hādī menjelaskan bahwa setiap huruf mengandung makna masing-masing. Sebagai berikut:

“Huruf tha’ (ث), yaitu ath-thubūr (الثبور) bermakna kebinasaan. Huruf jim (ج), yaitu al-jahālah (الجهالة) bermakna kebodohan. Huruf kha’ (خ), yaitu al-khabith (الخبيث) bermakna keburukan. Huruf zay (ز), yaitu az-zaqqūm (الزقوم) nama pohon sebagai makanan penghuni neraka. Huruf syin (ش), yaitu asy-syaqāwah (الشقاوة) bermakna kecelakaan. Huruf ẓo’ (ظ), yaitu aẓ-ẓulmah (الظلمة) bermakna kegelapan. Huruf fa’ (ف), yaitu al-āfāt (الآفة) bermakna bahaya dari gangguan lisan.”

Baca juga: 5 Hal yang Penting Diketahui tentang Bacaan Amin setelah Surah Al-Fatihah

Kemudian sang Khalifah menulis Surah jawaban tersebut kepada kaisar Romawi. Setelah menerima Surah tersebut, kaisar Romawi sangat gembira dan memeluk Islam hingga akhir hayatnya. “Syarah Syāfiyah Abī Farās al-Ḥamadānī, (hal. 563)”.

Akhirnya, Surah al-Fatihah adalah Surah yang istimewa. Selain memiliki nama-nama yang mulia, kedudukan yang agung, kandungan yang mendalam, ia juga memiliki kemukjizatan dari sisi angka, yaitu angka tujuh, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.

Selain dapat menghilangkan 7 petaka yang berupa: kebinasaan, kebodohan, keburukan, neraka, kecelakaan, kegelapan dan bahaya lisan, tentu Surah ini juga akan membuka 7 kebaikan seperti: kesuksesan, pengetahuan, surga, keselamatan, cahaya dan penjagaan lisan.

Tentu, setiap keutamaan dari Surah-Surah Al-Quran, termasuk Surah al-Fatihah, bukan hanya sebatas bacaan saja, akan tetapi perlu upaya perenungan serta pengamalan dalam perilaku sehari-hari. Semoga dengan tulisan ini dapat menambah kecintaan dan semangat kita dalam membaca Al-Quran, mengkaji serta mewujudkan nilai-nilainya, demi mengupayakan kehidupan yang lebih baik.

Wallahu’alam bishshawab.

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 3

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

 Tafsir Surah At Taubah Ayat 3 adalah kelanjutan dari tafsir sebelumnya, yang menekankan pernyataan Allah dan Rasul-Nya untuk pemutusan hubungan dengan orang-orang musyrik Mekah.


Baca Sebelumnya : Tafsir Surah At Taubah 1-2


Lebih lanjut Tafsir Surah At Taubah Ayat 3 juga menerangkan maklumat Allah dalam menjalani Haji Akbar, dimana Allah melarang kaum musyrik bertawaf di Ka’bah  dengan telanjang, serta melarang mereka untuk melaksanakan haji sampai tahun berikutnya.

Ayat 3

Pada ayat ini Allah menerangkan satu pernyataan pada hari Haji Akbar yang isinya menyatakan bahwa Allah dan Rasul-Nya memutuskan hubungan dan perjanjian dengan orang musyrik serta membersihkan agama mereka dari semua khurafat dan kesesatan.

Banyak hadis-hadis sahih yang diriwayatkan bertalian dengan permasalahan ini, antara lain bahwa Abu Hurairah berkata:

بَعَثَنِيْ أَبُوْ بَكْرٍ فِيْ تِلْكَ الْحَجَّةِ فِيْ مُؤَذِّنِيْنَ بَعَثَهُمْ يَوْمَ النَّحْرِ يُؤَذِّنُوْنَ بِمِنىً أَنْ لاَ يَحُجَّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلاَ يَطُوْفُ فِى الْبَيْتِ عُرْيَانٌ ثُمَّ أَرْدَفَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ فَأَمَرَ أَنْ يُؤَذِّنَ بِبَرَاءَةٍ وَأَنْ لاَ يَحُجَّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلاَ يَطُوْفُ فِى الْبَيْتِ عُرْيَانٌ (رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

Saya (Abu Hurairah) diutus oleh Abu Bakar pada hari raya haji bersama dengan orang-orang yang ditugaskan untuk memaklumkan di Mina bahwa orang musyrik tidak diperbolehkan naik haji sesudah tahun ini dan tidak dibolehkan tawaf di Baitullah dengan telanjang.

Kemudian Rasulullah saw menyusuli dengan mengutus Ali bin Abi Thalib dan memerintahkannya untuk memaklumkan (membaca ayat) Bara’ah dan orang musyrik tidak dibolehkan haji lagi sesudah tahun itu dan tidak dibolehkan tawaf di Baitullah dengan telanjang (sebagaimana kebiasaan kaum musyrikin).

(Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Abu Hurairah berkata lagi:

كُنْتُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ حِيْنَ بَعَثَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَهْلِ مَكَّةَ بِبَرَاءَةٍ فَقَالَ: مَا كُنْتُمْ تُنَادُوْنَ؟ قَالَ: كُنَّا نُنَادِي أَنَّهُ لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلاَّ نَفْسٌ مُؤْمِنَةٌ، وَلاَ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ وَمَنْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ فَإِنَّ أَجَلَهُ أَوْ مُدَّتَهُ إِلَى أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ، فَإِذَا مَضَتِ اَرْبَعَةُ اَشْهُرِ فَإِنَّ الله َبَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُهُ وَلاَ يَحُجُّ هٰذَا الْبَيْتَ بَعْدَ عَامِنَا هٰذَا مُشْرِكٌ (رواه أحمد عن أبي هريرة)

Saya bersama-sama dengan Ali bin Abi Thalib ketika ia diutus Rasulullah saw kepada penduduk Mekah dengan (membacakan) ayat Bara’ah lalu ia bertanya, “Apakah yang kamu serukan (umumkan).” Ali menjawab, “Kami serukan, bahwa tidak ada yang masuk surga melainkan orang-orang mukmin, tidak dibolehkan tawaf di Baitullah dengan telanjang.

Barang siapa yang ada janji dengan Rasulullah saw maka temponya atau masanya sampai empat bulan dan apabila selesai empat bulan, maka Allah dan Rasul-Nya membebaskan diri dari orang musyrikin, dan tidak dibolehkan orang musyrikin naik haji ke Baitullah ini sesudah tahun kita ini (tahun ke-9 Hijri).” (Riwayat Ahmad dari Abu Hurairah).

Para ulama banyak mengemukakan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan haji akbar, antara lain sebagai berikut:

  1. Menurut Abdullah bin Harits, Ibnu Sirin dan Asy-Syafi’i bahwa yang dimaksud dengan haji akbar ialah hari Arafah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, at-Tirmizi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah.
  2. Menurut Ibnu Qayyim dan lain-lainnya bahwa yang dimaksud dengan haji akbar ialah hari Nahar atau hari menyembelih kurban (10 Zulhijjah) berdasarkan hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim.
  3. Al-Qadhi (Iyadh) mengatakan, “Apabila kita meneliti pendapat-pendapat itu maka pendapat yang terpilih adalah haji akbar itu ialah hari-hari mengerjakan manasik haji sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid.

Baca Juga :Tafsir Ahkam: Syarat Wajib Haji dan Beberapa Ketentuannya


Tetapi apabila kita membahas tentang hari raya Haji Akbar, maka tidak diragukan lagi ialah wukuf di Arafah karena haji adalah Arafah. Barang siapa yang dapat wukuf di Arafah, maka ia benar-benar melakukan ibadah haji, dan barang siapa yang tidak wukuf di Arafah, maka ia tidak memperoleh haji.

Maka yang dimaksud dengan haji akbar dalam surah ini dan diucapkan Nabi saw dalam khutbahnya, ialah hari Nahar.”Adapun sebab dinamakan haji akbar yang berarti haji besar, maka sebagian ulama mengatakan ialah untuk membedakannya dengan umrah yang disebut haji kecil.

Ada pula yang mengatakan, karena amal-amal yang dikerjakan pada masa haji itu lebih besar pahalanya jika dibandingkan dengan amal-amal yang dikerjakan pada masa-masa yang lain.

Ada pula yang mengatakan, karena pada waktu itulah nampak kemuliaan yang lebih besar bagi kaum Muslimin dan kehinaan bagi orang-orang musyrikin dan masih banyak lagi pendapat lain yang berbeda.

Menurut ayat ini kelanjutan dari pemberitahuan itu ialah jika kaum musyrikin bertobat, menyesali kesesatan mereka dari perbuatan syirik, melanggar janji, dan sebagainya, dan kembali kepada jalan yang benar.

Yaitu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan menghilangkan permusuhan dengan kaum Muslimin, maka itulah yang paling baik bagi mereka untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Akan tetapi, jika mereka berpaling, tidak mau menerima kebenaran dan petunjuk dan tetap membangkang.

Maka mereka tidak akan dapat melemahkan kekuasaan Allah dan tidak akan dapat menghilangkan pertolongan yang dijanjikan Allah kepada Rasulullah saw dan kepada orang-orang mukmin, yaitu kemenangan mereka dalam mengalahkan orang-orang musyrik dan munafik.

Mereka bukan saja menderita kekalahan dan kehinaan di dunia bahkan Rasulullah pun diperintahkan Allah untuk menyampaikan berita bahwa mereka akan mendapat siksa yang sangat pedih di akhirat.


Baca Setelahnya : Tafsir Surah At Taubah 4-5


 

(Tafsir Kemenag)

Bagaimana Menyikapi Kesalahan Orang lain Menurut Al-Qur’an?

0
Menyikapi Kesalahan Orang lain Menurut Al-Qur'an?
Menyikapi Kesalahan Orang lain Menurut Al-Qur'an?

Dalam waktu seminggu yang lalu aksi teror kembali terjadi di tanah air. Setelah aksi bom bunuh diri di Makassar, yang terbaru adalah aksi teror yang terjadi di Mabes Polri, pelakunya diduga teroris yang sedang melancarkan aksinya. Peristiwa tersebut masih menjadi problem bagi negara yang majemuk ini, bahkan pada level tertentu ada kekhawatiran pelakunya, yang dikaitkan dengan salah satu agama; sehingga masyarakat menganggap itu adalah representasi dari ajaran suatu agama. Meihat hal ini, bagaimana cara menyikapi kesalahan orang lain menurut al-Quran?

Selain itu, menarik untuk diperhatikan, karena ada tanggapan dari Alissa Wahid terkait dengan peristiwa-peristiwa yang belakang terjadi. Aksi-aksi tersebut tidak terlepas dari penafsiran terkait ajaran agama, di antaranya tentang jihad dan interpretasi yang dianggap menjadi musuh.

Kaitannya dengan tanggapan Alissa Wahid tersebut, sebelum pelaku teror di Mabes Polri dilakukan, ia telah menulis surat ‘wasiat’ yang di antara isinya ialah mendeskripsikan bagaimana kesalahan dan posisi pemerintah yang dianggapnya adalah thogut, sehingga olehnya elemen pemerintah dipandang sebagai musuh, karena tidak sesuai dengan ajaran agama versi pelaku.

Pandangan tersebut jelas keliru karena para tokoh telah menyebutkan sistem yang ada di negara kita merupakan semangat dari ajaran Islam. Kalau memang ada yang keliru dengan kebijakan pemerintah tidak perlu memusuhinya apalagi melakukan aksi teror; lantas bagaimana ketika melihat orang lain melakukan kesalahan? Apa yang harus dilakukan?

Pertama, Memahami Makna Hikmah dalam Al-Quran

Lafaz hikmah ((حكمة di dalam al-Qur’an terulang sebanyak 20 kali (al-Mu’jam al-Mufahras Li al-Fādz al-Qur’an al-Karīm, 313-314). Dari sekian banyak lafaz hikmah, sebagaimana yang telah dirangkum oleh M. Nafuddin dalam tesisnya; bahwa al-Rāzī merumuskan empat makna, sementara Fairuzabādī berpendapat bahwa makna hikmah mencakup enam makna.

Namun dalam konteks ini, pendapat al-Rāghib al-Ashfahānī lebih mewakili bahwa hikmah ialah memperoleh kebenaran dengan ilmu (pengetahuan) dan akal; adapun hikmah yang datang dari Allah yakni pengetahuan dan penciptaan sesuatu dengan paling akurat; sedangkan hikmah dari manusia yaitu pengetahuan terhadap yang wujud dan mengerjakan kebaikan (al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’an, 249).

Baca juga: Menafsir Ayat tentang Pakaian dengan Tafsir Maqashidi

Hikmah yang dinisbatkan kepada Allah lebih menekankan pada eksistensi Allah sebagai Tuhan yang disifati tanpa ada kekurangan, di antaranya dalam penciptaan dan pengetahuannya. Sementara hikmah dari manusia ditunjukkan sebagai proses memahami yang wujud (makhluk/peristiwa) serta berusaha mengambil pelajaran dari yang wujud itu, sehingga dapat menstimulus untuk mengerjakan kebaikan.

Dua poin yang menjadi kelebihan memahmi dan menggunakan metode ‘hikmah’; pertama, melalui proses penelitian dan verifikasi ketat dalam memahami orang, peristiwa, sebab-akibat, dan yang melatak belakangi adanya suatu tindakan/peristiwa; kedua, orientasi dan cara yang digunakan untuk merespon kejadian atau yang wujud itu dilakukan dengan yang baik dan terhormat.

Perlu ditegaskan, dalam konteks berbangsa dan bernegara interpretasi ‘yang baik dan terhormat’ bukanlah versi pribadi, melainkan harus berbasis lima elemen, yakni menjaga agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal; atau yang lebih dikenal dengan maqāshid al-Syarī’ah.

Oleh karena itu, cara yang dilakukan oleh pelaku teror yang ‘mengaggap’ pemerintah thagut tidak dibenarkan oleh agama, bahkan adat sekalipun. Siapa pun yang memang melihat adanya kesalahan di pihak lain maka yang harus dilakukan ialah dengan kebaikan, tentunya setelah melakukan kajian yang mendalam, apakah hal yang dilakukan pihak lain itu salah atau benar? Dan bagaimana signifikansinya?.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Kewajiban Menutup Aurat dalam Al-Quran

Kedua, Menanamkan Pelajaran yang Bijaksana

Dalam al-Qur’an, istilah ‘pelajaran bijaksana’ atau ‘nasihat yang baik’ dikenal dengan al-Mau’idzah al-Hasanah. Al-Thabari perpendapat bahwa al-Mau’idzah al-Hasanah  adalah pelajaran (hujjah) yang telah dijadikan (termaktub) dalam kitab-kitab-Nya (Tafsīr al-Thabarī 17,321).

Al-Mawardi mengutip pendapat Al-Kilby dan Muqatil, bahwa al-Mau’idzah al-Hasanah memiliki dua takwil; 1) dengan al-Qur’an yang qaul (setiap teksnya) mengandung lemah lembut; dan 2) di dalamnya terdapat perintah dan larangan  (al-Nukt wa al-‘Uyūn 3, 220).

Muhammad Sayyid al-Thanthawi (al-Tafsīr al-Wasīth 8, 262) mekonstruksi makna al-Mau’idzah al-Hasanah lebih luas lagi, yakni cara yang kedua dalam dakwah (mengajak) ke jalan Allah dengan perkataan-perkataan yang berisi nasihat dan ibrah yang menggugah hati, membersihkan jiwa, sehingga -penerima nasihat- sanggup menerima dengan suka rela nasihat-nasihat tersebut , takut melakukan maksiat, dan menginginkan berbuat ta’at.

Dari tiga penafsiran di atas, terlihat konsistensi mufasir klasik hingga modern menafsirkan al-Mau’idzah al-Hasanah, yakni memberikan pelajaran dan nasihat yang bersifat lemah lembut -khususnya dengan al-Quran- dan memberikan dampak baik kepada objeknya yaitu berupa penerimaan dengan sukarela, sekaligus merealisasikan dalam kehidupan tanpa rasa takut, semata-mata takut kepada Allah dan ta’at kepada-Nya.

Oleh karena itu, sikap/prilaku yang mendatangkan teror, ketakutan, dan keresahan itu bukan cara untuk mengekspresikan tidak setujunya dengan pihak lain, karena itu jalan terorisme dengan tujuan apa pun -termasuk dalam isi wasiat pelaku- tidak dibenarkan dan tidak sesuai dengan semangat al-Quran, lemah lembut dan kasih sayang.

Maka dari itu, sebesar apa pun seseorang melihat kejelekan, diusahakan untuk merubah dengan kebaikan, tidak boleh kejelekan dibalas dengan kejelekan -kecuali dalam keadaan tertentu.

Baca juga: Jihad Nir-Kekerasan Ala Kiai Sholeh Darat

Ketiga, Membantah atau Berdebat dengan Baik

Cara yang terakhir ialah melakukan bantahan, tapi tetap dengan mengedepankan cara baik. Bantahan tersebut bukan dilakukan dengan aksi “mujādalah” pada umumnya, dimana salah satu dari kedua pihak merasakan kerugian yang cukup signifikan, baik materi atau non-materi. Namun, maksud dari ‘berdebat’  disana adalah memberikan peringatan dengan cara baik.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Rāzī (Mafātīh al-Ghaib 20, 287) ‘jadl’ itu bukan pokok dari dakwah; karena itu makna yang ada dalam kata “wa jadilhum billati hiya ahsan’ memiliki tujuan lain yaitu membantah dengan cara baik. Di samping itu, dipastikan ‘jadl’ tidak bisa mencapai tujuan dari dakwah.

Bahkan Abu Mansūr al-Māturīdī (Ta’wīlāt Ahl al-Sunnah  6, 595) meberikan informasi lebih bahwa ketika diharuskan harus ‘mujadalah’ maka dilakukan dengan kebaikan, di antaranya ucapannya harus lemah lembut disertai dengan rendah hati dan tawadu’; supaya agamanya dapat diterima dan mereka -objek dakwah- berserah diri kepada Allah.

Alhasil, peristiwa dengan dalil merubah atau mengajak orang ‘yang dianggap salah’ dengan melancarkan teror jelas bertentangan dengan konsep ada dalam al-Quran yaitu mengedepankan lemah lembut, kasih sayang, dan cinta damai. Bukan dengan hal-hal yang menurunkan martabat marwah agama Islam. Wallahu ‘Alam.

Tafsir Surah At-Taubah Ayat 1-2

0
tafsir surah at taubah
tafsir surah at taubah

Tafsir Surah At Taubah Ayat 1-2 berbicara tentang sikap kaum musyrik Makkah yang hendak membunuh Nabi Muhammad, sehingga Allah memerintahkannya untuk hijrah ke Habasyah.

Lebih lanjut Tafsir Surah At Taubah Ayat 1-2 juga menerangkan bagaimana Nabi menjalin perjanjian damai dengan orang Yahudi dan kabilah di sekitarnya. Namun perjanjian itu dilanggar dengan keberpihakan mereka terhadap kaum musyrik Makkah.

Selain itu, Tafsir Surah At Taubah Ayat 1-2 juga menjelaskan bahwa Allah dan Rasulnya memberikan waktu kepada mereka untuk mempersiapkan diri (berperang) jika mereka memang memilih untuk tetap berkhianat.

Ayat 1

Banyak masalah pokok yang diterangkan di dalam Surah al-Anfal, diterangkan pula dalam surah ini dengan pengungkapan yang lebih luas dan mendalam, ada kalanya lebih terperinci, sehingga surah ini dalam beberapa hal banyak menambah kesempurnaan surah al-Anfal.

Allah mengutus Nabi Muhammad saw ke dunia ini sebagai rasul yang terakhir untuk mengembangkan agama Islam dengan dakwah yang berlandaskan dalil-dalil yang dapat meyakinkan kebenarannya, tidak ada paksaan yang berlandaskan kekuatan senjata dan harta benda.

Akan tetapi kaum musyrikin terus menentangnya dengan segala macam cara, mulai dari perkataan sampai kepada perbuatan yang di luar batas-batas perikemanusiaan, sehingga banyak kaum Muslimin terpaksa hijrah ke negeri Habsyah (Ethiopia) dan tempat-tempat lain.

Oleh karena Nabi Muhammad saw dan sebagian sahabatnya masih bertahan di Mekah, untuk melanjutkan dakwah, maka kaum musyrikin Quraisy mengadakan musyawarah di suatu tempat yang bernama “Darun Nadwah” untuk mengambil suatu keputusan apakah Muhammad harus dibunuh atau dibuang saja.

Akhirnya mereka memutuskan bahwa Muhammad harus dibunuh. Di dalam keadaan yang gawat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw hijrah ke Medinah, yang kemudian diikuti oleh para sahabatnya yang mampu datang ke Medinah.

Di Medinah, Nabi dan para sahabatnya yang turut hijrah disambut penduduknya yang Muslim dengan sambutan luar biasa, seperti yang diterangkan Allah dalam firman-Nya:

وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Dan  mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. (al-Hasyr/59: 9)

Selanjutnya, Nabi saw mengadakan perjanjian damai dan tolong-menolong dengan orang-orang Yahudi, tetapi mereka berkhianat dan melanggar janji dengan menolong orang musyrikin yang selalu memusuhi Nabi di Mekah.

Sehingga permusuhan dari kaum musyrikin bertambah meningkat, bahkan mereka bermaksud hendak menghancurkan agama Islam, maka perang disyariatkan dalam Islam. Kemudian Nabi mengadakan perjanjian damai dengan kaum musyrikin di Hudaibiyah untuk masa sepuluh tahun dengan syarat-syarat yang sangat lunak.

Seakan-akan menguntungkan kaum musyrikin, tetapi kaum musyrikin melanggar perjanjian itu, sehingga tidak ada pilihan lain bagi Nabi Muhammad dan kaum Muslimin, selain menghadapi tantangan itu dengan penuh keimanan dan keberanian.

Akhirnya pada tahun ke-8 Hijri, kota Mekah dapat ditaklukkan oleh kaum Muslimin. Dengan demikian kekuatan kaum musyrikin menjadi lemah, akan tetapi mereka masih mengadakan perlawanan dengan segala cara yang masih bisa mereka lakukan, sehingga turunlah surah ini yang menyatakan pembatalan perjanjian perdamaian dan pemutusan hubungan dengan kaum musyrikin.


Baca Juga : Fenomena Ghosting dan Pentingnya Memenuhi Janji: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 92


Ayat 2

Pada ayat ini Allah menerangkan agar kaum Muslimin memberi kesempatan kepada kaum musyrikin yang selalu mengkhianati janji, untuk berjalan di muka bumi selama empat bulan dengan bebas dan aman tanpa diganggu oleh siapa pun, agar mereka dapat berpikir lebih tenang untuk menentukan sikap mereka, apakah mau masuk Islam atau tetap menentang kaum Muslimin.

Adapun mulai berlakunya masa empat bulan itu, menurut pendapat yang masyhur, ialah dari tanggal 10 Zulhijjah tahun ke-9 Hijri sampai dengan tanggal 10 Rabi’ul Akhir tahun ke-10 Hijri.

Sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Ma’syar al-Madani dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi dan lain-lain yang maksudnya: Rasulullah saw mengutus Abu Bakar sebagai Amir Haji tahun ke-9 Hijri dan mengutus pula Ali bin Abi Thalib dengan membawa 30 atau 40 ayat Bara’ah untuk dibacakan kepada manusia di Mina.

Pendapat yang lain mengatakan, agar tidak bersimpang siur perlu dibedakan antara empat bulan yang dimaksud di sini dengan empat bulan yang diharamkan berperang secara umum seperti yang disebut dalam hadis yang sahih yang berbunyi:

إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ الله ُالسَّمٰوَاتِ وَاْلأَرْضَ السَّنَةُ اِثْنَا عَشَرَ شَهْرًا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُوْالْقَعْدَةِ وَذُوْالْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِيْ بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ (رواه البخاري ومسلم عن أبي بخيرة)

Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan (bentuknya) pada hari yang diciptakan langit dan bumi. Setahun ada dua belas bulan, empat bulan daripadanya diharamkan berperang, tiga bulan berturut-turut yaitu Zulkaidah, Zulhijjah, Muharam dan Rajab bulan yang terjepit, yang terletak di antara Jumadil (Akhir) dan Sya’ban. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Bakhirah).

Bulan yang empat di dalam hadis ini pulalah yang dimaksud dalam surah-surah al-Baqarah/2: 217, al-Maidah/5: 2, dan lain-lainnya yang dilarang berperang secara umum.

Selanjutnya pada ayat ini Allah menerangkan bahwa jika orang-orang musyrikin itu masih menentang dan memusuhi Allah dan Rasul-Nya, maka mereka harus mengerti bahwa mereka tidak akan dapat melemahkan Allah, tapi mereka sendirilah yang akan memikul segala akibatnya.

Hal serupa itu sudah menjadi sunnatullah yang berlaku bagi orang-orang kafir sebagaimana yang diterangkan dalam firman Allah:

كَذَّبَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَاَتٰىهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُوْنَ  ٢٥  فَاَذَاقَهُمُ اللّٰهُ الْخِزْيَ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۚوَلَعَذَابُ الْاٰخِرَةِ اَكْبَرُ ۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ  ٢٦ 

Orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul), maka datanglah kepada mereka azab dari arah yang tidak mereka sangka. Maka Allah menimpakan kepada mereka kehinaan pada kehidupan dunia. Dan sungguh, azab akhirat lebih besar, kalau (saja) mereka mengetahui.(Az-Zumar/39: 25-26)

Ayat ini menyatakan pembatalan berbagai perjanjian damai dengan kaum musyrikin dengan cara yang lebih tegas dan positif dari yang sudah diterangkan Allah dalam firman-Nya:

وَاِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْۢبِذْ اِلَيْهِمْ عَلٰى سَوَاۤءٍۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْخَاۤىِٕنِيْنَ

Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berkhianat. (al-Anfal/8: 58)

Banyak pendapat ahli tafsir tentang perjanjian yang dibatalkan dalam ayat ini. Menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Kafir bahwa pendapat yang terbaik dan terkuat ialah perjanjian yang ditentukan waktunya, sedang perjanjian yang masih berlaku, harus ditunggu sampai habis waktunya, sesuai dengan ayat keempat dari surah yang akan diterangkan kemudian ini.


Baca setelahnya: Tafsir Surah At Taubah Ayat 3


(Tafsir Kemenag)

Memaknai Kesatuan Al-Qur’an Menurut Amir Faishol Fath

0
Kesatuan Al-Qur’an dan Argumentasinya Menurut Amir Faishol Fath
Kesatuan Al-Qur’an dan Argumentasinya Menurut Amir Faishol Fath

Kesatuan Al-Qur’an merupakan pembahasan penting untuk menemukan kesepahaman mengenai sejarah dan jati diri Al-Qur’an. Ini karena susunan proses pewahyuan Al-Qur’an berbeda dengan apa yang berada dalam bentuk mushaf yang ditemui saat ini. Perbedaan inilah yang di antaranya mengantarkan Amir Faishol Fath untuk mengkaji secara mendalam tentang keserasian dan keutuhan Kalamullah tersebut dalam kerangka Kesatuan Al-Qur’an.

Kajian kesatuan Al-Qur’an sebenarnya merupakan kerja lanjutan sekaligus penyempurnaan dari upaya-upaya ulama Al-Qur’an sebelumnya. Hal ini terlihat sejak ulama terdahulu memperlihatkan sisi kesatuan Al-Qur’an, misalnya, dari definisi Al-Qur’an itu sendiri. Bagian dari definisi yang popular mengatakan bahwa Al-Qur’an diawali surah Al-Fatihah dan diakhiri surah Al-Nas.

Definisi yang diterima selama ini menunjukkan Al-Qur’an yang dimaksud ulama tersebut telah berbentuk mushaf. Di sini, Amir Faishol menjadi sarjana yang mampu menjelaskan letak kesesuaiannya. Meski kajian Amir Faishol berangkat dari Al-Qur’an yang telah berbentuk mushaf, tetapi argumentasi kesatuan Al-Qur’an dapat dibuktikan dengan dalil dan fakta yang kuat. Karena itu, penting mengemukakan kajian Amir Faishoh tersebut untuk menunjukkan kebenaran dan pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Kewajiban Menutup Aurat dalam Al-Quran

Sekilas tentang Amir Faishol Fath dan ‘Kesatuan Al-Qur’an’

Amir Faishol Fath, lahir 15 Februari 1967 di Sumenep Jawa Timur, merupakan salah satu ahli tafsir sekaligus seorang Da’i di Indonesia. Ia adalah ulama pendiri yayasan Fath Qur’ani Center dan Lembaga Darul Tafsir Fath Institute. Sejak S1 hingga S3, ia berfokus pada jurusan tafsir Al-Qur’an di International Islamic University Islamabad, Pakistan.

Salah satu karya penting Amir Faishol adalah Kesatuan Al-Qur’an. Karya ini sebenarnya adalah kerja disertasinya yang berjudul “Nadzariyatul Wihdah Al-Qur’aniyyah ‘Inda ‘Ulamail Muslimin Wadawruha fil Fikril Islam” yang dipertahankan untuk memperoleh gelar Ph.D dalam bidang Tafsir dan Ulumul Qur’an di International Islamic University Islamabad. Disertasi tersebut diterjemahkan menjadi the Unity of Al-Qur’an atau Kesatuan Al-Qur’an.

Sebelum Amir Faishol, sudah ada sarjana yang mengkaji tentang kesatuan Al-Qur’an. Misalnya Muhammad Mahmud Hijazi yang menulis Al-Wahdatul Maudhuiyah fil Qur’an (Kesatuan Tematik dalam Al-Qur’an); Rif’at Fauzi Abdul Muthalib menulis Al-Wahdatul Maudhu’iyah li Surahil Qur’an (Kesatuan Tematik dalam Surah Al-Qur’an); dan Said Hawwa menulis Asas fi Al-Tafsir (Dasar-dasar Tafsir).

Baca juga: Aplikasi Metode Hermeneutika Muhammed Arkoun pada Surah Al-Fatihah

Yang dimaksud Kesatuan Al-Qur’an adalah: “Bahwa semua isi Al-Qur’an seperti satu kata, semua bagiannya saling berkaitan dan saling menjelaskan, tidak ada kontradiksi di dalamnya, bagai satu struktur bangunan yang kokoh”. Di antara dilakukannya kajian ini adalah sebagai upaya membuktikan keutuhan dan keserasian Al-Qur’an, termasuk kepada para orientalis yang selama ini meragukan Al-Qur’an, serta kritik kepada pengkaji yang memahami Al-Qur’an secara parsial.

Beberapa Argumentasi atas Kesatuan Al-Qur’an

Dalam menyajikan Kesatuan Al-Qur’an, Amir Faishol menyampaikan beberapa argumentasi yang mendasari kajiannya. Argumentasi tersebut saling terkait satu sama, di antaranya (1) dalil-dalil Al-Qur’an, (2) hadis Nabi, (3) pendapat-pendapat ulama tafsir dan ulumul Qur’an, dan (4) pendapat dari ahli bahasa. Di sini, berbagai argumentasi tersebut tersebar dalam kajian Amir Faishol, yang saya susun sesederhana mungkin.

Dalil-dalil Al-Qur’an yang menjadi argumentasi kesatuan Al-Qur’an misalnya QS. Al-Nisa: 82, QS. Hud: 1, dan Al-Zumar: 23. Adapun terjemahan ayat-ayat tersebut adalah:

Apakah mereka tidak memerhatikan Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah SWT, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (QS. Al-Nisa: 82).

Alif lam ra’, (inilah) Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapih serta dijelaskan secara terperincih, yang diturunkan dari sisi Allah SWT Yang Mahabijaksana lagi Mahatahu” (QS. Hud: 1).

Allah SWT telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Qur’an yang serupa mutu ayat-ayatnya” (QS. Al-Zumar: 23).

Dalil hadis yang menjadi landasan kesatuan Al-Qur’an adalah riwayat tentang perintah Nabi Muhammad SAW kepada sahabat-sahabatnya dalam menempatkan setiap wahyu yang disampaikan untuk menempatkan di bagian tertentu (di sini atau di situ) pada susunan Al-Qur’an. Kejadian ini diyakini sebagai perintah langsung dari Allah SWT (HR. Ahmad). Susunan demi susunan tersebut membentuk kesatuan Al-Qur’an yang kokoh karena merupakan perintah langsung dari Allah SWT.

Baca juga: Aplikasi Metode Hermeneutika Muhammed Arkoun pada Surah Al-Fatihah

Ulama tafsir juga memberi pandangan yang mengarah pada kesatuan Al-Qur’an. Misalnya, Imam Al-Qurthubi mengatakan salah satu mukjizat Al-Qur’an adalah hubungan yang kuat antar ayat dan antar surah, tanpa ada pertentangan sedikitpun. Imam Az-Zamakhsyari mengatakan Al-Qur’an diatur dalam bentuk yang teguh dan sempurna, tidak ada sedikitpun kekacauan didalamnya. Sayyid Quthub mengatakan Al-Qur’an mengandung struktur kuat yang setiap kata atau kalimat mengandung maksud tersendiri, saling berkaitan, tidak ada pertentangan di dalamnya.

Para ulama ulumul Qur’an bahkan telah memberikan kajian khusus yang terkait kesatuan Al-Qur’an. Kajian tersebut dikenal Ilmu Munasabah baina Ayat Al-Qur’an wa Suwaruh (ilmu tentang keserasian antara ayat dan surah Al-Qur’an). Kajian ini marak dibahas dalam rangka mencari relasi pemahaman antar ayat atau surah, sehingga tercapai pemahaman Al-Qur’an secara utuh.

Para ulama lainnya seperti Al-Khattabi, Al-Jurjani, dan Al-Baqillani sepakat mengatakan bahwa  keteraturan struktur, keserasian kalimat dan kesatuan ayat-ayatnya menjadi mukjizat tersendiri bagi Al-Qur’an. Para ahli bahasa dan sastra juga memperlihatkan kesatuan Al-Qur’an yang kuat, baik secara keterkaitan, struktur, maupun kefashihannya.

Sampai di sini, kajian kesatuan Al-Qur’an oleh Amir Faishol ini mengarahkan rangkaian ungkapan Al-Qur’an yang mengandung maksud dan tujuan tertentu, yang berimplikasi pada (1) kebenaran Al-Qur’an berbasis dirinya sendiri (2) keterlibatan ilmu-ilmu Al-Qur’an seperti ilmu bahasa, ilmu munasabah, ilmu konteks pewahyuan, dan seterusnya, dalam mencapai pemahaman yang utuh.

Dengan menggunakan kesatuan Al-Qur’an, sejarah Al-Qur’an dapat menjelaskan dan menjawab keraguan atas keshahihannya selama ini. Saat yang sama, kesatuan Al-Qur’an juga dapat memberi pemahaman yang bersifat harmonis, utuh, tidak bertentangan dengan fakta, ilmu pengetahuan. [] Wallahu A’lam.

Jihad Nir-Kekerasan Ala Kiai Sholeh Darat

0
Jihad nir-kekerasan ala Kiai Sholeh Darat
Jihad nir-kekerasan ala Kiai Sholeh Darat

Belakangan ini kajian mengenai jihad dan Al-Qur’an, serta segala aspek yang menyertainya, memang menarik untuk dilakukan. Selain up to date, topik yang dapat dibicarakan juga sangat beragam. Saking beragamnya, setiap pengkaji harus dihadapkan pada spesifikasi tertentu untuk mendapatkan kedalaman masalah dan terhindar dari kerancuan pembahasan. Salah satunya ialah jihad nir-kekerasan, yang menjadi kontra narasi dari jihad perspektif kelompok ekstremis. Jihad ini antara lain disuarakan oleh Kiai Sholeh Darat.

Saat tulisan ini dibuat, setidaknya sudah ada dua kajian tafsiralquran.id yang menyorot tragedi bom bunuh diri Makassar Ahad lalu, 28 Maret 2021. Pertama, oleh Miftahus Syifa berjudul Bom Bunuh Diri Termasuk Mati Syahid? Surah An-Nisa’ Ayat 29-30 (29/03/2021) yang spesifik mengkaji tindakan bunuh diri dengan mengacu QS. An-Nisa’ ayat 29-30. Kedua, kajian term jihad dalam Al-Qur’an oleh Muhammad Rafi berjudul Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an (30/03/2021).

Sampai di sini, penulis memandang bahwa telah banyak kajian ‘teoritis’ terhadap jihad dalam Al-Qur’an. Baik kajian tematik pada term-term jihad seperti jahada, qatala dan ragam derivasinya, atau bahkan kajian tentang perbandingan pendapat para mufasir. Karenanya, akan lebih menarik jika kajian yang dilakukan mengambil angle yang berbeda, sehingga nuansa yang dihasilkan juga akan berbeda.

Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an

Penulis kemudian tertarik untuk mengkaji penafsiran yang dilakukan Kiai Sholeh Darat dalam Faidl al-Rahman-nya: tafsir QS. Al-Baqarah ayat 190-193. Bukan dalam bingkai kajian teoritis tentunya, melainkan lebih kepada konteks historis penafsiran dan genealogi sang penafsir. Mengingat relevansi yang dimiliki antara penafsiran Kiai Sholeh Darat dengan peristiwa bom bunuh diri Makassar beberapa waktu yang lalu.

Faidl al-Rahman fi Tarjamat Tafsir Kalam al-Malik al-Dayyan adalah tafsir yang ditulis Kiai Sholeh, yang terinspirasi dari sebuah dialog singkat yang terjadi antara beliau dan RA. Kartini. Diceritakan bahwa Kartini yang kala itu tengah berkunjung ke rumah pamannya, seorang Bupati Demak bernama Pangeran Ario Hadiningrat, mengetahui pengajian yang diberikan Kiai Sholeh. Ia  kemudian menemui Kiai Sholeh dan menyampaikan kegalauannya perihal makna dan terjemahan Al-Qur’an.

Menariknya, apa yang menjadi kegalauan Kartini terkait keberadaan terjemahan Al-Qur’an merupakan sesuatu yang dilarang oleh fatwa ulama di masa itu. Sebuah fatwa yang sangat menguntungkan pihak kolonial dimana akses pembelajaran terhadap Al-Qur’an menjadi terbatasi oleh internal pembacanya sendiri.

Namun demikian, hal itu justru membuat Kiai Sholeh tergugah untuk menuliskan sebuah karya terjemahan Al-Qur’an yang lantas diberi judul Faidl al-Rahman. Karenanya tidak mengherankan jika pada awal kemunculannya, karya ini cukup kontroversial.

Baca juga: Ayat-Ayat Jihad dalam Al-Quran: Klasifikasi dan Kontekstualisasinya Di Era Kekinian

Menurut catatan Masrur, tafsir atau terjemahan ini mencakup 13 juz dari keseluruhan surat dalam Al-Qur’an, yakni QS. Al-Fatihah hingga QS. Ibrahim. Namun demikian, naskah yang penulis ketahui dan penulis dapatkan hanya berisi QS. Al-Fatihah hingga QS. An-Nisa’ ayat 176 dalam dua jilid. Jilid pertama berisi QS. Al-Fatihah dan QS. Al-Baqarah, sementara selebihnya terdapat pada jilid kedua.

Sebagaimana corak yang dimiliki tafsir ini, yakni sufi-isyari, aksentuasinya terletak pada unsur isyari setiap ayat. Kendati sebelum masuk pada makna isyari, yang ditandai dengan redaksi al-ma‘na al-isyary, Kiai Sholeh tetap menyertakan ulasan-ulasan dasar berkaitan dengan ayat, seperti makna zahir, sebab turunnya ayat, nasikh-mansukh dan lain sebagainya.

Pun demikian dengan tafsir QS. Al-Baqarah 190-193. Sebelum masuk pada makna isyari, Kiai Sholeh memberikan gambaran umum ayat ini:

“konten ayat yang menjelaskan legalitas peperangan yang dilakukan kaum muslimin melawan orang-orang kafir serta perdebatan di kalangan mufasir terkait nasikh-mansukh.”

Yang menarik adalah dari keseluruhan ulasan yang disebutkan oleh Kiai Sholeh dalam rangkaian ayat 190-193 ini, tak satu pun diantaranya yang menyinggung masalah kolonialisme di Indonesia. Jangankan menjadikan ayat sebagai dalil legitimasi, menyebut frasa berkaitan dengan kolonialisme saja tidak.

Padahal seperti telah disinggung sebelumnya, Kiai Sholeh adalah seorang mufasir yang hidup pada era kolonialisme. Mestinya, jika melihat spirit perjuangan dan kapasitas keilmuan yang beliau miliki, ayat ini merupakan dalil ‘empuk’ untuk ‘mengompori’ perjuangan melawan para koloni penjajah.

Baca juga: Menafsir Ayat tentang Pakaian dengan Tafsir Maqashidi

Kiai Sholeh adalah putra dari Kiai Umar, seorang kiai yang menjadi anggota laskar tentara di bawah komando Pangeran Diponegoro. Gemblengan langsung dari ayahnya di masa kecil mestinya cukup memberikan pengaruh terhadap spirit perjuangan Kiai Sholeh. Belum lagi jika melihat genealogi tarekat yang diikuti oleh beliau.

Menurut Kambali Zutas dalam Literacy Tradition in Islamic Education in Colonial Period, tarekat Syattariyah yang dibawa Abdurrouf Singkel atau Al-Sinkily, pada era Perang Jawa tercatat telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan pada ajaran ideologis-nasionalis dibawah kembangan Pangeran Diponegoro.

Tidak pelak lagi, fanatisme agama khas tarekat tasawuf dan semangat nasionalis mestinya mampu mendorong Kiai Sholeh untuk, dalam bahasa sekarang, ‘mempolitisasi’ ayat dalam rangka perjuangan kemerdekaan. Tetapi, mengapa hal itu tidak dilakukan?

Penulis menganggap bahwa mazhab yang dianut Kiai Sholeh Darat adalah edukatif. Sehingga apa yang ingin disampaikan selalu diselipkan dalam pesan-pesan ideologis di dalam karyanya. Hal ini dapat dilihat dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh Sri Suhandjati dalam Reinterpretation of Women’s Domestic Roles: Saleh Darat’s Though on Strengthening Women’s Roles in Indonesia.

Baca juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang

Disana ditemukan bahwa, pemikiran progresif Kiai Sholeh dalam melawan kolonialisme Belanda disisipkan melalui pesan yang disampaikan dalam Al-Majmu‘ah al-Syari‘ah. Dimana dalam menghadapi tantangan ekonomi sekaligus bahaya kekerasan seksual dari penjajah, kaum hawa diajarkan ilmu batik dan pengajaran konten QS. An-Nur.

Selain itu, masih dalam Al-Majmu‘ah al-Syari‘ah, terlihat juga bagaimana Kiai Sholeh melawan kolonialisme melalui perang ideologi. Seperti ketika beliau ‘memfatwakan’ keharaman memakai celana dan dasi, yang dianggapnya sebagai unsur tasyabbuh kepada para penjajah. Dengan demikian, persepsi Kiai Sholeh Darat tentang ayat itu tidak menjurus pada jihad fisik berupa kekerasan, melainkan ideologi.

Maksud penulis menghadirkan angle ini adalah untuk melihat lebih dalam bahwa jihad, pemahaman tentangnya, tidak melulu mengarah kepada sesuatu yang berbau kekerasan seperti peperangan atau bahkan bom bunuh diri. Banyak hal yang dapat dilakukan dalam frame besar jihad, yang salah satunya ialah jihad ideologi, sehingga bisa disebut dengan jihad nir-kekerasan, Karena jihad ini tidak mengurangi ghirah keislaman yang telah tertanam, sebagaimana telah dilakukan oleh Kiai Sholeh Darat. Wallahu a‘lam bish shawab.

Menafsir Ayat tentang Pakaian dengan Tafsir Maqashidi

0
menafsir ayat tentang pakaian
menafsir ayat tentang pakaian

Tulisan ini akan membahas tentang penerapan pendekatan maqashid dalam tafsir yang mengambil ayat tentang pakaian sebagai contohnya. Ayat tentang pakaian tepatnya di surah Al-A’raf ayat 26 menyinggung tentang standar pakaian yang dianjurkan oleh Al-Quran. Berikut penjelasan tafsir ayat tersebut.         

Dunia tafsir Al-Quran yang telah berlangsung selama 14 abad silam memiliki keragaman, dinamika, dan transformasi yang sedemikian rupa. Satu di antaranya adalah ide atau gagasan bagaimana cara menafsirkan Al-Qur’an. Mengutip apa yang pernah disampaikan Nabi, bahwasanya barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan tanpa menggunakan ilmu, maka persiapkan tempat duduknya di neraka kelak.

Berdasarkan hadis tersebut dapat kita ambil pesan bahwasanya dalam hal menafsirkan Al-Quran, diperlukan kapabilitas keilmuan yang memadai agar tidak sembarangan dalam menjelaskan wahyu ilahi. Aspek seperti penguasaan gramatikal bahasa Arab, kemampuan dalam menganisis konteks historis-filosofis ayat, dan lain-lain adalah sekian poin dari aspek-aspek yang dibutuhkan bahkan yang dikuasai oleh penafsir sebelum memulai menafsirkan Al-Quran.

Baca Juga: Mengenal Tafsir Maqashidi: Penafsiran Berbasis Pendekatan Maqashid Syariah

Kembali pada pembahasan mengenai ide atau gagasan bagaimana cara menafsirkan Al-Quran, adalah Tafsir Maqashidi, suatu ide atau gagasan yang dikembangkan oleh Prof. Abdul Mustaqim, salah satu guru besar tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga untuk pengembangan cara menafsirkan Al-Qur’an di era kontemporer.

Berangkat dari khazanah turats ulama’, dan ta’lim al-sunnah an-nabawiyyah, penafsiran ini merupakan sikap moderasi agar tidak terkukung pada tekstual ayat, dan juga tidak berlebihan (menafikan teks) dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Sebelum lebih dalam membahas tafsir maqashidi, perlu dijelaskan di sini apa itu tafsir maqashidi. Secara bahasa, tafsir adalah penjelasan, sedangkan maqashidi adalah bentuk jama’ dari kata maqshud yang berarti tujuan. Sehingga secara bahasa yang dimaksud dengan tafsir maqashidi adalah tafsir yang bernuansa kemaksudan, dalam arti lain tafsir yang menekankan pada maksud ayat Al-Qur’an.

Adapun secara istilah, tafsir maqashidi adalah salah satu macam untuk menjelaskan Al-Qur’an dengan perspektif, corak, dan nuansa baru yang tidak berhenti pada penjelasan literal, hukum, namun hingga menyingkap pesan-pesan dan tujuan-tujuan di balik ayat Al-Qur’an dengan maksud untuk merealisasikan kemaslahatan dan menolak kerusakan.

Penafsiran ayat tentang pakaian dengan tafsir maqashidi

Sebagai contoh penerapannya adalah penafsiran pada ayat tentang pakaian sebagaimana berikut:

يَٰبَنِىٓ ءَادَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَٰرِى سَوْءَٰتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ ٱلتَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

Artinya: Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Qs. Al-A’raf: 26)

Pada ayat tersebut terdapat beberapa pesan maqashid di dalamnya. Pertama, berpakaian untuk menutup aurat, yang dimaksud dengan aurat di sini adalah keburukan yang ada dalam diri manusia. Sehingga pesan yang dibawa ayat ini adalah perintah agar manusia dapat menutup keburukannya, dan dapat menjaga kehormatannya.

Kedua, pakaian takwa itu lebih baik. Pakaian takwa di ayat tersebut yang dimaksudkan bukan pakaian takwa yang biasa dipakai oleh seseorang untuk shalat, namun yang dimaksud pakaian takwa dalam ayat tersebut adalah menyelimuti diri dengan dengan perilaku ketakwaaan dan nilai-nilai ketakwaan, atau jika dalam bahasa terkini adalah inner beauty.

Baca Juga: Pendekatan Maqashid dalam Penafsiran Al-Quran, Prof. Mustaqim: Tafsir itu Tidak Hanya On Paper

Masih berbicara tentang pakaian, dalam ayat lain yakni pada QS. Al-A’raf: 31, dijelaskan bahwa pakaian juga berfungsi sebagai cara untuk memperindah tampilan kita sebagai manusia. Selain itu dalam QS. Al-Nahl: 81 Al-Quran membicarakan fungsi lain berpakaian, yakni untuk melindungi manusia dari cuaca yang ekstrem, dan melindungi tubuh agar tidak terluka ketika terkena benda-benda tajam.

Maka jika ditarik pada konsep maqasidul islam, pesan dalam ayat-ayat tentang berpakaian tersebut membawa semangat hifdzun nafs, yakni menjaga diri agar tidak terkena hal-hal yang merugikan bagi diri manusia. Selain itu juga membawa semangat hifdzud din, yakni menjaga agama. Karena dengan kita berpakaian menutup aurat, maka pada saat itu juga kita melaksanakan perintah agama yang berupa kewajiban menutup aurat baik untuk laki-laki dan perempuan.

Setelah melihat penjelasan ayat-ayat tentang pakaian di atas, Allah ingin menunjukkan betapa perhatiannya Allah kepada umat manusia, bahwa apa yang difirmankan-Nya perihal berpakaian adalah untuk kemashlahatan umat manusia itu sendiri.

Wallahu A’lam

Tafsir Ahkam: Dalil Kewajiban Menutup Aurat dalam Al-Quran

0
surah Al-A'raf ayat 28/kewajiban menutup aurat
surah Al-A'raf ayat 28/kewajiban menutup aurat

Salah satu ajaran Islam yang diwajibkan oleh Allah agar dilaksanakan oleh hambanya adalah perihal menutup aurat. Syariat menutup aurat mendorong laki-laki dan perempuan untuk lebih memperhatikan lagi cara berpakaian mereka yang dahulunya terkesan “terbuka” dan telanjang, beralih ke cara berpakaian yang tertutup. Kewajiban menutup aurat dalam Al-Quran ini dilatar belakangi oleh kebiasaan beberapa orang Arab yang beribadah dengan telanjang atau menutup aurat sekenanya, sebagaimana disampaikan dalam tafsir surah Al-A’raf ayat 28.

Tujuan menutup aurat ini tidaklah semata-mata membatasi kebebasan manusia untuk berpakaian, tapi lebih kepada menjaga diri dari hal-hal yang mengurangi atau bahkan merusak kehormatan manusia itu sendiri, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Menutup aurat dalam salat juga identik dengan etika beribadah kepada Allah. Hal yang lain adalah tentang kerapian. Berikut penjelasan ulama’ tentang kewajiban menutup aurat dalam Al-Quran.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 59: Cadar dan Perdebatan yang Melelahkan

Perintah Menutup Aurat Di Dalam Al-Quran

Kewajiban menutup aurat dalam Al-Quran menurut para ulama berdasar pada surah Al-A’raf ayat 28:

وَاِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً قَالُوْا وَجَدْنَا عَلَيْهَآ اٰبَاۤءَنَا وَاللّٰهُ اَمَرَنَا بِهَاۗ قُلْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاۤءِۗ اَتَقُوْلُوْنَ عَلَى اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ٢٨

Apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami melakukan yang demikian dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kekejian. Pantaskah kamu mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui?” (QS. Al-A’raf [7]:28)

Imam Al-Alusi dalam tafsirnya menyatakan, lafad faahisyah maknanya adalah perbuatan buruk atau keji. Perbuatan keji yang dimaksud di dalam ayat di atas adalah prilaku menyembah berhala, membuka aurat saat tawaf dan selainnya (Tafsir Ruhul Ma’ani/6/150).

Ibn Katsir menyatakan, ayat di atas turun berkenaan kebiasaan kaum Arab selain suku Quraish, yang tidak suka tawaf atau berkeliling Ka’bah dengan memakai pakaian yag biasa mereka pakai. Mereka beranggapan pakaian itu adalah pakaian yang mereka pakai untuk mendurhakai Allah. Oleh karena itu, kalau ada yang memberi mereka pakaian atau mereka memiliki pakaian baru, mereka tawaf dengan pakaian itu. Bila tidak, maka mereka pun tawaf dengan telanjang.

Hal itu juga dilakukan oleh para perempuan dengan memberi sedikit penutup di alat kelamin mereka dan melakukan tawaf di malam hari. Mereka berkeyakinan, tindakan mereka itu berdasar mengikuti leluhur mereka, dimana leluhur mereka memperoleh cara itu dari Allah. Maka Allah menyanggah anggapan mereka itu degan ayat di atas (Tafsir Ibn Katsir/3/402).

Imam An-Nawawi menyatakan, ulama’ sepakat terhadap diwajibkannya menutup aurat. Dasar yang dipakai diataranya adalah surah Al-A’raf di atas, serta beberapa hadis Nabi yang salah satunya diriwayatkan dari sahabat Ali dan berbunyi:

« لاَ تُبْرِزْ فَخِذَكَ وَلاَ تَنْظُرَنَّ إِلَى فَخِذِ حَىٍّ وَلاَ مَيِّتٍ ».

Janganlah engkau mempertontonkan pahamu. Dan janganlah kalian para perempuan melihat paha orang yang hidup dan mati (HR. Abi Dawud)

Meski begitu, dalam kewajiban menutup aurat ada pengecualian pada saat-saat mendesak sebagaimana saat khitan. Selain itu, ada perbedaan di antara ulama’ mengenai kewajiban menutup aurat tatkala dalam keadaan sendiri. Ulama’ juga berbeda pendapat mengenai batas aurat yang wajib ditutup. Beberapa hal yang masih berbeda ini bisa dilihat dan dibaca penjelasannya dengan detail dalam kitab-kitab fikih beserta argumennya. (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/3/60).

Baca Juga: 7 Etika Yang Harus Diperhatikan Ketika Bergaul dengan Al-Quran

Hikmah Kewajiban Menutup Aurat

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili di dalam Tafsir Munir menyatakan, disyariatkannya menutup aurat merupakan salah satu kebaikan yang diberikan Islam kepada manusia. Syariat menutup aurat telah memuliakan manusia yang sebelumnya identik dengan pola hidup liar dan tak pantas, menuju kesopanan dan berkemajuan (Tafsir Munir/8/185).

Dari sini kita dapat memperoleh pemahaman bahwa menutup aurat hukumnnya wajib dalam Islam. Dan kewajiban ini sebenarnya tidak semata-mata sebuah bentuk tindakan menyembah Allah, tapi juga cara agar manusia memperoleh hidup yang mulia. Oleh karena itu, tidak sepatutnya manusia yang sebelumnya sudah terbiasa menutup aurat, justru berkeinginan untuk memakai pakaian yang membuka aurat hanya demi mengikuti trend semata. Sebab meski tampaknya trend tersebut adalah kemajuan, tapi hakikatnya ia justru kemunduran pada kebiasaan manusia sebelum datangnya Islam.

Wallahu a’lam bishshowab

Aplikasi Metode Hermeneutika Muhammed Arkoun pada Surah Al-Fatihah

0
Metode Hermeneutika Muhammed Arkoun pada Surah Al-Fatihah
Metode Hermeneutika Muhammed Arkoun pada Surah Al-Fatihah

Dalam khazanah hermeneutika Al-Quran, nama Muhammed Arkoun tentu menjadi salah satu yang pemikirannya wajib dibahas. Sarjana asal Aljazair ini, dengan berbekal pendidikan relijius-tradisionil sejak kecil dan juga binaan pendidikan tingginya di Barat mencoba melakukan hal yang seimbang. Metode hermeneutika yang ia cetuskan berusaha mencairkan kembali kebekuan pemahaman umat Islam dalam pembacaan wahyu Tuhan. Begitu pula, tawaran metodenya ini juga berupaya mengkritisi dominasi positivistik Barat, meski dengan meminjam teori-teori postmodern. Sebagai seorang intelektual pembaharu, Arkoun tidak hanya sebatas merumuskan sebuah konsep. Ia ternyata juga memberikan satu contoh pengaplikasian metodenya pada surah Al-Fatihah. Sebagaimana yang ia katakan pada karyanya Tarikhiyat al-Fikr al-‘Arabi al-Islami, dipilihanya surah Al-Fatihah ini karena menurutnya surah ini adalah saripati dari Al-Quran.

Baca juga: Mengenal Muhammad Arkoun serta Pemahamannya tentang Al-Quran

Metode Hermeneutika Muhammed Arkoun

Arkoun mengenyam pendidikan tinggi yang lama di Eropa, tepatnya Universitas Sorbonne Paris, Prancis. Hal itu pulalah yang kemudian mempengaruhi pemikiran Arkoun sebagaimana dalam pemikirannya nampak kuat adopsi teori semantik Ferdinand de Saussure atau antropologi Paul Ricoeur. Menurut Waryono Abdul Ghafur dalam buku Al-Quran dan Tafsiranya dalam Perspektif Arkoun, dalam Studi Al-Quran Kontemporer, setidaknya ada dua pendekatan yang Arkoun masukkan dalam bangunan metode hermeneutikanya untuk memahami wahyu teks Al-Quran.

Pertama, historis antropologis. Seluruh fenomena sosial-budaya menurut Arkoun bisa diketahui melalui perspektif historis. Namun, dalam mencari rentetan historis harus dibatasi kronologis dan fakta-fakta nyata. Arkoun menjadikan historisitas sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dengan konteks. Apabila metode ini diaplikasikan pada teks-teks agama, maka akan didapatkan makna-makna potensial yang sebenarnya bersemayam dalam teks itu. Menurut Arkoun, sebuah ungkapan bersifat cair dan menjadi beku dalam bentuk tulisan. Ini artinya, dalam teks sendiri sebenarnya memiliki makna jika diinterpretasikan.

Kedua, linguistik-semiotika. Dalam hal ini, Arkoun mengadopsi teori De Saussure tentang teori language, parole, dan lague. Dalam asumsi Arkoun, Al-Quran yang bisa diraih manusia hanya pada sisi lague dari wahyu. Adapun parole Tuhan, manusia tidak mampu menggapainya karena makna ungkapan hanyalah mutakallim sendiri yang memahami. Makna parole wahyu bersifat transenden dan tak terbatas (infinite). Atas dasar teori ini dihasilkanlah dua istilah oleh Arkoun, yaitu significant (penanda) dan signifie (petanda). Arkoun menyebutkan bahwa dalam wahyu yang sudah tertulis mushaf terdapat penanda dan berbagai petanda di dalamnya.

Baca juga: Ragam Makna Fitnah dalam Al-Quran yang Penting Diketahui

Pembacaan Arkoun pada Surah Al-Fatihah dengan Metode Hermeneutikanya

Dengan mengacu pada hermeneutika yang telah ia cetuskan, Arkoun mencoba mengaplikasikannya dengan memilih surah Al-Fatihah untuk ditafsirkan. Turunan dari pendekatan hermeneutika Arkoun menghasilkan sebuah pendekatan analisis linguistik-antropologis dengan tiga tahapan dalam pembacaan surah Al-Fatihah.

Pertama, tahap analisis linguistik-kritis. Tahap ini berupaya mengenalkan tanda-tanda bahasa dalam teks. Karena Al-Quran memakai bahsa Arab, maka yang perlu diketahui adalah tanda bahasa Arab. Pada tahap ini, Arkoun menganalisis unsur-unsur linguistik seperti determinan (isim ma’rifah), pronomina (kata ganti orang/dhamir), sistem kata kerja (fi’il), sistem kata benda (isim), struktur sintaksis, prosodi (persajakan/syair-menyair). Hasil dari langkah pertamanya ini adalah temuan empat leksis dan tujuh predikat yang bisa termuat dalam surah Al-Fatihah.

Leksis Predikat

بِسْمِ ٱللَّهِ

ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

ٱلْحَمْدُ

رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ

مَٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّينِ

صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ

وَلَا ٱلضَّآلِّينَ

Kedua, tahap analisis hubungan-kritis. Selesai dengan langkah pertama rasanya tidak cukup bagi Arkoun. Ada dominasi pembaca dan apa yang dibaca, dan gap tersebut ingin dijembatani Arkoun dengan cara kritis-hubungan (crelation-critique) melalui postulatisasi petanda akhir (signifie dernier). Pencarian petanda akhir tersebut menurut Arkoun dapat ditempuh dengan eksplorasi historis dan antropologis.

Eksplorasi historis-antropologis tersebut adalah mencari petanda akhir dengan mengetahui asbabun nuzul yang bisa didapatkan dari tafsir khazanah klasik. Tafsir khazanah klasik yang dirujuk Arkoun pada surah Al-Fatihah adalah tafsir Mafatih al-Ghayb anggitan Fakhruddin Ar-Razi. Dari tahapan kedua ini, ia memperkenalkan lima kode dalam teks yaitu kode linguistic, keagamaan, simbolis, budaya, dan anagosis.

Baca juga: Bismillāhirrahmānirrahīm, Belajar Cinta dan Kasih dari Basmalah

Ketiga, tahap mistis/simbolis. Untuk mengungkapkan berbagai simbol yang pernah hadir, kajian antropologi budaya Arab penting bagi Arkoun dalam menganalisis mistis. Analisis simbol tersebut diharapkan wacana Al-Fatihah tidak hanya sebagai wacana fonem saja, tetapi menjadi bahasa perfomatif.

Tujuan dari langkah Arkoun ini nampaknya adalah sebagai sebuah upaya penciptaan pemikiran Islam yang menggabungkan rasionalotas modern dan kritis di dunia Barat, serta angan-angan sosial di dunia Timur Tengah. Di samping menolak kebekuan (fringiditas) pemikiran dalam dunia Islam, sekaligus dimaksudkan untuk menolak dominasi posistivis dan scientis Barat.

Akhirnya, satu hasil telaah Arkoun pada surah Al-Fatihah dengan metode hermeneutikanya menuai inti sebagai berikut. “Alhamdulillahi Robbil ‘Alamini” menunjukkan kecenderungan pada keilmuan dasar seperti ontologis dan metodologis pengetahuan. Maaliki yamiddin” perihal ekskatologi. “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” bermakna peribadatan. “Ihdinash shiratal mustaqim” berbicara masalah etika. “Alladzina an’amta ‘alaihim” membicarakan ilmu kenabian. Kemudian, “ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladhdhallin” mencakup masalah sejarah, spiritual kemanusiaan, tema-tema simbolis orang-orang yang buruk (kejahatan) yang diuraikan dalam kisah-kisah terdahulu. Wallahu a’lam[]

Ragam Makna Fitnah dalam Al-Quran yang Penting Diketahui

0
Makna fitrah dalam Al-Quran
Makna fitrah dalam Al-Quran

Fitnah adalah kata yang familier didengar oleh masyarakat Indonesia. Kata ini diserap dari bahasa arab fitnatun yang memiliki banyak arti sesuai konteks kalimat, di antaranya: bencana, cobaan, ujian dan siksaan. Namun harus diketahui bahwa makna fitnah dalam bahasa Indonesia berbeda dengan makna fitnah dalam Al-Quran dan bahasa Arab.

Dalam KBBI, makna fitnah ialah suatu perkataan bohong atau tanpa dasar kebenarannya yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang, seperti pencemaran nama baik atau dalam bentuk kehormatan lainnya. Hal senada juga dikemukakan oleh Abdul Mudjib. Ia menyatakan bahwa fitnah adalah menyiarkan berita tanpa dasar kebenaran, yang hakikatnya hendak merugikan orang lain.

Sedangkan makna fitnah dalam bahasa arab adalah cobaan dan ujian (fatana). Ibnu Manzur dalam Lisan al-‘Arabi menyebutkan bahwa makna fitnah di antaranya adalah al-ibtila (bala), al-imtihan (ujian), dan al-iktibar (cobaan). Asal kata fitnah ialah fatantu al-fiddah wa al-dzahab, yakni membakar perak dan emas dengan api untuk memisahkan antara yang palsu dan yang asli.

Baca juga: Ini Makna Fitnah Lebih Kejam daripada Pembunuhan Menurut Mufassir

Kata fitnah dan derivasinya disebutkan sebanyak 60 kali dalam Al-Quran yang tersebar pada 32 surah, mulai dari surah al-Baqarah hingga surah al-Buruj. Dari ayat-ayat tersebut, Al-Quran menggunakan beberapa bentuk kata fitnah, yakni: fitnah, fatannā, lā yaftinannakum, yaftinahum, futinū, layaftinūnaka, futūnan, futintum, linaftinahum, tuftanūn, la yuftanūn, bifātinīn, yuftanūn, maftūn, linaftinahum dan fatanū (Mu‘jam Mufradāt Alfāz al-Qurān).

Banyaknya penyebutan istilah fitnah menggambarkan kepada kita bahwa persoalan ini merupakan salah satu tema sentral Al-Quran atau setidaknya penting untuk dibicarakan secara intensif. Yang harus diperhatikan dari keragaman penyebutan tersebut adalah perbedaan makna fitnah yang terkandung pada setiap ayat sesuai dengan konteks kalimat.

Dari sekian banyak ayat-ayat yang berbicara mengenai fitnah, setidaknya ada lima makna fitnah dalam Al-Quran yang dapat penulis sampaikan, yaitu:

  1. Fitnah dalam arti azab

Makna fitnah dalam Al-Quran yang pertama adalah azab atau siksa. Hal ini disebutkan dalam surah az-Zariyat [51] ayat 13-14 yang berbunyi:

يَوْمَ هُمْ عَلَى النَّارِ يُفْتَنُوْنَ ١٣ ذُوْقُوْا فِتْنَتَكُمْۗ هٰذَا الَّذِيْ كُنْتُمْ بِهٖ تَسْتَعْجِلُوْنَ ١٤

(Hari pembalasan itu ialah) pada hari (ketika) mereka diazab di dalam api neraka. (Dikatakan kepada mereka), “Rasakanlah azabmu ini. Inilah azab yang dahulu kamu minta agar disegerakan.” (QS. Az-Zariyat [51] ayat 13-14)

Menurut al-Sa’adi dalam kitab, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, makna fitnah pada ayat ini adalah azab neraka. Hal serupa disampaikan oleh al-Maraghi dalam kitabnya, Tafsir al-Maraghi. Menurutnya, di akhirat kelak malaikat penjaga neraka akan berkata kepada penghuninya dengan ejekan, “Rasakanlah azabmu ini. Inilah azab yang dahulu kamu minta agar disegerakan.”

Baca juga: Agar Terhindar dari Fitnah Dajjal? Baca Surah Al Kahfi

  1. Fitnah dalam arti mendatangkan cobaan (menyiksa)

Makna fitnah dalam Al-Quran yang kedua adalah mendatangkan cobaan (menyiksa) atau mendatangkan bencana seperti membunuh. Hal ini disebutkan dalam surah al-Buruj [85] ayat 10 yang berbunyi:

اِنَّ الَّذِيْنَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوْبُوْا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيْقِۗ ١٠

Sungguh, orang-orang yang mendatangkan cobaan (bencana, membunuh, menyiksa) kepada orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan lalu mereka tidak bertobat, maka mereka akan mendapat azab Jahanam dan mereka akan mendapat azab (neraka) yang membakar.” (QS. Al-Buruj [85] ayat 10).

Secara umum, ayat ini memberitahukan bahwa Allah swt memberikan ancaman kepada orang-orang yang sering menganiaya kaum muslimin. Mereka yang suka menyiksa ini – baik laki-laki maupun perempuan – dan tidak pula bertobat atas kesalahan tersebut dengan meminta ampun kepada Allah serta meminta maaf kepada korban, maka Allah swt akan memasukkan mereka ke dalam api neraka (Tafsir al-Maraghi).

  1. Fitnah dalam arti ujian

Makna fitnah dalam Al-Quran yang ketiga adalah cobaan atau ujian. Hal ini telah disebutkan oleh Al-Quran dalam surah al-Anfal [8] ayat 28 yang berbunyi:

وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ ࣖ ٢٨

Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal [8] ayat 28).

Berkenaan dengan ayat di atas, az-Zamakhsyari menjelaskan bahwa harta benda dan keturunan dikategorikan sebagai fitnah (fitnatun), karena mereka – sering kali – menjadi penyebab terjerumusnya seseorang ke dalam dosa, yakni mengkhianati amanah yang diperintahkan pada ayat sebelumnya. Dengan demikian, dalam konteks ini fitnah memiliki makna ujian atau cobaan bagi manusia (Tafsir al-kasysyaf).

Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat Penyakit Hati Manusia

Pandangan serupa disampaikan oleh al-Sa’adi. Menurutnya, makna fitnah pada ayat ini adalah cobaan atau ujian. Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka dapat dipahami surah al-Anfal [8] ayat 28 menjelaskan bahwa harta dan anak-anak adalah salah satu cobaan atau ujian bagi seseorang dalam menunaikan amanah. Karena itu, ia harus benar-benar berhati-hati dalam menjalankan amanah.

  1. Fitnah dalam arti penipuan, kesesatan atau penyimpangan

Makna fitnah dalam Al-Quran yang keempat adalah penipuan, kesesatan atau penyimpangan. Hal ini disebutkan oleh Al-Quran dalam surah al-A’raf [7] ayat 27 yang berbunyi:

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ ٢٧

Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. al-A’raf [7] ayat 27).

  1. Fitnah dalam arti bencana

Makna fitnah dalam Al-Quran yang kelima adalah syirik. Hal ini telah disebutkan dalam surah al-Maidah [5] ayat 71 yang berbunyi:

وَحَسِبُوْٓا اَلَّا تَكُوْنَ فِتْنَةٌ فَعَمُوْا وَصَمُّوْا ثُمَّ تَابَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ عَمُوْا وَصَمُّوْا كَثِيْرٌ مِّنْهُمْۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَ ٧١

Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi bencana apa pun (terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), karena itu mereka menjadi buta dan tuli, kemudian Allah menerima tobat mereka, lalu banyak di antara mereka buta dan tuli. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Maidah [5] ayat 71).

Menurut Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya, Tafsir Marah Labid, makna fitnah dalam surah al-Maidah [5] ayat 71 adalah bencana. Ayat ini berbicara tentang bani Israil yang mengira bahwa mereka tidak akan ditimpa bencana atas perbuatan jahat yang mereka lakukan, yakni membunuh para nabi dengan keji dan mendustakan ajarannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa makna fitnah dalam Al-Quran tidaklah tunggal, tetapi bervariatif sesuai konteks kalimat di mana ia berada. Meskipun demikian, mengutip Toshihiko Izutsu, setiap kata Al-Quran – dalam konteks ini fitnah – memiliki makna denotatif atau makna dasar yang melekat padanya sekalipun dibawa pada konteks berbeda. Wallahu a’lam.