Beranda blog Halaman 363

Kitab al-Tafsir al-Maqashidi Karya Abdul Mustaqim: Hifz Al-Din dalam Kehidupan Keberagamaan yang Multikultural

0
Kitab al-Tafsir al-Maqashidi Karya Abdul Mustaqim
Kitab al-Tafsir al-Maqashidi Karya Abdul Mustaqim

Abdul Mustaqim merupakan salah satu guru besar Tafsir al-Qur’an kenamaan di Indonesia. Ia juga salah satu sarjanawan al-Qur’an yang aktif menyuarakan moderasi dan perdamaian sebagai karakteristik Islam sebagai agama. Dalam salah satu karya terbarunya, al-Tafsir al-Maqashidi, ia menuliskan satu bagian pembahasan khusus yang menguraikan penafsiran ideal dari salah satu maqashid al-syari’ah yakni hifz al-din dalam kehidupan keberagamaan yang multikultural.

Mengawali pembahasan ini, Mustaqim menegaskan bahwa hifz al-din atau menjaga eksistensi Islam sebagai agama, salah satunya diwujudkan memperlihatkan Islam sebagai agama yang pro-aktif dalam menjaga keberlangsungan kehidupan beragama yang damai. Serta bukan malah memperlihatkan Islam sebagai dalang dari terjadinya konflik kehidupan beragama di tengah masyarakat.

Baca juga: Merawat Nilai-nilai Kebangsaan dalam Tafsir Lisan M. Quraish Shihab

Maka menurutnya, kedua hal tersebut hanya akan diperoleh jika berpedoman pada perintah Allah bahwa umat Islam harus menjunjung toleransi dan menjalin interaksi yang baik kepada non-muslim. Hal ini sebagaimana tertuang dan diisyaratkan dalam Q.S. al-Mumtahanah ayat 8:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

Selanjutnya, Mustaqim menjelaskan bahwa umat Islam juga harus menyadari dan memahami bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Pemahaman ini akan memudahkan umat Islam dalam menerapkan toleransi dan menjalin interaksi yang baik kepada kawan yang berbeda. Selain itu, pemahaman ini juga akan membimbing umat Islam untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan mencederai kehidupan beragama seperti memaksakan agama pada orang lain maupun menghina agama lain.

Sebab dalam al-Qur’an, Allah sendiri telah menegaskan bahwa Dia-lah yang mentakdirkan adanya perbedaan. Maka memaksa orang lain memeluk Islam maupun menghina agama lain bukanlah ajaran Islam. Sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Baqarah: 256; Q.S. Yunus: 99; Q.S.  Hud: 118: Q.S. al-An’am: 108.

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَّكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقٰى لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗوَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلَا يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَۙ

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat)

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.

Mustaqim pun memberikan penafsiran lanjutan, bahwa maknanya ialah Islam merupakan ajaran agama yang menjunjung kebebasan beragama dan menghormati ajaran agama lainnya. Sebab keberagamaan yang hakiki ialah keberagamaan yang dihasilkan oleh kesadaran batin yang murni dan tidak melalui paksaan. Menurutnya, pemaksaan dalam beragama justru akan menimbulkan kebencian (al-ikrah tatawaladu minhu al-karahiyah).

Baca juga: Bismillāhirrahmānirrahīm, Belajar Cinta dan Kasih dari Basmalah

Oleh sebab itu, menurutnya, tidak ada alasan bagi umat Islam untuk memaksakan kepercayaan kepada orang lain melalui cara apapun. Umat Islam hanya diperkenankan mengajak dan mengenalkan Islam dengan cara yang baik dan santun sebagaimana tertuang dalam Q.S. al-Nahl: 125. Selanjutnya, umat Islam juga tidak memiliki alasan untuk menghina agama lain. Sebab realita kehidupan umat manusia tidak hanya heterogen dari sisi warna kulit, bahasa dan ras/ bangsa namun juga agama.

3 model interaksi ideal sebagai bentuk Hifz al-din di tengah kehidupan beragama yang multikultural

Abdul Mustaqim juga memberikan model interaksi ideal yang harus diterapkan umat Islam sebagai bentuk hifz al-din di tengah kehidupan beragama yang multikultural, yang penulis klasifikasikan kepada tiga poin penting. Pertama, memperlihatkan bahwa Islam mengajarkan untuk menyikapi perbedaan agama dengan akhlak yang mulia, penghormatan serta toleransi dan tidak mencampuri dalam urusan akidah. Hal ini penting sebagai bentuk representasi kualitas keagamaan seseorang, sebab tidak ada agama bagi yang orang yang tidak berakhlak.

Baca juga: Surah Al-Anam Ayat 153, Menyusuri Jalan Menuju Kebahagiaan

Kedua, membawa masyarakat dari perbedaan kepada keselarasan (min al-ikhtilaf ila al-i’tilaf), dari perpecahan menuju persatuan (min al-furqah ila al-wahdah) dan dari permusuhan menjadi persaudaraan (min al-‘adawah ila al-ukhuwah). Artinya umat Islam dituntut untuk mampu menemukan kalimatun sawa’ (common platform) yang mampu menjadi benang pengikat hubungan kemanusiaan di tengah keniscayaan perbedaan, sehingga mampu menjadi penjaga bagi keberlangsungan kehidupan yang harmonis dan damai di tengah masyarakat.

Ketiga, mengkoversi dan memperbaharui pemahaman beragama dari “din al-la’nah” menjadi “din al-samahah”, dari “din al-irhab” menjadi “din al-rahmah”. Maknanya, umat Islam harus segera membenahi pemahaman beragamanya menuju pemahaman yang ideal. Sebab penyakit radikalisme telah menggiring umat memahami Islam sebagai din al-la’nah atau agama yang senang mengutuk dan mendiskreditkan agama lain. Serta bahkan dapat bertransformasi menjadi din al-irhab atau agama yang seakan merestui aksi-aksi kekerasan dan teror terhadap yang berbeda secara keyakinan.

Pemahaman semacam itu harus diubah menjadi din al-samahah dan din al-rahmah. Maknanya umat Islam harus memahami ajaran fundamental Islam yang menjunjung tinggi toleransi serta kasih sayang sebab hal itu justru menjadi salah satu faktor yang menjaga eksistensi Islam sebagai agama.

Terakhir tema pembahasan semacam ini, menurut hemat penulis, sangat perlu diangkat sebagai respon terhadap fenomena radikalisme dan terorisme yang kembali eksis di Indonesia. Sebab fenomena tersebut seakan menjadi bukti bahwa masih banyak umat Islam khususnya di Indonesia yang telah terpapar dan terjangkit virus pemahaman agama yang ekstrem. Mereka yang telah tercuci otaknya bahkan tidak segan untuk merusak tatanan perdamaian dan mencoreng citra serta meruntuhkan eksistensi Islam sebagai agama yang menjunjung perdamaian. Wallahu a’lam.

 

Merawat Nilai-nilai Kebangsaan dalam Tafsir Lisan M. Quraish Shihab

0
Tafsir Lisan
Tafsir Lisan M. Quraish Shihab

Penafsiran Al-Qur’an terkait isu-isu kebangsaan bukan hanya menarik dibahas, tetapi juga sangat penting dilakukan, terutama dalam menunjukkan kepedulian terhadap kehidupan berbangsa, bernegara, dan beragama. Di sini, M. Quraish Shihab menjadi ahli tafsir sekaligus ulama terkemuka Indonesia yang melakukan tafsir kebangsaan tersebut.

Penafsiran M. Quraish Shihab saya peroleh dari diskusi “Tafsir Kebangsaan Quraish Shihab” oleh Abdul Qahar dan M. Quraish Shihab dalam kanal youtube @medcomid yang dipublikasikan pada 06 Juni 2019. Bentuk penafsirannya adalah tafsir lisan, yang mengindikasikan adanya kekhasan tersendiri dalam penafsiran M. Quraish Shihab.

Di sini, saya akan menggunakan unsur-unsur tafsir lisan berupa penafsir, pendengar tafsir, teks tafsir, dan konteks tafsir, dalam memahami nilai-nilai kebangsaan melalui penafsiran M. Quraish Shihab. Sehingga, tulisan ini akan menunjukkan sejauhmana penafsiran M. Quraish Shihab dapat dirasakan dan diambil dalam rangka membangun dan merawat semangat kebangsaan di Indonesia.

Sekilas tentang M. Quraish Shihab dan Tafsir Lisan

Quraish Shihab adalah ulama tafsir terkemuka kelahiran Bugis, ia lahir pada 16 Februari 1944, di Rappang, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Keberadaannya di Indonesia menjadi kebangaan tersendiri bagi bangsa Indonesia, sebab ia banyak memberi sumbangsih besar pada Islam di Indonesia. Bahkan termasuk 500 muslim yang paling berpengaruh di dunia. Tidak heran jika ia ditempatkan sebagai muslim moderat yang banyak dirujuk oleh berbagai kalangan Islam dan non-Islam.

Baca Juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang

Ada sangat banyak karya M. Quraish Shihab, baik yang tertulis maupun dalam bentuk lisan. Tidak jarang karya tulisnya disampaikan kembali dalam bentuk lisan, atau sebaliknya. Kitab Tafsir Al-Misbah misalnya, karya fenomenal M. Quraish Shihab, awalnya ditulis sejak tahun 2002 yang kemudian disampaikan dalam bentuk lisan sejak tahun 2004 pada “Kajian Tafsir Al-Misbah”. Selain “Kajian Tafsir Al-Misbah”, tafsir lisan M. Quraish Shihab juga dapat dilihat dalam acara “Lentera Hati”.

Masih sangat banyak fakta yang menunjukkan M. Quraish Shihab aktif menyampaikan tafsir Al-Qur’an dalam bentuk lisan, baik yang terekam di televisi, media sosial maupun yang tidak. Ini menunjukkan bahwa tradisi penafsiran Al-Qur’an tidak hanya bermuara pada tulisan semata, tetapi juga lisan. Bahkan, tradisi tafsir lisan muncul lebih dahulu daripada tafsir tulis, sebagaimana pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa ada beberapa komponen dalam tafsir lisan. Dalam konteks ini, dapat dipetakan bahwa M. Quraish Shihab sebagai penafsir, masyarakat Indonesia sebagai pendengar tafsir, isu kebangsaan sebagai teks tafsir, dan maraknya ketimpangan sosial dalam berbangsa dan beragama di Indonesia, terutama setalah 2019, sebagai konteks tafsir.

Isu Kebangsaan dalam Penafsiran M. Quraish Shihab

Dalam tafsir lisannya, yang berlangsung kurang lebih 40 menit, ada beberapa isu kebangsaan yang menjadi perhatian M. Quraish Shihab yang penting diangkat di sini. Pertama, persatuan Indonesia. Kedua, moderasi beragama. Ketiga, pengorbanan jiwa raga untuk bangsa. Keempat, optimis dalam kebaikan. Kelima, silaturrahmi. Keenam, mendahulukan kemanusiaan daripada keberagamaan. Dan ketuju, bijak dalam perbedaan.

Mengenai persatuan Indonesia, M. Quraish Shihab menekankan tentang pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga, sekecil apapun jika ada pihak yang berupaya melakukan sesuatu yang mengarah pada perpecahan, harus segera dicegah. Karena itu, setiap pandangan warga Negara Indonesia, siapapun itu, harus tertuju kepada persatuan Indonesia.

Mengenai moderasi beragama, adanya wacana moderasi beragama yang tersebar di Indonesia dinilai belum cukup oleh M. Quraish Shihab. Hal ini disebabkan beberapa faktor: (1) penggunaan media sosial yang kerapkali kurang mendukung, (2) masyarakat yang tidak memahami agama dengan baik, (3) adanya orang-orang yang menggunakan agama untuk tujuan tidak baik dan tidak dibenarkan oleh agama.

Padahal, semua ini bertentangan dengan agama. Misalnya, larangan agama (Al-Qur’an) untuk memanggil kepada orang lain dengan panggilan yang buruk seperti ‘kampret’, ‘cebong’ dan lainnya (Quraish Shihab, 2019). Larangan ini juga dipegang oleh penafsir lainnya seperti Ibn Katsir dalam Tafsîr Al-Qur’an Al-’Azhim (1999) dan lainnya. Pemahaman larangan tersebut ia rujuk kepada QS. Al-Hujurat [49]: 11.

Mengenai pengorbanan jiwa raga untuk bangsa, M. Quraish Shihab menilai perlu meneladani para pahlawan Indonesia dahulu. Ia mengatakan bahwa saat ini pengorbanan jiwa dan raga tersebut, minimal, dilakukan dengan mengorbakan perasaan. Dalam artian, menepis perasaan menganggap diri sendiri yang benar, ini demi menjaga kesatuan bangsa. Hal seperti ini merupakan upaya berlomba-lomba dalam kebaikan, sebagaimana dipahami M. Quraish Shihab terhadap QS. Al-Baqarah [2]: 148.

Mengenai optimis dalam kebaikan, M. Quraish Shihab mengajak untuk meneladani para Nabi yang optimis dan bersabar dalam dakwahnya. Saat yang sama, M. Quraish Shihab menggaris bawahi perlunya mendahulukan upaya menghindari keburukan daripada melakukan kebaikan. Hal ini sebagaimana yang ditentukan oleh para ulama agama.

Mengenai silaturrahmi, M. Quraish Shihab memaknainya secara luas, yaitu sambung rasa dan sambung kasih. Untuk mencapai kesempurnaan silaturrahmi tersebut, ia mengatakan bahwa bukan dengan mencari yang tersambung, tetapi mencari yang putus lalu disambungkan. Sehingga yang dimaksud bersilaturrahmi adalah mencari orang-orang yang hubungannya pernah terputus atau renggang, lalu memperbaikinya.

Mengenai mendahulukan kemanusiaan daripada keberagamaan, M. Quraish Shihab menilai bahwa untuk menjaga hubungan, Islam senantiasa mendahulukan kemanusiaan daripada keberagamaan. Hal ini sebagaimana sejarah Nabi Muhammad SAW yang rela tidak melaksanakan umrah demi mencapai kedamaian bersama musuh-musuhnya. Selain itu, Nabi Muhammad SAW bersedia menghapus bacaan Basmalah demi mencapai kedamaian dalam perjanjian Hudaibiyah.

Mengenai bijak dalam perbedaan, M. Quraish Shihab merujuk QS. Saba’ [34]: 50 yang dipahaminya dengan “boleh jadi Saya yang benar, Anda yang salah. Boleh jadi Anda yang benar, Saya yang salah”. Karena itu, perbedaan tidak untuk dipermasalahkan. Dalam rangka membangun bangsa, umat manusia dari agama manapun mesti berlomba-lomba dalam kebaikan tanpa mempersoalan perbedaan cara yang ditempuinya.

Baca Juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Berbagai paparan di atas memberi pemahaman bahwa tafsir atas isu-isu kebangsaan oleh M. Quraish Shihab bermuara pada upaya membangun bangsa menjadi lebih baik. Ada kegelisahan M. Quraish Shihab menyaksikan keadaan berbangsa dan beragama, yang kemudian ia dialogkan dengan ajaran Islam, baik disarikan dari Al-Qur’an maupun kisah para Nabi. Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh konteks Indonesia yang tengah dialaminya terhadap penafsirannya.

Dengan demikian, adanya tafsir lisan tentang kebangsaan M. Quraish Shihab mengajarkan pada kita tentang kesadaran atas persoalan-persoalan dalam kehidupan ini, terutama ketika hendak menafsirkan ajaran agama (termasuk Al-Qur’an) yang terkait dengan isu kebangsaan. Hal ini bertujuan membangun dan mengembangkan kehidupan beragama dan berbangsa yang harmonis, terutama sebagai penafsir Al-Qur’an. []Wallahu A’lam.

Mengenal Metode Tarjih dalam Penafsiran Al-Quran

0
Metode tarjih dalam penafsiran Al-Quran
Metode tarjih dalam penafsiran Al-Quran

Seiring dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui isi kandungan di dalam Al-Quran, tafsir terus berkembang baik dari ulama klasik maupun ulama khalaf. Berbagai karya tafsir memiliki ragam bentuk, corak dan metode disesuaikan oleh pengarang dan perkembangan zamannya. Salah satu metode tafsir Al-Quran ialah metode tarjih.

Tarjih penafsiran Al-Quran

Berbagai metode penafsiran terus berkembang, melahirkan konsep tarjih karena adanya perbedaan penafsiran yang saling kontradiktif. Maka di dalam menguatkan penafsiran yang sangat shahih dari banyaknya fatwa para ulama atau mufassir, perlulah diadakannya langkah tarjih dalam menyikapinya.

Kata tarjih secara etimologi berasal dari lafadz bahasa Arab rajjaha-yurajjihu-tarjihan yang berarti mengunggulkan. Sementara asy-Syaukani menuturkan, tarjih mempunyai arti menetapkan sesuatu lebih menang pada sesuatu yang lain yang saling berhadapan, atau menjadikan sesuatu menjadi menang karena mempunyai keunggulan di banding lainnya. (Asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul Ila Tahqiqi al-Haqq min ‘Ilm al-Usul, hlm.350)

Baca juga: Menelisik Tafsir Falsafi (2), Karakteristik, Metode dan Sumber Penafsiran

Dapat disimpulkan bahwa tarjih secara etimologi berarti kecondongan atau pengunggulan, dan secara terminologi berarti menguatkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat dalam penafsiran ayat, karena ada dalil atau kaidah yang dapat menguatkannya atau karena penolakan atau pelemahan terhadap selainnya.

Jika ditilik dari akar kata tarjih berdekatan dengan kata ikhtilaf sebagaimana berarti dua perkara yang berselisih atau berbeda, (Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, hlm.90) karena setiap sesuatu yang berlawanan adalah berselisih, namun tidak setiap sesuatu yang berselisih adalah berlawanan.

Perbedaan penafsiran suatu ayat tidak terlepas dari empat hal, pertama, semua pendapat penafsiran kemungkinan terkandung dalam ayat, dan tidak ada indikator yang menunjukkan bahwa salah satu pendapat lebih rajih dibanding dengan yang lainnya.

Baca juga: Mengenal Sahiron Syamsuddin, Pelopor Kajian Hermeneutika Tafsir di Indonesia

Kedua, pendapat-pendapat yang saling kontradiktif tidak memugkinkan untuk menafsirkan secara bersamaan. Ketiga, pendapat-pendapat tidak saling kontradiktif, akan tetapi sebagaian kontradiktif dengan makna ayat-ayat Al-Quran atau kontradiktif dengan nas-nas shahih dari sunnah maupun ijma’.

Keempat, pendapat-pendapat yang berbeda tentang suatu ayat tidak ada kontradiksi di dalamnya, baik kontradiksi dengan sebagian lainnya atau dengan ayat-ayat, hadis dan ijma’, tetapi sebagian pendapat lebih utama dari sebagian lainnya.

Oleh karena itu, perlu adanya aspek yang diperhatikan. Aspek pentarjihan yang perlu difokuskan di antaranya, yaitu tarjih dengan nazair Al-Quran, dengan sunnah, dengan asbab an-nuzul, dengan qiraat, dengan zahir Al-Quran, dengan siyaq ayat, dengan naskh mansukh, maupun tata Bahasa. (As-Syaukani, Fath al-Qadir, Vol.2)

Dalam kesempatan ini pada metode penafsirannya pun beragam dapat menggunakan metode tahlili, sebagaimana sesuai aspek yang dipaparkan. Bahwa, aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan bisa mengunakan pengertian kosa kata, konotasi, dan asbab an-nuzul.

Baca juga: Memahami Definisi dan Pertanyaan-Pertanyaan Lain Soal Asbabun Nuzul

Selain mengunkan tahlili, dapat menggunakan metode muqaran. Mengkomparasikan berbagai macam penafsiran dengan memuat penapat-penadapat para mufassir secara detail. Tak luput dari itu dengan memperhatikan aspek-aspek tarjih tersebut, sehingga mendapatkan penafsiran yang komperhensif.

Macam-macam tarjih dalam Ilmu Tafsir

Dalam menyuguhkan berbagai penafsirannya, para mufassir memiliki gaya yang berbeda-beda, dan perbedaan tersebut memberikan warna dalam berrbagai macam warna karya tafsir terlebih dalam menggunakan metode tarjih, diantaranya:

  1. Menyuguhkan pendapat dan memilih pendapat yang paling unggul.
  2. Menyuguhkan beberapa pendapat dengan memaparkan pendapat tetapi tidak memberikan alasan mengapa pendapat tersebut digunakan.
  3. Menyuguhkan beberapa pendapat dengan memaparkan pendapat dan memberikan alasan mengapa pendapat tersebut digunakan.

Contoh metode tarjih dalam penafsiran

Metode tarjih yang digunakan dalam aspek Qiraah seperti halnya Qiraah يشهد الله terdapat dalam QS. al-Baqarah: 204

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّعْجِبُكَ قَوْلُهٗ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّٰهَ عَلٰى مَا فِيْ قَلْبِهٖ ۙ وَهُوَ اَلَدُّ الْخِصَامِ

Pada penggalan ayat tersebut, seperti yang dipaparkan oleh seorang mufassir asy-Syaukani, terdapat bacaan-bacaan menurut berbagai pendapat ulama. Berikut ini pemaparannya:

1) ويَشْهَدِاللهُ (Fathah huruf mudara’ah dan dammah pada lafadz Allah sebagai fa’il), merupakan bacaan Ibnu Muhaisin, mempunyai arti: Allah mengetahui darinya kebalikan dari apa yang dikatakannya.

2) Ibnu Abbas membacanya يَشْهَدُاللهُ mempunyai arti, Allah menyaksikan atas apa yang ada di dalam hatinya.

3) Ubai bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud membaca ويَسْتشْهِدُ. Kemudian dari bacaan-bacaan tersebut mentarjih dengan mengatakan, bacaan mayoritas ahli qiraah dengan .وَيُشْهِدُ اللهَ  (As-Syaukani, Fath al-Qadir, Vol.1)

Baca juga: Macam-Macam Khawatimus Suwar dalam Ulumul Qur’an

Sebagai bentuk ikhtiar para mufassir dengan perkembangan zaman, maka berbagai tuntutan ikut mewarnai perkembangan penafsiran dan suatu metode tarjih ini merupakan bentuk ikhtiar baru di dalam kancah penafsiran dengan menghadirkan tafsir yang paling unggul dalam artian bukan perspektif sebagai kepribadian semata.

Wallahu’alam.

Bismillāhirrahmānirrahīm, Belajar Cinta dan Kasih dari Basmalah

0
Cinta dan Kasih
Cinta dan Kasih

Bismillāhirrahmānirrahīm.

Basmalah adalah kalimat populer yang sudah sangat dekat dengan kita sebagai Muslim. Setiap Muslim tentu menghapal dan sering melafalkannya. Namun, apakah ruh basmalah sudah melekat di dalam perilaku kita sehari-hari? Sebentar, memangnya apa sih ruh basmalah itu? Berikut uraiannya.

Ruh Basmalah

Nabi bersabda, “Setiap perbuatan yang tidak dimulai dengan ‘bismillāhirrahmānirrahīm’, maka ia terputus.” (HR, Abu Dawud No. 4840). Hadis ini mengisyaratkan, bahwa basmalah memiliki ruh keutamaan, sehingga dengannya segala perbuatan menjadi mulia dan tidak terputus dari rahmat Allah.

Baca Juga: Makna Ar-Rahman dan Ar-Rahim dalam Lafaz Basmalah

Dengan mencermati redaksi dan nama Allah di dalamnya, dengan mudah kita akan menangkap ruh dari basmalah. Pertama, redaksi basmalah diawali dengan huruf ba’ (dibaca bi) yang berarti dengan, mengandung satu kalimat yang tidak disebutkan, yaitu “memulai”.

Dengan demikian, bismillāh bermakna “Saya atau Kami memulai apa yang kami kerjakan dengan nama Allah.” Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Quraish Shihab. “Tafsir al-Misbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, (juz 1, hal 12)”.

Kemudian, yang kedua, mari kita cermati nama Allah dalam basmalah. Masyhur diketahui, Allah memiliki banyak sekali nama. Ada yang menyebutkan 99 dan dikenal dengan asmā’ al-husnā. Lalu, mengapa yang tampil hanya dua nama; ar-Rahmān dan ar-Rahīm saja, padahal Allah mempunyai segudang nama?

Boleh jadi, maknanya adalah Allah ingin dikenal hambanya dengan sebutan ar-Rahmān (Sang Pengasih) dan ar-Rahīm (Sang Penyayang) dibandingkan dengan nama-nama lainnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 110:

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ

Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asmā’ al-husnā (nama-nama yang terbaik)”

Selain itu, kedua nama tersebut adalah yang paling dominan. Sehingga rahmat dan kasih sayang-Nya meliputi segala sesuatu, bahkan menjadi asas dari pengutusan Nabi Muhammad. Sebagaimana disebutkan dalam dua ayat berikut:

وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ

“Dan Rahmat-Ku mencakup segala sesuatu.” (Q.S al-A’raf: 156.)

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (Q:S al-Anbiya’ 107)

Rentetan penjelasan di atas, menunjukkan dengan jelas bahwa ruh dari basmalah adalah cinta dan kasih. Selanjutnya, kita akan melihat apa makna dan implikasi dari cinta dan kasih dalam basmalah yang bisa kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Cinta dan Kasih

Secara bahasa, ar-Rahmān dan ar-Rahīm berasal dari satu akar kata, yaitu rahmah. Akan tetapi, keduanya memiliki perbedaan. Dalam tafsirnya, Zamakhsyarī menjelaskan bahwa kata ar-Rahmān adalah bentuk mubālaghah yang mengandung arti memperbanyak. Sementara ar-Rahīm, berbentuk sifah musabbahah bilfi’il yang memberi arti tetap dan langgeng. Jadi, ar-Rahmān mencakup di dunia dan akhirat, sementara ar-Rahīm hanya di dunia. “Al-Kasyāf, (juz 1, hal 6)”.

Selain itu, Makārim Shirāzī juga menambahkan, bahwa ar-Rahmān menunjukan cinta Allah yang umum dan meluas; mencakup seluruh makhluk baik yang mukmin ataupun yang kafir. Adapun ar-Rahīm adalah cinta Allah yang khusus dan mendalam, hanya diperuntukkan bagi mereka yang beriman. “Al-amthal fī tafsīr kitābillah al-munzal, (juz 1, hal 30).

Dengan demikian, rasa cinta dan kasih adalah perpaduan yang indah dalam kalimat basmalah. Cinta mewakili kasih sayang yang meluas kepada siapapun, sementara Kasih mewakili kasih sayang yang mendalam.

Kesadaran Cinta Kasih

Sebelumnya dijelaskan, sebagaimana Allah senang disebut dengan Maha Pengasih dan Maha Penyayang, maka terdapat pelajaran berharga dalam perintah untuk mengawali segala perbuatan dengan basmalah, yaitu pelajaran Cinta dan Kasih.

Dengan demikian, saat kita mengucap “Dengan menyebut nama Allah Sang Pengasih dan Penyayang”. Maka, selayaknya kesadaran cinta dan kasih juga merasuk ke dalam hati dan pikiran kita -bukan hanya manis di bibir-. Kemudian, kesadaran itu terpancar pada seluruh sikap dan perbuatan kita sehari-hari.

Baca Juga: Benarkah Basmalah Termasuk Ayat Al-Quran?

Hasilnya, kita akan berbuat atas dasar cinta dan kasih. Kemudian melahirkan sifat menghargai dan toleransi terhadap sesama manusia. Sebagai contoh: menghargai keyakinan orang lain yang berbeda dengan dirinya, memberi bantuan kepada seorang muslim atau non-muslim atau saling menghormati antar sesama manusia tanpa memandang suku, ras dan agama.

Inilah pelajaran penting yang bisa dipetik dari kalimat basmalah. Semoga, dengan menghayati kembali makna basmalah dapat menambah kesadaran cinta dan kasih dalam diri kita, kemudian pelan-pelan membimbing kita menjadi pribadi yang penuh cinta dan kasih terhadap seluruh ciptaan-Nya. Ilahi amin.

Wallahu ’alam bishowab.

Surah Al-Anam Ayat 153, Menyusuri Jalan Menuju Kebahagiaan

0
Jalan Menuju
Jalan Menuju Kebahagiaan

Artikel ini akan membahas jalan menuju kebahagiaan bagi orang-orang beriman dalam Surah Al-An’am Ayat 153. Banyak rintangan dan ujian untuk menyusuri jalan kebahagiaan, sebaliknya jalan keburukan akan tampak mudah dan senang untuk dilalui. Allah Swt berfirman:

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (Q.S. Al-An’am: 153)

Dalam sebuah kesempatan, Rasulullah Saw. pernah mengingatkan, “Neraka diliputi oleh berbagai macam syahwat dan surga diliputi oleh berbagai macam perkara yang tidak disukai (makarih).” (HR. Bukhari)

Hadis ini menunjukkan bahwa jalan menuju kejahatan, yang muara akhirnya adalah neraka dipenuhi oleh hal-hal yang menyenangkan. Sedangkan jalan menuju kebaikan, yang berbuah surga dipenuhi oleh hal-hal yang tidak menyenangkan.

Mari kita cermati hadis ini sembari melihat kenyataan hidup sehari-hari. Betapa banyak godaan kenikmatan duniawi yang begitu melenakan kita. Harta, tahta dan wanita. Tiga serangkai yang sering disebut sebagai keindahan dunia ini, seringkali menjadi tujuan utama hidup seseorang, mungkin juga kita termasuk di dalamnya.

Ya, siapa di antara kita yang tidak menginginkan harta? Siapa di antara kita yang tidak senang dengan kedudukan yang terhormat? Siapa di antara kita (kaum lelaki) yang tidak suka kepada wanita?

Setiap orang berlomba-lomba untuk mendapatkan harta yang berlimpah, tetapi sedikit yang memikirkan untuk mendapatkan harta yang berkah. Banyak orang menginginkan kedudukan dan jabatan yang terhormat di mata manusia, tetapi sedikit yang berpikir untuk memperoleh kedudukan yang terhormat di mata Allah.

Setiap laki-laki pasti tertarik dan senang melihat wanita cantik, tetapi jarang yang berpikir bahwa kecantikan fisik tidak selau identik dengan kepribadian yang baik. Kenikmatan dunia memang menggoda. Hingga akhirnya tak sedikit yang terperangkap di dalamnya.

Kutipan ayat pada surat Al-An’am di awal tulisan ini mengingatkan kita, bahwa hanya ada satu jalan yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan hakiki, yaitu jalan yang lurus (al-shirat al-mustaqim), yaitu jalan Allah (sabilullah). Sementara jalan-jalan lain hanya akan menyesatkan dan mecerai-beraikan kita dari jalan Allah.

Ironisnya, banyak di antara kita, atau mungkin diri kita sendiri lebih sering memilih jalan-jalan lain yang diliputi kesenangan dan nafsu, daripada jalan Allah yang diliputi oleh kebaikan dan keridlaan.

Melangkahkan kaki ke tempat-tempat hiburan, yang seringkali melanggar norma-norma serta ajaran agama, lebih kita sukai daripada melangkahkan kaki menuju masjid atau majelis ilmu. Menghambur-hamburkan uang untuk mendapat kesenangan sesaat, lebih kita senangi daripada menyedekahkan sebagian harta di jalan Allah.

Menonton tayangan acara di televisi, berselancar di dunia maya, bercanda ria di sosial media lebih kita dahulukan daripada membaca al-Qur’an atau menambah ilmu dengan membaca buku-buku yang bermanfaat. Meraup keuntungan berlipat dalam berdagang, dengan tidak memedulikan halal haram, menjadi fenomena umum, daripada mencari rezeki yang halal dan berkah.

Bangga dengan kedudukan dan jabatan serta status sosial yang tinggi di masyarakat, lebih dicari daripada mulia dan terhormat di hadapan Allah. Inilah kenyataan hidup yang kita saksikan saat ini.

Jalan menuju kesenangan duniawi memang lebih memesona sekaligus melenakan. Sedangkan jalan menuju kebahagiaan ukhrawi begitu sulit, terjal dan mendaki. Bagi para pencari kesenangan sesaat nan semu, pesona dunia begitu merayu, hingga membuat mereka jatuh dalam pelukan nafsu. Akhir dari perjalanan mereka adalah kesedihan dan kesengsaraan tak berujung.

Bagi para pencari kebahagiaan sejati, mereka akan tetap melangkahkan kaki menuju rida Ilahi meski duri di kanan kiri. Tak peduli terjal dan mendaki, tak menjadi soal susahnya melangkah, bahkan hingga berdarah-darah, yang terpenting adalah mendapat ridla Allah. Jalan menuju kebahagiaan abadi memang susah dan melelahkan. Tetapi akhir dari perjalanan itu adalah kenikmatan dan kebahagiaan. Wallahu A’lam.

Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang

0
Ayat-Ayat Perang
Ayat-Ayat Perang Menurut M Quraish Shihab

Dewasa ini, ada sekelompok orang yang menyalahpahami ayat-ayat perang atau ayat-ayat qital dalam Al-Qur’an sebagai dalil untuk melancarkan serangan dan memulai peperangan terhadap non-muslim sekalipun mereka berada pada situasi damai. Mereka beranggapan bahwa langkah tersebut harus dilakukan hingga semua manusia masuk ke dalam agama Islam.

Pemahaman demikian tidaklah benar dan bertentangan dengan ajaran Islam sendiri. Berkenaan dengan hal ini, Muhammad Quraish Shihab dalam sebuah kajian tafsir online di Wamimma Tv mencoba menerangkan konteks ayat-ayat qital atau ayat-ayat perang: bahwa dibalik ayat tersebut ada isyarat kedamaian yang ingin disampaikan oleh Al-Qur’an kepada umat Islam.

Menurut beliau, “Hal pertama yang harus digarisbawahi adalah kitab suci Al-Qur’an mengandung petunjuk bagi kehidupan manusia, baik kehidupan dunia maupun akhirat. Dalam konteks kehidupan dunia, ada tuntunan tentang bagaimana hidup secara komunal, bermuamalah dan sebagainya. Semua tuntunan tersebut mengarah pada mewujudkan perdamaian bagi individu dan masyarakat.”

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang

Dengan demikian, garis besar ajaran Al-Qur’an adalah kedamaian. Dalam konteks mewujudkan kedamaian tersebut, Al-Qur’an beberapa kali menyebutkan tentang ayat-ayat qital atau ayat-ayat perang. Namun, patut diketahui bahwa peperangan yang dibicarakan itu bukanlah tujuan utama Al-Qur’an, tetapi hanya sebagai sarana mewujudkan kedamaian.

Karena alasan inilah – menurut Quraish Shihab – ayat-ayat perang tidak sepantasnya dihadap-hadapkan dengan ayat-ayat damai (jangan menganggap keduanya berkontradiksi). Ayat-ayat perang dan ayat-ayat damai memiliki konteks tersendiri yang harus dibaca secara utuh. Kendati demikian, keduanya sama-sama membangun ajaran Islam yang damai dan mendamaikan.

Beliau juga secara tegas menolak paham yang menyatakan ayat-ayat damai yang turun terlebih dahulu dibatalkan oleh ayat-ayat perang yang turun belakangan. Menurutnya, pandangan ini seakan-akan membedakan antara Islam Mekah dan Islam Madinah (dualisme Islam). Padahal yang sebenarnya tidak demikian, keduanya turun bergantian dalam rangka mewujudkan prinsip dasar Islam, yakni kedamaian, bukan peperangan.

Ketika membaca sejarah pewahyuan ayat-ayat perang, kita akan menemukan bahwa meskipun ayat tersebut berbicara mengenai peperangan, namun pada saat yang sama ia juga mengandung isyarat tentang kedamaian. Kemudian, pada 15 tahun pertama kenabian, ayat-ayat perang tidak pernah muncul. Ini baru diwahyukan pada tahun kedua Hijriah di mana situasi memaksa umat Islam untuk mempertahankan kedamaian melalui perang (Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul).

Kalaupun umat Islam diperintahkan berperang, itu tidak terjadi tanpa alasan atau hanya karena ingin berperang. Perang dalam ajaran Islam adalah dalam rangka mewujudkan keadilan dan kedamaian serta melawan kezaliman. Dalam perang pun ada aturan-aturan yang berlaku sebagaimana disebutkan Al-Qur’an dalam surah al-Baqarah [2] ayat 190 yang berbunyi:

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ ١٩٠

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 190).

Menurut para ulama – sebagaimana disampaikan oleh Quraish Shihab dalam suatu kesempatan – surah al-Baqarah [2] ayat 190 adalah ayat perang yang paling menggambarkan tentang konteks peperangan dalam Islam. Melalui ayat ini, seseorang akan mengetahui bahwa umat Islam dibolehkan berperang dalam rangka mempertahankan diri, agama dan negara serta mewujudkan kedamaian.

Surah al-Baqarah [2] ayat 190 adalah ayat pertama yang memerintahkan dalam Islam. Ayat ini secara tegas menyebutkan bahwa perang haruslah dilakukan di jalan Allah swt, jangan berperang bukan pada jalan-Nya. Jalan ini antara lain membela agama, membela nilai kebenaran, membela tanah air. Artinya, Islam tidak membenarkan adanya perang yang disebabkan oleh kepentingan individu maupun golongan, karena ini dapat mencederai nilai-nilai kedamaian.

Perang dalam Islam hanya terjadi apabila ada orang yang memerangi umat Islam dan mengganggu kedamaian. Dari sini kita memahami bahwa non-muslim yang menginginkan kedamaian tidak boleh diganggu dan disakiti apalagi diperangi. Ibnu Arabi bahkan pernah menyebutkan – ketika menafsirkan kata an tuqsitu pada surah al-Mumtahanah ayat 8 – tidak mengapa seandainya muslim memberikan harta kepada non-muslim yang menginginkan kedamaian.

Menurut Quraish Shihab, dalam perang pun ada aturan yang berlaku, yakni tidak boleh berlebih-lebihan sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah [2] ayat 190. Jangan berlebihan di sini maksudnya jangan membunuh anak-anak, orang tua,  dan wanita; jangan menghancurkan tempat ibadah umat lain, jangan membumi hanguskan kota, fasilitas dan tindakan-tindakan destruktif lainnya.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 39: Perang itu Diizinkan Bukan Diperintahkan

Al-Sa’adi dalam menyampaikan pandangan serupa dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan. Menurutnya, perang hanya terjadi apabila ada kelompok yang mencoba untuk memerangi kedamaian umat Islam dan mengganggu stabilitas negara. Dalam perang pun umat Islam dilarang berbuat kerusakan seperti membunuh orang yang tidak bersalah, merusak alam dan hal-hal yang bersifat merusak.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa asas ajaran Islam adalah perdamaian dan kedamaian (al-salam), perang pun terjadi dalam konteks mempertahankan dan mewujudkan perdamaian (bersifat defensif, bukan ofensif apalagi agresi). Quraish Shihab juga menegaskan, “Perang untuk mengislamkan orang itu tidak pernah ada (dalam ajaran Islam). Perang itu untuk membela agama, membela kepercayaan demi meraih kedamaian.” Wallahu a’lam.

Makna- Makna Shighat Nahi (Larangan) dalam Al-Quran

0
Shighat Nahi (Larangan) dalam Al-Quran
Shighat Nahi (Larangan) dalam Al-Quran

Di antara kategori kalam insya’, yaitu kalimat yang tidak mengandung unsur kebenaran atau kebohongan selain istifham dan amar, adalah shighat nahi. Nahi adalah kalimat yang menunjukkan larangan untuk melakukan sesuatu. Bentuk kata yang biasanya digunakan adalah لَا تَفْعَلْ, yaitu gabungan antara la nahi dan fiil mudlari’.

Sama seperti shighat amar, shighat nahi juga memiliki makna hakikat dan majaz. Makna hakikat dari shighat nahi adalah menunjukkan keharaman. Sedangkan makna majaz-nya ada delapan seperti yang dijelaskan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam salah satu karya ulum al-Quran-nya, yaitu kitab Zubdat al-Itqan fi Ulum al-Quran.

Delapan makna majaz shighat larangan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

  1. Al-Karahah (الكراهة)

Al-Karahah berarti menunjukkan kemakruhan atau kebencian.

وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا (37)

Artinya: Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.

Baca juga: Tafsir Kebangsaan, Kiai Cholil Nafis: Dalam Konteks Dakwah, Sangat Diperlukan

Dalam Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab dijelaskan bahwa berjalan di muka bumi dengan lagak sombong termasuk salah satu hal yang dibenci oleh Allah Swt.

  1. Ad-Du’a (الدعاء)

Sebuah larangan bisa juga bermakna doa dari orang yang derajatnya lebih rendah kepada Dzat Yang Maha Tinggi. Contohnya terdapat dalam Q.S. Ali Imran [3]: 8

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (8)

Artinya: (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).”

  1. Al-Irsyad (الارشاد)

Al-Irsyad artinya adalah memberikan petunjuk. Contoh shighat nahi yang bermakna al-Irsyad terdapat dalam Q.S. al-Maidah [5]: 101

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu

Ayat tersebut menjelaskan tentang petunjuk Allah kepada orang-orang yang beriman untuk tidak menanyakan tentang sesuatu yang samar dan tidak bermanfaat. Serta petunjuk untuk tidak menanyakan pembebanan atau taklif kepada mukmin yang tidak dijelaskan dalam wahyu yang turun, baik berupa al-Quran atau hadits. Karena bisa jadi atas pertanyaan tersebut turunlah perintah yang malah memberatkan orang mukmin (Wahbah az-Zuhaili/Tafsir al-Munir). Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Saw. yang disebutkan dalam kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah karya Yahya bin Syaraf an-Nawawi.

عن أبي هريرة عبد الرحمن بن صخر – رضي الله تعالى عنه – قال: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّم يقول: “مَانَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ )رواه البخاري ومسلم(

Artinya: Dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Sakhar ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Apa yang aku larang kepada kalian maka jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian maka kerjakanlah semampu kalian. Karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa disebabkan banyaknya pertanyaan-pertanyaan mereka dan penentangan mereka kepada nabi-nabi mereka. (HR. Bukhari Muslim)

Baca juga: Kajian Semantik Andad Allah (Tandingan Allah) dalam Al-Quran

  1. At-Taswiyyah (التسوية)

At-Taswiyyah berarti menunjukkan kesepadanan. Contoh shighat nahi yang menunjukkan makna kesepadanan atau kesamaan terdapat dalam Q.S. At-Thur [52]: 16

فَاصْبِرُوا أَوْ لَا تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ

Artinya: Maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu;

Penjelasan makna ini sama seperti yang terdapat dalam artikel tentang makna-makna Shighat Amar bagian 2.

5. Al-Ihtiqar (الاحتقار) & At-Taqlil (التقليل)

Al-Ihtiqar artinya adalah merendahkan atau meremehkan. Sedangkan at-Taqlil artinya adalah menyedikitkan. Contoh shighat nahi yang bermakna al-Ihtiqar & at-Taqlil adalah Q.S. Al-Hijr [15]: 88

لَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ

Artinya: Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu),

Potongan ayat di atas menjelaskan tentang larangan Allah untuk memerhatikan dan memandang nikmat berupa perhiasan kehidupan dunia yang diberikan kepada beberapa golongan dari manusia. Karena perhiasan kehidupan dunia tersebut hanyalah sesuatu yang sedikit dan rendah serta hina.

Baca juga: Makna Wahyu dalam Penafsiran Muqatil bin Sulayman

  1. Bayan al-‘Aqibah (بيان العاقبة)

Bayan al-‘Aqibah berarti menjelaskan akibat dari suatu perbuatan. Contoh shighat nahi yang bermakna Bayan al-‘Aqibah terdapat dalam Q.S. Ali Imran [3]: 169

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ (169)

Artinya: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.

Maksud ayat tersebut adalah akibat dari berjuang atau berjihad di jalan Allah hingga gugur adalah kehidupan di sisi Allah, bukan kematian yang malah mereka khawatirkan.

  1. Al-Ya’su (اليأس)

Al-Ya’su menunjukkan keputusasaan. Contohnya terdapat dalam Q.S. At-Taubah [9]: 66

لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ (66)

Artinya: Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.

  1. Al-Ihanah (الاهانة)

Al-Ihanah menunjukkan arti menghinakan. Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Mu’minun [23]: 108

قَالَ اخْسَئُوا فِيهَا وَلَا تُكَلِّمُونِ (108)

Artinya: Allah berfirman: “Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku.

Dalam Tafsir al-Munir, Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwa Allah berkata kepada orang-orang kafir ketika mereka meminta dikeluarkan dari neraka dan dikembalikan ke kehidupan dunia, ‘Tinggallah kalian di dalam neraka sebagai orang-orang yang hina. Diamlah dan jangan tanyakan lagi pertanyaan kalian itu, karena sesungguhnya tidak ada jawaban padaku, dan tidak ada pengemabalian ke kehidupan dunia.’

Demikianlah makna-makna shighat nahi atau larangan di dalam al-Quran. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi as-showab.

Makna Wahyu dalam Penafsiran Muqatil bin Sulayman

0
makna wahyu dalam penafsiran Muqatil bin Sulayman
makna wahyu dalam penafsiran Muqatil bin Sulayman

Risalah ini hadir sebagai panggilan intelektual bagi saya untuk menafsirkan kembali makna wahyu dengan rujukan pada khazanah intelektual Islam awal. Mengapa demikian? Selama ini, pemahaman umum tentang makna wahyu sudah mengalami proses stabilisasi dan pembakuan makna (fixation of meaning), sehingga wahyu ditafsirkan dengan makna yang tunggal, tetap, dan stabil (fixed and stable meaning). Pada fase praortodoksi Islam, penafsiran makna wahyu dalam Al-Qur’an tidaklah berwajah monolitik dan stabil, tetapi justru plural, cair, dan bahkan kontradiktif.

Kerja pemaknaan wahyu yang berwajah plural (dhu wujūh) itu terefleksikan pada khazanah pemikiran intelektual mufasir di masa awal Islam, Muqātil b. Sulaymān (w. 150/767). Sayangnya, Muqātil sering direpresentasikan secara negatif dalam tradisi ortodoksi Islam, khazanah pemikiran Islamnya juga dilupakan dan diabaikan begitu saja, bisa jadi karena pandangan anthropormisme yang ekstrem dan mungkin juga karena corak penafsirannya yang kebanyakan berdasar pada cerita-cerita naratif Isrā’īliyyāt (narrative exegesis), sehingga ia pun juga dikenal sebagai tukang cerita/dongeng (qass, storyteller).

Untuk predikat yang terakhir tersebut, mufasir lain seperti Al-Kalbī (w. 146/763), ‘Abd Ar-Razzāq (w. 211/827), dan bahkan Al-Tabarī (w. 310/923) sebenarnya juga merujuk penasfirannya pada riwayah-riwayah yang diceritakan oleh al-qussās. Meskipun demikian, Muqātil layak diapresiasi sebagai penafsir wahyu pertama yang menafsirkan Al-Qur’ān—Tafsīr Muqātil b. Sulaymān (Cairo: 1979-1986, 5 vol)— secara utuh dan lengkap. Dalam karya lainnya, al-Ashbāh wal-Nazā’ir fī al-Qur’ān al-Karīm, (Cairo, 1975:168-9), Muqātil memproduksi makna wahyu dalam Al-Qur’ān yang plural dan kontradiktif.

Baca Juga: Wahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

Lima penafsiran wahyu menurut Muqatil b. Sulayman

Pertama, Muqātil menafsirkan wahyu dengan makna yang inklusif (inclusive revelation), makna ini ia rujuk pada apa yang Jibril turunkan dari Tuhan ke Muhammad, Nuh, dan nabi-nabi sesudahnya. Ia kutip ayat Al-Qur’ān yang tepat atas pemaknaan wahyu yang inklusif ini, yaitu surah An-Nisa’ ayat 163, “sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu (awhaynā) kepadamu [Muhammad], sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi sesudahnya. Dan Kami juga telah memberikan wahyu kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub, dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulayman. Dan Kami berikan wahyu Zabur kepada Daud” (An-Nisā’ [4]:163).

Kedua, Muqātil memaknai wahyu sebagai inspirasi (al-ilhām, divine inspiration), pendapat ini berdasar pada petunjuk beberapa ayat, (1) surah Al-Maidah ayat 111, “Dan (ingatlah) ketika Aku ilhamkan (awhaytu, bermakna alhamtu) pengikut Isa yang setia: “Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku”. Mereka menjawab: Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh” (Al-Maidah [5]: 111); dan, (2) surah An-Nahl ayat 68 “Dan Tuhanmu ilhamkan (awhā, bermakna alhama) kepada lebah (An-Nahl [16]: 68).”

Ketiga, Muqātil menafsirkan makna wahyu sebagai tulisan atau buku (kitāb), dengan merujuk pada surah Maryam ayat 11, “Maka ia keluar dari mihrab ke arah kaumnya, lalu ia memberikan isyarat (awhā) kepada mereka, yang dimaknai sebagai rujukan pada aktifitas Tuhan (divine activity) dalam menulis (kataba) sebuah tulisan, pesan, atau kitāb kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang” (Maryam [19]: 11).

Keempat, Muqātil memberikan makna wahyu sebagai perintah. Untuk makna ini ia kutip firman Tuhan, surah Al-An’am ayat 121 sebagai berikut, “Sesungguhnya Syaitan itu membisyikkan (la-yūhūna) kepada kawan-kawannya…” (Al-An’ām [6]: 121) kata la yuhuna pada ayat ini ditafsirkan sebagai perintah bahwa “Syaitan memerintahkan kepada kawankawannya (ya’murūna-hum) dengan bisikan dan tipuan.”

Terakhir, yang kelima, Muqātil menafsirkan makna wahyu sebagai ujaran/perkataan (al-qawl). Makna wahyu dalam firman Allah surah Al-Zalzalah ayat 5 ini, “karena sesungguhnya Tuhanmu telah berbicara (awhā) kepadanya” (Al-Zalzalah [99]: 5) menurutnya adalah Tuhan telah berkata (qāla) kepadanya. Wahyu dalam konteks ini merujuk pada kalam Tuhan (divine speech), yakni Tuhan yang hadir dalam aktifitas pewahyuan dengan berbicara dan berkata kepada audiens wahyu secara langsung, tanpa mediasi.

Baca Juga: Benarkah Nabi Muhammad Mengidap Epilepsi Ketika Menerima Wahyu?

Berbagai macam makna wahyu yang dihadirkan oleh Muqatil b. Sulayman di atas memberikan suatu pelajaran penting bahwa wahyu tidaklah bermakna tunggal dan sama, stabil dan tetap, tetapi justru variatif dan kontradiktif. Disebut variatif karena ia dapat ditafsirkan dengan spektrum makna yang luas, beragam, dan plural. Keragaman dan pluralisme makna ini justru menjadi bagian inheren dari lautan makna dalam khazanah intelektual Islam yang berhasil dieksplorasi oleh penafsir wahyu seperti Muqātil b. Sulaymān.

Namun, keragaman dan pluralisme makna wahyu juga menunjukkan aspek lain, yakni makna wahyu yang kontradiktif, satu makna wahyu dapat berbeda secara diametral dengan makna yang lain. Penafsiran yang plural dan kontradiktif ini justru menjadi karakteristik utama dalam khazanah intelektual Islam awal. Artinya, makna yang plural dan kontradiktif itu juga dapat ditemukan dengan mudah pada penafsiran mufasir masa klasik terhadap tema-tema pokok dalam kesarjanaan Islam, mulai dari Al-Qur’ān, Al-Kitāb, Al-Furqān, An-Najm, sampai mekanisme pewahyuan Al-Qur’ān itu sendiri.

Karena itu, Muqātil b. Sulaymān memberikan pesan yang sangat menarik untuk direnungkan bersama, “seseorang tidaklah pantas dikualifikasikan sebagai seorang faqīh (ahli agama) dalam semua pemahaman keislaman (fiqh) kecuali dia mampu melihat Al-Qur’ān dengan banyak wajah atau makna.”

Terkait dengan keragaman pemaknaan dan penafsiran tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul ke permukaan adalah, “dimanakah sumber terjadinya makna yang plural dan kontradiktif itu?” Apakah hal itu bersumber dari watak teks wahyu yang bersifat polisemi ataukah lebih karena faktor subjektifitas penafsir dalam menafsirkan Al-Qur’ān, atau malah karena keduanya? Wallahu a’lam

Kajian Semantik Kata Surga dan Neraka dalam Al-Quran

0
Surga dan Neraka
Surga dan Neraka

Dalam kehidupan dunia, manusia akan melakukan segala amal mereka dengan pilihan masing-masing. Baik amal yang baik maupun buruk, semua tergantung setiap individu itu sendiri. Apakah mereka akan mengambil jalan kanan atau mengambil jalan kiri. Kemudian ketika manusia telah dihadapkan dengan kehidupan kekal akherat, Surga dan Neraka adalah dua tempat balasan bagi mereka. Manusia hanya akan diberikan salah satu dari tempat itu.

Kata surga di dalam Al-Quran paling banyak disebutkan dengan mufradat Jannah atau Al-Jannah. Dalam kitabnya, Syekh Abdul Halim mengatakan bahwa akar kata dari lafad Jannah dalam Al-quran ialah huruf jim dan nun (جَنَّ). Makna yang didapatkan adalah yang tersembunyi atau yang tertutup.

Sedangkan dalam bahasa Arab kata jannah lebih menuju pada makna kebun. Kemudian jika ditilik dari kajian makna relasional (relational bedeutung) makna jannah yang berarti tersembunyi ialah dengan adanya kebun-kebun yang memiliki banyak pepohonan, kebun-kebun yang didalamnya penuh dengan kenikmatan alam akherat.

Jika suatu tempat terdapat banyak pepohonan maka akan menimbulkan dedaunan yang sama banyaknya. Dengan banyaknya daun dan pepohonan, maka  akan menutupi nikmat yang tersembunyi di dalamnya. Akibatnya, jannah akan tertutup dari penglihatan manusia di dunia.

Baca Juga: 7 Sifat-Sifat Penghuni Surga Menurut Al-Qur’an

Istilah jannah secara umum dapat dimaknai dengan suau tempat yang didalamnya penuh dengan kenikmatan, kesenangan, kegembiraan bagi para penghuninya atas sesuatu yang sebelumnya belum pernah dilihat dan belum pernah dirasakan ketika di dunia.

Muhammad Fuad al-Baqi menyebutkan bahwa di dalam Al-Quran kata jannah dengan mengikuti berbagai derivasinya berjumlah 201 kali. Lafadz jannah sendiri terulang sebanyak 144 kali. Dalam bentuk tunggal/mufrad terulang 68 kali, dalam bentuk tasniyah terulang sebanyak 7 kali, serta dalam bentuk jamak terulang sebanyak 69 kali.

Penyebutan surga dalam Al-Quran  identik dengan  sebuah tempat balasan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan, beramal shaleh, serta bertakwa kepada Allah Swt.

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

 “Dan orang-orang yang beriman serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga. Mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-Baqarah[2]:25)

Al-Quran menjelaskan keadaan surga secara metaforik dengan menggunakan wujud fisikal. Surga digambarkan sebagai tempat indah berupa kebun-kebun yang terus mengalir tiada hentinya, bidadari-bidadari yang akan senantiasa melayani penghuninya, dipan-dipan empuk sebagai tempat isirahat, serta masih banyak gambaran metaforik lainnya. Gambaran metaforik fisikal jannah menunjukkan betapa hebatnya keistimewaan Al-Quran yang dapat menggambarkan sebuah tempat tertutup ( (السَتْرُsebegitu detailnya.

Ketika kita menyebutkan kata surga, maka otomatis tidak akan lepas dari antonimnya, yakni neraka. Makna neraka dalam Al-Quran sebagian besar disebutkan dengan menggunakan lafadz An-naar(الَّنارُ) . Kata an-naar didalam Al-Quran terulang sebanyak 108 kali.

Dilihat dari sudut pandang makna leksikal, kata an-naar bermakna neraka. Meski memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak makna lain dari lafadz an-naar itu sendiri. Arti kata neraka (an-naar) difirmankan Allah Swt dengan tujuan untuk li-tahdiid yakni menakut-nakuti hamba-Nya agar tidak termasuk dalam penghuni neraka.

Dari tujuan tersebut maka dapat diambil makna apabila manusia takut akan adanya siksa neraka yang penggambarannya sangat mengerikan maka mereka akan cenderung untuk memilih berbuat kebajikan serta amal shaleh ketika hidup di dunia. Setiap insan akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal yang dikerjakan yakni dengan surga atau neraka.

Neraka disebutkan dalam Al-Quran agar manusia senatiasa beribadah kepada Allah Swt, menjalankan segala perintahNya serta menjauhi segala larangan-Nya.Perbedaan perlakuan balasan surga bagi orang takwa dan neraka untuk orang kafir dapat kita lihat dalam Surah Az-Zumar ayat 71-73.

وَسِيقَ الَّذِينَ اتَّقَوْا رَبَّهُمْ إِلَى الْجَنَّةِ زُمَرًا ۖ حَتَّىٰ إِذَا جَاءُوهَا وَفُتِحَتْ أَبْوَابُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَا سَلَامٌ عَلَيْكُمْ طِبْتُمْ فَادْخُلُوهَا خَالِدِينَ

Artinya:“Dan orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan dibawa ke dalam surga berombong-rombongan (pula). Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya telah terbuka dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: ‘Kesejaheraan (dilimpahkan) atasmu. Berbagialah kamu maka masukilah surga ini, sedang kamu kekal di dalamnya” (QS. Az-Zumar [39]: 73)

Kemudian jika dibandingkan dengan ayat 71 sebelumnya:

وَسِيقَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ إِلَىٰ جَهَنَّمَ زُمَرًا ۖ حَتَّىٰٓ إِذَا جَآءُوهَا فُتِحَتْ أَبْوَٰبُهَا وَقَالَ لَهُمْ خَزَنَتُهَآ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِّنكُمْ يَتْلُونَ عَلَيْكُمْ ءَايَٰتِ رَبِّكُمْ وَيُنذِرُونَكُمْ لِقَآءَ يَوْمِكُمْ هَٰذَا ۚ قَالُوا۟ بَلَىٰ وَلَٰكِنْ حَقَّتْ كَلِمَةُ ٱلْعَذَابِ عَلَى ٱلْكَٰفِرِينَ

Artinya:“Orang-orang kafir dibawa ke neraka Jahannam berombong-rombongan. Sehingga apabila mereka sampai ke neraka itu dibukakanlah pintu-pintunya dan berkatalah kepada mereka penjaga-penjaganya: ‘Apakah belum pernah datang kepadamu rasul-rasul diantaramu yang membacakan kepadamu ayat-ayat Tuhanmu dan memperingatkan kepadamu akan pertemuan dengan hari ini?’, Mereka menjawab: ‘Benar (telah datang)’. Tetapi telah pasti berlaku ketetapan azab terhadap orang-orang yang kafir.” (QS. Az-Zumar [39]: 71)

Sekilas dua ayat tersebut digambarkan dengan redaksi metorik yang serupa, kecuali penyebutan nama kelompok, tempat yang dihuni, serta ucapan para malaikat penjaga surga dan neraka. Namun, ketika diteliti lebih dalam terdapat sebuah perbedaan redaksi yang digunakan untuk surga (jannah) dan neraka (an-naar).

Baca Juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid

Perbedaa tersebut ialah penambahan huruf ‘wau’ pada mufradat ‘futihat’ pada ayat yang ditujukan untuk penghuni surga. Sedangkan huruf ‘wau’ tidak didapati pada ayat yang ditujukan untuk penghuni neraka. Tujuan adanya perbedaan pada ayat surga dan neraka pada QS Az-Zumar ayat 71 dan 73 dapat dianalogikan dengan ilustrasi berikut:

Ketika kita mengantarkan seorang penjahat kedalam sebuah penjara, maka jelas kita akan menjumpai pintu penjara yang masih tertutup. Kemudian kita baru akan membukakan pintu penjara tersebut ketika si penjahat akan memasukinya. Berbeda ketika kita akan kedatangan orang yang disegani, dihormati, orang yang ditunggu-tunggu kedatangannya, maka otomatis pintu gerbang telah dibuka terlebih dahulu sebelum orang yang dihormati tersebut datang. Pintu yang terbuka dahulu menandakan bahwa kita kan menyambut dengan sebaik-baiknya.

Ilustrasi demikian menggambarkan makna implisit yang ditujukan pada konteks situasi pada lafadz jannah dan naar. Dengan demikian, setiap lafadz yang dituturkan di dalam A-Quran mempunyai makna yang luas dan mempunyai maksud tertentu baik berdasarkan konteks emosi, konteks situasi, maupun konteks budaya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 10: Intisari Doa Kasih Sayang dan Pengampunan

0
Tafsir Surat al-Hasyr Ayat 10
Tafsir Surat al-Hasyr Ayat 10

Saling memaafkan dan kasih sayang adalah dambaan setiap umat manusia. Tidak peduli darimana ia berasal, latar belakang kesukuannya apa, bahasa, etnis dan budayanya bagaimana, sepanjang ia disebut sebagai manusia dan makhluk hidup pasti membutuhkan dua hal itu. Dengan begitu, ada ayat al-quran yang menyebutkan doa kasih sayang dan pengampunan.

Tragedi bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makassar pada Minggu lalu (28/3/2021) sangat kontradiktif terhadap ajaran agama Islam yang notabene mengedepankan kasih sayang dan melepas dengki serta dendam dari hati manusia. Islam mengajarkan salah satu doa kasih sayang dan pengampunan sebagaimana termaktub dalam firman-Nya di bawah ini,

وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hasyr [59]: 10)

Baca juga: Kajian Semantik Andad Allah (Tandingan Allah) dalam Al-Quran

Tafsir Surat al-Hasyr Ayat 10

Dalam Jami’ al-Bayan, al-Tabari menyampaikan bahwa ayat di atas menyatakan bahwa generasi umat Islam yang datang sesudahnya (setelah kaum Muhajirin dan Ansar), mereka nanti akan berdoa memohonkan ampun kepada generasi terdahulunya, serta berdoa agar diri mereka dilepaskan dari dendam dan iri hati atau dengki.

Hal senada juga disampaikan al-Suyuthi dalam al-Dur al-Mantsur, ia menukil salah satu riwayat yang berasal dari ‘Abd bin Hamid dari Mujahid r.a. bahwa maksud redaksi walladzina ja-uu min ba’dihim adalah mereka orang-orang yang masuk Islam setelah generasi terdahulu (Muhajirin dan Ansar). Sedang dalam riwayat yang lain, sebut saja al-Dhahhak, ia menafsirkannya bahwa doa di atas memerintahkan untuk memohon ampun kepada mereka (kaum muhajirin dan Ansar).

Lebih jauh, al-Qurtuby memaknai redaksi rabbana ighfirlana wa li ikhwanina, sebagai suatu bentuk rasa cinta kepada sahabat Nabi saw (dalil ‘ala wujub mahabbah al-shahabah) di mana telah menjadikan mereka bernasib baik (memeluk Islam) sehingga patut baginya untuk mencintai para sahabat dan memohonkan ampunan kepada Allah swt. Al-Qurtuby juga menyitir perkataan Malik, “

من كان يُبْغِض أحداً من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، أو كان في قلبه عليهم غِلٌّ، فليس له حق في فَيْء المسلمين ثم قرأ { وَٱلَّذِينَ جَآءُوا مِن بَعْدِهِمْ } الآية

“Barang siapa yang membenci salah satu dari sahabat Nabi Muhammad saw, atau di dalam hatinya terdapat rasa dendam, dengki dan benci, maka ia tidak termasuk dalam golongan muslimin sebagaimana difirmankan ayat di atas”

Pernyataan Malik di atas menunjukkan bahwa mencintai para sahabat Nabi saw dan “memaklumi” atas kekhilafan serta mau memohonkan ampunan atasnya, maka ia termasuk salah satu apa yang disebut dalam ayat di atas, yakni termasuk generasi sesudah kaum Muhajirin dan Ansar, generasi penerus panji Islam.

Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an

Penafsiran selanjutnya diungkap al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib bahwa sejatinya ayat di atas telah melingkupi semua umat muslimin yang ada baik Muhajirin, Ansar maupun generasi setelahnya bahkan generasi muslim masa kini. Lebih dari itu, al-Razi juga menyatakan ayat di atas merupakan bentuk doa dan rahmat bagi seluruh umat muslim tanpa terkecuali. Bentuk doa dan rahmat kasih sayang itu diejawantahkan dalam doa di atas dengan makna, agar Allah swt melepaskan darinya sifat dengki, iri hati, mengadu domba, dendam, dan sejenisnya.

Tidak cukup itu, penafsiran sufistik juga dituturkan al-Qusyairi dalam Lathaif al-Isyarat bahwa generasi yang datang sesudah Muhajirin dan Anshar maupun sezamannya seluruhnya dalam naungan kasih sayang-Nya, mereka saling mengasihi (tarahum), saling memintakan ampunan, memaafkan (istighfar) dan saling memintakan perlindungan (istijaran). Barang siapa yang tidak menaruh rasa belas kasih (syafaqah) kepada semua umat muslim, maka ia bukanlah termasuk bagian dari agama Islam. Demikian al-Qusyairi memungkasi pernyataanya.

Doa Kasih Sayang

Dengki, iri hati, dendam, provokasi, politisasi ayat, dan semacamnya merupakan sumber kejahatan dan maksiat yang mendorong seseorang ke dalam nestapa kehinaan. Allah swt melalui firman-Nya di atas memerintahkan kepada kita, sebagai umat muslim sesudah Muhajirin dan Ansar untuk senantiasa berdoa memohon ampunan dan melepas segala angkara murka dalam hati dan tubuh manusia.

Ada beberapa hal yang dapat kita ambil hikmah dari ayat di atas, di antaranya pertama, tatkala seseorang berdoa, hendaknya diawali dari diri sendiri kemudian untuk orang lain. Rasionalisasinya adalah bagaimana mungkin seseorang mengampuni atau memaafkan kesalahan orang lain, sementara dirinya enggan memohon ampunan untuk ia sendiri. Jadi, ibda’ binafsik (mulailah dari dirimu sendiri).

Selanjutnya, umat Islam yang satu dengan yang lain bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan (al-muslimu lil muslim kal-bunyani yasyuddu ba’dhuhu ba’dhan). Artinya, saling bertalian erat karenanya satu sama lain mempunyai kewajiban untuk saling mencintai, mengasihi, tolong-menolong, bukan malah sebaliknya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Hukum Salat Malam bagi Nabi Muhammad Saw

Tidak kalah pentingnya, saling memaafkan dan saling mengasihi merupakan modal utama dalam membina kerukunan antar umat beragama sebagaimana disitir doa di atas. Imam Turmudzi dalam Sunan Turmudzi mengutip hadis Nabi saw,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ، الرَّحِمُ شُجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمَنِ، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللهُ

“Orang-orang yang memiliki sifat penyayang akan disayang oleh-Nya. Sayangilah semua yang ada di bumi, maka langit pun akan menyayangi dan mengasihimu. Sebab kasih sayang itu bagian daripada rahmat Allah swt. Barang siapa yang menyayanginya, maka Allah sayang kepadanya. Demikian pula, siapa yang memutuskannya, Allah akan memutuskannya”. (H.R. Tumudzi).

Wallahu A’lam.