Beranda blog Halaman 364

Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 10: Intisari Doa Kasih Sayang dan Pengampunan

0
Tafsir Surat al-Hasyr Ayat 10
Tafsir Surat al-Hasyr Ayat 10

Saling memaafkan dan kasih sayang adalah dambaan setiap umat manusia. Tidak peduli darimana ia berasal, latar belakang kesukuannya apa, bahasa, etnis dan budayanya bagaimana, sepanjang ia disebut sebagai manusia dan makhluk hidup pasti membutuhkan dua hal itu. Dengan begitu, ada ayat al-quran yang menyebutkan doa kasih sayang dan pengampunan.

Tragedi bom bunuh diri yang terjadi di Gereja Katedral Makassar pada Minggu lalu (28/3/2021) sangat kontradiktif terhadap ajaran agama Islam yang notabene mengedepankan kasih sayang dan melepas dengki serta dendam dari hati manusia. Islam mengajarkan salah satu doa kasih sayang dan pengampunan sebagaimana termaktub dalam firman-Nya di bawah ini,

وَالَّذِيْنَ جَاۤءُوْ مِنْۢ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِاِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْاِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِّلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا رَبَّنَآ اِنَّكَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ࣖ

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (Q.S. al-Hasyr [59]: 10)

Baca juga: Kajian Semantik Andad Allah (Tandingan Allah) dalam Al-Quran

Tafsir Surat al-Hasyr Ayat 10

Dalam Jami’ al-Bayan, al-Tabari menyampaikan bahwa ayat di atas menyatakan bahwa generasi umat Islam yang datang sesudahnya (setelah kaum Muhajirin dan Ansar), mereka nanti akan berdoa memohonkan ampun kepada generasi terdahulunya, serta berdoa agar diri mereka dilepaskan dari dendam dan iri hati atau dengki.

Hal senada juga disampaikan al-Suyuthi dalam al-Dur al-Mantsur, ia menukil salah satu riwayat yang berasal dari ‘Abd bin Hamid dari Mujahid r.a. bahwa maksud redaksi walladzina ja-uu min ba’dihim adalah mereka orang-orang yang masuk Islam setelah generasi terdahulu (Muhajirin dan Ansar). Sedang dalam riwayat yang lain, sebut saja al-Dhahhak, ia menafsirkannya bahwa doa di atas memerintahkan untuk memohon ampun kepada mereka (kaum muhajirin dan Ansar).

Lebih jauh, al-Qurtuby memaknai redaksi rabbana ighfirlana wa li ikhwanina, sebagai suatu bentuk rasa cinta kepada sahabat Nabi saw (dalil ‘ala wujub mahabbah al-shahabah) di mana telah menjadikan mereka bernasib baik (memeluk Islam) sehingga patut baginya untuk mencintai para sahabat dan memohonkan ampunan kepada Allah swt. Al-Qurtuby juga menyitir perkataan Malik, “

من كان يُبْغِض أحداً من أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم، أو كان في قلبه عليهم غِلٌّ، فليس له حق في فَيْء المسلمين ثم قرأ { وَٱلَّذِينَ جَآءُوا مِن بَعْدِهِمْ } الآية

“Barang siapa yang membenci salah satu dari sahabat Nabi Muhammad saw, atau di dalam hatinya terdapat rasa dendam, dengki dan benci, maka ia tidak termasuk dalam golongan muslimin sebagaimana difirmankan ayat di atas”

Pernyataan Malik di atas menunjukkan bahwa mencintai para sahabat Nabi saw dan “memaklumi” atas kekhilafan serta mau memohonkan ampunan atasnya, maka ia termasuk salah satu apa yang disebut dalam ayat di atas, yakni termasuk generasi sesudah kaum Muhajirin dan Ansar, generasi penerus panji Islam.

Baca juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an

Penafsiran selanjutnya diungkap al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib bahwa sejatinya ayat di atas telah melingkupi semua umat muslimin yang ada baik Muhajirin, Ansar maupun generasi setelahnya bahkan generasi muslim masa kini. Lebih dari itu, al-Razi juga menyatakan ayat di atas merupakan bentuk doa dan rahmat bagi seluruh umat muslim tanpa terkecuali. Bentuk doa dan rahmat kasih sayang itu diejawantahkan dalam doa di atas dengan makna, agar Allah swt melepaskan darinya sifat dengki, iri hati, mengadu domba, dendam, dan sejenisnya.

Tidak cukup itu, penafsiran sufistik juga dituturkan al-Qusyairi dalam Lathaif al-Isyarat bahwa generasi yang datang sesudah Muhajirin dan Anshar maupun sezamannya seluruhnya dalam naungan kasih sayang-Nya, mereka saling mengasihi (tarahum), saling memintakan ampunan, memaafkan (istighfar) dan saling memintakan perlindungan (istijaran). Barang siapa yang tidak menaruh rasa belas kasih (syafaqah) kepada semua umat muslim, maka ia bukanlah termasuk bagian dari agama Islam. Demikian al-Qusyairi memungkasi pernyataanya.

Doa Kasih Sayang

Dengki, iri hati, dendam, provokasi, politisasi ayat, dan semacamnya merupakan sumber kejahatan dan maksiat yang mendorong seseorang ke dalam nestapa kehinaan. Allah swt melalui firman-Nya di atas memerintahkan kepada kita, sebagai umat muslim sesudah Muhajirin dan Ansar untuk senantiasa berdoa memohon ampunan dan melepas segala angkara murka dalam hati dan tubuh manusia.

Ada beberapa hal yang dapat kita ambil hikmah dari ayat di atas, di antaranya pertama, tatkala seseorang berdoa, hendaknya diawali dari diri sendiri kemudian untuk orang lain. Rasionalisasinya adalah bagaimana mungkin seseorang mengampuni atau memaafkan kesalahan orang lain, sementara dirinya enggan memohon ampunan untuk ia sendiri. Jadi, ibda’ binafsik (mulailah dari dirimu sendiri).

Selanjutnya, umat Islam yang satu dengan yang lain bagaikan sebuah bangunan yang saling menguatkan (al-muslimu lil muslim kal-bunyani yasyuddu ba’dhuhu ba’dhan). Artinya, saling bertalian erat karenanya satu sama lain mempunyai kewajiban untuk saling mencintai, mengasihi, tolong-menolong, bukan malah sebaliknya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Hukum Salat Malam bagi Nabi Muhammad Saw

Tidak kalah pentingnya, saling memaafkan dan saling mengasihi merupakan modal utama dalam membina kerukunan antar umat beragama sebagaimana disitir doa di atas. Imam Turmudzi dalam Sunan Turmudzi mengutip hadis Nabi saw,

الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ، الرَّحِمُ شُجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمَنِ، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَهَا قَطَعَهُ اللهُ

“Orang-orang yang memiliki sifat penyayang akan disayang oleh-Nya. Sayangilah semua yang ada di bumi, maka langit pun akan menyayangi dan mengasihimu. Sebab kasih sayang itu bagian daripada rahmat Allah swt. Barang siapa yang menyayanginya, maka Allah sayang kepadanya. Demikian pula, siapa yang memutuskannya, Allah akan memutuskannya”. (H.R. Tumudzi).

Wallahu A’lam.

Kajian Semantik Andad Allah (Tandingan Allah) dalam Al-Quran

0
Tandingan Allah
Frasa Tandingan Allah (andad Allah)

Saat kita membaca terjemahan al-Qur’an, mungkin di antara kita pernah menemukan kata tandingan Allah. Jika ditarik ke definisi bahasa Indonesia, sebagaiamana yang dijelaskan oleh KBBI, bahwa tandingan adalah sesuatu yang seimbang dengan yang lain; imbangan, lawan yang seimbang.

Dengan demikian, adakah lawan yang seimbang bagi Allah? Tentu tidak. Karena Maha Kuasa atas segala hal, tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya, apalagi menandingi-Nya.

Kata tandingan di dalam al-Qur’an disebutkan dengan kata andâd yang merupakan bentuk jama’ dari kata niddun. Adapun kata niddun menurut kamus Lisan al-Arabiy, niddun berarti serupa dan kawan. Ada juga yang mengatakan bahwa niddun adalah lawan atau sesuatu yang serupa.

Selanjutnya, arti niddun secara istilah yaitu sesuatu yang berbeda dengannya dan berlawanan dengannya. Dan yang dimaksud oleh mereka adalah sesuatu yang dijadikan sebagai tuhan selain Allah Swt. Akan tetapi, pemahaman mengenai tandingan Allah, tidak cukup dengan arti yang diuraikan dari kamus-kamus Arab. Perlu dilihat bagaimana pendapat para mufassir terhadap kata tersebut.

Berikut ayat al-Qur’an yang menyebutkan kata andâd

الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ فِرَاشًا وَّالسَّمَاۤءَ بِنَاۤءً ۖوَّاَنْزَلَ مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَخْرَجَ بِهٖ مِنَ الثَّمَرٰتِ رِزْقًا لَّكُمْ ۚ فَلَا تَجْعَلُوْا لِلّٰهِ اَنْدَادًا وَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ٢٢

“(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 22)

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَنْدَادًا يُّحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللّٰهِ ۗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَشَدُّ حُبًّا لِّلّٰهِ ۙوَلَوْ يَرَى الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَۙ اَنَّ الْقُوَّةَ لِلّٰهِ جَمِيْعًا ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعَذَابِ ١٦٥

“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka menyesal).”

Menurut Thabathaba’i kata  nidd bermakna semisal atau hal yang sepadan dengan Allah Swt. Yang dimaksud semisal Allah Swt di sini adalah setiap sesuatu yang memiliki kemungkinan untuk dijadikan sekutu Allah Swt.

Selanjutnya, pada ayat 165 Thabataba’I menambahkan bahwa pada hakikatnya, semua manusia mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Allah Swt dan hanya Allah Swt lah yang berhak mereka sembah. Namun, karena ada beberapa faktor lain seperti halnya hawa nafsu, maka atas dasar itulah akhirnya mereka menjadikan tandingan bagi Allah Swt.

Selanjutnya, dalam ayat ini beliau juga memberikan analogi kecil tentang arti tauhid melalui kata cinta; “Barang siapa yang mencintai sesuatu maka ia akan patuh dan taat terhadap sesuatu itu dan ia tidak mungkin menduakan sesuatu yang ia cintai dengan sesuatu selainnya”.

Kemudian dalam Tafsir al-Kabir, Imam Fakhru Ar-Razi menjelaskan bahwa kata andâd berasal dari bentuk tunggal nidd yang memiliki makna setiap sesuatu yang diserupakan kepada Allah Swt dan menjadi tandingan atas kekuasaan mutlakNya.

Adapun sesuatu tersebut, Imam Fakhru Ar-Razi berdasarkan buku-buku sejarah  membaginya menjadi tiga bagian, yakni bintang-bintang, salib dan patung-patung. Dalam penjelasannya, bintang-bintang adalah tandingan yang dijadikan sesembahan oleh kaum shoibah atas kekeliruan mereka dalam memaknai hakikat ke-Tuhan-an.

Kemudian, salib merupakan bias dari kekeliruan pemahaman akidah para kaum nasrani. Sedangkan patung-patung -yang pada zaman awal datangnya Islam disembah oleh kebanyakan orang Arab adalah sesembahan yang telah masyarakat Yunani kuno yakini sebagai Tuhan mereka.

Sedangkan pada ayat 165, ar-Razi menjelaskan sebagaimana ayat sebelumnya, yaaitu kata nidd dalam ayat ini juga berartikan suatu tandingan yang diserupakan oleh kaum musyrikin terhadap Allah Swt. Namun, karena ada perbendaharaan kata yang baru dan berbeda dengan ayat sebelumnya, Imam Fakhru Ar-Razi membagi tandingan itu dari sisi yang berbeda menjadi dua bagian; Pertama, tandingan Allah Swt yang berbentuk patung (benda mati) yang tidak bisa memberikan manfaat ataupun madhorot kepada penyembahnya.

Kedua, tandingan Allah Swt yang berupa para raja dari golongan manusia (benda hidup) yang menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa yang telah Allah halalkan. Untuk arti kata tandingan Allah Swt yang kedua (para raja dari golongan manusia), Ar-Razi berlandaskan pada dlomir atau kata ganti هم yang ada dalam kata يحبونهم, karena dalam ilmu nahwu dijelaskan bahwa dlomir هم hanya untuk mereka yang berakal, oleh karena itu patung-patung dan semisalnya tidak termasuk di dalamnya.

Selain pendapat diatas, ada juga pendapat dari kaum sufi dan ahli hikmah  yang mengatkan bahwa tandingan Allah Swt adalah hawa nafsu manusia yang selalu  membuat lupa akan eksistensi Allah Swt.

Dengan demikian, memang tidak ada lawan yang sepadan bagi Allah, tandingan-tandingan dciptakan oleh manusia sendiri, sehingga menjadikan mereka melakukan dosa besar, yakni syirik. Wallahu ‘alamu bi ash-Shawâb

Tafsir Kebangsaan, Kiai Cholil Nafis: Dalam Konteks Dakwah, Sangat Diperlukan

0
kiai Cholil Nafis di Launching dan Bedah Buku Tafsir Kebangsaan
kiai Cholil Nafis di Launching dan Bedah Buku Tafsir Kebangsaan

Ada beberapa komentar dari kiai Cholil Nafis tentang buku Tafsir Kebangsaan. Di antaranya; Pertama, buku Tafsir Kebangsaan ini berhasil mengembalikan sanad keilmuan tafsir di media sosial yang sempat hilang; Kedua, dalam konteks dakwah, buku Tafsir Kebangsaan sangat recommended bagi para penceramah karena bahasannya yang to the point namun tetap kaya referensi; Ketiga, buku Tafsir Kebangsaan mampu membumikan nilai-nilai kebangsaan yang ada dalam Al-Quran. Poin yang terakhir ini sekaligus menegasikan isu-isu kontradiksi antara agama dan Negara.

“Dalam konteks dakwah, buku (Tafsir Kebangsaan) ini sangat berkualitas, karena telah mengembalikan kita dari media yang tanpa referensi, tanpa guru pada media yang ada guru dan referensinya” tutur ketua MUI Pusat ini. Komentar yang lain dari beliau yaitu berupa arahan dan masukan untuk perbaikan kualitas buku selanjutnya.

Sebagaimana diketahui, kiai yang juga berposisi sebagai pengarah BPET (Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme) ini menjadi salah satu narasumber dalam acara Launching dan Bedah Buku Tafsir Kebagsaan: Cinta Tanah Air, Toleransi dan Bela Negara dalam Al-Quran, Sabtu (27/03/2021)

Era digital, era media sosial sering disebut-sebut sebagai era matinya kepakaran. Tulisan, artikel, postingan dan komentar di media sosial yang viral mengalahkan ulasan dan penjelasan para ahli yang dianggap kurang menarik perhatian. Pada masa ini, sanad keilmuan seseorang tidak jadi unsur validitas, kalah pamor dengan berita yang viral. Maka tidak heran ketika ada postingan dan tulisan di media sosial yang kaya referensi itu dikatakan mengembalikan citra baik media.

Baca Juga: Tafsir Kebangsaan, Prof. Nasaruddin Umar: Memperkenalkan Diri sebagai Pengkaji Al-Quran tanpa Beban Ideologi dan Politik

Tantangan berdakwah hari ini

Sebagai pimpinan sebuah lembaga yang berkonsentrasi pada isu-isu kebangsaan, nasionalisme, penanggulangan ekstremisme dan terorisme, membedah buku yang bertajuk Tafsir Kebangsaan sangat tepat dan cocok dengan aktifitas beliau. Oleh karena itu komentar beliau selanjutnya lebih banyak mengaitkan hadirnya buku kompilasi artikel tafsir ini dalam konteks dakwah.

Di Indonesia, akhir-akhir ini banyak bermunculan pendakwah, ustadz atau dai, mulai dari ustad kawakan hingga ustad dadakan. Kuantitas yang banyak ini tentu harus diimbangi dengan kualitasnya. Khusus ustad dadakan ini menurut penuturan kiai Cholil Nafis seringkali tidak paham dengan materi yang mereka sampaikan. Untuk membantu keadaan yang seperti ini maka buku seperti Tafsir Kebangsaan sangat diperlukan.

“Dalam konteks dakwah, buku ini penting untuk dijadikan pegangan, di saat banyak undangan, banyak permintaan, maka kita (para dai atau penceramah) perlu buku yang langsung menukik pada persoalannya dan  sekaligus ada dalilnya” terang alumni Pesantren  Sidogiri, Pasuruan ini.

Doktor lulusan Universitas Malaya ini juga menyinggung perbedaan cara kerja pendakwah dan intelektual. “pendakwah itu menyederhanakan sesuatu yang sulit, memudahkan sesuatu yang rumit, berbeda dengan kerja-kerja intelektual yang sebaliknya, yang mudah menjadi rumit, ada latar belakang, dibahas secara lebih sistematis, dibuat teorisasi terlebih dahulu, dan seterusnya” Dalam rangka kepentingan tersebut, perlu pedoman konten dakwah yang singkat tapi padat, to the poin ke pembahasan, namun tetap kaya dalil dan referensi.

Baca Juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an

Dalam konteks ini pula, pemilik website cholilnafis.com ini mengharapkan kaum intelektual bisa menjembatani keduanya, “tetap sesuai dengan tahapan penelitian ilmiah, namun di saat yang bersamaan, bagaimana dalil-dalil yang rumit, bagaimana hal-hal yang sulit itu bisa dibumikan dalam konteks kekinian, sehingga menjadi lebih mudah. “ Inilah tantangan yang sedang dihadapi, tidak hanya oleh pendakwah, tetapi juga oleh akademisi.

Terkait dengan tema-tema yang diangkat dalam buku Tafsir Kebangsaan, semuanya sangat dekat dengan realitas keindonesiaan saat ini. Sebut saja tragedi bom bunuh diri yang terjadi hari Ahad lalu (28/03/2021) di depan Gereja Katedral, Makassar. Melansir Republika.co.id tentang dugaan motif pelaku bom bunuh diri, di situ dikatakan bahwa salah satunya adalah jihad dan mati syahid. Hal yang sama diafirmasi oleh Ali Imron, mantan terpidana teroris yang disampaikan di salah satu acara berita.

Motif yang seperti ini sangat mungkin berangkat dari kesalahpahaman yang keliru tentang ayat-ayat jihad dan ayat yang dianggap sebagai ajaran bom bunuh diri. Dua tema ini sudah dibahas dalam buku Tafsir Kebangsaan: Cinta Tanah Air, Toleransi dan Bela Negara dalam Al-Quran. Maka tidak heran jika Kiai Cholil Nafis menyarankan kita untuk membaca buku ini.

Yuk, dibaca bukunya, semoga bermanfaat!

Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an

0
Makna Jihad dalam Al-Qur'an
Bom Bunuh Diri dan Makna Jihad dalam Al-Qur'an

Ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an harus dipahami sesuai konteks pewahyuannya. Jika tidak demikian, maka makna jihad dalam Al-Qur’an mungkin akan disalahartikan atau disalahpahami. Akibatnya, bisa saja terjadi tindakan-tindakan ekstrem seperti bom bunuh diri, terutama apabila ada oknum tertentu yang mengorganisir. Tindakan semacam ini pada hakikatnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai Al-Qur’an.

Masalah di atas penting untuk penulis tegaskan, sebab di antara faktor terjadinya terorisme dan ekstremisme – selain faktor sosial, ekonomi, dan politik – ada peran oknum tertentu yang membuat seseorang menyalahartikan makna jihad dalam Al-Qur’an. Sebagai bukti, kita telah menemukan banyak teroris yang mengaku berjihad, tanpa menyadari bahwa makna jihad yang sebenarnya tidaklah demikian.

Dalam Al-Qur’an, term jihad merupakan salah satu tema sentral. Kata ini dan derivasinya setidaknya disebutkan sebanyak 41 kali oleh Al-Qur’an dengan rincian; kata jāhada dua kali, jāhadāka dua kali, jāhadū sebelas kali, tujāhidūna satu kali, yujāhidu satu kali, yujāhidū dua kali, yujāhidūna satu kali, jāhid dua kali, jāhidhum satu kali, jāhidū empat kali, jahda lima kali, jahdahum satu kali, jihādin satu kali, jihad dua kali, jihādihi satu kali, al-mujāhidūna satu kali dan al-mujāhidina tiga kali (al-Mu’jam al-Mufaḥras li Alfaz al-Qur’ān al-Karīm).

Baca Juga: Ayat-Ayat Jihad dalam Al-Quran: Klasifikasi dan Kontekstualisasinya Di Era Kekinian

Secara etimologi, jihad terambil dari kata jahd yang berarti “letih/sukar”. Jihad  memang  sulit  dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari  akar  kata “juhd” yang berarti  “kemampuan”. Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan harus  dilakukan  sebesar  kemampuan.  Dari  kata  yang   sama tersusun  ucapan  “jahida  bir-rajul”  yang artinya “seseorang sedang mengalami ujian” (a-Munjid fi al-Lughah wa a;-A’lam).

Dalam KBBI, ada beberapa makna jihad yang dapat ditemukan, yakni 1) usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan; 2) usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga; 3) perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam. Dalam konteks ini, berjihad berari berjuang di jalan Allah.

Menurut Muhammad Sa’id al-Asymawi – ketika menyoroti ayat-ayat jihad dalam kajian sejarah – ayat-ayat jihad jelas memiliki keterkaitan dengan kondisi masyarakat saat itu. Pada periode Mekkah, ayat-ayat yang turun tentang jihad lebih memiliki makna spiritual daripada makna fisik. Jihad yang secara prinsip lebih bermakna bersungguh-sungguh dan berjuang, berarti tetap menjaga iman, bersabar, dan menahan diri dari cercaan dan hinaan kaum musyrikin Mekkah.

Sebagai contoh, Ia berkata bahwa surah an-Nahl ayat 126 memberikan makna sabar sebagai pilihan solusi yang lebih baik daripada membalas serangan kaum musyrikin. Dari sini kita dapat memahami bahwa makna jihad pada awalnya merupakan usaha sungguh-sungguh dalam melakukan perbuatan dan pekerjaan, serta diiringi dengan sikap kesabaran dan ketabahan, tidak terbatas pada peperangan (Against Islamic extremism).

Makna Jihad Pada Periode Mekah

Penggunaan istilah jihad sudah dimulai pada periode Makkah. Hal ini dapat diketahui dari identifikasi ayat yang disusun sesuai urutan turunnya (tartib nuzuli). Penggunaan istilah jihad dan derivasinya pada periode Makkah lebih ditekankan pada jihad dalam berdakwah, yaitu berdialog dengan kaum Quraisy Makkah dengan dialog yang baik sehingga ajaran Islam dapat diterima dengan baik dan benar.

Meskipun ayat-ayat jihad dan derivasinya telah turun sejak periode Mekah, namun tidak ada satu pun ayat tersebut yang menyinggung masalah peperangan. Diskursus yang banyak disinggung dalam ayat-ayat jihad pada periode ini adalah jihad dengan berdakwah kepada kaum Quraisy yang belum menerima ajaran Islam. Firman Allah swt dalam surah al-Furqan [25] ayat 52 yang berbunyi:

فَلَا تُطِعِ الْكٰفِرِيْنَ وَجَاهِدْهُمْ بِهٖ جِهَادًا كَبِيْرًا ٥٢

Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Al-Qur’an) dengan (semangat) perjuangan yang besar.” (QS. Al-Furqan [25] ayat 52).

Menurut Ibnu Katsir dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, dlamir pada ayat di atas kembali kepada Al-Qur’an, karena nabi Muhammad saw diutus di muka bumi ini untuk berdakwah dan menyampaikan Al-Qur’an kepada umat manusia. Pandangan serupa disampaikan oleh al-Sa’adi dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan. Dalam konteks ini, jihad berarti kesungguhan dalam menyampaikan ajaran Allah swt melalui Al-Qur’an dan bukan berperang.

Penafsiran ini dikuatkan dengan bukti sejarah yang menunjukkan bahwa pada periode Mekah tidak ada perintah untuk berperang dari Al-Qur’an maupun nabi Muhammad saw. Selain tidak ada perintah berperang, pada periode ini juga turun ayat toleransi, yakni surah al-Baqarah [2] ayat 256 yang berisi informasi tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam (la ikraha fi a-din).

Selain surah al-Furqan [25] ayat 52, pada periode Mekah juga turun ayat-ayat jihad lainnya yang berbicara mengenai kesungguhan dalam beragama seperti surah an-Nahl [16] ayat 110 yang berbicara mengenai kesungguhan dalam mempertahankan iman dan tidak tergiur terhadap rayuan untuk berpaling dari Islam. Kemudian, surah Fatir [35] ayat 42 yang menyebut makna jihad dalam konteks kesungguhan orang kafir dalam berjanji.

Makna Jihad Pada Periode Madinah

Ketika awal-awal nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, makna Hijrah masih merujuk pada arti kesungguhan, yakni kesungguhan dalam mempertahankan diri agar tetap berada di jalan Allah. Hal ini dapat dilihat dari surah al-Ankabut [29] ayat 6 yang merupakan ayat-ayat jihad pertama di periode Madinah. Pada ayat tersebut makna jihad mengandung arti kesungguhan melawan hawa nafsu.

وَمَنْ جَاهَدَ فَاِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهٖ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ ٦

Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.” (QR. surah Al-Ankabut [29] ayat 6).

Makna jihad dalam Al-Qur’an yang merujuk pada perang atau qital baru muncul pada surah al-Baqarah ayat 18. Ayat ini berisi tentang perintah untuk berperang melawan orang kafir dengan tujuan menolak kedzaliman dan menjunjung tinggi kebenaran. Meskipun perintah tersebut bersifat mutlak, namun perang hanya dilakukan dalam rangka mempertahankan diri (kondisi darurat) (al-Tafsir al-Munir: 632).

Perintah jihad dengan berperang, dimulai pada abad kedua Hijriyah, tepatnya ketika perang badar di mana Rasulullah saw menyerukan kepada para sahabatnya untuk berjihad dengan berperang melawan orang kafir. Perintah perang tersebut pada dasarnya bukan bertujuan untuk menghilangkan kekafiran, akan tetapi perang untuk mempertahankan negara baru dan melindunginya, serta melindungi kebebasan dakwah (Jihad Melawan Teror).

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Furqan Ayat 52: Jihad itu Memerangi Hawa Nafsu

Berdasarkan penjelasan di atas, makna jihad dalam Al-Qur’an merujuk pada usaha yang sungguh-sungguh dan sabar dalam beragama, baik beribadah maupun menjauhi larangan. Sedangkan jihad dalam makna peperangan hanya disebutkan pada segelintir ayat dari sekian banyak ayat-ayat jihad. Ayat itu pun merujuk pada peperangan yang bertujuan untuk menegakkan keadilan, mempertahankan agama, dan menghapus kezaliman.

Dalam konteks ini, berbagai tindakan ekstrem seperti bom bunuh diri, menyakiti sesama manusia, memerangi non-muslim yang menginginkan kedamaian tidaklah dianggap sebagai jihad, bahkan itu adalah tindakan yang dilarang oleh Al-Qur’an. “…Barangsiapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.”  (QS. Al-Maidah [5] ayat 32).

Tafsir Ahkam: Beda Pendapat Hukum Salat Malam bagi Nabi Muhammad Saw

0
beda pendapat hukum salat malam bagi Nabi Muhammad Saw
beda pendapat hukum salat malam bagi Nabi Muhammad Saw

Tidak semua ibadah yang disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad memiliki status hukum yang sama pada diri Nabi Muhammad. Hukum salat malam atau salat tahajud semisal, sunah bagi umat Nabi Muhammad. Namun bagi Nabi Muhammad sendiri, menurut sebagian ulama’, hukumnya wajib.

Hal ini memberi kesimpulan kepada kita, meski syariat Islam berpedoman salah satunya pada sunah Nabi, tapi kita harus tahu bahwa ada kalanya status hukum suatu ibadah ada kalanya berbeda antara pada diri umat Nabi Muhammad dan pada diri Nabi Muhammad. Sehingga berpedoman kepada Nabi Muhammad pun harus disertai penjelasan para ulama’, utamanya yang ahli dalam bidang hadis.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat tentang Salat Fardu yang Paling Utama

Salat Malam Disyariatkan Sebelum Salat Lima Waktu

Sebelum disyariatkannya salat lima waktu, Allah terlebih dahulu mensyariatkan salat malam pada diri Nabi Muhammad. Salat malam disyariatkan lewat firman Allah (Al-Hawi Al-Kabir/2/3):

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُزَّمِّلُ (1) قُمِ ٱلَّيۡلَ إِلَّا قَلِيلٗا (2) نِّصۡفَهُۥٓ أَوِ ٱنقُصۡ مِنۡهُ قَلِيلًا (3) أَوۡ زِدۡ عَلَيۡهِ وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا (4)

Wahai orang yang berselimut (Muhammad)!. Bangunlah (untuk salat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil. (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu. atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan (QS. Al-Muzzammil [73] :1-4)

Ibn Katsir menyatakan, lewat ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk tidak menutup tubuhnya di malam hari, dan bergegas melaksanakan salat malam. Nabi muhammad pun melaksanakan perintah tersebut. Pada saat itu, salat malam diwajibkan pada diri beliau saja (Tafsir Ibn Katsir/8/249).

Imam Ar-Razi menyatakan bahwa para ulama bersepakat bahwa yang dimaksud orang yang menutup diri pada ayat di atas adalah Nabi Muhammad. Imam Ar-Razi kemudian memapaparkan adanya perbedaan pendapat mengenai hukum salat malam berdasar ayat di atas. Ibn ‘Abbas berpendapat bahwa salat malam diwajibkan kepada Nabi Muhammad. Hal ini berdasar bahwa di dalam ayat di atas terdapat perintah salat malam kepada Nabi Muhammad, dan perintah ini secara zahir menunjukkan hukum wajib.

Sebagian ulama menyatakan, bahwa salat malam memang pada mulanya tidak diwajibkan. Mereka mendasarkan pendapatnya salah satunya pada Al-Quran surah Al-Isra ayat 79 (Tafsir Mafatihul Ghaib/30/582):

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهٖ نَافِلَةً لَّكَۖ عَسٰٓى اَنْ يَّبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُوْدًا

Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji (QS. Al-Isra [17]: 79)

Di antara dua pendapat ini, Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa beberapa dalil yang ada menunjukkan bahwa salat malam diwajibkan atas diri Nabi Muhammad. Namun kemudian kewajiban ini dinasakh. Sebagian ulama menyatakan bahwa ayat yang menasakh adalah ayat yang berisi kewajiban salat lima waktu (Al-Jami’ Li ahkamil Qur’an/19/34).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Larangan atas Kekerasan Seksual dalam Surah An-Nur Ayat 33

Hukum Salat Malam Bagi Nabi Muhammad

Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ menyatakan bahwa ulama sepakat mengatakan bahwa salat malam hukumnya sunnah bagi umat nabi muhammad Saw, sedang untuk Nabi Muhammad, sebagian ulama menyatakan hukumnya wajib sampai wafatnya beliau. Dasar yang dipakai adalah Surat Al-Muzzammil ayat 2. Namun hal ini tidak sama dengan pendapat Imam As-Syafi’i yang menyatakan bahwa pada awalnya salat malam diwajibkan pada diri Nabi Muhammad, sebelum kemudian di nasakh (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/16/142).

Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa bukan suatu permasalahan apabila ditemukan hukum yang berbeda antara Nabi Muhammad dan umatnya terkait suatu ibadah. Bisa jadi ini adalah khususiyah atau hukum khusus yang berlaku pada Nabi Muhammad. Hal ini sebagaimana hukum menikah lebih dari 4 orang yang dikhususkan hany untuk Nabi Muhammad Saw, dan tidak diperbolehkan untuk umatnya. Wallahu a’lam bishshowab

Alasan Bersusah Payah Mempelajari Al-Quran, Begini Penjelasannya!

0
alasan bersusah payah mempelajari Al-Quran
alasan bersusah payah mempelajari Al-Quran

Dalam surah an-Nisa ayat 174 disampaikan bahwa Al-Quran adalah bukti yang sudah jelas. Di surah Al-Qamar ayat 17 dijelaskan bahwa Al-Quran telah dimudahkan untuk dipelajari. Lantas kenapa bersusah payah mempelajarinya, mulai dari belajar membaca, menghafal, memahami dan menafsirkan Al-Quran? Uraian berikut bisa menjadi alasan bersusah payah mempelajari Al-Quran

Apabila para pembelajar ilmu Al-Quran dan tafsir ini diberi waktu sejenak untuk merenung, maka ada dua pertanyaan mendasar yang layak untuk diajukan kepada mereka. Pertama, bukankah Al-Quran adalah perkataan yang jelas (al-kalām al-mubīn) dan cahaya benderang (an-nūr al-mubīn), mengapa butuh tafsir sebagai penjelas? Sebagaimana friman-Nya pada QS. An-Nisa [4]: 174 berikut:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Quran).

Jika Alquran adalah cahaya, maka seharusnya ia memiliki sifat seperti cahaya, yaitu terang bagi dirinya dan menerangi selainnya (ẓāhirun linafsihi wa muẓhirun lighairihi). Lalu mengapa Al-Quran yang bersifat seperti cahaya masih membutuhkan penjelas? Atau adakah yang lebih jelas dari cahaya Al-Quran?

Kedua, bukankah Allah telah berjanji untuk memudahkan para pembelajar Al-Quran, lantas mengapa bersusah payah belajar hingga sekolah tinggi? Mari kita simak ayat berikut, QS. Al-Qamar [54]: 17,

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?

Jika Allah berjanji, maka pasti akan ditepati. Bahkan ayat ini diulang 4 kali dalam surat Al-Qamar, lalu apa makna dari ayat ini? Jika Allah memudahkan Al-Quran untuk pelajaran, masihkah kita perlu mempelajari Al-Quran berlama-lama di pesantren atau sampai tingkat perguruan tinggi?

Boleh jadi, dua pertanyaan tersebut luput dari perhatian atau tidak sempat terpikirkan sebelumnya. Akan tetapi, terlepas dari itu, pertanyaan mendasar semacam ini, agaknya bersifat mendesak dan memerlukan jawaban kuat sesegera mungkin. Jika tidak, pertanyaan-pertanyaan itu akan terus menjadi sesuatu yang mengusik kepala dan mengganjal di dada. Berikut disampaikan sekurangnya dua alasan bersusah payah mempelajari Al-Quran.

Baca Juga: Ini Alasan Penting Belajar Ilmu Al-Quran dan Tafsirnya

Dua alasan bersusah payah mempelajari Al-Quran

Pertama, memang benar, bahwa sesungguhnya Al-Qur’an adalah kitab petunjuk, perkataan yang jelas dan cahaya yang terang benderang. Sementara tafsir, bermakna penjelas atau penyingkapan tabir. Sebagaiman dijelaskan dalam mukadimah kitab al-amthal fī tafsīr kitābillah al-munzal (juz 1, hal 6), karya Nāsir Makārim as-Syīrāzī, frasa tafsir Al-Qur’an (penjelasan Al-Quran atau penyingkapan tabir Al-Quran) bukan bermakna ia tidak jelas, sehingga butuh penjelas, atau di hadapannya terdapat tabir sehingga perlu disingkap, melainkan ketidakjelasan dan tabir penutup itu terdapat pada pandangan mata dan jiwa para pembaca Al-Qur’an.

Dengan demikian, tafsir adalah sebuat alat dan upaya untuk menghilangkan tabir-tabir yang menghalangi pandangan para pembaca dari kandungan dan nilai Al-Quran. Tabir-tabir itu bisa berupa kebodohan, kesombongan, kefanatikan, kedangkalan berpikir, bias patriarki, kemaksiatan dan lain sebagainya.

Mengingat bahwa Al-Quran adalah firman Allah, sedang firman Allah adalah jelmaan dari ilmu-Nya dan ilmu-Nya adalah jelmaan dari zat-Nya yang tidak tebatas, maka kandungan dan kedalaman makna Al-Quran pun tidak terbatas.

Implikasi logis dari hal ini, bahwa manusia dengan segala keterbatasannya tidak akan mampu mengungkap seluruh kandungan Al-Quran. Yang bisa dijangkau manusia adalah sebatas kemampuan, kesungguhan dan keikhlasan yang dicurahkan dalam mengkaji Al-Quran. Dengan demikian, umumnya, definisi tafsir Al-Quran yang dikemukakan para pakar diakhiri dengan pernyataan “sesuai kadar kemampuan manusia” (‘alā qadri ṭāqatil basyariyyah), karena cangkir yang kecil, selamanya tidak akan mampu menampung luasnya samudera.

Baca Juga: Peringatan An-Nawawi terhadap Pengajar Al-Quran yang Berebut Pengaruh

Kedua, dimudahkannya Al-Quran untuk dibaca, dihafalkan dan dipelajari, bukan bermakna tanpa perlu ikhtiar sama sekali. Di sisi lain, tabir penghalang begitu tebal di hadapan manusia. Selain itu, upaya manusia punya peran yang berarti dalam rangka menjemput hidayah yang dimudahkan oleh Allah. Hal ini dijelaskan oleh Muhammad Quraish Shihab dalam kaitannya dengan makna hidayah dan tingkatannya pada ayat 6 dari surah al-Fatihah, “Tafsir al-Misbāh Pesan, Kesan dan Keserasian Alquran, (juz 1, hal 63-65)”.

Selanjutnya, Quraish Shihab menambahkan, bahwa hidayah memerlukan kesesuaian antara kedua belah pihak, baik itu pemberi hidayah dan penerima hidayah. Dengan kata lain, di samping “Keaktifan Pemberi”, “Kapabilitas Penerima” juga sebagai syarat yang diperlukan. Karena tanah yang tandus tidak akan menumbuhkan pohon, sekalipun hujan turun di atasnya seribu kali, karena pohon hanya akan tumbuh di atas tanah yang potensial untuk menerima tetesan hujan yang menumbuhkan.

Demikian pula hati dan jiwa manusia, ia tidak akan bisa menerima benih hidayah selagi dirinya belum dibersihkan dari kekerasan hati dan fanatisme. Oleh karena itu, kemudahan itu perlu disambut dengan kesungguhan dalam mempersiapkan diri menerima petunjuk-petunjuk Al-Quran.

Ada sebuah kaidah Filsafat dalam kitab Nāfidhah ‘alāl Falsafah, karya Ṣādiq as-Sā’adī, disebutkan, “mesti ada kesesuaian antara wadah dan yang mengisi.” Jika mengikuti kaidah “Kesesuaian” ini, kalau Al-Quran itu suci dan wadah petunjuk itu bernama hati, maka kesucian hati adalah syarat utama bagi manusia untuk memperoleh petunjuk dari Al-Quran yang suci ini.

Jawaban tersebut hanya satu dari sekian banyak jawaban yang bisa dikemukakan. Setidaknya dua hal tadi bisa menjadi alasan bersusah payah mempelajari Al-Quran. Memang tidak ada jawaban yang memuaskan, akan tetapi, memberi jawaban adalah upaya untuk menghilangkan sedikit demi sedikit hal-hal yang mengusik pikiran dan mengganjal di hati.

Kemudian, jawaban itu akan mendatangkan keyakinan secara perlahan, sehingga seseorang akan mantap di hati dalam melakukan sesuatu atau mempelajari serangkaian ilmu, dalam hal ini adalah mempelajari ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Wallahu a’lam bisshowab.

7 Sifat-Sifat Penghuni Surga Menurut Al-Qur’an

0
Sifat-Sifat Penghuni Surga
Sifat-Sifat Penghuni Surga

Pada artikel sebelumnya, Ragam Istilah dan Gambaran Surga dalam Al-Qur’an, telah dijelaskan tentang istilah surga dan gambarannya dalam Al-Qur’an. Selanjutnya, harus kita ketahui bahwa ketika Al-Qur’an menerangkan tentang surga dan kenikmatannya, ia juga menerangkan sifat-sifat penghuni surga. Mereka inilah yang akan mendiami surga sesuai janji dan ketetapan Allah swt.

Dalam Al-Qur’an penghuni surga disebut dengan ashab al-jannah atau ahl al-Jannah. Terminologi ini sering digunakan Al-Qur’an untuk menyebut sifat-sifat penghuni surga, yakni mereka yang berhak mendiami surga dan menikmati berbagai kenikmatannya. Dari sini juga dapat dipahami adanya isyarat perintah secara implisit agar seorang muslim meneladani sifat tersebut.

Berdasarkan penelusuran penulis, setidaknya ada 13 ayat yang secara tegas menyebut istilah ashab al-jannah; 12 kali berbicara mengenai sifat-sifat penghuni surga dan 1 kali tentang kisah pemilik kebun. Secara umum, 12 ayat itu menjelaskan 3 hal, yakni: sifat-sifat penghuni surga, kondisi mereka di dalamnya dan perbedaan mereka dengan para penghuni neraka.

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin ayat 58-59: Ucapan Salam Untuk Para Penghuni Surga

Dari 12 ayat tersebut – yakni surah al-Baqarah [2] ayat 82; surah al-A’raf [7] ayat 42, 44, 46 dan 50; surah Yunus [10] ayat 26; surah Hud [11] ayat 23; surah al-Furqan [25] ayat 24; surah Yasin [36] ayat 55; surah al-Ahqaf [46] ayat 14 dan 16; serta surah al-Hasyr [59] ayat 20 – serta beberapa ayat lain berkenaan surga, penulis menemukan penjelasan sifat-sifat penghuni surga, sebagai berikut:

1. Beriman dan Beramal Saleh

Sifat penghuni surga yang pertama adalah beriman dan beramal saleh. Mereka itulah orang-orang yang akan menghuni surga dan kekal di dalamnya. Ha ini disebutkan dalam surah al-A’raf [7] ayat 42 yang berbunyi:

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَآ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ٤٢

Dan orang-orang yang beriman serta mengerjakan kebajikan, Kami tidak akan membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Mereka itulah penghuni surga; mereka kekal di dalamnya” (QS. Al-A’raf [7] ayat 42).

2. Muhsin

Sifat penghuni surga yang kedua adalah muhsin atau orang yang baik dan berbuat kebaikan. Hal ini diterangkan dalam surah Yunus [10] ayat 26 yang berbunyi:

۞ لِلَّذِيْنَ اَحْسَنُوا الْحُسْنٰى وَزِيَادَةٌ ۗوَلَا يَرْهَقُ وُجُوْهَهُمْ قَتَرٌ وَّلَا ذِلَّةٌ ۗاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ٢٦

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah). Dan wajah mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) dalam kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Yunus [10] ayat 26).

3. Merendahkan diri kepada Allah swt

Sifat penghuni surga yang ketiga adalah merendahkan diri kepada Allah swt. Sifat ini disebutkan dalam surah Hud [11] ayat 23 yang berbunyi:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَخْبَتُوْٓا اِلٰى رَبِّهِمْۙ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ ٢٣

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dan merendahkan diri kepada Tuhan, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Hud [11] ayat 23).

4. Bertobat Dari Kesalahan

Sifat penghuni surga yang keempat adalah bertobat dari segala kesalahan. Melalui pertobatan tersebut, Allah swt dengan rahmat-Nya akan mengampuni semua kesalahan dan dosa-dosa. Hal ini disyaratkan dalam surah al-Ahqaf [46] ayat 16 yang berbunyi:

اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ نَتَقَبَّلُ عَنْهُمْ اَحْسَنَ مَا عَمِلُوْا وَنَتَجَاوَزُ عَنْ سَيِّاٰتِهِمْ فِيْٓ اَصْحٰبِ الْجَنَّةِۗ وَعْدَ الصِّدْقِ الَّذِيْ كَانُوْا يُوْعَدُوْنَ ١٦

Mereka itulah orang-orang yang Kami terima amal baiknya yang telah mereka kerjakan dan (orang-orang) yang Kami maafkan kesalahan-kesalahannya, (mereka akan menjadi) penghuni-penghuni surga. Itu janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS. Al-Ahqaf [46] ayat 16).

Sifat ini pernah disebutkan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya al-Fawa’id. Beliau mengatakan bahwa di antara sifat yang dimiliki para penghuni surga adalah mereka merupakan orang-orang awwab, yakni orang-orang yang kembali kepada Allah swt dari kemaksiatan menuju ketaatan, dari keterlenaan terhadap dunia menjadi terjaga dari dunia dan berbagai keburukannya.

5. Istikamah

Sifat penghuni surga yang kelima adalah Istikamah, yakni orang-orang yang konsisten dalam kebaikan dan senantiasa mengupayakannya. Hal ini Allah firmankan dalam surah al-Ahqaf [46] ayat 13-14 yang berbunyi:

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ ١٣ اُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ الْجَنَّةِ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۚ جَزَاۤءً ۢبِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ١٤

Sesungguhnya orang-orang yang  berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istikamah tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati. Mereka itulah para penghuni surga, kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Ahqaf [46] ayat 13-14).

6. Sabar dan Tawakal

Sifat penghuni surga yang keenam ialah sabar dan tawakal terhadap berbagai masalah yang dihadapi seraya berusaha menyelesaikannya. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah – sering – mengeluh terhadap takdir Allah swt dan senantiasa menghadapi dengan lapang dada apa yang ada di depan mereka, baik nikmat maupun cobaan. Hal ini disebutkan dalam surah al-Ankabut [29] ayat 58-59 yang berbunyi:

وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَنُبَوِّئَنَّهُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ غُرَفًا تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَاۗ نِعْمَ اَجْرُ الْعٰمِلِيْنَۖ ٥٨ الَّذِيْنَ صَبَرُوْا وَعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ ٥٩

“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, sungguh, mereka akan Kami tempatkan pada tempat-tempat yang tinggi (di dalam surga), yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik balasan bagi orang yang berbuat kebajikan, (yaitu) orang-orang yang bersabar dan bertawakal kepada Tuhannya.” (QS. Al-Ankabut [29] ayat 58-59).

7. Ikhlas (Mukhlis)

Sifat penghuni surga yang ketujuh ialah ikhlas, yakni orang-orang yang mengesakan Allah swt dan hanya mengharap rida-Nya dalam beramal, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial. Dalam konteks ini, Allah swt adalah satu-satunya tujuan utama dalam hidup mereka, sedangkan hal lain seperti harta, tahta, pasangan dan anak adalah wasilah penghubung dengan-Nya.

Baca Juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 55-57: Kenikmatan Penduduk Surga

Allah swt berfirman dalam surah as-Saffat [37] ayat 40-43 yang berbunyi:

اِلَّا عِبَادَ اللّٰهِ الْمُخْلَصِيْنَ ٤٠ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ رِزْقٌ مَّعْلُوْمٌۙ ٤١ فَوَاكِهُ ۚوَهُمْ مُّكْرَمُوْنَۙ ٤٢ فِيْ جَنّٰتِ النَّعِيْمِۙ ٤٣

Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa), mereka itu memperoleh rezeki yang sudah ditentukan, (yaitu) buah-buahan. Dan mereka orang yang dimuliakan, di dalam surga-surga yang penuh kenikmatan.” (QS. As-Saffat [37] ayat 40-43).

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa penghuni surga setidaknya memiliki tujuh sifat, yakni beriman dan beramal saleh, muhsin, merendahkan diri di hadapan Allah swt, bertobat dari kesalahan, istikamah, sabar dan tawakal serta ikhlas dalam setiap perbuatan. Sifat-sifat ini disebutkan oleh Al-Qur’an berfungsi sebagai isyarat halus bagi kita agar berlaku demikian jika ingin masuk surga. Wallahu a’lam.

Tafsir Kebangsaan, Prof. Nasaruddin Umar: Memperkenalkan Diri sebagai Pengkaji Al-Quran tanpa Beban Ideologi dan Politik

0
Prof. Nasaruddin Umar di Bedah Buku Tafsir Kebangsaan
Prof. Nasaruddin Umar di Bedah Buku Tafsir Kebangsaan

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA., Imam Besar masjid Istiqlal yang juga Guru Besar tafsir UIN Syarif Hidayatullah , Jakarta mengomentari buku Tafsir Kebangsaan yang baru terbit, sebuah buku yang membahas tentang isu-isu kebangsaan dengan pendekatan tafsir. Kehadiran buku ini menurut beliau tentu tidak dalam rangka mencari musuh, tapi lebih kepada ingin memperkenalkan diri sebagai pengkaji Al-Quran yang berusaha untuk objektif, tanpa beban ideologi, politik dan seterusnya.

“Tentu saja kita hadir di sini bukan  untuk mencari musuh, tapi kita ingin memperkenalkan diri kita sebagai seorang pengkaji Al-Quran tanpa beban-beban ideologi, tanpa beban-beban politik dari manapun juga termasuk tanpa beban sponsor,” kata Prof. Nasar dalam Launching dan Bedah Buku Tafsir Kebangsaan yang digelar oleh tafsiralquran.id, Sabtu (27/03/2021)

Oleh sebab itu, perlu  dipertimbangkan dengan seksama unsur di belakang lahirnya sebuah karya, termasuk sponsor dari terbitnya sebuah karya. Buku atau karya apapun yang bagus dan berkualitas, jangan sampai dicederai oleh sponsor atau motif apapun di belakang penerbitannya.

Baca Juga: Ayat-Ayat Jihad dalam Al-Quran: Klasifikasi dan Kontekstualisasinya Di Era Kekinian

Mandiri dalam penelitian

Data dalam sebuah penelitian itu sangat penting, harus ada dan harus valid. Dalam konteks mengkaji atau menafsirkan Al-Quran, data hasil penelitian atau survey sebuah lembaga yang kredibel juga sangat dibutuhkan. Data ini menjadi tambahan bahan analisis yang kuat bagi sebuah penafsiran. Namun demikian, tidak sembarang lembaga penelitian dapat diambil datanya, ini juga harus diperhatikan.

Agar terhindar dari banyak prasangka dan upaya menjaga netralitas sebuah penelitian, akan sangat sempurna jika kita sendiri (seorang peneliti, baik secara individu maupun lembaga) yang melakukan survey tersebut. “survey yang dilakukan oleh teman-teman kita yang lain sering dicurigai juga, itu sponsornya siapa melakukan survey itu, akhirnya menjadi bias juga. Nah, kalau tidak ingin bias, kita lakukan kajian sendiri, seperti yang dilakukan teman-teman dari Nasaruddin Umar Foundation” terang founder Nasaruddin Umar Foundation ini.

Namun demikian, bukan berarti peneliti harus menutup diri dari bantuan orang lain. Peneliti tetap terbuka terhadap bantuan, tetapi tetap dengan memperhatikan motif bantuan tersebut. Ini mungkin yang disebut dengan hati-hati dan waspada.

Baca Juga: Follow Up Pengembangan Website, CRIS bersama tafsiralquran.id Menggelar Webinar Tafsir Al-Quran di Medsos

Menyemangati dan mengapresiasi para penulis muda

Dalam kesempatan ini pula, Prof. Nasar mencoba menyemangati para peneliti dan penulis muda. Diketahui bahwa masih minim apresoasi untuk para penulis muda dan peneliti pemula. Untuk itu beliau mengajak banyak pihak untuk selalu mensupport, memberi bantuan kepada para penulis agar generasi pemuda cemerlang ini bisa terus mengembangkan ide dan potensi mereka, diingat tidak untuk niat yang lain.

Tidak lupa, Rektor PTIQ ini sangat mengapresiasi para penulis muda, khususnya yang tergabung dalam penulisan buku Tafsir Kebangsaan, “Jangan memandang dirinya masih kecil, hemat saya, kecil itu tidak diukur dari rendahnya jenjang pendidikan yang ditempuh, tapi boleh jadi jenjang pendidikan kita itu belum seperti yang lain, tapi kalau kita mampu menciptakan karya besar, maka sesungguhnya orang itulah yang disebut orang besar” motivasi beliau.

Selain itu, selayaknya orang tua yang tidak hanya memuji, beliau juga memberikan masukan, arahan dan bimbingan untuk kelanjutan dan pengembangan buku Tafsir Kebangsaan ini.

Buku Tafsir Kebangsaan: Cinta Tanah Air, Toleransi dan Bela Negara dalam Al-Quran sendiri merupakan kompilasi artikel hasil penelitian dan pendalaman tim redaksi dan kontributor tafsiralquran.id atas beberapa isu-isu kebangsaan.

Ada lima sub tema dalam buku ini. Bagian satu adalah nasionalisme, kebangsaan dan cinta tanah air dalam Al-Quran; Bagian Dua yaitu tentang kebhinnekaan, toleransi dan kerukunan antarumat beragama; Bagian Tiga membahas tentang meluruskan paham tafsir jihad dan ideologi atas nama agama; Bagian Empat yaitu Al-Quran, perdamaian dan kemanusiaan; Bagian Lima mengkaji tentang nilai-nilai Pancasila dalam Al-Quran.

Semoga bermanfaat.

Surah Yusuf Ayat 76, Mawas Diri dan Pintar Merasa

0
Mawas Diri
Mawas Diri dalam Surah Yusuf Ayat 76

Artikel ini akan mengulas tentang pentingnya mawas diri dan tawadhu. Dalam konteks pengetahuan, orang yang merasa dirinya banyak tahu cenderung menjadi sombong. Sifat merasa pintar perlu dihindari. Sebaliknya, menjadi orang yang pintar merasa (mawas diri) adalah sifat terpuji. Dalam Surah Yusuf ayat 76 Allah Swt berfirman:

 وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ …

“…Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan, ‎ada yang Maha Mengetahui” (Q.S. Yusuf : 76)‎

Imam Hasan Al-Bashri ketika memaknai maksud ayat ini, sebagaimana ‎dikutip oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya, mengatakan bahwa tiadalah orang ‎alim, kecuali di atasnya ada orang alim lainnya, hingga ilmu itu terhenti ‎kepada Allah Swt.‎

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman

Rangkaian ayat di atas seharusnya menggugah kesadaran kita, bahwa ‎tidak layak seorang hamba merasa dirinya pintar. Karena kita perlu mawas diri, di luar sana masih ‎banyak orang yang jauh lebih pintar. Dan tentu, muara ilmu itu pada akhirnya ‎berhenti di sisi Allah Swt. ‎

Ya, merasa pintar atau dalam istilah jawa sering disebut ‘keminter’ ‎alias ‘sok pintar’ adalah bagian dari kesombongan. Biasanya, orang yang ‎merasa pintar itu karena sesungguhnya sedang menutupi kekurangan dan ‎kebodohannya.

Dia tidak ingin orang lain tahu kekurangannya serta ‎kebodohannya, sehingga dia menunjukkan diri kepada orang lain seolah-olah ‎dia itu pintar. Padahal, orang pun akan dapat membedakan mana orang pintar ‎yang sesungguhnya, dan mana orang pintar jadi-jadian alias abal-abal. Akan ‎tampak sangat jelas mana emas mana loyang.‎

Orang yang tidak pintar merasa, akan bangga dengan status sosial, ‎ilmu, harta, kedudukan, bahkan nasab yang dimilikinya. Dia menganggap ‎dirinya lebih dari orang lain, sekaligus menganggap orang lain lebih rendah ‎darinya. Sikap kagum dan bangga pada diri sendiri (i’jab al-mar’i bi nafsihi), ‎disebutkan dalam sebuah hadis Nabi Saw, sebagai salah satu dari tiga hal ‎yang akan merusak dan menghancurkan (muhlikat) diri, selain sifat kikir yang ‎ditaati dan keinginan (hawa) yang terus-menerus dituruti.‎

Di antara ciri orang yang merasa pintar adalah dia tidak mau menerima ‎pendapat, saran, petuah, apalagi kritik dari orang lain. Tetapi sebaliknya, dia ‎ingin agar orang lain menerima pendapat, saran, petuah dan kritik darinya. ‎Dia memosisikan dirinya lebih superior dari orang lain, sekaligus menempatkan ‎orang lain lebih inferior darinya.‎

Orang yang benar-benar pintar dan pintar merasa, tidak akan merasa ‎pintar. Dia justru berusaha menutupi dan tidak menampakkan kepintarannya. ‎Dalam bahasa agama, orang yang sunguh-sungguh pintar akan tetap rendah ‎hati (tawaduk).‎

Alih-alih bersikap merasa pintar, akan jauh lebih baik jika kita pintar ‎merasa. Pintar merasa berarti peka, peduli dan penuh empati. Pintar merasa ‎menunjukkan kualitas diri seseorang yang sesungguhnya.‎

Orang yang pintar merasa, meski ilmunya setinggi langit, ia akan tetap ‎membumi. Meski hartanya melimpah ruah, dia akan tetap bersikap ramah. ‎Meski status sosial dan jabatannya tinggi, dia akan tetap rendah hati. Meski ‎berasal dari keluarga terhormat, tetapi tidak gila hormat. ‎

Baca Juga: Surah al-A’raf [7] Ayat 199: Perintah Untuk Memaafkan Kesalahan Orang Lain

Orang yang pintar merasa, tidak akan pernah menganggap dirinya ‎lebih dari orang lain, meski beragam prestasi dan karya-karya luar biasa ‎pernah diraih dan ditorehkannya. Ia tetap merasa sebagai hamba yang penuh ‎kekurangan dan kelemahan. Semua prestasi dan karya yang diraih dan ‎ditorehkannya hanyalah semata-mata karena izin Allah atas ikhtiar yang ‎dilakukannya.‎

Semoga kita terhindar dari sikap merasa pintar. Sebaliknya, tetap ‎bersikap pintar merasa.‎ Wallahu A’lam.

Membaca Urgensi Konteks Al-Qur’an dari Tiga Karya Fenomenal Imam Jalaluddin As-Suyuthi

0
Imam Jalaluddin As-Suyuthi
Makam Imam Jalaluddin As-Suyuthi

Salah satu ulama terkemuka yang menjadi rujukan penting dalam perjalanan kajian Al-Qur’an, termasuk di Indonesia, adalah Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Karya-karya yang ia tulis tidak kurang dari lima ratus kitab dengan berbagai disiplin keilmuan seperti disiplin Tafsir dan Ulumul Qur’an, Ulumul Hadis, Fiqh, Ulumul Balaghah, Sejarah, Adab, Tasawwuf, Fiqh Lughah, Nahwu, dan lainnya.

Di sini, saya akan berfokus pada kontribusi As-Suyuthi terhadap kajian Al-Qur’an, terumata dari sisi pembacaan konteks Al-Qur’an. Karena itu, saya akan memilih disiplin Tafsir dan Ulumul Qur’an. Pemilihan ini berdasarkan fakta bahwa As-Suyuthi lebih marak dirujuk dalam disiplin Tafsir dan Ulumul Qur’an daripada disiplin keilmuan lainnya.

Selain itu, hal ini juga berdasarkan fakta awal Al-Qur’an ketika diwahyukan oleh Allah SWT lalu ke Malaikat Jibril lalu ke Nabi Muhammad SAW hingga masyarakat Arab, yang dalam proses penyampaian tersebut terikat erat degan konteks bangsa Arab era pewahyuan. Tetapi, seiring perkembangannya, pemahaman konteks Al-Qur’an mulai ditinggalkan, dan banyak yang hanya berfokus pada teks tulis Al-Qur’an.

Biografi dan Tiga Karya Fenomenalnya

Imam Jalaluddin As-Suyuthi dilahirkan di daerah Asyuth, Mesir, pada tahun 849 H/ 1445 M dan wafat pada 911 H/1505 M. Nama lengkapnya adalah Abdurrahman ibn Kamal ibn Abu Bakr ibn Muhammad Sabiqudin ibn Fakhr Utsman ibn Nazirudin Muhammad ibn Saifudin ibn Hadir ibn Najmudin ibn Shalah Ayub ibn Nashirudin ibn Muhammad Ibn Syaikh Hamamuddin Al-Hamam Al-Hudhairi Al-Suyuthi Al-Syafi’i (As-Suyuthi, 2007).

Baca Juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif

Ayahnya berasal dari keturunan Persia, ia dikenal sebagai keturunan terakhir dari keluarga Hamamuddin yang tinggal di As-Suth. Sementara ibunya berasal dari Sikasian yang merupakan salah satu etnis di daerah Sirkasia yang terletak di Kaukasus Utara. Sebelum pindah ke Mesir, leluhurnya berasal dari Al-Khudairiyya di Baghdad. Namanya sebagai As-Suyuthi menjadi penanda bahwa ia dilahirkan dan besar di As-Suyuth, Mesir (Yusrin Abdul Ghani Abdullah, 2004).

Mengenai karya-karyanya, tiga karya yang paling fenomenal adalah Lubab Al-Nuqul fi Asbab Al-Nuzul (2002), Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an (2007), dan Tafsir Jalalain (1999) yang semuanya berada dalam disiplin Tafsir dan Ulumul Qur’an. Kitab Lubab Al-Nuqul fi Asbab Al-Nuzul merupakan kitab yang menjelaskan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an, yang tergolong besar selain kitab Asbab Nuzul Al-Qur’an (1991) karya Al-Wahidi.

Sementara, kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an merupakan kitab yang membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an, yang tergolong besar dan komprehensif selain kitab Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an (2006) karya Az-Zarkhasyi. Adapun kitab tafsir Jalalain yang ditulis bersama Jalaluddin Al-Mahalli (764-891 H) menjadi kitab yang terbilang ringkas tetapi sangat populer digunakan dari berbagai kalangan.

Kehidupan dan tiga karya fenomenal Imam Jalaluddin As-Suyuthi tersebut mengindikasikan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengaruh dan memiliki sumbangsih besar dalam perjalanan kajian Tafsir dan Ulumul Qur’an. Jasanya terus mengalir dalam kajian Al-Qur’an, di antaranya adalah upaya menggali pemahaman konteks Al-Qur’an yang termuat dalam kitab-kitab tersebut.

Membaca Konteks Al-Qur’an

Tiga kitab Jalaluddin As-Suyuthi di atas saling terkait satu sama lain yang dapat kita ambil benang merahnya pada pemahaman konteks Al-Qur’an. Bahkan, ketiga kitab tersebut menempatkan diskusi konteks Al-Qur’an sebagai bagian sangat penting.

Di dalam kitab Lubab Al-Nuqul fi Asbab Al-Nuzul, kita disajikan sebab-sebab turunnya Al-Qur’an dari berbagai riwayat. Di sana, kita akan memahami bahwa sebuah ayat Al-Qur’an disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW kemudian kepada masyarakat Arab yang terikat pada konteks tertentu.

Dari sini, ulama Al-Qur’an kemudian melahirkan sebuah kaidah bahwa Al-Ibrah bi Khusus Al-Sabab, la bi Umumil Lafdz. Dengan kata lain, memahami Al-Qur’an penting dilibatkan mengenai konteks pewahyuannya.

Lebih jauh, Lubab Al-Nuqul fi Asbab Al-Nuzul seringkali menjelaskan sebab turunnya Al-Qur’an dengan mengemukakan lebih dari satu konteks. Upaya As-Suyuthi ini memberi dua pemahaman: (1) satu ayat kerapkali diwahyukan lebih dari sekali, dan (2) satu ayat dapat dipahami dan dikaitkan pada beberapa konteks.

Misalnya, ketika menjelaskan sebab turun QS. Al-Baqarah [2]: 256, As-Suyuthi mengemukakan dua riwayat yang menunjukkan dua konteks sebab turunnya surah tersebut. Konteks pertama adalah seorang ibu yang hendak memaksa anaknya masuk Islam (As-Suyuthi, 2002). Konteks kedua adalah Al-Hushain (seorang Ayah) yang hendak memaksa anaknya masuk Islam (As-Suyuthi, 2002).

Kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an menyajikan ilmu-ilmu yang digunakan dalam memahami Al-Qur’an. Sebenarnya, di dalam kitab tersebut memuat ilmu yang terkait teks tulis Al-Qur’an, dan ilmu yang terkait konteks Al-Qur’an. Namun, posisi pentingnya pembacaan konteks dalam kitab tersebut akan disadari jika dilihat penempatan diskusi konteks oleh As-Suyuthi yang ditempatkan pada bab-bab awal.

Ini mengindikasikan bahwa sebelum memahami ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya, terlebih dahulu penting memahami konteks pewahyuan Al-Qur’an. Lebih jauh, upaya yang dilakukan oleh As-Suyuthi tersebut juga mengindikasikan bahwa pemahaman konteks Arab dan wahyu (Al-Qur’an) merupakan dua hal yang terkait erat dalam memunculkan pemahaman yang utuh terhadap pesan Ilahi.

Adapun diskusi konteks yang dimaksud dalam kitab Al-Itqan di antaranya adalah wahyu yang disampaikan di Mekkah dan Madinah; wahyu yang disampaikan saat menetap dan perjalanan; wahyu yang disampaikan saat siang dan malam; wahyu yang disampaikan di musim panas dan dingin; wahyu yang disampaikan di tempat tidur dan selama Nabi tidur; wahyu yang disampaikan di bumi dan langit; dan seterusnya (As-Suyuthi, 2007).

Kitab Tafsir Jalalain dapat disebut sebagai praktik atau penerapan pertemuan wahyu dan diskusi konteks. Meski terbilang ringkas, tetapi tafsir Jalalain sangat sering mengungkap pembacaan konteks Al-Qur’an dalam menjelaskan pemahaman sebuah Ayat.

Misalnya, ketika menafsirkan ‘yang berhak memegang kunci Ka’bah’, sebagaimana tersirat ketika disampaikan QS. An-Nisa [4]: 58, As-Suyuthi mengemukakan konteks pewahyuannya sehingga jelaslah bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah Usman ibn Thalhah (As-Suyuthi, 1999).

Dalam kasus ayat lainnya, QS. ‘Abasa misalnya, terjemahan ayat tersebut mengatakan “Dia berwajah masam dan berpaling”. Terjemahan ini tidak jelas tentang siapa yang bermuka masam? Mengapa dia bermuka masam? Dan kepada siapa ia bermuka masam? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini hanya dapat terjawabkan melalui pembacaan konteks pewahyuannya.

Baca Juga: Tafsir Al-Jalalain tentang Surah Al-Ahzab Ayat 37 dan Beberapa Komentar Atasnya

Di sini, As-Suyuthi mengatakan bahwa ayat tersebut merupakan teguran Allah SAW kepada Nabi Muhammad SAW yang bermuka masam kepada Abdullah ibn Ummi Maktum. Ini terjadi karena Nabi Muhammad SAW mengabaikan permintaan Abdullah ibn Ummi Maktum untuk belajar tentang Islam (As-Suyuthi, 1999).

Bagi kita, paparan konteks Al-Qur’an di atas dapat dikaitkan. Kitab tafsir Jalalain sebagi produk penafsiran yang ketika proses penafsirannya membutuhkan kitab Lubab Al-Nuqul fi Asbab Al-Nuzul yang ilmunya terdapat pada kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an.

Dari paparan pembacaan konteks Al-Qur’an melalui tiga karya fenomenal di atas dapat dipahami bahwa Imam Jalaluddin As-Suyuthi sangat mengedepankan dan mementingkan adanya pemahaman konteks ketika hendak memahami sebuah ayat Al-Qur’an. Dengan pemahaman konteks tersebut, maka pemahaman Al-Qur’an dapat ditemukan dan dirasakan secara utuh. [] Wallahu A’lam.