Beranda blog Halaman 365

Bom Bunuh Diri Termasuk Mati Syahid?: Surah An-Nisa’ Ayat 29-30

0
Bom Bunuh Diri
Bom Bunuh Diri

Tepat hari minggu pagi, 28 Maret 2021 terjadi lagi aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Kajaoalido, MH Thamrin, Makassar, Sulawesi Selatan. Meskipun motif dhahir pelaku tersebut masih tersembunyi, namun aksi bom bunuh diri atau yang disebut al-intihar terbaca jelas bahwa ia tidak bisa dilepaskan dari unsur agama. Tentunya, adanya unsur agama yang dimaksud bukan kesalahan pada agamanya, namun pada pemahaman tafsirnya. Aksi-aksi serupa yang sudah kesekian kalinya terjadi di berbagai gereja di tanah air biasanya didasari dalih pelaku ‘membunuh orang kafir maka akan mendapat predikat mati syahid (‘amaliyah al-isytisyhad)’. Namun, apakah benar dalam Islam melakukan aksi bom bunuh diri (al-intihar) di gereja adalah salah satu upaya yang bisa mengantarkan pada predikat kesyahidan (al-isytisyhad)? Simak penjelasan berikut!

Bunuh Diri Mencederai Pesan Surah An-Nisa’ ayat 29-30

Agama Islam di dalam Al-Quran tidak pernah mengajarkan pembunuhan terhadap manusia tanpa alasan dharuriyah. Jangankan menghilangkan nyawa orang lain secara massal, menghilangkan nyawa diri sendiri atau bunuh diripun sangat tidak dibenarkan oleh Islam. Hal itu justru mencederai pesan surah An-Nisa’ ayat 29-30:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا . وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ عُدْوَٰنًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Baca juga: Ragam Istilah dan Gambaran Surga dalam Al-Qur’an

Ayat di atas khususnya pada lafadz وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ dimaknai oleh sebagian mufassir seperti Al-Qurthuby dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Quran atau Ibnu al-Munzhir al-Naysaburi sebagai larangan bunuh diri. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah juga mengungkapkan hal senada secara panjang lebar. Ia berpendapat bahwa jiwa dan raga seseorang pada hakikatnya adalah milik Allah. Maka tidak dibenarkan siapapun menghilangkan nyawa manusia termasuk nyawanya sendiri, karena hal tersebut merupakan sebuah keputusan hidup dan mendahului kehendak Allah. Ia melakukan aniaya terhadap dirinya sendiri dan balasannya nanti adalah neraka.

Mufassir Mesir Mutawalli Sya’rawi bahkan lebih keras mengecam tindakan bunuh diri tersebut seraya menyodorkan referensi hadis riwayat Bukhari. Dalam kitabnya Al-Hayat wa Al-Mawat ia menyatakan dengan tegas bahwa orang yang membunuh dirinya sendiri niscaya ia divonis kekal dan dikekalkan di neraka.

Begitu kuatnya inti makna surah An-Nisa ayat 29-30 tersebut sebagaimana yang telah diungkapkan para mufassir di atas terhadap penjagaan satu nyawa manusia. Prinsip tersebut telah jelas sejak Islam lahir sehingga dalam kaidah ushuliyah kita mengenal 5 prinsip Islam yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustafa. Kelima prinsip yang dinamakan al-dharuriyah al-khamsah tersebut memuat penjagaan terhadap kebebasan beragama, kelangsungan hidup, kreativitas berfikir, keturunan dan kehormatan, serta kepemilikan harta benda. Alhasil tindakan bom bunuh diri dengan alasan apapun justru menciderai pesan-pesan Al-Quran secara umum, terlebih pada surah An-Nisa’ ayat 29-30.

Baca juga: Ngaji Gus Baha: Tafsir Kesempurnaan Agama dalam Surah Al-Maidah Ayat 3

Bukan Predikat Syahid, Tapi Pemahaman yang Sakit

Dalam literatur Islam, keinginan kuat untuk mati dalam keadaan jihad disebut isytisyhad yang dalam ilmu sharaf dimaknai sebagai mencari kesyahidan (thalabus syahadah). Sedangkan orang yang meninggal dalam keadaan jihad disebut sebagai Syahid. Sebagai orang Islam, mati dalam keadaan yang syahid adalah dambaan, karena balasannya adalah surga. Namun, apakah kematian yang syahid hanya dimaknai secara eksklusif melakukan aksi bom bunuh diri dengan alasan jihad membunuh kaum yang dinggap ‘kafir’?

Lagi-lagi jika merujuk Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32, jawabannya adalah lain. Dalam surah tersebut jelas diterangkan bahwa menghidupi jiwa manusia saja seakan ia menghidupi manusia seluruhnya. Begitu juga sebaliknya, membunuh satu jiwa manusia maka ia bak membunuh seluruh manusia dan merusak kehidupan ini.

Dalam keterangan hadis riwayat Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Hibban, juga disebutkan bahwa yang dimaksud kematian syahid bahkan sangat luas dan tidak sesempit pemahaman para pelaku aksi bom bunuh diri. Dalam hadis tersebut Rasulullah menyatakan bahwa bahwa kesyahidan ada tujuh selain gugur dalam perang, orang yang mati karena keracunan, tenggelam dalam air, terkena virus atau wabah pandemi, terkena lepra, terbakar api, tertimbun bangunan, serta perempuan yang meninggal karena melahirkan. Bukhari dan Muslim dalam takhrijnya juga menyepakati isi dari hadis tersebut meski dengan redaksi yang berbeda.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat tentang Salat Fardu yang Paling Utama

Dari sekian paparan di atas telah begitu jelas bahwa tidak sedikitpun ajaran Islam mengajarkan bahkan membenarkan aksi bunuh diri dan membunuh orang lain bahkan degan tujuan yang seakan ‘membela agama’. Mereka yang melakukan aksi bunuh diri dengan mengantongi persepsi iming-iming syahid dan surga sebetulnya adalah cacat dan sakit dalam pemahaman teks. Pertama, mereka justru menciderai pesan-pesan luhur Al-Quran dan hadis yang sangat menjaga kelangsungan kehidupan diri sendiri dan orang lain. Kedua, mereka malah melakukan tindakan yang jauh dari prinsip Islam rahmatan lil ‘alamin. Walhasil predikat syahid kematian tersebut sama sekali tidak didapatkan, justru kematian yang hanya sia-sia belaka. Wallahu a’lam

Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran Sebagai Penyembuh Kebodohan dan Keraguan

0
Al-Quran sebagai penyembuh kebodohan dan keraguan
Al-Quran sebagai penyembuh kebodohan dan keraguan

Kebodohan dan keraguan adalah dua entitas yang harus dimusnahkan dalam nomenklatur peradaban manusia. Betapa tidak, rusaknya peradaban dan munculnya permasalahan disebabkan oleh keduanya. Kebodohan adalah pangkal kerusakan dan episentrum kemudharatan. Sementara keraguan merupakan pekerjaan setan untuk menegasikan keyakinan dalam diri manusia. Ayat syifa kali ini menyinggung Al-Quran sebagai penyembuh kebodohan dan keraguan.

Oleh karena itu, Islam telah memberikan tuntunan kepada kita agar bisa sembuh dari kedua penyakit itu sebagaimana terlukiskan dalam firman-Nya,

قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هُدًى وَّشِفَاۤءٌ ۗوَالَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرٌ وَّهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًىۗ اُولٰۤىِٕكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَّكَانٍۢ بَعِيْدٍ ࣖ

Katakanlah, “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an) itu merupakan kegelapan bagi mereka. Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (Q.S. Fussilat [41]: 44)

Baca Juga: Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat bagi Orang Beriman

Tafsir surah Fussilat Ayat 44

Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir menafsirkan ayat di atas bahwa sesungguhnya Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang mukmin dari kesesatan (hudan lil mu’minin min al-dhalalah), dan penyembuh kebodohan dan keraguan juga kebimbangan (wa syifa-un lahum minal jahli wa al-syakki wa al-raibi).

Dalam Hasyiyah al-Baidhawi juga dikatakan,

قال في حاشية البيضاوي: إِنَّ الْقُرْآنَ لوضوحُ آيَاتِهِ، وَسطوعُ بَرَاهِيْنِهِ، هَادٍإِلَى الْحَقِّ، وَمَزِيلٌ لِلرَّيْبِ والشَّكِّ، وَشِفَاءٌ مِنْ دَاءِ الْجَهْلِ وَالْكُفْرِ وَالْاِرْتِيَابِ، وَمَنْ ارْتَابَ فِيهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِهِ، فَارْتِيَابه إنما نشأ عن توغله فِي اتِّبَاعِ الشَّهَوَاتِ، وَتقَاعده عن تفقد ما يسعده وَينجيه

“Sesungguhnya ayat-ayat Al-Quran bersinar terang, penjelasannya begitu terang, petunjuk kepada kebenaran, penghilang rasa keraguan dan kebimbangan, penyembuh bagi kebodohan, kekafiran dan kebimbangan. Barang siapa yang meragukan Al-Quran maka ia tergolong bukan orang beriman, dan cenderung mengikuti hawa nafsunya. Dan barang siapa yang menjauhkan diri dari kebimbangan maka bahagia hidupnya”.

Penafsiran syifa yang lain adalah penyembuh kebodohan (syifa-un minal jahli) sebagaimana diwartakan al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan. Ia mengutip riwayat dari Basyar, dari Yazid, dari Sa’id, dari Qatadah bahwa redaksi qul huwa lilladzina aamanu hudan wa syifa ialah Allah swt menjadikan Al-Quran itu nur (cahaya petunjuk), keberkahan dan obat bagi orang beriman (ja’alahullahu nuran wa barakatun wa syifa-un lil mu’minina). Lebih dari itu al-Sa’di menuturkan bahwa yang dimaksud syifa adalah Al-Quran.

Tidak jauh berbeda, al-Qurtuby, Ibnu Katsir, al-Razi dan al-Zamakhsyari juga mengamini bahwa yang dimaksud syifa ialah penyembuh dari kebodohan, keraguan, dan penyakit mematikan. Ibnu Katsir memperjelas terminologi syifa, yaitu syifa-un lima fi al-sudhur min al-syukuki wa al-raibi (penyembuh bagi penyakit hati (keraguan dan kebimbangan).

Hal senada juga disampaikan al-Zamaksyhari, syifa yang dimaksud ialah irsyadul ilal haqqi (pembimbing kepada jalan kebenaran) dan penyembuh dari penyakit keraguan dan kebimbangan. Meskipun begitu al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya, ia berpandangan syifa ialah petunjuk yang menuntun manusia kepada kebaikan dan kebahagiaan (dalil ‘ala al-khairat wa yursyidu ila kulli al-sa’adat). Dari petunjuk itu kemudian mampu menyembuhkan penyakit kekufuran dan kebodohan.

Baca Juga: Tafsir Ayat Syifa: Menebar Keselamatan dan Mencegah Kegaduhan

Tips Sembuh dari Kebodohan

Dari penjelasan di atas, konteks kalimat syifa di atas banyak berbicara tentang urgensi menghilangkan kebodohan. Ini menunjukkan betapa pentingnya menghilangkan kebodohan. Sebab kebodohan acapkali menutupi kejernihan akal fikiran dan hati. Betapa banyak Al-Quran menggunakan term untuk berpikir merenungi segala ciptaan-Nya, sepeti afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tadabbarun, dan sebagainya, tujunnya ialah tidak lain untuk tidak mengistiqamahkan kebodohan.

Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad menyebut kebodohan ini sebagai pangkal keburukan dan epistentrum kemudharatan. Tak heran, Syekh Ali bin Abu Bakar melukiskan kebodohan dalam senandung syairnya,

الجَهْلُ نَارٌ لِدِينِ الْمَرْءِ يَحْرِقُهُ  #   وَالْعِلْمُ مَاءٌ لِتِلْكَ النَّارِ يُطْفِيهَا

“Kebodohan atau kedunguan adalah api bagi agama seseorang yang membakarnya. Sedangkan ilmu merupakan air yang memadamkannya”.

Bukan tanpa alasan Syekh Ali bersyair terkait kebodohan, sebab sebagian persoalan manusia di dunia dikarenakan ketidakjernihan pikiran dalam memetakan mana akar persoalan, cabang permasalahan, pemicu atau faktor, dan solusinya. Semuanya digebyar uyah podo asine (digeneralisir atau dipukul rata) sehingga yang terjadi saling gontok-gontokkan alias debat kusir tanpa dilandasi keilmuan.

Kecaman bagi mereka yang bodoh juga ditegaskan Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam Risalatul Mudzakarah-nya,

وَالْجَاهِلُ وَاقِعٌ فِي تَرْكِ الطَّاعَاتِ وَفِعْلِ الْمعاصِى شاءَ أمْ أَبَى فَإنَّهُ لَا يَدْرِي أَيَّ شَيْءِ الطَّاعَة التي أمَرَهُ اللهُ بِفِعْلِها ولَا أيَّ شيء المَعْصِية التي نَهاه اللهُ عَنْ ارْتِكَابِها وَلَا يَخْرُجُ مِنْ ظُلُمَاتِ الْجَهْلِ إلَّا بِنُورِ الْعِلْمِ

“Orang bodoh pasti jatuh dalam kubangan maksiat dan pengabaian ketaatan dengan sengaja atau ketidaksengajannya, tanpa ia tahu akan perbuatan yang diperintah oleh-Nya dan maksiat yang dilarang-Nya. Seseorang tidak akan keluar dari nestapa kebodohan kecuali hanya dengan cahaya ilmu”.

Melalui firman-Nya, sesungguhnya Allah swt hendak berujar, “ayolah hamba-hambaku, Al-Quran ini sudah paket komplit yang Aku turunkan padamu. Pedomanilah Al-Quran agar engkau selalu disembuhkan olehnya termasuk penyakit kebodohan. Sebab kebodohan itu merusak. Jangan engkau pelihara, cepat-cepat tekan Ctrl+delete agar terhapus selamanya”.

Kira-kira begitulah pesan Allah swt kepada kita para hamba-Nya yang amat disayang dan dicintai oleh-Nya. Semoga kita mampu menghilangkan kebodohan sehingga menjadi hamba yang sehat baik secara jasmani, ruhani, agama maupun akal pikiran. Wallahu A’lam

Ragam Istilah dan Gambaran Surga dalam Al-Qur’an

0
Gambaran Surga
Gambaran Surga dalam al-Quran

Dalam ajaran Islam, manusia hidup di dunia bertujuan untuk beribadah kepada Allah swt, baik ibadah ritual maupun ibadah sosial. Mereka yang beribadah dan melakukan kebaikan akan mendapatkan pahala serta di akhirat kelak bisa menikmati gambaran surga yang diterangkan Allah swt dalam Al-Qur’an. Sedangkan orang yang jahat dan berbuat kerusakan akan mendapatkan siksa jika tidak bertobat.

Surga digambarkan sebagai tempat tinggal yang penuh dengan berbagai kenikmatan sebagai balasan bagi mereka yang beriman dan berbuat kebajikan. Karena itulah, setiap muslim – mungkin tanpa terkecuali – sangat mengidam-idamkan masuk surga dan merasakan berbagai kenikmatan di dalamnya. Dalam konteks ini, surga – mungkin – menjadi motivasi seseorang beragama.

Surga dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa Sangsekerta svarga atau suarga yang artinya kebun. Kata tersebut kemudian sering digunakan untuk menerjemahkan kata jannah (surga). Kata ini berasal dari bahasa Arab janna yang berarti penutup atau menutup. Kata jannah juga bermakna al-bustan atau kebun yang berisi pepohonan rindang dan teduh.

Menurut Muhammad Fuad al-Baqi dalam kitabnya, Mu’jam Maqayis al-Lugah,  kata jannah dan derivasinya disebutkan sebanyak 201 kali oleh Al-Qur’an, yakni 144 kali dengan lafaz jannah; 68 kali di antaranya dalam bentuk tunggal atau mufrad, 7 kali dalam bentuk mutsanna dan 69 kali dalam bentuk jamak. Lalu ada lafaz jan (7 kali), al-jinn (22 kali), jinnah (10 kali), majnun (11 kali) dan janin atau ajinnah (1 kali).

Baca Juga: Ragam Pemaknaan Ayat-Ayat tentang Bidadari Surga

Selain menggunakan istilah jannah, Al-Qu’an juga menggunakan kata lain untuk menyebutkan surga, yakni ‘adn, firdaus, ma’wa, dar al-akhirat, darussalam dan dar al-mukamah. Semua istilah ini merujuk kepada tempa tinggal di akhirat kelak yang dipenuhi kenikmatan bagi orang-orang beriman dan beramal saleh sebagai balasan dari Tuhannya. Istilah terebut biasanya dilawankan dengan neraka.

Sekilas Gambaran Surga Dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an mengabarkan gambaran surga sebagai kebun sejuk dengan berbagai kemewahan tak tertandingi, diaungi pepohonan rindang, dialiri sungai-sungai dan bebas dari prahara. Menurut sebagian mufasir – sebagaimana dikutip Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah – gambaran surga tersebut adalah metafora dari kenikmatan tak terhingga sebagai balasan dari Allah bagi hamba-hamba-Nya.

Firman Allah swt dalam dalam QS. Fathir [35] ayat 34-35 yang artinya:

Dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun, Maha Mensyukuri, yang dengan karunia-Nya menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga); di dalamnya kami tidak merasa lelah dan tidak pula merasa lesu.”

Menurut al-Sa’adi dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah Fathir [35] ayat 34-35 ini menjelaskan bahwa penduduk surga tidak akan merasakan lelah, baik secara badaniah atau perasaan. Mereka juga tidak merasakan sedih, duka, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Penduduk surga tidak tidur dan senantiasa terjaga, karena tidur bertujuan untuk menghilangkan rasa lelah dan ngantuk.

Kenikmatan surga merupakan kebahagiaan yang kekal dan abadi. Semua kenikmatan tersebut diperoleh secara bebas dan dirasakan secara utuh oleh penduduk surga, tak terbatas, tak terbayangkan. Al-Qur’an bahkan menyebutkan bahwa surga itu seluas langit dan bumi yang tidak kita ketahui hakikatnya. Hal ini termaktub dalam surah Ali Imran [3] ayat 113:

 وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ ١٣٣

Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.”

Menurut Quraish Shihab, penyebutan luas surga sama dengan luas langit dan bumi pada surah Ali Imran [3] ayat 113 hanyalah sebuah perumpamaan untuk menggambarkan begitu luasnya surga. Pandangan serupa disampaikan oleh al-Syaukani dalam kitabnya Fath al-Qadir. Menurutnya, ungkapan surga seluas langit dan bumi bersifat metaforis atau isti’arah duna hakikah wa tahdid. Sedangkan hakikat bagaimana luasnya surga hanya diketahui oleh Allah swt.

Dari sekian banyak gambaran surga dalam ayat-ayat Al-Qur’an, kita dapat memahami bahwa rupa surga begitu indah, mewah, nikmat, dan bahagia. Mayoritas gambaran tersebut bersifat material, mulai dari lebarnya seluas langit dan bumi, fasilitasnya berupa sungai-sungai yang mengair, pasangan, adanya perabot, pakaian indah, makanan dan minuman, hingga mukim bernuansa istana.

Alasan gambaran surga dijelaskan sedemikian rupa adalah agar para pendengar Al-Qur’an dapat membayangkan bentuk dan kenikmatannya. Selain itu, penjelasan surga dengan perumpamaan suatu hal yang konkret adalah cara paling ampuh untuk menarik minat audiens Al-Qur’an. Sebab jika tidak demikian, surga hanya akan berupa abstraksi-abstraksi yang sukar dipahami.

Sebagai contoh agar lebih memudahkan, gambaran surga disebutkan dengan istilah jannah atau kebun yang sejuk dan rindang, dialiri sungai-sungai serta diwarnai dengan segala kemegahan. Hal ini bertujuan agar para penduduk jazirah Arab bisa memahami begitu indahnya surga, karena bagi mereka kebun atau oasis adalah hal paling indah yang dapat ditemukan pada gurun pasir nan gersang.

Secara alamiah, gambaran surga sebagai kebun atau oasis menjadi daya tarik tersendiri terhadap spiritual dan perasaan masyarakat Arab. Dalam perspektif inilah kenikmatan surga yang abstrak dapat dirasakan secara nyata oleh mereka. Maka tak heran, Al-Qur’an sangat sering menggunakan metafora-metafora serupa untuk menggambarkan hal yang abstrak seperti surga, neraka, dan hari akhir.

Baca Juga: Surah al-A’raf [7] Ayat 199: Perintah Untuk Memaafkan Kesalahan Orang Lain

Lantas seperti apakah gambaran surga sebenarnya? Jawabannya tidak ada yang tahu kecuali Allah swt, yang kita ketahui hanya bahwa surga adalah tempat tinggal yang diperuntukkan bagi hamba-hamba beriman dan mengerjakan amal kebaikan. Ia adalah kebalikan dari neraka yang diperuntukkan bagi manusia durjana yang tidak menyesal dan tidak pula bertobat atas kesalahannya.

Berkenaan dengan hakikat surga, hal ini telah dijelaskan dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari nabi Muhammad saw: Allah swt berfirman, “Aku (Allah) telah menyediakan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh suatu balasan (surga) yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terlintas di dalam hati.” (HR. Bukhari). Wallahu a’lam.

Ngaji Gus Baha: Tafsir Kesempurnaan Agama dalam Surah Al-Maidah Ayat 3

0
tafsir kesempurnaan agama dalam surah Al-Maidah ayat 3
tafsir kesempurnaan agama dalam surah Al-Maidah ayat 3

Dalam salah satu kajiannya “Seputar Ayat Terakhir Yang Turun dan Surah Al-Maidah [5] Ayat 3” yang diupload di channel youtube Abror Project Channel, Gus Baha  menjelaskan secara detail potongan ayat 3 dari Surah Al-Maidah [5]. Pada bagian ini Gus Baha menjelaskan panjang lebar tentang maksud tafsir kesempurnaan agama dalam ayat ini

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

“….pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…”

Baca Juga: Gus Baha dan Dahsyatnya Ayat Kursi yang Tidak Banyak Orang Tahu

Gus Baha mengatakan pandangan ulama yang berbeda dalam memaknai ayat ini, sebagian ulama memaknai bahwa ayat ini merupakan isyarat akan wafatnya Rasulullah Saw. sebab Allah mengutus Nabi sebagai rasul merupakan tugas, jika tugas sudah sempurna maka kewajiban akan berakhir.

Sedangkan menurut jumhur ulama, ayat ini juga menjelaskan paripurnanya tema fiqhiyyah, hal ini diindikasikan dengan redaksi sebelumnya, yakni terkait dengan pengharaman makanan yang untuk dikonsumsi serta pengharaman mengundi nasib. Atas dasar ini, Beliau meyakini suatu saat ketika Gus Baha’ bertemu Gusti Pangeran (baca: Allah Swt), isyarat yang ingin disampaikan oleh-Nya adalah tidak ada ilmu yang barakahnya sebagaimana ilmu fiqih.

Tafsir Ibnu Katsir juga menyatakan tentang tafsir kesempurnaan agama dalam ayat ini,“Ayat ini turun pada hari Arafah, dan setelah itu tidak ada lagi ayat yang turun menyangkut halal dan haram. Kemudian Rasulullah Saw. kembali dan setelah itu meninggal dunia.” dan paripurnanya pembahasan fiqhiyyah dalam Islam (Tafsir Ibnu Katsir/26).

Menurut Gus Baha’, kesempurnaan tema fikih sebagai tafsir dari ayat tersebut menegaskan kekeliruan pemahaman orang sekarang yang masih mengatakan bahwa tasawuf lebih utama dari pada fikih. Analoginya bisa kita qiyaskan dengan konsep mengikhlaskan amal. Amal yang kita lakukan tidak akan diterima oleh Allah tanpa melalui fikih.

Sebut saja salat, ketika kita ingin mendirikan salat lillahi ta’ala, maka kita harus pahami dulu cara salat yang sesuai tuntunan agar diterima oleh Allah Swt. sama dengan status sedekah harta, kita tidak bisa bersedekah dengan ikhlas jika yang digunakan adalah harta yang haram atau tidak halal. Hukum halal-haram ini ada dalam pembahasan fikih.

Setelah ayat yang menerangkan fikih selesai (pengharaman makanan dan mengundi nasib), Allah berfirman alyauma yaisalladzina min dinikum(pada hari berputus asanya orang kafir dari agama mereka), pertanyaannya mengapa orang kafir berputus asa dengan adanya agama Islam? Ini tidak lain karena mereka menganggap bahwa agama Islam telah merdeka dan argumentasinya telah jelas dan terang benderang.

Baca Juga: Ngaji Gus Baha’: Cara Agar Tidak Mudah Kecewa dengan Orang

Lanjut Gus Baha’, agama Islam sudah sempurna, ibarat sebuah rumah, bagian-bagian rumahnya sudah lengkap dan detail; sudah memiliki aksesori, sudah ada pintu, jendela, kamar dan lain sebagainya, berbeda dengan agama lain yang masih memikirkan pondasi dan alat-alatnya. Agama Islam sudah membahas fikih secara detail, mulai dari halal dan haram, makruh, dan khilafiyah. Oleh karenanya Allah telah menjelaskan dalam Al-Qur’an:

كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ

“(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu” (QS. Hud [11]: 1)

Ayat tersebut menjelaskan tentang kesempurnaan ajaran fikih dalam agama Islam, contoh lain misalnya dalam masalah talak. Aturan pernikahan dalam agama Islam tidak hanya cukup di pra dan saat nikah, tetapi juga pascanikah, misal kemungkinan talak. Hal ini bisa jadi tidak didapati dalam agama lain. Dalam Islam, konsep talak serta hukum-hukumnya sudah lengkap diatur dalam fikih.

Jika direnungkan lagi, fikih adalah disiplin bahasan ilmu agama yang paling dekat dengan keseharian kehidupan manusia, dan kehidupan manusia itu tidak sederhana, selalu berkembang, dinamis dan berbeda antara satu tempat dan tempat lainnya. Di sinilah letak kesempurnaan agama Islam, agama yang sangat detail, melalui fikihnya ia mengatur semua hal, yang terkecil sekalipun. Wallahu A’lam

Muhammad As’ad Al-Bugisy dan Jaringan Penafsir Keturunan Bugis

0
Muhammad As'ad Al-Bugisy
Muhammad As'ad Al-Bugisy

Muhammad As’ad Al-Bugisy atau dalam kultur Bugis dipanggil Anregurutta Puang Aji Sade’ adalah ulama terkemuka yang berhasil mendidik santri-santrinya hingga menjadi ulama terkemuka di Indonesia Timur. Posisi keilmuan Muhammad As’ad setara dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, yang keduanya pernah lama belajar di Makkah. Ia juga merupakan penafsir pertama berdarah Bugis, bahkan banyak ulama hasil didikannya yang mengikuti jejaknya untuk menulis tafsir Al-Qur’an dalam aksara Lontara dan bahasa Bugis.

Ulama-ulama penafsir Al-Qur’an yang berasal dari satu guru tersebut berasal dari berbagai daerah yang berbeda-beda, sekaligus akan tersebar ke berbagai daerah yang berbeda-beda. Tempat asal dan penyebaran tersebut di sini akan saya sebut sebagai konteks penafsir. Dalam berbagai konteks tersebut, ada kesamaan yang mengitari dan menghubungkannya yang akan memperlihatkan jaringan antarpenafsir Al-Qur’an. Tulisan ini akan menjelaskan secara sederhana hubungan tersebut yang saya akan mulainya dari sosok Muhammad As’ad sebagai guru besar para ulama sekaligus penafsir pertama di tanah Bugis.

Baca Juga: Mengenal Vernakularisasi Tafsir Al-Quran di Bugis

Perjalanan Muhammad As’ad yang Membawa Berkah: dari Arab ke Bugis

Sekalipun aslinya berdarah Bugis, Muhammad As’ad Al-Bugisy dilahirkan di Makkah pada tahun 1902 yang juga menjadi tempat ia tumbuh dan mengeyam pendidikan. Di Makkah, Muhammad As’ad aktif mengikuti pengajian halaqah-halaqah di berbagai Masjid. Di antara guru-gurunya adalah Syaikh ‘Umar ibn Hamdan, Syaikh Muhammad Sa’id Al-Yamani, Jamal Al-Maliki, Syaikh Hasyim Nazirin, Syaikh Hasan Al-Yamani, Syaikh ‘Abbas ‘Abd Al-Jabbar (Wahyuddin Halim, 2015).

Setelah cukup dewasa, ia diminta ke Indonesia untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran Islam, tepatnya di daerah Wajo dan sekitarnya. Berbagai catatan sejarah memperlihatkan bahwa sistem halaqah yang biasa ia lakukan di masjid-masjid Makkah kemudian diterapkan dalam pengajian yang diadakan di rumahnya. Pengajian ini kemudian tersebar di berbagai wilayah Sulawesi. Perlahan tapi pasti, semakin banyak orang berguru kepada Muhammad As’ad, sehingga rumahnya yang biasa dijadikan tempat pengajian halaqah tak lagi cukup menampung kegiatan tersebut. Akhirnya, pengajian tersebut dialihkan ke Masjid Jami’ Sengkang-Wajo.

Pengajian tersebut kemudian berkembang menjadi Madrasah Aliyah Islamiyah (MAI) yang kelak diganti menjadi Pondok Pesantren As’adiyah, dengan maksud mengabadikan nama Muhammad As’ad pada pesantren tersebut. Di dalam perjalanan halaqah di masjid Makkah, ke halaqah di rumahnya, ke halaqah di masjid Jami’, terus menjadi MAI, hingga menjadi pondok pesantren, banyak ulama yang bermunculan. Termasuk di sini adalah para ulama yang aktif menafsirkan Al-Qur’an. Muhammad As’ad Al-Bugisy sendiri menulis tafsir yang berjudul Tafsir Surah ‘Amma bi Al-Lughah Al-Bughisiyyah: Tafsere Bicara Ogina Surah ‘Ammah.

Adapun ulama-ulama murid Muhammad As’ad yang berhasil menulis tafsir Al-Qur’an di antaranya adalah Hamzah Manguluang menulis Tarjumah Al-Quran al-Karim: Tarjumanna Akorang Malebbi’e Mabbicara Ogi, Daud Ismail menulis Tafsir Al-Munir, Muhammad Yunus Maratan menulis Tafsir Al-Qur’an Al-Karim bi Al-Lughah Al-Buqisiyyah, Tafsere Akorang Bettuwang Bicara Ogi; Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Juz Amma, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Muin Yusuf menulis Tafsere Akorang Mabbasa Ogi, Abdurrahman Ambo Dalle menulis Tafsir Surah Al-Naba, dan Abduh Pabbajah menulis Tafsir Al-Qur’an Al-Karim bi Al-Lugah Al-Bugisiyyah dan Tafsir surah Al-Waqiah.

Baca Juga: Mengenal AG.H. Daud Ismail: Mufasir Bugis dengan Kitab Tafsir Pertama Lengkap 30 Juz

Khazanah Tafsir Bugis sebagai Jaringan Penafsir

Banyaknya murid Muhammad As’ad sekaligus dia sendiri yang menulis tafsir Al-Qur’an menunjukkan khazanah tafsir yang luar biasa di Indonesia Timur. Menariknya, tradisi penafsiran tersebut dilakukan dengan menggunakan aksara dan bahasa lokal, yakni Lontara-Bugis. Ini menjadi fakta tersendiri bahwa penafsiran Al-Qur’an tidak melulu dilakukan dalam bentuk bahasa Arab atau bahasa Indonesia. Selain itu, fakta ini menambah khazanah tafsir lokal yang banyak dilakukan oleh ulama Indonesia, seperti tafsir Faidh Al-Rahman karya Shalih Darat (Pegon-Jawi), Raudhat Al-Irfan fi Ma’rifat Al-Qur’an Ahmad Sanusi (Pegon-Sunda).

Penggunaan aksara dan bahasa lokal tersebut menunjukkan adanya tujuan tertentu yang dilakukan oleh penafsirnya. Di sini, penggunaan Lontara-Bugis oleh para penafsir dari suku Bugis di atas dapat dilihat dari dua tujuan, yaitu sebagai identitas dan dakwah. Ini terlihat pada posisi para penafsir tersebut sebagai asli orang Bugis dan menjadi ulama besar di daerah Bugis tersebut. Sebagai orang yang berdarah Bugis, maka bahasa keseharian yang digunakan adalah bahasa Bugis. Saat yang sama, sebagai ulama yang berdarah Bugis, maka bahasa dakwah yang paling tepat digunakan agar dakwahnya mudah tersampaikan dan dipahami masyarakatnya adalah bahasa Bugis.

Sebagai penjagaan identitas bahasa Bugis, Daud Ismail, misalnya, dalam kitab tafsir Al-Munir-nya pernah mengatakan bahwa “… diharapkan juga jangan sampai bahasa Bugis itu hilang”. Sebagai upaya dakwah, Muin Yusuf, misalnya, mengatakan bahwa “… merupakan perintah Allah SWT kepada Nabi untuk menjelaskan dan menyebarkan kandungan Al-Qur’an yang berbahasa Arab itu, sementara masyarakat muslim Bugis tidak dapat memahaminya jika tidak ditafsirkan dalam bahasa Bugis”. Upaya kedua penafsir tersebut minimal memperlihatkan bahwa menafsirkan Al-Qur’an bukan hanya memberi pemahaman pada ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga membumikan penafsirannya kepada konteks dan umat Islam di mana ia hidup.

Baca Juga:  Mengenal Muhammad Abduh Pabbajah, Mufasir Nusantara Asal Sulawesi

Lebih jauh, para penafsir di atas masing-masing memiliki konteks dan masyarakat yang berbeda-beda. Konteks yang dimaksud di sini ketika para penafsir tersebut menuliskan kitab tafsirnya, sekaligus pengabdiannya sebagai ulama setempat. Di sini, sebagian besar ulama berada dalam konteks kabupaten Wajo seperti Muhammad As’ad Al-Bugisy, Daud Ismail, Muhammad Yunus Maratan, dan Hamzah Manguluang. Kesamaan konteks ini disebabkan para penafsir tersebut mengabdikan dirinya di pesantren As’adiyah yang yang berada di daerah Wajo. Bahkan, konteks kabupaten Wajo ini menjadi titik berangkat para penafsir tersebut dalam menyebarkan penafsirannya ke konteks lainnya.

Konteks lainnya yang dimaksud di sini adalah konteks yang mengitari pengabdian dan dakwah para ulama tersebut. Selain konteks Wajo, Daud Ismail berada di konteks Soppeng, Muhammad Yunus Maratan berada di konteks Bellawa, Abdurrahman Ambo Dalle berada di konteks Barru, Pare-pare, dan Pinrang, Hamzah Manguluang berada di konteks Sulawesi Selatan, Muin Yusuf berada di konteks Sidrap dan Sulawesi Selatan, dan Muhammad Abduh Pabbaja berada di konteks Pare-pare. Dilihat dari konteks, para penafsir tersebut terhubung dalam satu konteks bahasa yang sama, yakni bahasa Bugis. Demikian kurang lebih ulasan Moein MG.

Sampai di sini, tradisi penafsiran Al-Qur’an yang dimulai oleh Muhammad As’ad dan diteruskan serta dikembangkan oleh para murid-muridnya memperlihatkan tradisi penafsiran yang khas bahasa Bugis dengan konteks yang beragam. Di saat yang sama, tradisi tafsir berbahasa Bugis ini menjadi jaringan sekaligus sanad penafsir berdarah Bugis. Dengan demikian, para penafsir tersebut telah mengajarkan kepada kita tentang menjadi penafsir yang berdasarkan jati diri sendiri, serta menjadi penafsir yang membumikan penafsiran Al-Qur’an sesuai konteks masing-masing. Wallahu A’lam.

Tafsir Ahkam: Beda Pendapat tentang Salat Fardu yang Paling Utama

0
salat fardu yang paling utama
salat fardu yang paling utama

Salat apakah yang paling utama di antara lima salat fardu? Mungkin untuk menjawab pertanyaan ini, sebagian dari kita menyatakan bahwa salat fardu yang paling utama adalah salat subuh. Bagaimana tidak? Bukankah waktu subuh adalah waktu terberat untuk menjalankan ibadah seperti salat subuh. Di tengah hawa dingin dan keengganan menyentuh air, mungkin akan banyak yang memilih untuk tetap di bawah selimut.

Namun tidak demikian menurut para ulama. Mereka berbeda pendapat dalam menjawab pertanyaan di atas. Dan masing-masing memiliki dasar tersendiri untuk menguatkan jawabannya. Berikut penjelasan lebih detail tentang perbedaan pendapat tersebut.

Baca Juga: Dalil Teologis Waktu-Waktu Salat Fardu

Salat fardu yang Paling Utama

Ulama menyatakan bahwa di antara salat lima waktu, yaitu subuh, zuhur, asar, maghrib dan isya’, ada salah satunya yang lebih utama daripada yang lain. Hanya saja, mereka beda pendapat tentang salat fardu yang paling utama tersebut. Perbedaan pendapat itu terkait dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 238:

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوٰتِ وَالصَّلٰوةِ الْوُسْطٰى وَقُوْمُوْا لِلّٰهِ قٰنِتِيْنَ ٢٣٨

Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā. Berdirilah karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk (QS. Al-Baqarah [2] :238)

Ibn Katsir menyatakan, lewat ayat ini Allah memerintahkan untuk menjaga salat pada waktunya, yakni mengetahui batas-batas waktu salat, serta berusaha untuk melaksanakan salat di waktunya masing-maisng serta tidak mengakhirkan hingga keluar waktu salat. Setelah itu, Ibn Katsir mengutip hadis yang menyatakan keutamaan salat pada waktunya.

Selanjutnya Ibn Katsir menerangkan, di dalam ayat di atas Allah memerintahkan untuk lebih memperhatikan salah satu dari kelima salat yang ada, yaitu As-Salat Al-Wustha. Isyarat ini menunjukkan bahwa di antara kelima salat yang ada, salah satunya ada yang lebih utama dari daripada yang lain. Namun demikian, ulama, baik dari kalangan salaf maupun khalaf, berbeda pendapat tentang salat yang lebih utama tersebut. Mereka berbeda pendapat mengenai tafsir dari As-Salat Al-Wustha (Tafsir Ibn Katsir/1/645).

Imam Al-Mawardi merangkum perbedaan ulama’ mengenai yang dimaksud dari As-Salat Al-Wustha  dalam lima pendapat (Al-Hawi Al-Kabir/2/10):

Pendapat pertama menyatakan, salat fardu yang paling utama tersebut adalah salat subuh. Dasar yang dipakai adalah, karena ayat di atas diterangkan untuk salat dengan disertai qunut. Pendapat ini mengartikan redaksi qanitin dalam ayat di atas dengan “membaca qunut”, sedang qunut hanya ada pada salat subuh. Selain itu, subuh memiliki keistimewaan dengan tidak bisa dijama’ dan qashar, ia juga salat yang terletak di antara gelapnya malam dan terangnya cahaya matahari.

Pendapat yang kedua menyatakan, salat tersebut adalah salat zuhur. Dasar yang dipakai adalah, salat zuhur adalah salat yang paling berat bagi para sahabat Nabi. Selain itu, pelaksanaan salat zuhur menyertai sebab turunnya ayat di atas. Pendapat ketiga menyatakan, salat fardu yang paling utama adalah salat Asar. Dasar yang dipakai adalah beberapa hadis nabi.

Pendapat keempat menyatakan, salat tersebut adalah salat maghrib. Dasar yang digunakan adalah, salat maghrib memiliki bilangan rakaat tengah-tengah di antara yang lain. Dan ini berkesesuaian dengan makna As-Salat Al-Wustha yang artinya salat tengah-tengah.

Pendapat kelima menyatakan, salat tersebut adalah salah satu dari salat fardu lima waktu. Hanya saja salat itu disamarkan. Dasar yang dipakai adalah, karena memang tujuan dari ayat tersebut adalah agar umat muslim semangat menjalankan salat lima waktu. Dengan disamarkannya salat yang lebih utama dari yang lain, maka hal itu akan membuat kita terdorong untuk melaksanakan seluruh salat dengan semangat.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Salat Lima Waktu dalam Peristiwa Isra Mikraj

Pendapat paling kuat menurut Imam An-Nawawi

Selain dari lima pendapat yang disebutkan Imam Al-Mawardi di atas, Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’ menyebutkan pendapat-pendapat lain yang berbeda. Namun diantara pendapat-pendapat tersebut, Imam An-Nawawi mensahihkan dua pendapat. Yaitu pendapat yang menyatakan As-Salat Al-Wustha adalah salat subuh dan asar. Dari keduanya, Imam An-Nawawi memilih salat asar sebagai pendapat yang paling kuat (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/3/60).

Perlu diketahui bahwa Imam An-Nawawi adalah seorang ulama’ penganut Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Syafi’i sendiri menyatakan bahwa As-Salat Al-Wustha adalah salat Subuh. Namun Imam An-Nawawi memilih pendapat bahwa As-Salat Al-Wustha adalah salat Asar. Hal ini disebabkan banyaknya hadis-hadis sahih yang menguatkan pendapat tersebut.

Terlepas dari itu semua, ada banyak faktor yang menjadikan salah satu salat lima waktu menjadi paling utama. Bisa karena adanya nas Al-Qur’an atau hadis, bisa juga karena salat tersebut adalah salat terberat yang dapat kita laksanakan tepat waktu secara istiqomah. Sebab Allah memberi balasan pahala berbanding lurus dengan kesulitan yang kita lalui dalam melaksanakan ibadah tersebut. Maka jangan sampai menjadikan adanya nas keutamaan sebagian salat, sebagai alasan untuk menganggap remeh salat yang lain. Wallahu a’lam bishshowab

Mengenal Sahiron Syamsuddin, Pelopor Kajian Hermeneutika Tafsir di Indonesia

0
Sahiron Syamsuddin
ma’na cum maghza ala Sahiron Syamsuddin

Bagi sarjana atau pengkaji Al-Qur’an, nama Sahiron Syamsuddin menjadi tokoh penting dalam perkembangan studi Al-Qur’an di Indonesia, bahkan menjadi ketua Asosiasi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia. Ia dikenal berhasil mengintegrasikan kajian hermeneutika ke dalam kajian Al-Qur’an.

Sebelum kehadirannya di Indonesia, hermeneutika menjadi kajian yang cenderung ditakuti bahkan terlarang untuk mempelajarinya. Tetapi, kehadiran Sahiron berhasil mengubah penilaian buruk tersebut, bahkan berhasil mengembangkan kajian hermeneutika Al-Qur’an di Indonesia.

Dalam tradisi keilmuan di Indonesia, kajian Al-Qur’an masih didominasi oleh tradisi keilmuan yang diwariskan oleh ulama-ulama klasik. Tradisi ini terus bertahan karena dua faktor: (1) tidak berani keluar dari kebiasaan tradisi keilmuan klasik, dan (2) terlalu khawatir terhadap tradisi keilmuan yang muncul selain yang diwariskan, apalagi keilmuan tersebut muncul dari tradisi barat.

Baca Juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Ilmi di Indonesia

Dalam hal ini, Sahiron Syamsuddin adalah Kiai sekaligus Sarjana Al-Qur’an yang tepat didiskusikan untuk merefleksikan tradisi keilmuan Al-Qur’an Indonesia di era modern-kontemporer.

Biografi Singkat

Sahiron Syamsuddin dilahirkan pada 11 Agustus 1968 di Cirebon. Sejak kecil, ia telah akrab dengan pemahaman agama. Ia dikenal sebagai santri yang taat serta berprestasi. Didikan kesantriannya ia peroleh di Pondok Pesantren Raudhatul Al-Thalibin, Babakan Ciwaringin Cirebon, yang ditempuhnya dari Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di tempat yang sama (1981-1987).

Setelah itu, Sahiron melanjutkan pendidikannya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan berfokus pada jurusan Tafsir Hadis (1987-1993). Sahiron Syamsuddin melanjutkan pendidikannya di McGill Univeristy, Kanada, dengan berfokus pada Kajian Islam.

Pengalaman dan pemahaman keagamaan yang panjang tersebut menjadikannya tidak takut belajar di dunia barat, yang cenderung dihindari oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Di sana, Sahiron mendalami kajian Islam, Orientalisme, Filsafat Arab dan Sastra Arab di Bamberg University hingga berhasil mendapat gelar doktornya pada tahun 2006.

Setelah kembali ke Indonesia, Sahiron Syamsuddin tidak menjadi manusia yang ‘Baratisme’ apalagi anti terhadap Islam Indonesia. Bahkan sekembalinya dari barat, Sahiron Syamsuddin kemudian mendirikan pondok pesantren Baitul Hikmah. Dalam hal ini, Sahiron Syamsuddin membuktikan bahwa belajar di dunia barat bukan melemahkan Iman pada agama, tetapi memperkuat keimanan tersebut melalui keilmuan yang mendalam.

Hingga saat ini, selain sebagai pimpinan Pondok Pesantren Baitul Hikmah, banyak jabatan penting yang ditempati oleh Sahiron, di antaranya wakil rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ketua Asosiasi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia, pernah menjadi Steering Committee di Netherlands-Indonesian Consortium.

Beberapa karyanya yang terkait hermeneutika dan ulumul Qur’an adalah adalah Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (cet.1: 2009, cet. 2: 2017), Upaya integrasi hermeneutika dalam kajian Al-Qur’an dan hadis: teori dan aplikasi (2011), Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Al-Qur’an pada Masa Kontemporer (2006), Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis (2010), dan lainnya.

Ma’na-cum-Maghza: Proyek Integrasi Hermeneutika dan Ulumul Qur’an

Keahlian Sahiron Syamsuddin dalam hermeneutika dan ulumul Qur’an terbukti dari keberhasilannya menghubungkan kedua kajian yang sebelumnya dinilai bertentangan. Salah satu ulama yang menjadi pegangannya dalam hal ini adalah Muhammad Quraish Shihab, seorang ahli tafsir kontemporer Indonesia, yang menilai bahwa sebagian metode dan teori hermeneutika dapat digunakan dalam memahami pesan-pesan Al-Qur’an (Sahiron Syamsuddin, 2017: 1). Dari sini, ia mengambil sebagian teori dan metode hermenetuika yang dinilai cocok dan dapat diterapkan untuk pengembangan ulumul Qur’an, terutama dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.

Dari sini, Sahiron menawarkan pendekatan memahami Al-Qur’an era kontemporer, yang ia sebut sebagai pendekatan Ma’na-cum-Maghza. Istilah Ma’na-cum-Maghza sendiri merupakan gabungan bahasa Arab, yakni pada Ma’na dan Maghza, dan bahasa latin, yakni cum.

Ini bukti bahwa Sahiron Syamsuddin berupaya mengharmonisasikan hubungan kajian Islam dan Barat. Mengenai pendekatan Ma’na-cum-Maghza, Sahiron Syamsuddin memaparkan secara komprehensif dalam bukunya, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an (cet.1: 2009, cet. 2: 2017).

Pendekatan Ma’na-cum-Maghza dihadirkan oleh Sahiron Syamsuddin sebagai tawaran untuk menemukan pesan utama Al-Qur’an di ruang dan waktu yang berbeda saat Al-Qur’an disampaikan, termasuk era kontemporer di Indonesia. Upayanya ini terlihat sebagai lanjutan dari upaya para sarjana Al-Qur’an modern lainnya seperti Fazlur Rahman pada teori Double Movement-nya, Abdullah Saeed pada teori Kontekstualisasinya, dan lainnya.

Sama seperti Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed, kajian Sahiron Syamsuddin berfokus pada pencarian pesan utama pada ayat Al-Qur’an ketika disampaikan pada era pewahyuan, kemudian dipahami dalam konteks kekinian.

Pada pendekatan Ma’na-cum-Maghza, Sahiron Syamsuddin memulai upayanya dengan membagi tipologi penafsiran era kontemporer menjadi tiga aliran: pertama aliran quasi-obyektivis-tradisionalis yang cenderung memahami Al-Qur’an secara literal (Syamsuddin 2017: 54-55), kedua aliran subyektivis yang cenderung memahami Al-Qur’an sekehendak penafsirnya (Syamsuddin 2017: 56), ketiga aliran quasi-obyektivis-progresif yang berupaya menangkap makna historis dan makna utama (signifikansi) Al-Qur’an (Syamsuddin 2017: 58).

Dari ketiga aliran tersebut di atas, ia sepakat dengan aliran quasi-obyektivis-progresif dengan catatan bahwa signifikansi terbagi menjadi dua, yakni ‘signifikansi fenomenal’ dan ‘signifikansi ideal’, dari sinilah Sahiron Syamsuddin menekankan adanya perhatian pada makna dan signifikan secara bersamaan, yang kemudian melahirkan pendekatan Ma’na-cum-Maghza (Syamsuddin 2017: 140-141).

Baca Juga: Perkembangan Penerjemahan Al-Quran di Indonesia dari Masa ke Masa

Dengan kata lain, Ma’na merupakan pemahaman Al-Qur’an pada era pewahyuan, sementara Maghza merupakan pemahaman ideal atau petunjuk utama Al-Qur’an yang dapat diterapkan pada tempat dan konteks manapun. Sehingga, melalui pendekatan Ma’na-cum-Maghza, Al-Qur’an selalu shalih li kulli zaman wa makan (cocok pada setiap waktu dan tempat).

Sampai di sini, perjalanan intelektual Sahiron Syamsuddin yang dijelaskan sekilas di atas memberi pelajaran penting bahwa tradisi keilmuan Islam di Indonesia masih dan harus terus berjalan.

Sahiron menjadi bapak atas tradisi keilmuan Al-Qur’an di Indonesia yang menjadi teladan penting bagi pengkaji dan sarjana Al-Qur’an Indonesia dalam mengintegrasikan kajian barat berupa hermeneutika dengan kajian ulumul Qur’an yang menjadi warisan intelektual para ulama Al-Qur’an klasik. [] Wallahu A’lam.

 

Qur’an in Every Day Life: Potret Budaya Tahfidz Al-Quran di Congaban

0
Potret Budaya Tahfidz Al-Quran di Congaban
Potret Budaya Tahfidz Al-Quran di Congaban

Tradisi menghafal (tahfidz) Al-Quran merupakan satu dari sekian banyak fenomena Qur’an in every day life. Tradisi ini hadir dan sudah mengakar kuat di tengah-tengah kehidupan masyarakat muslim. Ia menjadi ‘warisan’ yang sampai detik ini masih tetap lestari, terutama di kalangan santri pesantren. Dalam Al-Qur’an dalam Pergumulan Muslim Indonesia, Gusmian mengelompokkan praktik tahfidz Al-Quran ke dalam garapan kajian Living Qur’an sebagai bentuk pengabadian terhadap orisinalitas teks Al-Quran.

Transmisi dan Transformasi

Selama kurang lebih satu bulan saya merekam berbagai aktivitas di salah satu pesantren yang terletak tidak jauh dari ujung pantai Modung-Bangkalan-Madura. Pondok Pesantren Mifathul Ulum Al-Islamy, atau yang lebih akrap dengan panggilan pesantren Congaban itu memiliki rangkaian rutinitas bagi para santri yang melahirkan fenomena Qur’an in every day life.

Di tengah-tengah rutinitas itu, Al-Quran seolah ‘hidup’ dan menyatu bersama keseharian para santri. Dari bacaan (oral reception), tulisan (written reception), hingga menjelma dalam bentuk kegiatan dan praktik sosial (action reception). Fenomena Qur’an in every day life yang ditemukan di pesantren Congaban, sebetulnya tidak bisa dilepaskan dari akar transmisi sekaligus transformasi keilmuan para leluhur pesantren yang sangat mencintai dan memuliakan Al-Quran.

Baca juga: Perbedaan Penafsiran Surah Al-Nisā’ [4]: 34 dari Klasik hingga Kontemporer

Konon, menurut satu riwayat, sewaktu Kiai Khotib (pengasuh generasi kedua) selesai menghatamkan surah Al Fatihah kepada Syaikhina Kiai Khalil Bangkalan, sang ayahanda, Kiai Dahlan (pengasuh generasi pertama) sampai-sampai nyembeleh tujuh sapi untuk mengadakan tasyakkuran dan turut mengundang masyarakat setempat dan umum.

Bagi Kiai Dahlan sendiri, memuliakan Al-Quran adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Menjaga kemuliaan Al-Quran adalah harga mati. Kecintaan pengasuh pesantren Congaban dan semangat ‘memuliakan’ Al-Quran memang luar biasa. Cinta dan semangat ini telah diwariskan turun temurun. Mulai dari Kiai Dahlan, Kiai Khotib, Kiai Ilyas hingga pengasuh sekarang, Kiai Ayyub. Tidak hanya di lingkungan keluarga dhalem, cinta dan semangat ini juga dibekalkan kepada para santri.

Bilik-bilik Surau Pojok

Kalau meminjam tipologi Mukholik dalam The Variation of The Quran Reception 21 st Century in Central Java Indonesia, tradisi tahfidz Al-Quran di pesantren Congaban tergolong tipologi oral reception. Resepsi model ini berbentuk rutinitas pembacaan Al-Quran, baik dibaca sebagai aktifitas ibadah harian, pada acara-acara tertentu, maupun dibaca untuk dihafalkan (tahfidz).

Mereka huffadz pesantren Congaban ditempatkan di asrama khusus, terletak di sebelah utara asrama-asrama induk. Ada pemandangan indah yang bisa saya dapatkan di sana. Selain karena berlokasi di jantung pesawahan yang asri, ada banyak kang-kang santri yang riwa-riwi dengan Al-Qur’an terbuka di tangan. Suasana semakin menghentak hati ketika sayup-sayup lantunan Al-Qur’an dari para hamilul Qur’an yang sedang menambah hafalan atau sekedar muraja‘ah itu sampai di telinga. Sesekali saya tertegun dan perasaan merinding mengalir di sekujur tubuh.

Selain di tempat-tempat utama seperti Masjid, di surau pojok utara itu, para huffadz menghidupkan Al-Qur’an dalam keseharian mereka melalui interaksi yang terus berkesinambungan. Pagi usai salat Subuh, mereka bergilir menyetorkan hafalan secara berkelompok dengan dipandu beberapa asatidz. Sore ba’da Salat Magrib, untuk kedua kalinya mereka wajib setor hafalan.

Baca juga: Surah al-A’raf [7] Ayat 199: Perintah Untuk Memaafkan Kesalahan Orang Lain

Di sela-sela kesibukan dan jadwal kegiatan serta kewajiban sekolah, santri-santri hafidz lebih banyak menghabiskan waktu di surau untuk menyenandungkan Al-Qur’an. Seperti santri-santri pada umumnya, penghuni surau pojok ini juga dibekali rumpun-rumpun keilmuan lain seperti tafsir, hadis, fikih, nahwu, sharraf, balaghah dan sebagainya.

‘Horizon Harapan’: Ragam Resepsi Para Huffadz

Interaksi santri-santri penghafal Al-Quran di pesantren Congaban dengan kitab sucinya berjalan dinamis. Apresiasi dan respon mereka dalam meresepsi Al-Quran ternyata sangat beragam. Meminjam perspektif Rahimana dalam Literature Reception (A Conceptual Overview), resepsi para huffadz pesantren Congaban terhadap Al-Quran searah dengan ‘horizon harapan’ yang ada di benak pikiran mereka. Semua ragam ‘horizon harapan’ ini pada gilirannya melahirkan bermacam resepsi yang dapat ditilik dari sisi kultural, teologis, prikologis, dan filosofis.

Pertama, sisi kultural. Prinsip menghafal Al-Quran dalam kultur pesantren sebenarnya berangkat dari kewajiban (fardhu kifayah) menjaga jumlah kemutawatiran para penghafal Al-Quran. Bila tugas ini sudah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban itu bagi yang lain. Prinsip ini merujuk pada pandangan al-Suyuthi dalam magnum opusnya al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, seorang pakar ulum al-Qur’an yang menjadi salah satu primadona orang-orang pesantren.

Ini misalnya terlihat dari penuturan Muhammad Soleh, seorang santri yang kini sedang menempuh program tahfidz Al-Quran, “Alasan saya menghafalkan Al-Quran karena ingin menjaga ayat-ayat Al-Quran dan ingin bersyiar dengan lantunan-lantunan Al-Quran. Insya-Allah, ini adalah jalan hidup saya untuk membawa (mengenalkan dan berdakwah) agama Islam melalui lantunan-lantunan Al-Quran.”

Baca juga: Surah al-Maidah 89: Sumpah Palsu dan Kafarat Ausath Al-Tha’am

Kedua, sisi teologis. Seperti yang dikatakan Atabik dalam tulisannya The Living Qur’an: Potret Budaya Tahfiz Al-Qur’an di Nusantara, bagi masyarakat Islam di Indonesia, Al-Quran diyakini sebagai kalamullah yang mulia dan harus dimuliakan. Membacanya saja termasuk perbuatan mulia, apalagi sampai menghafalkannya.

Tipologi resepsi seperti ini juga dialami sebagian santri Congaban, yang salah satunya diwakili oleh Malik Fahad. “Membaca Al-Quran salah satu ibadah yang agung. Setiap satu huruf diganjar satu pahala. Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran, maka baginya satu kebaikan. Lebih-lebih kalau bisa sampai hatam dan hafal 30 juz.” Ungkap Fahad.

Ketiga, sisi psikologis. Model resepsi ini terlihat pada beberapa santri yang menganggap fungsi Al-Quran sebagai syifa’. Mereka ingin menyemai kenikmatan, sehingga melahirkan perasaan tertentu yang mampu menyentuh kalbu. Hamim mengatakan, “Dengan menghafal Al-Quran, saya bisa lebih mudah dan lebih sering bertadabbur serta bertafakkur. Merenungkan isi Al-Quran sebagai koreksi diri dan memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah. Al-Quran juga adalah obat bagi berbagai penyakit, penyakit hati, penyakit jasmani dan rohani.”

Keempat, sisi filosofis. Puncak dari seluruh ragam resepsi para santri Congaban sejatinya berpulang pada keinginan memetik keberkahan Al-Quran. Keberkahan itu tentu tidak datang secara tiba-tiba dari ruang antah-berantah, melainkan setelah melalui proses panjang; membaca, menghafal, men-tadabbur serta mengamalkan kandungannya secara istiqamah dan ikhlas. Buah yang akan diraih adalah bertambahnya keimanan, ketenangan, ketentraman, dan kebahagiaan. Itulah yang disebut keberkahan Al-Quran.

Senada dengan ini, Gus Nasikh al-Haromain (kepala kepesantrenan) menuturkan, “Berkah membaca apalagi menghafal Al-Quran, itu bisa menumbuhkan mahhabbah kita pada Al-Quran, bernilai ibadah, meneruskan tekad dan perjuangan ulama-ulama salaf, memudahkan dalam mempelajari ilmu agama, pikiran bisa tenang, dan mendapatkan rizeki yang tak diduga-duga.”

Wallahu a’lam []

Perbedaan Penafsiran Surah Al-Nisā’ [4]: 34 dari Klasik hingga Kontemporer

0
Surah Al-Nisa Ayat 34
Surah Al-Nisa Ayat 34

Artikel ini akan mengulas tentang posisi laki-laki dan perempuan dalam penafsiran al-Quran terutama yang tercantum dalam Surah Al-Nisa Ayat 34. Para pemerhati tafsir kontemporer banyak mengulas ayat ini dengan berbagai pendekatan, tujuannya adalah untuk menggali makna  dari ayat yang tampak “bias gender”.

Pertanyaannya kemudian bagaimana perbedaan yang mendasar terhadap penafsiran ayat tersebut? Terutama antara pendapat para mufasir klasik dengan kontemporer. Mari kita bahas lebih lanjut.

Berikut adalah redaksi Surah Al-Nisa Ayat 34:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (Q.S. Al-Nisā’ [4]: 34).

Imam Al-Qurţubi menafisrkan kata qawwāmūn sebagai bentuk insentif dari kata qiyām yang artinya adalah “melaksanakan”, dengan demikian laki-laki adalah subjek pelaksana, maka segala yang terkait dengannya adalah akan patuh terhadap pelaksana, qiyām juga memiliki arti sebagai penjaga. Jika dalam konteks ayat tersebut, Al-Qurţubi menybutkan:

يقومون بالنفقة عليهن والذب عنهن، وأيضا فإن فيهم الحكام والأمراء ومن يغزو، وليس ذلك في النساء

Laki laiki bertanggung jawab memberi nafkah atas istri-istrinya, dan juga laki-laki berhak menjadi seorang hakim dan pemimpin dan selainnya, bukan dari golongan perempuan. (Al-Qurţubi V: 168).

Penafsrian Imam Al-Qurţubi tidak berbeda jauh dengan penafsiran Ibnu Katsīr, yang membedakan adalah, Ibnu Katsīr memberikan alasan kenapa laki-laki diberikan peran lebih daripada perempuan sebagaimana yang tertuang dalam ayat tersbut.

Baca Juga: Hikmah Dibalik Ayat-Ayat Waris dan Derajat Perempuan di Masa Jahiliah

Ibnu Katsīr menyebutkan الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ berarti laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, lelaki juga merupakan hakim bagi perempuan, dan laki-laki juga diberikan kelebihan sebagai pengajar (ta’dib) bagi perempuan, alasannya adalah karena laki-laki diberi keutamaan lebih dibanding perempuan, bahkan Ibnu Katsīr menyebutnya dengan lianna al-Rijāl afdalu min al-Nisā’ (laki-laki lebih utama dibanding perempuan) (Ibnu Katsīr, II, 292).

Lebih lanjut Ibnu Katsīr juga mengatakan bahwa alasan laki-laki lebih utama dari perempuan dibuktikan dengan para nabi dan para raja-raja terdahulu adalah dari golongan laki-laki. Ibnu Katsīr kemudian mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari:

“لن يُفلِح قومٌ وَلَّوا أمْرَهُم امرأة”

Suatu kaum tidak akan berhasil jika dipimpin oleh perempuan.

Berbeda dengan beberapa mufassir kontemporer yang cenderung tidak sepakat terkait superioritas laki-laki terhadap perempuan, seperti Fazlurrahman yang mengatakan bahwa dalam konteks Surah Al-Nisa Ayat 34 kewenangan seorang laki-laki tidaklah melekat secara absolut, melainkan hanya sebatas pada ranah fungsional, ia pun menerjemahkan terkait lafaz بَعضُهم  dalam Surah Al-Nisa Ayat 34 sebagai “manusia” bukan hanya “laki-laki”.

Yang artinya bukan hanya lak-laki yang mendapatkan ‘keutamaan’ melainkan dengan mengartikan diksi بَعضُهم sebagai “manusia” secara universal maka keutmaan tersebut bisa juga diberikan kepada perempuan (Al-Qur’an Abad 21: 206-207).

Dari sini dapat dipahami bahwa penekanan yang paling dominan dari Surah Al-Nisa Ayat 34 adalah bukan pada jenis kelaminnya melainkan dilihat dari sisi fungsional antar sesama, manakala di antara manusia tersebut terdepan seorang diberikan keutamaan (تَفْضِيِل) oleh Allah maka dialah yang berhak untuk menjadi qiyām bagi hubungan keluarganya atau lebih luas dalam lingkup suatu kepemimpinan negara.

Analisis bahasa yang juga dilakukan oleh Muhammad Syahrur tampaknya memberikan kesimpulan yang tidak jauh berbeda dengan Rahman, yang membedakan adalah jika Syahrur beranggapan Surah Al-Nisa Ayat 34 tidak hanya sebatas hubungan keluarga, melainkan lebih luas dalam lingkup kelompok masyarakat, bahkan dalam kancah kenegaraan.

Sebagaimana Rahman, Syahrur menganggap diksi qiwāman, tidak menyorot kepada jenis kelamin, melainkan menyorot kepada kualitas keduanya. Syahrur kemudian menganalisis dari segi kata الرجال jika dilihat dari akar katanya adalah ر, ج, ل  yang pada mulanya digunakan sebagai kata رجل (kaki) yang identik dengan “berjalan/penopang/berlari”, sedangkan diksi النِّسَاء yang merupakan akar katanya adalah ن,س,أ yang pada mulanya digunakan sebagai kata “lambat/pelan”.

Penggunaan kedua diksi tersebut adalah berkaitan erat dengan konteks (makro) –meminjam istilah Abdullah Saeed– masyarakat Arab pada 7 M yang mana seorang laki-laki direpresentasikan sebagai manusia yang tangguh, pekerja keras, pelaksana perang, dan pemegang peran penting.

Baca Juga: Memuliakan Perempuan, Memuliakan Peradaban: Intisari Doa Asiyah Binti Muzahim

Berbeda dengan perempuan yang perannya terbatas. Jadi pada kasus Surah Al-Nisa Ayat 34 dalam konteks kontemporer tidak menyorot pada jenis kelamin tertentu, melainkan lebih kepada sejauh peran di antara keduanya, sebagaimana Rahman, dia yang memiliki peran dan potensi maka dia lah menjadi qawwāmūn (The Qur’an Morality and Critical Reason, 276).

Dari berbedaan penafsiran tersebut, penulis dapat menyimpulkan dan sekaligus mengambil posisi, terkait penafsiran yang ditawarkan oleh ulama klasik dapat dijadikan sebagai basic dasar, di mana dalam prakti-praktik keagamaan yang sifatnya mendasar seperti Imam shalat, Adzan, Khutbah Jum’ah dan sebagainya laki-laki diberikan hak lebih daripada perempuan, (kecuali dalam ‘udzur tertentu).

Akan tetapi dalam konteks hubungan sosial kita dapat mengamini pendapat para mufassir kontemporer, bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama, baik peran dalam lingkup sosial mikro maupun makro. Laki-laki dan perempuan memiliki hak pendidikan yang sama, memiliki hak akses publik yang sama seperti pejabat negara dan sebagainya, tanpa adanya tindak diskriminatif berlandaskan jenis kelamin. Wallahu A’lam.

Tafsir Ahkam: Larangan atas Kekerasan Seksual dalam Surah An-Nur Ayat 33

0
Larangan atas Kekerasan Seksual dalam Surah An-Nur Ayat 33
Larangan atas Kekerasan Seksual dalam Surah An-Nur Ayat 33

Kasus kekerasan seksual yang menjadi salah satu fokus utama para pemikir feminis dan lembaga perlindungan perempuan sejatinya telah menemukan pijakan normatif sejak Al-Quran diturunkan. Antara lain pada Surah An-Nur ayat 33. Secara singkat, ayat ini menyiarkan larangan pemaksaan untuk melakukan pelacuran. Berikut redaksi ayat dan terjemahnya:

…وَلَا تُكۡرِهُواْ فَتَيَٰتِكُمۡ عَلَى ٱلۡبِغَآءِ إِنۡ أَرَدۡنَ تَحَصُّنٗا لِّتَبۡتَغُواْ عَرَضَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۚ وَمَن يُكۡرِههُّنَّ فَإِنَّ ٱللَّهَ مِنۢ بَعۡدِ إِكۡرَٰهِهِنَّ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

“Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa”

Konteks ayat

Terdapat beberapa versi mengenai konteks turun penggalan Surah An-Nur ayat 33 ini. Tetapi, menurut mayoritas mufasir, penggalan ayat ini turun berkenaan dengan pemaksaan Abdullah bin ‘Ubay terhadap dua budak perempuannya, Mu’adzah dan Musaykah untuk melakukan pelacuran, dan menyerahkan bayaran mereka kepada ‘Ubay. Al-Wahidi menyebutkan dalam Asbabun Nuzulnya:

وقالَ المُفسِرونَ: نزلتْ في معاذةَ ومسيكةَ جاريتَيْ عبدِ اللهِ بن أبَي المنافقِ كان يكرِهُما على الزنا لضربيةٍ يأخذُها منهما‘ وكذلك كانوا يفعلون في الجاهليةِ يُؤاجِرون إماءَهم فلما جاء الإسلامُ قالت معاذةُ لمسيكةَ : إن هذا الأمرَ الذي نحنُ فيهِ لا يخلُومِن وجهَيْنِ : فإن يكُ خيرا فقد استكثَرنا منه وإن يَكُ شرا فقد آنَ لنا (أن)نَدَعَهُ. فأنْزَلَ اللهُ تعالى هَذهِ الآيَةَ

“Para mufasir berpendapat bahwa ayat ini turun dalam konteks Mu’adzah dan Musaykah, dua budak perempuan Abdullah bin ‘Ubay, yang ia paksa untuk melacurkan diri, dengan tujuan mengambil tarif dari pelacuran itu. Praktik ini menjadi kebiasaan masyarakat Jahiliyah, yang mereka lakukan terhadap budak perempuan. Dan, sejak Islam datang, Mu’adzah berkata kepada Musaykah: “permasalahan yang kita hadapi saat ini (pemaksaan untuk melacurkan diri) memiliki dua kemungkinan. Bila berupa kebaikan, maka kita perbanyak melakukakannya, namun bila berupa keburukan, maka sudah barang tentu untuk kita tolak” Kemudian, Allah menurunkan ayat ini (Surah An-Nur ayat 33)”

Baca juga: Surah al-Maidah 89: Sumpah Palsu dan Kafarat Ausath Al-Tha’am

Dari sabab nuzul tersebut dapat dimengerti bahwa, penggalan ayat ini melarang pemaksaan terhadap budak perempuan untuk menjadi pelacur. Bahkan dalam redaksi sabab nuzul lain, yang dituliskan Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wa al-Tanwir, begitu pula Al-Baghawi dalam Ma’alimut Tanzil, penggalan ayat ini turun sebagai respons terhadap protes budak perempuan Abdullah bin ‘Ubay sendiri kepada Baginda Nabi, atas paksaan untuk menjadi pelacur.

Larangan praktik kekerasan seksual

Pada penggalan ayat sebelumnya, Allah memberikan ketentuan perjanjian pembebasan budak atau dalam terminologi Fikih diistilahkan dengan mukatab. Sementara dalam penggalan ayat ini Allah menunjukkan larangan memaksa budak perempuan untuk menjadi pelacur. Hal ini termasuk larangan melakukan tindak kekerasan seksual. Dibuktikan dengan pemilihan diksi laa tukrihuu (janganlah kalian memaksa) dan in aradna tahassunan (jika mereka menginginkan untuk menjaga diri –untuk tidak menjadi pelacur-). Dua diksi ini tentu saja cukup menjadi bukti sarih atas larangan ‘memaksa’ budak perempuan untuk melacurkan diri.

Mengutip World Health Organization (WHO), kekerasan seksual (sexual violence) adalah setiap tindakan seksual melalui cara kekerasan atau paksaan, seperti tindakan memperdagangkan seseorang atau tindakan yang diarahkan terhadap seksualitas seseorang. Dengan pengertian ini, tentu saja, apa yang dilakukan Abdullah bin ‘Ubay terhadap budak perempuannya termasuk kategori kekerasan seksual, karena ada unsur paksaan (ikrah).

Lalu, pertanyaan yang muncul kemudian ialah, bagaimana bila budak itu tidak terpaksa, alias mau menjadi pelacur secara suka rela? Tentu saja, hal ini tidak dibenarkan dalam Islam, karena identik dengan zina. Seperti yang difirmankan Allah dalam berbagai ayat, Surah Al-Isra’ ayat 32 misalnya. Akan tetapi, praktik zina adalah satu persoalan, sedangkan ‘pemaksaan’ untuk menjadi pelacur sebagaimana penggalan surah An-Nur di atas adalah persoalan yang lain.

Baca juga: Makna-Makna Sighat Amar (Perintah) dalam Al-Quran (Bagian 2)

Praktik pelacuran dalam penggalan ayat itu diistilahkan dengan al-bigha’. Ibnu ‘Asyur mengartikannya sebagai zina dengan adanya imbalan (az-zina bil ujrah). Dalam Bahasa Indonesia hal ini disebut dengan pelacuran. Sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Asyur, Praktik ini merupakan tradisi Masyarakat Arab Jahiliyyah, baik di kalangan perempuan merdeka mau pun budak, setidak-tidaknya sampai Islam datang.

Surah An-Nur ayat 33 cukup menjadi pijakan normatif yang kuat bagi kita atas larangan melakukan kekerasan seksual. Bahkan, dari latar turunnya ayat itu kita mengerti bahwa seseorang sekalipun hidup dalam kasta yang rendah, seperti budak perempuan, tetap berhak untuk dilindungi dari praktik kekerasan seksual.

Wallahu a’lam[]