Beranda blog Halaman 366

Surah al-A’raf [7] Ayat 199: Perintah Untuk Memaafkan Kesalahan Orang Lain

0
Memaafkan kesalahan orang lain
Memaafkan kesalahan orang lain

Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang pasti pernah merasakan marah dan kecewa terhadap orang lain atau sesuatu. Pada konteks ini, biasanya ia akan sulit untuk memaafkan kesalahan orang lain meskipun yang bersangkutan telah meminta maaf. Kalaupun ia memaafkan, kadang kala itu tidak dilakukan setulus hati; bahwa lisannya memaafkan, namun hatinya tetap merasa disakiti.

Perasaan tidak rela dan berat untuk memaafkan adalah hal manusiawi dan lumrah dirasakan, karena – sadar atau tidak – kesalahan tersebut sering kali membuat seseorang trauma, emosi, dan takut terulang kembali. Dengan kata lain, sangat sulit bagi seseorang untuk melupakan dan memaafkan kesalahan orang lain dalam jangka waktu yang singkat.

Kendati demikian, bukan berarti seseorang boleh menyimpan dendam dan amarah, sebab itu hanya akan menimbulkan emosi negatif seperti stres dan bahkan mengganggu aktivitas sehari-hari. Meskipun sulit, tindakan memaafkan kesalahan orang lain adalah hal mutlak yang harus dilakukan seseorang walaupun secara perlahan. Hal ini akan membawa ketenangan, kedamaian dan ketenteraman hati.

Baca Juga: Cara Allah Menyembuhkan Hati yang Terluka: Tafsir Surah Al-Qashshas Ayat 10

Dalam ajaran Islam, memaafkan kesalahan orang lain adalah perbuatan mulia. Sikap ini banyak disebutkan dan diperintahkan oleh Al-Qur’an dan hadis guna menjaga hubungan baik antara sesama manusia, terutama dalam konteks bermasyarakat. Nabi Muhammad saw pernah bersabda terkait keutamaan memaafkan kesalahan orang lain, yaitu:

Jika hari kiamat tiba, terdengarlah suara panggilan “Manakah orang-orang yang suka mengampuni dosa sesama manusianya?” Datanglah kamu kepada Tuhan-mu dan terimalah pahala-pahalamu. Dan menjadi hak setiap muslim jika ia memaafkan kesalahan orang lain untuk masuk surga. (HR. Adh-Dhahak dari Ibnu Abbas).

Selain hadis di atas, terdapat hadis-hadis senada yang berbicara mengenai pentingnya sikap pemaaf dan manfaatnya bagi pelakunya. Kemudian, dikisahkan juga bahwa nabi Muhammad saw dalam kehidupannya merupakan seorang yang pemaaf. Telah disebutkan dalam banyak riwayat tentang bagaimana beliau tidak pernah membenci atau menumpahkan amarah kepada orang yang menyakitinya.

Surah al-A’raf [7] Ayat 199: Perintah Agar Menjadi Orang Yang Pemaaf

Perintah untuk memaafkan kesalahan orang lain juga disebutkan dalam Al-Qur’an. Salah satunya adalah surah al-A’raf [7] ayat 199 yang berbunyi:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ ١٩٩

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf [7] ayat 199).

Menurut al-S’adi dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah al-A’raf [7] ayat 199 merangkum tentang sikap terpuji dalam bersosialisasi di masyarakat, mulai dari berinteraksi dengan baik seperti memaafkan orang lian, tidak saling bertikai, hingga memerintahkan segala perbuatan baik dan mencegah berbagai tindakan keburukan (saling tolong-menolong dalam ketakwaan).

Kata khudz atau ambillah bermakna memperoleh sesuatu untuk dimanfaatkan atau digunakan untuk memberi mudarat. Dalam kata ini terkandung arti memilih dari sekian banyak pilihan. Artinya, Allah swt memerintahkan manusia – melalui kata khudz – untuk memilih memaafkan kesalahan orang lain dibandingkan sikap-sikap lain yang mungkin dilakukan seperti membalas, marah, mengamuk, dan dendam (Tafsir al-Misbah [5]: 351).

Kemudian, maaf yang dimaksud dari surah al-A’raf [7] ayat 199 bukanlah sekedar ucapan belaka, melainkan memaafkan dengan sepenuh hati. Kata al-afwu atau maaf diambil dari akar kata yang terdiri dari huruf ‘ain, fa, dan waw akar ini memiliki dua kemungkinan makna, yakni meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini, kita dapat memahami bahwa seorang yang telah memaafkan kesalahan orang lain berarti ia benar-benar meninggalkan (menghapus) kesalahan tersebut.

Sedangkan al-Biqa’i memaknai khudz al-afwa dalam arti ambillah apa yang telah Allah anugerahkan, tanpa bersusah payah menyulitkan diri. Dengan kata lain surah al-A’raf [7] ayat 199 memerintahkan kita untuk menganggap entang kesalahan orang lain, tidak membesar-besarkannya, dan memaafkan dengan tulus bahkan sebelum orang yang bersangkutan meminta maaf (Tafsir al-Misbah [5]: 352).

Selain memerintahkan untuk memaafkan kesalahan orang lain, surah al-A’raf [7] ayat 199 juga mengaharkan kita untuk memerintahkan kepada kebaikan dengan cara yang makruf atau sesuai dengan kondisi masyarakat setempat agar kebaikan tersebut bisa diterima dengan baik. Kata makruf pada ayat ini bermakna kebajikan yang universal, jelas, diketahui dan sesuai norma masyarakat serta tidak bertentangan dengan syariat (Marah Labid [1]: 413).

Pada bagian akhir ayat di atas, nabi Muhammad saw sebagai mukhatab diperintahkan untuk berpaling dari orang-orang bodoh (jahil). Maksud dari kata jahil di sini tidak hanya digunakan dalam arti ketidaktahuan, melainkan juga dalam arti orang-orang yang kehilangan kontrol dirinya dan mengabaikan ajatran ilahi, sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar dilakukan oleh manusia berakal, baik karena dorongan nafsu, kepentingan individual, atau kepicikan pikiran.

Lantas mungkin timbul pertanyaan, bagaimana kita bisa memaafkan kesalahan orang lain, terutama bagi mereka yang sudah terlanjut sakit hati dan dendam. Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan memaparkan kiat-kiat memaafkan orang lain berdasarkan pandangan Quraish Shihab dalam suatu ceramah di stasiun tv swasta.

Beliau berkata, “Pertama, kita harus sadar bahwa kesalahan yang dilakukan orang lain juga bisa terjadi pada diri kita, bahkan mungkin jauh lebih besar dan rumit. Dalam konteks ini, kita tentu ingin dimaafkan oleh orang lain. Nah, oleh karena itu, agar kita bisa dimaafkan orang lain, pertama-tama kita harus bisa memaafkan kesalahan orang lain pula dengan sepenuh hati (tulus).”

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman

“Kedua, ketahuilah bahwa benih-benih kebaikan dalam diri manusia jauh lebih banyak dari benih-benih keburukan, sehingga jika Anda memaafkan, maka Anda menyuburkan benih-benih kebaikan itu. Dan sadarlah bahwa manusia yang mau memaafkan kesalahan orang lain akan dibantu oleh Allah swt. Tanamkanlah di dalam hati bahwa yang bersalah itu pendorong kejahatan (setan), sedangkan manusia hanya khilaf, bencilah setan dan sifatnya, bukan manusia.”

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa surah al-A’raf [7] ayat 199 memerintahkan manusia untuk memaafkan kesalahan orang lain dengan sepenuh hati, tidak dendam, dan tidak pula menyisakan kedengkian. Dengan memaafkan, seseorang akan merasa damai, tenteram, dan bahagia. Selain itu – menurut Quraish Shihab, sikap memaafkan dapat saling mendekatkan satu sama lain sebagaimana tujuan Islam. Wallahu a’lam.

Surah al-Maidah 89: Sumpah Palsu dan Kafarat Ausath Al-Tha’am

0
Sumpah Palsu
Sumpah Palsu

Sumpah merupakan salah satu taukid atau penguat argumentasi jika ditinjau dari sisi ilmu Bahasa. Dalam Ulumul Qur’an, sumpah bahkan dijadikan sebagai salah satu keilmuan khusus yang disebut Aqsamul Qur’an. Namun, tak jarang jika sumpah disalahgunakan dan justru dijadikan sebagai alat untuk memonopoli suatu kebohongan menjadi kebenaran atau biasa disebut sumpah palsu. Persoalan ini ternyata dapat ditelusuri dalam Q.S. al-Maidah: 89 dan di dalamnya juga dijelaskan bagaimana sanksi yang akan diberikan.

Q.S. al-Maidah: 89:

لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ ۗفَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ ۗذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْ ۗوَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْ ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

Baca Juga: Menilik Keutamaan dan Tujuan Qasam dalam Al-Quran

Secara literal, ayat ini dapat dikategorikan sebagai ayat muhkamat sebab secara jelas memberikan suatu kasus dan ketentuan hukumnya. Al-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an juga mengomentari bahwa ayat ini memberikan ketentuan yang spesifik terkait kasus “Sumpah Palsu” dan memberikan kriteria sumpah palsu secara jelas.

Al-Thabari melanjutkan bahwa yang dimaksud dengan sumpah palsu adalah sumpah yang secara sengaja dilakukan dan sebelumnya memang telah diniatkan dalam hati. Adapun sumpah yang kerapkali diucap oleh orang Arab dalam percakapannya yang merupakan bagian adat budayanya dinilai sebagai sumpah yang tidak disengaja. Maka dari sini, bisa didapati bahwa dalam memberikan suatu ketentuan hukum, al-Qur’an pun terlihat mempertimbangkan aspek budaya, sebagaimana teori al-Qur’an muntaj al-tsaqafi yang dikemukakan oleh Nasr Hamid Abu Zayd.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa ayat ini juga memperlihatkan sanksi atau kafarat yang harus dijalani oleh orang yang telah melakukan sumpah palsu. Sebelum dilanjutkan, perlu diketahui bahwa pembahasan ini perlu dikaji sebab ada suatu istilah menarik yang patut dikaji yaitu pada redaksi (مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ). Kata اَوْسَطِ di sana sangat menarik untuk ditelaah khususnya pada ranah kajian wasathiyah islam.

Beberapa mufasir Indonesia memberikan penafsirannya terkait term ausath dalam ayat tersebut dalam masing-masing kitab tafsirnya. Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar-nya memberikan respon bahwa term ausath tersebut diukur melalui urf atau adat masing-masing tempat dan tidak bisa digeneralisir. Jadi, jika ada suatu tempat makanan terendahnya adalah nasi dan sambal terasi sedang makanan termewahnya ialah nasi dan gulai kambing, maka yang dimaksud dengan مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ ialah makanan menengah seperti nasi plus lauk sederhana yang mengenyangkan.

Adapun Hasbi al-Shiddieqy pada tafsir al-Nur memberikan argumentasi yang berbeda. Menurutnya yang dimaksud di sana ialah makanan yang pantas dan secukupnya seperti yang dimakan sehari-hari oleh orang yang bersumpah. Maka jika orang yang bersumpah setiap harinya makan roti dari gandum, maka ia membayar kafarat dengan makanan tersebut dan tidak diperkenankan dikurangi dan diperbolehkan untuk menambahkan.

Sementara Quraish Shihab dalam karyanya al-Misbah memberikan pandangan yang umumnya dipegang oleh mayoritas ulama yaitu makanan yang bukan hidangan istimewa. Sebab karakteristik Islam sebagai agama adalah moderasi dan proporsi, maka hidangan yang menengah dalam umumnya pandangan umat di suatu daerah merupakan yang paling dianjurkan. Pendapat semua ulama tersebut juga berlaku bagi pakaian.

Baca Juga: Inilah Macam-Macam Qasam dalam Al-Quran, Simak Penjelasannya

Beberapa ulama ini sekaligus menegaskan bahwa Islam merupakan agama yang benar-benar menjaga karakteristiknya sebagai ajaran agama yang moderat dan proporsional. Selain itu dari ayat ini umat Islam juga diajak untuk belajar bijak dalam menilai suatu kasus dan jangan terburu-buru dalam menilai benar dan salahnya.

Sebab perlu diadakan investigasi sebelum menilai sesuatu yang meskipun secara zahir terlihat salah. Ayat ini juga memperlihatkan bahwa Islam merupakan agama yang benar-benar memandang tinggi peradaban manusia dan bahkan mengadopsinya sebagai bagian dari pertimbangan ketentuan hukum yang ditetapkan. Wallahu a’lam.

Tafsir Ahkam: Batas Umur Anak yang Menyebabkan Sepersusuan

0
Batas Umur Anak yang Menyebabkan Sepersusuan
Batas Umur Anak yang Menyebabkan Sepersusuan

Islam menetapkan bahwa ada tiga jalur seseorang dapat menjadi keluarga kita, sehingga berlaku padanya hukum mahram. Yaitu jalur orang tua kandung, jalur pernikahan dan jalur persusuan (radha’). Di antara ketiganya, jalur persusuan bisa dibilang jalur yang kurang dikenal. Sebab masyarakat lebih mengenal sistem kekeluargaan yang tercipta dari orang tua kandung dan mertua. Jalur persusuan bisa jadi memunculkan banyak pertanyaan. Seperti bagaimana seorang perempuan dapat menjadi ibu persusuan? Dan berapa batas umur bayi yang meminum asi dari selain ibunya mampu dikatakan sepersusuan?. Berikut keterangan Al-Qur’an mengenai batas umur anak yang menyebabkan persusuan (radha’).

Baca juga: Tafsir Ayat Syifa: Menebar Keselamatan dan Mencegah Kegaduhan

Batas Umur dalam Radha’ (Sepersusuan)

Para ulama’ menyatakan, seorang perempuan bisa menjadi ibu radha’ tidak hanya cukup melalui tindakan menyusui saja. Namun juga melihat umur si anak yang disusui. Banyak ulama’ yang mensyaratkan dalam hukum radha, umur si anak yang disusui belum sampai usia dua tahun. Hal berdampak saat ada seorang dewasa dengan sengaja atau tidak sengaja meminum asi orang lain, maka si pemilik asi bukanlah dianggap ibu radha’ baginya, di sebabkan ia sudah berusia lebih dari dua tahun.

Ulama’ menetapkan adanya syarat si anak yang menyusu berusia di bawah dua tahun berdasar firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 233:

۞ وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ

Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan (QS. Al-Baqarah [2] :233)

Ayat di atas sebenarnya adalah anjuran bagi para ibu bayi secara umum agar menyusui bayinya selama dua tahun penuh. Ayat ini kemudian dijadikan pijakan oleh para ulama’ dalam menentukan umur si anak dalam masalah radha’ yang dapat menjadikan si ibu dihukumi layaknya satu nasab dengan si anak.

Baca juga: Pengertian Kata Tawaduk dan Konteksnya dalam Surah al-Furqan Ayat 63

Imam Ibn Katsir di dalam tafsirnya menyatakan, berdasar ayat di atas, mayoritas ulama’ menyatakan bahwa tindakan menyusui tidak akan memunculkan hukum si ibu dihukumi satu nasab, kecuali si anak berusia di bawah 2 tahun. Apabila di atas 2 tahun, maka si ibu tidak bisa dihukumi sebagaimana satu nasab (Tafsir Ibn Katsir/1/633).

Imam Ar-Razi menjelaskan cara ulama’ memahami ayat di atas sehingga dapat memunculkan kesimpulan batas umur dalam radha’. Ia menerangkan, ayat tersebut tidak sedang ingin mewajibkan seorang ibu menyusui anaknya selama 2 tahun. Sebab anjuran tersebut dikaitkan dengan keinginan untuk menyempurnakan tindakan menyusui anak. Konsekwensi pemahaman tersebut adalah, apabila tidak ingin menyempurnakan tindakan menyusui, maka boleh berhenti menyusui meski belum sampai 2 tahun.

Sebab Turunnya Ayat

Lalu apa tujuan dari disampaikannya ayat tersebut bila bukan soal kewajiban menyusui? Ada dua tujuan. Pertama, memberikan patokan sampai kapan seorang ibu dapat dituntut menyusui anaknya. Hal ini penting saat terjadi percekcokan antar sepasang pasutri perihal menyusui anak mereka. Kedua, menunjukkan bahwa tindakan menyusui memiliki dampak hukum khusus di dalam syariat. Yaitu membuat perempuan yang menyusui selain anak kandungnya, dihukumi sebagaimana ibu dalam satu nasab dengan si anak. Dan Surat Al-Baqarah ayat 233 menerangkan batas dari hukum khusus tersebut (Tafsir mafatihul ghaib/3/349).

Ulama’-ulama’ yang meyakini pendapat ini diantaranya adalah Muhammad ibn ‘Abdul Hakam, Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud, Az-Zuhri, Sufyan At-Tsauri, Al-Auza’i, Imam Asyafi’i, Imam Ahmad, Abu Yusuf dan Abi Tsaur. Meski begitu, ada ulama’ yang memiliki batas yang berbeda. Abu Hanifah semisal, menetapkan batas usia anak dalam radha’ adalah 30 bulan. Abu Hanifah mendasarkan pendapatnya pada Surat Al-Ahqaf ayat 15 (Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab/18/212).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Kebolehan Memakan Makanan Haram dalam Situasi Darurat

Dalam permasalahan hukum radha’, ulama’ tidak hanya menentukan syarat batas umur anak yang menyusu. Namun juga menentukan batas berapa kali hisapan seorang anak sehingga dapat dikategorikan radha’. Dan ulama’ juga berbeda pendapat soal ini. Namun syarat ini bukanlah termasuk hukum yang digali dari Surat Al-Baqarah ayat 233 di atas (Tafsir Al-Qurthubi/5/109).

Hal utama yang dapat kita fahami lewat berbagai uraian di atas adalah, apabila seorang dewasa meminum asi seorang perempuan, maka si perempuan tidaklah lantas menjadi ibu radha baginya. Hukum radha tidak secara mutlak menyatakan setiap aktivitas menyusui pasti memunculkan hukum radha. Hukum radha’ menetapkan banyak syarat-syarat sebelum kemudian si perempuan dikenai hukum sebagaimana hukum ibu kandung bagi si anak yang menyusu. Wallahu a’lam bishshowab

Makna-Makna Sighat Amar (Perintah) dalam Al-Quran (Bagian 2)

0
makna sighat amar (perintah) dalam Al-Quran
makna sighat amar (perintah) dalam Al-Quran

Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya mengenai makna majaz sighat amar (bagian 1). Dalam artikel ini akan dijelaskan beberapa makna majaz yang lain dari makna sighat amar yang belum disebutkan dalam artikel yang lalu. Penjelasan ini disarikan dari kitab Zubdat al-Itqan fi Ulum al-Quran karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.

  1. At-Taswiyyah (التسوية)

At-Taswiyyah berarti menunjukkan kesepadanan. Contoh sighat amar yang menunjukkan makna kesepadanan atau kesamaan terdapat dalam Q.S. At-Thur [52]: 16

فَاصْبِرُوا أَوْ لَا تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ

Artinya: Maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu;

Dalam Tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhaili diterangkan bahwa dua kalimat perintah dalam ayat tersebut, yaitu perintah untuk bersabar (فَاصْبِرُوا) dan perintah untuk jangan bersabar (لَا تَصْبِرُوا) itu memiliki makna sama dalam hal tidak adanya manfaat sama sekali kesabaran atau ketidaksabarannya tersebut.

Baca Juga: Kaidah Tafsir: Pengertian dan Hakikatnya dalam Memahami Al-Quran

  1. Al-Irsyad (الارشاد)

Al-Irsyad bermakna memberikan petunjuk. Contoh sighat amar bentuk ini terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 282

وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ

Artinya: Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli;

Muhammad Sayyid Thontowi dalam karyanya Tafsir al-Wasith li al-Quran al-Karim menjelaskan bahwa makna sighat amar dalam ayat tersebut menunjukkan arti memberi petunjuk (الارشاد) dan mengajarkan (التعليم) menurut jumhur ulama. Pendapat jumhur ulama ini berbeda dengan pendapat dari madzhab Dzahiriyyah yang mengatakan bahwa amar dalam ayat tersebut bermakna kewajiban (الايجاب)

  1. Al-Ihtiqar (الاحتقار)

Maksud dari al-Ihtiqar adalah meremehkan. Contohnya terdapat dalam Q.S. Yunus [10]: 80

فَلَمَّا جَاءَ السَّحَرَةُ قَالَ لَهُمْ مُوسَى أَلْقُوا مَا أَنْتُمْ مُلْقُونَ (80)

Artinya: Maka tatkala ahli-ahli sihir itu datang, Musa berkata kepada mereka: “Lemparkanlah apa yang hendak kamu lemparkan.”

Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menjelaskan bahwa ayat tersebut bercerita tentang Nabi Musa yang meminta ahli sihir dari pengikut Fir’aun untuk terlebih dahulu melemparkan sihir mereka. Hal ini sebagai bentuk meremehkan kepada mereka karena kebatilan mereka akan lenyap dengan kebenaran yang dibawa Nabi Musa.

  1. Al-Indzar (الانذار)

Al-Indzar berarti memperingatkan atau memberi peringatan. Contoh shighat amar yang memiliki makna al-Indzar adalah Q.S. Ibrahim [14]: 30

قُلْ تَمَتَّعُوا فَإِنَّ مَصِيرَكُمْ إِلَى النَّارِ

Artinya: Katakanlah: “Bersenang-senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu ialah neraka.”

Dalam kitab Tafsir al-Munir karya Wahbah az-Zuhaili dan Shofwah at-Tafasir karya Muhammad Ali as-Shobuni dijelaskan bahwa makna shighat amar tersebut menunjukkan al-Wa’id dan at-Tahdid, yaitu bermakna ancaman, bukan menunjukkan al-Indzar. Namun, sebenarnya shighat amar tersebut memungkinkan juga untuk dimaknai dengan memberi peringatan. Karena terkadang jika kita ingin memperingatkan orang lain, maka kita akan menyertakan akibat dari perbuatan tersebut.

Baca Juga: Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?

  1. Al-Ikram (الاكرام)

Makna dari al-Ikram adalah memuliakan. Contoh makna sighat amar kali ini adalah Q.S. Al-Hijr [15]: 46

ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ (46)

Artinya: (Dikatakan kepada mereka): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”

Ayat tersebut menjelaskan tentang rahmat Allah Swt. bagi orang-orang yang bertaqwa. Mereka berada di dalam surga dan di dekat mata air yang mengalir. Mereka masuk ke dalamnya dengan selamat dari segala penyakit dan aman dari segala rasa takut.

  1. Al-In’am (الانعام)

Al-In’am di sini dimaknai dengan menyebutkan kenikmatan. Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-An’am [6]: 142

كُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ

Artinya: Makanlah dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu,

Potongan ayat tersebut menjelaskan kebolehan untuk memanfaatkan nikmat yang telah diberikan Allah Swt. berupa hewan ternak seperti kebolehan untuk memakan dan memanfaatkan berbagai macam buah dan tumbuhan seperti dijelaskan dalam ayat sebelumnya.

  1. At-Takdzib (التكذيب)

At-Takdzib memiliki makna mendustakan atau mengingkari. Salah satu contohnya terdapat dalam Q.S. Ali Imran [3]: 93

قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Artinya: Katakanlah: “(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar.”

Dan juga termasuk dalam kategori shighat amar bermakna at-Takdzib adalah ayat Q.S. Al-An’am [6]: 150

قُلْ هَلُمَّ شُهَدَاءَكُمُ الَّذِينَ يَشْهَدُونَ أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَ هَذَا

Artinya: Katakanlah: “Bawalah kemari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan (makanan yang kamu) haramkan ini”

Baca Juga: Mengenal Muthlaq-Muqayyad: Definisi, Pembagian, dan Kaidah Penerapannya

  1. Al-Masyurah (المشورة)

Al-Masyurah berarti nasihat, saran, atau pertimbangan. Contoh makna sighat amar yang satu ini terdapat dalam Q.S. Ash-Shaffat [37]: 102

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى

Artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”

Ayat tersebut berkisah tentang Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. ketika itu Nabi Ismail telah sampai pada usia yang memungkinkan dia untuk bekerja dan berusaha, yang menurut al-Farra’, Nabi Ismail as. pada saat itu berusia 13 tahun, maka Nabi Ibrahim bertanya kepada anaknya tersebut bagaimana pendapatnya mengenai mimpi yang dialami Nabi Ibrahim as. yang akan menyembelih putranya tersebut.

  1. Al-I’tibar (الاعتبار)

Al-i’tibar bermakna mempertimbangkan, memerhatikan, atau meneliti. Contoh shighat amar yang bermakna demikian terdapat dalam Q.S. Al-An’am [6]: 99

انْظُرُوا إِلَى ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَيَنْعِهِ

Artinya: Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya.

Wahbah az-Zuhaili dalam karyanya, Tafsir al-Munir, menafsirkan ayat tersebut sebagai perintah untuk memerhatikan dan meneliti bagaimana buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan itu ketika berkembang mulai dari bibit hingga muncul buahnya. Juga memerhatikan bagaimana tingkat kematangan dan kesempurnaan buah tersebut bisa terjadi. Ini sebagai bukti kebesaran Allah Swt. dan sebagai tanda kekuasaan Allah Swt. bagi orang-orang yang beriman.

Demikianlah makna-makna sighat amar yang ada di dalam al-Quran sebagai salah satu pijakan kita dalam memahami ayat al-Quran. Semoga kita dijauhkan dari pemahaman yang salah dalam mengurai kandungan ayat-ayat Al-Quran. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Ciri-Ciri Sifat Tawaduk dalam Surah al-Maidah Ayat 55

0
Sifat Tawaduk
Ilustrasi Sifat Tawaduk

Harus diingat bahwa sifat tawaduk adalah kerendahan hati (bukan kerendahan diri). Hatilah yang membuat orang berbeda. Hatilah yang membuat orang sombong terhadap Tuhan-Nya, dengan tidak patuh kepadanya, hatilah yang membuat orang sombong terhadap sesamanya, hati pulalah yang membuat orang menghargai orang lain.

Secara fisik manusia sama, tidak berbeda antara satu dengan yang lain. Seseorang tidak boleh merendahkan dirinya, terhadap siapa pun, karena derajatnya sama. Allah sendiri memuliakan manusia, lebih hebat dari makhluk yang yang lain. Dari mereka yang dimuliakan itu, ada yang paling mulia adalah yang hatinya sangat dekat kepada Allah dengan tingkatan takwanya yang paling tinggi.

Sifat tawaduk itu selalu mucul dari dua hal: pertama, dari pengetahuan tentang Allah, nama-Nya yang agung, sifat-sifat-Nya yang sejati, dan keyakinan akan kebesaran, keicintaan, dan keagungan-Nya. Pemikiran ini melahirkan sikap bahwa Allah adalah yang Maha Besar, Yang Maha Agung, tidak ada kebesaran dan keagungan kecuali kebesaran dan keagungan-Nya. Semua makhluknya adalah kecil, dan tidak memiliki keagungan dan kebesaran.

Baca Juga: Berbagai Cara Allah Menjaga Al-Quran dalam Tafsir Surah Al-Hijr Ayat 9

Kedua, dari pengetahun mengenai diri sendiri secara menyeluruh, termasuk cacat, kesalahan, dan dosa-dosa yang dimiliki. Pemahaman tentang diri secara menyeluruh akan melahirkan pandangan dan sikap bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, dengan segala kekurangannya. Yang maha sempurna hanyalah Allah. Karena itu, tidak ada hal yang dibanggakan oleh kita, kecuali memandang diri lemah, rendah, dan sangat miskin.

Seseorang yang memiliki pengetahuanm dan kesadaran seperti ini akan melahirkan sifat tawaduk yang tinggi pada dirinya. Memandang Allah yang tinggi, memandfamng dirinya rendah, tidak memiliki apa pun, memiliki pandangan bahwa orang lain sama di hadapan dan di matanya, dia tidak melebihkabn dirinya dari orang lain.

Kehinaan berarti kerendahan diri, keremehan dan keterpurukan dalam mendapatkan keinginan syahwat. Seseorang tidak boleh merendahkan dirinya untuk mendapatkan sesuatu untuk kepentingannya. Merendahkan diri dilarang di dalam agama, sekalipun untuk mencapai ketinggian derajat, dan kepangkatan.

Allah Swt sangat menyukai orang-orang yang memiliki sifat tawaduk, tetapi sangat membenci orang-orang yang merendahkan dirinya. Orang-orang yang telah beriman, kemudian murtad (kembali kepada kekafiran, maka mereka termasuk orang-orang yang sombong, ingkar terhadap terhadap Allah Swt. Allah membiarkan mereka berbuat demikian.

Allah Swt menggantikan mereka dengan kaum yang lebih taat dan tunduk terhadap Allah. Hal ini seperti yang tergambar dalam berbagai ayat di dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 54 Allah menyatakan:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٖۚ ذَٰلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ ٥٤

  1. Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.

Ayat di atas menerangkan bahwa orang-orang yang ingkar (murtad, kembali kepada kekafirannya) tidak akan mempengaruhi kekuasaan Allah sedikit pun. Allah akan membiarkan mereka melakukan tindakan seperti itu. Allah akan menggantikan mereka dengan orang-orang yang lebih taat, patuh, tunduk, dan tawadu‘ kepada-Nya.

Baca Juga: Cara Allah Menyembuhkan Hati yang Terluka: Tafsir Surah Al-Qashshas Ayat 10

Orang-orang yang memiliki ciri-ciri dalam ayat di atas adalah orang-orang yang telah mendapat karunia Allah yang luar biasa. Nikmat itu bisa diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Orang-orang yang taat kepada Allah itu adalah orang-orang yang tawaduk, merendah, dan patut, serta taat kepada Allah. Mereka patuh melaksanakan perintah Allah, dan patuh meninggalkan larangan Allah. Mereka seperti itulah orang-orang dicintai Allah, karena mereka pun mencintai Allah. Wallahu A”lam.

Tafsir Ayat Syifa: Menebar Keselamatan dan Mencegah Kegaduhan

0
Tafsir Ayat Syifa: Menebar Keselamatan dan Mencegah Kegaduhan
Tafsir Ayat Syifa: Menebar Keselamatan dan Mencegah Kegaduhan

Setiap manusia pasti mencari keselamatan dan tidak menginginkan kegaduhan. Keselamatan adalah ujung tombak tujuan kehidupan manusia. Di akhir doa, biasanya kita mendawamkan, “rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabban nar” (Ya Allah berikanlah keselamatan dan anugerahkanlah kebaikan kepada kami di dunia dan akhirat, serta jauhkanlah kami dari api neraka). Ini adalah puncak tertinggi dari doa manusia adalah memohon keselamatan, dan berikut ini ayat yang mengurai tentang memohon keselataman dan mencegah kegaduhan.

Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang menginginkan kegaduhan apalagi bencana atau musibah. Karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk senantiasa syifa. Syifa di sini bermakna menebar keselamatan, kedamaian, persatuan, dan kemanaman serta mencegah kegaduhan sebagaimana disitir dalam firman-Nya di bawah ini,

قَاتِلُوْهُمْ يُعَذِّبْهُمُ اللّٰهُ بِاَيْدِيْكُمْ وَيُخْزِهِمْ وَيَنْصُرْكُمْ عَلَيْهِمْ وَيَشْفِ صُدُوْرَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِيْنَۙ

Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu (dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman, (Q.S. al-Taubah [9]: 14)

Baca juga: Pandangan Imam Al-Ghazaly terhadap Tafsir Isyari dalam Ihya Ulumuddin

Tafsir Surat at-Taubah Ayat 14

Penafsiran ini difokuskan pada redaksi wa yasyfi shudura qaumin mu’minina guna mengungkap makna syifa di dalamnya. Sebagaimana pembahasan terdahulu, syifa memiliki makna yang amat beragam. Syifa diartikan sebagai penyembuh bagi orang sakit baik sakit akal, jiwa, pola pikir hingga sakit fisik. Selain itu, syifa juga bermakna petunjuk bagi orang beriman dan penyembuh kebodohan, keraguan dan kebimbangan.

Konteks asbabun nuzul ayat di atas ialah peperangan antara kaum musyirikin dengan kaum mukmin. Tak pelak, Allah swt pun memerintahkan untuk jihad terhadap mereka (kaum musyrikin). Di satu sisi Allah swt menjadikan hina mereka (musyrikin), pada sisi yang lain Dia menghilangkan kegundahan yang menyelimuti orang mukmin akibat pengkhianatan kaum musyrikin sebagaimana disampaikan dalam Tafsir Kemenag.

Ikrimah mengatakan bahwa dalam satu riwayat, bahwa yang dimaksud qaumin mu’minin di atas adalah suku Khuza’ah sebagaimana dituturkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Sementara, Ibnu Abbas berpendapat adalah Suku Yaman dan Saba’ yang telah masuk Islam di mana mereka pernah mendapat siksaan dari kaum musyirikin Mekah. Tafsiran Ibnu Abbas ini kemudian diamini oleh al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib,

وَيَشْفِ صُدُورَ قَوْمٍ مُّؤْمِنِينَ ,وقد ذكرنا أن خزاعة أسلموا، فأعانت قريش بني بكر عليهم حتى نكلوا بهم، فشفى الله صدورهم من بني بكر، ومن المعلوم أن من طال تأذيه من خصمه، ثم مكنه الله منه على أحسن الوجوه فإنه يعظم سروره به، ويصير ذلك سبباً لقوة النفس، وثبات العزيمة

“Sebagaimana disebutkan bahwa suku Khuza’ah mengirim utusan untuk sowan kepada Rasul saw perihal penderitaan mereka, maka Rasul saw menyampaikan syifa berupa salam dan kabar gembira guna menggembirakan hati mereka (Bani Bakr) dan menghilangkan kesedihannya. Allah swt menghinakan mereka (kaum musyirikin) dan menempatkan kaum mukmin dengan sangat baik, memberi kesabaran untuk menguatkan hati mereka dan semakin memperteguh keimanannya”

Hal ini senada juga disampaikan Al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf, bahwa yang dimaksud syifa ialah fa-aslamu (menyampaikan salam). Ia menambahkan, أبشروا فإن الفرج قريب (kabarkanlah berita gembira kepada orang mukmin bahwa keberuntungan sangatlah dekat baginya).

Baca juga: Pengertian Kata Tawaduk dan Konteksnya dalam Surah al-Furqan Ayat 63

Lebih jauh, al-Biqa’i dalam Nadzm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, lebih menitikberatkan pada penguatan teologis atau keimanan, yaitu rasikhina fil ‘ilm. Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsirkan rasikhina dengan mengutip riwayat sebagai berikut,

ن أبـي الدرداء وأبـي أمامة، قالا: سئل رسول الله صلى الله عليه وسلم من الراسخ فـي العلـم؟ قال: ” مَنْ بَرَّتْ يَـمِينُهُ، وَصَدَقَ لِسَانُهُ، وَاسْتَقَامَ بِهِ قَلْبُهُ، وَعَفَّ بَطْنُهُ، فَذَلِكَ الرَّاسِخُ فِـي العِلْـمِ

Dari Abi Darda’ dan Abi Umamah, mereka berdua bertanya kepada Rasulullah saw perihal rasikhun fil ‘ilm? Lantas Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang memenuhi sumpahnya, benar perkataannya, istiqamah hatinya dalam ketaatan dan memelihara syahwat perutnya dengan baik. Mereka itulah rasikhuna fil ‘ilmi”.

Tidak jauh berbeda, penafsiran bernuansa kebangsaan disitir Ibnu Atiyyah dalam Tafsir al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz, ia menafsirkan redaksi wa yasyfi shudura qaumin mu’minina dengan segala perkataan yang mempererat persatuan kaum mukminin sehingga mampu membentengi dari tipu daya muslihat kaum kafir. Itulah makna syifa bagi mereka.

Menebar Keselamatan dan Mencegah Kegaduhan

Secara tersirat ayat di atas sesungguhnya memerintahkan kepada umat Islam untuk senantiasa menebar keselamatan dan mencegah kegaduhan. Hal ini terlukiskan dari sabda Nabi saw, “Maka tebarkanlah salam (keselamatan) dan kabar gembira guna menentramkan hati mereka sehingga hilang kesedihannya”.

Keselamatan bagi manusia adalah keniscayaan. Bagaimana tidak, tanpa keselamatan dan keamanan, manusia tidak dapat melakukan aktifitasnya dengan baik. Namun di era kekinian utamanya ruang digital (medsos) kita, tampaknya persentase keselamatan dan keamanan anjlok dibanding kegaduhan. Hampir tiap hari kita selalu menemukan suatu informasi yang membuat kita was-was. Padahal Islam mencegah kegaduhan dan mengajarkan untuk menebarkan salam (keselamatan).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Kebolehan Memakan Makanan Haram dalam Situasi Darurat

Karena itu, di era digital dan wabah Covid-19 seakan menjadi warning bagi kita semua agar gemar menebar keselamatan dibanding kegaduhan. Mau jadi apa generasi kita kelak jika para pendahulunya mewariskan kegaduhan ketimbang keselamatan. Makna keselamatan tentu dapat dikontekstualisasi dalam kehidupan sehari-hari, begitu pula dengan kegaduhan. Semakin banyak masyarakat kita menebar keselamatan, makin aman dan tentram bangsa Indonesia. Namun sebaliknya, semakin gencar menabur kegaduhan, memprovokasi, melontarkan hoax dan bibit-bibit perpecahan, maka tunggulah kehancurannya.

‘Ala kulli hal, semoga bangsa Indonesia senantiasa menjadi suri tauladan dalam hal menebar keselamatan dan meminimalisir kegaduhan, serta dalam naungan ridha dan rahmat-Nya. Aamiin. Wallahu A’lam.

Pandangan Imam Al-Ghazaly terhadap Tafsir Isyari dalam Ihya Ulumuddin

0
Imam Al-Ghazaly
Tafsir Isyari menurut Imam Al-Ghazaly

Sedikitnya ada tiga tipologi metode tafsir yang disepakati oleh sementara pengkaji tafsir Al-Qur’an saat ini, sebagaimana disebutkan Al-‘Allamah Muhammad ‘Ali al-Shabuny dalam karyanya, Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an. Ketiga tipologi yang dimaksud adalah tafsir bi al-riwayah, tafsir bi al-dirayah, dan tafsir bi al-isyarah.

Apabila pembaca sekalian melihat ulasan yang ditulis Imam Al-Ghazaly dalam masterpiece-nya, Ihya’ ‘Ulum al-Din, pembaca akan menjumpai tipologi lain yang cukup menarik. Dimana Al-Ghazaly menggolongkan tafsir bi al-isyarah atau isyari (selanjutnya disebut dengan isyari), merupakan bagian dari tafsir bi al-dirayah atau ra’y (selanjutnya disebut ra’y).

Meskipun hal ini tidak secara eksplisit beliau sebutkan. Akan tetapi, jika menilik keseluruhan ulasan yang beliau tuliskan, agaknya pemahaman yang didapat akan berkata demikian. Hal ini yang setidaknya didapatkan oleh penulis.

Baca Juga: Ikhwanus Shafa dan Tafsir Isyari tentang Tingkat Spiritualitas Manusia

Dalam kitab Ihya’, Imam Al-Ghazaly secara eksklusif menghimpun satu part berjudul Kitab Adab Tilawah al-Qur’an. Dari judulnya, pembaca dapat menerka bahwa konten yang disajikan dalam part ini merupakan etika-etika yang harus dipenuhi terkait tilawah Al-Qur’an.

Sebagaimana langkah metodis yang lazim ditempuh Imam Al-Ghazaly, etika-etika ini lantas diklasifikasikan dalam empat sub-sub bab, yakni Fadll al-Qur’an wa Ahlih wa Dzam al-Muqashshirin fi Tilawatih atau keutamaan Al-Qur’an, para pembacanya, dan kritik terhadap mereka yang ceroboh; Dzahir Adab al-Tilawah wa Hiy ‘Asyrah atau sepuluh adab zahir dalam bertilawah; A‘mal al-Bathin fi al-Tilawah wa Hiy ‘Asyrah atau sepuluh amal-amal batin dalam bertilawah; dan Fahm al-Qur’an wa Tafsiruh bi al-Ra’y min Ghair Naql atau memahami dan menafsirkan Al-Qur’an berlandaskan ra’y (pendapat) dengan tanpa menukil riwayat.

Apa yang penulis maksudkan sebelumnya tentang tipologi lain dari Imam Al-Ghazaly dapat dirujuk pada sub bab ketiga, yang menjelaskan amal-amal batin dalam ‘membaca’ Al-Qur’an serta sub bab keempat yang berisi penjelasan tentang kebolehan memahami Al-Qur’an dan menafsirkannya dengan berlandaskan pada ra’y.

Penggolongan tafsir isyari ke dalam ra’y terlihat pada sebuah dialog imajiner yang dilontarkan Imam Al-Ghazaly pada awal bab. Sebuah dialog yang mengantarkan pada ulasan panjang mengenai sederet argumentasi kebolehan memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’y.

لَعَلَّكَ تَقُوْلُ: “عَظَّمْتَ الأَمْرَ فِيْمَا سَبَقَ فِي فَهْمِ أَسْرَارِ القُرْآنِ وَمَا يَنْكَشِفُ لِأَرْبَابِ القُلُوْبِ الزَّكِيَّةِ مِنْ مَعَانِيْهِ، فَكَيْفَ يُسْتَحَبُّ ذَلِكَ وَقَدْ قَالَ صلى الله عليه وسلم: “مَنْ فَسَّرَ القُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ”؟”

“Kamu mungkin bertanya-tanya, “Sungguh dirimu telah melebih-lebihkan masalah pemahaman terhadap rahasia-rahasia Al-Qur’an dan makna-makna tertentu yang akan diperoleh oleh mereka, Arbab al-Qulub al-Zakiyyah, orang-orang yang berhati bersih. Bagaimana mungkin hal itu sangat dianjurkan sementara Rasulullah Saw. telah bersabda, “Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an atas dasar ra’y-nya maka hendaklah ia mempersiapkan tempatnya di neraka”?”

Hubungan antara asrar al-qur’an, inkisyaf (terbukanya hati), arbab al-qulub al-zakiyyah dengan sabda Rasulullah Saw., yang biasa dijadikan argumentasi penolakan terhadap tafsir ra’y, agaknya mengindikasikan keterlibatan ra’y dalam tafsir isyari, yang dalam bahasa penulis, Imam Al-Ghazaly seolah telah memasukkan tafsir isyari ke dalam macam dari ra’y.

Hubungan ini juga dapat dikaitkan dengan arti kata ra’y, yang selain berarti i‘tiqad (keyakinan) dan qiyas (analogi), juga dapat berarti ijtihad (kerja keras, ketekunan), sebagaimana disebutkan oleh Muhammad Husain al-Dzahaby dalam Al-Tafsir wa al-Mufassirun. Jika demikian, maka segala ijtihad yang dilakukan dalam rangka memahami dan menafsirkan Al-Qur’an dapat dikatakan sebagai ra’y, termasuk suluk dan riyadlah dalam dunia tasawuf.

Pembaca tentu memahami sosok Imam Al-Ghazaly yang memiliki concern dalam dunia tasawuf. Begitu banyak karya yang beliau dedikasikan dalam bidang ini. Ihya’ ‘Ulum al-Din, Minhaj al-‘Abidin, Al-Arba‘in fi Ushul al-Din adalah sedikit dari sekian banyak daftar panjang karya beliau.

Baca Juga: Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Memahami Al-Quran dan Memahami Allah Swt

Selain itu, masih dalam kerangka arti kata ra’y, sering kali kata ini dihubungkan dengan kemampuan inteligensi akal. Dalam perspektif Manna‘ Khalil dalam Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, kemampuan inteligensi ini memang memiliki potensi yang luar biasa. Akan tetapi ia memiliki kelemahan tatkala dihadapkan pada nafsu yang cenderung bengkok, menyimpang. Maka tafsir isyari yang menekankan aspek kebersihan hati dan jiwa menemukan relevansinya di sini.

‘Ala kulli hal, apa yang telah penulis ulas ini boleh jadi merupakan opini subjektif penulis saat mengkaji pemikiran Imam Al-Ghazaly. Pembaca lain sangat mungkin memiliki opini lain berdasar pada pembacaan yang telah dilakukan. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Pengertian Kata Tawaduk dan Konteksnya dalam Surah al-Furqan Ayat 63

0
Kata Tawaduk
Pengertian Kata Tawaduk

Kata tawaduk adalah salah satu kata yang sangat populer dalam bahasa Indonesia. Kata ini seringkali kita dengar dalam pergaulan, kita baca dalam tulisan, dan bahkan mungkin kita selalu mengucapkannya. Apa makna kata tawaduk ini? Mari kita lihat dalam uraian berikut.

Kata tawaduk yang ada di dalam Bahasa Indonesia itu adalah kata serapan dari bahasa Arab, yaitu تواضع (tawadhu’). Kemudian diserap di dalam bahasa Indonesia dan menjadi salah satu kata baku, dan ditulis dengan bentuk “tawaduk.”

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, hal. 1412) kata tawaduk diartikan dengan 1) rendah hati, seperti dalam kalimat: “Salat harus dikerjakan pada waktu waktunya dengan khusyuk dan tawaduk,” dan 2) taat dan patuh, seperti dalam kalimat: “Sebagai umat Islam yang tawaduk, ia segera salat begitu mendengar azan.”

Kata tawaduk (تواضع) secara bahasa berasal dari kata wadha’a (وضع). Kata wadha’a (وضع) berarati meletakkan sesuatu dari suatu tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Seeorang yang meletakkan sebuah buku, berarti seseorang yang menempatkan sebuah buku dari tempat yang tinggi le tempat yang lebih rendah.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman

Dari sisi makna bahasa ini, kata tawadhu‘ secara harfiah berarti memperlihatkan kerendahan hati (bukan kerendahan diri) atau kehinaan. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa tawadhu‘ ialah kerendahan hati seseorang yang memiliki kelebihan dari orang lain, baik dalam hal kedudukan, posisi, jabatan, kedudukan sosial, dan pangkat dengan menunjukkan sikap untuk menghargai/menghormati orang lain. Karena itu, tawadhu‘ sangat berkaitan dengan sikap merendah yang menunjukkan kerendahan hatinya.

Secara terminologi, tawadhu‘ didefinisikan sebagai berikut: a) memperlihatkan kerendahan kepada orang yang hendak diagungkan. b) menghormati orang yang lebih tinggi karena keutamaannya, dan c) menyerah kepada kebenaran dan tidak melakukan protes terhadap hukum.

selain pengertian di atas, ada juga beberapa pengertian dari kata tawaduk yang dikemukakan oleh para ulama. Definisi-definisi tersebut dikemukakan secara ringkat oleh Mahmud al-Mishri, dalam bukunya Ensiklopedi Akhlak Nabi Muhammad (h. 195), sebegai berikut:

  1. Imam al-Junaid mengatakan bahwa tawaduk adalah merendahkan sayap dan bersikap halus kepada orang-orang sekitar.
  2. Hasan al-Bashri menyatakan bahwa tawaduk ialah engkau melihat orang lain memiliki kelebihan dibandingkan dengan dirimu.
  3. Fudhail ibn Iyadh menyatakan bahwa tawaduk yaitu tunduk dan insyaf kepada kebenaran serta menerima kebenaran dari orang lain, termasuk anak kecil atau orang yang paling bodoh sekalipun.

Apapun definisi yang dikemukakan oleh para ulama dan para ahli hikmat di atas, tetapi yang jelas bahwa tawaduk adalah suatu sikap yang menunjukkan kerendahan hati dari seseorang yang dipandang memiliki kelebihan, keutamaan, kedudukan yang tinggi, ilmu yang luas kepada semua orang.

Tawaduk adalah suatu sikap yang menunjukkan kerendahan hati dari seseorang yang dipandang memiliki kelebihan, keutamaan, kedudukan yang tinggi, ilmu yang luas kepada semua orang, baik yang memiliki kedudukan lebih tinggi, atau bahkan yang lebih rendah posisi dan kedudukannya.

Tawaduk juga merupakan salah satu sifat hamba Allah yang taat dan patuh, serta dekat dengan Allah. Hal ini seperti yang dikatakan di dalam Al-QS. al-Furqan [25]: 63:

وَعِبَادُ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمۡشُونَ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ هَوۡنٗا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا ٦٣

  1. dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.

Ayat di atas menggunakan kata ibadurrahman (عباد الرحمن), bukan ibadullah (عباد الله). Terdapat perbedaan makna di antara dua kata ini. Kata ibadurrahman (عباد الرحمن) adalah kata yang menunjukkan makna “hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih.” Hamba-hamba yang mendapat sebutan seperti ini adalah hamba-hamba yang sangat dicintai dan disayangi oleh Allah.

Sedangkan kata ibadullah (عباد الله) hanya menunjukkan makna “hamba-hamba Allah yang taat kepada-Nya.” Kedudukan hamba-hamba yang mendapat sebutan “ibadurrahman (عباد الرحمن)” di sisi Allah lebih tinggi daripada kedudukan hamba yang mendapat sebutan “ibadullah (عباد الله).”

Baca Juga: Tiga Bentuk Sikap Tawadhu yang Harus Dimiliki oleh Murid

Ada sifat yang penting yang dimiliki oleh hamba-hamba yang mendapat gelar “ibadurrahman (عباد الرحمن)” itu, yaitu:

  1. Apabila mereka berjalan di muka bumi ini, mereka berjalan dengan rendah hati, tawaduk, tidak angkuh, dan tidak sombong.
  2. Apabila mereka disapa oleh orang-orang jahil (orang-orang yang lebih rendah kedudukan dan posisinya daripadanya), mereka menjawabnya dengan kata-kata atau ucapan yang mengandung keselamatan, kalimat-kalimat yang menyenangkan, dan kalimat-kalimat menyejukkan hati para penyapanya.

Ibn al-Hajjaj mengatakan: “Barangsiapa yang ingin kemuliaan hendaklah ia bertawaduk kepada Allah karena sesungguhnya kemuliaan hanya dapat terwujud dengan kerendahan hati. Beliau mengumpamakannya dengan air yang diserap akar pohon. Ia akan naik sampai ke puncak pohon. Jika ada yang bertanya, apa yang membuat air dapat naik sampai ke puncak pohon, padahal sebelumnya berada di akar-akarnya. Seolah-olah air menjawab dengan perbuatannya: “Barangsiapa yang bertawadhu‘ kepada Allah niscaya Allah akan meninggikannya.” Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Yunus Ayat 37-39

0
tafsir surah yunus
tafsir surah yunus

Tafsir Surah Yunus Ayat 37-39 berbicara mengenai tantangan Allah kepada orang-orang kafir yang menuduh al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad Saw.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 35-36


Selanjutnya Tafsir Surah Yunus Ayat 37-39 ini berbicara mengenai perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw agar menantang orang-orang kafir tersebut untuk membuat yang serupa jika memang mampu.

Ayat 37

Allah menjelaskan bahwa tidaklah pantas dan tidak masuk akal apabila Al-Qur′an itu diciptakan oleh selain Allah. Dan tidak mungkin manusia mampu membuat Al-Qur′an. Sebagai alasan ketidakmungkinan itu ialah karena siapa pun juga selain Allah tidak akan mampu membuat yang semacam Al-Qur′an.

Apabila ada yang merasa mampu membuatnya maka anggapan serupa itu hanyalah impian belaka yang tidak mungkin terjelma dalam dunia kenyataan. Hal ini pernah diucapkan oleh orang yang paling kafir dan paling memusuhi Nabi Muhammad saw yaitu Abu Jahal, pada saat mengomentari kejujuran Muhammad, “Muhammad tidak pernah berdusta kepada seorangpun, jadi apakah mungkin ia berdusta kepada Allah.”

Jadi apabila tidak mungkin Al-Qur′an itu diciptakan oleh selain Allah, maka yang dapat diyakini ialah bahwa Al-Qur′an itu hanyalah kalam Allah semata.

Al-Qur′an berfungsi sebagai  pembenar  terhadap kitab-kitab yang sebelumnya, yaitu kitab yang diturunkan kepada Nabi Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa a.s. Al-Qur′an berisi pokok-pokok agama yang membimbing umat yang beriman kepada Allah dan hari akhirat serta mengamalkan isinya dengan sebaik-baiknya.

Al-Qur′an diturunkan kepada Muhammad saw bukanlah karena wahyu yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya itu tidak benar, tetapi karena umat manusia telah melupakan sebagian besar dari pokok-pokok agama mereka, bahkan ada pula yang sengaja memutarbalikkan agama mereka dan mencampurnya dengan tradisi-tradisi baru yang diciptakan oleh pemimpin mereka untuk merusak pokok ajaran agama mereka.

Pokok-pokok ajaran agama mereka itu belum pernah diketahui oleh Nabi Muhammad saw sebelum ia menjadi utusan yaitu sebelum ia menerima wahyu dari Allah.

Dikatakan bahwa Al-Qur′an sebagai pembenar terhadap kitab yang sebelumnya, karena Al-Qur′an membawa pokok-pokok ajaran yang bersesuaian dengan pokok-pokok akidah yang dibawa oleh Nabi Ibrahim. Juga disebabkan oleh kedatangan Nabi Muhammad saw yang menerima wahyu dari Allah itu, sesuai dengan isyarat yang terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya, seperti firman Allah:

اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ

Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. (al-A’raf/7: 157)

Al-Qur′an itu berfungsi sebagai “perinci” kandungan kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, yaitu kitab-kitab yang mengandung hukum dari Allah, dan menjadi petunjuk bagi seluruh manusia, yang berisi akidah, syari’at, contoh teladan, nasehat-nasehat, dan urusan kemasyarakatan.

Al-Qur’an mengandung petunjuk dan tidak ada bagian yang dapat diragukan, Al-Qur’an datang dari Zat Yang menciptakan, dan seandainya Al-Qur’an itu bukan kalam Allah sudah tentu akan didapati di dalamnya kesimpangsiuran dan banyak kesalahan.


Baca juga: Mengenal Konsep “Akar-Pola” Ilmu Isytiqaq dalam Memahami Makna Bahasa Al-Qur’an


Ayat 38

Allah mengalihkan pembicaraan kepada orang-orang jahiliyah yang mengingkari kerasulan Muhammad saw dan Al-Qur′an itu ciptaan Muhammad.

Menghadapi tuduhan orang-orang jahiliyah itu Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menangkis tuduhan mereka dengan mengatakan bahwa apabila perkataan mereka itu benar, hendaklah mereka membuat sebuah surah yang semisal dengan sebuah surah dalam   Al-Qur′an, dari segi daya tariknya, petunjuk ilmunya, gaya bahasanya, dan susunannya.

Sebagai tantangan kepada mereka, Allah menyuruh Nabi Muhammad saw untuk mengatakan kepada mereka agar mereka mengajak siapa saja yang dipandang mampu selain Allah, untuk membuktikan apa yang mereka ucapkan itu.

Firman Allah:

قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا

Katakanlah, ”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (al-Is.’/17: 88)

Ayat 39

Allah mengungkapkan bahwa orang-orang musyrikin ternyata tidak mampu menjawab tantangan Allah untuk membuat sesuatu yang semisal dengan Al-Qur′an.

Allah menjelaskan keadaan orang-orang musyrikin yang sebenarnya, bahwa mereka setelah mendengar ayat-ayat yang dibacakan oleh Muhammad, mereka secara serta merta mendustakan-nya, padahal mereka belum memikirkan terlebih dahulu kandungan isinya, dan belum mengetahui duduk persoalannya.

Sikap yang demikian itu adalah karena mereka memusuhi Muhammad yang membawa keyakinan baru yang berbeda dengan keyakinan nenek moyang mereka.

Kemudian Allah membandingkan sikap orang-orang musyrikin itu dengan sikap orang-orang musyrik yang hidup pada masa-masa sebelum mereka. Sebab, ada persamaan di antara mereka yaitu orang-orang musyrikin Mekah mendustakan ayat-ayat yang diterima oleh Muhammad saw.

Sedangkan orang-orang musyrik dari umat-umat yang lalu mendustakan rasul-rasul mereka, sama-sama mendustakan wahyu yang diterima nabi-nabi sebelum mereka menyelidiki kebenarannya secara seksama sebelum memahami penjelasannya.

Yang dimaksud dengan penjelasan di sini ialah kenyataan yang harus dihadapi oleh mereka akibat mendustakan ayat-ayat yang diturunkan kepada Muhammad saw seperti kenyataan yang telah diterima mereka atau oleh umat-umat pada masa lalu, sebagai akibat dari keingkaran mereka terhadap wahyu yang mereka terima.

Kenyataan yang mereka alami ialah siksaan Allah yang mereka rasakan di dunia sebelum mereka merasakan siksaan yang lebih berat di akhirat.

Di akhir ayat, Allah menjelaskan bahwa memang demikian itulah nasib orang-orang yang mendustakan rasul-rasul dan nabi-nabi yang sebenarnya. Nasib ini tentu akan menimpa pula kaum musyrikin Mekah apabila mereka tetap bersikap keras dalam mendustakan wahyu-wahyu Allah.

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw dan pengikut-pengikutnya agar memperhatikan bagaimana akhir kehidupan umat yang menganiaya diri sendiri karena mereka berani memusuhi dan mendustakan rasul-rasul Allah.

Allah berfirman:

فَكُلًّا اَخَذْنَا بِذَنْۢبِهٖۙ فَمِنْهُمْ مَّنْ اَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا ۚوَمِنْهُمْ مَّنْ اَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ ۚوَمِنْهُمْ مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ الْاَرْضَۚ وَمِنْهُمْ مَّنْ اَغْرَقْنَاۚ وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلٰكِنْ كَانُوْٓا اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ  ;Maka masing-masing (mereka itu) Kami azab karena dosa-dosanya, di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil, ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan ada pula yang Kami tenggelamkan. Allah sama sekali tidak hendak menzalimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri. (al-Ankabµt/29: 40)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Yunus Ayat 40-43


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Kebolehan Memakan Makanan Haram dalam Situasi Darurat

0
dalam situasi darurat
Ilustrasi Makanan

Dalam ajaran Islam, telah diatur secara konkret mengenai makanan dan minuman apa saja yang boleh dikonsumsi atau sering disebut makanan yang halal. Selain itu, Islam juga mengatur tentang makanan yang haram, yakni dilarang untuk dikonsumsi. Pada situasi normal, hukum keduanya mutlak dan tidak berubah. Artinya, seorang muslim hanya boleh memakan makanan yang halal dan dilarang memakan makanan yang haram.

Kendati demikian, dalam situasi darurat seorang muslim diperbolehkan mengonsumsi makanan yang haram guna menyelamatkan nyawa. Dalam diskurus fikih situasi ini termasuk dalam kaidah “ad-darurat tubihu al-mahzhurat” yang berarti “dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang dibolehkan.” Dengan kata lain, situasi tersebut bersifat temporal dan terikat dengan kedaruratan (Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Adanya Keluarga Sepersusuan (Radha’) dan Konsekuensi Hukum Atasnya

Kebolehan mengonsumsi makanan yang haram dalam konteks darurat ini telah disebutkan setidaknya sebanyak tiga kali oleh Al-Qur’an, yakni surah al-Baqarah [2] ayat 173, surah al-An’am [6] ayat 119 dan surah al-Maidah [5] ayat 3. Ketiga ayat ini secara tegas menyatakan bahwa dalam situasi darurat hal-hal yang terlarang – seperti memakan bangkai – diperbolehkan. Firman Allah swt:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ اَلْيَوْمَ يَىِٕسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٣

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa karena lapar, bukan karena ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. al-Maidah [5] ayat 3).

Pada awal surah al-Maidah [5] ayat 3 di atas, pertama-tama Allah swt menjelaskan makanan-makanan yang haram bagi muslim, yakni bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih dengan selain nama Allah, binatang yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas tanpa sempat disembelih. Selain itu, diharamkan juga untuk mengundi nasib karena itu merupakan kefasikan.

Menurut Quraish Shihab, surah al-Maidah [5] ayat 3 turun ketika nabi Muhammad saw melakukan haji Wada’ pada tanggal 9 Dzul Hijjah tahun kesepuluh Hijriah. Ayat ini turun sebagai pernyataan dari Allah swt kepada Muhammad bahwa agama Islam telah sempurna ajarannya – mulai  dari prinsip ketuhanan hingga prinsip halal haram – dan Dia telah meridai Islam sebagai agama bagi Muhammad serta pengikutnya.

Kemudian, pada bagian akhir ayat disebutkan bahwa barang siapa yang terpaksa atau terdesak untuk memakan – tidak berlebihan dan tidak lebih dari keperluannya – salah satu dari makanan-makanan haram yang disebutkan sebelumnya, maka sesungguhnya Allah akan memaafkan perbuatan tersebut (diperbolehkan) karena ia berlaku demikian atas paksaan situasi (Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan: 219).

Dari penjelasan tersebut, kita memahami bahwa pada situasi mendesak seseorang mendapatkan kemudahan atau rukhsah. Namun pertanyaannya, apakah yang dimaksud dari situasi darurat dan bagaimana kriterianya? Menurut para ulama darurat adalah situasi mendesak – baik karena lapar yang bersangatan maupun paksaan orang lain – yang mengharuskan seseorang untuk memakan sesuatu untuk melestarikan hidup (al-Wajiz fi Idhahi Qawa’id al-Fiqh al-Kuliyyah).

Suatu situasi dapat dikatakan darurat jika memiliki beberapa syarat berikut: dapat dipastikan atau diprediksi kuat kedaruratannya; tidak ada pilihan lain sebagai opsi alternatif; kondisi tersebut memaksa seseorang untuk melakukan keharaman dan jika tidak dilakukan dikhawatirkan ia akan kehilangan nyawa atau anggota badan; keharaman yang ia lakukan tidak mezalimi orang lain; serta tidak dilakukan melewati batas atau cukup sekedar untuk menghilangkan kemudaratan.

Sebagai contoh untuk memudahkan, ketika seorang musafir dalam perjalanan dan ia sangat kelaparan karena tidak memiliki cadangan logistik. Pada saat bersamaan, ia tidak menemukan apa pun yang bisa dimakan kecuali bangkai sapi. Jika ia tidak memakannya, maka ia akan sekarat atau bahkan meninggal dunia. Pada kasus ini, ia diperbolehkan untuk memakan bangkai tersebut seperlunya, tidak berlebih-lebihan.

Menurut al-Syaukani, kebolehan memakan makanan yang haram dalam situasi darurat ini haruslah dibarengi kesadaran untuk tidak berlebih-lebihan atau condong menyukai hal tersebut (‘adami al-mayli bi akli ma harrama alaih). Dengan itu, ia tidak akan mendapatkan dosa karena Allah swt Maha Mengetahui kondisi hamba-Nya dan Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Fath al-Qadir).

Berkenaan dengan surah al-Maidah [5] ayat 3 Thahir Ibnu ‘Asyur, penganut mazhab Malik, berkata, “penggandengan kata babi dengan daging secara implisit mengisyaratkan bahwa yang haram adalah memakannya, sedangkan menggunakan anggota tubuhnya, maka hukumnya sama dengan hukum binatang-binatang lain yang suci bulunya atau kulitnya bila disamak (al-Tahrir wa al-Tanwir).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bagaimana Merespon Bantuan Non-Muslim dalam Proses Pembangunan Masjid?

Pandangan Ibnu‘Asyur ini bersumber dari pendapat Daud az-Zahiri (816-883 M) dan Abu Yusuf (113-182 H) yang didasarkan pada sabda Muhammad saw yang berbunyi:

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

“Semua kulit yang telah disamak maka kulit itu telah suci.” (HR. Muslim, at-Tirmidzi melalui Ibnu Abbas)

Atas dasar inilah – menurut Quraish Shihab – kita dapat mengatakan bahwa penggunaan katup jantung babi sebagai pengganti katup jantung manusia yang sakit dapat dibenarkan, karena tidak untuk dimakan. Bahkan kalaupun najis, namun karena ditempatkan dalam tubuh manusia dan walaupun kenajisannya tidak sepenuhnya sama dengan najis-najis yang ada dalam tubuh manusia, ia tidak berdampak hukum, karena najis yang berdampak hukum adalah kenajisan tubuh luar manusia (Tafsir Al-Misbah [3]: 17).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa diperbolehkan untuk mengonsumsi makanan yang haram atau sejenisnya ketika dalam keadaan terdesak seperti makan bangkai manakala dilanda kelaparan yang dapat menyebabkan kematian dan pada saat yang sama tidak menemukan pilihan lain. Namun, ada catatan yang harus diperhatikan, yakni tidak berlebih-lebihan dan hanya sekedar menutupi rasa lapar agar bisa bertahan hidup. Wallau a’lam.